bab i pendahuluan -...

24
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pulau Bangka dan Belitung telah menjadi propinsi sendiri dengan keluarnya Undang-undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tepatnya tanggal 21 Nopember 2000. Propinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi propinsi yang ke-33 dari seluruh Propinsi di Indonesia. Propinsi ini secara administratif dibagi menjadi 6 kabupaten dan 1 kota yaitu Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Belitung, kabupaten Belitung Timur, dan Kota Pangkalpinang. Pembentukan propinsi baru mencanangkan berbagai rencana untuk pembangunan. Namun efek negatifnya adalah mengendurnya peraturan untuk praktek penambangan timah dasar laut yang dahulu hanya dilakukan oleh PT.Timah. Hal itu mengakibatkan bertambahnya praktek tambang ilegal di Selat Bangka. Selat Bangka sudah terkenal dengan kekayaan alam berupa timahnya sejak 300 tahun yang lalu. Eksploitasi timah di Selat Bangka dilakukan dengan penambangan lepas pantai dan penambangan darat. Penambangan lepas pantai di Selat Bangka dilakukan dengan pengerukan tanah dasar laut yang menyebabkan rusaknya bentuk topografi dasar laut. Akibat yang ditimbulkan adalah bentuk topografi dasar laut perairan Bangka menjadi lebih curam sehingga daya abrasi pantai menjadi semakin kuat. Kerusakan menjadi lebih parah dengan maraknya penambangan ilegal dan penambangan legal yang masih berlangsung. Kegiatan penambangan timah lepas pantai di dasar laut yang bersifat legal melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal isap. Cara kerja dari kedua alat ini adalah dengan menggali dan menyedot pasir timah yang ada di dasar laut. Cara yang sama juga dilakukan dalam penambangan ilegal dengan menyelam langsung ke bekas bekas lubang penambangan timah legal yang telah ditinggalkan, lalu menyedot pasir timah dengan mesin pompa. Hal itu tentunya

Upload: vuthuan

Post on 17-Sep-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pulau Bangka dan Belitung telah menjadi propinsi sendiri dengan keluarnya

Undang-undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan

Bangka Belitung tepatnya tanggal 21 Nopember 2000. Propinsi Kepulauan Bangka

Belitung menjadi propinsi yang ke-33 dari seluruh Propinsi di Indonesia. Propinsi ini

secara administratif dibagi menjadi 6 kabupaten dan 1 kota yaitu Kabupaten Bangka,

Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan,

Kabupaten Belitung, kabupaten Belitung Timur, dan Kota Pangkalpinang.

Pembentukan propinsi baru mencanangkan berbagai rencana untuk

pembangunan. Namun efek negatifnya adalah mengendurnya peraturan untuk

praktek penambangan timah dasar laut yang dahulu hanya dilakukan oleh PT.Timah.

Hal itu mengakibatkan bertambahnya praktek tambang ilegal di Selat Bangka.

Selat Bangka sudah terkenal dengan kekayaan alam berupa timahnya sejak

300 tahun yang lalu. Eksploitasi timah di Selat Bangka dilakukan dengan

penambangan lepas pantai dan penambangan darat. Penambangan lepas pantai di

Selat Bangka dilakukan dengan pengerukan tanah dasar laut yang menyebabkan

rusaknya bentuk topografi dasar laut. Akibat yang ditimbulkan adalah bentuk

topografi dasar laut perairan Bangka menjadi lebih curam sehingga daya abrasi

pantai menjadi semakin kuat. Kerusakan menjadi lebih parah dengan maraknya

penambangan ilegal dan penambangan legal yang masih berlangsung.

Kegiatan penambangan timah lepas pantai di dasar laut yang bersifat legal

melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal isap.

Cara kerja dari kedua alat ini adalah dengan menggali dan menyedot pasir timah

yang ada di dasar laut. Cara yang sama juga dilakukan dalam penambangan ilegal

dengan menyelam langsung ke bekas – bekas lubang penambangan timah legal yang

telah ditinggalkan, lalu menyedot pasir timah dengan mesin pompa. Hal itu tentunya

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

2

akan menyebabkan dasar laut menjadi tidak teratur akibat dari lubang – lubang yang

ditimbulkan dari kegiatan penggalian dan pengisapan pasir timah lepas pantai.

