bab ii 2100036library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain... · 2013-01-16 · seseorang...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT WAJIBAH
A. Pengertian Wasiat Wajibah
Kata wasiat dalam, Al-Qur’an disebutkan 9 kali, dan kata lain yang
seakar, disebut 25 kali. Secara Bahasa “ Wasiat ” artinya berpesan, menetapkan,
memerintah seperti dalam Al-Qur’an (QS. Al-An’am 6 : 151, 152, 153, Al-Nisa’
4 : 131 ), kemudian mewajibkan (QS. Al-Ankabut 29 : 8, Luqman 31 : 14, Al-
Syura 42 : 13, Al-Ahqaf 46 : 15 ), dan mensyari’atkannya ( Al-Nisa’ 4 : 11)1
Wasiat berarti pesan, baik berupa harta maupun lainnya.
Sedangkan menurut syari’at, wasiat berarti pesan khusus yang dijalankan
setelah orang itu meninggal dunia.2 Menurut Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah
mengatakan bahwa wasiat adalah :
��� ������������ ���� � ��� �� ������������������� ���� �� !"�#������$ ��%�&�#'���(�
“ Pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa benda, utang, atau
manfaat agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal
dunia ”.
1�Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta : Raja Grafindo, 2002, �hlm. 183.
2 Abdul Ghofur, Fiqih Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 491. 3 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah,, Juz III, Beirut : Muassasah, 2002, hlm. 317.
20
Sementara menurut ‘Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Miras Al-Muqaran
mendefinisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang
lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela dan
tidak mengharapkan imbalan (Tabarru’) yang pelaksanaannnya di tangguhkan
setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat.4
Fuqaha yang bermadzhab Hanafiyah menta’rifkan wasiat ialah
memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela (Tabarru’) yang
pelaksanaannya di tangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang
memberikan , baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat. Fuqaha Malikiyah
menta’rifkan ialah suatu perikatan yang mengharuskan kepada si penerima wasiat
meng-hak-i 1/3 harta peninggalan si pewasiat, sepeninggalnya atau yang
mengharuskan penggantian hak 1/3 harta pewasiyat kepada penerima wasiat
sepeninggalnya.
Ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’iyah dan Hanabilah
menta’rifkannya dengan ta’rif yang hampir sama dengan ta’rif di atas. Sedang
kitab Undang-Undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946,5 menta’rifkannya
secara umum yang dapat mencakup seluruh bentuk-bentuk dan macam-macam
wasiat, yakni : mengalihkan hak memiliki harta peninggalan, yang ditangguhkan
kepada kematian seseorang.
4 ‘Abd Al-Rahim Al-Kisyka, Al-Miras Al- Muqaran, Baghdad, tp.1969. hlm. 103. 5 Ibid,
21
Ini berbeda dengan pengertian wasiat wajibah, wasiat wajibah sebagai
suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar
harta seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak melakukan wasiat secara
sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan kepada
orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu. 6
Pada dasarnya memberikan wasiat itu adalah atas tindakan ikhtiariyah.
Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam
keadaan bagaimanapun juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa
seseorang untuk memberikan wasiat.7 Menurut asal hukum, wasiat itu adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan.
Karenanya, tidak ada dalam syari’at Islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan
dengan jalan putusan hakim. 8
Namun demikian penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi,
mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putusan wajib wasiat,
yang terkenal dengan wasiat wajibah kepada orang-orang tertentu dalam keadaan
tertentu. Dikatakan wasiat wajibah (wajib) disebabkan karena dua hal :
1. Hilangnya unsur ikhtiyar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur
kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung
kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.
6 Ahmad Rafiq, op. cit, hlm.184. 7 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung : Al-Ma’arif, 1994, hlm. 62. 8 Hasby Ash-Siddieqhy, Fiqih Mawaris, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 300.
