bab i pendahuluan - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c1011039_bab1.pdf ·...

Download BAB I PENDAHULUAN - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C1011039_bab1.pdf · sebuah kawasan yang subur, yaitu lembah Sungai Eufrat dan Tigris, tepatnya disebut

If you can't read please download the document

Upload: dokhanh

Post on 09-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Irak merupakan area studies yang sangat menarik. Teritorial Irak terletak di

    sebuah kawasan yang subur, yaitu lembah Sungai Eufrat dan Tigris, tepatnya disebut

    dengan Mesopotamia Kuno. Pada zaman kuno, Irak juga dikenal dengan sebutan

    Lembah Babilonia. Kawasan Irak menyimpan pelbagai masa gemilang dan sampai

    sekarang terus disenandungkan oleh para budayawan, seniman, dan ilmuwan; mulai

    dari peradaban kuno Mesopotamia; Babilonia dengan taman gantungnya; dan

    Baghdad sebagai kota seribu menara; serta kota seribu satu malam Harun ar-Rasyid.1

    Negara yang berada di bagian barat daya Asia ini, memiliki batas-batas

    wilayah; di selatan dengan Kuwait dan Arab Saudi, di barat dengan Yordania dan

    Syria, di utara dengan Turki, dan di timur dengan Iran. Negara Republik Irak

    (al-Jumhuriyah al-Iraqiyah) beribukota di Baghdad, dengan populasi penduduknya

    pada sensus 1990 sebesar 18.317.000 jiwa. Luas wilayahnya mencapai 435.052 km

    dengan kepadatan penduduk 42,1/km. Bahasa resminya adalah bahasa Arab. Dan

    agama Islam menempati peringkat pertama dengan jumlah pengikutnya sebesar

    95,8%, kemudian Kristen 3,5% dan sedikit Yahudi.2

    1 Alauddin al-Mudarris, 2004, Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman, Yogyakarta: Cahaya Hikmah,

    halaman 12-13. 2 Ajid Thohir, 2009, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta:

    Rajawali Pers, halaman 174.

  • 2

    Islam di Irak terbagi menjadi dua kelompok besar yakni Sunni dan Syiah.

    Perpecahan antara kedua kelompok ini penting karena merupakan faktor utama

    terjadinya perang antara Irak dan Iran yang berlarut-larut sejak tahun 1980.

    Perpecahan antara dua sekte itu dimulai setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. pada

    tahun 632 M, karena adanya perbedaan pendapat tentang siapa yang dianggap ahli

    waris yang sah untuk menggantikan Nabi saw. dalam menangani kepemimpinan umat

    Islam. Orang-orang Syiah mengklaim bahwa satu-satunya yang sah sebagai

    pengganti Nabi saw. adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengakui

    para Khalifah ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan)

    sebelumnya. Akan tetapi, selama berabad-abad kaum Sunni-lah yang berhasil dalam

    memenangkan calon-calon mereka untuk terpilih sebagai khalifah atau pemangku

    tugas kenabian Muhammad saw., khususnya di dunia politik. Disebabkan jarangnya

    kaum Syiah memegang kekuasaan politik, maka sistem keimaman mereka pun telah

    menjadi bagian dari gerakan politik yang secara tidak langsung memprotes Sunni.3

    Di Irak, kaum Syi'ah adalah mayoritas yang mencakup sekitar 55-60% dari

    keseluruhan jumlah penduduk Irak. Bahkan, dua kali lipat dari jumlah kaum Arab

    Sunni.4 Walaupun demikian, posisi elite pemerintahan Irak selalu dikuasai oleh Arab

    Sunni. Adapun kaum Syi'ah yang memegang peranan penting dalam pemerintahan

    hanyalah kaum Syi'ah Arab. Kemiskinan banyak menyebar pada masyarakat Syi'ah,

    termasuk mereka yang berdomisili di ibukota Baghdad.5

    3 Ibid, halaman 174-175. 4 Ibid, halaman 175. 5 Alauddin al-Mudarris, 2004, Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman, Yogyakarta: Cahaya Hikmah,

    halaman 14-15.

  • 3

    Pada tahun 1958 (setelah kudeta militer berdarah), Irak berubah menjadi

    negara republik yang sebelumnya berbentuk kerajaan sejak 1921 sampai 1958. Sejak

    tahun 1968, hanya Partai Ba'ath-lah yang menjadi partai politik tunggal di Irak. Di

    bawah kepemimpinan diktator Saddam Hussein, politik regional dan luar negeri Irak

    menjadi ambisius, meskipun harus menghadapkan Irak pada risiko tinggi. Irak gagal

    meruntuhkan pemerintahan Islam Iran dan bahkan menghadapi kehancuran setelah

    menginvasi Kuwait pada 1991.6

    Sejak masa pemerintahan Ahmad Hasan al-Bakr (1968-1979) dan terlebih

    masa pemerintahan Saddam Hussein (1979-2003) inilah, panggung politik Baghdad

    justru didominasi kelompok minoritas Arab Sunni khususnya Partai Ba'ath, lebih

    khusus lagi keluarga Saddam dan "klan" al-Takriti (adalah nama daerah kelahiran

    Saddam Hussein). Kondisi inilah yang disebut "Sunnisasi" panggung politik

    Baghdad.7

    Terhitung semenjak tahun 1968 sampai 1977, dari lima belas anggota Dewan

    Pimpinan Revolusi yang penting, tak satu pun yang berasal dari kalangan Syi'ah.

    Pemerintahan Irak berhasil dikuasai oleh orang-orang yang berasal dari desa Tikrit,

    kota kelahiran Ahmad Hassan al-Bakr dan Saddam Hussein.8 Sehingga dengan

    adanya "Sunnisasi" dan "Ba'athisasi" panggung politik Baghdad inilah, kaum Syi'ah

    melakukan penentangan terhadap rezim di Irak.9

    Saddam Hussein, bersama Partai Ba'ath memimpin pemerintahan Irak

    6 Ibid, halaman 15. 7 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, 1993, Konflik dan Diplomasi di

    Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 101. 8 Chibli Mallat dalam Shireen T. Hunter, 2001, Politik Kebangkitan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,

    halaman 124. 9 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 102.

  • 4

    berlandaskan pada empat pilar; ideologi totalitarian, pemerintahan partai tunggal,

    ekonomi terpimpin, serta kontrol yang ketat terhadap media dan tentara. Lewat Partai

    Ba'ath-lah ia mengembangkan sistem politik Irak, yakni menempatkan suku-suku dan

    klan-klan tradisional sebagai institusi negara kunci.10

    Upaya penjilatan, pemenjaraan, penindasan, bahkan pemusnahan terhadap

    kaum Syi'ah, terus dilakukan Saddam Hussein guna mengontrol pemerintahannya.