Lubang – lubang ini dapat diketahui melalui penyajian informasi perubahan

bentuk topografi dasar laut perairan Selat Bangka. Penyajian informasi yang

dilakukan berupa analisis perubahan bentuk topografi dasar laut di perairan Selat

Bangka. Data pengukuran batimetri dasar laut perairan Selat Bangka dan data

pendukung lainnya diperlukan sebagai bahan untuk menganalisis perubahan bentuk

topografi dasar lautnya. Analisis perubahannya dilakukan dengan membandingkan

topografi dasar laut sebelum dan sesudah pembentukan propinsi Bangka Belitung.

Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi dari bentuk topografi dasar

laut perairan Selat Bangka dalam bentuk visual tidak langsung sehingga bisa dilihat

bentuk topografi dasar laut tersebut sebelum dan sesudah tahun 2000 di dasar laut

Selat Bangka.

I.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai perubahan

yang terjadi di Selat Bangka dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2012 akibat

penambangan timah di dasar laut. Berdasarkan permasalahan tersebut maka

pertanyaan yang diajukan sebagai berikut :

1. Bagaimana perubahan bentuk topografi dasar laut Selat Bangka akibat

penambangan timah lepas pantai?

2. Berapa besarnya perubahan kedalaman dan volume yang dihasilkan di dasar

laut Selat Bangka akibat penambangan timah lepas pantai?

I.3 Batasan Masalah

Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini :

1. Area penelitian mencakup wilayah Selat Bangka bagian selatan dengan

koordinat 2°38’59” – 2°47’31” LS dan 105°47’44” – 105°54’27” BT.

2. Penelitian ini menggunakan 2 epoch, peta batimetri tahun 1996 dalam bentuk

digital dan data pengukuran batimetri bulan Juni 2012 di Selat Bangka.

Penelitian ini dibatasi hanya dari 2 data tersebut walaupun penambangan

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

3

timah sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda dikarenakan

ketersediaan data yang terbatas.

3. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode analisis

perubahan mengunakan selisih kedalaman dan nilai volume yang dihasilkan

antar 2 epok.

4. Hasil yang dicapai adalah peta perubahan bentuk topografi dasar laut Selat

Bangka.

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menyajikan informasi mengenai perubahan bentuk topografi dasar laut Selat

Bangka akibat penambangan timah lepas pantai.

2. Mengetahui besar perubahan kedalaman dan volume yang dihasilkan di Selat

Bangka akibat penambangan timah lepas pantai.

I.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu didapatkan informasi yang

lengkap tentang bentuk topografi dasar laut di Selat Bangka dan perubahan

kedalaman serta volume yang dihasilkan terhadap bentuk topografi dasar laut akibat

penambangan timah lepas pantai di Selat Bangka.

I.6 Tinjauan Pustaka

Poerbandono (2005) menyatakan bahwa penentuan kedalaman titik

pemeruman, merupakan suatu proses pengukuran untuk memperoleh nilai suatu

kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran bentuk topografi dasar

perairan. Menurut prinsip dan karakter teknologi yang digunakan penentuan

kedalaman dapat dilakukan dengan metode mekanik, optik atau akustik.

Wibawa, H. K. (2006) meneliti tentang hasil analisis pada hasil survei hidro-

oseanografi di kawasan rencana pelabuhan Oswald Siahaan, tepatnya di Desa

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

4

Labuhan Angin, Tapian Nauli, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara menghasilkan

kontur topogafi yang relatif datar (kemiringan 0 – 2%), pengaruh arus terhadap

perairan relatif kecil (< 0.3 m/dt),tinggi gelombang permukaan angin yang relatif

kecil (< 10 cm), dan sedimentasi serta kadar garam relatif kecil. Kesimpulan dari

penelitian tersebut menyatakan bahwa kawasan Labuhan Angin di Teluk Tapian

Nauli sangat ideal untuk menjadi lokasi rencana pembangunan pelabuhan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis beracuan pada prinsip dan cara

pengukuran batimetri untuk melakukan analisis perubahan topografi dasar laut

menggunakan 2 buah peta batimetri yang dihasilkan dari hasil 2 pengukuran

batimetri dalam kurun waktu yang berbeda. Penulis melakukan koreksi terhadap data

batimetri dengan koreksi tranducer dan koreksi pasang surut agar data kedalaman

hasil ukuran direduksikan ke bidang referensi tertentu. Data koordinat tersebut

kemudian diproses menjadi peta batimetri lalu dibandingkan dengan peta batimetri

lain yang telah terkoreksi untuk mengetahui perubahan kedalaman dan volume yang

dihasilkan.

