bab i pendahuluan - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/73908/2/bab_1.pdfmahasiswa trisakti tsb...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini didasari atas terjadinya praktik tindak kekerasan yang
berlangsung terus-menerus dan telah menjadi budaya. Kekerasan merupakan matai
rantai yang sulit untuk dihapuskan, apalagi bila dikaitkan dengan negara. Negara
merupakan pihak yang paling sering disebutkan melakukan tindakan kekerasan,
baik dilakukan oleh aparatusnya maupun non aparatus yang diketahui oleh negara
dan terkesan terjadi pembiaran. Fenomena sejumlah mahasiswa meninggal pada
saat mengikuti proses pendidikan dasar mahasiswa pecinta alam di lingkungan
perguruan tinggi merupakan bentuk kegagalan negara dalam menjalankan program
pendidikan.
Pada bulan januari 2017 telah meninggal tiga orang peserta pendidikan
dasar mapala Universitas Islam Indonesia (UII) sehingga sejumlah media mulai
menyoroti kasus yang berkaitan dengan mapala. Selain itu, pada bulan september
2017 seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Sentul,
Bogor juga meninggal pada saat mengikuti proses pendidikan dasar. Berita
meninggalnya peserta diksar mapala terbaru adalah seorang mahasiswa dari mapala
Mayapala Amikom.
Universitas Diponegoro juga pernah kehilangan mahasiswi pada saat
mengikuti pendidikan dasar Mahasiswa Pecinta alam (Wapeala) pada tahun 2014.
2
Berbeda dengan beberapa kasus yang mayoritas meninggal pada saat pendidikan
dasar di gunung, pada kasus Wapeala seorang mahasiswi meninggal pada saat
mengikuti pendidikan dasar arung jeram. Pada tahun 1987 Wapeala juga pernah
kehilangan seorang anggotanya saat mengikuti ekspedisi di papua karena
hipotermia1.
Terakhir kami harus melewati sungai setinggi dada dengan melawan arus
yang deras dan sangat dingin karena pencairan dari kristal es, Jalur ini
sesuai dengan pendakian kemarin, kecuali arus dan dan debet airnya lebih
besar. Ditepi sungai itulah almarhum meninggal dan saya tersunggkur
pingsan di pondok pemburu yang tingginya sekitar satu meter. Jarak saya
dan almarhum sekitar 25 meter. Mungkin karena medan yang berat itulah
penyebabnya. Setelah kami bisa berkumpul kembali di Ilaga, ada berita dari
Undip bahwa Rektor minta semua tim kembali ke Semarang. Besoknya
pesawat yang kami tunggu tiba, dengan membawa 4 pendaki dari Univ.
Trisakti Jakarta. setelah ngobrol sebentar dengan mereka (kebetulan 2
diantarnya teman di Speologi ). Mereka minta porter yang 12 orang itu
mereka gunakan. Kami kembali ke Nabire, Biak, Surabaya, Semarang.
Setiba di PKM ada barita dari temen-teman guru SD Ilaga bahwa keempat
Mahasiswa Trisakti tsb sudah tewas dihabisi oleh para porter tadi,
seandainya almarhum masih ada dan kami tetap naik menggunakan porter
tadi, kemungkinan kami semua. Itulah yang saya sebut pengorbanan yang
tidak bisa saya lupakan dan tidak terbalas.2
Pendidikan di perguruan tinggi secara formal merupakan kelanjutan
pendidikan menengah atas yang mempunyai perbedaan cukup mendasar. Perbedaan
proses pembelajaran ini sejak awal harus diperkenalkan kepada mahasiswa baru
yang memperlukan adaptasi terhadap lingkungan dan budaya yang ditempatinya.
Mahasiswa merupakan salah satu bagian dari sumber daya manusia Indonesia dan
sekaligus merupakan aset bangsa yang kelak akan menjadi generasi penerus dalam
1 Hipotermia adalah suatu kondisi dimana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan
mengatasi tekanan suhu dingin. 2 Catatan perjalanan Ekspedisi Ndugu-Ndugu 1987 Wapeala Undip ditulis oleh Burhan Ahmad
(Kaonak) W-192 Tj
3
pembangun bangsa. Di sisi lain, mahasiswa merupakan insan yang memiliki
berbagai dimensi yaitu sebagai bagian dari civitas akademika dan bagian dari
generasi muda yang terlatih sebagai pelaku sejarah yang ikut berperan dan
menentukan sejarah perkembangan bangsa Indonesia.
Sejarah organisasi pecinta alam yang ada di kampus di Indonesia dimulai
pada era tahun 1960-1970-an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa
dibatasi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
SK tersebut memutuskan :
Pertama : Menugaskan kepada rektor sebagai penganggung jawab tertinggi
dalam kampus untuk melaksanakan normalisasi kehidupan
kampus tersebut dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan
petunjuk yang telah digariskan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dalam pidato pengarahannya pada Rapat Kerja
Rektor Tanggal 14 dan 15 April 1978
Kedua : Yang dimaksudkan dengan normalisasi kehidupan kampus
adalah redifinisi dan penataan kembali kehidupan kampus
secara mendasar, fungsionil, dan bertahap.
Ketiga : Oleh karena keadaan di berbagai perguruan tinggi berbeda
beda, maka para rektor diberi kesempatan untuk mengadakan
persiapannya mulai tanggal 17 April 1978 sampai tanggal 14
Mei 1978
Keempat : Para rektor wajib member laporan tentang perkembangan
usaha Persiapan seperti tersebut pada pasal “ketiga” dan
pelaksanaan seperti tersebut pada pasal “pertama” keputusan ini
kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.3
Pecinta alam berasal dari kata cinta dan alam. Cinta mengandung arti
menyukai, menyayangi, dan mengagumi. Alam mengandung arti segala yang ada
di sekitar, baik berupa benda mati ataupun benda hidup sehingga dari kata cinta
3 Salinan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0156/U/1978 tentang “Normalisasi
Kehidupan Kampus”, 19 april 1978. Sumber : Arsip Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen
Dikti) Departemen Pendidikan Nasional RI.
4
menjadi pecinta yang menunjuk kepada subyek yaitu orang. Itu artinya setiap
bentuk kegiatan yang dilakukan oleh organisasi pecinta alam harus berlandaskan
kepada asas kebermanfaatan, bermanfaat untuk para anggotanya, dan bermanfaat
untuk masyarakat. Bukan hanya asal berkegiatan di alam bebas tanpa
memperhatikan tingkat keselamatan.
Gagasan awal pendirian Pecinta Alam kampus dikemukakan oleh Soe Hok
Gie4 pada 8 November 1964 ketika mahasiswa FSUI saat sedang beristirahat
setelah bekerja bakti di TMP Kalibata. Gagasan ini seperti yang dikemukakan Soe
Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pecinta alam yang didirikan oleh
beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak
Gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pecinta alamMandalawangi
itu keanggotaannya tidak hanya terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang
berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat.
Dalam tulisannya di Majalah Bara Eka yang terbit pada tanggal 13 Maret
1966, Soe Hok Gie mengatakan bahwa, “Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk
membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan
benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah
sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan
hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa
dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh barulah
4 Soe Hok Gie (lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember
1969 pada umur 26 tahun) adalah seorang aktivis Indonesia-Tionghoa yang menentang kediktatoran
berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
5
seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik.”5 Sekarang hampir di setiap
kampus baik negeri maupun swasta terdapat organisasi mahasiswa pecinta alam
(Mapala), tujuan pembentukannya pun beragam, mulai dari tujuan untuk
mengabdikan diri kepada negara, masyarakat, ataupun hanya untuk mewadahi hobi
dan minat.
Mahasiswa baru dipandang sebagai bahan baku (input) dalam proses
pendidikan diharapkan mempunyai kualifikasi yang baik dan bersifat homogen,
dalam arti tingkat kualitas antar mahasiswa baru yang diterima tidak jauh berbeda.
Oleh karena itu, diperlukan sistem seleksi masu perguruan tinggi agar
memperoleh kemampuan awal yang relatif sama. Sedangkan masukan
instrumental berupa dosen, pelatih, kurikulum, metode mengajar, dan sarana
prasana diperlukan guna menunjang proses pendidikan. Hasil akhir (output)
proses pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang diharapkan mempunyai
nilai tambah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan tinggi mengacu pada tridharma
perguruan tinggi. Fungsi perguruan tinggi adalah : melaksanakan pendidikan
tinggi, melakukan penelitian, melakukan pengabdian kepada masyarakat6.
Berdasarkan hal ini, perguruan tinggi di indonesia tidak hanya dituntut untuk
menciptakan insan yang menguasai ilmu pengetahuan, mereka juga harus
5 Soe Hok Gie. 1966. “Bara Eka” dalam Rudi Badil, Luki Sutrisno, dan Nessy Luntungan, (Eds).
Soe Hok Gie... Sekali Lagi – Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Jakarta: KPG bekerjasama
dengan ILUNI UI dan Kompas 6 Djojodibroto, R. Darmanto. 2004. tradisi kehidupan akademik. Yogyakarta: Galang Press. Hlm
19
6
melakukan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri dan
mempraktekannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Proses perekrutan untuk menjadi anggota mapala atau yang sering disebut
dengan Pendidkan Dasar (Diksar) juga semakin beragam. Ada yang menggunakan
sistem magang dan sistem pendidikan dasar sebagai peserta kegiatan. Inti dari
sebuah diksar adalah membentuk mental dan fisik yang kuat sesuai dengan azas
pecinta alam. Alam sebagai media utama diksar merupakan instrumen yang tidak
boleh hilang dari segala proses yang ada.
Dengan dasar menjadikan insan yang kuat secara fisik dan mental, timbul
kekerasan yang dilakukan oleh para senior. Kekerasan merupakan cerminan dari
tindakan agresi atau penyerangan kepada kebebasan atau martabat seseorang oleh
perorangan atau sekelompok orang.7 Kekerasan dapat juga diartikan sebagai
tindakan yang sewenang-wenang dan menyalahgunakan kewenangan secara tidak
absah. Kekerasan adalah tingkah laku agresif yang dipelajari secara langsung,
yang sadar atau tidak sadar telah hadir dalam pola relasi sosial seperti keluarga
sebagai unit paling kecil hingga kelompok-kelompok sosial yang lebih kompleks.
Bentuk kekerasan memiliki banyak ragam, meliputi kekerasan fisik, kekerasan
verbal, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi, kekerasan simbolik dan
penelantaran. Kekerasan dapat dilakukan oleh perseorangan maupun secara
berkelompok, secara serampangan dalam kondisi terdesak atau teroganisir.8
7 Alfiana Indah Muslimah dan Nurhalimah. 2012. Agresifitas Ditinjau dari Locus Of Control
Internal Pada Siswa SMK Negeri 1 Bekasi dan Siswa di SMK Patriot 1 Bekasi. Jurnal Soul, Vol. 5
No. 2 8 Ibid
7
Perilaku kekerasan atau agresi menurut Stephan dan Stephan9 (1985)
mengandung maksud menjadikan orang lain menderita dan adanya penolakan
secara hukum maupun norma terhadap perilaku tersebut. Faktor utama sebagai
predisposisi perilaku kekerasan pada seseorang adalah keadaan emosi dan
kognisinya. Keadaan emosi dipandang sebagai sebab utama dari agresi adalah
kemarahan. Sedangkan menurut Gurr10 (1970) perilaku kekerasan lebih ditekankan
pada political violence, yaitu semua kejadian yang unsur utamanya adalah ancaman
penggunaan kekuasaan. Berdasarkan pengertian ini maka kekerasan politik tidak
dilakukan oleh penguasa, tetapi oleh yang menentangnya. Padahal dalam
kenyataanya, penguasa juga melakukan banyak tindakan kekerasan terhadap rakyat
atau pengikutnya.
Tindak kekerasan sebagai proses, berlangsung pada tiga dimensi: negara,
struktur sosial, dan personal atau komunitas. Dalam masing-masing dimensi tindak
kekerasan ini dilakukan oleh aktor, medium, dan ruang lingkup yang berbeda. Pada
dimensi negara, kekerasan dilakukan oleh aparat negara dan bersifat komprehensif,
artinya bisa meliputi segala segi hidup manusia. Kekerasan itu juga bisa terjadi pada
tingkat struktur sosial, seperti misalnya ketika pelaku bisnis supermarket yang demi
mengejar akumulasi kapital secara cepat membuat banya pedagang kecil tergusur.
