bab i pendahuluan -...

26
1 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Sultan Ground merupakan tanah adat dimana tanah tersebut peninggalan yang dimiliki lembaga Kraton. Menurut Hamengkubuwono X (2007) yang disebut Sultan Ground adalah tanah-tanah raja dan keluarga Keraton yang terdiri atas situs, magersari dan tanah kosong serta garapan kosong. Keberadaan Sultan Ground di Yogyakarta merupakan aset sosial dan ekonomi yang harus dijaga dan dipertahankan. Pada awalnya, aturan hukum keraton Kasultanan Yogyakarta tidak mengatur secara khusus mengenai tanah SG. Menurut sejarahnya, hukum tanah Sultan Ground diatur bersama dengan tanah kas desa, tanah penduduk, dan tanah Keraton itu sendiri. Dahulu Sultan Ground adalah tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun pemerintah desa dan masih merupakan tanah milik Keraton, sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton dengan memenuhi penyelesaian administrasi di Kantor Panitikismo, Kraton Yogyakarta (Anonim 2011). Masyarakat yang akan menggunakan atau memanfaatkannya, akan diberikan surat kekancingan dari keraton yang berarti surat kuasa yang diberikan oleh pihak Keraton kepada masyarakat Daerah Yogyakarta dan sekitarnya untuk menggunakan tanah Keraton. Status tanah yang mereka gunakan bersifat magersari dan tidak dapat dijadikan hak milik. Sementara bagi Keraton, status hukum Sultan Ground masih belum jelas secara hukum. Selama ini Sultan Ground dianggap sebagai Tanah Ulayat (Adat) yang keberadaannya telah diakui baik dari pemerintah maupun masyarakat, namun statusnya sebagai tanah ulayat itu sendiri tidak dijamin dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini menimbulkan desakan dari Sri Sultan Hmengku Buwono X kepada pemerintah pusat untuk segera memberikan kepastian hukum terhadap status Sultan Ground dan segera dilakukan penertiban Sultan Ground oleh pemerintah daerah. Hal ini untuk mengantisipasi adanya penyelewengan atau

Upload: vandang

Post on 24-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Sultan Ground merupakan tanah adat dimana tanah tersebut peninggalan yang

dimiliki lembaga Kraton. Menurut Hamengkubuwono X (2007) yang disebut Sultan

Ground adalah tanah-tanah raja dan keluarga Keraton yang terdiri atas situs,

magersari dan tanah kosong serta garapan kosong.

Keberadaan Sultan Ground di Yogyakarta merupakan aset sosial dan ekonomi

yang harus dijaga dan dipertahankan. Pada awalnya, aturan hukum keraton

Kasultanan Yogyakarta tidak mengatur secara khusus mengenai tanah SG. Menurut

sejarahnya, hukum tanah Sultan Ground diatur bersama dengan tanah kas desa, tanah

penduduk, dan tanah Keraton itu sendiri. Dahulu Sultan Ground adalah tanah yang

belum diberikan haknya kepada penduduk maupun pemerintah desa dan masih

merupakan tanah milik Keraton, sehingga siapapun yang akan menggunakannya

harus meminta ijin kepada pihak Keraton dengan memenuhi penyelesaian

administrasi di Kantor Panitikismo, Kraton Yogyakarta (Anonim 2011).

Masyarakat yang akan menggunakan atau memanfaatkannya, akan diberikan

surat kekancingan dari keraton yang berarti surat kuasa yang diberikan oleh pihak

Keraton kepada masyarakat Daerah Yogyakarta dan sekitarnya untuk menggunakan

tanah Keraton. Status tanah yang mereka gunakan bersifat magersari dan tidak dapat

dijadikan hak milik.

Sementara bagi Keraton, status hukum Sultan Ground masih belum jelas secara

hukum. Selama ini Sultan Ground dianggap sebagai Tanah Ulayat (Adat) yang

keberadaannya telah diakui baik dari pemerintah maupun masyarakat, namun

statusnya sebagai tanah ulayat itu sendiri tidak dijamin dalam Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA). Hal ini menimbulkan desakan dari Sri Sultan Hmengku

Buwono X kepada pemerintah pusat untuk segera memberikan kepastian hukum

terhadap status Sultan Ground dan segera dilakukan penertiban Sultan Ground oleh

pemerintah daerah. Hal ini untuk mengantisipasi adanya penyelewengan atau

2

2

penyalahgunaan pemanfaatan Sultan Ground. Misalnya saja sertifikasi Sultan

Ground tanpa sepengetahuan pihak Keraton. Tentu saja hal seperti itu dapat

membuat permasalahan Sultan Ground menjadi semakin rumit dan dapat merugikan

pihak Keraton.

Pada tahun 2012 yang lalu, telah disahkan Rancangan Undang-Undang

Keistimewaan Yogyakarta yang salah satu pokok bahasannya adalah mengenai

pertanahan, terutama Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2012 disebutkan dalam penyelenggaraan kewenangan

pertanahan, Kasultanan dan Kadipaten dengan Undang-Undang ini dinyatakan

sebagai badan hukum. Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang

mempunyai hak milik atas Tanah Kasultanan sedangkan Kadipaten sebagai subjek

hak yang mempunyai hak milik atas Tanah Kadipaten. Kasultanan dan Kadipaten

berwenang mengelola dan memanfaatkannya untuk sebesar-besarnya pengembangan

kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan Tanah

Kasultanan dan Kadipaten oleh pihak lain harus mendapatkan izin persetujuan

Kasultanan untuk Tanah Kasultanan dan Kadipaten untuk Tanah Kadipaten. Tahun

2013, Rancangan Undang-Undang ini pun akhirnya disahkan yang salah satu bab nya

mencakup permasalahan Sultan Ground.

Proyek ini akan membahas tentang penggunaan, persebaran dan luas Sultan

Ground di Daerah Istimewa Yogyakarta Sejarah munculnya Sultan Ground sangat

erat kaitannya dengan lahirnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Proyek ini diharapkan

dapat menjadi media informasi bagi masyarakat di Yogyakarta dan sekitarnya dalam

pengertian akan kondisi dan penggunaan Sultan Ground.