I.7 Landasan Teori

I.7.1 Survei Hidrografi

Poerbandono (2005) mengatakan hidrografi adalah cabang ilmu yang

berkepentingan dengan pengukuran dan deskripsi sifat dan bentuk dasar perairan

serta dinamika badan air untuk tujuan navigasi dan aktivitas kelautan lainnya.

Fenomena dasar perairan meliputi batimetri atau topografi dasar laut, jenis material

dasar laut dan morfologi dasar laut. Dinamika badan air meliputi pasang surut dan

arus. Data mengenai fenomena dasar perairan dan dinamika badan air dsistem

referiperoleh melalui kegiatan survei hidrografi. Data tersebut diolah dan disajikan

sebagai informasi geospasial yang mengacu pada suatu sistem referensi tertentu.

Survei hidrografi dalam penelitian ini meliputi :

1. Survei topografi

2. Survei batimetri

3. Pengamatan pasang surut air laut

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

5

I.7.1.1. Survei topografi. Survei topografi adalah pemetaan permukaan bumi

fisik dan kenampakan hasil budaya manusia. Pengukuran dilakukan secara langsung

untuk mendapatkan data teristris berupa data azimuth, data ukuran sudut dan jarak,

serta data elevasi. Data – data tersebut diperlukan untuk penggambaran topografi

daerah tersebut berupa peta topografi. Kegiatan dalam survei topografi meliputi

(Basuki, 2006):

1. Persiapan

Persiapan dalam melakukan survei meliputi persiapan peralatan,

perlengkapan dan personil. Masing – masing persiapan harus dipastikan

lengkap sebelum terjun ke lapangan.

2. Survei pendahuluan

Survei pendahuluan dilakukan untuk melihat keadaan lapangan secara

menyeluruh. Hasil dari survei ini dapat menentukan teknik pengukuran

dan posisi titik – titik kerangka peta (bench mark) yang dapat digunakan

dalam pengukuran.

3. Survei pengukuran

Survei pengukuran merupakan kegiatan untuk mendapatkan

kerangka kontrol pemetaan dan detil daerah pengukuran. Bench mark

(BM) yang sudah dipasang dan ditandai menjadi titik – titik kontrol

pemetaan dan titik ikat pengukuran detil. Titik – titik BM juga digunakan

sebagai titik kontrol pemeruman pada survei batimetri.

Titik – titik tersebut diukur jarak, azimuth, sudut dan elevasinya

terhadap titik BM lainnya dalam suatu poligon. Azimuth diukur untuk

memberikan orientasi arah utara pada kerangka kontrol pemetaan.

Pengukuran posisi detil dilakukan dengan pengikatan pada kerangka peta

dengan metode jarak dan sudut.

I.7.1.2. Survei batimetri. Survei batimetri adalah kegiatan untuk menentukan

posisi titik di dasar perairan dalam suatu koordinat tertentu . Pengukuran dilakukan

dalam lajur – lajur pengukuran (pemeruman) yang diikatkan pada titik ikat di darat.

Hasil kegiatan ini diproses menjadi model bentuk topografi dasar perairan yang

divisualisasikan dalam bentuk peta batimetri. Tahap – tahap kegiatan survei

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

6

batimetri terdiri dari penentuan posisi horizontal pemeruman (x,y), penentuan

kedalaman (h), dan pengamatan pasang surut air laut (Wibawa, 2006).

1. Penentuan posisi horizontal

Salah satu metode pengikatan untuk menentukan posisi horizontal titik

pemeruman adalah dengan metode perpotongan ke belakang. Titik

pemeruman ditentukan dari titik ikat yang telah diketahui koordinatnya. Titik

pemeruman diukur sudutnya terhadap titik ikat yang berada di daratan pantai.

