bab i pendahuluan - sinta.unud.ac.id filetenaga kerja, seperti yang terjadi pada tiga besar bank...

23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dua kebijakan yang paling dinamis mempengaruhi sejarah perkembangan industri perbankan di Indonesia yaitu deregulasi Paket Juni 1983 dan Paket Oktober 1988 yang intinya memberikan kemudahan dalam mendirikan bank (McLeod, 1999). Dampak dari kedua kebijakan tersebut menyebabkan jumlah Bank meningkat dengan pesat dan tingkat persaingan industri perbankan di Indonesia menjadi semakin bertambah sengit (Alfansi dan Sargeant, 2000). Bulan Oktober 1997 terjadi krisis ekonomi yang membuat hancurnya fondasi sektor perbankan Indonesia (Fane dan McLeod, 2002), diwarnai dengan semakin meningkatnya arus modal ke luar negeri, tajamnya depresiasi rupiah terhadap mata uang asing dan rendahnya indeks kepercayaan konsumen (Alfansi dan Sargeant, 2000). Pemerintah memandang perlu melakukan regulasi perbankan untuk menghindari kemungkinan dampak lebih buruk yang dapat terjadi pada perekonomian akibat kondisi krisis dan tidak sehatnya persaingan perbankan di Indonesia. Kebijakan ini sangat signifikan dampaknya terhadap berkurangnya jumlah bank di Indonesia. Jenis kompetisi pasar perbankan berubah menjadi monopolistik pada seluruh bank umum, bank persero, dan bank devisa, sedangkan jenis persaingan pada bank non-devisa seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD), bank campuran dan bank asing menjadi monopoli-oligopoli kolusif (Widyastuti dan Armanto, 2013).

Upload: lamhanh

Post on 28-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dua kebijakan yang paling dinamis mempengaruhi sejarah perkembangan

industri perbankan di Indonesia yaitu deregulasi Paket Juni 1983 dan Paket Oktober

1988 yang intinya memberikan kemudahan dalam mendirikan bank (McLeod, 1999).

Dampak dari kedua kebijakan tersebut menyebabkan jumlah Bank meningkat dengan

pesat dan tingkat persaingan industri perbankan di Indonesia menjadi semakin

bertambah sengit (Alfansi dan Sargeant, 2000).

Bulan Oktober 1997 terjadi krisis ekonomi yang membuat hancurnya fondasi

sektor perbankan Indonesia (Fane dan McLeod, 2002), diwarnai dengan semakin

meningkatnya arus modal ke luar negeri, tajamnya depresiasi rupiah terhadap mata

uang asing dan rendahnya indeks kepercayaan konsumen (Alfansi dan Sargeant,

2000). Pemerintah memandang perlu melakukan regulasi perbankan untuk

menghindari kemungkinan dampak lebih buruk yang dapat terjadi pada

perekonomian akibat kondisi krisis dan tidak sehatnya persaingan perbankan di

Indonesia. Kebijakan ini sangat signifikan dampaknya terhadap berkurangnya jumlah

bank di Indonesia. Jenis kompetisi pasar perbankan berubah menjadi monopolistik

pada seluruh bank umum, bank persero, dan bank devisa, sedangkan jenis persaingan

pada bank non-devisa seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD), bank campuran dan

bank asing menjadi monopoli-oligopoli kolusif (Widyastuti dan Armanto, 2013).

2

Tingkat persaingan pada produk kredit tergolong cukup tinggi, tetapi masih belum

dapat dikatagorikan sebagai pasar persaingan sempurna (Lubis, 2012). Transformasi

perubahan sifat pasar ini, ditunjukan dengan menurunnya jumlah bank sebanyak 10

bank umum selama 7 tahun terakhir, dari 130 bank pada tahun 2007 menjadi 120

bank pada tahun 2013 (Otoritas Jasa Keuangan, 2013). Penurunan juga diwarnai

dengan kegiatan merger sebanyak 35 Bank, dari tahun 2000 sampai dengan 2010

melebur menjadi 14 bank (Lampiran 7).

Jumlah bank di Indonesia masih tergolong lebih banyak, dibandingkan dengan

negara-negara berkembang lainnya di Asia Tenggara tetapi pasar terkonsentrasi pada

dominasi beberapa bank besar (Mulyaningsih dan Daly, 2011). Pada kondisi pasar

yang bersifat monopolistik, semestinya bank memiliki kekuatan berupa keleluasaan

dalam menetapkan harga dengan cara cukup baik (market power) untuk melakukan

persaingan, dibandingkan dengan kondisi berada pada persaingan yang sempurna

(Armanto, 2013), tetapi kenyataannya bank di Indonesia tidak memiliki kekuatan

menggunakan instrumen harga untuk menarik nasabah, karena berhadapan dengan

kondisi ketatnya kualitas persaingan yang ditunjukkan dengan besarnya beban

promosi, dan risiko kesehatan finansial.

Secara kuantitas, bank mengalami penurunan tetapi secara kualitas persaingan

mengalami peningkatan. Masing-masing bank melakukan peningkatan kualitas

pelayanan (service quality) melalui peningkatan jumlah kantor bank seperti; jumlah

kantor cabang dan cabang pembantu, serta kantor kas yang dimiliki masing-masing

bank. Total jumlah kantor bank umum meningkat sebesar 8.623 kantor atau sebesar

3

89% dari tahun 2007 sebanyak 9.680 kantor meningkat menjadi 18.303 kantor pada

tahun 2013 (Otoritas Jasa Keuangan, 2013) (data lebih lengkap ada pada Lampiran

1). Selain peningkatan jumlah kantor, terjadi pula peningkatan keterlibatan jumlah

tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tiga besar Bank umum yang paling agresif

untuk peningkatan jumlah tenaga kerja dari tahun 2008 sampai dengan 2012 yaitu;

BRI sebesar 35.060 tenaga kerja, Bank Mandiri sebesar 8.254, dan BNI sebesar 6.721

(Bursa Efek Indonesia, 2013) (Lampiran 2).