Kekerasan yang lebih banyak diperhatikan adalah kekerasan pada tingkat personal
atau komunitas. Wapeala merupakan sebuah organisasi yang turut serta melakukan
tindak praktik kekerasan pada lingkup proses pendidikan.
9 W.G. Stephan & Stephan, C.W., 1985. Two Social Psychologies An Integrative Approach. Illinois:
The Dorsey Press. 10 Gurr, T.R., 1970. Why Men Rebel. New York: Princeton University Press
8
Louis Pierre Althusser11 (2006) dalam “ideology and ideological state
aparatus” mengadopsi teori Marx, bahwa basis struktur adalah pondasi yang
diatasnya berdiri dua fakta, yaitu unsur super struktur politiko-legal (hukum dan
negara) dan ideologi (agama, etika, politik, dll). Althusser membicarakan ideologi
dengan memulai melalui perbincangan mengenai negara. Negara sebagai legal
formal yang menguasai berjalannya suatu wilayah politik memiliki kekuasaan
untuk meregulasi dan menindak setiap warga negara yang melanggar regulasi
tersebut.
Kekuasaan untuk meregulasi dan menindak diistalahkan Althusser sebagai
Repressive State Aparatus (RSA). Represif yang dimaksud adalah aparatus negara
yang menjalankan fungsinya dengan kekerasan, atau paling tidak, pada akhirnya
menggunakan kekerasan. Karena ada represi, misalnya represi administratif yang
mengambil bentuk – bentuk non fisik. RSA terdiri dari: pemerintahan, birokrasi,
angkatan bersenjata atau tentara, polisi, pengadilan, penjara, dsb.12
Selain RSA, Althusser mengajukan konsep Ideological State Aparatus
(ISA). ISA menjalankan fungsinya dengan ideologi. Institusi – institusi yang
termasuk dalam ISA diantaranya: keagamaan (gereja, masjid, vihara, pura, dsb),
pendidikan (SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, dsb), keluarga, hukum, politik,
komunikasi (pers), serikat buruh, budaya, kesustraan, seni, olah raga, dan
sebagainya. Perlu dicermati bahwa ideologi yang dibicarakan Althusser adalah
11 Louis Perre Althusser lahir di Algeria, 16 Oktober 1918 dan meninggal tanggal 22 Oktober 1990.
Akhir hidupnya sangat tragis, dia dituduh telah membunuh istrinya dengan cara dicekik, namun dia
terbatas dari penjara, dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa dalam kesendiriannya. Ideology and
Ideological State Apparatuses. 12 Leitch, Vincent B. (2001). The Norton Anthology of Theory and Criticism. New York: W.W.
Norton and Company
9
ideologi dalam kerangka Marxis, yaitu ideologi kelas penguasa, atau ideologi kelas
penindas, atau kapitalis. Ideologi bekerja dalam penyapaan individu-individu
sebagai subyek.13 Negara dipandang sebagai salah satu institusi yang paling aktif
dalam praktek ideologi. Menurutnya, tidak ada sebuah kekuasaan yang mampu
menguasai negara dalam jangka waktu yang panjang tanpa pada saat yang
bersamaan menghegemoni secara ideologis. Disinah ISA mulai melaksanakan
perannya. Seperti saat proses diksar mapala, para senior mendoktrin dan
mengambil peran dalam kekerasan yang dilakukan terhadap para calon anggota.
Dalam kajian Galtung14 (2003) tentang Teori Peradaban, apa yang
dilakukan oleh mahasiswa pecinta alamkhususnya Mahasiswa Pecinta
alam(Wapeala) Universitas Dipongeoro dapat dikategorikan sebagai segitiga
kekerasan, yakni: kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural.
Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event), kekerasan struktural adalah
sebuah proses naik turun, dan kekerasan kultural adalah sebuah invariant (tidak
berbeda), sesuatu yang permanen, ketiga kekerasan ini memasuki waktu yang
berbeda – beda.
Kekerasan langsung dilakukan saat proses pendidikan dasar dimana para
senior menggunakan kata-kata bahkan kontak langsung dengan tujuan represi.
Kekerasan struktural dilakukan dengan melakukan diskriminasi terhadap orang –
orang dengan label mahasiswa pencinta alam, bahkan orang tua turut serta melarang
13 Ibid 14 Galtung adalah intelektual Amerika Serikat yang mengkritik habis kebijakan Presiden George
Walker Bush Jr yang mengirimkan ratusan ribu tentara US Army ke negara-negara diTimur-Tengah.
Dia menulis buku tentang “Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan
Peradaban,” (2003), Terjemahan Asnawi dan Safrudin
10
anaknya mengikuti kegiatan pecinta alam karena identik dengan kekerasan.
Kekerasan kultural merupakan perspektif ke depan dengan melestarikan kekerasan
tersebut, cara yang digunakan adalah para senior membimbing pola berfikir
juniornya agar sesuai dengan kehendak atau kemauan yang telah diwariskan turun
temurun. Kekerasan disini terjadi apabila manusia telah dipengaruhi sedemikian
rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi
potensialnya.
Bentuk kekerasan yang lain adalah kekerasan verbal dengan menggunakan
kata-kata, kalimat, dan unsur bahasa lain yang disampaikan dengan cara-cara
tertentu untuk tujuan represi. Kasus kekerasan verbal yang terjadi di Mahasiswa
Pecinta alamdiindikasi telah menjadi tradisi yang berlangsung terus-menerus dalam
lingkungan kampus. Kekerasan verbal dianggap perlu karena dianggap perlu untuk
meningkatkan motivasi diri, memperkuat karakter, kolektivitas, kepemimpinan,
dan pencapaian.
Kekerasan dalam proses pendidikan dasar sudah menjadi sebuah kultur.
Kultur sebagai kebiasaan dan budaya yang dikembangkan orang untuk mengatasi
perubahan. Suatu kultur dimanifestasikan ke dalam tingkah laku yang dapat
diamati. Kultur tidak berada dalam fikiran seseorang, tetapi berada dalam tindakan
nyata. Tetapi tidak juga berarti bahwa semua tingkah laku orang yang ada dalam
organisasi merupakan kultur. Suatu kultur akan mewarnai cara bertindak
anggotanya pada aktivitas sehari – hari. Organisasi yang telah mempunyai norma
yang kuat akan mempengaruhi setiap tindakan anggotanya dan setiap anggotanya
sadar apa yang harus diperbuat ketika mereka berada di bidang pekerjaannya.
11
Perubahan kultur organisasi dalam perwujudannya dapat dilakukan melalui
elemen – elemen kultur, antara lain: kepahlawanan, upacara seremonial dan ritual,
dan jaringan komunikasi dengan pendahulu.15 Kepahlawanan yang merupakan
figur anggota menjadi teladan karena prestasi kerjanya, ide – ide inovatifnya,
kreativitasnya, dan kebiasaan yang menyukai bekerja keras. Upacara seremonial
dan ritual, yaitu pemberian penghargaan kepada anggota yang berprestasi pada
momen – momen tertentu yang dihadiri oleh semua anggota organisasi. Jaringan
komunikasi dengan pendahulu, yang dapat diwujudkan dalam berbagai aktivitas,
misalnya mengundang bekas pimpinan organisasi yang pernah berprestasi untuk
memberikan ceramah tentang berbagai usaha dan keberhasilan dalam usahanya
memajukan organisasi. Elemen kultur yang dikelola dengan baik akan
menghasilkan kultur organisasi yang sehat. Dalam organisasi pecinta alam Wapeala
kepahlawanan dan komunikasi dengan para pendahulu telah dilakukan dengan
cukup baik. Tetapi, muncul efek sosial dimana terdapat pihak – pihak yang merasa
didiskriminasi oleh organisasi. Disinilah peran negara harus lebih intensif untuk
mengakomodir pihak – pihak yang merasa didiskriminasi.
Calon anggota mapala yang sedang mengikuti proses pendidikan dapat
dikategorikan sebagai kaum yang tertindas. Paulo Frerire16 mengatakan bahwa
“pendidikan yang dialami oleh kaum – kaum tertindas selama ini tak
ubahnya seperti pendidikan dengan sistem bank. Dalam pendidikan sistem
bank, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya
terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan”17.
15 Swasto, Bambang. 2003. Pengembangan Sumberdaya Manusia “Pengaruhnya terhadap Kinerja
dan Imbalan”. Malang: Bayumedia 16 Paulo Freire (lahir di Recife, Brasil, 19 September 1921 – meninggal di São Paulo, Brasil, 2
Mei 1997 pada umur 75 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan Brasil dan
teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia 17 Paulo Frerire. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Hlm 52
12
Calon anggota hanya disuguhkan dengan apa yang harus dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan pada saat sedang mengikuti proses pendidikan dasar.
Selain itu, calon anggota diberikan materi – materi tanpa bisa memperbaharui
sistem yang telah ada. Sistem pendidikan telah ditentukan oleh para senior dan
panitia penerimaan anggota sehingga hal ini sangat membatasi ruang gerak para
calon anggota untuk berpikir kritis.
Proses pendidikan dasar yang telah diwariskan turun-temurun dan terkesan
esklusif menyebabkan pertentangan diantara senior Wapeala untuk membagikan
informasi keluar. Dengan adanya pertentangan ini, peneliti mengambil sikap untuk
tetap membagikan beberapa informasi yang diperlukan guna keperluan penelitian.
Proses untuk menyelesaikan pertentangan terkait penyebaran informasi keluar
dilakukan melalui dialog.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan studi kasus mengenai kekerasan yang terjadi di Mahasiswa
Pecinta alam (Wapeala), pertanyaan penelitian yaitu:
1. Bagaimana kekerasan di organisasi intra-kampus berhubungan dengan
relasi kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa?
2. Bagaimana perspektif pendidikan kritis dalam kekerasan di organisasi intra-
kampus ?
13
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini meliputi:
1. Menjelaskan dan menganalisis kekerasan yang terjadi di
organisasi intra-kampus dengan menggunakan relasi kekuasaan
dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa
2. Menjelaskan dan menganalisis perspektif pendidikan kritis dalam
kekerasan di organisasi intra-kampus
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menunjang dan memberikan
sumbangan pemikiran pada proses pendidikan dasar mahasiswa pencinta alam.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi setiap orang yang
mempunya ketertarikan pada proses pendidikan dasar, lebih khusus lagi pada
mereka yang mengkaji tentang bentuk kekerasan yang terjadi pada tataran
mahasiswa dan dapat digunakan sebagai pengayaan materi. Bagi peneliti sendiri
diharapkan akan menghadirkan sebuah inovasi baru bentuk pendidikan dasar yang
sesuai dengan aturan pemerintah.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman kepada
masyarakat terkait proses pendidikan dasar mahasiswa pencita alam khususnya
Wapeala. Bagi pemerintah diharapkan akan menjadi pertimbangan untuk
14
menciptakan sebuah kebijakan agar dapat mengurangi praktik kekerasan dalam
proses pendidikan dasar mahasiswa pencinta alam. Selain itu, penelitian ini dapat
menjadi sebuah acuan bagi mahasiswa pecinta alampada umumnya untuk
melaksanakan pendidikan dasar yang tidak melenceng jauh dari esensi pencinta
alam.
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Kekuasaan
Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kesempatan yang ada pada
seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauannya sendiri dalam
suatu tindakan sosial, meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat
dalam tindakan itu.18 Kesempatan seseorang atau sumber kekuasaan yang dimiliki
dapat dihubungkan dengan kehormatan, ekonomi, partai politik. Seperti yang dapat
dicontohkan adalah ketika seorang pejabat akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk melaksanakan kemauannya dibandingkan dengan seorang petani.
Kekuasaan tidak selamanya berjalan lancar, karena dalam masyarakat pasti
ada orang yang tidak setuju atau melakukan perlawanan, baik secara terbuka atau
terselubung, terhadap kekuasaan19. Diperlukan sebuah kemampuan untuk
mengatasi sebagian atau seluruh perlawanan dari pihak oposisi agar seseorang
dapat mempertahankan kekuasaan yang dimiliki. Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwasanya orang yang dikuasai merasa kehilangan kebebasan dan jati diri mereka.