Hasil ukuran sudut digunakan untuk mendapatkan nilai azimuth yang

menunjukkan arah utara. Nilai azimuth tersebut digunakan untuk

mendapatkan koordinat titik pemeruman dari titik ikat. Hasil akhirnya berupa

posisi horizontal (x,y) titik pemeruman yang telah terikat dengan titik ikat

atau titik acuan dengan sistem koordinat yang sama dengan titik acuan.

2. Penentuan kedalaman laut

Penentuan kedalaman laut dilakukan dengan kegiatan pemeruman.

Pemeruman adalah penentuan kedalaman dasar laut yang bertujuan untuk

mendapatkan gambaran kondisi topografi dasar laut. Alat yang digunakan

adalah alat perum gema (echosunder). Prinsip kerja alat ini adalah dengan

mengukur selang waktu yang diperlukan pulsa gelombang suara untuk

menempuh jarak dari tanducer ke dasar laut dan kembali lagi ke tranducer.

Tranducer adalah perangkat dari echosounder yang diletakkan di bawah air.

Tranducer berfungsi mengubah pulsa energi listrik menjadi energi akustik

agar dapat merambat di dalam air dan mengubahnya kembali menjadi energi

listrik sehingga didapatkan bacaan kedalaman yang terukur. Tranducer

dipasang tegak lurus bidang permukaan laut pada sisi luar di tengah-tengah

bagian buritan dan haluan dengan kedalaman yang sesuai sehingga apabila

kapal bergerak vertikal akibat gelombang, bagian bawah transducer tetap

berada di bawah permukaan air. Sinkronisasi data kedalaman dan posisi

horizontal dilakukan secara otomatis oleh firmware (software yang berada di

dalam alat). Letak tranducer tidak tepat di permukaan air, sehingga perlu

dilakukan koreksi draft tranducer pada masing – masing ukuran.

Penambahan bacaan kedalaman (h) dan nilai draft tranducer (d)

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

7

menghasilkan kedalaman perairan saat pengukuran. Prinsip pengukuran

dengan echosounder dapat dijelaskan dalam Gambar I.1.

Gambar I.1. Pengukuran kedalaman dengan echosounder

I.7.1.3. Pengamatan pasang surut air laut. Air laut dalam pergerakannya selalu

naik turun secara periodik. Fenomena ini disebut pasang surut (pasut) laut. Pasut air

laut dipengaruhi oleh benda – benda langit terutama bulan dan matahari. Oleh karena

itu, penentuan pasut laut diamati selama 1 piantan,1 bulan, 1 tahun, atau dalam

jangka waktu tertentu sesuai pengaruh kedua bulan dan matahari terhadap bumi.

Pengamatan pasut laut dalam periode waktu tersebut akan menghasilkan suatu

ketinggian maksimum dan minimum di laut sesuai periode waktu yang telah

ditentukan. Tujuan pengamatan pasut secara umum meliputi dua hal berikut ini :

1. untuk keperluan analisis harmonik dan prediksi pasut laut pada suatu daerah

perairan tertentu. Hasilnya berupa data tipe pasut dan prediksi bacaan pasut laut

untuk kurun waktu tertentu.

2. untuk menentukan bidang mean sea level (MSL) dan bidang acuan

kedalaman atau datum vertikal. MSL merupakan bidang referensi untuk posisi

vertikal (ketinggian). Datum vertikal digunakan sebagai referensi tinggi untuk

pengukuran kedalaman laut. Beberapa datum vertikal yang sering digunakan

ditunjukkan dalam Tabel I.1.

muka laut

rerata

d = Draft tranducer

Antena GPS

Tranducer

h = kedalaman

Dasar Laut

kapal

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

8

Tabel I.1. Macam – macam datum vertikal

No. Istilah Definisi

1. Highest

Astronomical Tide

(HAT)

Ketinggian pasut tertinggi yang dapat diprediksi dari

rata – rata kondisi meteorologi dan kombinasi dari

beberapa kondisi astronomis.

2. Higher High Water

Large Tide

(HHWLT)

Rata –rata pasut tinggi tertinggi dengan pengamatan

selama periode 19 tahun.

3. Lowest Astronomical

Tide (LAT)

Ketinggian pasut terendah yang dapat diprediksi

dari rata – rata kondisi meteorologi dan kombinasi

dari beberapa kondisi astronomis.

