bab ii - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/38956/3/bab 2.pdfperempuan bercadar sebagai liyan....
TRANSCRIPT
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu diperlukan untuk memperkuat penelitian terkait
perempuan bercadar sebagai liyan. Berikut skipsi dan jurnal yang pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti dan memiliki relevansi dengan penelitian yang
peneliti teliti.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Judul Penelitian Temuan Relevansi1 Oleh Pinky
Saptandari, BeberapaPemikiran tentangperempuan dalamTubuh dan Eksistensi.BioKultur, Volume II.No.1 halaman 53-71tahun 2013.Antropologi FISIP-UniversitasAirlangga, Surabaya.
Konstruksi sosialbudaya patriaki, yangmenempatkanperempuan dalamposisi subordinat,dikenai beragamaturan serta berbagaibentuk kontrol lainyang menempatkanperempuan dalamposisi “the other”,sebagai liyan. Prosespeliyanan terhadapperempuan terusberlangsung dalamkehidupan sehari-haritermasuk tertuang didalam produk-produkkebijakan. Hal inilahyang menjelaskanmengapa tubuh
Hasil penelitian inimemiliki relevansiyang sama, penelitiakan membahasmengenaiperempuan yangmasih di tempatkandi posisi “theother”, sebagailiyan.
23
2 Oleh Indra Tanra,Persepsi MasyarakatTentang PerempuanBercadar. Jurnalequilibriumpendidikan sosiologi,Volume III No.1 Mei2015. ISSN e-2477-0221 p-2339-2401.Universitasmuhammadiyahmakassar.
Persepsi masyarakatterhadap perempuanbercadar itu sangatnegative dan jugamereka tidakmenerima adanyaperempuan bercadardi desa mereka,bahkan sebagianmasyarakatmengucilkan ataubahkan menolakkeberadaan merekadan mereka tidakdianggap di dalammasyarakat.Perempuan bercadaridentic dengan terorisdan juga aliran sesatyang marak terjadisaat ini danperempuan bercadartertutup dan kurangkurang berinteraksi,sehingga memperkuatpersepsi masyarakatterhadap merekadikarenan masyarakatmenganggap merekasedang menutup-nutupi perbuatanmereka.
Relevansipenelitian terdahuludan penelitian yangakan diteliti olehpeneliti adalahsecara garis besarpembahasan yangakan diangkatmengenaiperempuanbercadar yangdikucilkan olehmasyarakat bahkandi tolakkeberadaannya.
3 Oleh Alif FathurRahman, danMuhammad syafiq,“Motivasi, Stigmadan Coping Stigmapada PerempuanBercadar”. Jurnal
Motivasi bercadarmuncul dari ketaatandalam beragama dankeinginan untukmenghindari stigmaseperti dianggapfanatic, anggota
Relevansipenelitian terdahuludan penelitian yangakan diangkat olehpeneliti adalahperempuanbercadar
24
Psikologi Teori danTerapan tahun 2017,Vol 7, No. 2, 103-115, ISSN: 2087-1708. UniversitasNegeri Surabaya.
kelompok teroris, dandihindari oleh orang-orang disekitarnya.Strategi menghadapistigma yangditempuh olehpartisipan dapatdigolongkan menjadidua, yaitu strategiinternal dengan caramengabaikan danmemaklumipandangan negatifmasyarakat disekitar,dan strategi eksternalmelalui pemberianpenjelasan sebagaiklarifikasi dan ikutmelibatkan diri dalamkegiatan bersamamasyarakat disekitar.
mengalami stigmanegatif darimasyarakat.
4 Oleh Ocoh Adawiah,“PemikiranFeminismeEksistensialis SimoneDe Beauvoir”. SkripsiUniversitas IslamNegeri SunanKalijaga Yogyakarta.2015
Simone de Beauvoirmenggambarkanidentitas perempuandalam kultur budayapatriarkal, selalumenjadi jenis kelaminkedua (the secondsex). Padahal sebagaimmanusia ia adalahsubjek: suatukesadaran. Tetapisebagai perempuan,ia adalah liyan yangabsolut, ia adalahobjek. Danmenurutnya,“mitoslah” yangmelanggengkan
Persamaanpenelitian inimengakajimengenaiperempuan yangselalu menjadi thesecond sexdikarenkan kulturbudaya patriarkal.Dan penelitianterdahulu danpenelitian yangakan dikaji penelitisama membahasmengenaiperempuan sebagailiyan.
25
eksistensi perempuansebagai identitaskedua (the secondsex).