18 M. M. Poloma. 1979. Contemporary Sociological Theory. New York: MacMillan Publishing,
Co. Hlm. 52 19 James C. Scot. 1990. Domination and the Arts of Resistance. Hinden Transcripts, New Haven
and London: Yale University Press. Hlm. Xii-xiii
15
Kekuasaan yang dimiliki seseorang dapat diterjemahkan kedalam bentuk
lain seperti sanki, imbalan, dan alat-alat untuk menghukum mereka yang
menghalangi dan memberikan fasilitas kepada mereka yang mengikuti
kemauannya. Sanksi, imbalan, dan alat-alat yang dimiliki oleh seorang penguasa
dapat bersifat fisik, materiil, atau simbolik20.
Menurut Etzioni, ada tiga jenis kekuasaan, yaitu sebagai berikut.21
1. Kekuasaan Utilitarian
Kekuasaan utilitarian akan muncul dari aset utilitarian apabila aset-aset ini
(pemilikan ekonomi, teknik administratif, tenaga kerja) digunakan oleh
mereka yang memilikinya, sehingga perlawanan itu dapat diatasi. Misal
dalam kasus penyuapan, berarti orang yang punya uang mempunyai
kekuasaan utilitarian
2. Kekuasaan Koersif
Kekerasan koersif muncul jika orang menggunakan aset berupa senjata,
tenaga manusia dengan kekerasan untuk mengubah orang lain, atau
menghukum mereka yang mengahalanginya.
3. Kekuasaan Persuasif
Kekuasaan persuasif muncul jika orang menggunakan aset berupa nilai,
perasaan, kepercayaan untuk mengubah orang lain. Perlawanan akan lebih
mudah diatasi dan diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan. Misalnya
dengan cara memuji seseorang.
20 Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 163 21 Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 164
16
Kekuasaan dalam proses pendidikan dasar mahasiwa pecinta alam dapat
digolongkan menjadi kekuasaan koersif dan kekuasaan persuasif. Kekuasaan yang
dimiliki senior bergantung pada bagaimana perilaku mereka terhadap junior selama
proses pendidikan dasar karena proses pendidikan dasar tidak hanya terjadi dalam
satu malam.
Sedangkan Max Weber membedakan kekuasan berdasarkan otoritas yang
menekankan pada unsur legitimasi. Otoritas adalah kemungkinan dimana perintah-
perintah tertentu (atau semua perintah yang datang dari sumber-sumber tertentu
akan ditaati oleh sekelompok orang tertentu)22. Dapat disimpulkan bahwa yang
tampak hanyalah ketaatan dan kepatuhan tanpa adanya perlawaan terhadap
golongan penguasa. Ada tiga macam otoritas, yaitu sebagai berikut.
1. Otoritas Tradisional
Otoritas tradisonal didasarkan pada suatu kepercayaan yang sudah mapan
akan kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu dan legitimasi status mereka
yang memiliki serta menggunakan otoritas tersebut.
2. Otoritas Legal-Rasional
Otoritas legal-rasional didasarkan pada komitmen atau seperangkat
peraturan yang diungkapkan secara resmi dan diatur secara impersonal.
Aturan ini telah disepakati oleh seluruh pihak yang bersangkutan.
3. Otoritas Karismatik
Otoritas karismatik didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki oleh
seseorang pemimpin sebagai seorang pribadi. Dengan mutu yang luar biasa
22 Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 164
17
ini dia menjadi orang yang istimewa dan diperlakukan sebagai orang yang
dianugerahi dengan kekuasaan atau mutu yang bersifat super natural, luar
biasa, dan sangat istimewa.
Otoritas tradisional dan otoritas karismatik lebih bersifat personal dan dapat
dimiliki seseorang seiring dengan perjalanan roh semesta yang telah mereka lalui,
sedangkan otoritas legal-rasional bersifat impersonal karena didasarkan pada posisi
atau status yang dimiliki seseorang. Dalam proses pendidikan dasar Wapeala,
senior telah memiliki otoritas legal-rasional terhadap junior mereka, namun kuasa
yang dimiliki oleh senior dapat berkurang maupun hilang seutuhnya ketika junior
telah meninggalkan proses pendidikan dasar dikarenakan mereka bukan lagi peserta
pendidikan dasar Wapeala. Kekuasaan yang dimiliki oleh senior juga dapat
berkurang ketika tindakan yang dilakukan tidak mencerminkan ciri-ciri sebagai
orang yang berpengetahuan maupun memiliki etika, dengan dasar ini maka otoritas
karismatik dari senior akan berkurang bahkan hilang yang menyebabkan kuasa
akan seorang junior menjadi tidak ada atau nihil sehingga junior dapat melakukan
perlawanan terhadap senior mereka.
Pada umumnya, kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh seseorang
atau kelompok tertentu dibagi menjadi 2 macam, yakni kekuasaan formal dan
kekuasaan non formal. Kekuasaan formal merupakan kekuasaan resmi yang
diberikan kepada seorang pemimpin untuk mengambil keputusan maupun
kebijakan yang nantinya akan dipertanggung jawabkan kepada bos atau atasan.
Sedangkan kekuasaan non formal merupakan kekuasaan yang tidak berasal dari
18
legalitas, melainkan dari suatu legitimasi terhadap pemimpin. Kekuasaan non
formal dapat berasal dari karisma, ekonomi, atau kekuatan fisik.
Seperti yang dijelaskan diatas, kekuasaan yang dimiliki oleh senior Wapeala
dapat digolongkan sebagai kekuasaan non formal. Tidak terdapat legalitas
bahwasanya seorang senior dapat menjadi seorang pemimpin atau penguasa atas
junior mereka. Dilain pihak, senior mendapatkan kekuasaan dikarenakan mereka
merupakan orang yang membuat sistem pendidikan dasar bagi calon anggota.
Kekuasaan untuk membuat sistem pendidikan dasar tidak tertulis dalam sebuah
aturan, hal ini menjadikan senior harus berfokus pada sumber kekuasaan non formal
guna mendapatkan kekuasaan utuh atas junior mereka. Dalam hal pendidikan dasar,
para calon anggota memiliki kesempatan untuk turut serta dalam menentukan
model pendidikan seperti apa yang paling cocok dan dibutuhkan, akan tetapi sedikit
sekali junior yang telah mengerti bagaimana sistem pendidikan dalam organisasi
pecinta alamsehingga kesempatan untuk berdialektika dengan senior guna
menentukan model pendidikan dasar hampir dibilang nol.
Plato adalah murid setia socrates, pemikirannya sangat banyak dipengaruhi
oleh ajaran socrates. Melalui Plato, ajaran Socrates dikembangkan dan
diperkenalkan di Yunani. Salah satu pemikirannya adalah berkaitan dengan negara
dan kekuasaan. Dalam pandangan Plato, negara mengekspresikan nilai – nilai moral
dan etika, karena pada dasarnya negara dibentuk untuk mendidik warganya dengan
nilai – nilai moral yang rasional. Menurutnya, negara ideal menganut prinsip –
prinsip untuk mementingkan kebajikan (virtue). Kebajikan menurutnya adalah
pengetahuan, apapun yang dilakukan atas nama negara haruslah dimaksudkan
19
untuk mencapai kebajikan itu. Atas dasar itulah Plato melihat pentingnya lembaha
pendidikan bagi kehidupan kenegaraan, tidak ada cara lain yang paling efektif
mendidik warga negara untuk menguasai ilmu pengetahuan, kecuali dengan
membangun lembaga – lembaga pendidikan itu.23 Perguruan tinggi sebagai bentuk
dari penjelmaan dari tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa memiliki kekuasaan untuk mengatur dan membentuk penerus bangsa sesuai
dengan kebutuhan negara. Akan tetapi, dalam praktiknya, banyak terjadi
penyimpangan proses pendidikan yang tidak sesuai dengan tujuan awal negara.
Prinsip negara ideal sebagai sebuah kebajikan, maka dengan sendirinya
kekuasaan yang ada pada negara harus berorientasi pada kebajikan. Oleh karena
itu, orang – orang yang memegang kekuasaan haruslah orang – orang bijak. Mereka
yang berhak menjadi penguasa hanyalah mereka yang mengerti sepenuhnya prinsip
kebajikan. Para senior di Wapeala merasa bahwasanya mereka adalah orang yang
memiliki pengetahuan dan kebajikan sehingga wewenang dan kekuasaan berada di
tangan senior sehingga seluruh proses pendidikan dasar diatur oleh subjektifitas
senior.
Plato menyebutkan negarawan seperti seorang raja – filosof (The
Philoshoper King). Maksud Raja – filosof adalah mereka yang memahami berbagai
gejala penyakit masyarakat, mendeteksinya sejak dini, mampu melakukan diagnosa
dan mencari cara bagaimana bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Dengan
demikian, mereka yang bisa menjadi penguasa adalah orang – orang bijak yang
23 Ahmad Suhelmi. 2001. Pemikiran Politik Barat. Hlm. 38
20
memiliki banyak pengetahuan tentang masyarakat, orang – orang biasa yang tidak
memiliki pengetahuan tidak layak untuk mendapatkan kekuasaan.24
Konsep negara dan kekuasaan yang disampaikan Plato merupakan sebuah
konsep negara yang seharusnya atau sebagai konsep yang ideal. Plato menempatkan
negara dan kekuasaan sebagai penjaga moral dan etika masyarakat, karena lembaga
negara memiliki kewajiban mendidik masyarakat. Sementara Aristoteles
menempatkan negara dan kekuasaan sebagai lembaga yang dibentuk untuk
kepentingan kesejahteraan bersama. Konsekuensi logis dari pemikiran tersebut,
siapapun yang mendapatkan kekuasaan dan duduk di lembaga negara adalah orang
– orang yang bijak, orang pilihan yang memiliki pengetahuanm tidak
mengutamakan kepentingan pribadi, tapi lebih mengutamakan kepentingan
bersama. Dalam terminologi ini, maka penguasa tidak akan bertindak sewenang –
wenang kepada warga negara, karena penguasa adalah orang soleh yang taat pada
nilai – nilai moral. Dengan demikian, baik pemikiran Plato maupun Aristoteles
tidak memberi peluang bagi negara untuk melakukan tindakan kekerasan pada
warga negaranya. Meski dalam praktek sangatlah sulit untuk mendapatkan orang
yang sholeh dan bijak untuk memimpin negara.
Pemikiran plato dan aristoteles tidak membenarkan praktik tindak
kekerasan oleh kelas penguasa. Penguasa dalam organisasi pecinta alam Wapeala
terdiri dari pengurus harian dan dewan permusyawaratan. Mereka dianggap sebagai
orang sholeh dan bijak yang dirasa mampu untuk mengatur organisasi. Dalam
prakteknya, pengurus harian dan dewan permusyawaratan merupakan peserta didik
24 Ahmad Suhelmi. 2001. Pemikiran Politik Barat. Hlm. 38
21
dari universitas dengan status mahasiswa sehingga sering terjadi kesalahan dalam
pengambilan keputusan dalam sistem pendidikan dasar.
1.5.2 Kekerasan
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang
terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive)
atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain25.
Kekerasan terbuka merupakan kekerasan yang dapat dilihat oleh indra manusia,
seperti perkelahian; pemukulan; penganiayaan, dan sebagainya. Kekerasan tertutup
merupakan kekerasan yang sifatnya tersembunyi atau tidak dilakukan secara
langsung, seperti perilaku mengancam. Kekerasan agresif merupakan kekerasan
yang dilakukan tidak untuk perlindungan, melainkan untuk mendapatkan sesuatu
seperti penjabalan. Kekerasan defensif merupakan kekerasan yang dilakukan
sebagai tindakan perlindungan diri terhadap serangan dari pihak lain. Baik
kekerasan agresif maupun kekerasan defensif sama-sama dapat bersifat terbuka
atau tertutup, tergantung dari bentuk kekerasan yang dilakukan.
