bab i pendahuluan -...

21
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah merupakan awal pelaksanaan konsep otonomi daerah, sebagai wujud proses desentralisasi dalam rangka pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Undang-undang tersebut kini telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004. Implikasi Undang-Undang tersebut ialah daerah memiliki porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Pasal 18 UU No.32 tahun 2004 menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Kewenangan pengelolaan wilayah laut diberikan kepada provinsi sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau perairan kepulauan dan sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota. Berdasarkan kewenangan pengelolaan laut yang dapat diterima oleh daerah, maka penting bagi pemerintah daerah sebagai pelaksana utama otonomi untuk memahami, mengatur, dan menetapkan wilayah kewenangannya di wilayah laut. Kondisi ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di laut sehingga dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005). Aspek tata batas wilayah laut yakni penetapan dan penegasan batas di wilayah laut menjadi suatu aktivitas yang bernilai strategis, hal ini diungkapkan oleh Sugito (2008) mengingat tingginya nilai suatu wilayah bagi pemerintah daerah, tidak hanya bagi daerah yang bersangkutan namun bagi daerah-daerah yang berbatasan pula. Untuk melaksanakan penegasan batas daerah ditetapkan peraturan berupa “Pedoman Penegasan Batas Daerah” melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Permendagri) Nomor 1 tahun 2006. Penetapan Permendagri ini didasarkan pula pada urgensi penentuan luas wilayah suatu daerah. Luas wilayah suatu daerah merupakan salah satu parameter dalam menentukan besar Dana Alokasi Umum yang diterima oleh tiap-tiap daerah sesuai dengan UU No.33 tahun 2004

Upload: doxuyen

Post on 23-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah merupakan awal pelaksanaan konsep otonomi daerah, sebagai wujud proses

desentralisasi dalam rangka pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah. Undang-undang tersebut kini telah direvisi menjadi Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2004. Implikasi Undang-Undang tersebut ialah daerah

memiliki porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan era sebelumnya.

Pasal 18 UU No.32 tahun 2004 menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah

laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut.

Kewenangan pengelolaan wilayah laut diberikan kepada provinsi sejauh 12 mil laut

yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau perairan kepulauan dan

sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota.

Berdasarkan kewenangan pengelolaan laut yang dapat diterima oleh daerah,

maka penting bagi pemerintah daerah sebagai pelaksana utama otonomi untuk

memahami, mengatur, dan menetapkan wilayah kewenangannya di wilayah laut.

Kondisi ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumberdaya

alam yang terdapat di laut sehingga dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005).

Aspek tata batas wilayah laut yakni penetapan dan penegasan batas di wilayah laut

menjadi suatu aktivitas yang bernilai strategis, hal ini diungkapkan oleh Sugito

(2008) mengingat tingginya nilai suatu wilayah bagi pemerintah daerah, tidak hanya

bagi daerah yang bersangkutan namun bagi daerah-daerah yang berbatasan pula.

Untuk melaksanakan penegasan batas daerah ditetapkan peraturan berupa

“Pedoman Penegasan Batas Daerah” melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri

(selanjutnya disebut Permendagri) Nomor 1 tahun 2006. Penetapan Permendagri ini

didasarkan pula pada urgensi penentuan luas wilayah suatu daerah. Luas wilayah

suatu daerah merupakan salah satu parameter dalam menentukan besar Dana Alokasi

Umum yang diterima oleh tiap-tiap daerah sesuai dengan UU No.33 tahun 2004

2

tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Permendagri No.01 tahun 2006 berisi mengenai ketentuan dan acuan teknis dalam

pelaksanaan penegasan batas daerah baik di darat maupun di laut. Permendagri ini

telah digunakan sebagai acuan bagi pemerintah daerah selama enam tahun terakhir.

Permendagri No.01 tahun 2006 kini dicabut dan dibatalkan dengan telah

diundangkannya Permendagri baru yakni Permendagri No.76 tahun 2012 pada

tanggal 14 Desember tahun 2012. Pertimbangan adanya revisi peraturan ini

disebutkan bahwa Permendagri No.01 tahun 2006 tidak sesuai dengan perkembangan

keadaan dan kurang memadai dalam proses percepatan penyelesaian batas daerah.

Pergantian peraturan mengakibatkan ketentuan dan pedoman dalam penegasan batas

daerah, khususnya batas daerah di wilayah laut mengalami perubahan. Salah satu

ketentuan yang diubah yakni berkaitan dengan acuan penarikan garis batas

kewenangan pengelolaan laut daerah, sehingga perbedaan garis acuan tersebut

memungkinkan untuk menghasilkan konfigurasi garis batas yang berbeda.

Perbedaan penerapan garis acuan pada kedua Permendagri tersebut,

melatarbelakangi perlu adanya kajian penegasan batas kewenangan pengelolaan

wilayah laut daerah yang dilakukan secara kartometrik. Kartometrik, dalam bahasan

ini memiliki makna melakukan penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah

laut daerah di atas peta laut.

I.2. Rumusan Masalah

Perubahan mengenai pedoman penegasan batas daerah dengan pencabutan

Permendagri No.01 tahun 2006 dan pemberlakuan Permendagri No.76 tahun 2012

memberikan perubahan terhadap metode dan hasil penegasan batas kewenangan

pengelolaan wilayah laut daerah. Bertolak pada kondisi adanya perbedaan prinsip

mengenai penggunaan garis acuan yang digunakan dalam penarikan klaim batas

kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut, penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui pengaruh dari perubahan penerapan garis acuan terhadap hasil penegasan

batas kewenangan pengelolaan wilayah laut suatu daerah.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis memiliki fokus pertanyaan

penelitian yaitu, sebagai berikut:

3

1. Seberapa besar perbedaan luas area pertampalan klaim daerah di wilayah

laut yang dihasilkan atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan

Permendagri No.76 tahun 2012?