    Seperti pengeksekusian Imam Syi'ah Irak "Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr" pada

    8 April 1980 bersama saudarinya "Amina binti al-Huda", yang setahun sebelumnya

    berada dalam tahanan. Juga, upaya penumpasan Saddam terhadap gerakan kaum

    Syi'ah yang menyebabkan terjadinya eksodus (antara 200.000 sampai 350.000) warga

    Syi'ah Irak ke Iran. Di dalam negeri Irak sendiri, tindakan Saddam tersebut justru

    membangkitkan kerusuhan anti-Saddam yang lebih luas di kalangan umat Syi'ah Irak.

    Sedangkan di luar Irak, tindakan Saddam tersebut menjadi penyebab munculnya

    Perang Teluk 1 (perang Iran-Irak September 1980-Agustus 1988).11

    Selama lebih dari dua dasawarsa kaum Sunni telah menikmati kekuasaan.

    Mereka merasakan kenyamanan dan ketentraman di bawah rezim Saddam. Namun,

    keadaan berubah semenjak Baghdad berhasil dikuasai pihak koalisi pada 9 April 2003,

    yang ditandai dengan perobohan Patung Saddam di perempatan Firdaus. Rezim

    Saddam tumbang. Ini menandakan kehidupan baru dan pemerintahan baru di Irak.

    Sementara kaum Sunni harus menghadapi kenyataan baru setelah Saddam jatuh;

    mereka kehilangan kekuasaan dengan segala fasilitasnya, mereka kehilangan

    10 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman

    126-127. 11 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 101.

  • 5

    dominasi dengan segala keuntungannya.12

    Di sisi lain, jatuhnya Saddam justru

    menandakan kebangkitan baru bagi kaum Syi'ah dan Kurdi dalam peranan politik

    mereka pada pemerintahan baru Irak.

    Hilangnya sosok figur Saddam Hussein (pemimpin Sunni, pemimpin Irak)

    selanjutnya, menjadikan konflik antara Sunni dan Syi'ah di Irak pasca Saddam

    berlarut-larut dan semakin intensif, bahkan berujung konfrontasi di antara mereka.

    Sementara masing-masing dari kelompok masyarakat harus terus memperjuangkan

    eksisitensi dan pengaruhnya dalam pemerintahan baru di bawah pendudukan AS dan

    sekutu. Terlebih keadaan kependudukan Irak yang terpecah dalam hal persoalan

    ideologi agama dan etnis, yaitu Irak bagian selatan dikuasai kaum Syi'ah, Irak

    bagian tengah dikuasai kaum Sunni, dan Irak bagian utara di tangan suku

    Kurdidipandang banyak pihak sebagai batu sandungan utama bagi pembentukan

    negara baru.13

    Kemudian, siapakah yang akan berkuasa selanjutnya? Dari kelompok

    mana? Sunni? Syi'ah? Kurdi?

    Isu demokrasi pasca perang Irak-AS pun menyeruak ke permukaan. Jika

    memang hal tersebut terbukti di kemudian hari, berdasarkan sistem demokrasi yang

    selalu diagung-agungkan AS dengan pemberian hak memilih bagi setiap individu,

    maka dapat dipastikan kaum Syi'ah lah yang akan berkuasa. Lalu, bagaimanakah

    dengan kaum Sunni, yang berada di bawah kekuasaan Syi'ah pasca Saddam. Akankah

    sebuah pemerintahan otoriter kembali terwujud sesudah digulingkannya Saddam

    Hussein oleh AS dan sekutu, atau sekurang-kurangnya sebuah pemerintahan yang

    12 Trias Kuncahyono, op. cit, halaman 181-182. 13 Ibid, halaman 123-124.

  • 6

    mempunyai kekuasaan berlebih sehingga mampu mengendalikan semua pihak.14

    Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengkajian fenomena konflik antara

    Sunni dan Syi'ah di Irak pasca Saddam Hussein menjadi suatu wacana kajian yang

    menarik untuk dikaji dan dianalisis. Untuk itulah penelitian ini hadir dalam bentuk

    skripsi yang penulis beri judul Perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak (Pendekatan

    Teori Konflik Ibn Khaldun), sebagai wadah untuk menyoroti perkembangan Sunni

    dan Syi'ah di Irak, tepatnya perkembangan fenomena konflik Sunni dan Syi'ah di Irak

    pasca pemerintahan Saddam Hussein.

    Penelitian tentang Sunni dan Syi'ah di Irak telah dilakukan oleh beberapa

    orang, berikut ini penjelasannya. Beberapa penelitian terdahulu, yang telah membahas

    konflik Sunni-Syi'ah di Irak, di antaranya: Pertama, oleh Musrifa Ilam (2010) dengan

    judul Peranan Kaum Syi'ah dalam Peristiwa Jatuhnya Rezim Saddam Pada Tahun

    2003 (Suatu Tinjauan Sejarah). Penelitian ini menjelaskan sebab-sebab terjadinya

    konflik internal antara Syiah Irak dengan Saddam Hussein dan peranan Syi'ah dalam

    menyukseskan penggulingan rezim Saddam yang tergabung dalam beberapa

    kelompok oposisi yang direkrut oleh AS.

    Kedua, oleh Mehdinsareza Wiriarsa, melalui penelitiannya yang berjudul

    Konflik Komunal Sunni-Syi'ah di Irak Pasca Saddam Hussein (2004-2006), berhasil

    membuktikan hipotesisnya. Empat variabel yang menjadi sumber konflik dalam

    masyarakat, yaitu: adanya differensiasi kelompok, pemenuhan kebutuhan manusia,

    kebijakan pemerintah, serta keterlibatan internasional yang dipicu oleh gagalnya

    upaya AS untuk merekonstruksi Irak berupa pembentukan badan administrasi

    14 Ibid, halaman 124

  • 7

    transisional, pemulihan keamanan, pembangunan ekonomi, dan penetapan sistem

    demokrasi.

    Penelitian ketiga, oleh Ardian Muthahar (2013), yang berjudul Konflik Antar

    Kelompok di Irak Pasca Penarikan Pasukan Amerika Serikat Tahun 2011. Penelitian

    ini mengkhususkan pada interaksi di antara ketiga kelompok (Sunni, Syi'ah, dan

    Kurdi) pasca penarikan pasukan AS tahun 2011. Terdapat beberapa faktor penyebab

    konflik antar kelompok tersebut yaitu, adanya infiltrasi dari kelompok al-Qaeda,

    militan Sunni, dan ekstrimis Syiah yang melakukan aksi kekerasan di berbagai

    wilayah di Irak.

    Perubahan situasi domestik Irak pasca penarikan pasukan Amerika Serikat di

    mana menunjukkan terjadi peningkatan konflik antara kelompok Sunni, Syiah, dan

    Kurdi disebabkan oleh faktor-faktor yaitu: Pertama, tingginya nasionalisme

    kelompok dan sektarianisme di tengah masyarakat Irak, tidak adanya rasa saling

    menghormati antara Sunni, Syiah, maupun Kurdi terus menyebabkan friksi di antara

    mereka. Kedua, pergeseraran kekuatan kelompok dari Sunni ke Syiah menyebabkan

    terbentuknya konflik elite di pemerintahan dan parlemen. Di samping itu,

    meningkatnya konflik antar kelompok di Irak turut memengaruhi hubungan Irak

    dengan negara-negara di sekitaranya, seperti Iran dan Turki. Penelitian ini mampu

    memaparkan interaksi antar kelompok di Irak pasca penarikan pasukan Amerika di

    Irak tahun 2011 dengan baik, juga mampu mendeskripsikan faktor-faktor penyebab

    konflik di antara ketiga kelompok, serta pengaruhnya bagi internal maupun eksternal

    Irak.