I.2. LINGKUP KEGIATAN

Proyek ini melakukan kajian tentang keberadaan Tanah Sultan Ground di

Kabupaten Bantul baik itu dilihat dari persebaran, luas, banyaknya jumlah bidang,

penggunaan tanah, dan kesesuaian penggunaannya terhadap Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW). Hasil dari proyek ini berupa peta tematik yang menggambarkan

keberadaan Tanah Sultan Ground di Kabupaten Bantul.

3

3

I.3. TUJUAN

Tujuan dari proyek ini adalah membuat dan menampilkan serta menyajikan

Peta Persebaran dan Penggunaan Tanah Sultan Ground di Kabupaten Bantul

berdasarkan sejarah dan hukum pertanahan, dengan bentuk penyajian secara spasial

dan non spasial.

I.4. MANFAAT

Manfaat dari proyek ini adalah:

1. Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan tentang data persebaran Tanah

Sultan Ground bagi badan hukum atau badan lain yang akan menggunakan

tanah tersebut sebagai informasi.

2. Dapat dijadikan sebagai bahan sosialisasi tentang keberadaan Tanah Sultan

Ground termasuk penggunaan tanah dan kesesuaian dengan Rencana Tata

Ruang Wilayah.

3. Hasil kajian ini diharapkan dapat sebagai referensi dan gambaran penggunaan

Tanah Sultan Ground.

4. Menambah referensi mengenai pertanahan, terutama mengenai Tanah Sultan

Ground.

5. Sebagai pedoman bagi pengguna informasi nantinya dapat mengetahui batas-

batas antara Tanah Sultan Ground dengan tanah status hak lainnya agar tidak

timbul kesalahpahaman mengenai pengelolaan dan pemanfaatannya.

4

4

I.5. LANDASAN TEORI

I.5.1. Sejarah Tanah Sultan Ground

Tanah Sultan Ground merupakan tanah milik Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat dan diwariskan secara turun-temurun oleh pewaris Kasultanan

Ngayogyakarta. Tanah ini tersebar hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta dan keberadaannya diakui oleh masyarakat Yogyakarta. Munculnya

tanah Sultan Ground tidak terlepas dari sejarah lahirnya Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat dimana keduanya memiliki hubungan kepemilikan antara Sultan sebagai

subyek hak dengan tanah wilayah Kasultanan sebagai obyek hak (Suyitno 2007).

Sejarah lahirnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimulai pada tahun 1742

ketika VOC datang ke Pulau Jawa dan mengadu domba orang-orang Cina di Jawa

Tengah sehingga terjadi pemberontakan (Geger Pacino) terhadap Kerajaan Mataram

yang pada saat itu berada dalam kondisi lemah. Sehubungan dengan pemberontakan

itu, Sri Sunan Paku Buwono II meminta bantuan kepada VOC untuk merebut

kembali ibukota Mataram dan kemenangan atas pemberontakan Geger Pacino

tersebut melahirkan perjanjian antara Kerajaan Mataram dengan VOC yang disebut

Perjanjian Ponorogo.

Pada tanggal 18 Mei 1746 diadakan perjanjian kembali antara VOC dengan Sri

Sunan Paku Buwono II yang berisi permintaan VOC untuk mengurangi kekuasaan

Kerajaan Mtaram, antara lain adalah Pulau Madura dan pesisir seluruhnya menjadi

milik VOC dan bukan lagi bagian dari Kerajaan Mataram. Di sisi lain pada tanggal

19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi bersama Pangeran Hadiwijoyo, Pangeran

Widjil II dan Pangeran Krapyak mengadakan pertemuan diam-diam untuk

melakukan perlawanan terhadap VOC (Sabdacarakatama 2009).

Pada tanggal 11 Desember 1749, Sri Sunan Paku Buwono II turun tahta dan

bersamaan dengan itu beliau mengadakan perjanjian dengan Van Hohendorf wakil

dan Gubernur Jenderal Van Imhoff yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram

seluruhnya kepada VOC dengan ketentuan bahwa keturunan Sri Sunan yang berhak

naik tahta akan diberikan pinjaman Kerajaan Mataram untuk dipimpin oleh VOC.

Dengan turun tahtanya Sri Sunan Paku Buwono II, pada hari yang sama atas

kehendak dan persetujuan dari para abdinya, Pangeran Mangkubumi dinobatkan

5

5

menjadi Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono di Desa Kabanaran,

sehingga semula beliau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kabanaran.

Bulan September 1754, N. Harthing mengadakan perundingan dengan

Pangeran Mangkubumi (Sunan Kabanaran) untuk melepaskan diri dari kekangan

VOC. Setelah beberapa kali mengadakan perundingan, maka pada akhirnya disetujui

sebuah perjanjian antara Pangeran Mangkubumi dengan VOC di Desa Giyanti pada

tanggal 13 Februari 1755 yang disebut dengan Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian,

Pangeran Mangkubumi diakui wewenangnya untuk bergelar Sultan Hamengku

Buwono I dan menguasai sebagian dari Kerajaan Mataram di sebelah barat dengan

hak waris pada keturunannya yang sah dengan ketentuan Pangeran Mangkubumi

melepaskan haknya atas Pulau Madura.

Sultan Hamengku Buwono I kemudian memilih Yogyakarta sebagai ibukota

Kasultanan dan diangkat kembali oleh para pengikut setianya untuk menjadi Raja

atau Sultan di wilayah tersebut. Selanjutnya beliau mulai membangun Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat dan dalam pemerintahannya Sri Sultan Hamengku

Buwono dibantu oleh Sri Paduka Paku Alaman. Pengaturan tanah dan seisinya dari

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini dipercayakan penuh kepada Sultan sebagai

Kagungan Dalem Noto oleh para pengikut setia dan rakyatnya.

Atas kepercayaan dari rakyatnya, Sultan menjalankan kewenangan atas tanah

berupa mengatur penggunaan tanah untuk keberadaan Keraton serta sarana

pendukungnya disamping memberi hak-hak untuk memanfaatkan tanah-tanah

tersebut kepada keluarga (sentono), kawula (rakyat/penduduk), orang-orang asing,

lembaga asing, dan lain-lain. Pada tahun 1863, sebagian tanah dikuasakan kepada

kerabat (sentono) sebagai penghasilan dengan ketentuan dua bagian untuk

kerabat/sentono (Patuh), dua bagian untuk rakyat (penduduk petani penggarap), dan

satu bagian untuk orang yang diberi kuasa untuk mengurus (Bekel). Sistem

pertanahan ini dikenal dengan Zaman Kepatuhan atau Zaman Kebekelan

(Tjondronegoro dan Wiradi 2008).

