bab ii - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/bab 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan....

14
22 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu diperlukan untuk memperkuat penelitian terkait perempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi dengan penelitian yang peneliti teliti. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Judul Penelitian Temuan Relevansi 1 Oleh Pinky Saptandari, Beberapa Pemikiran tentang perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi. BioKultur, Volume II. No.1 halaman 53-71 tahun 2013. Antropologi FISIP- Universitas Airlangga, Surabaya. Konstruksi sosial budaya patriaki, yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, dikenai beragam aturan serta berbagai bentuk kontrol lain yang menempatkan perempuan dalam posisi “the other”, sebagai liyan. Proses peliyanan terhadap perempuan terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari termasuk tertuang di dalam produk-produk kebijakan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa tubuh Hasil penelitian ini memiliki relevansi yang sama, peneliti akan membahas mengenai perempuan yang masih di tempatkan di posisi “the other”, sebagai liyan.

Upload: vuduong

Post on 07-Jul-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu diperlukan untuk memperkuat penelitian terkait

perempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah

dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi dengan penelitian yang

peneliti teliti.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Judul Penelitian Temuan Relevansi1 Oleh Pinky

Saptandari, BeberapaPemikiran tentangperempuan dalamTubuh dan Eksistensi.BioKultur, Volume II.No.1 halaman 53-71tahun 2013.Antropologi FISIP-UniversitasAirlangga, Surabaya.

Konstruksi sosialbudaya patriaki, yangmenempatkanperempuan dalamposisi subordinat,dikenai beragamaturan serta berbagaibentuk kontrol lainyang menempatkanperempuan dalamposisi “the other”,sebagai liyan. Prosespeliyanan terhadapperempuan terusberlangsung dalamkehidupan sehari-haritermasuk tertuang didalam produk-produkkebijakan. Hal inilahyang menjelaskanmengapa tubuh

Hasil penelitian inimemiliki relevansiyang sama, penelitiakan membahasmengenaiperempuan yangmasih di tempatkandi posisi “theother”, sebagailiyan.

Page 2: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

23

2 Oleh Indra Tanra,Persepsi MasyarakatTentang PerempuanBercadar. Jurnalequilibriumpendidikan sosiologi,Volume III No.1 Mei2015. ISSN e-2477-0221 p-2339-2401.Universitasmuhammadiyahmakassar.

Persepsi masyarakatterhadap perempuanbercadar itu sangatnegative dan jugamereka tidakmenerima adanyaperempuan bercadardi desa mereka,bahkan sebagianmasyarakatmengucilkan ataubahkan menolakkeberadaan merekadan mereka tidakdianggap di dalammasyarakat.Perempuan bercadaridentic dengan terorisdan juga aliran sesatyang marak terjadisaat ini danperempuan bercadartertutup dan kurangkurang berinteraksi,sehingga memperkuatpersepsi masyarakatterhadap merekadikarenan masyarakatmenganggap merekasedang menutup-nutupi perbuatanmereka.

Relevansipenelitian terdahuludan penelitian yangakan diteliti olehpeneliti adalahsecara garis besarpembahasan yangakan diangkatmengenaiperempuanbercadar yangdikucilkan olehmasyarakat bahkandi tolakkeberadaannya.

3 Oleh Alif FathurRahman, danMuhammad syafiq,“Motivasi, Stigmadan Coping Stigmapada PerempuanBercadar”. Jurnal

Motivasi bercadarmuncul dari ketaatandalam beragama dankeinginan untukmenghindari stigmaseperti dianggapfanatic, anggota

Relevansipenelitian terdahuludan penelitian yangakan diangkat olehpeneliti adalahperempuanbercadar

Page 3: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

24

Psikologi Teori danTerapan tahun 2017,Vol 7, No. 2, 103-115, ISSN: 2087-1708. UniversitasNegeri Surabaya.

kelompok teroris, dandihindari oleh orang-orang disekitarnya.Strategi menghadapistigma yangditempuh olehpartisipan dapatdigolongkan menjadidua, yaitu strategiinternal dengan caramengabaikan danmemaklumipandangan negatifmasyarakat disekitar,dan strategi eksternalmelalui pemberianpenjelasan sebagaiklarifikasi dan ikutmelibatkan diri dalamkegiatan bersamamasyarakat disekitar.

mengalami stigmanegatif darimasyarakat.