Pelayanan bank tidak lagi terkonsentrasi di ibu kota kabupaten, melainkan

menyebar hingga ke wilayah kecamatan dan desa, ditambah dengan berbagai

program pemasaran yang sangat inovatif dan agresif. Perluasan kantor tidak hanya

sebatas fisik tetapi juga non-fisik seperti internet banking atau e-banking,

memperbanyak mesin ATM, serta mengadakan kerja sama dengan BPR, perusahaan

pembiayaan, Kantor Pos, dan Koperasi Simpan Pinjam. Seperti BPD Bali bekerja

sama dengan LPD, Danamon dengan DSP, Bank Mandiri di Bali bekerja sama

dengan Bank Sinar, begitu pula Bank Bukopin dengan Swa Mitra. Hampir seluruh

strategi ekspansi tersebut untuk meningkatkan kinerja pelayanan agar dapat

memberikan pelayanan yang memuaskan selanjutnya diharapkan untuk dapat

menarik dan mempertahankan nasabah, karena ketidakpuasan dianggap sebagai

alasan utama mengapa pelanggan beralih bank (Manrai & Manrai, 2007).

Kajian terhadap perilaku konsumen bank di Indonesia tahun 2014 menunjukkan,

walaupun 50% nasabah menggunakan dua bank, tetapi 90% nasabah memilih bank

utamanya untuk menyimpan dana terbesarnya (Mars, 2014). Fenomena kepemilikan

4

jumlah rekening dan penetapan bank sebagai bank utama oleh masyarakat konsumen

merupakan tantangan menarik bagi bank untuk merebut pelanggan agar memperoleh

posisi utama di pikiran pelanggan. Kualitas layanan dan kepuasan, serta daya tarik

promosi seperti hadiah-hadiah masih dianggap belum cukup, karena seluruh bank

telah melakukan dengan cara yang sangat reaktif sehingga menjadi bersifat generik.

Diperlukan faktor lain di luar kepuasan dan kualitas pelayanan untuk dapat

memposisikan diri menjadi bank utama.

Jauh sebelumnya, Reichheld (1994) telah menyatakan kerberhasilan strategi

manajemen yang berbasis loyalitas pelanggan harus menyadari pelanggan yang puas

tidak selalu setia. Hasil kajian menunjukkan 85%-90% pelanggan yang puas, hanya

40% pelanggan yang melakukan pembelian ulang (Reichheld,1993). Hubungan

antara kepuasan pelanggan dengan perilaku pembelian ulang mulai dipertanyakan

(Jones & Sasser, 1995; Stewart, 1997). Hanya dengan cara meningkatkan kepuasan

pelanggan tidak akan selalu menghasilkan loyalitas pelanggan yang lebih besar

(Dagger, dan David, 2012). Terdapat anggapan bahwa, kepuasan belum cukup

sepenuhnya untuk menciptakan loyalitas pelanggan (Story dan Hess, 2006; Pleshco

dan Baqir, 2008), terutama ketika pelanggan berhadapan dengan risiko

ketidakpastian (Ho et al., 2011). Para ahli menyatakan kedua variabel tersebut

memiliki hubungan yang tidak linier (Agustin dan Singh, 2005; Fullerton dan Taylor,

2002; Mittal dan Kamakura, 2001; Jaiswal dan Niraj, 2011).

Loyalitas pelanggan selalu menjadi pertimbangan penting dalam kegiatan

pemasaran (Taylor, 2012) tetapi mengandung konsep yang sangat rumit (Maignan

5

dan Forrel, 2001; Sureschcandar et al., 2002). Walaupun rumit, harus tetap

diperebutkan karena untuk memperoleh pelanggan baru diperlukan biaya lima kali

lebih banyak dibandingkan dengan biaya mempertahankan pelanggan yang telah ada

(Peters, 1987; Mittal dan Lassar, 1998). Loyalitas memiliki dampak yang signifikan

terhadap kinerja keuangan bank (Keisidou et al., 2013). Industri perbankan di

Indonesia membuktikan, loyalitas nasabah mampu mengakibatkan tingkat kerugian

pada kredit menjadi lebih rendah (Prihartono et al., 2012). Dampak pentingnya

loyalitas, membuat pengembangan model loyalitas dan niat beli pelanggan tidak

pernah stagnasi. Loyalitas pelanggan menjadi subjek penelitian tak terhitung

jumlahnya selama beberapa dekade (Gonçalves dan Sampaio, 2012). Modelnya

dibangun dari berbagai perspektif (misalnya; Lee dan Green, 1991; Tang et al., 2011;

Chintagunta dan Lee, 2012; Wang et al., 2012) dan sampai saat ini terus mengalami

penyempurnaan dengan mencari dan menambahkan variabel baru agar memiliki

kemampuan yang begitu kuat untuk menjelaskannya (Kumar et al., 2013).