Pelaksanaan Zaman Kepatuhan atau Zaman Kebekelan ini, ternyata tidak

mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat karena masih adanya system sewa

tanah oleh lembaga asing. Oleh karena itu, pada tahun 1914 diadakan reorganisasi di

bidang politik, ekonomi, dan pertanahan dengan maksud untuk menghapuskan stelsel

6

6

apanage (kekuasaan tanah oleh pihak asing). Kasultanan kemudian mengadakan

perubahan sistem pertanahan dengan membentuk Kalurahan, mengubah dasar sewa

tanah, dan memberikan hak atas tanah yang lebih kuat kepada penduduk pribumi.

Untuk mencapai kesejahteraan rakyat dalam kaitannya dengan reorganisasi

yang dilakukan, dikeluarkan Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dimana

pada Pasal 1 menyebutkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan

hak eigendom oleh pihak lain adalah Domein Kerajaan (Kasultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat) dan pada Pasal 2 disebutkan bahwa di wilayah yang mengalami

reorganisasi, dibentuk menjadi Kalurahan.

Dalam Pasal 4 Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16, tertulis bahwa

semua tanah yang secara nyata dipakai oleh rakyat baik ditempati maupun yang

diolah secara tetap ataupun tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register

Kalurahan, diberikan hak anggaduh (hak milk) oleh Kasultanan. Tanah yang

diberikan hak anggaduh tersebut, kecuali tanah lungguh dan tanah pangarem-arem,

diberikan kepada Kalurahan dengan melangsungkan hak anganggo (hak pakai)

kepada para pemakai secara turun-temurun. Selain itu, seperlima dari luas tanah

keseluruhan tetap dikuasai Kalurahan untuk lungguh Lurah dan Pamong, pangarem-

arem Bekel yang diberhentikan akibat reorganisasi, dan untuk mencukupi keperluan

Kalurahan atau sebagai sumber pendapatan Kalurahan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di wilayah Kalurahan terdapat tanah-

tanah yang digunakan sebagai tanah hak anganggo turun-temurun warga masyarakat,

tanah desa untuk lungguh, tanah pangarem-arem, tanah kas desa untuk kepentingan

umum, tanah yang dikuasai pihak asing, dan tanah yang belum pernah dilepaskan

atau masih menjadi kewenangan Keraton. Tanah yang masih menjadi kewenangan

Keraton dan termasuk dalam Domein Kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat inilah yang disebut sebagai tanah Sultan Ground (Suyitno, 2007).

I.5.2. Sultan Ground dan Beberapa Pengertian Mengenai Sultan Ground

KGPH Hadiwinoto (2007) mennyebutkan bahwa Tanah Sultan Ground adalah

tanah yang dimiliki dan diatur kewenangannya oleh Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat dan diwariskan secara turun-temurun oleh pewaris Kasultanan

Ngayogyakarta. Tanah ini tersebar hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa

7

7

Yogyakarta dan keberadaannya diakui oleh masyarakat Yogyakarta, Tanah Sultan

Ground dibagi menjadi dua yaitu :

1. Crown Domain atau Tanah Mahkota, adalah tanah-tanah Sultan Ground

yang tidak bisa diberikan hak dan tidak bisa diwariskan, karena merupakan

atribut pemerintahan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Diantaranya

adalah Keraton, Kepatihan, Pasar Ngasem, Pesanggarahan Ambarrukmo,

Pesanggrahan Ambarbinangun, Pesanggrahan Ambarketawang, Hutan Jati

di Gunungkidul, Masjid Besar, dan lain-lain.

2. Sultanaad Ground atau Tanah Milik Kasultanan, adalah tanah-tanah Sultan

Ground yang bisa diberikan dan dibebani hak, baik oleh pribumi dan hak-

hak barat. Tanah tersebut merupakan wilayah Kerajaan Ngayogyakarta

Hadiningrat yang tanahnya bisa digunakan dan dikuasai oleh rakyat atas

perizinan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Paniti Kismo adalah

sebuah lembaga di dalam Keraton yang berhak mengeluarkan izin

pemakaian Tanah Sultan Ground dengan mengeluarkan surat izin yang

disebut Surat Kekancingan. Surat Kekancingan adalah surat izin pemakaian

Tanah Sultan Ground kepada masyarakat pengguna tanah Sultan Ground

yang dikeluarkan oleh pihak Keraton. Magersari adalah status Tanah Sultan

Ground yang digunakan oleh masyarakat pemegang surat kekancingan.

I.5.3. Mekanisme Perizinan Penggunaan Tanah Sultan Ground

KGPH Hadiwinoto (2011) menyebutkan bahwa segala hal yang berhubungan

dengan kegiatan pertanahan yang menyangkut perizinan dan penggunaan Tanah

Sultan Ground, dilakukan kepengurusannya oleh Paniti Kismo, sebuah lembaga yang

ada di dalam Keraton. Lembaga ini menjadi satu-satunya pihak yang berhak

mengeluarkan surat izin yang disebut Surat Kekancingan. Sementara Kawedanan

Hageng Wahono Sarto Kriyo atau pejabat urusan pertanahan di Keraton, yang

mengatur dan memberikan kewenangan atas pelaksanaan lembaga ini adalah KGPH

Hadiwinoto, adik dari Sultan Hamengku Buwono X.

Dari hasil diskusi dengan pihak Paniti Kismo, surat kekancingan yang

dikeluarkan oleh Paniti Kismo adalah izin penggunaan Tanah Sultan Ground yang

disesuaikan dengan permintaan pemohon. Secara terperinci Surat Kekancingan

8

8

berbentuk seperti surat perjanjian antara dua pihak peminjam dan pihak pemilik.

Seperti dikaetahui pihak peminjam adalah warga atau penduduk Negara Indonesia

yang melakukan permohonan izin tinggal dan atau menempati sebidang tanah milik

di atas Tanah Sultan Ground kepada pihak Keraton.