4 Oleh Ocoh Adawiah,“PemikiranFeminismeEksistensialis SimoneDe Beauvoir”. SkripsiUniversitas IslamNegeri SunanKalijaga Yogyakarta.2015

Simone de Beauvoirmenggambarkanidentitas perempuandalam kultur budayapatriarkal, selalumenjadi jenis kelaminkedua (the secondsex). Padahal sebagaimmanusia ia adalahsubjek: suatukesadaran. Tetapisebagai perempuan,ia adalah liyan yangabsolut, ia adalahobjek. Danmenurutnya,“mitoslah” yangmelanggengkan

Persamaanpenelitian inimengakajimengenaiperempuan yangselalu menjadi thesecond sexdikarenkan kulturbudaya patriarkal.Dan penelitianterdahulu danpenelitian yangakan dikaji penelitisama membahasmengenaiperempuan sebagailiyan.

Page 4: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

25

eksistensi perempuansebagai identitaskedua (the secondsex).

2.2 Kajian Pustaka

a. Perempuan dalam budaya patriarki

Beauvoir berkesimpulan bahwa di dalam sebuah budaya patriarkat

tubuh perempuan telah menjadi penghalang baginya untuk

menstransendensi diri ataupun untuk menentukan dirinya. Beauvoir melihat,

bahwa budaya patriarkat hanya mengakui eksistensi laki-laki sebagai

pengada bebas, sedangkan perempuan ditetapkan sebagai kegidupan yang

sudah pasti, tidak berubah, dan tanpa kebebasan. Budaya patriarkat juga

dianggapnya menyangkal aspek imanensi dalam kehidupan laki-laki dan

aspek transendensi dalam kehidupan perempuan. Lebih spesifik lagi,

Beauvoir menunjukkan bahwa, budaya patriarkat menggunakan kelemahan

fisik perempuan sebagai landasan dasar untuk membenarkan nilai

superioritas laki-laki dan kelemahan absolut perempuan.

Beauvoir memaparkan bahwasanyya budaya patriarkat telah berhasil

sedemikian rupa sehingga identitas dan eksistensi perempuan dimiskinkan

pada aspek biologisnya saja. Dijelaskannya, karena memiliki Rahim, budaya

patriarkat menetapkan bahwa kewajiban utama perempuan adalah menjadi

ibu. Menstruasi diberi nilai sebagai kekuatan alam yang negatif dan tak bisa

dikuasai. Perempuan dilatih untuk memikat laki-laki melalui tubuhnya

Page 5: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

26

karena sikap yang menyenangkan dan memikat laki-laki merupakan bagian

dari sekian kewajiban yang harus dilakukannya untuk mendapatkan suami,

pelindungnya. Beauvoir sangat jelas menentang hal tersebut karena

menurutnya, manusia pada dasarnya adalah individu yang bebas, yang bebas

mengekspresikan apa pun dengan tubuhnya dalam proses aktualisasi

dirinya. Hal ini berlaku bagi perempuan ataupun laki-laki tidak memandang

suatu gender.