Perilaku mengancam memiliki ciri mengkomunikasikan pada orang lain
suatu maksud untuk menggunakan kekerasan terbuka bila diperlukan. Orang yang
mengancam sesungguhnya tidak memiliki maksud untuk melakukan tindak
kekerasan. Orang yang diancam hanya mempercayai kebenaran ancaman dan
kemampuan pencancam untuk mewujudkan ancamannya. Dengan mencancam, ada
sedikit orang yang bisa mengontrol orang lain. Ancaman dianggap sebagai bentuk
25 Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 11
22
kekerasan yang merupakan unsur penting kekuatan (power), kemampuan intik
mewujudkan keinginan seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang
berlawanan26. Sebuah ancaman akan menjadi efektif ketika seseorang
mendemonstrasikan keinginan untuk mewujudkan ancaman yang telah dikatakan
sebelumnya. Dalam kasus ancaman yang dilakukan oleh senior di Wapeala, mereka
biasa melakukan tindakan ini dengan cara menunjukan kemampuan fisik dan
pengetahuan yang mereka miliki. Senior sering menantang junior untuk adu
kekuatan fisik seperti berlari, berenang, push up, pull up, dan lain-lain. Selain itu,
pengetauan akan dasar-dasar berkegiatan di alam bebas sering digunakan untuk
memotivasi junior agar mereka tidak melakukan pemberontakan dan melawan para
senior.
Bentuk kekerasan yang lain adalah kekerasan verbal dengan menggunakan
kata-kata, kalimat, dan unsur bahasa lain yang disampaikan dengan cara-cara
tertentu untuk tujuan represi. Bagian utama dari kekersana verbal adalah kekerasan
terhadap persaan. Kekerasan verbal menggunakan kata – kata kasar, tanpa
menyentuh fisiknya. Kata – kata yang memfitnah, kata – kata yang mengancam,
menakutkan, menghina atau membesar – besarkan kesalah orang lain merupakan
kekerasan verbal.27
Kasus kekerasan verbal yang terjadi di Mahasiswa Pecinta alamdiindikasi
telah menjadi tradisi yang berlangsung terus-menerus dalam lingkungan kampus.
26 Max Weber 1958 dalam Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Hlm. 11 27 Bambang Sutikno. The Power of 4Q for HR and Company Development. 2010. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. Hal 320
23
Kekerasan verbal dianggap perlu karena dianggap perlu untuk meningkatkan
motivasi diri, memperkuat karakter, kolektivitas, kepemimpinan, dan pencapaian.
Bahasa umum yang kita gunakan untuk membahas kekerasan sesungguhnya
berkaitan dengan gagasan dasar kita tentang hubungan dominasi yang legitimate
dan tidak legitimate28. Perilaku yang sama didefinisikan berbeda tergantung pelaku
tersebut adalah seorang aparatus negara atau non aparatus negara. Ketika seorang
aparatus negara membunuh seseorang, hal ini didasarkan pada beberapa aspek dan
pertimbangan rasional dari sebuah tujuan yang ingin dicapai, seperti membungkam
dan menghilangan musuh negara. Hal ini sangat berbeda ketika seorang non
aparatus negara membunuh seseorang, mereka dianggap sebagai kriminal oleh
media massa, oleh negara, bahkan oleh khalayak umum. Perbedaan simbolik ini
dapat terjadi karena terdapat peran kekuatan negara yang secara tersirat dianggap
legitimate dan rasional. Akan tetapi, beberapa teoritikus memiliki anggapan yang
berbeda-beda terhadap penggunakan kekuatan dan ancaman secara resmi dianggap
sebagai praktik tindak kekerasan, sebagaimana halnya dengan kekerasan ilegal
yang lain seperti perampokan bersenjata.
Dari berbagai teori yang muncul terkait kekerasan, muncul pertanyaan
penting bagi kita semua terkait makna kekerasan. Istilah apa yang digunakan oleh
berbagai kelompok masyarakat kita untuk mengacu pada sebuah fenomena yang
kita sebut sebagai praktik tindak kekerasan? Apa makna istilah kekerasan bagi
kelompok ini? mengapa mereka menggunakan istilah ini? bagaimana mereka
28 Harvey Greisman dalam Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Hlm. 12
24
menggunakan istilah ini? apa pengaruhnya bagi mereka ? Walter miller menjawab
istilah kekerasan sebagai berikut:
Istilah kekerasan memiliki harga yang tinggi. Seperti banyak istilah yang
mengandung makna kehinaan atau kekejian yang sangat kuat, istilah kekerasan
diberlakukan dengan sedikit diskriminasi pada berbagai hal yang tidak disetujui
secara umum. Termasuk di dalamnya adalah fenomena seperti iklan TV, tinju,
music rock’n roll dan tindak-tanduk pelaku, detektif swasta fiksi dan seni modern.
Ruang lingkup istilah ini, bila digunakan dalam bentuk seperti di atas, menjadi
demikian luas sehingga mengaburkan maknanya.29
Kekuasaan untuk meregulasi dan menindak diistalahkan Althusser sebagai
Repressive State Aparatus (RSA). Represif yang dimaksud adalah aparatus negara
yang menjalankan fungsinya dengan kekerasan, atau paling tidak, pada akhirnya
menggunakan kekerasan. Karena ada represi, misalnya represi administratif yang
mengambil bentuk – bentuk non fisik. RSA terdiri dari: pemerintahan, birokrasi,
angkatan bersenjata atau tentara, polisi, pengadilan, penjara, dsb.
Selain RSA, Althusser mengajukan konsep Ideological State Aparatus
(ISA). ISA menjalankan fungsinya dengan ideologi. Institusi – institusi yang
termasuk dalam ISA diantaranya: keagamaan (gereja, masjid, vihara, pura, dsb),
pendidikan (SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, dsb), keluarga, hukum, politik,
komunikasi (pers), serikat buruh, budaya, kesustraan, seni, olah raga, dan
sebagainya. Perlu dicermati bahwa ideologi yang dibicarakan Althusser adalah
29 Walter Miller dalam Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hlm. 13
25
ideologi dalam kerangka Marxis, yaitu ideologi kelas penguasa, atau ideologi kelas
penindas, atau kapitalis. Ideologi bekerja dalam penyapaan individu-individu
sebagai subyek. Negara dipandang sebagai salah satu institusi yang paling aktif
dalam praktek ideologi. Menurutnya, tidak ada sebuah kekuasaan yang mampu
menguasai negara dalam jangka waktu yang panjang tanpa pada saat yang
bersamaan menghegemoni secara ideologis. Disinah ISA mulai melaksanakan
perannya. Seperti saat proses diksar mapala, para senior mendoktrin dan
mengambil peran dalam kekerasan yang dilakukan terhadap para calon anggota.
Kekerasan merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik
ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan
pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau
sekelompok orang.30 Seperti yang disebutkan Gandhi31, Akar Kekerasan: Kekayaan
tanpa bekerja, Kesenangan tanpa hati nurani, Pengetahuan tanpa karakter,
Perdagangan tanpa moralitas, Ilmu tanpa kemanusiaan, Ibadah tanpa pengorbanan,
Politik tanpa prinsip.32
Perilaku kekerasan atau agresi menurut Stephan & Stephan mengandung
maksud menjadikan orang lain menderita dan adanya penolakan secara hukum
maupun norma terhadap perilaku tersebut. Faktor utama sebagai predisposisi
perilaku kekerasan pada seseorang adalah keadaan emosi dan kognisinya. Menurut
30 Merriam-Webster Dictionary Retrieved February 8, 2010 31 Mohandas Karamchand Gandhi lahir di Porbandar, Gujarat, India 2 Oktober 1869 – meninggal
di New Delhi, India, 30 Januari 1948 adalah seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India.
Gandhi adalah salah seorang yang paling penting yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan India.
Ia adalah aktivis yang tidak menggunakan kekerasan, mengusung gerakan kemerdekaan melalui
aksi demonstrasi damai. 32 Nelson Mandela, In his own words, Little, Brown and Co., (2003),
26
Stephan & Stephan keadaan emosi yang dipandang sebagai sebab utama dari agresi
adalah kemarahan. Sedangkan menurut Gurr perilaku kekerasan lebih ditekankan
pada political violence yaitu semua kejadian yang unsur utamanya adalah ancaman
penggunaan kekuasaan. Berdasarkan pengertian ini maka kekerasan politik tidak
dilakukan oleh penguasa tetapi oleh yang menentangnya. Padahal dalam
kenyataannya, penguasa juga melakukan banyak tindak kekerasan terhadap rakyat
atau pengikutnya.
Pengertian yang lebih luas diajukan oleh Galtung yang mendefinisikan
kekerasan sebagai any avoidable impediment to self-realization. Jadi, kekerasan
adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk
mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Namun, Galtung menambahkan
bahwa penghalang itu adalah sesuatu yang dapat dihindarkan. Artinya, kekerasan
dapat dihindarkan kalau penghalang itu disingkirkan. Dalam pendidikan dasar
mahasiswa pencinta alam, penghalang yang dimaksud oleh galtung sangat-sangat
bisa disingkirkan dari proses pendidikan yang berlangsung.
Dalam kajian Galtung33 (2003) tentang Teori Peradaban, apa yang
dilakukan oleh mahasiswa pecinta alamkhususnya Mahasiswa Pecinta
alam(Wapeala) Universitas Dipongeoro dapat dikategorikan sebagai segitiga
kekerasan, yakni: kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan
kultural/budaya. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event), kekerasan
struktural adalah sebuah proses naik turun, dan kekerasan kultural adalah sebuah
33 Galtung adalah intelektual Amerika Serikat yang mengkritik habis kebijakan Presiden George
Walker Bush Jr yang mengirimkan ratusan ribu tentara US Army ke negara-negara diTimur-Tengah.
Dia menulis buku tentang “Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan
Peradaban,” (2003), Terjemahan Asnawi dan Safrudin
27
invariant (tidak berbeda), sesuatu yang permanen, ketiga kekerasan ini memasuki
waktu yang berbeda – beda.
Kekerasan langsung dilakukan saat proses pendidikan dasar dimana para
senior menggunakan kata-kata bahkan kontak langsung dengan tujuan represi.
Kekerasan struktural terjadi melalui sistem hirarkis antara senior dan junior dimana
junior merupakan sekelompok orang maupun individu yang dapat dikuasai oleh
senior. Kekerasan kultural merupakan perspektif ke depan dengan melestarikan
kekerasan tersebut, cara yang digunakan adalah para senior membimbing pola
berfikir juniornya agar sesuai dengan kehendak atau kemauan yang telah
diwariskan turun temurun, selain itu kekerasan kultural dilakukan dengan
melakukan diskriminasi terhadap orang – orang dengan label mahasiswa pencinta
alam, bahkan orang tua turut serta melarang anaknya mengikuti kegiatan pecinta
alamkarena identik dengan kekerasan Kekerasan disini terjadi apabila manusia
telah dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya
berada dibawah realisasi potensialnya.
Johan galtung menawarkan sebuah konsep kosmologi untuk mempelajari
akar dari kekerasan. Asumsi-asumsi pada level mendalam yang berada dibawah
sadar kolektif sangat susah untuk digali dan dimengerti. Pada level inilah budaya
okidental/barat menunjukan banyak sekali sifat kekerasan yang mana seluruh
budaya dimulai dengan kekerasan34. Budaya kekerasan di organisasi mahasiswa
pecinta alamtelah menjadi sebuah budaya yang diwariskan secara turun temurun
sehingga tanpa sadar telah merasuk kedalam alam bawah sadar mereka dan menjadi
34 Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 197
28
sesuatu yang lazim untuk dilakukan. Disaat sedang melakukan proses pendidikan
dasar, para calon anggota secara sadar telah menjadi korban dari kekerasan oleh
senior mereka. Hal inilah sumber dari segala kekerasan yang terjadi dikarenakan
terjadi pembiasaan atau habitus35 sejak awal akan masuk ke dalam organisasi.
Perlahan namun pasti, calon anggota menjadi terbiasa dengan kekerasan dan
mengganggap bahwasanya kekerasan itu merupakan hal yang wajar dalam proses
pendidikan mahasiswa pencinta alam.
Ada keterpilihan (choseness, ada gradien centerperiphery yang kuat, ada
urgensi, sindrom apocalypse now! Yang menghalangi pembentukan watak
kesabaran dan menghalangi munculnya perdamaian struktural dan perdamaian
langsung.36 Ada sikap arogan terhadap alam yang mengahalangi unity-life. Seluruh
budaya yang ada dapat berubah menjadi akar kekerasan yang diekpresikan menjadi
sebuah manifes dan kemudian dipakai untuk membenarkan praktik tindak
kekerasan yang sebenarnya tidak bisa dibenarkan.