Surat Kekancingan ini berisi pasal-pasal yang secara garis besar mengatur

pihak peminjam dalam menggunakan sebidang tanah tersebut dengan beberapa

persyaratan di dalamnya. Diantaranya adalah pihak peminjam bersedia menerima

segala bentuk hal yang menguntungkan dan atau merugikan dalam menggunakan

tanah tersebut. Pihak peminjam juga diwajibkan memelihara keutuhan tanah tersebut

dengan baik dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan wajib mengembalikan

tanah tersebut sesuai tenggat waktunya tanpa meminta ganti rugi atas bangunan atau

gedung di atas tanah tersebut. Peminjam diperkenankan mendirikan bangunan untuk

tempat tinggal atau usaha dengan syarat tidak untuk keperluan yang melawan hukum

dan wajib memberikan uang pisunsung (sumbangan) sebesar ketentuan dan

disetorkan ke Paniti Kismo per tahunnya. Apabila terjadi permohonan alih hak, maka

jangka waktu yang dipakai adalah sisa dari waktu peminjam melakukan permohonan

pertama kali. Surat Kekancingan ini tidak dapat diperjualbelikan atau dimanfaatkan

di luar izin yang sah dari pihak Keraton.

I.5.4. Hukum Pertanahan Sultan Ground

Suyitno (2007) menyebutkan bahwa hukum-hukum pertanahan yang berkaitan

dengan Sultan Ground adalah sebagai berikut:

1. Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 tentang pengaturan hak di atas

Tanah Sultan Ground dan pembentukan Kalurahan.

Pasal 1: “Tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh

pihak lain adalah Domein Kerajaan.”

Pasal 2: “Wilayah yang mengalami reorganisasi dibentuk menjadi

Kalurahan.”

Pasal 4: “Semua tanah yang secara nyata dipakai oleh rakyat baik ditempati

maupun yang diolah secara tetap maupun tidak tetap sebagaimana

tercatat dalam register Kalurahan, diberikan hak anggaduh

tersebut, kecuali tanah lungguh dan tanah pangarem-arem,

9

9

diberikan kepada Kalurahan dengan melangsungkan hak

anganggo (hak pakai) kepada para pemakai secara turun-

temurun.”

2. UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pasal 4 ayat 4 : “Urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban

daripada yang tersebut dalam ayat 1 di atas, yang dikerjakan oleh Daerah

Istimewa Yogyakarta sebelum dibentuk menurut undang-undang ini,

dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan undang-undang.”

3. Peratuan Daerah No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Pasal 1 : “Hak atas tanah dalam Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dengan

Peraturan Daerah.”

Pasal 2 : “Tentang hak atas tanah yang terletak di dalam Kota Besar

(Kotapraja) Yogyakarta buat sementara masih berlaku peraturan seperti

termuat dalam Rijksblad Kasultanan. Tahun 1925 No. 23 dan Rijksblad

Paku Alaman Tahun 1925 No. 25.”

Pasal 3 : “Tentang hak atas tanah terletak dalam kalurahan diatur dan diurus

oleh Kalurahan setempat, kecuali yang telah diatur di dalam Peraturan

Daerah Istimewa Yogyakarta.”

Pasal 4 ayat 1 : “Daerah Istimewa Yogyakarta memberi hak milik

perseorangan turun-temurun atas sebidang tanah kepada warga Negara

Republik Indonesia selanjutnya disebut hak milik.”

4. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Diktum Keempat :

A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari

Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu

berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.

B. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A di

atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1967 tentang Pembagian

Tugas dan Wewenang Agraria.

Pasal 1 : “Tugas dan wewenang yang dengan peraturan ini dilimpahkan

10

10

kepada Gubernur Kepala Daerah dan Bupati/Walikota Kepala Daerah

dalam kedudukan dan fungsinya sebagai wakil Pemerintah Pusat,

penyelenggaranya sehari-hari dilaksanakan atas nama dan tanpa

mengurangi hak kewenangan dan tanggung jawab Kepala Daerah oleh

Direktorat Agraria dan Transmigrasi atau Kantor Inspeksi Agraria pada

tingkat propinsi dan oleh Kantor Agraria pada tingkat

Kabupaten/Kotamadya.”

Pasal 2 : “Di Daerah Istimewa Yogyakarta tugas dan wewenang yang

dengan peraturan ini dilimpahkan kepada Gubernur Kepala Daerah dan

Bupati/Walikota Kepala Daerah, dilimpahkan kepada Kepala Daerah

Istimewa Yogyakarta penyelenggaranya sehari-hari dilaksanakan atas nama

dan tanpa mengurangi hak kewenangan dan tanggung jawab Kepala Daerah

oleh Dinas Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta.”

6. UU No. 5 Tahun 1960 UUPA Pasal 2 ayat 4 : “Hak menguasai dari Negara

tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah

Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-

ketentuan Peraturan Pemerintah.”

7. UU No 5 Tahun 1960 UUPA Pasal 11 ayat 2 : “Perbedaan dalam

masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin

perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah.”

8. Keppres RI No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Penuh UUPA di

Daerah Istimewa Yogyakarta.

9. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013 tentang Pertanahan.

I.5.5. Pendaftaran Tanah

Menurut Harsono (1997), pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur,

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan

data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang – bidang

tanah dan satuan – satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya

11

11

bagi bidang – bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah

susun serta hak – hak tertentu yang membebaninya.

Tujuan dari pendaftaran tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan

perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan

mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan,

menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan

terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik yang merupakan dasar dan

perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan.

Dasar-dasar hukum pendaftaran tanah :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria Pasal 19:

a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran

tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Pendaftaran tanah meliputi:

a) Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan hak,

b) Pendaftaran hak – hak atas tanah dan pemeliharaan hak – hak tersebut,

c) Pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat), yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997b tentang Pendaftaran Tanah.

Untuk menjalankan suatu undang-undang diperlukan suatu peraturan yang

sering disebut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah tersebut

pada awalnya adalah PP Nomor 10 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah

yang kemudian disempurnakan menjadi PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.

3. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997a tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah.

12

12

I.5.6. Perangkat Lunak AutoCAD 2014

I.5.6.1. Pengenalan AutoCAD 2014; AutoCAD 2014 merupakan perangkat

lunak yang digunakan untuk mengolah data spasial yang berupa peta. Dalam proyek

ini AutoCAD 2014 digunakan untuk input dan pengolah data karena data peta yang

diperoleh masih berupa hardcopy, maka perlu dilakukan proses digitasi agar datanya

tersaji dalam bentuk digital. Dengan kata lain digitasi merupakan suatu proses

konversi data dari bentuk analog (peta hardcopy) ke format digital. Setelah dilakukan

proses digitasi dilakukan editing data. Proses editing data pada peta digital dilakukan

untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terdapat pada peta digital. Pada

umumnya kesalahan-kesalahan tersebut berupa kesalahan dalam proses digitasi. Di

dalam AutoCAD 2014 ini juga dilakukan konversi peta dari format .dwg menjadi

format shapefile (*.shp).