2.2 Kajian Pustaka
a. Perempuan dalam budaya patriarki
Beauvoir berkesimpulan bahwa di dalam sebuah budaya patriarkat
tubuh perempuan telah menjadi penghalang baginya untuk
menstransendensi diri ataupun untuk menentukan dirinya. Beauvoir melihat,
bahwa budaya patriarkat hanya mengakui eksistensi laki-laki sebagai
pengada bebas, sedangkan perempuan ditetapkan sebagai kegidupan yang
sudah pasti, tidak berubah, dan tanpa kebebasan. Budaya patriarkat juga
dianggapnya menyangkal aspek imanensi dalam kehidupan laki-laki dan
aspek transendensi dalam kehidupan perempuan. Lebih spesifik lagi,
Beauvoir menunjukkan bahwa, budaya patriarkat menggunakan kelemahan
fisik perempuan sebagai landasan dasar untuk membenarkan nilai
superioritas laki-laki dan kelemahan absolut perempuan.
Beauvoir memaparkan bahwasanyya budaya patriarkat telah berhasil
sedemikian rupa sehingga identitas dan eksistensi perempuan dimiskinkan
pada aspek biologisnya saja. Dijelaskannya, karena memiliki Rahim, budaya
patriarkat menetapkan bahwa kewajiban utama perempuan adalah menjadi
ibu. Menstruasi diberi nilai sebagai kekuatan alam yang negatif dan tak bisa
dikuasai. Perempuan dilatih untuk memikat laki-laki melalui tubuhnya
26
karena sikap yang menyenangkan dan memikat laki-laki merupakan bagian
dari sekian kewajiban yang harus dilakukannya untuk mendapatkan suami,
pelindungnya. Beauvoir sangat jelas menentang hal tersebut karena
menurutnya, manusia pada dasarnya adalah individu yang bebas, yang bebas
mengekspresikan apa pun dengan tubuhnya dalam proses aktualisasi
dirinya. Hal ini berlaku bagi perempuan ataupun laki-laki tidak memandang
suatu gender.
Nilai-nilai yang bersifat mutlak ini diperoleh perempuan dari proses
pendidikan dan praktik sosial-budaya yang melingkupi hari-harinya, bahkan
sejak sebelum dia dilahirkan. Tugas dan identitas perempuan dalam budaya
patriarkat satu, yaitu membentuk dirinya menjadi sosok diri yang sudah
ditetapkan oleh budaya patriarkat, yaitu menjadi seperti yang diinginkan
laki-laki tanpa adanya persetujuan dari perempuan. Hanya dengan begitu
perempuan yang hidup dalam budaya patriarkat agar bisa diterima dan
menjalani hari-harinya dengan tenang. Budaya patriarkat menutup
kesempatan perempuan untuk menjalani hidupnya secara otentik dalam
berjuang mengatasi keterbatasan dan kelemahan tubuhnya dan memilih
sendiri caranya bekerja, berkarya dan membentuk diri (Lie, 2005: 35)
Sudah diketahui bersama bahwasanya Indonesia adalah suatu
masyarakat patriarkal, dan kondisi factual ini tidak dapat diingkari, seperti
juga di negara-negara lain di dunia. Patrialka sebagai suatu struktur
komunitas bahwa kaum lelaki yang memegang kekuasaan, dipersepsi
sebagai struktur yang menderogasi perempuan.
27
b. Gender dan Marginaliasi Perempuan
Marginalisasi merupakan suatu proses pemiskinan perempuan yang
mana perempuan tidak memiliki haka tau akses serta kesempatan yang sama
untuk dapat mengembangkan kualitas dirinya sendiri. Penyebab
marginalisasi terhadap perempuan disebabkan oleh konstruksi budaya yang
mengatur peranan sosial. Peranan antara perempuan dan laki-laki
dikonstruksikan masyarakat berdasarkan jenis kelaminnya tanpa melihat
potensi yang dimilki.
Masyarakat bisa menentukan apa yang pantas atau ideal sesuatu yang
harus diperankan oleh perempuan maupun laki-laki. Ideology gender inilah
yang membuat masyarakat membagi peranan-peranan apa saja dan
bagaimana yang seharusnya dikerjakan oleh jenis kelamin tertentu, dampak
hal tersebut bisa saja merugikan pihak laki-laki maupun perempuan, namun
yang lebih merugi ialah pihak perempuan dikarenakan masyarakat
menempatkan posisi perempuan di kelas kedua.