2. Seberapa besar perbedaan luas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah

laut yang dihasilkan atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan

Permendagri No.76 tahun 2012?

3. Bagaimana perbedaan posisi garis batas daerah di wilayah laut yang

dihasilkan atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri

No.76 tahun 2012?

I.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perbedaan penerapan garis acuan sesuai dengan ketentuan

Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012, maka tujuan

yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu, sebagai berikut :

1. Mengetahui besar perbedaan luas area pertampalan klaim daerah di wilayah

laut.

2. Mengetahui besar perbedaan luas kewenangan pengelolaan daerah di

wilayah laut.

3. Mengetahui perbedaan posisi garis batas daerah di wilayah laut.

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu tulisan yang dapat dijadikan referensi terkait penegasan

kewenangan pengelolaan laut daerah bagi pemerintah daerah maupun

instansi yang berwenang.

2. Memberikan alternatif penegasan batas daerah di wilayah laut pada segmen

batas yang saling berbatasan di lokasi penelitian.

4

I.5. Batasan Masalah

Pembatasan masalah dalam pelaksanaan penelitian ini meliputi :

1. Lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah segmen batas

provinsi saling berhadapan dan saling berdampingan. Lokasi penelitian

untuk daerah pantai yang berbatasan saling berhadapan dipilih pada segmen

batas Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau, segmen batas

Provinsi Riau dengan Provinsi Kepulauan Riau, dan segmen batas Provinsi

Lampung dengan Provinsi Banten. Daerah provinsi berbatasan saling

berdampingan dipilih pada empat segmen yakni, segmen batas Provinsi

Jambi dengan Provinsi Riau dan Sumatera Selatan, serta segmen batas

antara Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Provinsi Banten dan Jawa

Barat.

2. Penentuan garis batas dilakukan dengan prinsip sama jarak atau

equidistance line dan prinsip median line dengan menggunakan tools

Voronoi Diagram pada aplikasi Sistem Informasi Geografis.

I.6. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai kajian penentuan batas kewenangan wilayah laut daerah di

Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa

peneliti, diantaranya Adnyana (2007), Purnomo (2007) dan Prabandari (2013).

Ketiga penelitian tersebut merupakan skripsi yang membahas topik yang sama yakni

penelitian untuk menentukan dan mengetahui cakupan daerah yang menjadi suatu

kewenangan wilayah laut daerah tertentu secara kartometrik. Penelitian yang

dilakukan oleh Adnyana (2007) dan Purnomo (2007) dilakukan berdasarkan

Permendagri No.01 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah,

sedangkan penelitian Prabandari (2013) dilakukan berdasarkan Permendagri No.76

tahun 2012 dan Permendagri No.01 tahun 2006.

Penelitian yang dilakukan oleh Adnyana (2007) dengan judul “Delimitasi

Batas Maritim Antara Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat” mengkaji

cakupan kewenangan wilayah laut Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat

5

di Selat Lombok serta pengaruh penerapan garis dasar normal dan garis dasar lurus

terhadap penarikan batas wilayah laut. Penelitian Adynana (2007) dilakukan dengan

simulasi penarikan klaim di wilayah laut untuk masing-masing provinsi sejauh 12

mil laut berdasar penerapan garis dasar lurus dan normal, kemudian menentukan

pertampalan klaim dalam simulasi tersebut, sehingga pada pertampalan tersebut

dilakukan penentuan batas di wilayah laut dengan prinsip garis tengah (median line).

Penelitian Adnyana (2007), menyimpulkan bahwa untuk provinsi dengan bentuk

kepulauan, penggunaan jenis garis dasar lurus cenderung akan menambah luas klaim

wilayah laut, sehingga penerapan garis pangkal lurus pada Provinsi Bali maupun

Provinsi Nusa Tenggara Barat akan menguntungkan masing-masing provinsi tersebut

karena dapat melakukan klaim wilayah laut lebih luas.

Penelitian kedua yang dilakukan oleh Purnomo (2007) berjudul “Kajian

Penentuan Batas Maritim Daerah antara Kabupaten Cilacap dengan Kabupaten

Kebumen Berdasarkan Garis Dasar Normal dan Garis Dasar Lurus menggunakan

Metode Ekuidistan”. Aspek yang dikaji dalam penelitian oleh Purnomo (2007) sama

dengan penelitian oleh Adnyana (2007), begitu pula dengan teknis prosedural

penelitian yang dilakukan serta perangkat lunak yang digunakan yakni Caris Lots.