Perangkat lunak AutoCAD 2014 sebagai pendukung pemasukan data bagi

pekerjaan kartografi memiliki kemampuan, yaitu :

1. Membuat bentuk dasar grafik, yaitu: line, arc, circle, point, polyline, dan

ellips.

2. Menunjang pembuatan gambar antara lain: limits, objectsnap, pointstyle,

linestyle dan hatch.

3. Melakukan editing gambar antara lain: erase, break, extend, trim, explode,

join, change, polyedit, align, move dan stretch.

4. Mengendalikan tampilan: pan, zoom dan redraw.

1.5.6.2. On-screen digitizing (digitasi pada layar); AutoDesk inc. (1998)

menyatakan bahwa digitasi adalah proses konversi fitur geografis pada peta analog

menjadi format digital menggunakan meja digitasi, yang dihubungkan dengan

komputer. Fitur pada kertas didigitasi dengan pointer pada digitizer atau alat lainnya

dan koordinat (x,y) pada fitur direkam secara otomatis dan disimpan sebagai data

spasial.

Digitasi pada layar adalah manual digitasi dengan menggunakan mouse pada

fitur yang ditampilkan pada layar monitor, merupakan metode vektorisasi data raster.

Metode ini umumnya disebut head-up digitizing karena perhatian dari pengguna

terfokus pada layar, dan bukan pada meja digitasi. Teknik ini dapat digunakan untuk

13

13

menelusuri fitur dari peta yang dilakukan proses scan atau gambar untuk membuat

layer atau theme (tema). Digitasi dilakukan dengan mengarahkan mouse pada objek

yang akan didigitasi, kemudian mulai dilakukan pendigitasian dengan menelusuri

fitur-fitur tersebut sambil terus mengklik mouse sampai semua fitur selesai didigitasi.

I.5.7. Peta Tematik

Peta tematik adalah peta yang memperlihatkan data-data secara kualitatif dan

atau kuantitatif pada unsur yang spesifik. Unsur-unsur tersebut ada hubungannya

dengan detil topografi yang penting. Pada peta tematik, keterangan disajikan dalam

gambar dengan memakai pernyataan dan simbol-simbol serta mempunyai tema

tertentu atau kumpulan tema-tema yang ada hubungannya antara satu dengan yang

lain. Tema tersebut disajikan dalam bermacam bentuk yang berhubungan dengan

unsur asli dari muka bumi atau buatan manusia, sehingga peta tematik dapat

memperlihatkan situasi dan keadaan yang sebenarnya (T. Lukman Azis, 1979).

I.5.8. Peta Penggunaan Tanah

Peta penggunaan tanah adalah suatu jenis peta yang memperlihatkan informasi

secara kualitatif dan kuantitatif dari bentuk-bentuk penggunaan tanah saat ini dalam

hubungannya dengan unsure-unsur topografi. Dalam proyek ini dibuat peta

penggunaan tanah dimana penggunaan tanah merupakan bentuk penggunaan tanah

untuk kegiatan manusia terhadap tanah. Peta penggunaan tanah merupakan peta

tematik yang menampilkan informasi aktivitas penggunaan tanah yang dilakukan

oleh manusia. Adapun penggunaan tanah yang ditampilkan dalam peta penggunaan

tanah antara lain perumahan, pertanian, industry, jalan, sungai dan sebagainya.

Perubahan penggunaan tanah lebih dipengaruhi oleh manusia. Dengan

berdasarkan pemikiran terhadap pemenuhan kebutuhan hidup manusia, maka sering

terjadi perubahan penggunaan tanah seperti daerah pertaian (sawah) diubah menjadi

daerah industri, pemukiman dan lain sebagainya (Sudiarto, 1994).

Tanah merupakan sumber utama kesejahteraan dan kehidupan masyarakat dan

karenanya tanah haruslah digunakan dan dimanfaatkan dengan optimal. Perwujudan

penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal tersebut dilakukan melalui

penyusunan rencana tata ruang yang semestinya mengintegrasikan prinsip-prinsip

14

14

pembangunan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang.

Penggunaan tanah (Bahasa Inggris: land use) adalah modifikasi yang

dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan hidup menjadi lingkungan terbangun

seperti lapangan, pertanian dan pemukiman. Dalam PMNA/Kepala BPN Nomor 1

Tahun 1997 menyebutkan bahwa penggunaan tanah adalah wujud tutupan

permukaan bumi, baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

Secara garis besar penggunaan tanah dibedakan atas:

a. Penggunaan tanah pedesaan. Penggunaan tanah perdesaan adalah suatu

wilayah yang penggunaan tanahnya bersifat pertanian dimana

masyarakatnya mengambil manfaat secara langsung dari tanah.

b. Penggunaan tanah perkotaan. Penggunaan tanah perkotaan adalah suatu

wilayah yang penggunaan tanahnya bersifat non pertanian dimana

masyarakatnya tidak secara langsung mengambil manfaat dari fungsi fisik

tanah.

Dalam pasal 6 PMNA/Kepala BPN I Tahun 1997 disebutkan bahwa jenis

penggunaan tanah perdesaan terdiri dari: tanah perkampungan, tanah industri, tanah

pertambangan, tanah persawahan, pertanian tanah kering semusim, tanah kebun,

tanah perkebunan, padang, hutan, perairan darat, tanah terbuka, dan lain-lain yang

definisinya seperti disajikan pada tabel I.1.

Tabel I.1. Jenis-jenis penggunaan tanah perdesaan menurut PMNA/Kepala BPN

No.1 Tahun 1997

No. Jenis Penggunaan Tanah Pengertian

1. Tanah perkampungan Areal tanah yang digunakan untuk kelompok

bangunan padat ataupun jarang tempat tinggal

penduduk untuk dimukimi secara menetap.

2. Tanah industri Tanah areal yang digunakan untuk kegiatan

ekonomi berupa proses pengolahan bahan-bahan

baku menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau

setengah jadi menjadi barang jadi.