Kunci penentu loyalitas pelanggan selain kepuasan pelanggan, adalah kualitas

pelayanan (Cronin dan Taylor, 1994; Zeithaml et al., 1996; Reichheld dan Sasser,

1990). Tahun 1991 berbagai studi mulai memandang perlu untuk memasukan service

value (Bolton dan Drew,1991; Fornell et al., 1996; Patterson dan Spreng 1997;

Andreassen, 1998; Chenet et al.,1998; Ennew dan Binks,1999; Zithaml, 1988; Gale,

1994; Chang dan Wildt, 1994; Hartline dan Jones, 1996; Wakefield dan Barnes,

1996; Sirohi et al., 1998; Sweeney et al., 1999; McDougall dan Terrence, 2000).

Secara relatif terdapat 4 (empat) variabel penting diadopsi untuk mempengaruhi

6

perilaku pelanggan yaitu; satisfaction, sacrifice, service quality, dan service value

(Lampiran 10) yang terjadi sebelum tahun 2000 (Cronin et al., 2000).

Era tahun 2000 terjadi perkembangan untuk mempertimbangkan keterlibatan

tanggung jawab perusahaan secara sosial yang dikenal dengan istilah corporate social

responsbility atau disingkat dengan CSR, walaupun konsepnya telah digulirkan oleh

Bowen tahun 1950-an. Perhatian pada CSR bisa disebabkan karena, service value,

service quality, dan kepuasan pelanggan (customers satisfaction) dianggap belum

cukup untuk mewujudkan loyalitas pelanggan. Hasil kajian menunjukkan, 70%

konsumen yang disurvei di Eropa menyatakan bahwa CSR penting bagi mereka

untuk memilih produk atau layanan (Valuing the Consumer, 2001), sehingga era

tahun 2000-an CSR merupakan faktor baru yang teridentifikasi secara positif

mempengaruhi loyalitas pelanggan (Berens et al., 2007; Mohr et al., 2001; Pirch et

al., 2007; Salmones et al., 2005; Sen dan Bhattacharya, 2001). Sementara, pada

periode sebelumnya menunjukkan pemahaman tentang dampak CSR terhadap kinerja

perusahaan masih tergolong terbatas (Luo dan Bhattacharya, 2006), secara murni

hanya dipandang sebatas kedermawanan saja.

Perkembangan selanjutnya tentang keterlibatan CSR semakin dilirik

kemampuannya sebagai instrumen keunggulan bersaing melalui kegiatan investasi

secara sosial untuk konteks kompetisi (Porter dan Kramer, 2002, Fombrun dan

Shanley, 1990; Sen dan Bhattacharya, 2001; Turban dan Greening, 1997).

Popularitasnya tidak hanya menyebar di negara maju, juga menjadi ramai di negara-

negara berkembang (Carroll dan Shabana, 2010). Literatur tentang CSR mengalami

7

perberkembangan yang mencakup beberapa disiplin ilmu seperti; manajemen,

pemasaran, ekonomi, keuangan, dan akuntansi (Chatjuthamard-Kitsabunnarat et al.,

2014). Antusiasme untuk penelitian CSR juga semakin tinggi (Maignan dan Ferrell,

2004), termasuk penelitian tentang reaksi konsumen terhadap CSR (misalnya, Sen

dan Bhattacharya 2001; Lichtenstein et al., 2004; Ellen et al., 2006; Becker-Olsen et

al., 2006; Vlachos et al., 2009).

Perilaku pembelian konsumen semakin mempertimbangkan fungsi sosial

perusahaan (Forte dan Lamont, 1988). Perkembangan ini memberikan dampak yang

searah dengan peningkatan kesadaran tentang pentingnya peran CSR untuk dunia

bisnis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian, masih terdapat

keterbatasan tentang pemahaman efek CSR terhadap kinerja perusahaan (Lou dan

Bhattacharya, 2006), padahal hampir 50 % perusahaan besar memiliki program

yang terkait dengan masalah sosial (Cone Inc., 1999). Keterbatasan pemahaman ini,

bahkan bersamaan dengan perkembangan perilaku konsumen yang semakin

memandang penting untuk melibatkan sisi tanggung jawab sosial perusahaan sebagai

bahan pertimbangannya memperkuat evaluasi untuk keputusan pembelian dan niat

beli mereka (Wangner et al., 2009; Assiouras et. al., 2013). Fenomena ini

mendorong berbagai pihak melakukan kajian yang lebih intensif untuk melahirkan

penjelasan yang lebih meyakinkan tentang hubungan CSR terhadap perilaku

pelanggan.

Hasil beberapa kajian empiris terdahulu telah membuktikan hubungan

signifikan antara CSR dengan perilaku pelanggan terutama loyalitas pelanggan yang

8

dilakukan di berbagai negara pada berbagai perusahaan (Asher, 1991; Smith dan

Alcorn, 1991; Brown dan Dacin, 1997; Sen dan Bhattacharya 2001; Mohr dan Webb,

2005; Pickett-Baker dan Ozaki, 2008; Marquina 2010; Chomvilailuk dan Butcher,

2010; Choi dan La, 2013; Roig et al., 2013; Assiouras et al., 2013; Chung et al.,

2015; Tingchi Liu et al., 2014; Huang et al.,2014; Mirabi et al.,2014). Kajian lainnya

menemukan tidak signifikan (Bravo et al., 2009; Mandhachitara dan Poolthong,

2011). Sebagian besar kajian di negara Barat ditemukan siginifikan, dan kajian di

negara Asia yang memiliki orientasi budaya kolektivisme ditemukan tidak signifikan

(data lebih lengkap pemetaan hubungan CSR-loyalitas pelanggan pada Lampiran 6).