4. Lower Low Water

Large Tide

(LLWLT)

Rata –rata pasut rendah terendah dengan pengamatan

selama periode 19 tahun.

5. Mean Higher High

Water (MHHW)

Tinggi rata –rata pasut tinggi tertinggi di suatu

tempat dengan pengamatan selama periode 19 tahun.

6. Mean Lower Low

Water (MLLW)

Tinggi rata –rata pasut rendah terendah di suatu

tempat dengan pengamatan selama periode 19 tahun.

7. Mean Sea Level

(MSL)

Tinggi rata – rata muka air laut di suatu stasiun pasut

untuk semua pengukuran pasut selama periode 19

tahun. Pengukuran biasanya per jam dari suatu

tinggi referensi tetap.

Data pengamatan pasut laut diperlukan untuk penyajian hasil survei batimetri

berupa peta batimetri. Peta batimetri dalam pembuatannya memerlukan suatu bidang

referensi kedalaman berupa muka surutan peta. Muka surutan peta adalah sebutan

lain dari datum vertikal di laut. Muka surutan peta tidak pernah menyentuh

permukaan air laut karena pendefinisian suatu muka surutan peta terletak di bawah

permukaan air laut terendah di suatu daerah yang bersangkutan. Namun untuk

pekerjaan teknis dimana muka surutan peta belum diketahui, digunakan sounding

datum sebagai pengganti muka surutan peta. Muka surutan peta berupa jarak surutan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

9

peta (Z0) yang dihitung dari duduk tengah (S0) sampai muka surutan peta yang

ditentukan. Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum ditunjukkan dalam

Gambar I.2.

Gambar I.2. Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum

Data pasut laut diperoleh dari pengukuran pasut laut di stasiun pasut laut

dalam kurun waktu tertentu. Biasanya di stasiun pasut laut tersebut terdapat sebuah

alat ukur pasut laut. Alat sederhana yang biasa digunakan adalah tide pole atau

palem. Ketinggian muka air atau besar pasut laut yang terjadi dicatat secara manual

oleh operator dengan interval waktu tertentu dalam suatu formulir pengamatan pasut

laut. Cara ini lebih mudah dan efisien dengan ketelitian sekitar 2,5 cm, serta akan

menghindari adanya data kosong.

I.7.2 Pengikatan Stasiun Pasang Surut

Pengikatan stasiun pasang surut atau dalam penelitian ini menggunakan

palem bertujuan untuk menyatukan bidang referensi antara ketinggian topografi

dengan kedalaman perairan pada bidang muka surutan peta. Palem (P) diikatkan

terhadap Benchmark (BM) di darat dengan waterpassing. Hasil yang diperoleh

berupa tinggi BM terhadap suatu muka surutan peta. Sebagai contoh muka surutan

yang digunakan adalah MLLW, maka titik BM terhadap MLLW dijelaskan dalam

persamaan (I.1).

𝑕𝐵𝑀 = ∆𝑕𝐵𝑀−𝑃 –𝑀𝐿𝐿𝑊.........................................................(I.1)

Keterangan :

Duduk Tengah (S0)

Muka Surutan Peta

Z0

Sounding

Datum

Z

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

10

𝑕𝐵𝑀 : tinggi titik BM terhadap muka surutan peta

∆𝑕𝐵𝑀−𝑃 : rata – rata selisih tinggi pengukuran pergi pulang stasiun pasut dan

BM

𝑀𝐿𝐿𝑊 : Muka surutan peta yang ditentukan

Nilai MLLW diperoleh dari hasil pengolahan data pasut dari pengamatan pasut di

stasiun pasut.

I.7.3. Pengolahan Data

I.7.3.1. Pengolahan data pasut laut. Data pasut laut diolah untuk mendapatkan harga

amplitudo (A) dan keterlambatan fase (g) dari konstanta harmonik pasut. Konstanta

harmonik pasut adalah konstanta-konstanta yang dapat menyebabkan terjadinya

pasut. Konstanta-konstanta pasut tersebut memilliki sifat yang harmonik terhadap

waktu, sehingga dinamakan konstanta harmonik pasut. Secara garis besar konstanta

harmonik pasut dapat dibagi menjadi tiga kelompok seperti di bawah ini (Rawi,

1999):

1. Konstanta harmonik pasut periode harian (diurnal period tide)

2. Konstanta harmonik pasut periode harian ganda (semidiurnal period tide)

3. Konstanta harmonik pasut periode panjang (long period tide)

Selain konstanta-konstanta di atas, terdapat konstanta harmonik pasut lainnya

yang disebabkan oleh gesekan antara air laut dengan perairan dangkal (shallow water

tide).