15

15

3. Tanah pertambangan Areal tanah yang dieksploitasi bagi pengambilan

bahan-bahan galian yang dilakukan secara

terbuka dan atau tertutup.

4. Tanah persawahan Areal tanah pertanian basah dan atau kering yang

digenangi air secara periodik dan atau terus

menerus ditanami padi dan atau diselingi dengan

tanaman tebu, tembakau dan atau tanaman

semusim lainnya.

5. Pertanian Tanah Kering

Semusim

Areal pertanian yang tidak pernah diairi dan

mayoritas ditanami dengan tanaman umur

pendek.

6. Tanah Kebun Areal yang ditanami rupa-rupa jenis tanaman

keras dan atau tanaman semusim dan atau

kombinasi tanaman keras dan semusim atau

tanaman buah-buahan serta tidak jelas mana yang

menonjol.

7. Tanah Perkebunan Areal tanah yang ditanami tanaman keras dengan

satu jenis tanaman.

8. Padang Areal terbuka karena hanya ditumbuhi tanaman

rendah dari keluarga rumput dan semak rendah.

9. Hutan Areal yang ditumbuhi oleh pepohonan yang tajuk

pohonnya dapat saling menutupi/bergesekan.

10. Perairan Darat Areal tanah yang digenangi air, secara permanen

baik buatan maupun alami.

11. Tanah Terbuka Areal tanah yang tidak digarap karena tidak subur

setelah digarap serta tidak ditumbuhi tanaman.

12. Lain-lain Areal tanah yang digunakan bagi prasarana

seperti jalan dan sungai serta saluran yang

merupakan buatan manusia maupun alamiah.

Sumber: PMNA/Kepala BPN No. 1 Tahun 1997

16

16

I.5.9. Interpretasi Citra

Interpretasi citra adalah kegiatan penyadapan data dari citra dan digunakan

untuk tujuan tertentu (Sutanto, 1992). Karakteristik obyek yang tergambar pada citra

dapat dikenali berdasarkan unsure-unsur seperti rona atau warna, bentuk, pola,

ukuran letak bayangan, situs dan asosiasi kenampakan obyek yang merupakan kaidah

dasar dalam interpretasi citra.

Pengenalan obyek merupakan bagian penting dalam interpretasi citra, tanpa

dikenali identittas dan jenis obyek yang tergambar pada citra, tidak mungkin

dilakukan analisis untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Sutanto, 1992).

Ekstraksi informasi dari citra memerlukan teknik interpretasi sesuai kondisi

lapangan. Agar hasil interpretasi citra sesuai dengan keadaan obyek sebenarnya di

lapangan, maka disamping harus memiliki pengetahuan tentang obyek yang

diinterpretasi juga harus mengetahui karakteristik obyek dengan memperhatikan

unsur-unsur interpretasi. Dalam penelitian, digunakan unsur-unsur interpretasi citra

secara visual sebagai berikut:

1. Rona dan warna

Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra, sedangkan

warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spectrum

sempit, lebih sempit dari spektrum tampak (Sutanto, 1992).

2. Bentuk

Bentuk merupakan variabel kuantitatif yang member kerangka suatu obyek.

Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat

dikenali berdasarkan bentuknya.

3. Ukuran

Ukuran adalah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng

dan volume.

4. Tekstur

Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kiefer,

1979) atau pengulangan pola rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk

dibedakan secara individual.

5. Pola

Pola obyek yang tampak dapat dibedakan antara yang merupakan obyek

17

17

alamiah atau buatan manusia.

6. Bayangan

Bayangan bersifat menyembunyikan detail yang berada di daerah gelap.

Obyek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak

tampak sama sekali atau kadang-kadang tampak samar-samar. Oleh

karenanya, bayangan membantu identifikasi obyek-obyek terutama obyek

yang tinggi sehingga dikenali.

7. Situs

Situs bukan merupakan ciri obyek secara langsung melainkan dalam

kaitannya dengan lingkungan sekitar suatu obyek dapat dikenali. Misal, tanah

kosong cukup luas diidentifikasi sebagai alun-alun dan tidak diidentifikasi

sebagai sawah karena letaknya yang berada di tengah pemukiman padat.

8. Asosiasi

Asosiasi merupakan keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang

lainnya. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihat suatu obyek pada citra

sering merupakan sebuah petunjuk bagi adanya obyek lain.

9. Konvergensi Bukti

Dalam mengenali obyek dalam citra dianjurkan untuk menggunakan

sebanyak mungkin unsur interpretasi sehinggaa pengenalan obyek mengarah

ke satu titik simpul.

Sembilan unsur interpretasi citra ini disusun secara berjenjang atau secara

hirarki berdasarkan tingkat kesulitan interpretasi dapat dilihat pada gambar I.1

berikut ini (Sutanto, 1992).

I.5.10. Kartografi

Menurut Riyadi (1994), kartografi adalah seni, ilmu, dan teknik pembuatan

peta yang akan melibatkan disiplin ilmu geodesi, fotogrametri, kompilasi dan

reproduksi peta. Tujuan dari kartografi adalah mengumpulkan dan menganalisa data

dari hasil ukuran berbagai pola/unsur permukaan bumi dan menyatakan unsur-unsur

tersebut secara grafis dengan skala yang tertentu sehingga unsur-unsur tersebut dapat

terlihat dengan jelas, mudah dimengerti atau dipahami.

Ilmu kartografi memegang peranan penting dalam proses pembuatan peta agar

18

18

peta yang dibuat mudah dibaca dan dimengerti oleh pengguna. Peta mengandung arti

komunikasi, artinya komunikasi dengan menggunakan gambar.

Menurut Riyadi (1994), Kartografer merupakan penghubung antara dunia

nyata dengan peta yang harus mampu memberikan informasi dari dunia nyata

melalui peta. Dengan informasi tersebut, pengguna dapat memahami informasi dunia

nyata yang disampaikan dalam bentuk peta, sehinnga proses komunikasi kartografi

dapat dikatakan berhasil.

Konsepsi kartografi menurut Prihandito A. (1989) ada lima macam, antara lain

1. Fokus geometris, kartografi difokuskan pada aspek ketelitian pemetan

meliputi koleksi data, manipulasi data dan penggambaran data.

2. Fokus teknologi, kartografi difokuskan pada efisiensi pemetaan meliputi

koleksi data, desain, penyimpanan, produksi dan reproduksi dari peta.