Berdasarkan perbedaan hasil temuan hubungan CSR dengan loyalitas pelanggan

tersebut, menjadi awal yang menarik untuk menggali informasi lebih lanjut dengan

cara mengidentifikasi faktor -faktor yang menjadi penyebab hubungan CSR dengan

loyalitas ditemukan tidak signifikan atau signifikan tetapi kurang optimal (atau

berkontribusi kecil) untuk menjelaskan pengaruhnya terhadap membangun loyalitas

pelanggan. Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik komponen

CSR yang dilibatkan untuk penelitian CSR di negara yang memiliki budaya konteks

tinggi di Asia. Hasil pengidentifikasian menunjukkan tidak jauh menyimpang dari

pendapat ahli, masih terdapat keterbatasan hasil penelitian CSR yang dilakukan pada

budaya konteks tinggi, dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di negara-

negara Barat yang relatif bersifat konteks rendah (Salmones et al., 2005).

Keterbatasan tersebut juga termasuk untuk melibatkan nilai budaya religius sebagai

komponen CSR sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseragaman bentuk

9

hubungan CSR dengan loyalitas pelanggan (studi keterbatasan keterlibatan nilai

budaya religius sebagai komponen CSR dapat dilihat data pada Lampiran: 4, 5, dan

6). Chomvilailuk dan Butcher (2013), memiliki anggapan yang hampir sama tentang

ketidakseragaman respon pelanggan terhadap CSR dapat diakibatkan oleh perbedaan

budaya dan negara, hal ini jarang mendapat perhatian untuk diteliti lebih lanjut.

Salah satu studi yang menghubungkan religiusitas dengan dukungan konsumen

pada CSR dilakukan oleh Ramasamy et al. (2010) tetapi kajian ini tidak mengukur

dampaknya terhadap perilaku konsumen dalam menentukan keputusan membeli.

Demikian pula kajian empiris Duijn Schouten et al. (2014), Jamalia dan Sdiani

(2013), dan Chatjuthamard-Kitsabunnarat et al. (2014) mengkaitkan antara

religiusitas dengan CSR tetapi bukan dari sudut pandang konsumen, melainkan pada

perspektif pengambil keputusan bisnis. Hal ini menujukkan, daya tarik para peneliti

untuk melibatkan dampak CSR berbasis religius terhadap perilaku pelanggan sangat

rendah.

Agama cenderung dianggap sebagai suatu yang tabu untuk dilibatkan pada

penyelidikan di wilayah pemasaran (Hirschman, 1983) padahal sebagian besar orang

di planet ini adalah orang-orang religius atau beragama (Kansal dan Singh, 2012).

Kecendrungan ini juga terjadi pada pengambil keputusan bisnis yaitu kurangnya

minat mereka untuk mempertimbangkan nilai-nilai religius yang terbina pada

masyarakat lokal sebagai bentuk investasi CSR. McGuire et al. (2012) membuktikan

kecendrungan tersebut melalui temuannya yang menunjukkan hubungan negatif

untuk menyertakan nilai-nilai religius masyarakat lokal yang ada di sekitar

10

perusahaan terhadap keputusan investasi pada tanggung jawab sosial perusahaan.

Temuan tersebut memberikan sinyal bahwa pengambil keputusan belum mampu

mengakomodasi kebutuhan pasar yang ternyata juga dibentuk oleh ciri-ciri religius.

Harus disadari, tingkat keyakinan orang terhadap agama telah terbukti

mempengaruhi hubungan antara perilaku budaya dan perilaku konsumen (Lindridge,

2005), sehingga agama sebagai elemen yang mempengaruhi budaya memiliki sifat

penting pada pasar, semestinya perlu diakui dan diteliti di bidang pemasaran

(Mittelstaedt, 2002).

Sebagian besar model CSR bersifat deskriptif dan didasarkan pada pengalaman

negara-negara barat (Quazi, dan O'Brien, 2000) dibandingkan dengan model CSR

negara-negara budaya Timur. Hal ini berarti, penelitian CSR dilihat dari faktor

spesifik tertentu yang membentuk budaya dipandang penting untuk dilakukan,

mengingat semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa budaya yang berbeda di

berbagai negara menyebabkan pemahaman terhadap CSR juga menjadi berbeda (Gao,

2011; Jamali dan Mirshak, 2007:244). CSR memiliki arti yang berbeda di negara

yang berbeda (Garriga dan Mele, 2004), sehingga keberhasilan implementasi CSR

sangat bersifat situasional, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, maupun

kelembagaan (Berniak-Wozny, 2010). Perbedaan antara pasar negara berkembang

dan ekonomi negara maju, dalam hal nilai-nilai budaya, sosial, dan norma-norma

telah mempengaruhi prioritas yang membentuk landasan filsafat CSR (Jamali dan

Mirshak, 2007). Berdasarkan alasan tersebut, sangat mustahil untuk menstandarisasi

dimensi CSR kemudian diberlakukan di seluruh dunia. Harus ada upaya kreatif

11

untuk menentukan bagaimana implementasi CSR dapat beradaptasi dengan efektif di

masing-masing negara yang memiliki karakteristik budaya yang berbeda.