Perbedaan kedua penelitian tersebut adalah wilayah kajian yang diteliti. Penelitian

Purnomo (2007) ialah kabupaten yang saling berdampingan dan berhadapan dengan

laut lepas, sehingga untuk melakukan klaim di wilayah laut masing-masing

kabupaten dapat dilakukan sejauh 1/3 dari 12 mil yakni 4 mil laut. Delimitasi atau

penentuan batas di wilayah laut untuk daerah bertampalan antara kedua kabupaten

dilakukan dengan menggunakan prinsip sama jarak (equidistance). Hasil penelitian

Purnomo (2007) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang berpengaruh dalam

penentuan batas wilayah laut daerah yaitu distribusi titik dasar dan penerapan jenis

garis dasar atau konfigurasi garis dasar yang digunakan. Penarikan batas maritim

antara Kabupaten Cilacap dengan Kabupaten Kebumen berdasarkan garis dasar lurus

lebih menguntungkan karena menghasilkan luasan yang lebih luas bila dibandingkan

dengan penarikan berdasarkan garis dasar normal.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Prabandari (2013) berjudul “Delimitasi Batas

Maritim Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali”. Permasalahan yang dikaji dalam

penelitian ini ialah mengenai luas wilayah pertampalan klaim Provinsi Jawa Timur

6

dan Provinsi Bali di selat Bali, serta perbandingan hasil penarikan batas di wilayah

laut menggunakan prinsip median line berdasarkan penarikan garis pantai sesuai

Permendagri No.76 tahun 2012 dan Permendagri No.01 tahun 2006. Penerapan

prinsip median line dilakukan pada perbatasan daerah di wilayah laut saling

berhadapan dengan menggunakan perangkat lunak Auto Cad dan Arc GIS. Penelitian

Prabandari (2013) menyimpulkan bahwa penentuan batas wilayah laut antara

Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali dilakukan dengan prinsip median line

menghasilkan luas wilayah pertampalan apabila menggunakan garis kombinasi

seluas 2.145,735 km2

dan dengan penerapan acuan garis pantai seluas 2.104,142 km2.

Luas perairan pada wilayah pertampalan untuk Provinsi Jawa Timur berdasarkan

penerapan garis pantai adalah 1.113,143 km2 dan untuk Provinsi Bali adalah 990,999

km2; untuk penerapan kombinasi garis dasar, luas perairan Provinsi Jawa Timur

bertambah menjadi 1.145,260 km2 dan untuk Provinsi Bali luas perairannya

bertambah menjadi 1.000,483 km2.

Terdapat perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan

penelitian yang dilakukan oleh ketiga peneliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan

penulis ialah kajian penegasan batas daerah di wilayah laut berdasarkan penerapan

“Pedoman Penegasan Batas Daerah” sesuai dengan Permendagri No.1 tahun 2006

dan Permendagri No.76 tahun 2012. Daerah penelitian yang digunakan dalam kajian

bervariasi pada daerah berbatasan saling berhadapan dan daerah berbatasan saling

berdampingan. Perangkat yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penerapan

prinsip penegasan batas di wilayah laut baik prinsip sama jarak (equidistance line)

maupun median line menggunakan tools Voronoi Diagram pada aplikasi Sistem

Informasi Geografis.

I.7. Landasan Teori

Dalam sub bab ini disajikan teori yang digunakan sebagai landasan dalam

penelitian kajian penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah atas

dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012, yang

meliputi tinjauan yuridis hukum nasional dalam penegasan batas daerah di wilayah

laut, aspek teknis dalam penentuan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut

7

daerah, prinsip penegasan klaim kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut,

peta laut, penentuan garis batas dengan prinsip sama jarak menggunakan Voronoi

diagram, dan perhitungan luas secara numerik.

I.7.1. Tinjauan yuridis hukum nasional dalam penegasan batas daerah di

wilayah laut

Perjalanan bangsa Indonesia dalam menetapkan dasar hukum penegasan batas

daerah di wilayah laut tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Awal sejarah

dalam penegasan batas daerah di wilayah laut dimulai sejak zaman kolonial Belanda.

Setelah Bangsa Indonesia merdeka selama 15 tahun mulai dari tahun 1945 hingga

tahun 1960, Indonesia mewarisi prinsip hukum laut sama dengan yang diterapkan

oleh Belanda yakni Ordonansi Hindia Belanda 1939. Ordonansi Hindia Belanda

1939 ini disebut Teritoriaie Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (Danurejo

dalam Sjawie, 2001). Sjawie (2001) menjelaskan bahwa, berdasarkan prinsip-prinsip

pada ordonansi ini setiap pulau di wilayah Indonesia hanya mempunyai wilayah laut

territorial sejauh 3 mil laut dari garis pantai, sehingga laut yang memisahkan pulau-

pulau merupakan laut bebas. Hal ini sangat bertolak belakang dengan jiwa, maksud

dan isi Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Nusantara harus

dipandang sebagai satu kesatuan. Selain itu, hal tersebut juga dirasa merugikan bagi

Bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia

mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa negara Republik

Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic State). Danusaputro dalam

Sjawie (2001), menjelaskan bahwa publikasi Deklarasi Djuanda ini tidak

mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat Internasional, sebaliknya berbagai

reaksi dan protes keras datang dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena melalui

Deklarasi ini, laut yang dahulunya merupakan bagian Laut Bebas berubah statusnya

menjadi Perairan Pedalaman.

Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan konsep Negara

Kepulauan dilakukan pada Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 di Jenewa dan

Konferensi II tahun 1960. Sebelum pelaksanaan Konferensi II tahun1960, Indonesia

memberlakukan prinsip Negara Kepulauan dalam sebuah undang-undang yakni

Undang-Undang No.4/Prp./tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Kusumaatmadja

8

dalam Sjawie, 2001). Pada hakekatnya undang-undang tersebut mengubah cara

penentuan garis pangkal normal menjadi garis pangkal lurus dan menentukan bahwa

lebar Laut Teritorial Indonesia adalah 12 mil laut (Sjawie, 2001). Adanya undang-

undang ini diharapkan lebih menegaskan konsep Negara Kepulauan yang akan

disidangkan pada Konferensi II tahun 1960.