Pengolahan data pasut umumnya menggunakan 9 komponen utama konstanta

harmonik pasut untuk keperluan rekayasa, yaitu: M2, S1, K2, N2, K1, O1, P1, M4 dan

MS4. Penjelasan mengenai komponen harmonik pasut tersebut dijelaskan pada Tabel

I.2.

Tabel I.2. Komponen harmonik utama pasang surut

Tipe

Pasut Keterangan Simbol

Kec. Sudut

(⁰/jam)

Ganda Dipengaruhi oleh Bulan Utama

Dipengaruhi oleh Matahari Utama

M2

S2

28,9841

30,0000

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

11

Dipengaruhi oleh akibat lintasan bulan

berbentuk ellips

Dipengaruhi oleh lintasan matahari

berbentuk ellips

N2

K2

28,4397

30,0821

Tunggal Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan dan

deklinasi matahari

Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan Utama

Dipengaruhi oleh deklinasi Matahari

Utama

K1

O1

P1

15,0411

13,9430

14,9589

Perairan

Dangkal

Kecepatan sudut dua kali kecepatan sudut

M2

Merupakan modulasi dari M2 dan S2

dengan kecepatan sudut jumlah kecepatan

sudut M2 dan S2

M4

MS4

59,97

59,98

Pengolahan data pasut juga bertujuan untuk mengetahui sifat dan karakteristik

pasut di suatu tempat dari hasil pengamatan pasut dalam kurun waktu tertentu dapat

diketahui dengan melakukan analisis harmonik pasang surut laut. Tujuan dari analisis

harmonik pasut adalah untuk menghitung amplitudo dan keterlambatan fase.

Amplitudo yang dihitung merupakan hasil respons dari kondisi laut setempat

terhadap pasang surut setimbang sedangkan kelambatan fase yang dihitung

merupakan kelambatan fase dari gelombang tiap komponen terhadap pasang surut

setimbang. nilai perubahan amplitudo dan kelambatan fase tersebut dinyatakan

dalam konstanta harmonik.

Metode yang sering digunakan untuk analisis harmonik adalah metode kuadrat

terkecil atau lebih dikenal dengan metode least square. Persamaan pada metode

kuadrat terkecil dengan faktor meteorologis diabaikan, maka tinggi pasut merupakan

superposisi dari komponen pembentuknya yang dinyatakan dalam persamaan (I.2) di

bawah ini (Ali, 1994):

𝜂 𝑡 = 𝑆𝑜 + 𝑠𝑠0 + 𝐴𝑖 cos (𝜔𝑖𝑡 − 𝑃𝑖)𝑁𝑖=1 ..................................

(I.2)

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

12

Keterangan:

𝜂 𝑡 : elevasi pasut fungsi dari waktu

𝑆𝑜 : duduk tengah (mean sea level)

𝑠𝑠𝑜 : perubahan duduk tengah musiman yang disebabkan oleh monsun

atau angin, jadi oleh faktor meteorologis

𝐴𝑖 : amplitudo komponen ke-i

𝜔𝑖 : 2π/Ti, Ti = periode komponen ke-i

𝑃𝑖 : fase komponen ke-i

t : waktu

N : jumlah komponen.

Bentuk lain dari persamaan (I.2) adalah:

𝜂 𝑡𝑛 = 𝑆𝑜 + 𝑠𝑠𝑜 + 𝐴𝑟 cos 𝜔𝑖 𝑘𝑟=1 𝑡𝑛 + 𝐵𝑟

𝑘𝑟=1 𝜔𝑖 𝑡𝑛 .......

Keterangan:

Ar dan Br: konstanta harmonik ke-i

k : jumlah komponen pasut

tn : waktu pengamatan tiap jam (tn = -n, n+1, n; tn = 0 adalah waktu

tengah-tengah pengamatan.