3. Fokus penyajian, kartografi difokuskan pada aspek desain peta yang

meliputi kondisi peta, data spasial, teknologi, seni grafis dan persepsi

visualnya.

4. Fokus artistik, kartografi difokuskan pada efek persepsinya yang meliputi

persepsi ruang, keseimbangan, seleksi, warna, seni grafis, orientasi, peta

dan hierarkinya.

5. Fokus komunikasi, kartografi difokuskan pada hubungan antara

pembuatan peta, keefektifan peta, dan pemakaian peta yang meliputi

seleksi koleksi data, klasifikasi, simbolisasi, penyederhanaan, analisa, dan

interpretasi.

Menurut Prihandito A. (1989), lingkup pekerjaan kartografi meliputi :

1. Seleksi data untuk pemetaan,

2. Manipulasi dan generalisasi data,

3. Perancangan (design) simbol dan tata letak peta (layout),

4. Teknik reproduksi,

5. Revisi peta.

Pada pembuatan dan penggambaran peta akan selalu berhubungan dengan

skala dan simbolisasi. Skala adalah perbandingan antara jarak pada peta dengan jarak

sebenarnya di tanah. Sedangkan simbolisasi merupakan alat komunikasi antara

19

19

pengguna peta dengan informasi yang ada di peta, karena pada simbol yang

digunakan maka pengguna dapat mengetahui informasi yang ada di peta.

Simbolisasi termasuk dalam kartografi desain dan merupakan bagian vital dari

kartografi, karena simbol pada peta menunjukkan informasi yang ada sehingga

simbol-simbol tersebut harus dimengerti oleh pengguna peta. Dalam memetakan data

ruang (spasial) informasi atau data ruang tersebut harus digambarkan dalam bentuk

simbol.

I.5.10.1. Desain simbol kartografi; Menurut Prihandito A. (1989), simbol

kartografi merupakan bentuk semua informasi sesuai dengan distribusi geografik dan

posisi planimetrik (X,Y) yang dikomunikasikan pada pemakaian peta. Simbol adalah

salah satu tanda gambar menurut penyajian yang menyatakan obyek tertentu. Untuk

memudahkan pelaksanaan simbolisasi dari banyak data yang bervariasi, maka

berdasarkan cirinya dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Simbol titik, digunakan untuk menunjukkan posisi atau lokasi. Dapat

digambarkan dalam bentuk titik, segitiga, segiempat, atau lingkaran.

Simbol titik ini dapat dilihat pada gambar I.3. berikut.

Gambar I.1. Simbol titik

(Sumber : Prihandito A, 1989)

2. Simbol garis, digunakan jika unsur yang diwakilinya berbentuk garis misal

sungai, jalan, batas wilayah. Simbol garis ini dapat dilihat pada gambar I.4.

berikut.

Gambar I.2. Simbol garis

(Sumber : Prihandito A, 1989)

20

20

3. Simbol luasan, digunakan untuk mewakili unsur-unsur yang berbentuk

luasan (polygon) misalnya hutan, sawah, rawa, dan sebagainya. Simbol

luasan ini dapat dilihat pada gambar I.5. berikut.

Gambar I.3. Simbol luasan

(Sumber : Prihandito A, 1989)

Menurut Prihandito A. (1989), secara umum simbol kartografi dapat

dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :

1. Simbol piktorial, yaitu simbol yang mempunyai bentuk yang sama dengan

obyek aslinya namun telah disederhanakan. Simbol piktorial ini dapat

dilihat pada gambar I.6. berikut.

Gambar I.4. Simbol piktorial

(Sumber : Prihandito A, 1989)

2. Simbol geometrik atau abstrak, yaitu simbol dengan bentuk teratur dan

tidak mempunyai ciri-ciri khusus dan arti tertentu yang berhubungan

dengan bentuk tersebut. Simbol geometrik atau abstrak ini dapat dilihat

pada gambar I.7. berikut.

Gambar I.5. Simbol geometrik

(Sumber : Prihandito A, 1989)

3. Simbol huruf atau angka, yaitu simbol yang disusun oleh huruf atau angka,

digunakan untuk mewakili unsur- unsur yang sangat khas. Simbol huruf

atau angka ini dapat dilihat pada gambar I.8. berikut.

21

21

Gambar I.6. Simbol huruf atau angka

(Sumber : Prihandito A, 1989)

I.5.10.2. Desain pewarnaan dan variabel tampak; Menurut Riyadi (1994), pada

peta skala kecil maupun skala besar selalu terdapat obyek-obyek yang tidak mungkin

digambarkan dengan skala yang bersangkutan, sedangkan obyek-obyek tersebut

harus dicantumkan dalam peta. Oleh sebab itu, pemakaian simbol dan desain

pewarnaan sangat dibutuhkan. Di dalam proses simbolisasi dan desain pewarnaan

pada suatu peta untuk membedakan bermacam-macam data, harus dibuat bermacam-

macam kenampakan agar mudah dimengerti oleh pengguna.

Variabel tampak merupakan basis dasar di dalam pembuatan desain simbol dan

pewarnaan yang berperan penting pada proses sistematika dan logika. Sebelum

memutuskan pemakaian suatu simbol dan warna yang akan mewakili suatu unsur di

permukaan bumi, perlu dipelajari terlebih dahulu masalah variabel tampak yang

menyangkut berbagai bentuk penyajian dengan menggunakan dampak pandang

(visual impact), sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang ikut menentukan bentuk

simbol dan warna atau penyajian pada suatu peta.

Menurut Riyadi (1994), ada tujuh macam variasi gambar yang mampu/dapat

diterima oleh mata sebagai pembentuk dasar utama gambar yang ditampilkan sebagai

informasi. Ketujuh variasi tersebut dinamakan variabel tampak yang dibagi menjadi :

1. Posisi (x,y). Posisi merupakan variabel tampak yang dapat memberikan

informasi lokasi atau posisi (x,y) pada peta.

2. Bentuk. Dengan menggunakan bentuk, simbol dapat dibedakan dengan lebih

mudah. Dalam penggambarannya tidak terlalu rumit serta mempunyai jumlah

yang tidak terbatas.

3. Orientasi. Orientasi menggambarkan arah simbol pada peta. Pada variabel

orientasi hanya dibatasi empat sampai enam perbedaan arah, hal ini tergantung

pada macam simbol yang digunakan.