Agama merupakan salah satu dimensi penting dari budaya (Barro & McCleary,

2003). Indonesia merupakan negara yang memiliki ciri budaya kolektivisme atau

konteks tinggi, sangat berbeda dengan negara Barat yang individualisme atau

berkonteks rendah. Nilai-nilai budaya Indonesia sangat kuat dipengaruhi nilai

religius. Sembilan dari sepuluh orang di Indonesia beragama, sehingga

mempengaruhi kehidupan politik, budaya, dan ekonomi (Pew Research, 2008)

sehingga Indonesia disebut sebagai negara agama karena tingginya jumlah orang

yang percaya pada Tuhan (Suryadinata et al., 2003; Hermawan, 2013). Karakteristik

Indonesia yang demikian, memerlukan model CSR yang mempertimbangkan untuk

mengadopsi sifat budaya lokal yang dilandasi dengan nilai-nilai religius.

Pengungkapan program CSR di Indonesia mengalami peningkatan semenjak

ditetapkannya Undang-Undang No 40 tahun 2007 (Bursa Efek Indonesia, 2007-

2012), tetapi jumlahnya masih relatif rendah, dan sebagian besar pada program

tenaga kerja (Mirfazli, 2008). Khususnya tentang inisiatif CSR oleh sektor

perbankan masih didominasi oleh Bank pemerintah yaitu Bank Mandiri, BNI, dan

BRI yang menunjukkan angka yang meningkat (Lampiran 3). Anggaran CSR yang

semakin berkembang jumlahnya di Indonesia dari tahun ke tahun, menunjukkan

pemahaman beberapa perusahaan bahwa CSR bukan hanya sekedar untuk memenuhi

tuntutan peraturan tetapi karena CSR dipandang penting untuk dilakukan. Fenomena

ini mendukung hasil kajian empiris yang melaporkan bahwa, perusahaan-perusahaan

12

di Indonesia yang melakukan kegiatan CSR secara sukarela mendapatkan return yang

lebih positif dibandingkan dengan perusahaan yang melakukan CSR hanya untuk

memenuhi peraturan pemerintah saja (Hendarto dan Purwanto, 2012). Temuan

tersebut memperkuat temuan empiris sebelumnya khususnya pada sektor perbankan

internasional yang menyatakan, terdapat hubungan positif antara kinerja CSR dan

kinerja keuangan bank (Gadioux, 2011).

Inisiatif CSR perbankan di Indonesia ditunjukan dengan berbagai variasi.

Berdasarkan laporan tahunan tentang CSR oleh 10 bank papan atas di Indonesia,

sebagian besar bank mengadopsi program CSR berbasis sosial dengan

memprioritaskan bidang pendidikan, menyusul kemudian kegiatan ekonomi terutama

membantu ekonomi rakyat melalui sektor produktif seperti pengembangan

microfinance, setelah itu orientasi pada pelanggan, dan program kemanusiaan.

Program berbasis religius dan lingkungan hidup masih tergolong terbatas

dibandingkan dengan program pendidikan. Pemetaan program CSR berdasarkan 10

bank nasional di Indonesia ke dalam dimensi Tri Hita Karana dapat dilihat pada

Lampiran 8.

Implementasi CSR di Bali tidak didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda),

karena Perda khusus tentang CSR sampai dengan April 2015 belum ditetapkan

pemerintah daerah Bali, tetapi bukan berarti konsep bisnis yang bertanggung jawab

secara sosial tidak tumbuh pada etika bisnis di Bali. Nilai-nilai yang terangkum pada

konsep Budaya Tri Hita Karana, merupakan aplikasi dari nilai-nilai Hindu di Bali

terbukti mapan sejak jaman dahulu dan sampai saat ini masih tetap menjadi kekuatan

13

penting pada budaya Bali hampir disegala dimensi termasuk cara pandang terhadap

dunia bisnis. Budaya Bali di pengaruhi oleh nilai religius sudah menerima makna

CSR sebagai bagian dari kehidupan bisnis. Salah satu yang membuktikan adalah

adanya keyakinan yang sangat kuat terbina beberapa abad pada kehidupan

masyarakat di Bali pada umumnya dan kaum pedagang pada khususnya terhadap

Dewa yang mengatur kegiatan bisnis di Pura Melanting dan Rambut Sedana. Simbul

yang disucikan tersebut menunjukkan kehidupan etika bisnis untuk bertanggung

jawab secara sosial telah diakomodasi melalui kehidupan religius, demikian pula

sebaliknya bahwa kehidupan religius telah memberikan warna penting untuk etika

bisnis sejak jaman dahulu. Fenomena ini menunjukkan, makna CSR bukanlah suatu

yang baru pada era moderen ini. Carroll (1999) menyatakan bahwa, seseorang dapat

menemukan bukti bahwa konsep CSR telah terjadi berabad-abad yang silam,

sedangkan era moderen dimulai pada tahun 1950-an. Pendapat Carroll (1999) ini

merupakan pengakuan tentang makna CSR bukanlah suatu yang baru ketika

memasuki era modern. CSR dapat terjadi jauh sebelum era moderen terjadi di negara

dan daerah manapun termasuk Bali.