Nilai-nilai yang bersifat mutlak ini diperoleh perempuan dari proses

pendidikan dan praktik sosial-budaya yang melingkupi hari-harinya, bahkan

sejak sebelum dia dilahirkan. Tugas dan identitas perempuan dalam budaya

patriarkat satu, yaitu membentuk dirinya menjadi sosok diri yang sudah

ditetapkan oleh budaya patriarkat, yaitu menjadi seperti yang diinginkan

laki-laki tanpa adanya persetujuan dari perempuan. Hanya dengan begitu

perempuan yang hidup dalam budaya patriarkat agar bisa diterima dan

menjalani hari-harinya dengan tenang. Budaya patriarkat menutup

kesempatan perempuan untuk menjalani hidupnya secara otentik dalam

berjuang mengatasi keterbatasan dan kelemahan tubuhnya dan memilih

sendiri caranya bekerja, berkarya dan membentuk diri (Lie, 2005: 35)

Sudah diketahui bersama bahwasanya Indonesia adalah suatu

masyarakat patriarkal, dan kondisi factual ini tidak dapat diingkari, seperti

juga di negara-negara lain di dunia. Patrialka sebagai suatu struktur

komunitas bahwa kaum lelaki yang memegang kekuasaan, dipersepsi

sebagai struktur yang menderogasi perempuan.

Page 6: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

27

b. Gender dan Marginaliasi Perempuan

Marginalisasi merupakan suatu proses pemiskinan perempuan yang

mana perempuan tidak memiliki haka tau akses serta kesempatan yang sama

untuk dapat mengembangkan kualitas dirinya sendiri. Penyebab

marginalisasi terhadap perempuan disebabkan oleh konstruksi budaya yang

mengatur peranan sosial. Peranan antara perempuan dan laki-laki

dikonstruksikan masyarakat berdasarkan jenis kelaminnya tanpa melihat

potensi yang dimilki.

Masyarakat bisa menentukan apa yang pantas atau ideal sesuatu yang

harus diperankan oleh perempuan maupun laki-laki. Ideology gender inilah

yang membuat masyarakat membagi peranan-peranan apa saja dan

bagaimana yang seharusnya dikerjakan oleh jenis kelamin tertentu, dampak

hal tersebut bisa saja merugikan pihak laki-laki maupun perempuan, namun

yang lebih merugi ialah pihak perempuan dikarenakan masyarakat

menempatkan posisi perempuan di kelas kedua.

Perempuan distreotipkan sebagai orang yang berbadan lemah dan patuh

oleh karena itu mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda antara laki-

laki dan perempuan. Perempuan dipersepsikan sebagai orang yang harus

mengerjakan pekerjaan rumah tangga, karena masyarakat percaya bahwa

perempuan hanya bisa melakukan pekerjan rumah tangga, oleh karena itu

Page 7: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

28

mereka tidak perlu turut dalam pengambilan keputusan tentang kebaikan

bersama atau menggunakan hak-hak suara pilihannya (Irwan, 1997:283)

Perbedaan gender inilah yang membuat adanya ketidakadilan serta

penindasan terhadap sosok perempuan. Marginalisasi perempuan juga

terjadi akibat keyakinan dari masyarakat, keyakinan tradisi, tafsiran agama,

serta kebiasaan sehari-hari yang membuat bias gender. Adanya

marginalisasi dalam kehidupan sehari-hari telah menkonstruksi masyarakat

dan mensosialisasikan kepada generasi berikutnya mengenai perbedaan

peran gender tersebut.

a. Cadar

Secara umum baju cadar dapat digambarkan sebagai pakaian jilbab

perempuan islam yang bercirikan sengat longgar sehingga tidak

menampakkan bentuk lekuk tubuh, kemudian kainnya menutup seluruh

anggota badan kecuali telapak kaki, telapak tangan, dan juga kedua mata.

Sebenarnya dalam islam ada berbagai macam istilah pakaian yang

digunakan untuk perempuan dalam keseharian yang sesuai dengan syariat

islam. Bercirikan seperti tidak ketat sehingga tidak menunjukkan lekuk

tubuh, menutupi aurat atau sopan, dan tentunya juga nyaman dipakai. Istilah

itu biasanya disebut dengan abaya (baju terusan panjang), pudah/niqab (kain

penutup wajah kecuali mata), dan burqa (hamper sama seperti niqab namun

pakaian ini menutupi hingga bagian mata perempuan, perempuan memakai

pakaian burqa dapat melihat melalui celah atau pori-pori kain).