Johan Galtung mengajukan pertanyaan tentang kekerasan berkaitan dengan
enam dimensi penting kekerasan dan akibatnya pada manusia, yaitu:
1. Kekerasan fisik dan psikologis. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia
disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan
kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan untuk meredusir
kemampuan mental atau otak.
35 Habitus diartikan sebagai bentuk badan atau perawakan. Akan tetapi, dalam konteks ilmu sosial
habitus diartikan dengan kebiasaan yang sering diungkapkan dengan habitual yakni penampilan
diri yang tampak; tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh 36 Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 197
29
2. Pengaruh positif dan negatif. Sistem orientasi imbalan yang sebenarnya
terdapat ‘pengendalian’, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung
manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.
3. Ada obyek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan
fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi
tindakan manusia.
4. Ada subyek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada
pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak
langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu
(strukturnya jelek) dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak
seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama.
5. Disengaja atau tidak. Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan,
pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk
melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak
disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
6. Yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak, nyata, baik yang
personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung.
Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak
kelihatan, tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan
terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi
aktual dapat menurun dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang
struktural terjadi jika suatu struktur egaliter dapat dengan mudah diubah
30
menjadi feodal, atau evolusi hasil dukungan militer yang hirarkis dapat
berubah lagi menjadi struktur hirarkis setelah tantangan utama terlewati.37
Galtung juga membedakan antara kekerasan personal dengan struktural.
Kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang
hebat, yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan stuktural,
sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Dalam
masyarakat statis kekerasan personal akan diperhatikan, sementara kekerasan
struktural dianggap wajar. Namun dalam masyarakat yang dinamis, kekerasan
personal bisa dilihat sebagai hal yang berbahaya dan salah, sementara kekerasan
struktural semakin nyata menampilkan diri.
Mekanisme kekerasan struktural dalam bentuk enam dimensi yang
mendukung pembagian tidak egaliter meliputi urutan kedudukan linear, pola
interaksi yang tidak siklis, korelasi, antara kedudukan dan sentralitas, persesuaian
antar sistem, keselarasan antar kedudukan, dan perangkapan yang tinggi
antartingkat. Sistim sosial akan cenderung mengembangkan keenam mekanisme ini
yang pada akhirnya memperbesar ketidaksamaan. Dalam beberapa stuktur,
ketidaksamaan terjadi begitu rupa sehaingga pelaku yang berkedudukan paling
rendah tidak hanya relatif terhalangi dimensi potensialnya, tetapi juga sungguh-
sungguh berada di bawah batas minimum subsistensinya. Struktur tidak
memungkinkan mereka membangun kekuatan, mengorganisasi dan mewujudkan
kekuasaannya berhadapan dengan pihak yang kuat. Mereka trerpecah belah, kurang
integrasi dan kurang mempunyai kekuasaan atas diri sendiri, otonomi, yang cukup
37 Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.. Hlm 168-169
31
untuk menghadapi fihak yang kuat. Jadi kekerasan struktural lebih sering, dilihat
sebagai kekerasan psikologis. Perbedaanya hanya pada cara, tetapi akibatnya
memperlihatakan hasil yang serupa.
Kekerasan personal bertitik berat “realisasi jasmani aktual”, ada tiga
pendekatan untuk melihat kekerasan personal, yaitu cara-cara yang digunakan
(menggunakan badan manusia, atau senjata), bentuk organisasi (individu, masa atau
pasukan), dan sasaran (manusia). Kekerasan personal dapat dibedakan dari susunan
anatomi (secara struktural) dan secara fungsional (fisiologi). Pembedaan antara
yang anatomis dan fisiologi terletak pada kenyataan bahwa yang pertama sebagai
usaha menghancurkan mesin manusia sendiri (badan), yang kedua untuk mencegah
supaya mesin itu tidak berfungsi.51
Dalam organisasi mahasiswa pencinta alam, kekerasan fisik dan psikologis
terjadi pada saat proses pendidikan dasar. Kegiatan pendidikan dasar yang
dilakukan didalam hutan dan tidak diketahui masyarakat umum membuat senior
bebas untuk melakukan kekerasan fisik dan psikologis, bahkan tidak menutup
kemungkinan beberapa kematian yang terjadi saat proses pendidikan dasar
merupakan hasil dari kekerasan fisik. Kekerasan ini dapat digolongkan menjadi
kekerasan tampak dan tersembunyi. Hal ini dikarenakan senior pernah menjadi
peserta pendidikan dasar dan menjadi korban kekerasan. Mereka menyimpan
dendam kepada pendahulu mereka dan ada yang sempat dibahas saat rapat proses
pendidikan dasar sehingga kekerasan ini dapat dikatakan kekerasan yang tampak,
51 Windu I Warsana. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. (Yogyakarta, Kanisius,
1992) hlm.74.
32
akan tetapi ketika senior memiliki kekuasaan untuk menggunakan kekuasaan,
mereka cenderung untuk membalaskan dendam kepada para pendahulu melalui
junior sebagai objek kekerasan.
1.5.3 Kekeraan dalam Perspektif Kekuasaan
Kita tidak pernah tidak akan mengalami kekuasaan, jika kata-kata dan
perbuatan-perbuatan saling terkait, jadi di mana kata-kata tidak kosong dan
perbuatan-perbuatan tidak bungkam dan berubah menjadi kekerasan, di mana kata-
kata tidak disalahgunakan untuk menyelubungi maksud-maksud, melainkan
dikatakan untuk menyingkapkan kenyataan, dan di mana perbuatan-perbuatan tidak
disalahgunakan untuk memperkosa dan menghancurkan, melainkan untuk
menciptakan dan menetapkan hubungan-hubungan baru, dan dengan jalan itu
menciptakan kenyataan-kenyataan baru38.
Arendt membedakan kekuasaan dari kekuatan (strength), daya (force),
otoritas (authority) dan kekerasan (violence).39 Kekuatan merupakan ciri dari
individu. Kekuatan dapat digunakan dalam bentuk persuasif maupun koersif. Ia
tidak dapat bertahan bila berhadapan dengan yang banyak individu (rakyat).
Sedangkan ‘daya’ memiliki hubungan dengan alam. Daya selalu diartikan sebagai
kekuatan yang berada dalam alam, kekuatan itu telah ada dan menunggu waktu
untuk mengeluarkan wujudnya. Ketika terjadi gempa bumi yang mengguncangkan
sebuah pulau dan membuat pulau tersebut hancur dengan seluruh isinya, gempa
38 Dikutip oleh F. Budi Hardiman dari Max Weber, Soziologische Grundbegriffe, UTB, Tubingen,
1984, hal. 89 dalam bukunya Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan
Trauma (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2005), hal. 31-32 39 Hannah Arendt,On Violence, op.cit., hal. 44-46
33
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kekerasan. Gempa hanyalah daya yang
dimiliki alam dan bersifat netral yang tidak memiliki intensi untuk menghancurkan.
Sebagai bagian dari alam, manusia pun dapat memiliki daya. Namun, daya yang
milikinya bersifat netral. Ia dapat dilihat positif dan negatif; dan itu tergantung pada
intensi pemiliknya dalam penggunaannya dalam relasi dengan manusia lain.
Otoritas merupakan sebuah bagian lain dari kekuatan dan berbeda dengan
daya. Otoritas diberikan oleh individu maupun kelompok tertentu kepada seorang
penguasa sehingga dapat dikatakan bahwa otoritas tidak dibawa sejak lahir atau
telah dimiliki oleh seorang penguasa. Sama halnya dengan daya, otoritas dapat
dilihat dari sisi positif maupun negatif. Hal ini bergantung pada bagaimana seorang
penguasa menggunakan otoritas yang ia miliki.
Kekuasaan dan kekerasan memiliki dimensi yang berbeda. Kekerasan
digunakan sebagai alat untuk menambah dan melipatganda kekuasaan yang telah
dimiliki. Ketika cara-cara seperti persuasi dan non-kekerasan tidak dapat digunakan
lagi, kekerasan merupakan jalan terakhir yang digunakan untuk mendapatkan
kekuasaan. Ketika kekerasan digunakan, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan yang
dimiliki oleh seseorang telah terancam dan terdapat kemungkinan akan hilang.
Dalam organisasi mahasiswa pencita alam, kekerasan digunakan guna
mengintimidasi junior agar patuh terhadap senior. Senior yang menggunakan
kekerasan dapat digolongkan sebagai senior yang minim pengetahuan dan kekuatan
sehingga kekuasaan yang dimiliki mulai terancam. Mereka tidak memiliki
pengetahuan yang cukup sehingga kekerasan meerupakan jalan keluar termudah
34
untuk masalah yang dihadapi. Hal ini membawa kita jauh ke jaman dimana hukum
rimba masih digunakan untuk menentukan kelas dalam masyarakat.
Pemikiran negara dan kekuasaan yang cenderung memberi justifikasi pada
negara untuk mengesahkan segala tindakannya disampaikan oleh Machiavelli40
dalam bukunya The Prince and Discourse. Gagasan politik Machiavelli banyak
dijadikan inspirasi negarawan dan penguasa abad XX, seperti Hitler dan Mussolini
dalam usahanya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Machiavelli melihat
kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri, ia menyangkal asumsi kekuasaan adalah alat
atau instrumen belaka untuk mempertahankan nilai – nilai moralitas ata agama.
Baginya, segala kebajikan seperti agama dan moralitas justru harus dijadikan
sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar. Kekuasaan haruslah
diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata – mata demi kekuasaan itu sendiri.
Bagi Machiavelli justru terbalik, penguasa yang baik harus berusaha mengejar
kekayaan dan kejayaan, karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki
seorang penguasa.41
Berdasarkan pemikiran machiavelli, senior dalam organisasi pecinta
alamakan berusaha untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dan
kejayaan yang mereka miliki dengan cara apapun. Senior cenderung membungkam
40 Niccolò Machiavelli lahir di Florence, Italia, 3 Mei 1469 – meninggal di Florence, Italia, 21 Juni
1527 pada umur 58 tahun) adalah diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli
teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada
masa Renaisans. Dua bukunya yang terkenal, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus
tentang Livio) dan Il Principe (Sang Penguasa), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki
kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik pada masa
itu. 41 Skinner. Machiavelli Dilema Kekuasaan dan Moralitas. (1994: 44). Terjemahan Burhan
Wirasubrata
35
junior agar tidak terjadi peralihan kekuasaan. Senior akan menggunakan segala cara
mulai dari mengatur regulasi sistem penerimaan hingga menggunakan kekerasan.
Perbudakan merupakan salah satu bentuk dari kekerasan dan
penyalahgunaan kekuasaan. Aristoteles menyatakan bahwa siapa saja yang
kapasitas deliberatifnya terlalu lemah untuk melindungi dirinya sendiri pada
dasarnya (by nature) adalah seorang budak sehingga pantas diperbudak42. Ketika
seseorang telah dijadikan budak pada dasarnya dia telah merasakan kekerasan
secara tidak langsung dimana dia tidak memiliki kebebasan sebagai seorang
manusia. Seorang junior yang tidak mampu mempertahankan kebebasan berpikir
akan dikuasasi dan didominasi oleh doktrin-doktrin senior. Mereka akan selamanya
terperangkap menjadi budak dalam pikiran mereka sehingga pemikiran progresif
dan kritis tidak dapat berkembang.
Dominasi sebagai salah satu bentuk dari kekerasan menandakan adanya
sebuah kesalahan dalam proses pendidikan. Dominasi merupakan lawan dari cinta
dimana terjadi suatu sadisme pada pihak penguasa dan masokisme pada pihak yang
dikuasai.43 Dimanapun terjadi praktik dominasi, disanalah para kaum tertindas
perlu untuk membebaskan diri dari kurungan para penguasa tanpa menggunakan
cara cara dengan unsur kekerasan.