Nilai 𝜂 𝑡𝑛 hasil perhitungan dengan persamaan (I.3) akan mendekati elevasi

pasut pengamatan 𝜂 𝑡𝑛 jika:

𝜇2 = 𝜂 𝑡𝑛 − 𝜂 𝑡𝑛 2𝑛

𝑡𝑛 =−𝑛 = 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚...............................(I.4)

Fungsi 𝜇2 minimum jika memenuhi hubungan ini:

𝜕𝜇 2

𝜕𝑆𝑜= 0;

𝜕𝜇 2

𝜕𝐴𝑠= 0;

𝜕𝜇 2

𝜕𝐵𝑠= 0, 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠 = 1,2, ………𝑘................(I.5)

Persamaan (I.3) bertujuan menghitung besarnya So, ar, dan br menggunakan

operasi persamaan sebagai berikut:

𝐻1 = 𝐴. 𝑃1 dan 𝐻2 = 𝐵. 𝑃2

Keterangan:

(I.3)

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

13

P1: matrik parameter (a1, a2, ................,ak+1), yaitu:

𝚊1

𝚊2..

𝚊𝑘+1

di mana ak+1 = So

P2: matrik parameter (b1, b2, .............................,bk), yaitu:

𝑏1

𝑏2

.

.

.𝑏𝑛

𝐻1: matrik pengamatan, yaitu:

𝜂𝑡𝑛 cos 𝜔1𝑡

𝑛

𝑡=−𝑛

𝜂𝑡𝑛 cos 𝜔2𝑡

𝑛

𝑡=−𝑛

𝜂𝑡𝑛 cos 𝜔𝑘𝑡

𝑛

𝑡=−𝑛

𝜂𝑡𝑛

𝑛

𝑡=−𝑛

H2: matrik pengamatan, yaitu:

𝜂𝑡𝑛 sin 𝜔1

𝑛

𝑡=−𝑛

𝑡

𝜂𝑡𝑛 sin 𝜔2

𝑛

𝑡=−𝑛

𝑡

.

.

.

.

.

.

𝜂𝑡𝑛 sin 𝜔𝑘1

𝑛

𝑡=−𝑛

𝑡

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

14

A: matrik koefisien, yaitu:

𝛼1,1 𝛼1,2 ……………… . . 𝛼1,𝑘

𝛼2,1 𝛼2,2 ……………… . . 𝛼2,𝑘

.

.

.𝛼𝑘+1,1 𝛼2,𝑘 ……………… . . 𝛼𝑘 ,𝑘

B: matrik koefisen, yaitu:

𝛽1,1 𝛽1,2 ……………… . . 𝛽1,𝑘

𝛽2,1 𝛽2,2 ……………… . . 𝛽2,𝑘

.

.

.𝛽𝑘+1,1 𝛽2,𝑘 ……………… . . 𝛽𝑘 ,𝑘

Dengan:

⍺i,j =sin 2n+1 ωj−ωi /2

2 sin ωj−ωi /2+

sin 2n+1 ωj +ωi /2

2 sin ωj +ωi /2...........................

𝛽𝑖 ,𝑗 =sin 2n+1 ωj−ωi /2

2 sin ωj−ωi /2+

sin 2n+1 ωj +ωi /2

2 sin ωj +ωi /2...........................

Dari persamaan (I.6) dan (I.7) untuk i = j ditentukan:

sin 2𝑛 + 1 𝜔𝑗 − 𝜔𝑖 /2

2 sin ωj − ωi /2=

2𝑛 + 1

2

Dan jika i = j = k di mana 𝜔𝑘 = 0, ditentukan:

sin 2𝑛 + 1 𝜔𝑗 + 𝜔𝑖 /2

2 sin ωj + ωi /2=

2𝑛 + 1

2

Setelah besaran parameter (a1, a2,.........,ak+1) dan besaran parameter (b1,

b2...........,bk) kemudian dapat ditentukan:

1. Duduk tengah permukaan laut (mean sea level)

𝑆0 = ak+1

(I.6)

(I.7)