Page 8: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

29

Cadar bagi muslimah bercadar merupakan upaya untuk lebih menjaga

diri dari fitnah selain memang hal itu adalah sesuatu yang lumrah di

kalangan perempuan-perempuan salah (istri-istri Rasulullah SAW dan para

sahabat) (Iskandar, 2013: 3). Menjaga diri dari fitnah dapat diartikan seperti

menjaga diri dari perbuatan tidak terpuji, misalnya mengundang hawa nafsu

syahwat laki-laki kea rah sesksualitas jika melihat atau membayangkan

tubuh perempuan. Gaya busana perempuan islam ini terbilang cukup

ekstrim karena gaya busananya yang tidak biasa dan terkesan misterius

karena menyembunyikan struktur bentuk wajah dan lekuk tubuh. Karena hal

ini, tidak mengherankan jika subjek pemakai pakaian cadar mendapatkan

stigma dan pengucilan dari masyarakat sekitar yang menghakimi subjek

bercadar tersebut berdasarkan “penampilan luaran” mereka.

c. Sejarah cadar

Kebudayaan di dalam kawasan jazirah arab, peraturan penggunaan

cadar untuk perempuan terpengaruhi oleh undang-undang asyiria yang

membedakan perempuan yang berhak maupun tidak berhak menggunakan

cadar. Hal ini dikarenakan, cadar merupakan symbol bagi kesucian dan

keperawanan perempuan serta menjadi pertanda adanya perempuan yang

berada di bawah perlindungan laki-laki, dan perempuan “bebas” yang bisa

menjadi “mangsa” seksual bagi siapapun (Sumbulah, 2008:7).

Pada masyarakat Arab, budaya ini membedakan perempuan antara

hurrah (perempuan terpandang atau terhormatt yang hidup di bawah

perlindungan laki-laki terhormat) dan ‘amat (perempuan-perempuan budak

Page 9: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

30

seksual, yang tidak memiliki pelindung laki-laki). Menurut lerner,

sebagaimana dikutip oleh fatmagul Bertaky dalam (Sumbulah, 2008:7),

mengungkapkan bahwa dengan demikian, cadar bukan hanya symbol kelas

atas, tetapi lebih penting lagi, ia merupakan symbol yang membantu

membedakan antara perempuan yang bisa dinikmati oleh banyak laki-laki

dengan perempuan yang bisa dinikmati hanya oleh satu laki-laki dan hidup

berada di bawah perlindungannya.

Pemerintahan Taliban di Afganistan, kaum perempuan diwajibkan

mengenakan burqa setiap kali mereka tampil di tempat umum. Pakaian ini

tidak diwajibkan oleh rezim Afganistan, tetapi dalam keadaan yang tidak

pasti, banyak perempuan yang memilih mengenakan burqa untuk amannya

(Siska, 2012:3). Hal ini terus dibawa sebagai ‘religion culture’ hingga ke

seluruh belahan dunia. Namun demikian dalam tradisi agama-agama dunia,

tradisi cadar atau kerudung dan penutup kepala, lebih terlihat khas dalam

tradisi agama islam disbanding dalam tradisi agama- agama lainnya

(Sumbullah, 2008:8).

Cadar dalam budaya di Indonesia sendiri masih belum diterima

sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, padahal masyarakat Indonesia

berstatus penduduk paling banyak yang beragama islam. Masyarakat

Indonesia sendiri menganggap bahwa cadar adalah budaya yang berasal dari

jazirah arab bukan budaya Indonesia asli. Banyak peristiwa-peristiwa yang

menggiring pemikiran masyarakat terhadap perempuan bercadar, misalnya

peristiwa pengeboman dibali pada tahun 2002 yang menggemparkan

Page 10: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

31

masyarakat Indonesia. banyak media yang menyoroti tetoris (tersangka

pengeboman) beserta keluarganya, bahkan media juga mengisukan bahwa

teroris ialah penganut aliran garis keras.

d. Konsep Liyan

Drama tentang liyan mulai dari episode rasionalitas yang bernama

politik. Dalam politik disajikan eksplorasi segala keutamaan dan prinsip-

prinsip tata hidup bersama. Tetapi, dalam politik itu juga manusia terbagi,

terdistingsi, dan pada saat yang sama juga tereduksi makna kehadirannya.