  • 8

    Keempat, penelitian Ahmad Sahide (2013) yang berjudul Konflik Syi'ah-Sunni

    Pasca The Arab Spring. Dihasilkan data bahwa konflik Sunni-Syi'ah yang terjadi di

    wilayah Timur Tengah berupa dua bentuk; pertama, konflik antara kelompok

    masyarakat dengan rezim, baik rezim yang Syi'ah dan kelompok masyarakat yang

    Sunni maupun sebaliknya. Kedua, konflik antarnegara (rezim). Sahide juga

    menjelaskan konflik antara Sunni-Syi'ah dewasa ini adalah konflik politik yang

    kemudian merosot kepada konflik agama (fiqhi) yang dampaknya terasa sampai ke

    Indonesia.

    Keadaan Irak secara keseluruhan dapat diketahui dari beberapa penelitian:

    pertama, Andriyansyah (2011), yang berjudul Penyerbuan Amerika Serikat Atas Irak

    dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat Irak 2003-2007. Dihasilkan data

    bahwa kondisi masyarakat Irak dalam bidang ekonomi, politik dan kerukunan agama,

    etnis, serta aliran agama mengalami kemelut yang berdampak panjang.

    Kedua, penelitian Sumargono (2010) yang berjudul Irak Setelah Jatuhnya

    Rezim Saddam Hussein Tahun 2003-2005. Dihasilkan data bahwa pasca invansi AS,

    negara Irak mengalami berbagai macam perubahan baik perubahan sosial, ekonomi,

    dan politik yang mengarah pada pembangunan pemerintahan sementara di Irak.

    Seperti, pembentukan dewan pemerintahan sementara Irak, struktur pemerintahan

    sementara Irak, dan proses pemilu.

    Beberapa buku terkait perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak sendiri, baru

    tampak dalam buku yang berjudul Politik Kebangkitan Islam karya Shireen T. Hunter

    (2001). Buku tersebut membahas tentang politik kebangkitan Islam di beberapa

  • 9

    negara, salah satunya ialah di Irak dan bagian tersebut ditulis oleh Chibli Mallat.

    Dalam memaparkan perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak, Mallat membatasinya

    sejak awal kemerdekaan Irak hingga era pemerintahan Saddam Hussein. Ia mampu

    mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada dan menganalisisnya dengan baik.

    Sejauh penelusuran penulis, karyanya-lah yang sejauh ini mampu memaparkan

    keadaan sosial-politik masyarakat Irak secara runtut dan jelas, khususnya dua

    kelompok besar "Syi'ah dan Sunni."

    Pengkajian masyarakat Irak secara utuh, baik dari segi ekonomi, sosial, agama,

    dan terkhusus politiknya. Antara lain adalah buku karangan: Trias Kuncahyono

    (2005), seorang wartawan KOMPAS, berhasil membukukan perjalanan jurnalistiknya

    sewaktu tiba di Irak. Bagaimanakah situasi sosial politik di Negeri 1.001 Malam itu,

    juga bagaimanakah gambaran yang jelas perihal warga Syi'ah, Sunni, dan Kurdi,

    situasi Baghdad, dan perkembangan pesat media massa, hingga penangkapan Saddam

    Hussein. Buku tersebut berhasil memberikan catatan lengkap dan sangat

    memudahkan dalam memahami situasi terakhir di Irak. Buku tersebut ia beri judul,

    Bulan Sabit di Atas Baghdad.

    Dua orang wartawan TEMPO, Rommy Fibri dan Ahmad Taufik (2008) juga

    membukukan laporannya mengenai situasi terakhir di Baghdad. Buku tersebut diberi

    judul, Detik-detik Terakhir Saddam:Kesaksian Wartawan Tempo dari Baghdad, Irak.

    Buku lainnya adalah karya cendikiawan Irak, 'Alauddin al-Mudarris (2004),

    yang berjudul Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman. Dalam karyanya, al-Mudarris

    mendeskripsikan hal ihwal huru-hara Irak, yang muasal kronologisnya dirunut dari

  • 10

    semenjak Perang Teluk 1 pada dekade 1990-an silam. Ia juga berusaha menyingkap

    tabir-tabir gelap di seputar berita-berita perang Irak yang simpang siur kala itu,

    terutama perihal kejatuhan kota Baghdad yang tak dinyana-nyana, juga tragedi dan

    ironi yang menyelimuti invansi Sekutu ke Irak.

    Buku Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam juga hadir sebagai referensi

    terkait situasi dan kondisi Irak pasca kejatuhan Saddam Hussein. Karya Musthafa

    Abd. Rahman (2003) ini berhasil merangkum fakta-fakta dan menceritakan keadaan

    Irak atas invasi AS, tepatnya sejak kedatangan AS di Irak sampai terbentuknya

    pemerintahan baru Irak yang berlandaskan demokrasi.

    Sejarah negara Irak sebenarnya sudah dituliskan dengan lengkap dan jelas

    oleh Charles Tripp (2000) dalam bukunya A History of Iraq. Yakni, sejarah Irak mulai

    dari masa kekhalifahan Turki Utsmani hingga pemerintahan terakhir Saddam

    Hussein.

    Hala Fattah dan Frank Caso (2009), membukukan tulisan mereka ke dalam

    sebuah karya yang diberi judul, A Brief History of Iraq. Dalam buku tersebut Fattah

    dan Caso berhasil menuliskan sejarah Irak jauh lebih dalam lagi dengan kisaran

    waktu awal peradaban manusia di Irak sampai masa terakhir era pemerintahan

    Saddam Hussein. Dan ditutup dengan pembahasan perihal Perang di Irak (2003-2008).

    Dalam bab tersebut, dijelaskan fakta-fakta terkait kondisi masyarakat dan

    pemerintahan Irak pasca invasi AS, dengan serba-serbi konflik yang melanda sampai

    dengan pembentukan pemerintahan tetap Irak pasca Saddam Hussein.

    Berdasarkan penjelasan di atas, dari beberapa buku dan penelitian terdahulu,

  • 11

    dapat ditarik kesimpulan bahwa sudah ada penelitian-penelitian yang fokus dalam

    mengkaji perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak. Namun kajian yang sudah ada

    berbeda dengan penelitian ini, yang mana fokus mengkaji perkembangan Sunni dan

    Syi'ah di Irak; terhitung sejak pasca Saddam Hussein hingga era Nouri al-Maliki.

    Oleh karena itu, penelitian ini hadir sebagai langkah lanjutan dari

    penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.

    Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai penambahan wawasan dan

    pengetahuan dalam bidang kajian Timur Tengah, khususnya sejarah negara Irak

    modern, lebih khusus lagi perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak. Dengan wawasan

    ini, diharapkan dapat diterapkan sebagai acuan dalam pembentukan pemerintahan

    baru Irak yang lebih adil, merata, dan sejahtera. Di pihak lain, juga bermanfaat

    sebagai referensi bagi para pengemban kebijakan di negeri ini dalam upaya menjaga

    stabilitas nasional dan keutuhan NKRI.

    Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Apa latar belakang munculnya konflik Sunni-Syi'ah pasca Saddam Hussein?

    2. Bagaimana kehidupan Sunni dan Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki?

    3. Bagaimana fenomena konflik Sunni-Syi'ah di Irak menurut teori konflik Ibn

    Khaldun?

    B. Tujuan Penelitian

    Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

    1. Mendeskripsikan tentang latar belakang munculnya konflik Sunni-Syi'ah

    pasca Saddam Hussein.

  • 12

    2. Menjelaskan mengenai kehidupan Sunni dan Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri

    al-Maliki.

    3. Menganalisis fenomena konflik Sunni-Syi'ah di Irak menurut teori konflik Ibn

    Khaldun.

    C. Pembatasan Masalah

    Pembatasan masalah sangatlah diperlukan agar sebuah penelitian dapat terarah

    dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sehingga tidak terjadi penyimpangan

    pada pokok permasalahan. Masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada

    pengkajian dua kelompok besar di Irak, yakni Sunni dan Syiah. Terlepas dari

    pembahasan suku Kurdi yang juga ambil bagian dalam konflik internal Irak.

    Pembahasan penelitian ini mencakup kehidupan Sunni dan Syi'ah di Irak

    pasca Saddam Hussein, dimulai sejak jatuhnya rezim Saddam Hussein sampai dengan

    kehidupan Sunni dan Syi'ah di bawah rezim Syi'ah Nouri al-Maliki. Agar diperoleh

    data yang lengkap dan runtut dalam menyoroti perkembangan Sunni dan Syi'ah di

    Irak, maka dalam penelitian ini akan dipaparkan keadaan kedua kelompok (Sunni dan

    Syi'ah) dalam dua era kepemimpinan terakhir di Irak: "era rezim Sunni Saddam

    Hussein" dan "era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki". Dengan demikian, akan didapatkan

    data berupa peristiwa-peristiwa penting dan fakta-fakta seputar hubungan kedua

    kelompok itu.

    Teori konflik perspektif Ibn Khaldun kemudian diterapkan guna mengkaji dan

    menganalisis fenomena konflik Sunni-Syi'ah di Irak. Maka diharapkan, penelitian ini

    mampu memberikan salah satu bentuk penyelesaian terhadap fenomena konflik yang

  • 13

    ada di Irak, khsususnya antara Sunni dan Syi'ah.

    D. Landasan Teori

    Teori adalah proses membangun ide yang membuat seorang ilmuwan bisa

    menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi. Teori bisa mengikat sejumlah fakta

    sehingga dapat memahami semuanya. Ahli sosiologi, Jonathan H. Turner, secara

    singkat merumuskan, bahwa sebuah teori dibangun sebagai kegiatan intelektual, yang

    dikenal dengan ilmu pengetahuan, untuk mencapai tiga tujuan utamanya, yaitu (1)

    untuk mengklasifikasikan dan mengorganisasikan peristiwa-peristiwa di dunia

    sehingga peristiwa tersebut dapat ditempatkan pada perspektif tertentu; (2) untuk

    menjelaskan sebab terjadinya peristiwa masa lampau dan meramalkan bilamana, di

    mana, dan bagaimana peristiwa di masa mendatang akan terjadi; dan (3) untuk

    menawarkan sebuah pengertian yang secara naluriah memuaskan mengenai mengapa

    dan bagaimana peristiwa itu terjadi.15

    Maka dalam penelitian ini, teori konflik Ibn

    Khaldun digunakan sebagai landasan teorinya. Adapun penjelasannya adalah sebagai

    berikut.

    1. Definisi Konflik

    Menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti

    suatu "perkelahian, peperangan, atau perjuangan", yaitu berupa konfrontasi fisik

    antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan

    masuknya "ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan,

    ide, dan lain-lain". Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh

    15 Hakimul Ikhwan Affandi, 2004, Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun,

    Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 71-72.

  • 14

    aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu

    sendiri. Secara singkat, istilah conflict menjadi begitu meluas sehingga berisiko

    kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.16

    Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mendefinisikan konflik sebagai

    persepsi mengenai perbedaan kepentingan (preceived divergence of interest).

    Sementara kepentingan, atau orang kadang menyebutnya dengan istilah

    "nilai-nilai" (values) atau "kebutuhan" (needs), adalah perasaan orang mengenai

    apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral

    dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan,

    dan niat. Ada beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan

    kepentingan. Beberapa kepentingan bersifat universal seperti kebutuhan akan

    rasa aman, identitas, restu sosial (social approval), kebahagiaan, kejelasan

    tentang dunianya, dan beberapa harkat kemanusiaan yang bersifat fisik.17

    Secara ringkas, konflikyang didefinisikan sebagai perbedaan persepsi

    mengenai kepentinganterjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat

    memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Konflik dapat terjadi hanya karena salah

    satu pihak memiliki aspirasi lebih tinggi atau karena alternatif yang bersifat

    integratif dinilai sulit didapat. Pruitt dan Rubin juga menambahkan bahwa

    adanya ketidakpercayaan di antara kedua belah pihak sangat mungkin mendorong

    timbulnya konflik.18

    16 Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman

    9. 17 Ibid halaman 21. 18 Ibid, halaman 21-36.

  • 15

    Konflik merupakan konsep sosial yang sering dimaknai secara berbeda,

    bahkan pluralitas makna konflik ini membuatnya menjadi ambigu. Setidaknya

    pandangan seperti ini diwakili oleh dua perspektif perubahan sosial. Pertama,

    perspektif struktural fungsional cenderung memandang konflik sebagai gejala

    patologi sosial yang disebabkan oleh ketidakharmonisan dari subsistem dalam

    proses adaptasi menuju perubahan. Pandangan ini menyatakan bahwa sumber

    konflik terjadi karena salah satu sub-sistem tidak berfungsi. Konflik dipahami

    sebagai penghambat perubahan sosial. Oleh karena itu, pandangan ini melihat

    bahwa konflik merupakan gejala yang traumatik dan harus dihindari.19

    Kedua, perspektif kelas cenderung memandang konflik sebagai gejala

    yang sehat dalam masyarakat, bahkan menunjukkan berjalannya fungsi dari

    sub-sistem masyarakat. Oleh sebab itu, konflik tidak dilihatnya sebagai gejala

    patologi, tetapi dilihatnya sebagai dinamika dalam proses perubahan. Energi

    konflik inilah yang dianggap sebagai embrio perubahan, bahkan jika konflik

    tidak ada dalam masyarakat justru ini tanda masyarakat yang tidak sehat.20

    2. Teori Konflik Ibn Khaldun

    Penjelasan mengenai bangunan teori konflik perspektif Ibn Khaldun

    dikutip dari buku yang berjudul Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi

    Pemikiran Ibn Khaldun karya Hakimul Ikhwan Affandi (2004) halaman 79-111.