4. Pewarnaan. Dengan menggunakan warna, simbol satu dengan yang lain dapat

dibedakan dengan mudah. Variabel warna terdiri dari berbagai kombinasi dan

5

22

22

komposisi warna dasar, sehingga dapat menghasilkan berbagai macam warna.

5. Tekstur. Tekstur sebaiknya digunakan pada variasi gambar elemen dengan

value tetap sehingga saat diperkecil maupun diperbesar, jarak antara bagian

hitam dan putih tetap sama.

6. Value. Value merupakan variabel yang menunjukkan derajat keabuan suatu

simbol yang berkisar dari putih sampai hitam.

7. Ukuran. Variabel ukuran menunjukan besaran suatu simbol.

Di dalam kartografi, ketujuh variabel tampak ini digunakan untuk membentuk

simbol. Ketujuh buah variabel tampak serta keteragannya disajikan pada tabel I.1 dan

gambar I.9.

Tabel I.2. Variabel tampak dan keterangannya

Variabel Tampak Keterangan

Posisi Memberikan informasi lokasi (X,Y) di peta

Bentuk Memudahkan menggambarkan perbedaan simbol antara

satu dengan yang lain

Orientasi Merupakan arah dari suatu simbol

Pewarnaan Perbedaan simbol satu dengan yang lain terlihat jelas

Tekstur Digunakan pada variasi dari gambar elemen dengan value

yang tetap

Value Menunjukkan besar derajat keabuan, yang kisarannya dari

putih sampai hitam

Ukuran Menunjukkan variasi dari besaran suatu simbol

(Sumber: Riyadi, 1994)

23

23

Visual Variables

Variabel tampak tersebut harus mempunyai sifat pemahaman agar obyek yang

ditampilkan dalam peta dapat dimengerti secara cepat. Ada empat macam sifat

pemahaman dari suatu simbol. Keempat buah macam sifat tersebut beserta

keterangannya dapat dilihat pada tabel I.2.

Tabel I.3. Sifat pemahaman variabel tampak dan keterangannya

Sifat Pemahaman Keterangan

Asosiatif

Jika reaksi awal dari mata dalam melihat simbol tersebut

sama pentingnya. Tidak ada simbol yang terlihat lebih

penting dibandingkan simbol lainnya walaupun wujud

simbol tersebut berbeda satu sama lain.

Selektif

Jika reaksi awal mata dalam melihat simbol dapat

membedakan antara simbol satu dengan yang lain secara

cepat.

Order Jika semua simbol dapat dibedakan secara spontan oleh

variablel yang ditempatkan ke dalam tingkatan yang

(Sumber: Riyadi, 1994)

Gambar I.7. Variabel tampak

Posisi Tekstur

Value

Ukuran

X

Pewarnaan

Orientasi

Bentuk Y

24

24

jelas.

Kuantitatif Jika perbedaan semua simbol dapat dipisahkan satu

dengan lainnya oleh jumlah yang jelas.

(Sumber: Riyadi, 1994)

Ringkasan dari sifat pemahaman dari tiap-tiap variabel tampak dapat dilihat

pada Tabel I.3.

Tabel I.4. Variabel tampak dan sifat pemahamannya

Sifat

Pemahaman Posisi Perspektif

Garis

Perspektif Warna Tekstur Shading Ukuran

Asosiatif + + + + 0 - -

Selektif - 0 0 ++ + + +

Order - - - - 0 ++ +

Kuantitatif - - - - - - ++

(Sumber: Riyadi, 1994)

Keterangan :

++ : Sangat kuat

+ : Kuat

0 : Cukup

- : Jelek

I.5.10.3. Penggunaan simbol proporsional pada peta tematik; Tanimura,

Kuroiwa, dan Mizota (2006) menyebutkan bahwa visualisasi data spasial pada peta

tidak hanya membantu dalam eksplorasi data tetapi juga memberi gambaran spasial.

Aplikasi dari visualisasi tersebut salah satunya digambarkan dengan bentuk

penggunaan simbol proporsional.

Simbol proposional merupakan jenis simbol yang merepresentasikan peta

tematik secara kuantitatif dari data. Nilai-nilai absolute yang tersebar, berlaku untuk

lokasi titik atau daerah, dapat digambarkan dengan simbol proporsional.

Kraak dan Ormeling (2013) menyebutkan bahwa prinsip yang sama yang

25

25

menunjukkan perbedaan nilai dengan perbedaan jumlah simbol tidak dapat

digunakan pada peta. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar I.8.(a) dan I.8.(c):

jumlah simbol terlihat terlalu banyak pada peta dan mengancam menutupi latar

belakang geografisnya, dengan alasan utama untuk menunjukkan data pada peta.

Oleh karena itu, perbedaan nilai dalam kartografi ditunjukkan dengan ukuran simbol

yang berbeda ukurannya. Daerah yang diliputi simbol ini akan menjadi lebih

proporsional pada nilai yang harus digambarkan.

Pertimbangan utama dari simbol ini adalah kemudahan dibaca dan

dibandingkan. Simbol tersebut dapat terbaca atau tidak, berhadapan dengan latar

belakang dari peta dasar yang tergantung pada kontras dan kepadatan simbol.

Apakah Simbol proporsional dapat dibandingkan dengan mudah tergantung pada

bentuknya. Simbol proporsional yang hanya bervariasi pada satu arah, seperti kolom

(Gambar I.8.b.) bernilai baik dalam kemampuan orang untuk membandingkan

ukuran yang disajikan. Di sisi lain, lingkaran-lingkaran ini akan kurang mendominasi

gambaran peta, tidak akan memonopoli arah tertentu dan akan lebih mudah untuk

menggunakannya pada daerah yang terkait. Simbol proposional lingkaran juga dapat

digambarkan dengan bentuk lingkaran yang niali datanya terklasifikasi (Gambar I.9.)

agar dapat digunakan untuk menentukan kategori ukuran tertentu. Simbol lingkaran

bertingkat baik digunakan pada kasus data dengan lompatan interval yang besar.

(Sumber: Kraak dan Ormeling, 2013)

26

26

Gambar I.8. Perbandingan pengaruh gangguan berbagai simbol proporsional pada

peta

(Sumber: Anonim, 2009)

Gambar I.9. Simbol lingkaran proporsional yang terklasifikasi