Budaya yang berorientasi pada kolektivisme lebih menekankan pada hubungan

harmoni dan kesesuaian (Triandis et al., 1990). Bali memiliki budaya berorientasi

kolektivisme (Houston et al., 2012). Budaya kolektivisme masyarakat Bali sangat

kuat dipengaruhi oleh filosofi harmoni Tri Hita Karana yang terdiri atas tiga dimensi

harmoni yaitu; religius diakomodasi pada makna parahyangan, ekosistem masuk

pada makna palemahan, dan sosial distilahkan dengan pawongan. Dua dimensi

14

terakhir yaitu ekosistem atau lingkungan hidup (palemahan) dan sosial (pawongan),

sudah banyak teridentifikasi dilakukan pada berbagai kajian empiris yang membentuk

CSR diberbagai negara, tetapi aspek religius (parahyangan) sangat jarang mendapat

perhatian dalam etika bisnis negara Barat untuk diadopsi pada pengembangan

dimensi CSR sebagai implementasi etika bisnis. Franks dan Spalding (2013)

memberikan pernyataan yang sama bahwa, etika bisnis jarang dipasangkan dengan

gagasan agama dalam pemikiran Barat Modern. Bahkan agama dan pengaruhnya

telah lama dianggap sebagai hal yang tabu untuk penyelidikan di daerah pemasaran

(Hirschman, 1983). Begitu pula Lantos (2002) menyebutkan, pada berbagai budaya,

sebagian besar yang berkaitan dengan agama dianggap tidak relevan dan mungkin

tidak pantas sebagai bagian dari lingkungan kerja, bahkan ditemukan ada upaya yang

sengaja untuk mengecualikan ajaran agama untuk keputusan bisnis. Padahal menurut

Lantos (2002), wawasan untuk melakukan bisnis dengan cara yang bertanggung

jawab secara sosial dapat diperoleh pada prinsip-prinsip agama.

Bahasan ini melahirkan dugaan kinerja model CSR di negara yang memiliki ciri

budaya konteks rendah (seperti negara-negara Barat), hanya mewakili dua karakter

dimensi yaitu ekologi (hubungan manusia dengan alam) dan hubungan sosial

(manusia dengan sesamanya), diduga belum dapat mengakomodasi secara optimal

untuk karakteristik CSR konteks Negara di Asia khususnya Indonesia yang memiliki

karakteristik budaya religius. Fenomena ini menunjukkan keterbatasan kajian untuk

memperhitungkan religius dalam studi CSR. Pernyataan ini sebangun dengan

pendapat Jamali dan Sdiani (2013) yang menyatakan sangat terbatas literatur yang

15

membahas tingkat religiusitas dalam kaitannya dengan CSR, padahal menurut

Srisuphaolarn (2013), religiusitas merupakan anteseden penting yang harus

dipertimbangkan dalam CSR. Berdasarkan fenomena ini mengusulkan, perlu

dilakukan kajian tentang kontribusi model CSR yang dilengkapi dengan nilai religius

(religious value) untuk memprediksi loyalitas pelanggan di Indonesia. Model CSR ini

dikenal dengan model CSR berbasis budaya Tri Hita Karana.

Masyarakat secara umum memiliki persepsi bahwa bisnis tidak menaruh terlalu

banyak penekanan pada pertimbangan etis dalam operasi mereka (Alam, 1995), tetapi

masyarakat konsumen sangat mengharapkan mereka dihargai melalui bisnis yang

beretika. Konsumsi bukan hanya tentang fenomena ekonomi, tetapi juga tentang

fenomena budaya etis (Ricky, 2007). Hal ini dibuktikan dengan adanya perilaku

konsumen yang rela membayar lebih tinggi untuk produk yang beretika (Carvalho et

al., 2010; Creyer dan Ross 1997; Trudel dan Cotte, 2009). Sikap pelanggan yang

mendukung perusahaan yang demikian karena pelanggan berinteraksi dengan cara

menangkap sinyal nilai-nilai terhantar dari perusahaan. Sebagian besar pelanggan

memiliki kecenderungan untuk berinteraksi dengan nilai-nilai perusahaan yang dapat

mereka identifikasi (Mirabi, 2014), termasuk nilai-nilai etik yang mereka tangkap

melalui program tanggung jawab sosial (CSR). Pernyataan ini mengekspresikan

makna, tanggung jawab sosial harus memiliki keselarasan untuk membangun persepsi

pelanggan yang positif tentang kinerja etika bisnis perusahaan.

CSR pada sektor perbankan ditemukan mendukung tindakan etika perusahaan

baik dari perspektif internal maupun ekternal perusahaan, sehingga dianggap

16

memiliki kemampuan untuk memainkan peran penting dalam menciptakan loyalitas

pelanggan berdasarkan nilai-nilai etika yang khas (Amine et al., 2013). Peranan etika

tidak dapat diragukan sebagai salah satu faktor yang menentukan untuk menahan agar

pelanggan tidak berpindah (Keaveney, 1995). Pelanggaran terhadap kode etik oleh

salah satu pihak, baik oleh pembeli maupun penjual akan merusak hubungan dan

menghasilkan pertukaran yang tidak produktif dan tidak efektif (Morgan dan Hunt,

1994). Berbagai pendapat dan temuan ini memberikan petunjuk untuk mendeteksi

tingkat kemampuan model CSR berbasis Tri Hita Karana sebagai instrumen penting

etika bisnis, diperlukan pengidentifikasian tentang tingkat kemampuannya untuk

mendapat dukungan sikap pelanggan yang baik tentang merek perusahaan, untuk

membangun loyalitas pelanggan. Berdasarkan alasan tersebut, sikap pelanggan

tentang merek perusahaan (brand attitude) diposisikan sebagai mediasi hubungan

CSR berbasis Tri Hita Karana dengan loyalitas pelanggan.

Sampai saat ini belum ada kajian empiris dilakukan secara sequential

exploratory tentang CSR berbasis budaya Tri Hita Karana dari perspektif pelanggan,

serta dampaknya terhadap loyalitas pelanggan. Hasil kajian Perez et al. (2013)

medeteksi pendekatan yang digunakan untuk menentukan dimensi CSR, penelusuran

102 artikel kajian empiris dan konsep tentang CSR (Lampiran 5), serta 37 referensi

yang menawarkan definisi CSR pada jurnal international oleh Dahlsrud (2008)

(Lampiran 4), menunjukkan adanya keterbatasan untuk melibatkan nilai religius

(religious values) untuk dimensi CSR. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan

17

dapat mengisi kesenjangan tersebut, dengan cara mengeksplorasi faktor-faktor yang

membentuk CSR berbasis religius, sosial, dan ekosistem.