Kusumaatmadja (1978) dalam Sjawie (2001) menjelaskan bahwa dalam kedua

Konferensi Hukum Laut I dan II tidak memberikan uraian yang mendalam mengenai

pengajuan Deklarasi Djuanda, bahkan mendapatkan protes dari wakil pemerintah

USA karena dianggap mengurangi kebebasan di laut. Kusumaatmadja dalam Sjawie

(2001) menjelaskan bahwa, protes negara maritim terhadap konsepsi Negara

Kepulauan tersebut telah diantisipasi pada Deklarasi Djuanda yakni dengan

memberikan garansi berupa hak lintas damai di wilayah perairan Indonesia bagi

kapal asing yang melintas. Pada akhirnya Konferensi III Hukum Laut tahun 1982,

pengajuan konsep Negara Kepulauan oleh Indonesia mendapatkan pengakuan dari

masyarakat Internasioal. Konsep tersebut diakui melalui ketentuan mengenai Negara

Kepulauan dan lebar laut territorial sejauh 12 mil laut yang dimuat dalam Pasal 46

sampai dengan Pasal 54 dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang dikenal

dengan United Nations Convention on the Law of the Sea atau disebut UNCLOS III tahun

1982 (Sjawie, 2001). Pemerintah Indonesia meratifikasi Hukum Laut III 1982 ini dengan

Undang-Undang No.17 tahun 1985. Kemudian, pada tanggal 8 Agustus 1996 UU No.

4/PRP/1960 dibatalkan dengan penerbitan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan

Indonesia yang isinya sangat umum, yaitu menyampaikan hal-hal yang berkaitan

dengan Hukum Laut III 1982 serta tidak mencantumkan daftar koordinat titik-titik

dasar pantai terluar dari pulau terluar wilayah Indonesia. Tindak lanjut dalam

menjalankan konsep Negara Kepulauan, pada tanggal 16 Juni 1998 dikeluarkan

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1998 tentang Koordinat Geografis Titik Dasar

Kepulauan di Laut Nusantara.

Sejalan dengan adanya desentaralisasi sebagai wujud pembagian kewenangan

antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maka dikeluarkan Undang-

Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. UU No.22 tahun 1999

mengatur ketentuan mengenai batas laut provinsi sejauh 12 mil laut dari garis pantai

dan untuk kabupaten/kota sejauh sepertiga batas laut provinsi. Pada pelaksanaannya,

9

UU No.22 tahun 1999 ini tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu

diganti dengan undang-undang yang baru. UU No.22 tahun 1999 memunculkan

istilah yang menimbulkan salah penafsiran mengenai batas daerah di wilayah laut,

yakni dalam Undang-Undang ini menggunakan istilah “batas laut daerah”. Istilah

tersebut banyak ditafsirkan oleh pemerintah daerah sama dengan membagi wilayah

teritori bagi daerah seperti halnya wilayah administrasi di darat, padahal yang

dimaksud sesungguhnya ialah mengatur kewenangan pusat dan daerah di wilayah

laut (Arsana, 2005). Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi terbitnya Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari

UU No.22 tahun 1999, dengan mengganti istilah “batas laut daerah” menjadi

“kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut” (Arsana, 2005).

Berkaitan dengan penegasan batas daerah di wilayah laut, UU No.32 tahun

2004 menjelaskan dalam pasal 18 ayat 1 bahwa, setiap daerah provinsi dan

kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola

sumber daya di wilayah laut. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut tersebut dalam hal kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan

pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang;

penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang

dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; serta ikut dalam pemeliharaan

keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Pasal 18 ayat 4 menyebutkan bahwa

kewenangan untuk pengelolaan sumber daya di wilayah laut bagi daerah yakni paling

jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan

kepulauan untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk

kabupaten/kota. Pasal 18 ayat 5 menyebutkan apabila wilayah laut antara dua

provinsi kurang dari 24 mil laut, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah

antar dua provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah

kewenangan provinsi yang dimaksud.

Ketentuan pada Pasal 18 ayat 4 dan ayat 5 menegaskan bahwa kewenangan

pengelolaan di wilayah laut bagi kabupaten/kota yaitu sepertiga dari wilayah

kewenangan provinsi, hal ini bukan berarti secara mutlak sejauh empat mil laut.

10

Kondisi ini terjadi apabila daerah provinsi tidak memungkinkan mengklaim wilayah

laut secara penuh sejauh 12 mil laut. Klaim tidak dapat dilakukan secara maksimal

akibat dari pembagian kewenangan wilayah laut pada daerah provinsi yang

berbatasan dengan jarak kurang dari 24 mil laut. Pembagian kewenangan

pengelolaan di wilayah laut tersebut menghasilkan klaim kewenangan pengelolaan

bagi daerah di wilayah laut kurang dari 12 mil laut. Hal ini berarti, tidak mungkin

bagi kabupaten untuk mengklaim kewenangan pengelolaan di wilayah laut sejauh

empat mil laut, karena terdapat segmen batas yang lebar klaimnya tidak secara penuh

sejauh 12 mil laut. Pelaksanaan penegasan batas daerah baik di wilayah darat

maupun wilayah laut sesuai dengan UU No.32 tahun 2004, diatur dalam sebuah

petunjuk teknis yang digunakan sebagai pijakan bagi daerah dan instansi yang

berwenang.