Kekuasaan diidentikan sebagai arena pertarungan politik dan medan
pertempuran. Maka, terjadi kekuasaan yang memungkinkan berhasil merebut
kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan itu sendiri, pada pangkal ini biasanya
42 Gaus, Gerald F. dan Chandran Kukhatas. 2012. Handbook Teori Politik. (Edisi Bahasa
Indonesia, Penerjemah: Derta Sri Widowatie). Bandung: Nusa Media. Hlm 714 43 Paulo Frerire. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Hlm 79
36
kekerasan terjadi. Kelompok yang berkuasa akan berupaya mempertahankan
kekuasannya dengan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut dan tidak segan –
segan melakukan tindakan – tindakan represif dan otoriter. Keadaan ini menjadikan
negara yang semula sebagai institusi disepakati masyarakat untuk memenuhi
kepentingan bersama berubah menjadi sebuah institusi yang membatasi kebebasan
masyarakat dengan membatasi ruang publik, mengontrol perilaku masyarakat,
menciptakan teror, melakukan penangkapan, penculikan terhadap kelompok
oposisi yang dianggap mengancap kekuasannya.
Perspektif diatas juga terjadi dalam institusi pendidikan, terutama dalam
organisasi Wapeala. Senior berusaha untuk mempertahankan kekuasaan yang
dimiliki dengan membatasi ruang gerak dari junior. Senior mengontrol perilaku dan
pengetahuan yang ada di Wapeala dengan memanfaatkan status mereka sebagai
senior. Ketika seorang senior dianggap lebih bodoh dari junior karena kurang
pengetahuan dan kemampuan merupakan hal paling dihindari dalam praktik
penggunaan kekuasaan. Terkadang, kekerasan digunakan sebagai pilihan terakhir
untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki oleh senior.
Usaha terpuji yang bisa dilakukan oleh negara, baik aparatus maupun non
aparatus adalah bertindak memutus rantai kekerasan, yang oleh Dom Helder
Camara44 disebutnya sebagai spiral kekerasan. Artinya, bahwa negara dan
masyarakat secara bersama – sama melakukan tindakan untuk memutus rantai
kekerasan. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka korban yang sudah terstigmatisasi
44 Dom Hélder Câmara (7 Februari 1909 - 27 Agustus 1999 ) adalah Uskup Agung Olinda dan
Recife. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh Katolik yang besar pada abad ke-20. Câmara adalah
seorang perintis penting bagi teologi pembebasan Amerika Latin.
37
tersebut akan terus merasa terpinggirkan pada kehidupan bermasyarakat. Stigma
mapala sebagai pembunuh dan pendidikan dasar yang identik dengan kekerasan
yang masih melekat di kehidupan berwarga negara harus ditanggulangi bersama.
Junior yang dianggap sebagai wadah untuk terus menerus diisi dan dibentuk sesuai
dengan kebutuhan organisasi menyalahi hakikat dari sebuah pendidikan.
1.5.4 Kekerasan dalam Pendidikan
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan harus ditunjukan untuk menciptakan keseimbangan
pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dengan cara melatih jiwa,
akal pikiran, perasaan, dan fisik manusia. Dengan demikian, pendidikan harus
mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik yang bersifat spiritual,
intelektual, daya khayal, fisik, ilmu pengetahuan, maupun bahasa, baik secara
perseorangan mauupun kelompok, dan mendorong tumbuhnya seluruh aspek
tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan
terletak pada pelaksanaannya, pengabdian penuh kepada allah, baik pada tingkat
perseorangan, kelompok, maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya.45
45 Abudin Nata. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:Prenada Media Grup. Hlm. 60
38
Dengan menggunakan perpektif diatas mengenai tujuan pendidikan, dapat
dikatakan bahwa kekerasan yang dilakukan atas nama pendidikan tidak dibenarkan
karena merupakan tindakan yang keji dan merugikan diri sendiri maupun orang
lain. Namun meskipun banyak orang sepakat dengan perspektif diatas, kekerasan
dengan atas nama pendidikan masih terus terjadi baik secara sporadis maupun
masif. Erich Fromm membedakan dua sumber munculnya praktif tindak kekerasan
dari dalam diri seseorang, yang diistilahkan Fromm dengan agresi defensif dan
kekerasan yang terjadi karena kemauan sungguh-sungguh untuk menyengsarakan
orang lain, yang disebutnya sebagai agresi destruktif.46
Agresi defensif dipaparkan Fromm (2012) sebagai pembelaan seseorang
atas kepentingan vital terhadap lawan. Agresi ini merupakan suatu reaksi yang
dilakukan oleh seseorang karena adanya ancaman terhadap hal-hal mendasar dalam
dirinya. Dengan ungkapan berbeda, agresi ini dilakukan dengan tujuan untuk
mempertahankan kehidupan itu sendiri. Fromm sepakat bahwa setiap orang
menghayati nilai-nilai dan memiliki pegangan dasar dalam hidupnya. Ia menyadari
dirinya sebagai orang yang bebas dan berhari nurani. Ia juga berkewajiban untuk
mempertahankan nyawanya, memperjuangkan masa depannya. Ia memiliki
orientasi ancaman terhadap semua hal ini, baik nyata maupun tidak nyata, yang bisa
memicu seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan.47 Harga diri termasuk di
dalamnya membela keyakinan atau nilai-nilai dasar yang dianutnya.
46 M. Nurul Ikhsan Saleh. 2012. Peace Education. Hlm. 28-29 47 Kasdin Sihotang. Kekerasan: Wujud Kehampaan Eksistensi: sebuah tinjauan etis atas pemikiran
Erich Fromm, “ dalam Jurnal Respons: Jurnal etika sosial, pusat pengembangan etika unika atma
jaya. Jakarta, Volume 14 nomor 02 (Desember, 2009). Hlm. 186
39
Berbeda dengan agresi defensif, agresi destruktif jauh lebih jahat. Ini
merupakan nafsu yang menyengsarakan dan menyiksa secara kejam,48 nafsu
membunuh, serta menghancurkan demi kesenangan. Tindakan ini dalam penilaian
Fromm bertujuan bukan meliputi usaha memelihara kelangsungan hidup individu
atau membela prinsip-prinsip kehidupan secara mendalam, melainkan hanya demi
pemenuhan nikmat, pemenuhan nafsu untuk menyiksa dan membunuh. Namun,
Fromm tetap menegaskan bahwa agresi destruktif khas manusia tidak bersifat
naluriah. Artinya, kekerasan destruktif tidak terpogram secara filogenetis, tidak
pula fungsional dan adaptif dalam kondisi panik terhadap eksistensi manusia yang
terisolasi, yang tak berdaya dan merasa kehilangan jati dirinya sebagai manusia.49
Kekerasan destruktif juga terjadi saat proses pendidikan dasar mahasiswa
pencita alam. Kekerasan destruktif dapat dianggap benar oleh senior karena
mensimulasikan keadaan terburuk ketika di lapangan. Siksaan fisik maupun mental
dengan alam sebagai medianya menjadi ajang untuk menyalurkan sifat bengis dari
seorang manusia. Dengan menggunakan kekerasan pada saat proses pendidikan
dasar, calon anggota diharapkan menjadi insan yang telah siap untuk menggunakan
label mahasiswa pencinta alam. Senior akan menggunakan kekerasan destruktif
hingga membuat junior benar-benar berada di titik terendah dari kehidupannya,
hingga akhirnya junior akan melawan dan mendapatkan kekuatan baru.
Dengan kekerasan destruktif yang digunakan senior, junior akan
menggunakan kekerasan defensif untuk mempertahankan nyawa dan martabatnya
48 Erich Fromm. Akar Kekerasan, analisis sosio-psikologis atas watak manusia. Terjemahan imam
muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Hlm. 256 49 Kasdin Sihotang. Kekerasan: Wujud Kehampaan Eksistensi. Hlm. 186
40
sebagai seorang manusia. Senior akan terus menekan junior hingga mengetahui
sejauh mana batas akal dan kekuataanya ketika berada pada titik terendah mereka.
Pengalaman terburuk yang hampir merengut nyawa akan menjadi bekal junior
untuk kehidupan selanjutnya sehingga menjadi insan yang betul-betul siap untuk
menghadapi kehidupan nyata.
Paulo Freire memperkenalkan sebuah konsep pendidikan gaya bank. Dalam
pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan
kepada mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang
dianggap tidak memiliki pengetahuan apa- apa.50 Secara sederhana, pendidikan
gaya bank dapat diartikan sebagai bentuk lain dari dominasi dimana guru secara
terus-menerus mengisi siswa dengan pengetahuan yang diketahui oleh seorang guru
tanpa ada dialog antara guru dan murid. Murid dibungkam dengan pengetahuan
yang dimiliki oleh seorang guru sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk
berkembang lebih jauh lagi.
Calon anggota mapala yang sedang mengikuti proses pendidikan dapat
dikategorikan sebagai kaum yang tertindas. Paulo Frerire51 mengatakan bahwa
“pendidikan yang dialami oleh kaum – kaum tertindas selama ini tak ubahnya
seperti pendidikan dengan sistem bank. Dalam pendidikan sistem bank, dimana
ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada
menerima, mencatat, dan menyimpan”52. Calon anggota hanya disuguhkan dengan
50 Paulo Frerire. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Hlm 53 51 Paulo Freire (lahir di Recife, Brasil, 19 September 1921 – meninggal di São Paulo, Brasil, 2
Mei 1997 pada umur 75 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan Brasil dan
teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia 52 Paulo Frerire. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Hlm 52
41
apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan pada saat sedang
mengikuti proses pendidikan dasar. Selain itu, calon anggota diberikan materi –
materi tanpa bisa memperbaharui sistem yang telah ada. Sistem pendidikan telah
ditentukan oleh para senior dan panitia penerimaan anggota sehingga hal ini sangat
membatasi ruang gerak para calon anggota untuk berpikir kritis.
Para calon anggota yang nantinya akan menjadi anggota dihadapkan dengan
realitas dimana mereka akan menindas calon anggota selanjutnya atau
menghentikan tindak praktik penindasan yang terjadi. Anggota Wapeala yang telah
menjadi senior dan panitia penerimaan anggota cenderung untuk melanjutkan apa
yang telah ada dan diwariskan secara turun temurun sehingga praktik tindak
kekerasan dapat berlangsung secara awet. Senior terjebak dalam kondisi dimana
mereka tidak mampu melawan kultur dan budaya yang telah ada karena
ketidakmampuan mereka untuk merubah sistem yang ada. Sistem dengan
penggunaan kekerasan merupakan sebuah sistem yang gagal dalam proses
pendidikan.
1.5.5 Pendidikan Kritis
Fuad Ihsan53 (2005) menjelaskan bahwa dalam pengertian yang sederhana
dan umum makna pendidikan sebagai “Usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai
dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan”. Usaha-usaha
yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut serta
53 Fuad Ikhsan. 2005. Dasar – Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 1
42
mewariskan kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan
kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan sebagai usaha manusia untuk
melestarikan hidupnya.
Disamping itu Jhon Dewey54 (2003) menjelaskan bahwa “Pendidikan
adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual
dan emosional kearah alam dan sesama manusia”. Dilain pihak Oemar Hamalik55
(2001) menjelaskan bahwa “Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka
mempengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap
lingkungan dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang
memungkinkannya untuk berfungsi secara kuat dalam kehidupan masyarakat”.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk memberikan bimbingan atau pertolongan dalam
mengembangkan potensi jasmani dan rohani yang diberikan oleh orang dewasa
kepada anak untuk mencapai kedewasaanya serta mencapai tujuan agar anak
mampu melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasannya
pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh orang dewasa secara sadar
yang telah memiliki dasar pengetahuan hidup yang lebih dari cukup untuk
menanamkan nilai-nilai kehidupan serta pengetahuan tentang kehidupan kepada
generasi muda dalam rangka memberikan dan meningkatkan kemampuan (inside
competence dan outside competence) generasi muda dalam segala segi kehidupan
54 John Dewey. 2003. Dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Hlm 69 55 Oemar Hamalik. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. 79
43
baik secara jasmani maupun rohani dengan berbagai sarana agar generasi muda
selanjutnya lebih berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negaranya.
Impian adanya pendidikan bermutu hanya dapat diwujudkan dalam alam
demokrasi pendidikan. Dan demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.56
Pendidikan dasar mahasiswa pecinta alamakan menjadi demokrasi pendidikan
keetika terjadi dialog antar individu didalamnya. Musyawarah untuk mencapai kata
mufakat antar anggota hampir dilakukan setiap terjadi rapat anggota dengan cara
menyatukan gagasan tiap individu.