Perempuan distreotipkan sebagai orang yang berbadan lemah dan patuh
oleh karena itu mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda antara laki-
laki dan perempuan. Perempuan dipersepsikan sebagai orang yang harus
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, karena masyarakat percaya bahwa
perempuan hanya bisa melakukan pekerjan rumah tangga, oleh karena itu
28
mereka tidak perlu turut dalam pengambilan keputusan tentang kebaikan
bersama atau menggunakan hak-hak suara pilihannya (Irwan, 1997:283)
Perbedaan gender inilah yang membuat adanya ketidakadilan serta
penindasan terhadap sosok perempuan. Marginalisasi perempuan juga
terjadi akibat keyakinan dari masyarakat, keyakinan tradisi, tafsiran agama,
serta kebiasaan sehari-hari yang membuat bias gender. Adanya
marginalisasi dalam kehidupan sehari-hari telah menkonstruksi masyarakat
dan mensosialisasikan kepada generasi berikutnya mengenai perbedaan
peran gender tersebut.
a. Cadar
Secara umum baju cadar dapat digambarkan sebagai pakaian jilbab
perempuan islam yang bercirikan sengat longgar sehingga tidak
menampakkan bentuk lekuk tubuh, kemudian kainnya menutup seluruh
anggota badan kecuali telapak kaki, telapak tangan, dan juga kedua mata.
Sebenarnya dalam islam ada berbagai macam istilah pakaian yang
digunakan untuk perempuan dalam keseharian yang sesuai dengan syariat
islam. Bercirikan seperti tidak ketat sehingga tidak menunjukkan lekuk
tubuh, menutupi aurat atau sopan, dan tentunya juga nyaman dipakai. Istilah
itu biasanya disebut dengan abaya (baju terusan panjang), pudah/niqab (kain
penutup wajah kecuali mata), dan burqa (hamper sama seperti niqab namun
pakaian ini menutupi hingga bagian mata perempuan, perempuan memakai
pakaian burqa dapat melihat melalui celah atau pori-pori kain).
29
Cadar bagi muslimah bercadar merupakan upaya untuk lebih menjaga
diri dari fitnah selain memang hal itu adalah sesuatu yang lumrah di
kalangan perempuan-perempuan salah (istri-istri Rasulullah SAW dan para
sahabat) (Iskandar, 2013: 3). Menjaga diri dari fitnah dapat diartikan seperti
menjaga diri dari perbuatan tidak terpuji, misalnya mengundang hawa nafsu
syahwat laki-laki kea rah sesksualitas jika melihat atau membayangkan
tubuh perempuan. Gaya busana perempuan islam ini terbilang cukup
ekstrim karena gaya busananya yang tidak biasa dan terkesan misterius
karena menyembunyikan struktur bentuk wajah dan lekuk tubuh. Karena hal
ini, tidak mengherankan jika subjek pemakai pakaian cadar mendapatkan
stigma dan pengucilan dari masyarakat sekitar yang menghakimi subjek
bercadar tersebut berdasarkan “penampilan luaran” mereka.
c. Sejarah cadar
Kebudayaan di dalam kawasan jazirah arab, peraturan penggunaan
cadar untuk perempuan terpengaruhi oleh undang-undang asyiria yang
membedakan perempuan yang berhak maupun tidak berhak menggunakan
cadar. Hal ini dikarenakan, cadar merupakan symbol bagi kesucian dan
keperawanan perempuan serta menjadi pertanda adanya perempuan yang
berada di bawah perlindungan laki-laki, dan perempuan “bebas” yang bisa
menjadi “mangsa” seksual bagi siapapun (Sumbulah, 2008:7).
Pada masyarakat Arab, budaya ini membedakan perempuan antara
hurrah (perempuan terpandang atau terhormatt yang hidup di bawah
perlindungan laki-laki terhormat) dan ‘amat (perempuan-perempuan budak
30
seksual, yang tidak memiliki pelindung laki-laki). Menurut lerner,
sebagaimana dikutip oleh fatmagul Bertaky dalam (Sumbulah, 2008:7),
mengungkapkan bahwa dengan demikian, cadar bukan hanya symbol kelas
atas, tetapi lebih penting lagi, ia merupakan symbol yang membantu
membedakan antara perempuan yang bisa dinikmati oleh banyak laki-laki
dengan perempuan yang bisa dinikmati hanya oleh satu laki-laki dan hidup
berada di bawah perlindungannya.