    Adalah sebagai berikut:

    Ibn Khaldun memandang konflik sebagai sesuatu yang tidak berdiri

    19 Surwandono dalam Ahmad Sahide, 2013, Ketegangan Politik Syi'ah-Sunni di Timur Tengah

    (Sejarah Politik di Sekitar Laut Tengah Pada Aban x M), Yogyakarta: The Phinisi Press, halaman 16. 20 Ibid, halaman 16.

  • 16

    sendiri. Konflik lahir dari interaksi antara individu maupun kelompok dalam

    berbagai bentuk aktivitas sosial, ekonomi, politik dan budaya. Berbicara

    mengenai teori konflik perspektif Ibn Khaldun, setidaknya ada tiga pilar utama

    yang harus mendapatkan perhatian yaitu: pertama, watak psikologis yang

    merupakan dasar sentimen dan ide yang membangun hubungan sosial di antara

    berbagai kelompok manusia (keluarga, suku, dan lainnya); kedua, adalah

    fenomena politik, yaitu berhubungan dengan perjuangan memperebutkan

    kekuasaan dan kedaulatan yang melahirkan imperium, dinasti, dan negara; dan

    ketiga, fenomena ekonomi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan

    ekonomi baik pada tingkat individu, keluarga, masyarakat maupun negara.21

    Namun demikian, dari ketiga pilar tersebut, penulis hanya membahas lebih

    detail pilar yang kedua, yaitu fenomena politik karena penelitian ini hanya

    mengkaji dinamika dan konflik politik Sunni-Syi'ah di Irak. Di samping

    penjelasan tentang pilar pertama (watak psikologis) dirasa perlu untuk

    menyempurnakan pemahaman pemikiran Ibn Khaldun.

    2.1 Watak Psikologis Manusia

    Menurut Ibn Khaldun, tiga potensi yang dimiliki manusia, yaitu

    kemampuan intelligibia (al-ma'qulat), sensibilia (al-mahsusat), dan

    spiritualia (ar-ruhaniat) yakni intelek, penginderaan, dan kerohanian adalah

    potensi yang mampu mengembangkan eksistensi kemanusiaan dalam diri

    manusia. Apabila ketiga potensi tersebut mampu dikembangkan dengan baik,

    21 Hakimul Ikhwan Affandi, 2004, Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun,

    Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 80.

  • 17

    maka manusia bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.

    Namun, manusia juga memiliki potensi lain yang bisa mendorongnya

    bertindak agresif. Potensi tersebut muncul karena adanya pengaruh animal

    power dalam dirinya. Karena potensi inilah, manusia juga dikenal sebagai

    rational animal atau animale rationale atau chayawaanun natiqun.22

    Dalam hubungannya dengan konflik, ada dua potensi dalam diri

    manusia yang menjadi perhatian Ibn Khaldun, yaitu pertama, cinta terhadap

    (identitas) kelompok, dan kedua, agresif.

    1) Cinta Terhadap (Identitas) Kelompok

    Menurut Ibn Khaldun, manusia secara fitrah telah dianugerahi rasa

    cinta terhadap garis keturunan dan golongannya. Rasa cinta ini

    menimbulkan perasaan senasib dan sepenanggungan serta harga diri

    kelompok, kesetiaan, kerja sama, dan saling membantu dalam

    menghadapi musibah atau ancaman yang pada akhirnya akan membentuk

    kesatuan dan persatuan kelompok. Ketika manusia hidup bersama-sama

    dalam suatu kelompok maka fitrah ini mendorong terbentuknya rasa cinta

    terhadap (identitas) kelompok. Dalam terminologi Ibn Khaldun, hal ini

    disebutnya dengan 'ashabiyah. Secara etimologi, 'ashabiyah dapat

    diartikan sebagai kedekatan hubungan seseorang dengan golongan atau

    kelompoknya dan berusaha sekuat tenaga untuk memegang

    prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok tersebut.23

    22 Ibid, halaman 81. 23 1986, Al-Munjid Fil-Lughah Wal-'Alam, Lebanon: Daarul Masyriq, halaman 805.

  • 18

    Manusia tidak akan rela jika salah satu anggota kelompoknya

    terhinakan dan dengan segala daya upaya akan membela dan

    mengembalikan kehormatan kelompok mereka. Sebagai sebuah fitrah,

    maka rasa cinta terhadap (identitas) kelompok ini terdapat pada semua

    bentuk masyarakat baik dalam bentuknya yang primitif maupun dalam

    perkembangannya yang menetap/modern. Perbedaannya hanya pada

    faktor pengikat. Dalam masyarakat primitif, faktor pengikatnya adalah

    ikatan darah atau garis keturunan. Sedangkan dalam masyarakat

    menetap/modern yang ikatan darahnya sudah tidak murni satu suku lagi

    maka ikatannya didasarkan atas kepentingan-kepentingan anggota

    kelompok maupun yang secara imajiner menjadi kepentingan

    kelompok.24

    Berdasar penjelasan di atas maka, 'ashabiyah dapat dibedakan

    menjadi dua pengertian, pertama, secara sempit (khusus) dan kedua,

    secara luas (umum). Pengertian pertama didasarkan pada ikatan keturunan

    walaupun dalam kenyataannya 'ashabiyah semacam ini juga

    bertingkat-tingkat. 'Ashabiyah yang didasarkan pada satu keturunan ayah

    dan ibu akan lebih kuat dibandingkan dengan 'ashabiyah yang didasarkan

    pada garis paman dan bibi atau lainnya.25

    Pengertian kedua, 'ashabiyah tidak hanya didasarkan pada suatu

    keturunan, tetapi bisa berdasarkan pada hubungan bertetangga yang

    24 Hakimul Ikhwan Affandi, op. cit, halaman 82-83. 25 Ibid, halaman 110.

  • 19

    harmonis, persekutuan, hubungan antara budak dengan majikannya atau

    hubungan antara pekerja dengan majikannya. Termasuk di dalamnya

    kelompok-kelompok yang diikat oleh suatu kepentingan tertentu. Hal ini

    didasarkan pada sifat 'ashabiyah yang khayali (imagine).