22
2. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal
penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. 9
Dari beberapa pengertian diatas tentunya sangat berbeda dengan
pengertian wasiat wajibah, oleh karenanya penulis akan menguraikan beberapa
pengertian wasiat wajibah diantaranya adalah :
a. Menurut Ibnu Hazm wasiat wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh
penguasa (dilaksanakan oleh hakim) untuk orang-orang tertentu yang tidak
diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara si mayit
meninggalkan harta, baginya berlaku kewajiban wasiat.10
b. Menurut Drs. Fatchur Rahman wasiat wajibah adalah wasiat yang
ditetapkan berdasarkan penguasa ataupun keputusan hakim sebagai aparat
negara yang mempunyai wewenang dapat memaksa seseorang memberi
wasiat.11
c. Menurut Dr. Ahmad Rofiq, MA, wasiat wajibah adalah tindakan yang
dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa , atau
memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang
diberikan kepada orang tertentu dalam keadan tertentu.12
9 Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 63. 10 Ibnu Hazm, Al-Muhalla Bi Al-Astar, Juz VIII, Beierut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, t.th, hlm.
353. 11 Fatchur Rahman, loc. cit. 12 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 462.
23
Sementara di kalangan ulama fikih dikenal dengan istilah al-Washiyyah
al-Wajibah (wasiat wajib) yaitu suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para
ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang
yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’ misalnya, berwasiat kepada ibu
atau ayah yang beragama non muslim, karena beda agama menjadi penghalang
bagi seseorang untuk menerima warisan. 13
Secara singkat, wasiat wajibah di negara-negara Islam di dunia sudah di
kemukakan. Di Indonesia Wasiat Wajibah di muat dalam pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam, yakni untuk anak angkat dan atau orang tua angkat, kalau dalam
Kompilasi Hukum Islam dikatakan dapat digantikan, artinya tidak dapat
memaksa, tidak imperatif.14
Dalam hukum BW (hukum positif) istilah wasiat wajibah disebut dengan
Platvervurlling. Secara garis besar antara pergantian kedudukan –atau-mawali-
dengan wasiat wajibah hampir sama. Perbedaannya, jika dalam wasiat wajibah
dibatasi penerimaannya, maka dalam penggantian kedudukan adalah
menggantikan hak sesuai dengan hak yang di terima orang tuanya.15
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah
adalah wasiat yang ditetapkan oleh penguasa (dilaksanakan oleh hakim) untuk
13 Dahlan Abdul Aziz , Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1930.
14 Cik Hasan Bisri, et. al., Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 93.
15 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 463.
24
orang-orang tertentu yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia,
sementara si mayit meninggalkan harta, baginya berlaku kewajiban wasiat.
Dengan demikian wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya
tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak yang
meninggal dunia. Wasiat wajibah ini tetap harus dilaksanakan baik diucapkan
atau tidak diucapkan. Baik dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh yang
meninggal dunia. Sehingga pelaksanaan wasiat wajibah tersebut diucapkan atau
dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan hukum yang
membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakannya.
B. Pengertian Non Muslim
Sebelum penulis memaparkan pendapat Ibnu Hazm tentang wajibnya
wasiat wajibah kepada kerabat non muslim, terlebih dahulu penulis jelaskan
mengenai, bagaimana kriteria kerabat non muslim menurut Ibnu Hazm yang
nantinya wajib diberi wasiat wajibah ?. Dengan mengetahui tentang siapa saja
kerabat non muslim yang wajib diberi wasiat wajibah akan mempermudah
kepada para pembaca untuk memahaminya. Selain itu untuk menghindari
terjadinya suatu kesalahfahaman dalam menentukan kerabat non muslim yang
wajib diberi wasiat wajibah.