Dalam pendidikan dan pelatihan ilmiah, hal pertama yang harus dilakukan
terhadap sebuah gagasan adalah membuktikannya.57 Untuk membuktikan gagasan
yang diucapkan, bagian terpenting yang harus ada adalah melalui percobaan dan
logika kebenaran dari premis yang diucapkan. Kita tidak harus melakukan
percobaan maupun pernah mengalami gagasan yang kita lakukan untuk
meyakinkan orang lain dalam sebuah rapat, kita juga bisa mengarahkan pola pikir
anggota rapat ke arah berpikir logika kritis. Dengan menggunakan logika, kita akan
mengandalkan daya tangkap dari masing-masing individu dalam berpikir. Seperti
yang dikatakan Alfred North Whitehead bahwa pikiran manusia tidak pernah
berada dalam keadaan pasif, mereka selali aktif, peka, reseptif, dan responsif
terhadap suatu rangsangan.
56 Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Cetakan
pertama, (Yogyakarta; Safiria Insani Press, 2003), p. 84. 57 Alfred North Whitehead. 2018. Tujuan Pendidikan “Esensi dan Aspek-Aspek Filosofis.
Terjemahan Ahsin Mohammad dan Siti Kulsum. Bandung: Nuansa Cendekia. Hlm. 12
44
Pendidikan adalah pemerolehan seni pemanfaatan pengetahuan.58 Seni ini
sangat sulit untuk diajarkan kepada orang lain. Jika sebuah buku tentang pendidikan
ditulis oleh seseorang, dapat dikatakan bahwa akan sulit mengajar dengan buku
tersebut. Seandainya mudah, maka lebih baik untuk membakar buku tersebut
karena tidak mendidik. Tidak ada yang namanya jalan pintas dalam sebuah
pendidikan, peserta didik harus menikmati proses walaupun terkadang sulit dan
menyakitkan. Karena, ketika kita menggunakan cara yang enak dan nyaman,
pendidikan ini akan mebawa kita kepada hal yang buruk. Contoh yang bisa diambil
adalah sistem ujian baik dalam pendidikan formal maupun non formal, ketika siswa
atau mahasiswa hanya diajarkan untuk menghapal jawaban dari pertanyaan yang
akan dikeluarkan dalam ujian, maka mereka akan terjebak dalam apa yang mereka
baca dan tidak bisa mengembangkan otak mereka lebih jauh lagi.
Konsep pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peserta didik atau siswa.
Siswa adalah individu yang hidup, dan tujuan pendidikan adalah merangsang dan
memandu proses tumbuh kembangnya.59 Siswa atau yang biasa disebut dengan
peserta didik merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang tidak bisa
ditinggalkan, karena tanpa adanya peserta didik tidak akan mungkin proses
pembelajaran dapat berjalan. Peserta didik merupakan komponen manusiawi yang
menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar. Didalam proses
belajarmengajar, peserta didik sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki
tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal.
58 Alfred North Whitehead. 2018. Tujuan Pendidikan “Esensi dan Aspek-Aspek Filosofis.
Terjemahan Ahsin Mohammad dan Siti Kulsum. Bandung: Nuansa Cendekia. Hlm. 13 59 Alfred North Whitehead. 2018. Tujuan Pendidikan “Esensi dan Aspek-Aspek Filosofis.
Terjemahan Ahsin Mohammad dan Siti Kulsum. Bandung: Nuansa Cendekia. Hlm. 5
45
Peran senior dalam proses pendidikan memiliki peran kunci guna
meningkatkan kesadaran dari para junior. Senior harus menciptakan sebuah kondisi
dimana junior dituntut untuk berpikir kritis melalui perjalanan roh semesta yang
telah dialami. Dengan adanya kondisi ini, junior akan lebih berkembang sehingga
dapat membuat sebuah keputusan yang relevan dan jauh dari kata kekerasan.
Seperti yang dikatakan Paulo Freire
“That is, when students lack both the necessary epistemological curiosity
and a certain conviviality with the object of knowledge under study, it is
difficult to create conditions that increase their epistemological curiosity in
order to develop the necessary intellectual tools that will enable him or her
to apprehend and comprehend the object of knowledge. If students are not
able to transform their lived experiences into knowledge and to use the
already acquired knowledge as a process to unveil new knowledge, they will
never be able to participate rigorously in a dialogue as a process of learning
and knowing. In truth, how can one dialogue without any prior
apprenticeship with the object of knowledge and without any
epistemological curiosity? For example, how can anyone dialogue about
linguistics if the teacher refuses to create the pedagogical conditions that
will apprentice students into the new body of knowledge?”60
Pendidikan memiliki tujuan membuat murid menjadi lebih kritis terhadap
isu-isu sosial yang terjadi dalam proses bermasyarakat. Senior harus sesekali
menempatkan diri sebagai murid agar dialog antara senior dan junior dapat terjalin.
Tidak akan terjadi sebuah dialog ketika tidak ada rasa pecaya antar satu sama lain,
selain itu harapan juga dibutuhkan agar dialog tidak menjadi kosong, hampa,
menjemukan, dan hanya bersifat birokratis semata.
60 Paulo Freire. 2005. Pedagogy of the Oppressed-Continuum. The Continuum International
Publishing Group Inc. Hlm 19
46
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Desain Penelitian
Dalam mengungkap kekerasan yang terjadi pada organisasi intra kampus,
maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian
semacam ini bersifat subjektif, karena penekanannya pada intepretatif subjek
penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Etnografi-
Politik, Fenomenologi dan Hermenutika. Pendekatan Etnografi digunakan untuk
memahami sebuah kehidupan sosial dan budaya dalam suatu masyarakat secara
ilmiah. Dalam peneliitan etnografi, pandangan masyarakat dilihat sebagai hal yang
terpenting.
Pendekatan fenomologi memandang tingkah laku, apa yang mereka
katakan, apa yang diperbuat sebagai hasil dari bagimana menafsirkan dunianya.
Sebagaimana dikatakan Schutz (1998), bahwa semua manusia dalam pikirannya
terdapat aturan-aturan, resep-resep sosial, konsep tentang tindakan atau perilaku
yang dianggap benar dan informasi-informasi lain yang memungkinkan manusia
untuk bertindak didalam lingkungan sosialnya. Schuzt menyebutnya sebagai
kekayaan pengetahuan (stock of knowledge).
Kekayaan pengetahuan ini akan memberikan semacam kerangka atau
orientasi yang dapat digunakan oleh individu dalam mengintepretasikan kejadian-
kejadian dan untuk melakukan tindakan-tindakan pragmatis. Tugas peneliti
kualitatif adalah menangkap proses tersebut. Untuk itu diperlukan apa yang disebut
47
Weber61 (2008)“Verstehen”, yaitu suatu pemahaman empati atau kemampuan
untuk memproduksi diri dalam pikiran seseorang, perasaan, motif yang menjadi
latar belakang kegiatannya.
Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan
konsekuensi-konsekuensi dari sejumlah pandangan dan doktrin yang hidup di
kepala manusia pelakunya. Sifat empati dalam penelitian ini menjadi sangat
penting, terutama dalam memahami subjek, dan dalam hubungannya dengan
metode verstehen. Penelitian semacam ini juga mengedepankan pada hakekat
realitas yang terbentuk secara sosial, terutama dalam usaha menjawab bagaimana
kekerasan yang terjadi dalam organisasi intra kampus dalam kehidupan sehari –
hari dibentuk dan diberi makna. Penelitian ini merupakan otokritik terhadap proses
pendidikan Wapeala yang masih menggunakan kekerasan sebagai salah satu alat
untuk melaksanakan proses pendidikan dasar.
Kemudian untuk memahami bagaimana anggota Wapeala yang telah
melakukan tindakan kekerasan ini memaknai sebuah pendidikan, penelitian
kualitatif dengan pendekatan interpretatif, yang digagas Gadamer yaitu
hermeneutika, menjadi kerangka acuan untuk menyingkap makna tersebut. Dalam
perspetif Gadamer, makna suatu tindakan atau teks bukanlah sesuatu yang ada pada
tindak itu sendiri, arti sebuah teks tidak hanya terbatas pada pengarangnya saja,
akan tetapi terbuka bagi adanya penafsiran baru sesuai dengan kreatifitas penafsir,
bahwa sebuah teks yang sudah dituangkan dalam tulisan dan di lempar ke ruang
61 Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana
48
publik sepenuhnya menjadi pemilik pembaca dengan berbagai interpretasinya.
Dalam hal ini interprestasi bukan hanya sebatas mereproduksi makna, tetapi juga
memproduksi makna terbuka dengan tafsir makna baru sesuai dengan
perkembangan waktu dan zamannya.62
Untuk memahami makna tindakan pelaku atas pendidikan dasar dan
kekerasan, dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:
Hermeneutika Dialogis Gadamer
Keterangan: K = Korban W = Wapeala TS = Tindakan Senior
Tindakan senior atas proses pendidikan dasar yang diproduksi Wapeala
tidak bisa di lepaskan dengan kontek historis, tindakan Wapeala atas proses
pendidikan dasar ada dalam masa lalu dan masa kini. Masa lalu sangat terkait
dengan tindakan senior atas proses pendidikan dasar pertama kali diproduksi,
dimana tindakan senior atas proses pendidikan dasar diproduksi sesuai dengan
tujuan dan keinginan yang dikehendaki Wapeala. Tindakan senior atas proses
pendidikan dasar juga berada diantara rentang masa lalu dan masa kini, dalam
62 Maulidin. Sketsa Hermeneutika. Gerbang No. 14. Vol V. hal 3-4
Tradisi
Kepentingan
Praktis
Bahasa
Kultur
Pemaknaan
Tanggapan
Konteks
Historis
A
TS Proses
Diksar
K W
49
rentang masa lalu dan masa kini ada gerak sejarah yang mempengaruhi subjek
untuk menafsirkan tindakan senior atas proses pendidikan dasar, sehingga pada
akhirnya di masa kini (sekarang) penafsiran tindakan senior atas proses pendidikan
dasar terlepas dari Wapeala yang memproduksinya, tindakan senior atas proses
pendidikan dasar siap ditafsirkan oleh penafsir atau peneliti sesuai dengan sudut
pandang korban dan tindakan senior, disini tindakan senior atas proses pendidikan
dasar benar-benar terbuka untuk ditafsirkan dan dipahami, sehingga peneliti
sebagai penafsir akan mengahsilkan makna baru sebagai makna tandingan atas
makna tindakan senior atas proses pendidikan dasar diproduksi Wapeala, disinilah
berlaku hukum dialektika, dimana makna tindakan senior atas proses pendidikan
dasar bersifat multivalen dan tidak bersifat tunggal.
Kemudian korban sebagai penafsir terhadap tindakan senior atas proses
pendidikan dasar, pada dasarnya tidak terlepas dari kultur atau budaya, bahasa,
kepentingan praktis, dan tradisi. Karena pada hakekatnya korban ada dalam budaya
dan tradisi, sejak manusia lahir manusia hidup ditengah-tengah budaya dan tradisi,
budaya dan tradisi membangun prasangka pada pikiran-pikiran peselamat, sehingga
dalam menafsirkan tindakan senior atas proses pendidikan dasar korban tidak dalam
pikiran kosong, justru inteprestasi makna tindakan senior atas proses pendidikan
dasar yang dibangun korban terbentuk dari pengetahuan yang hidup dalam tradisi
dan budaya yang melekat pada diri korban, sehingga membentuk prasangka-
prasangka yang digunakan untuk mengintepretasi makna tindakan senior atas
proses pendidikan dasar. Pemahaman korban terhadap tindakan senior atas proses
pendidikan dasar juga tidak bisa dilepaskan dari bahasa, karena pada hakekatnya
50
pemahaman itu bisa difahami melalui peristiwa bahasa. Dengan demikian dapat
dikatakan kultur, bahasa, kepentingan praktis dan tradisi menjadi hal amat penting
untuk diperhatikan dalam memahami korban menafsirkan tindakan senior atas
proses pendidikan dasar.
Dengan menggunakan penelitian kualitatif, terdapat beberapa keuntungan
diantaranya adalah : mudah berhadapan dengan kenyataan berganda, artinya bahwa
berkembangnya persoalan di lapangan lebih mudah diatasi karena tidak terlalu kaku
dengan konsep “harus begini”. Disamping itu, metode kualitatif menyajikan secara
langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan informan, lebih adaptif dalam
menyesuaikan diri terhadap pola-pola nilai yang dihadapi oleh peneliti terhadap
berbagai masalah yang signifikan. Keunggulan lain dari metode penelitian kualitatif
yaitu dapat memungkinkan peneliti untuk membuat dan menyusun konsep-konsep
hakiki dan ini tidak ditemukan dalam metode penelitian lainnya.