    Individu-individu dalam suatu kelompok mengikatkan diri dalam suatu

    komunitas yang lebih besar untuk memperjuangkan kepentingan mereka

    dan disertai imaginasi tercapainya kepentingan tersebut.26

    Disebabkan karena sifat yang imagine ini, maka 'ashabiyah dalam

    struktur pemikiran Ibn Khaldun bukanlah sesuatu yang kaku atau tidak

    bisa berubah, melainkan bisa tumbuh menjadi kuat atau sebaliknya akan

    hancur dan berakhir. Lalu berganti dengan 'ashabiyah lain. 'Ashabiyah

    dalam pengertian kedua ini pada gilirannya menghasilkan hal yang sama

    dengan apa yang terjadi pada pengertian pertama, yaitu rasa cinta, senasib

    dan sepenanggungan dalam segala suka maupun duka.27

    2) Agresif

    Manusia memiliki watak agresif sebagai akibat adanya animal

    power dalam dirinya yang mendorong untuk melakukan kekerasan atau

    penganiayaan. Agresifitas manusia ini bisa berakibat terjadinya

    pertumpahan darah dan permusuhan, bahkan pemusnahan umat manusia

    itu sendiri. Pandangan Ibn Khaldun ini sejalan dengan banyak penjelasan

    para filosof lainnya bahwa yang membedakan manusia dengan hewan

    26 Ibid. 27 Ibid, halaman 111.

  • 20

    adalah akal atau pikiran. Agresifitas manusia tersebut kemudian menjadi

    pemicu terjadinya konflik antar mereka. Apalagi bila tidak terdapat

    institusi atau seorang pemimpin yang mampu mengendalikan agresifitas

    manusia atas yang lainnya. Argumen inilah yang kiranya dapat digunakan

    untuk menjelaskan berbagai konflik dan kekerasan yang begitu lekat

    dengan sejarah manusia.28

    2.2 Fenomena Politik

    Ibn Khaldun dikenal sebagai ilmuwan politik. Beberapa penelitian

    mengenai teori-teori politiknya telah dipublikasikan dan mendapat perhatian

    banyak kalangan. Dalam bidang politik, ia bukanlah ilmuwan yang hanya

    menghabiskan banyak waktu di belakang meja untuk menulis atau

    melakukan penelitian terhadap berbagai fenomena politik. Tetapi, selama

    bertahun-tahun ia terlibat langsung dalam berbagai intrik politik, perebutan

    kekuasaan dan mendirikan kekuasaan baru di atas kekuasaan lama. Di

    samping juga menyaksikan berbagai fenomena politik di berbagai wilayah

    yang membentang di Afrika dan Spanyol.29

    Pengkajian mengenai fenomena politik yang berhubungan dengan

    konflik dalam masyarakat, terdapat dua hal penting yang perlu untuk dibahas.

    Yaitu, pertama, akar berdirinya negara. Pentingnya hal ini dibahas karena

    mengingat negara sebagai perkembangan paling maju dalam kehidupan

    berkelompok manusia seringkali dipandang sebagai arena pertarungan antar

    28 Ibid, halaman 83-84. 29 Ibid, halaman 85-86.

  • 21

    kelompok dalam masyarakat. Bila benar demikian adanya, maka tentu saja

    bertentangan dengan semangat hidup berkelompok manusia pada awal

    mulanya. Pertarungan terjadi karena masing-masing kelompok ingin

    memegang kekuasaan, dan puncak kekuasaan tersebut adalah kekuasaan

    negara.30

    Hal inilah yang terjadi antara Sunni dengan Syi'ah yang

    masing-masing memperkuat ikatan solidaritasnya dalam membedakan

    dirinya dengan yang lain, kemudian saling menyerang karena perbedaan

    ikatan solidaritas tersebut ('Ashabiyah). Inilah yang melahirkan

    ketegangan-ketegangan atau konflik dalam perkembangan Sunni-Syi'ah di

    Irak.

    Kedua, kekuasaan raja atau kepala negara. Dalam hubungan dengan

    konflik, pembahasan mengenai hal ini menjadi sangat penting mengingat

    peran yang semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin diharapkan mampu

    menjadi penengah dan pemisah di antara kelompok-kelompok yang berbeda.

    Menurut Ibn Khaldun kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk

    melarang orang lain melakukan tindakan yang merusak dan larangan itu

    untuk didengarkan dan dipatuhi oleh orang lain. Namun, seorang pemimpin

    dalam menjalankan kekuasaannya tidak menjamin dapat berlaku adil.

    Bahkan kekuasaannya dapat membuatnya berlaku zalim dan aniaya.31

    1) Akar Berdirinya Negara

    Ibn Khaldun mengilustrasikan bahwa dalam hal makanan saja

    30 Ibid, halaman 86-87. 31 Ibid, halaman 87.

  • 22

    manusia saling membutuhkan satu sama lain. Selain dalam hal makanan,

    keterkaitan manusia satu dengan yang lainnya juga terjadi dalam hal

    keamanan jiwa. Tiap manusia memerlukan bantuan dari sesamanya dalam

    pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Manusia supaya dapat bertahan

    hidup diperlukan makan dan untuk aman harus dapat membela diri dari

    makhluk lain. Dua hal tersebut tidak dapat dilakukan seorang diri. Oleh

    karenanya, diperlukan adanya kerja sama antar sesama manusia. Kerja

    sama tersebut kemudian membentuk suatu organisasi kemasyarakatan.

    Dari sinilah Ibn Khaldun menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan

    (al-ijtima' al-insani) adalah merupakan suatu keharusan. Karenanya,

    peradaban umat manusia tidak bisa terlepas dari organisasi tersebut. Ini

    berarti, manusia memerlukan suatu organisasi kemasyarakatan yang

    dinamakan "kota" (Arab; al-madinah, Latin; polis).32

    Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban

    merupakan suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan

    seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah

    dan pemisah antara anggota masyarakat. Watak agresif, sebagai akibat

    dari adanya potensi-potensi kebinatangan (animal power) dalam diri

    manusia dapat menyebabkan terjadinya pertikaian, permusuhan,

    perusuhan, pertumpahan darah, bahkan pemusnahan umat manusia itu

    32 Ibid, halaman 87-89.

  • 23

    sendiri.33

    Senjata-senjata yang dipergunakan untuk melindungi manusia

    terhadap watak agresif manusia terhadap sesamanya. Oleh karena itu,

    diperlukan sesuatu yang dapat menangkal atau mengatasi watak agresif

    manusia terhadap sesamanya. Itulah yang dapat diperankan oleh

    penengah atau pemisah yang berasal dari kelompok mereka sendiri.

    Menurut Ibn Khaldun, tindakan agresif dan detensif hanya berhasil

    dengan bantuan solidaritas sosial (Ashabiyah).34

    Namun pada umumnya

    semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman

    terhadap kepentingan hayati. Perilaku agresif binatang merupakan respon

    terhadap "segala sesuatu yang mengancam kelangsungan hidup".35

    2) Kekuasaan Raja atau Kepala Negara

    Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pandangan Ibn Khaldun

    mengenai kehadiran seorang raja atau kepala negara adalah sebagai

    penengah, pemisah, dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu

    keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara.