Pemerintahan Taliban di Afganistan, kaum perempuan diwajibkan
mengenakan burqa setiap kali mereka tampil di tempat umum. Pakaian ini
tidak diwajibkan oleh rezim Afganistan, tetapi dalam keadaan yang tidak
pasti, banyak perempuan yang memilih mengenakan burqa untuk amannya
(Siska, 2012:3). Hal ini terus dibawa sebagai ‘religion culture’ hingga ke
seluruh belahan dunia. Namun demikian dalam tradisi agama-agama dunia,
tradisi cadar atau kerudung dan penutup kepala, lebih terlihat khas dalam
tradisi agama islam disbanding dalam tradisi agama- agama lainnya
(Sumbullah, 2008:8).
Cadar dalam budaya di Indonesia sendiri masih belum diterima
sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, padahal masyarakat Indonesia
berstatus penduduk paling banyak yang beragama islam. Masyarakat
Indonesia sendiri menganggap bahwa cadar adalah budaya yang berasal dari
jazirah arab bukan budaya Indonesia asli. Banyak peristiwa-peristiwa yang
menggiring pemikiran masyarakat terhadap perempuan bercadar, misalnya
peristiwa pengeboman dibali pada tahun 2002 yang menggemparkan
31
masyarakat Indonesia. banyak media yang menyoroti tetoris (tersangka
pengeboman) beserta keluarganya, bahkan media juga mengisukan bahwa
teroris ialah penganut aliran garis keras.
d. Konsep Liyan
Drama tentang liyan mulai dari episode rasionalitas yang bernama
politik. Dalam politik disajikan eksplorasi segala keutamaan dan prinsip-
prinsip tata hidup bersama. Tetapi, dalam politik itu juga manusia terbagi,
terdistingsi, dan pada saat yang sama juga tereduksi makna kehadirannya.
Manusia seolah masuk dalam kategori-kategori virtual dan real sekaligus.
Ideology politik, misalnya, memiliki kepentingan “mengategorikan”
manusia-manusia dalam tata hidup bersama (Riyanto: 2011: 35) .
Ketika plato menyebut polis dengan lapisan-lapisan masyarakat,
seperti “pemimpin”, “militer” dan “produsen”, mereka disebut warganegara.
Dalam plato, sudah barang tertentu dengan makna yang berbeda dengan
yang kita maksudkan saat ini, wanita dan anak-anak tidak termasuk
warganegara. Apalagi, para budak dan orang asing. Eksistensi mereka
berada dalam wilayah kategori yang disebut warganegara. Dalam bahasa
saat ini, kehadiran perempuan, anak-anak, para budak dan orang asing,
sejauh tidak terlibat dalam tata kelola hidup bersama, merupakan kehadiran
liyan. Mereka adalah orang lain, bukan bagian dari the self-nya polis
(Riyanto: 2011: 36).
Konstelasi filsafat Aristoteles, Liyan menemukan kejelasannya karena
menjadi sosok-sosok yang tidak terhitung dalam tata kelola hidup bersama.
32
Apalagi, yang disebut warganegara adalah juga mereka yang diberkati
dengan segala “fasilitas” ruang pengetahuan dan waktu luang. Artinya,
warganegara secara sosial mendapatkan segalanya untuk mengembangkan
kapasitas manusiawi, sementara liyan berada dalam wilayah pinggiran
(Riyanto: 2011: 37).
Konsep tentang liyan dapat dengan mudah menyeruak, seiring dengan
semaraknya filsafat maskulinistik ala platonia dan Aristotelian semacam ini.
Liyan berarti mereka yang kehilangan esensi partisipasinya (dalam arti
bahwa mereka terbelenggu oleh kehadiran kategorialnya sebagai bagian
yang dilindungi, dan dengan demikian dikekang). Liyan juga menampilkan
realitas keterbelengguan, bahwa dirinya bukan miliknya, tubuhnya bukan
kepunyaannya, hidupnya pun bukan berada dalam kekuasaannya (Riyanto:
2011: 37).
Dalam peradaban modern hampir semua diukur oleh rasionalitas, liyan
dipahami sebagai masyarakat yang terpinggirkan, tersisihkan serta tertindas.
Zaman modern sangat melekat dengan teknologi yang kian maju serta ilmu
pengetahuan yang berkembang pesat menjadikan sosok liyan dipahami
sebagai sosok yang terasingkan, tertindih, dan terabaikan.