Peraturan pemerintah mengenai aturan dan petunjuk teknis dalam penegasan

batas daerah ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri

Dalam Negeri (Permendagri) tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah”.

Permendagri yang pertama ditetapkan adalah Permendagri No.01 tahun 2006 pada

tanggal 12 Januari 2006. Penetapan Permendagri ini didasarkan pada perihal

penegasan batas daerah harus dilakukan secara sistematis dan terkoordinasi dalam

rangka penentuan batas secara pasti di lapangan sesuai dengan amanat Undang-

Undang Pembentukan Daerah. Kini Permendagri tersebut telah direvisi dengan

Permendagri No. 76 tahun 2012 pada tanggal 14 Desember 2012.

Pertimbangan pergantian Permendagri yang mengatur Pedoman Penegasan

Batas Daerah menyebutkan bahwa Permendagri No.01 tahun 2006 sudah tidak sesuai

lagi dengan perkembangan keadaan dan kurang memadai dalam proses percepatan

penyelesaian batas daerah. Perubahan yang terjadi pada Permendagri ini, secara

prinsip adalah menitikberatkan kepada proses penegasan batas. Penegasan batas

sesuai dengan Permendagri No.01 tahun 2006 merupakan kegiatan penentuan batas

secara pasti di lapangan, dimana kegiatan ini berarti harus ada pengukuran batas

dilapangan. Berbeda halnya dengan peraturan yang tertuang dalam Permendagri

No.76 tahun 2012 yang memperbolehkan penegasan batas daerah di wilayah laut

dilakukan dengan metode kartometrik. Berdasarkan Permendagri No.76 tahun 2012

11

tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, “metode kartometrik dalam penegasan

batas daerah di wilayah laut adalah penelusuran/ penarikan garis batas pada peta

kerja dan pengukuran/ penghitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah

dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap”. Penegasan

batas daerah ini dilakukan untuk menciptakan tertib adminisrasi pemerintahan yang

dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti, baik dari

aspek yuridis maupun aspek teknis.

Selain perubahan mengenai proses penegasan batas daerah di wilayah laut,

terjadi pula perubahan peraturan mengenai teknis penetapan dan penegasan batas

daerah di wilayah laut dalam hal garis acuan penarikan klaim di wilayah laut, hal ini

akan dijelaskan pada sub bab I.7.2 dan merupakan materi dasar kajian dalam

penelitian ini. Perubahan peraturan juga terjadi pada pengaturan mengenai

penyelesaian sengketa batas daerah, dimana pada Permendagri No.01 tahun 2006

masalah penyelesaian perselisihan batas daerah ini belum diatur secara rinci. Untuk

Permendagri No.76 tahun 2012 telah mengatur secara rinci kewenangan dan tatacara

dalam penyelesaian perselisihan batas daerah baik di wilayah darat maupun di

wilayah laut.

I.7.2. Aspek teknis dalam penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah

laut daerah

Penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah tidak terlepas

dari aspek-aspek teknis yang mengacu pada pedoman penegasan batas daerah yakni

Permendagri yang mengatur hal tersebut. Aspek-aspek teknis penegasan batas

kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah pada tulisan ini disajikan berdasarkan

aspek teknis yang diatur berdasarkan Permendagri No.01 tahun 2006 dan

Permendagri No.76 tahun 2012, sehingga dapat diketahui perbedaan aspek teknis

yang digunakan pada kedua Permendagri tersebut. Terdapat penggunaan beberapa

istilah teknis yang berbeda untuk menyatakan suatu perihal yang sama, dan terdapat

pula beberapa istilah teknis yang ditambahkan dan dihapus pada Permendagri baru.

Adapun istilah teknis yang digunakan dalam Permendagri No.01 tahun 2006 adalah

garis pantai, garis dasar, titik awal, titik sekutu, titik acuan, pulau, dan satuan. Untuk

12

istilah teknis yang digunakan dalam Permendagri No.76 tahun 2012 antara lain di

tambahkan istilah titik dasar, namun dihapuskan istilah titik awal dan garis dasar.

I.7.2.1. Garis pantai. Garis pantai adalah garis pertemuan antara daratan dan

lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang tersedia pada peta dasar

yakni peta laut. Garis pantai yang dimaksud merupakan garis air rendah (low water

line) yang telah disajikan pada peta laut melalui survey batimetri dan pengukuran

pasang surut dengan menggunakan datum vertikal tertentu, sesuai dengan Undang-

Undang No.32 tahun 2004 seperti yang tersaji pada Gambar I.1. Garis pantai dalam

ketentuan Permendagri No.76 tahun 2012 dijadikan garis acuan atau baseline dalam

melakukan penarikan klaim kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut.

Berbeda halnya dengan ketentuan pada Permendagri No.01 tahun 2006 yakni garis

pantai digunakan sebagai acuan dalam penarikan garis dasar.