Keunikan lainnya tentang kajian ini menawarkan CSR menjadi tiga konstruk

yang berbasis Tri Hita Karana, ditunjukan dengan cara memecah CSR menjadi tiga

bentuk sesuai dengan sifat dimensi Tri Hita Karana yaitu; CSR berbasis religius,

CSR ekosistem, dan CSR sosial. Dua alasan penting mengapa CSR tidak diagregat

seperti dilakukan pada sebagian besar studi CSR sebelumnya (Salmones et al., 2005;

Hansen et al., 2011; Mirabi, 2014). Pertama, persepsi konsumen tentang CSR

(consumer perceived corporate social responsibilty) bersifat disaggregate karena

sebagian besar konsumen tidak dapat memahami sepenuhnya tentang konsep

menyeluruh dari CSR dan konsumen membedakan berbagai bidang domain CSR

dengan cara melampirkan tingkat pentingnya terhadap masing-masing domain CSR

tersebut (Öberseder et al., 2014).

Kedua, metode disaggregate, memberikan kemudahan untuk melihat hubungan

secara spesifik masing-masing konstruk sebagai komponen CSR terhadap loyalitas

pelanggan, khususnya tentang konteks CSR berbasis religius, sosial, dan ekosistem.

Berdasarkan perspektif bank, hampir seluruh bank di Indonesia melakukan inisiatif

CSR berbasis sosial khususnya dalam bidang pendidikan (Lampiran 8). Hanya 4

Bank dari 10 Bank devisa telah menyertakan CSR berbasis religius. Melalui model

CSR yang disaggregate ini akan dapat melihat apakah CSR berbasis sosial, lebih

dominan kemampuannya untuk berkontribusi terhadap loyalitas pelanggan dibanding

dengan CSR ekosistem dan religius.

18

Pertimbangan penting memilih sektor perbankan untuk kajian ini, karena

hubungan CSR dengan loyalitas pada sektor perbankan ditemukan tidak signifikan

(Mandhachitara dan Poolthong, 2011). Jikapun signifikan tetapi sangat kecil

kemampuannya untuk menjelaskan pengaruhnya terhadap loyalitas pelanggan (Jose

et al., 2012; Mirabi et al., 2014; Mandhachitara dan Poolthong, 2011), padahal

persepsi nasabah terhadap CSR menunjukkan reaksi yang positif (Dusuki dan Dar,

2005; Lemke, 1987; Pomering dan Dolnicar, 2006). Pertimbangan lainnya karena

industri perbankan termasuk memiliki karakteristik persaingan yang sangat ketat dan

sifat loyalitas pelanggan sangat dinamis. Pertimbangan lebih lanjut, sektor perbankan

memiliki manfaat yang sangat strategis untuk pembangunan berkelanjutan, melalui

kebijakan produknya yang disalurkan pada kegiatan produktif di negara sedang

berkembang. Oleh sebab itu, Bank Dunia mengerahkan meningkatkan tekanan pada

bank untuk melaksanakan praktik CSR, karena negara-negara berkembang umumnya

tergantung pada bantuan dan pinjaman luar negeri, lebih-lebih semenjak meluasnya

kemiskinan, pelanggaran HAM, korupsi, ketidakadilan dan eksploitasi sosial,

sehingga CSR merupakan pertimbangan penting kebijakan bank (Dorasamy, 2013).

Pemilihan Bali sebagai pusat lokasi penelitian, karena Bali memiliki ciri penting

yaitu budaya Tri Hita Karana yang mengakomodsi tiga bentuk dimensi harmoni

kehidupan yaitu; religius sangat erat dengan hubungan manusia dengan Tuhan (dalam

budaya Tri Hita Karana berkaitan dengan parahyangan), sosial (hubungan antar

sesama manusia atau pawongan), dan ekosistem (hubungan manusia dengan alam

atau palemahan), sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan model CSR pada kajian

19

ini. Ketiga bentuk dimensi budaya ini diadopsi sebagai basis CSR yang diharapkan

mampu menyempurnakan kontruksi model CSR sebelumnya, yang menunjukkan

hasil kesenjangan hubungan CSR dengan loyalitas pelanggan.

Meskipun para peneliti telah memperdebatkan keuntungan dan kerugian dari

tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam pemasaran pada umumnya dan

perbankan pada khususnya (Jose et al., 2012), serta berbagai penelitian sebelumnya

telah memberikan wawasan penting tentang dimensi CSR, sehingga penelitian lebih

lanjut masih perlu dikembangkan. Hal ini dilakukan untuk dapat menemukan

gambaran yang lebih lengkap tentang peranan CSR dalam etika bisnis untuk

membentuk loyalitas pelanggan, khususnya di negara Asia yang memiliki budaya

konteks tinggi.

Kajian ini menawarkan pengembangan untuk melakukan rekonstruksi terhadap

dua konstruk penting yaitu; pertama konstruk CSR yang akan diimplementasikan di

Asia disesuaikan dengan iklim Asia, khususnya untuk Bali, berdasarkan atas

karakteristik budaya lokal masyarakat Bali. Nicolopouou (2011) menyebutkan dalam

kasus tertentu, CSR dapat dilakukan melalui penerapan program yang bersifat global

pada konteks yang bersifat lokal melalui partisipasi aktif dan potensi untuk

beradaptasi dari konteks aslinya untuk kondisi lokal dan kekhususannya.