25
Apabila non muslim dilihat dalam jenis kafir, menurut ulama fikih
membaginya kepada : Kafir Harbi, Kafir Kitabi, Kafir Muahid, Kafir Musta’min,
Kafir Zimmi dan Kafir Riddah.16
Yang dimaksud kerabat non muslim menurut Ibnu Hazm yaitu para
kerabat yang berbeda agama dengan pewasiat. Kerabat tersebut merupakan
kerabat yang tidak dapat mewarisi, karena terhijab atau salah satunya disebabkan
tidak beragama Islam (non muslim) sehingga wajib diberi wasiat. Yang
dimaksud kerabat menurut Ibnu Hazm adalah semua keturunan yang memiliki
hubungan nasab dengan ayah dan ibu sampai terus ke bawah. Mereka berada
pada garis keturunan yang sama dengan orang yang meninggal dunia, dalam garis
ibu atau ayah atau bahkan dalam garis ayah dan ibu secara bersamaan.17 Disini
yang dimaksudkan non muslim yang wajib diberi wasiat wajibah adalah non
muslim dari golongan Ahl Dzimmah.
Menurut Syari’ah non muslim juga dikatakan sebagai Ahl Dzimmah,
adalah orang-orang selain Islam yang tinggal di Darul Islam dan mematuhi
seluruh hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Darul Islam. Dan
mereka (non muslim) juga bebas melaksanakan berbagai aktivitas duniawi dan
keagamaan selama tidak mengganggu kemaslahatan umum yang ada di Darul
Islam. Sebagai jaminan keamanan bagi diri mereka diwajibkan membayar pajak,
16 Dahlan Abdul Aziz, op. cit., hlm. 875. 17 Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut : tp. t.th, hlm. 314.
26
yang jumlahnya ditentukan oleh pemerintah Darul Islam. Ahl Dzimmah ini juga
disebut dengan Kafir Dzimmi.18 Mereka dikatakan Dzimmi karena berada di
bawah perlindungan orang-orang Islam.
Bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang sahnya wasiat antara sesama
muslim, karena wasiat merupakan tali silaturrahmi, dan diberikan kepada kerabat
dekat atau bukan kerabat, atau bahkan berlainan negara. Di mana silaturrahmi
tersebut mempunyai kekuatan yang sangat kuat.
Begitu sebaliknya tidak adanya suatu perbedaan tentang wasiat orang
Islam kepada selain Islam (non muslim) yang dimaksud adalah dari golongan Ahl
Dzimmah atau Yahudi dan Nasrani (non muslim yang tinggal di Darul Islam dan
mematuhi seluruh perundang-undangan yang berlaku di Darul Islam tersebut.19
Menurut Shahibul Bakhru Zakhar sudah menjadi kesepakatan ijma’
bahwa wasiat kepada Ahl Dzimmah hukumnya sah. Yang disandarkan pada
firman Allah yang berbunyi :
��)�*�+,-./0��1�/��+23��+,-.+�45/6+74��+,*�1��/2+�3%���/8�+,-.94��/:�*�-;�9�*<�12+�/=>�� /21�?�@�4,-AB91��*C
���12+�/D/+ -;�)�4E /4FG�@�>�/H�+,/+B1��/H�+�-D/ );4:1��+,4�+�I61#1:�J�K����LMN�����O�
Artinya : “ Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
18 Dahlan Abdul Aziz, op. cit, hlm. 860. 19 ‘Abd Al-Rahim Al-Kisyka, op. cit. hlm. 129.
27
menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah : 8)20
Akan tetapi selain Kafir Dzimmi ada juga Kafir Harbi adalah kaum kafir
yang memusuhi Islam. Sehingga harus dibedakan dengan Kafir Dzimmi yaitu non
muslim yang mematuhi perundang-undangan Islam. Dalam hal wasiat terdapat
perbedaan bahwa tidak diperbolehkan orang Islam berwasiat kepada Kafir Harbi.