I.7.2.2. Titik dasar, titik awal, titik acuan dan titik sekutu. Berdasarkan

perubahan Permendagri tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah”, terdapat

perbedaan istilah yang digunakan untuk menunjukan perihal yang sama antara

Permendagri baru dan Permendagri lama. Istilah titik dasar yang digunakan pada

Permendagri No.76 tahun 2012 disebut sebagai titik awal pada Permendagri No.01

tahun 2006. Titik dasar ataupun titik awal merupakan titik koordinat yang terletak

pada garis pantai yang digunakan untuk menentukan garis acuan penarikan klaim,

guna mengukur batas daerah di laut yang ditarik tegak lurus dari garis pantai

tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar I.1. Sehingga dapat dikatakan bahwa,

titik dasar ini mewakili batas terluar dari daratan dan digunakan dalam penentuan

garis batas daerah di wilayah laut. Titik dasar ataupun titik awal ini dalam

terminologi batas internasional disebut sebagai titik pangkal atau basepoint. Garis

acuan penarikan klaim sesuai dengan Permendagri No.76 tahun 2012 menggunakan

garis pantai seperti yang telah dijelaskan pada sub bab I.7.2.1, sedangkan

Permendagri No.01 tahun 2006 menggunakan garis dasar yang dijelaskan pada sub

bab I.7.2.3.

Titik acuan merupakan titik ikat dari titik dasar, sehingga titik dasar yang

berada pada zona pasang surut dilaut dapat direferensikan dengan koordinat titik

acuan yang berada di darat, seperti yang terlihat pada Gambar I.2(a) dan Gambar

13

I.2(b). Sedangkan, titik sekutu merupakan tanda batas yang terletak di darat pada

koordinat batas antar daerah provinsi, kabupaten/kota yang digunakan sebagai titik

acuan untuk penegasan batas daerah di laut.

Gambar I.1. Titik dasar dan garis pantai (Permendagri No.76, 2012)

(a)

(b)

Gambar I.2. (a) Penarikan klaim di wilayah laut berdasarkan penerapan garis pantai

sesuai Permendagri No. 76 tahun 2012 (Permendagri No.76, 2012); (b) penarikan

klaim di wilayah laut berdasarkan penerapan garis dasar sesuai Permendagri No.01

tahun 2006 (Permendagri No.1, 2006)

I.7.2.3. Garis dasar. Istilah garis dasar ini terdapat pada Permendagri No.01

tahun 2006, garis dasar merupakan garis yang menghubungkan antara dua titik awal

dan terdiri dari garis dasar lurus dan garis dasar normal yang digunakan sebagai

acuan dalam penarikan garis batas daerah di wilayah laut, seperti yang terlihat pada

Gambar II.2 (b). Istilah garis dasar pada ketentuan Permendagri No.76 tahun 2012

tidak disebutkan, sebab acuan penarikan klaim kewenangan pengelolaan di wilayah

Garis Batas

Daerah di

Laut

14

laut ditentukan berdasarkan garis pantai, seperti yang terlihat pada Gambar I.2 (a).

Berdasarkan Gambar I.2 (a) dan I.2 (b) dapat terlihat perbandingan penerapan garis

acuan penarikan klaim di wilayah laut berdasarkan Permendagri No.01 tahun 2006

dan Permendagri No.76 tahun 2012.

Terminologi pada Permendagri No.76 tahun 2012 mengenai garis pantai

sebagai garis acuan penarikan klaim di wilayah laut, dapat disamakan dengan garis

dasar normal yang diatur pada Permendagri No.01 tahun 2006. Garis dasar normal

yaitu garis yang berhimpit dengan garis pantai atau garis kontur nol antara dua titik

awal, biasanya garis ini berbentuk kurva, seperti yang disajikan pada Gambar I.3.

Penentuan garis batas dengan menggunakan garis dasar lurus apabila

menghubungkan dua titik awal berdekatan dan berjarak tidak lebih dari 12 mil laut

seperti pada Gambar I.3.

Gambar I.3. Contoh penentuan titik awal garis dasar lurus dan garis dasar normal

(Permendagri No.1, 2006)

I.7.2.4. Pulau. Pulau yang dimaksud adalah merupakan daratan yang terbentuk

secara alamiah dan senantiasa berada diatas permukaan laut saat pasang tertinggi.

I.7.2.5. Satuan. Unit satuan yang digunakan dalam penentuan batas daerah di

wilayah laut dibedakan menjadi satuan jarak dan satuan luas atau area. Satuan jarak

yang digunakan adalah mil laut (nautical mile), dimana 1 mil laut sama dengan 1,852

meter, hal ini sesuai dengan hasil konferensi Hidrografi Internasional tahun 1929

yang telah disetujui oleh IHO. Satuan ukuran luas umumnya kilometer persegi (km2),

bukan mil laut persegi (mil2) (IHO, 2006).

I.7.3. Prinsip penegasan klaim kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut

Penegasan batas daerah di wilayah laut bertujuan untuk memberikan

kewenangan pengelolaan wilayah laut bagi masing-masing daerah yang dilaksanakan

berdasarkan pedoman penegasan batas daerah. Prinsip penegasan batas daerah di

15

wilayah laut yang diatur pada pedoman penegasan batas daerah melalui Permendagri

No.01 tahun 2006 tidak mengalami perubahan setelah dilakukan pergantian menjadi

Permendagri No.76 tahun 2012. Dalam proses penarikan dan pengukuran batas

kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut tentunya tidak semua daerah dapat

melakukan penarikan klaim batasnya secara penuh sejauh 12 mil laut, hal ini

dikarenakan kondisi wilayah Indonesia yang merupakan kepulauan dan terdapat 33

Provinsi di dalamnya, tentunya terdapat daerah-daerah yang saling berbatasan

dengan jarak wilayah laut kurang dari 24 mil laut. Bertolak pada kondisi tersebut,

maka penegasan batas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut atau

delimitasi batas di wilayah laut ini diperlukan. Berikut adalah ketentuan yang diatur

untuk prinsip penegasan batas daerah di wilayah laut:

a. Penarikan garis batas daerah di wilayah laut untuk suatu pulau ataupun

gugusan pulau yang berjarak lebih dari dua kali 12 mil laut yang berada dalam

satu provinsi, diukur secara melingkar dengan jarak 12 mil laut untuk provinsi

dan sepertiganya untuk kabupaten/kota, seperti terlihat pada Gambar I.4.