Revolusi industry adalah revolusi sosial (Riyanto: 2011: 40). Dampak
yang ditimbulkan oleh revolusi industri dengan kemunculan pabrik, pasar,
masyarakat produsen-konsumen yang menjamur di semua lapisan
masyarakat, dengan adanya itu menjadikan masyarakat secara tidak
langsung mengkotak-kotakkan status sosial. Liyan dizaman ideologi ialah
33
mereka yang tersingkirkan, terasingkan di dalam kehidupan sehari-hari,
tertindih oleh kapitaliis dan tertindas oleh masyarakat kapitalis.
Dalam budaya patriaki Liyan ialah the second sex, mereka selalu
dinomor duakan oleh masyarakat, masyarakat menganggap bahwa
perempuan hanya bisa melakukan pekerjaan domestik dikarenakan adanya
argumen bahwa laki-laki itu bekerja diluar rumah sedangkan perempuan
hanya menjaga rumah dan merawat anak-anak, dan argumen tersebut
diturunkan secara turun temurun dan dipercayai oleh seluruh masyarakat.
Dalam budaya patriaki perempuan dalam posisi tersisihkan dikarenakan
mereka tidak diberi kesempatan untuk mengeksplor kemampuannya diluar
rumah, mereka ditempatkan hanya dirumah saja tanpa mengenal luasnya
dunia.
Keluarga patriarkis, laki-laki juga mengontrol daya kerja wanita secara
formal dan informal; adanya perlawanan dari wanita, memiliki konsekuensi-
konsekuensi ekonomi dan sosial bagi mereka sendiri dan anak-anak mereka
(ollenburger: 1996: 40). Laki-laki lebih dominan dalam mengatur semua
keperluan di dalam keluarga dan perempuan melakukan sesuatu harus
seizing laki-laki atau suami.
2.3 Teori Interseksionalitas Patricia Collins
Isu sentral bagi teori interseksionalitas adalah pengertian bahwa
perempuan mengalami penindasan dalam konfigurasi-konfigurasi yang
bervariasi dan dalam derajat intensitas yang bercariasi. Yang dimaksud variasi
ialah semua perempuan mengalami penindasan secara potensial berdasarkan
34
gender, namun demikian, perempuan ditindas secara berbeda oleh
perpotongan-perpotongan yang bervariasi dari susunan-susunan
ketidaksetaraan sosial lainnya. Ungkapan patricia Collins, ketertindasan
tersebut mencakup bukan hanya gender tetapi juga kelas, ras, lokasi global,
pilihan seksual, dan usia (Ritzer, 2012:822).
Variasi potongan-potongan demikian mengubah secara kualitatif
pengalaman sebagai perempuan, keberagaman perempuan harus
diperhitungkan di dalam menteorikan pengalaman-pengalaman perempuan.
Argument interseksionalitas ini ialah bahwa perpotongan itu sendirilah yang
menghasilkan suatu pengalaman khusus atas penindasan, dan orang tidak
dapat tiba pada suatu penjelasan yang memadai dengan menggunakan strategi
gender tambahan, plus ras, plus kelas, plus seksualitas (Ritzer, 2012:822).
Teori mengenai interseksionalitas pada intinya mengerti susunan-
susunanketiaksetaraan tersebut sebagai struktur-struktur hierarkis yang
didasarkan pada relasi-relasi kekuasaan yang tidak adil.
Perbedaan adalah suatu kebutuhan mutlak di dalam suatu ekonomi
yang mencari keuntungan yang memerlukan orang luar sebagai orang-orang
surplus. Ideology-ideologi tersebut dijadikan acuan untuk menilai orang lain
dan juga diri sendiri. Perbedaan yang ada di tengah masyarakat kita seperti
perbedaan ras, agama, dan apapun itu membuat pihak-pihak tidak
mengizinkan pihak dominan untuk mengendalikan produksi sosial (baik yang
dibayar maupun tidak dibayar), tetapi juga menjadi bagian subjektivitas
individual-penolakan perbedaan yang diinternalisasi yang dapat berfungsi
35
membuat orang-orang mengurangi nilai dirinya, menoloak keberadaan
kelompok lain dan menciptakan kriteria di dalam kelompok mereka sendiri
untuk menyisihkan, menghukum, atau meminggirkan kelompok yang lain.
sosial yang bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap
tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai
sesuatu yang penuh arti. Pemahaman secara subyektif sesuatu tindakan sangan
menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi sosial, baik bagi actor
yang memberikan arti terhadap tindakannya sendiri maupun bagi pihak lain
yang menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan beraksi atau
bertindak sesuai dengan apa yang di maksud aktor tersebut.