Ulama dari kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah, Hanabilah telah
membolehkan berwasiat untuk mereka yang tidak beragama Islam (non muslim)
dengan syarat yang diberi wasiat tidak memerangi umat Islam, jika tidak
demikian maka wasiatnya batal, tidak sah. Adapun dalil membolehkan berwasiat
untuk mereka yang tidak beragama Islam (non muslim) adalah dikiaskan kepada
hibah dan shadaqah.21. Sedangkan kepada kafir Harbi menurut Abu Hanifah dan
Abu Yusuf tidak sah diberi wasiat karena Kafir Harbi berbeda dengan Kafir
Dzimmi.
Menurut ‘Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Miras Al-Muqaran bahwa
Ahl Dzimmih merupakan golongan dari Yahudi dan Nasrani.22 Pendapat
Muhammad Abduh dan Rasyid Rida terhadap golongan Yahudi dan Nasrani
dapat di berlakukan dengan hukum Ahl Al-Kitab, khususnya dalah hal makanan
20 Depag Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : PT Kumudasmoro
Grafindo, 1994, hlm. 924. 21 ‘Abd Al-Rahim Al-Kisyka, op. cit., hlm. 130. 22 Ibid,
28
(sembelihan), perkawinan, hak-hak sipil, dan kewajiban mereka sebagai warga
negara dalam wilayah Islam. 23
Sedangkan menurut Ibnu Hazm, memahami term Ahl Al-Kitab mirip
dengan pemahaman ulama salaf, yang memasukkan kaum Majusi sebagai
kelompok Ahl Al-Kitab.24
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerabat non muslim yang
wajib diberi wasiat wajibah adalah para kerabat yang berbeda agama dengan
pewasiat. Kerabat tersebut merupakan kerabat yang tidak dapat mewarisi, karena
terhijab atau bukan ahli waris. Yang dimaksud kerabat Ibnu Hazm adalah semua
keturunan yang memiliki hubungan nasab dengan ayah dan ibu sampai terus ke
bawah. Mereka berada pada garis keturunan yang sama dengan orang yang
meninggal dunia, dalam garis ibu atau ayah atau bahkan dalam garis ayah dan ibu
secara bersamaan.
Disini non muslim yang dimaksudkan adalah Ahl Dzimmah yaitu dari
golongan Yahudi dan Nasrani. Dikatakan Ahl Dzimmah karena mereka mematuhi
peraturan perundang-undangan Islam, serta tidak memerangi orang Islam, selain
itu mereka berada di bawah perlindungan orang Islam. Sehingga menurut
syari’ah orang Islam harus berbuat adil kepada mereka (non muslim) dengan
23 Dahlan Abul Aziz, loc. cit. 24 Ibnu Hazm, Al- Muhalla, Juz VI, Beirut : Dar al-Fikr, t.th, hlm. 445.
29
memberikan haknya untuk dapat mewarisi kerabatnya yang beragama Islam.
Dalam hal mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah.
C. Dasar Hukum Wasiat Wajibah
Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat menetapkan wasiat wajibah atas
dasar hasil mengkompromikan pendapat-pendapat ulama salaf dan ulama khalaf
yakni :
1. Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat
menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha dan tabi’in
besar ahli fiqih dan ahli hadist. Antara lain Said Ibnu Musaiyab, Hasan Al-
Bishry, Thawus, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Ibnu Hazm.
2. Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang
tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi wasiat wajibah, bila si mati
tidak berwasiat, adalah diambil dari pendapat madzhab Ibnu Hazm yang
dinukil dari fuqaha tabi’in dan dari pendapat madzhab Imam Ahmad.
3. Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada
cucu-cucu dan pembatasan penerimaan kepada sebesar 1/3 peninggalan
adalah didasarkan pendapat Ibnu Hazm dan berdasarkan kaidah syari’ah :
��6���� P�#��&6���� �6�Q� ���� �H ������������R #5�� �&6�� S��� ������ �L�T�� 2��M��UK�
30
“ Pemegang kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang mubah. Karena ia (Ibnu Hazm) berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemaslahatan umum. Bila penguasa memerintahkan demikian, maka wajiblah ditaati. ”25
Sebagaimana dalam firman Allah telah disebutkan diantaranya adalah:
1. Dalam al-Quran
Surat al- Baqarah ayat : 180
-./M1E�1�*�+�-A+,�/*VH1W�1X16*�1W1%-.4,)�*��+�4$/H�)�1:�161Y1Z�+�[6)�1��/�\�*��/)��1�/�1%+�/21��)GQ)]/&6+�12�
/&)�*�+�46+�/̂�1W�_;��1�1��)�-�1M/;�+�12J�K��� 6̀;#������O
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kerabat, secara ma’ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa ”.26
Ibnu Hazm mengatakan bahwa wasiat itu hukumnya fardhu ‘ain bagi
setiap orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka.
Dalam ayat tersebut Tuhan mewajibkan kepada umat Islam untuk
mempusakakan harta peninggalannya kepada ahli warisnya dan mewajibkan
untuk mendahulukan pelaksanaan wasiat dan pembayaran hutang dari pada
mempusakakan harta peninggalannya.27
25�Fatchur Rahman, op. cit. hlm. 66.
26 Soenaryo, loc.cit., 27 Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 52.
31
2. Dalam Hadist Nabi
a. Dasar hukum wasiat wajibah dalam hadist Nabi yang dapat dijadikan
sebagai dasar hukum wasiat wajibah diantaranya adalah :
a��]�6N��2&�2��b8��!�2��� ����c�6U ��������@�����@�a�d0�a�]�� ,�d�� 2�� ����0�� ���eM���� R �#�� ��8� ����� f�g� ��� ,� �� h6�� cW� ��
����&� �MA�� �%��� �����CH� i� a�]�� ��6N�� 2&H ���� $ 6�� �������R �j� =�� ����� k��S����l%����CH�� �V�a�]�,����@�a�d0�Kmn
“ Aku menerima dari jalur Malik dari Nafi’ dari Umar berkata : Rosulullah Saw bersabda : Hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan , sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu ditulis pada awal kebijakannya. Ibnu Umar berkata tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengarkan hadist itu kecuali wasiat selalu berada disisku.”
Bermalam disini untuk perkiraan bukan sebagian batasan mutlak.
3. Salah satu yang dijadikan dasar hukum wasiat wajibah selain dari Al-Qur’an
dan Hadits adalah Kitab Undang-undang Hukum Wasiat Mesir N0: 71 Tahun
1946.
D. Rukun Dan Syarat Wasiat Wajibah
1. Rukun Dan Syarat Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya melalui
pembebanan oleh hakim,sehingga wasiat wajibah tersebut tidak menggunakan
28 Malik bin Anas, Al-Muwattha, Beirut : Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 500.
32
atau tidak memerlukan adanya rukun-rukun wasiat. Di mana pelaksanaannya
tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak yang
meninggal dunia. Wasiat wajibah ini tetap harus dilaksanakan baik di ucapkan
atau tidak, baik dikehendaki atau tidak dikehendaki atau tidak dikehendaki
oleh yang meninggal dunia. Sebagaimana wasiat-wasiat lainnya yang
pelaksanaannya harus memperhatikan beberapa unsur, diantaranya :
a. Mushi (Pemberi Wasiat).
b. Mushalah (Penerima Wasiat).
c. Mushabih (Barang yang Diwasiatkan).
d. Redaksi Ijab Dan Qabul / Lafadz (Shighat)
Meskipun wasiat wajibah tidak memerlukan adanya rukun-rukun
wasiat seperti wasiat-wasiat lainnya, akan tetapi wasiat wajibah ini harus
memenuhi dua syarat :
Pertama yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris, apabila dia
berhak menerima harta pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat
untuknya.
Maka jikalau seseorang meninggal dengan meninggalkan ibu, dua
anak perempuan, dua anak lelaki, dua anak lelaki kandung, maka tidak ada
wasiat untuk anak-anak dari anak lelaki karena mereka menerima 1/6
(seperenam) harta. Andaikata tidak ada dua anak lelai dari anak lelaki tidak
33
mendapat pusaka dan wajiblah untuknya wasiat wajibah dengan sejumlah
harta peninggalan, lalu masing-masingnya menerima 1/6(seperenam) dari
harta peningalan.