Manusia seolah masuk dalam kategori-kategori virtual dan real sekaligus.

Ideology politik, misalnya, memiliki kepentingan “mengategorikan”

manusia-manusia dalam tata hidup bersama (Riyanto: 2011: 35) .

Ketika plato menyebut polis dengan lapisan-lapisan masyarakat,

seperti “pemimpin”, “militer” dan “produsen”, mereka disebut warganegara.

Dalam plato, sudah barang tertentu dengan makna yang berbeda dengan

yang kita maksudkan saat ini, wanita dan anak-anak tidak termasuk

warganegara. Apalagi, para budak dan orang asing. Eksistensi mereka

berada dalam wilayah kategori yang disebut warganegara. Dalam bahasa

saat ini, kehadiran perempuan, anak-anak, para budak dan orang asing,

sejauh tidak terlibat dalam tata kelola hidup bersama, merupakan kehadiran

liyan. Mereka adalah orang lain, bukan bagian dari the self-nya polis

(Riyanto: 2011: 36).

Konstelasi filsafat Aristoteles, Liyan menemukan kejelasannya karena

menjadi sosok-sosok yang tidak terhitung dalam tata kelola hidup bersama.

Page 11: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

32

Apalagi, yang disebut warganegara adalah juga mereka yang diberkati

dengan segala “fasilitas” ruang pengetahuan dan waktu luang. Artinya,

warganegara secara sosial mendapatkan segalanya untuk mengembangkan

kapasitas manusiawi, sementara liyan berada dalam wilayah pinggiran

(Riyanto: 2011: 37).

Konsep tentang liyan dapat dengan mudah menyeruak, seiring dengan

semaraknya filsafat maskulinistik ala platonia dan Aristotelian semacam ini.

Liyan berarti mereka yang kehilangan esensi partisipasinya (dalam arti

bahwa mereka terbelenggu oleh kehadiran kategorialnya sebagai bagian

yang dilindungi, dan dengan demikian dikekang). Liyan juga menampilkan

realitas keterbelengguan, bahwa dirinya bukan miliknya, tubuhnya bukan

kepunyaannya, hidupnya pun bukan berada dalam kekuasaannya (Riyanto:

2011: 37).

Dalam peradaban modern hampir semua diukur oleh rasionalitas, liyan

dipahami sebagai masyarakat yang terpinggirkan, tersisihkan serta tertindas.

Zaman modern sangat melekat dengan teknologi yang kian maju serta ilmu

pengetahuan yang berkembang pesat menjadikan sosok liyan dipahami

sebagai sosok yang terasingkan, tertindih, dan terabaikan.

Revolusi industry adalah revolusi sosial (Riyanto: 2011: 40). Dampak

yang ditimbulkan oleh revolusi industri dengan kemunculan pabrik, pasar,

masyarakat produsen-konsumen yang menjamur di semua lapisan

masyarakat, dengan adanya itu menjadikan masyarakat secara tidak

langsung mengkotak-kotakkan status sosial. Liyan dizaman ideologi ialah

Page 12: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

33

mereka yang tersingkirkan, terasingkan di dalam kehidupan sehari-hari,

tertindih oleh kapitaliis dan tertindas oleh masyarakat kapitalis.