Gambar I.4. Penarikan garis batas pada pulau dan/atau gugusan pulau yang

berjarak lebih dari dua kali 12 mil laut yang berada dalam satu provinsi

(Permendagri No.76, 2012)

b. Penarikan garis batas pada pulau yang berjarak kurang dari dua kali 12 mil dan

berada dalam daerah provinsi yang berbeda, diukur menggunakan prinsip garis

tengah (median line) seperti pada Gambar I.5 untuk daerah berbatasan saling

berhadapan dan prinsip sama jarak (equidistance) untuk daerah berbatasan

saling berdampingan.

16

Gambar I.5. Penarikan garis batas pada pulau yang berjarak kurang dari dua

kali 12 mil laut yang berada pada provinsi yang berbeda

(Permendagri No.76, 2012)

c. Penentuan batas wilayah laut pada daerah berbatasan dengan pantai yang saling

berdampingan dilakukan dengan menggunakan prinsip sama jarak

(equidistance line). Metode delimitasi ini menggunakan dua garis yang

memiliki jarak yang sama dari garis pangkal pada daerah pantai yang saling

berdampingan, seperti yang terlihat pada Gambar I.6.

Gambar I.6. Prinsip sama jarak untuk daerah berbatasan saling berdampingan

(Permendagri No.76, 2012)

d. Penentuan batas wilayah laut pada daerah berbatasan dengan pantai yang

saling berhadapan berjarak kurang dari 24 mil, dilakukan dengan menggunakan

prinsip garis tengah (median line). Metode delimitasi ini menggunakan pada

prinsipnya sama dengan prinsip sama jarak, hanya saja istilah median line

Garis batas

Daerah di

wilayah Laut

17

digunakan pada kondisi daerah pantai yang berhadapan atau berseberangan,

seperi yang terlihat pada Gambar I.7.

Gambar I.7. Prinsip garis tengah untuk daerah berbatasan saling berhadapan

(Permendagri No.76, 2012)

Keterangan Gambar I.4 sampai dengan Gambar I.7 :

Kewenangan pengelolaan laut provinsi

Kewenangan pengelolaan laut kabupaten dan kota

Daratan/pulau

I.7.4. Peta Laut

Berdasarkan Pedoman Penegasan Batas Daerah dalam Permendagri No.01

tahun 2006 maupun Permendagri No.76 tahun 2012 terdapat aturan mengenai

penggunaan peta dasar yang digunakan dalam penetapan dan penegasan batas daerah

di wilayah laut secara kartometrik, yakni sebagai berikut :

1. Peta Laut dan/ atau Lingkungan Laut Nasional (LLN) skala 1:500.000 untuk

batas wilayah laut provinsi,

2. Peta Laut dan/ atau Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1:50.000

untuk batas daerah kabupaten dan kota.

Peta laut atau nautical chart pada Technical Aspect of The Law on The Sea

(2006) didefinisikan sebagai peta dengan tujuan khusus (special-purpose map) yang

dirancang untuk navigasi atau tujuan khusus lainnya. Hal-hal yang perlu

dipertimbangkan dalam kaitannya dengan peta laut adalah proyeksi peta, datum

horizontal, dan datum vertikal. Proyeksi peta yang digunakan pada peta laut adalah

Garis batas

Daerah di

wilayah Laut

18

proyeksi merkator, yakni garis meridian dan parallel digambarkan dengan garis lurus

yang berpotongan dengan sudut yang sebenarnya, sehingga akan mempertahankan

azimuth dan sifat proyeksi merkator yang konformal akan mempertahankan bentuk

asli di atas peta. Peta laut yang digunakan dalam penarikan batas wilayah laut adalah

peta dengan skala yang memadai untuk penentuan garis pangkal dan diakui secara

resmi keberadaannya oleh semua pihak yang terkait. Datum vertikal yang digunakan

pada peta laut adalah garis air rendah (low water line) yang dijadikan dasar atau

referensi untuk menyatakan kedalaman air dibawahnya.

I.7.5. Penentuan garis batas dengan prinsip sama jarak menggunakan Voronoi

diagram

Voronoi diagram merupakan istilah yang diambil dari nama seorang

matematikawan Rusia bernama Georgy Fedoseevich Voronoi, Voronoi

mendefinisikan dan mempelajari kasus umum n-dimensional pada tahun 1908.

Voronoi diagram dapat didefinisikan sebagai struktur geometris yang terbentuk dari

titik terdekat yang berjarak sama (Okabe et al. 2000, Bertolotto-Leidinger &

Hangouët 2003:88 dalam Casquer & Hangouët 2003). Hangouët (2003) menyatakan

bahwa dilihat dari prinsip pembuatan struktur geometri Voronoi diagram, hal ini

identik dengan prinsip median line maupun equidistance line yang merupakan

himpunan setiap titik yang berjarak sama dari titik terdekat yang berasal dari garis

pangkal atau garis dasar. Dengan kata lain, setelah unsur geometris berupa garis

dasar diberikan, maka Voronoi diagram dapat melakukan perhitungan yang

menghasilkan garis tengah.