Kedua orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek bukan
memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan
dengan jalan yang lain seperti hibah upamanya.29
2. Pelaksanaan Dan Batasan-Batasan Wasiat Wajibah
Kitab Undang-Undang Wasiat Mesir dalam pasal 78, mewajibkan
pelaksanaan wasiat wajibah tersebut tanpa tergantung perizinan ahli waris,
kendatipun si mati tidak mewasiatkannya, setelah dipenuhi biaya perawatan
dan pelunasan hutang dengan wasiat wajibah tersebut didahulukan dari pada
wasiat-wasiat lainnya. Artinya apabila ada sisa setelah pelaksanaan wasiat
wajibah baru dilaksanakan wasiat-wasiat yang lain menurut urut-urutan yang
telah ditentukan oleh undang-undang wasiat, kemudian dibagi-bagikan kepada
ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing.30
29 Hasby ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 304-305. 30 Fatchur Rahman, op.cit., hlm. 65.
34
Mengenai batasan Wasiat Wajibah disandarkan kepada tafsiran hadis
Rosulullah SAW, dalam peristiwa Sa’ad bin Abi Waqas, sewaktu dikunjungi
Rosulullah pada waktu sakitnya timbul dialog sebagai berikut31 :
���a�]�����@�ko0�p �]��q�2&�%�d�2�����������@�����@�a�d0���.�����r�����sW�t���u�����,�d���i�����q�v%MgH�b5��2��iR �;8�������2��q�w�&�%]�uH
��a����V��!���l6:����b5���i���&H�CH�u�x6�C���i���a�]�y�z����{�{&�|%T:�8�����}�C�}�R �;8��a�;8�y�6D~��&�}��C�}a�]���}�{���}��#.����#.�� �{��
����������AM�������,�0=:����2���Z��������� Mx0��0=:��H�� !H�K(m��
Artinya :“ Bahwasanya Sa’ad Bin Abi Waqqash pulang, kemudian berkatalah ia kepada Rasulullah saw., “ Ya Rasulullah, sakitku telah demikian parah-sebagaimana engkau lihat-sedang aku memiliki harta, dan tidak ada yang bakal mewarisiku selain seorang anak perempuan saja. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku ? Maka berkatalah Rasulullah Saw, kepadanya “ Jangan ”. Maka Sa’ad beliau “ Bagaimana jika separuhnya ?” Rasulullah Saw berkata, “ Jangan ”. Kemudian Rasulullah Saw berkata pula, “ Sepertiga, dan sepertiga itu banyak, sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta .”
Hadits tersebut diatas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Wasiat Mesir N0 : 71 Tahun 1946, dalam pasal 76,77,78 yang menentukan
biaya penerimaan wasiat wajibah tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) harta
warisan .33
31 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Hukum
Perdata (BW), Jakarta : Sinar grafika, 2000, Cet. II. Hlm. 138. 32 Ahmad Ibnu Ali Ibnu Hajar, Fatkh Al-Bari, Juz III, tp : Dar Al-fikr, t.th, hlm. 164 33 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media Offset,
2001, hlm. 116.
35
Pada prinsipnya besarnya wasiat itu ialah sepertiga harta peninggalan
setelah diambil biaya-biaya perawatan dan pelunasan hutang-hutang si mati.
Apabila melebihi sepertiga harta warisan menurut kesepakatan seluruh
mazhab, membutuhkan izin dari ahli waris, jika semua mengizinkan wasiat
tersebut dapat berlaku dan sebaliknya apabila ahli waris tidak mengizinkan
maka batallah wasiat tersebut.34
3. Hal-hal Yang Membatalkan Wasiat
Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu
dalam pasal 197, Yang berbunyi sebagai berikut:
1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan
Hakim yang telah mempunyai hukum tetap dihukum karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat kepada pewasiat;
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan
surat wasiat dan pewasiat.