Dalam budaya patriaki Liyan ialah the second sex, mereka selalu

dinomor duakan oleh masyarakat, masyarakat menganggap bahwa

perempuan hanya bisa melakukan pekerjaan domestik dikarenakan adanya

argumen bahwa laki-laki itu bekerja diluar rumah sedangkan perempuan

hanya menjaga rumah dan merawat anak-anak, dan argumen tersebut

diturunkan secara turun temurun dan dipercayai oleh seluruh masyarakat.

Dalam budaya patriaki perempuan dalam posisi tersisihkan dikarenakan

mereka tidak diberi kesempatan untuk mengeksplor kemampuannya diluar

rumah, mereka ditempatkan hanya dirumah saja tanpa mengenal luasnya

dunia.

Keluarga patriarkis, laki-laki juga mengontrol daya kerja wanita secara

formal dan informal; adanya perlawanan dari wanita, memiliki konsekuensi-

konsekuensi ekonomi dan sosial bagi mereka sendiri dan anak-anak mereka

(ollenburger: 1996: 40). Laki-laki lebih dominan dalam mengatur semua

keperluan di dalam keluarga dan perempuan melakukan sesuatu harus

seizing laki-laki atau suami.

2.3 Teori Interseksionalitas Patricia Collins

Isu sentral bagi teori interseksionalitas adalah pengertian bahwa

perempuan mengalami penindasan dalam konfigurasi-konfigurasi yang

bervariasi dan dalam derajat intensitas yang bercariasi. Yang dimaksud variasi

ialah semua perempuan mengalami penindasan secara potensial berdasarkan

Page 13: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

34

gender, namun demikian, perempuan ditindas secara berbeda oleh

perpotongan-perpotongan yang bervariasi dari susunan-susunan

ketidaksetaraan sosial lainnya. Ungkapan patricia Collins, ketertindasan

tersebut mencakup bukan hanya gender tetapi juga kelas, ras, lokasi global,

pilihan seksual, dan usia (Ritzer, 2012:822).

Variasi potongan-potongan demikian mengubah secara kualitatif

pengalaman sebagai perempuan, keberagaman perempuan harus

diperhitungkan di dalam menteorikan pengalaman-pengalaman perempuan.

Argument interseksionalitas ini ialah bahwa perpotongan itu sendirilah yang

menghasilkan suatu pengalaman khusus atas penindasan, dan orang tidak

dapat tiba pada suatu penjelasan yang memadai dengan menggunakan strategi

gender tambahan, plus ras, plus kelas, plus seksualitas (Ritzer, 2012:822).

Teori mengenai interseksionalitas pada intinya mengerti susunan-

susunanketiaksetaraan tersebut sebagai struktur-struktur hierarkis yang

didasarkan pada relasi-relasi kekuasaan yang tidak adil.

Perbedaan adalah suatu kebutuhan mutlak di dalam suatu ekonomi

yang mencari keuntungan yang memerlukan orang luar sebagai orang-orang

surplus. Ideology-ideologi tersebut dijadikan acuan untuk menilai orang lain

dan juga diri sendiri. Perbedaan yang ada di tengah masyarakat kita seperti

perbedaan ras, agama, dan apapun itu membuat pihak-pihak tidak

mengizinkan pihak dominan untuk mengendalikan produksi sosial (baik yang

dibayar maupun tidak dibayar), tetapi juga menjadi bagian subjektivitas

individual-penolakan perbedaan yang diinternalisasi yang dapat berfungsi

Page 14: BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/BAB 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi

35

membuat orang-orang mengurangi nilai dirinya, menoloak keberadaan

kelompok lain dan menciptakan kriteria di dalam kelompok mereka sendiri

untuk menyisihkan, menghukum, atau meminggirkan kelompok yang lain.

sosial yang bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap

tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai

sesuatu yang penuh arti. Pemahaman secara subyektif sesuatu tindakan sangan

menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi sosial, baik bagi actor

yang memberikan arti terhadap tindakannya sendiri maupun bagi pihak lain

yang menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan beraksi atau

bertindak sesuai dengan apa yang di maksud aktor tersebut.