Gambar I.8. Contoh pembuatan Voronoi diagram (Sarvottamananda, 2010)

A

B

C

19

Keterangan Gambar I.8 :

s1, s2 dan s3 : titik acuan pembentukan Voronoi diagram

V(s1), V(s2) dan V(s3) : Voronoi edge yang terbentuk setelah komputasi Voronoi

diagram

Gambar I.8 merupakan gambar langkah pembentukan Voronoi diagram

berdasarkan tiga titik, beserta karakteristik dari hasil komputasi Voronoi diagram

yang dijelasakan oleh Sarvottamananda (2010). Adapun langkah tersebut diawali

dengan membuat Voronoi edge yang berupa poligon tertutup dimana setiap tepi

Voronai edge tersebut merupakan garis tegak lurus yang membagi sama jarak antara

dua titik acuan, untuk titik s1 dan s2 akan menghasilkan tepi Voronoi edge berupa

garis A, untuk s1 dan s3 membentuk tepi Voronoi edge berupa garis B, sedangkan

untuk tepi Voronoi edge berupa garis C dihasilkan dari titik s2 dan s3. Berdasarkan

hasil poligon Voronoi edges V(s1), V(s2) dan V(s3) tersebut maka ketiganya akan

berpotongan dan akan menghasilkan Voronoi vertex. Voronoi vertex tersebut

memiliki jarak yang sama terhadap tiga buah titik acuan s1, s2 dan s3, hal ini

digambarkan pada lingkaran yang melewati ketiga titik tersebut. Lingkaran tersebut

memiliki titik pusat yang berupa Voronoi vertex, sehingga dikatakan bahwa jarak

titik acuan ke Voronoi vertex adalah sebesar jari-jari lingkaran yang melewati titik

acauan tersebut. Titik pada Voronoi vertex inilah yang kemudian dapat diidentifikasi

sebagai titik tengah antara tiga titik acuan tersebut, hal ini sama dengan prinsip

median line dan equidistance pada penentuan batas di wilayah laut.

Perhitungan Voronoi diagram menurut Hangouët (2003) dihitung berdasar

pada data titik atau segmen yang mewakili garis pantai dan garis dasar sehingga

menghasilkan geometris yang terdiri dari potongan garis mediatrix (titik-titik

equidistance), garis bisektor (segmen-segmen equidistance), dan busur parabola

(point-segmen equidistance). Voronoi diagram dapat dihitung pula ketika daerah

berbatasan yang ingin ditentukan tidak saling berhadapan, yaitu ketika daerah pantai

yang berbatasan saling berdampingan atau adjacent dalam terminologi perbatasan

maritim. Penyelesaian batas dengan menggunakan konstruksi Voronoi diagram

memperhitungkan geometri baseline, sehingga ketika divisualisasikan Voronoi

diagram menunjukkan pengaruh dan efek dari setiap detail dari bentuk baseline yang

digunakan.

20

I.7.6. Perhitungan luas secara numeris

Penegasan batas daerah di wilayah laut tentunya berkaitan dengan seberapa

jauh dan seberapa luas bagi daerah untuk mendapatkan kewenangan pengelolaan di

wilayah laut, sehingga diperlukan besaran yang dapat merepresentasikan hal tersebut.

Besaran yang dapat merepresentasikan besar kewenangan pengelolaan daerah di

wilayah laut yakni besaran luas. Luas dapat dihitung untuk mengetahui luas

kewenangan pengelolaan suatu daerah di wilayah laut serta dapat pula digunakan

untuk melakukan identifikasi luas area pertampalan klaim wilayah laut yang hendak

ditentukan batasnya.

Luas adalah jumlah areal yang terproyeksi pada bidang horisontal dan

dikelilingi oleh garis-garis batas. Luas bidang yang dihitung didalam peta merupakan

gambaran dari permukaan bumi dengan proyeksi ortogonal sehingga selisih-selisih

tinggi dari titik batas diabaikan (Basuki, 2006). Dalam penelitian ini perhitungan luas

daerah klaim kewenangan pengelolaan di wilayah laut daerah dilakukan berdasarkan

prinsip metode numeris yaitu dengan koordinat.

Dimisalkan sebidang areal yang dibatasi oleh titik-titik A(X1,Y1), B(X2,Y2),

C(X3,Y3), dan D(X4,Y4). Maka luas segi empat ABCD dapat dihitung dengan cara

sebagai berikut (Basuki, 2006):

Apabila Gambar I.9 diproyeksikan terhadap sumbu-X, maka:

Gambar I.9. Luasan dengan angka koordinat (Basuki, 2006)

B

C1 B1

C

A

X

Y

D1

A1

D

21

……………..(I.1)

Disederhanakan menjadi :

……………………….........(I.2)

Apabila gambar di proyeksikan terhadap sumbu –Y maka akan menjadi :

……………………………..(I.3)

Kedua rumus diatas dapat disederhanakan menjadi :

……………(I.4)

I.8. Hipotesis

Penerapan garis acuan penarikan klaim daerah di wilayah laut, yakni garis

dasar kombinasi sesuai dengan Permendagri No.01 tahun 2006 dan garis pantai

sesuai dengan Permendagri No.76 tahun 2012 akan mengakibatkan adanya

perbedaan luas area pertampalan klaim daerah di wilayah laut, luas kewenangan

pengelolaan daerah di wilayah laut, serta perbedaan posisi garis batas daerah di

wilayah laut.