34 Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 153.
36
2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat
itu:
a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia
sebelum meninggalnya pewasiat ;
b. Mengetahui adanya wasiat tersebut tapi ia menolak untuk
menerimanya ;
c. Mengetahui wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau
menolak sampai meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.35
Apabila diperhatikan dari pasal tersebut dapat diperoleh kesan
bahwa ketentuan batalnya wasiat tersebut di analogikan kepada Mawani’
Al-Irs (penghalang dalam kewarisan) meskipun tidak seluruhnya. Namun
karena tujuannya jelas, yaitu demi terealisasinya tujuan wasiat itu maka
ketentuan pasal tersebut perlu disosialisasikan.36
E. Wasiat Wajibah Menurut Pendapat Para Ulama
Dalam menentukan hukum wasiat, kebanyakan ulama berpendapat bahwa
hukum wasiat adalah tidak wajib karena kewajiban wasiat tercantum dalam Al-
Quran telah dihapus (mansukh) oleh ayat kewarisan.
35 Departemen Agama R.I., Instruksi Presiden R.I Nomor I Tahun 1991Kompilasi Hukum
Islam, Jakarta : 2000, hlm. 90. 36 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 459.
37
Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa sejak munculnya ayat
tentang wasiat, berwasiat untuk kedua orang tua dan para kerabat terdekat adalah
kewajiban. Akan tetapi setelah turun ayat tentang kewarisan dengan sistem
pembagian yang pasti, maka kewajiban berwasiat tersebut menjadi mansukh yang
dan akhirnya hukum wasiat menjadi tidak wajib.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dipaparkan kembali tentang dasar
pokok disyari’atkannya wasiat. Yaitu ayat Al-Quran yang tercantum dalam surat
Al-Baqarah (2) : 180.
-./M1E�1�*�+�-A+,�/*VH1W� 1X16*�1W1%-.4,)�*��+�4$/H�)�1:�161Y1Z�+�[6)� 1��/�\�*��/)��1�/�1%+�/21���)GQ)]/&6+�12�
/&)�*�+�46+�/̂�1W�_;��1�1��)�-�\M/;�+�12J�K��� 6̀;#���K���O
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kerabat, secara ma’ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa ”. (Al-Baqarah : 180)37
Sebagaimana telah di uraikan di atas, bahwa dasar kewajiban wasiat
tersebut, menurut kebanyakan ulama telah dihapus oleh ayat-ayat kewarisan yang
dimaksud salah satunya tersebut dalam surat An-Nisa’ ayat 7, yang berbunyi :
������/�1%/�1��)�1Y161:��\N3��4E +�/T1!� /��1 3�/��1��*�94�&16]9�GQ)1�� /�1%/�1�)��1Y161:��\N3��4E +�/T1!� /a�1536/��
��[o+�46)�\����#+�/T1!�16-{*.�+�*��4�+�/��>�*]��\N3��*�+�4&16)]G�Q)1� J��� ����O�
37 Depag R. I, op. cit, hlm. 1112.
38
Artinya : ” Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, bagi orang wanita hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan ”.38
Dalam menafsirkan ayat yang dijadikan dasar pokok disyari’atkannya
wasiat sebagaimana tersebut di atas, kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan firman Allah yang berbunyi ( E M.�,A��� ) adalah (�� 68
,A���) yang artinya adalah diserahkan kepada kamu.39
Sedangkan firman Allah yang berbunyi ( �����e;M� menunjukkan bahwa
wasiat tersebut adalah tidak wajib. Hal ini beralasan seandainya hukum wasiat itu
wajib, maka perintah wasiat tersebut tentu ditujukan dengan kata-kata untuk
semua muslim, dan bukan dengan kata-kata untuk semua orang yang bertaqwa.