Memanfaatkan konteks budaya lokal dapat mendukung dan kemajuan pelaksanaan

CSR (Perry, 2012). Kedua, menawarkan untuk mengukur kontribusi model CSR

berbasis Tri Hita Karana terhadap sikap pelanggan tentang merek perusahaan yang

dilakukan sektor perbankan.

20

Studi pengembangan ini bertujuan melahirkan temuan model CSR berbasis Tri

Hita Karana yang dapat dibuktikan atau berkontribusi sebagai penjelas

terbentuknya sikap pelanggan pada perusahaan untuk membentuk loyalitas.

Sumbangan hasil pengembangan model CSR ini dipandang penting, karena masih

terbatas perhatian kajian etika bisnis dan CSR ditinjau dari perspektif konsumen

dibandingkan dengan perspektif perusahaan (Mohr et al., 2001; Sen dan

Bhattacharya, 2001), terutama berkaitan dengan konteks budaya lokal. Selain tujuan

tersebut, hasil kajian ini diharapkan dapat memenuhi keinginan melibatkan

karakteristik budaya Indonesia, terutama Bali pada khususnya sebagai pengembangan

dimensi CSR yang mempertimbangkan potensi lokal. Hal ini sebangun dengan

harapan Wang dan Juslin (2009) tentang implementasi CSR di Asia, bahwa ide

menggabungkan konteks budaya ke dalam konsep CSR dapat berkontribusi untuk

kepentingan studi CSR di masa depan dan implementasi dalam kegiatan bisnis,

sehingga dapat membantu perusahaan-perusahaan untuk mengadopsi CSR melalui

kreativitas dan inisiatifnya sendiri.

Berdasarkan pemaparan pada latar belakang melahirkan kebutuhan untuk

mengembangkan model CSR yang berbasis pada budaya Tri Hita Karana. Oleh

sebab itu, model CSR yang dibangun pada kajian ini dikenal dengan model CSR

berbasis Tri Hita Karana (disingkat dengan CSR-THK), kemudian diuji

kemampuannya untuk membangun dukungan sikap pelanggan sehingga dapat ikut

membentuk loyalitas pelanggan.

21

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Masalah penelitian yang teridentifikasi dari fenomena dan kajian terdahulu

yang dipaparkan pada latar belakang adalah bagaimanakah bentuk model CSR

berbasis Tri Hita Karana yang dapat dibuktikan vailiditas dan reliabilitasnya terhadap

sikap pelanggan tentang merek perusahaan (brand attitude) untuk membangun

loyalitas. Berdasarkan bentuk masalah penelitian tersebut, maka terdapat dua bentuk

pendekatan untuk menjawab masalah penelitian yang terumuskan yaitu; rumusan

masalah (1) dan (2) berkaitan dengan bentuk CSR Tri Hita Karana yang digali

dengan pendekatan kualitatif, sedangkan rumusan (3) sampai dengan (9)

memerlukan pendekatan kuantitatif untuk menjelaskan apakah CSR Tri Hita Karana

dapat dibuktikan mampu membangun sikap yang mendukung merek dan selanjutnya

melahirkan loyalitas pelanggan. Seluruh rumusan masalah penelitian secara spesifik

dijabarkan sebagai berikut:

1) Bagaimanakah bentuk CSR berbasis Tri Hita Karana?

2) Bagaimanakah nilai religius dapat diadopsi sebagai CSR berbasis Tri Hita

Karana?

3) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis

parahyangan terhadap loyalitas nasabah?

4) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis pawongan

terhadap loyalitas nasabah?

5) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis

palemahan terhadap loyalitas nasabah?

22

6) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis

parahyangan terhadap sikap nasabah tentang merek bank?

7) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis pawongan

terhadap sikap nasabah tentang merek bank?

8) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis

palemahan terhadap sikap nasabah tentang merek (brand atittude) bank?

9) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh sikap nasabah tentang

merek bank (brand atittude) terhadap loyalitas nasabah?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah disebutkan, maka dapat

dijabarkan beberapa tujuan untuk dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk menemukan model CSR berbasis Tri Hita Karana

2) Untuk menemukan nilai religius dapat dipakai sebagai CSR berbasis Tri Hita

Karana

3) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis parahyangan

terhadap loyalitas nasabah.

4) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR yang berbasis pawongan

terhadap loyalitas nasabah.

5) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis palemahan

terhadap loyalitas nasabah.

23

6) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis parahyangan

terhadap sikap nasabah tentang merek bank.

7) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis pawongan

terhadap sikap nasabah tentang merek bank.

8) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis palemahan

terhadap sikap nasabah tentang merek bank.

9) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh sikap nasabah tentang merek

bank terhadap loyalitas nasabah.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Temuan dan kajian dalam penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat secara

akademik untuk pengembangan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi,

khususnya untuk bidang pemasaran yang berkaitan dengan tangung jawab

sosial perusahaan (corporate social responsibility) di Provinsi Bali.

2) Temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat membantu pengambil

keputusan dan kebijakan baik di tingkat perusahaan atau pemerintah yang

berhubungan dengan kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan di Provinsi

Bali.

3) Tindak lanjut dari studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

melakukan pengembangan studi yang lebih komprehensif berkaitan dengan

pengembangan model CSR.