    Terkait hal ini, Ibn Khaldun berpandangan bahwa tugas pokok yang harus

    dilakukan manusia adalah, pertama, berusaha dengan segala kemampuan

    untuk dapat melestarikan kehidupan umat manusia, dan kedua,

    melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini. Menurutnya,

    33 Ibid, halaman 91. 34 Ibn Khaldun, 2008, Muqaddimah Ibn Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, halaman 228-229. 35 Erich Fromm dalam Ahmad Sahide, 2013, Ketegangan Politik Syi'ah-Sunni di Timur Tengah

    (Sejarah Politik di Sekitar Laut Tengah Pada Abad x M), Yogyakarta: The Phinisi Press, halaman 19.

  • 24

    hubungan orang yang diperintah (rakyat) dengan orang yang memerintah

    adalah hubungan kepemilikan. Orang yang memerintah adalah orang

    yang memiliki rakyat dan rakyat adalah mereka yang memiliki orang

    yang memerintah.36

    Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang

    pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya didasarkan pada

    wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut di atas.

    Tetapi, lebih ditekankan pada hasil pengamatannya terhadap

    perkembangan kehidupan umat manusia dalam kehidupan berkelompok

    atau bermasyarakat.

    Di dalam suatu organisasi kemasyarakatan akan terjadi hubungan

    atau interaksi antar sesama anggotanya. Dari sinilah akan memunculkan

    berbagai persoalan, di antaranya adalah persoalan konflik. Mengingat

    watak agresif atau animal power yang ada pada manusia, sehingga

    seseorang atau sekelompok orang akan begitu saja mengambil milik atau

    usaha orang lain secara tidak sah. Maka, terjadilah pertikaian yang

    menimbulkan permusuhan, yang mana pada gilirannya dapat sampai pada

    pemusnahan umat manusia itu sendiri.37

    Selanjutnya, diperlukan seseorang yang dapat menjadi pengendali

    dan mampu memerintah, yang mana untuk dapat bertindak sebagai raja

    atau kepala negara adalah dia yang memiliki superioritas atau keunggulan,

    36 Ibn Khaldun, op. cit, halaman 230. 37 Ibid, halaman 228-229.

  • 25

    sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Selain itu,

    seorang penguasa juga harus memiliki tentara yang kuat dan loyal

    kepadanya guna menjamin keamanan negara atau wilayah kekuasaannya

    dari ancaman orang luar. Sedangkan aparat birokrasi diperlukan untuk

    membantu menjalankan pemerintahan termasuk untuk menarik dan

    mendapatkan dana bagi pembiayaan operasional negara. Namun yang

    terpenting adalah orang tersebut memiliki 'ashabiyah yang kuat.38

    Adapun ketika seorang pemimpin telah sampai pada puncak

    kekuasaan negara akan menjalankan kekuasaannya dengan cara yang

    berbeda-beda. Ibn Khaldun membedakan pola kepemimpinan ke dalam

    tiga bentuk. Pertama, kekuasaan dijalankan dengan lemah lembut dan

    penuh keadilan. Sehingga salah satu ciri yang menonjol dalam

    masyarakat ini adalah ketaatan bahwa setiap orang dapat mengemukakan

    pendapat secara bebas, tanpa rasa takut dan tekanan. Kedua, kekuasaan

    dijalankan dengan dominasi, kekerasan, dan teror. Masyarakat di bawah

    kepemimpinan pola kedua ini akan hidup dalam tekanan dan rasa takut.

    Tidak ada kebebasan dalam menyatakan pendapat. Ketiga, kekuasaan

    dijalankan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi atau hukuman-hukuman.

    Dalam keadaan seperti ini moral rakyat akan hancur dan rakyat akan

    mengalami demoralisasi.39

    Mengingat kekuasaan negara adalah kekuasaan tertinggi dan tidak

    38 Hakimul Ikhwan Affandi, 2004, Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun,

    Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 94-95. 39 Ibid, halaman 98-99.

  • 26

    terdapat kekuasaan lain di atasnya, maka seorang kepala negara

    mempunyai tanggung jawab moral yang amat tinggi di hadapan

    masyarakat. Adapun politik bagi Ibn Khaldun sendiri adalah salah satu

    ciri khas yang hanya dimiliki manusia. Karenanya, dalam berpolitik

    manusia hendaknya menunjukkan segi-segi terbaik dalam dirinya.

    Segi-segi terbaik tersebut dapat dibangun dari kehidupan agama dan

    moralitas.40

    3. Strategi Dalam Menyikapi Konflik

    Setiap orang yang berkonflik akan selalu mencari cara dalam menyikapi

    konflik tersebut. Pruitt dan Rubin menjelaskan bahwa setidaknya ada 5 strategi

    yang biasanya ditempuh dalam menyikapi konflik. Kelima strategi tersebut

    adalah contending (bertanding), yielding (mengalah), problem solving

    (pemecahan masalah), withdrawing (menarik diri), inaction (diam).

    Strategi contending adalah mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai

    oleh salah satu pihak atas pihak yang lain. Strategi kedua, yielding, yaitu strategi

    yang menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang

    sebetulnya diinginkan. Strategi ketiga adalah problem solving, yaitu mencari

    alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Strategi keempat adalah

    withdrawing, strategi ini memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik

    maupun psikologis. Strategi terakhir adalah inaction, yaitu tidak melakukan

    apapun. Ketiga strategi konflik: contending, yielding, dan problem solving dapat

    40 Ibid, halaman 99.

  • 27

    dianggap sebagai strategi untuk mengatasi konflik, dalam arti bahwa

    masing-masing melibatkan beberapa usaha yang relatif konsisten dan koheren

    untuk mengatasi konflik. Sebaliknya, withdrawing dan inaction adalah strategi

    yang tidak dimaksudkan untuk mengatasi tetapi untuk menghentikan atau untuk

    mengabaikan konflik.41

    Ibn Khaldun membangun sikap yang berbeda dalam mempelajari sejarah,

    dengan mencoba lebih meneliti berbagai peristiwa atau fakta-fakta dan mencari

    hubungan yang niscaya ada antar satu peristiwa dengan lainnya. Sebagai perintis

    sosiologi, ia membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta

    memberikan penjelasan atas fakta-fakta. Hingga akhirnya ia menemukan hukum

    sebab akibat dalam kehidupan masyarakat. Apabila sebab yang melingkupinya

    sama maka akan menimbulkan akibat yang sama pula. Ibn Khaldun menarik

    kesimpulan bahwa masa lalu dan masa depan mengandung hukum sosial yang

    sama dan dapat dipahami dari masa sekarang. Kesamaan antara masa lalu dan

    masa depan lebih tepat ketimbang dua tetes air. Peristiwa-peristiwa tersebut

    berlangsung berdasarkan hukum sosial yang sama, perbedaannya hanyalah pada

    bentuk-bentuk kemunculannya.42

    E. Sumber Data dan Data

    Menurut Heddy Shri Ahimsa (2009), "data" adalah fakta yang relevan, yang

    berkaitan secara logis dengan (a) masalah yang ingin dijawab atau masalah penelitian,

    41 Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman

    4-7. 42 Hakimul Ikhwan Affandi, op. cit, halaman 74.