Oleh karena itu dalam ayat tersebut Allah hanya menyebutkan dengan kata-kata
untuk semua orang yang bertaqwa saja, maka hal yang demikian ini
menunjukkan bahwa hukum wasiat tersebut tidak wajib.40
Sementara itu Imam Ibnu Kastir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa
ayat 180 surat Al-Baqarah tersebut mengandung maksud adanya perintah
membuat wasiat kepada orang tua dan para kerabat. Hal ini hukumnya wajib
38 Ibid, hlm. 116. 39 Muhammad Ali As-Sayyis, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Beirut : t.th, hlm. 55. 40 Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Quran, Cet. I, Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1988, hlm. 104.
39
sebelum turun ayat tentang kewarisan (pembagian harta peninggalan), maka
hukum wasiat tersebut dihapus oleh ayat-ayat tentang kewarisan, dan sistem
kewarisan dengan pembagiannya yang pasti, menjadi ketentuan yang harus
diambil dan dipegangi oleh orang-orang yang berhak.41
Imam mazhab empat, golongan Zaidiyah dan juga golongan Imamiyah
berpendapat bahwa hukum wasiat tidaklah wajib bagi setiap orang yang
meninggalkan harta, sekalipun terhadap kedua orang tua para kerabat yang tidak
menerima warisan.42
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa menurut kebanyakan ulama, hukum
wasiat adalah tidak wajib, karena kewajiban berwasiat telah di hapus oleh sistem
kewarisan. Jika hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ tersebut dikaitkan
dengan kitab disyari’atkannya wasiat sebagaimana tersebut dalam surat Al-
Baqarah ayat 180 juga tentang ayat-ayat kewarisan yang salah satunya telah
disebutkan diatas, maka tidak wajib, khususnya untuk kerabat dekat. Akan tetapi
jika dikaitkan dengan sifat hukum, maka hukum wasiat bisa bermacam-macam.
Adakalanya hukum wasiat menjadi wajib apabila wasiat itu ditujukan untuk
membayar hutang atau mengembalikan barang titipan.43
41 Ismail Ibnu Kastir, Tafsir Al-Quran Al-Azim, Beirut : Al-Maktab Al-Ilmiyah, 1994, hlm.
195-196. 42 ‘Abd Al-Rahim Al-Kisyka, op. cit., hlm. 109. 43 Ibid,
40
Hukum wasiat menjadi sunnah apabila wasiat tersebut ditujukan kepada
kerabat yang tidak menerima warisan atau untuk membuat kebijakan secara
umum. Hukum wasiat menjadi mubah apabila wasiat tersebut di tujukan untuk
saudara dan para kerabat yang kaya. Dan adakalanya hukum wasiat menjadi
haram apabila wasiat ditujukan untuk kejelekan dan kemaksiatan.44
Wasiat wajibah adalah interpretasi atau bahkan pelaksanaan firman Allah
dari surat Al-Baqarah ayat 180-181 yang intinya dapat dituturkan sebagi berikut:
“ Bahwa orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sedangkan ia memiliki harta
peninggalan yang cukup banyak maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua
orang tuanya dan kerabat-kerabatnya. Dan sesungguhnya orang yang mengubah
isi wasiat tersebut akan menanggung akibatnya.45
Pada akhirnya sebagai tindak lanjut pendapat-pendapat tersebut di atas,
para fuqaha tidak membatasi tentang siapa-siapa yang memperoleh wasiat itu,
asalkan dengan syarat orang yang menerima wasiat tersebut mempunyai
kecakapan dalam memegang harta di samping dia bukan termasuk ahli waris.
44 Wahbah Zuhaily, Al-fiqh Islami Wa Adiillatuh,, Beirut : Dar Al-Fikr, 1989, hlm., 12-13. 45Amrullah Ahmad, et.al, Dimensi hukum Islam Di Indonesia Dalam Sistem Hukum Nasional
Mengenang 65 th Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. Xiii.