Konsep-konsep seperti: sakit hati, tertekan, takut, menderita, keyakinan,
penderitaan, frustasi, harapan, cinta dan lain-lainya dapat dikaji, didefinisikan, dan
juga dianalisis sesuai dengan kehidupan riil subjek penelitian. Karena itu penelitian
kualitatif sangat sesuai dengan tipe-tipe informasi; untuk memahami makna yang
mendasari tingkah laku individu, mendeskripsikan latar belakang dan interaksi
kompleks, memahami keadaan yang terbatas jumlahnya, dengan fokus yang
mendalam dan rinci, mendiskripsikan fenomena guna dapat dikaji dengan teori-
teori yang ada.
51
1.6.2 Situs Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Semarang. Tepatnya di Sekretariat
Wapeala Undip Jalan Imam Bardjo S.H no 2, Pleburan, Kota Semarang dan Gedung
PKM lama Universitas Diponegoro, Jalan Prof. Soedarto S.H, Tembalang, Kota
Semarang. Selain itu, peneliti juga mengambil data langsung pada saat Wapeala
sedang melakukan pendidikan dasar, baik di gunung maupun di ruangan. Peneliti
juga menggunakan lokasi di Kantor Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Biro
Adiminstrasi Mahasiswa di Komplek Gedung Widya Puraya Jalan Prof. Soedarto
S.H, Tembalang, Kota Semarang.
1.6.3 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah informan, yang artinya orang pada latar penelitian
ini dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar
penelitian. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti mendeskripsikan subjek
penelitian dalam penelitian ini adalah pelaku sejarah dalam proses pendidikan dasar
mahasiswa pecinta alamWapeala Undip Semarang. Dalam studi ini, subjek
penelitian adalah korban maupun pelaku yang pernah mengikuti proses pendidikan
dasar dimana terdapat praktik tindak kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psiki.
Subjek penilitian yang lain adalah pemangku kebijakan yang mengatur regulasi
terkait proses pendidikan dasar mahasiswa pencinta alam.
52
1.6.4 Jenis Data
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, maka data yang
dikumpulkan dan digunakan berupa kata-kata (ucapan, pendapat, dan gagasan)
maupun tindakan yang diperoleh melalui wawancara dan observasi. Data lain yang
cukup penting adalah data tertulis berupa dokumen dan arsip resmi yang dimiliki
oleh narasumber.
1.6.5 Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland sebagaimana yang telah dikutip oleh Lexy J.
Moleong (2012) dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif,
mengemukakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata –
kata dan tindakan, selebihnya berupa data tambahan seperti dokumen dan lain –
lain. Sumber data yang digunakan oleh peniliti dalam penelitian ini dibagi
berdasarkan darimana data tersebut berasal, yaitu data primer dan data sekunder.
A. Sumber data primer adalah data yang langsung diperoleh langsung dari
sumber utamanya atau pertama. Adapun sumber data primer dalam
penelitian ini adalah Anggota Mahasiswa Pecinta alamWapeala Universitas
Diponegoro, peserta pendidikan dasar Wapeala, Pembina Wapeala, dan
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan.
B. Sumber data sekunder adalah data penunjang yang dikumpulkan oleh
peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama berupa dokumentasi
kegiatan maupun arsip – arsip resmi.
53
1.6.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melakukan wawancara
dan observasi yang mendalam (in-depth interview), serta dilakukan secara
partisipatori. Hal ini sesuai dengan penelitian kualitatif yang hendak menggali apa
yang tersembunyi dibalik realitas yang nampak, dengan menyelam kedalam
psikologis dan sosial subjek yang akan diteliti. Wawancara yang dilakukan secara
mendalam memiliki beberapa keuntungan, yaitu: bersifat luwes dan pertanyaan
dapat dirubah sesuai dengan kondisi narasumber.
Atas dasar interaksinya, beberapa ahli membedakan antara pengamatan
biasa dengan pengamatan terlibat.63 Pembedaan ini terletak pada ada atau tidaknya
interaksi peneliti dengan narasumber. Pada penelitian terlibat terjadi interaksi
antara peneliti dengan narasumber. Dalam pengamatan terlibat, peneliti harus
menciptakan sebuah hubungan yang baik dengan narasumber. Sikap saling percaya
tersebut dikenal dengan istilah rapport.64 Apabila rapport ini telah terbina dengan
baik maka informan tidak mencurigai peneliti sebagai orang yang hendak
mencelakakannya.
Peneliti yang merupakan bagian dari Wapeala memiliki keunggulan dalam
pengambilan data. Pengamatan terlibat ini tidak bisa dilakukan sekali atau dua kali
dalam waktu satu atau dua jam, melainkan dilakukan secara intens dan
berkelanjutan, bisa dikatakan peneliti telah melakukan pengamatan selama tiga
tahun lamanya terhitung sejak mendaftar sebagai calon anggota Wapeala.
63 Setya Yuwana Sudikan dalam Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif “
Aktualisasi Metolodogis ke Arah Ragam Varian Kontemporer”. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hlm. 58 64 ibid
54
Menurut Suharsimi Arikunto jenis penelitian ada tiga, diantaranya adalah
penelitian tindakan. Penelitian deskriptif (description research) adalah penelitian
yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi, atau hal-hal lain yang
sudah disebutkan yang hasilnya dipaparkan dalam dalam bentuk laporan penelitian.
Penelitian tindakan (action research) adalah suatu penelitian yang dilakukan oleh
seseorang yang bekerja mengenai apa yang sedang ia laksanakan tanpa mengubah
sistem pelaksanaannya65
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research) karena
dalam penelitian ini peneliti melakukan sesuatu tindakan, mengamati dan
melakukan perubahan terkontrol dan dilakukan untuk memecahkan masalah
kekerasan di Wapeala. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab
menggambarkan bagaimana suatu teknik pendidikan diterapkan dan bagaimana
hasil yang diinginkan dapat dicapai.
Metode action research dipilih karena peneliti merupakan bagian dari
Wapeala Undip yang pernah menjadi korban dan juga pelaku dari fokus penelitian
ini. Peneliti secara penuh terlibat dalam penelitian ini dimulai dari menjadi peserta
kegiatan (calon anggota), anggota biasa, perencana pendidikan dasar, pelaksana
pendidikan dasar, pengurus harian, dan dewan permusyawaratan sehingga
memungkinkan terjadinya bias data. Selain itu, peneliti dibantu oleh teman sejawat
dan orang tua yang bukan bagian dari proses pendidikan dasar Wapeala sebagai
observer. Tujuan utama dari teknik ini adalah meningkatkan hasil pembelajaran dan
pendidikan dasar secara objektif.
65 Suharsini arikunto. 2012. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Hlm. 8
55
Pencatatan data dari hasil wawancara merupakan aspek penting dari
wawancara, karena jika pencatatan tidak dilakukan dengan semestinya, maka
sebagian data akan hilang dan banyak usaha wawancara akan sia – sia belaka.
Koentjaraningrat membagi pencatatan data wawancara menjadi lima cara, yaitu :
(1) pencatatan langsung; (2) pencatatan dari ingatan; (3) pencatatan dengan alat
recording; (4) pencatatan dengan field rating; (5) pencatatan dengan field coding.66
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara pencatatan
dari ingatan. Pencatatan ini dipergunakan untuk mengumpulkan data terkait gejala
sosial budaya. Teknik ini dipilih untuk memjaga hubungan baik dengan informan
atau narasumber. Peneliti dengan bincang santai dapat terganggu apabila terjadi
situasi yang menegangkan. Sepulang dari wawancara, hasilnya segera dipindah ke
dalam tulisan. Bagaimanapun kuatnya ingatan seseorang, peneliti tidak akan
mampu merekam seluruh informasi wawancara dalam waktu lama. Oleh sebab itu
peneliti langsung memindahkan data yang telah terekam kedalam sebuah tulisan.
1.6.7 Analisis dan Interpretasi Data
Untuk memperoleh pemahaman tentang kekerasan pada organisasi intra
kampus paradoks pendidikan kritis maka peneliti menggunakan tekni analisis
kualitatif. Dalam teknik analisis kualitatif terdapat berbagai macam teknik analisis,
namun yang digunakan adalah sumber atau data primer dari orang yang benar-benar
langsung mengalaminya. Teknik penelitian kualitatif yang digunakan adalah
66 Koentjaraningrat. 1986. “Metode Wawancara” dalam Metode – Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: PT. Gramedia. Hlm 151
56
dengan pendekatan interpretatif, yaitu fenomenologis dan hermeneutika. Penelitian
kualitatif memiliki banyak ragam analisis, antara lain analisis: isi (content), domain,
tema kultural (discovering cultural themes), sejarah hidup (life history, etnografis,
dan analisa wacana.67
Metode wawancara mendalam dan pengamatan terlibat dalam penelitian
ilmu sosial dapat dikembangkan menjadi metode analisis life history68 dikarenakan
peneliti ingin memperoleh pandangan dari dalam : melalui reaksi, tanggapan,
interpretasi, dan penglihatan korban, tindakan senior, maupun Wapeala terkait
proses pendidikan dasar Wapeala. Dengan mempelajari data dari pengalaman
individu dalam berproses di Wapeala mulai dari calon anggota hingga menjadi
anggota luar biasa peneliti dapat memperdalam pengertiannya secara kualitatif
terkait detil yang ingin dicapai hanya dengan observasi saja, apalagi dengan metode
wawancara yang mengajukan pertanyaan langsung.
Menurut koentjaraningrat yang dimaksud dengan “data pengalaman
individu” adalah bahan keterangan mengenai apa yang dialami oleh masing –
masing individu tertentu sebagai bagian dari Wapeala yang sedang menjadi objek
penelitian. Di dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah personal document,
dalam ilmu sosiologi dikenal dengan istilah human document, sedangkan dalam
ilmu antropologi budaya lebih dikenal dengan istilah individual’s life history.69
67 Bungin Burhan: Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis, dan Metodologis ke
Arah Penguasaan Model Aplikasi (2007) 68 Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif “ Aktualisasi Metolodogis ke Arah
Ragam Varian Kontemporer”. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 66 69 Koentjaraningrat dalam Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif “ Aktualisasi
Metolodogis ke Arah Ragam Varian Kontemporer”. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 66
57
Fungsi dari data pengalaman hidup individu dalam penelitian ini meliputi:
(1) memaknai sebuah masalah individu yang suka berkelakuan lain dari biasa dan
peranan deviant individual sebagai pendorong gagasan baru dan perubahan sosial
yang terjadi dalam lingkup Wapeala; (2) sebagai data untuk memperoleh pengertian
tentang hal – hal psikologis yang tidak mudah dapat diobservasi dari luar atau
metode interview berdasarkan pertanyaan langsung; (3) untuk mendapatkan
gambaran lebih mendalam terkait detil yang tidak mudah untuk diceritakan melalui
metode interview berdasarkan pertanyaan langsung. Hal ini menyangkut cara hidup
ketika di Wapeala, masa kenakalan remaja, dan sebagainya.
1.6.8 Kualitas Data
Untuk memperoleh hasil yang berkualitas, peneliti menggunakan
serangkaian proses validitas data. Validitas merupakan derajat ketepatan antara data
yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti.
Oleh karena itu, data dinyatakan valid apabila data yang dilaporkan oleh peneliti
tidak berbeda dengan data yang sesungghnya terjadi pada objek penelitian. Pada
penelitian ini uji validitas yang digunakan peneliti adalah triangulasi.
Teknik yang digunakan untuk menguji keabsahan data adalah teknik
triangulasi data. Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan data untuk keperluan
pengecekan apakah proses dan hasil yang diperoleh sudah dipahami sberdasarkan
apa yang dimaksudkan informan. Cara yang dilakukan yaitu antara lain sebagai
berikut :
58
1. Melakukan wawancara mendalam terhadap informan
2. Melakukan uji silang antara informasi yang diperoleh dari informan dengan
hasil informasi di lapangan
3. Melakukan konfirmasi hasil yang diperoleh kepada informan lain atau
sumber – sumber lain.