  • 28

    dan dengan (b) kerangka teori atau paradigma yang digunakan untuk menjawab

    masalah tersebut. Jadi data adalah fakta yang telah dipilih, diseleksi, berdasarkan atas

    relevansinya.43

    Istilah "fakta" di sini diartikan sebagai pernyataan tentang realita, tentang

    kenyataan. Seseorang yang menceritakan suatu kejadian pada dasarnya adalah orang

    yang sedang mengemukakan fakta-fakta, mengemukakan pernyataan-pernyataan

    tentang suatu kenyataan. Oleh karena itu, suatu fakta selalu bersifat "subjektif",

    karena suatu kenyataan yang sama dapat saja dikemukakan dengan cara-cara yang

    berbeda. Adapun "kenyataan" di sini secara sederhana diartikan sebagai "segala

    sesuatu yang dianggap ada". Kata "dianggap" di sini menduduki posisi penting, sebab

    kata tersebut mencerminkan relativitas. Artinya, apa yang "ada" bagi seseorang belum

    tentu "ada" bagi yang lain, karena masing-masing memiliki pandangan yang berbeda

    tentang suatu hal.44

    Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif artinya tidak

    berupa angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai sisi, sifat, ciri, keadaan,

    dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan antara sesuatu dengan

    sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, atau

    gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bisa pula peristiwa-peristiwa yang terjadi

    dalam suatu masyarakat.45

    Sumber data dalam penelitian ini berupa: data primer dan data sekunder. Data

    43 Heddy Shri Ahimsa-Putra, "Paradigma Ilmu Sosial-Budaya-Sebuah Pandangan-", Makalah

    disampaikan pada Kuliah Umum "Pardigma Penelitian Ilmu-ilmu Humaniora", Program Studi Linguistik, Sekolah

    Pascasarjana, UPI, Bandung, 7 Desember 2009, halaman 13. 44 Ibid, halaman 12-13. 45 Ibid, halaman 13.

  • 29

    primer bersumber dari buku karya Hala Fattah dan Frank Caso yang berjudul A Brief

    History of Iraq, Bulan Sabit di Atas Baghdad karya Trias Kuncahyono, Geliat Irak

    Menuju Era Pasca Saddam karya Musthafa Abd. Rahman, Detik-detik Terakhir

    Saddam: Kesaksian Wartawan Tempo dari Baghdad, Irak karya Rommy Fibri dan

    Ahmad Taufik, Maliki's Authoritarian Regime karya Marisa Sullivan, serta Akar

    Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun karya Hakimul

    Ihkwan Affandi.

    Buku-buku lain yang dijadikan sebagai data sekunder, seperti: karya Shireen T.

    Hunter yang berjudul Politik Kebangkitan Islam, Konflik dan Diplomasi di Timur

    Tengah karya Riza Sihbudi, dkk., serta Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman karya

    'Alauddin al-Mudarris. Adapun buku-buku penunjang lain seperti beberapa buku

    tentang perbedaan Sunni dan Syi'ah. Selain buku, data sekunder juga diperoleh dari

    jurnal-jurnal, majalah-majalah, surat kabar dan website internet yang terkait dengan

    perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak pasca Saddam Hussein.

    F. Metode dan Teknik Penelitian

    Metode, menurut Heddy Shri Ahimsa (2009) adalah cara, sedang penelitian

    adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi metode penelitian adalah cara-cara yang

    digunakan untuk mengumpulkan data.46

    Dalam penelitian ini digunakan metode

    penelitian kualitatif atau metode pengumpulan data kualitatif.

    1. Metode Analisis Data

    Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilah-milah,

    46 Ibid, halaman 15.

  • 30

    mengelompokkan data (kualitatif), agar kemudian dapat ditetapkan relasi-relasi

    tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain. Sebagaimana

    halnya metode penelitian, metode analisis kualitatif harus diartikan sebagai

    metode menganalisis data kualitatif.47

    Tahap pertama analisis data dalam penelitian ini berupa pengkajian hasil

    kepustakaan yang telah terkumpul sebelumnya. Kedua, data yang kurang

    relevan kemudian direduksi. Ketiga, reduksi data dilakukan dengan membuat

    pengelompokan dan abstraksi (pemisahan). Tahap keempat, yaitu menentukan

    metode analisis data.

    Metode analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif-teoritis.

    Maksudnya, data yang telah tereduksi dan telah dikelompokkan, serta

    diabstraksi kemudian, dianalisis berdasarkan teori yang digunakan (teori konflik

    Ibn Khaldun). Analisis bersifat terbuka dan induktif. Maksudnya, analisis

    bersifat longgar, tidak kaku, dan tidak statis. Sedangkan, analisis induktif adalah

    perumusan umum mengenai suatu gejala dengan cara mempelajari kasus atas

    kejadian khusus yang berhubungan dengan hal itu.48

    2. Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik

    library research atau studi pustaka, baik dari buku-buku, jurnal nasional

    maupun internasional dan media surat kabar ataupun media internet.

    47 Ibid. 48 www.kateglo.com/kamus/induktif. diakses pada Kamis, 17 September 2015, pukul 16:52.

    http://www.kateglo.com/kamus/induktif.

  • 31

    G. Sistematika Penyajian

    Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab. Bab I

    merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, tujuan

    penelitian, pembatasan masalah, landasan teori, sumber data dan data, metode dan

    teknik penelitian, serta sistematika penyajian.

    Bab II berisi pembahasan tentang latar belakang munculnya konflik

    Sunni-Syi'ah pasca Saddam. Bahasan di bab ini terdiri dari tiga sub-bab. Sub-bab

    pertama ialah penjelasan tentang sejarah singkat lahirnya Sunni dan Syi'ah, yaitu

    meliputi penjelasan definisi Syi'ah, asal muasal ajaran Syi'ah, kelompok-kelompok

    dalam Syi'ah, serta definisi Ahlussunnah Waljamaah. Sub-bab kedua adalah

    kehidupan Sunni dan Syi'ah di bawah pemerintahan Saddam Hussein, yaitu meliputi

    Sunnisasi dan Ba'athisasi, respon terhadap Sunnisasi negara: dari al-Sadr sampai

    al-Hakim. Sub-bab ketiga menjelaskan kondisi Irak pasca Saddam Hussein dan

    pengaruhnya terhadap kehidupan Sunni-Syi'ah yang meliputi, merebaknya anarkisme,

    munculnya pemberontakan, aksi perlawanan Sunni dan Syi'ah, serta pemerintahan

    sementara.

    Bab III mengenai kehidupan Sunni dan Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri

    al-Maliki, yang terdiri dari: penjelasan perihal pemerintahan Nouri al-Maliki dan

    konflik Sunni-Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki. Di bab ini juga dijelaskan

    analisis Ibn Khaldun terhadap fenomena konflik Sunni-Syi'ah di Irak.

    Bab IV adalah bab penutup, yang terdiri dari hasil analisis/teori (kesimpulan)

    dan saran.