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

15

2. Amplitudo tiap komponen pasut:

𝑐𝑟 = 𝚊𝑟2 + 𝑏𝑟

2

3. Fase tiap komponen pasut:

Pr = Arc tan 𝚊𝑟

𝑏𝑟

Sehingga persamaan (I.2) dapat dinyatakan menjadi:

𝜂 𝑡 = 𝑆𝑜 + 𝑐𝑟 cos (𝜔𝑖𝑡 − 𝑃𝑟)𝑁𝑖=1 ...........................................(I.8)

Koreksi terhadap fase dan amplitudo ditunjukkan pada persamaan seperti di

bawah ini:

gi = ɵi + Vi + ui ......................................................................(I.9)

𝐴𝑖 =𝐴𝑜𝑖

𝑓𝑖 .....................................................................................(I.10)

Faktor koreksi amplitudo (f), koreksi fase (u), dan fase komponen (V) dapat

dihitung dari fungsi-fungsi di bawah ini:

s = 277,025 + 129,38481 (Y-1900) + 13,17640 (D+L) (dalam derajat)

h = 260,190 – 0,23872 (Y-1900) + 0,98565 (D+L) (dalam derajat)

p = 334,385 + 40,66249 (Y-1900) + 0,11140 (D+L) (dalam derajat)

N = 259,157 – 19,32818 (Y-1900) + 0,05295 (D+L) (dalam derajat)

Keterangan:

Y : tahun masehi

D : jumlah hari yang telah berlaku dari jam 00.00 tanggal 1 Januari tahun Y

L : bagian integer dari (1/4)(Y-1901)

Perhitungan selanjutnya adalah menghitung nilai argumen astronomis untuk

koreksi nilai amplitudo dan fase konstanta harmonik yang sering disebut sebagai

koreksi nodal 𝑓𝑖 , 𝑉𝑖 , dan 𝑢𝑖 . Untuk menghitung nilai 𝑓𝑖 menggunakan persamaan

sebagai berikut:

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

16

fM2 = 1,0004 + 0,0373 cos N + 0,0002 cos 2N

fS2 = 1

fN2 = fM2

fK1= 1,006 + 0,115 cos N – 0,008 cos 2N + 0,0006 cos 3N

fO1 = 1,0089 + 0,1871 cos N – 0,00147 cos 2N + 0,0014 cos 3N

fM4= fM2 x fM2

fMS 4= fM2

fK2= 1,0241 + 0,2863 cos N + 0,0083 cos 2N – 0,0015 cos 3N

fP1= 1

fSo = 0

Perhitungan nilai 𝑢𝑖 menggunakan persamaan sebagai berikut:

uM2= -2,14° sin N

uS2= 0

uN2= 𝑢𝑀2

uK1= -8,86° sin N + 0,68° sin 2N – 0,07° sin 3N

uO1= 10,8° sin N – 1,34° sin 2N + 0,04° sin 3N

uM4= uM2+ uM2

uMS 4= uM2

uK2= -17,74° sin N + 0,68° sin 2N – 0,04° sin 3N

uP1= 0

uSo = 0

Perhitungan nilai 𝑉𝑖 menggunakan persamaan sebagai berikut:

VM2= -2s + h + ωM2x CT

VS2= ωS2 x CT

VN2= 3s + 2h + p + ωN2 x CT

VK1= h + 90° + ωK1 x CT

VO1= -2s + h 270° + ωO1x CT

VM4= VM2 + VM2

VMS 4 = -2s + ωMS 4 x CT

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

17

VK2= 2h + ωK2 x CT

VP1= -h + 270° + ωP1 x CT

VS0 = 0

Pada persamaan di atas, CT merupakan jam atau data pasang surut yang tepat

di tengah-tengah periode pengamatan. Dengan menjumlahkan 𝑢𝑖 dan 𝑉𝑖 dari masing-

masing komponen harmonik pasut yang bersesuaian, maka diperoleh harga (𝑉𝑖 + 𝑢𝑖)

untuk masing-masing konstituen (Pangesti, 2012).

Hasil analisis harmonik tersebut menghasilkan konstanta – konstanta

harmonik pasut. Konstanta harmonik pasut ini diolah untuk mengetahui tipe

pasutnya. Tipe pasut yang timbul berbeda – beda tergantung pada tempat pasut

terjadi. Defant (1985) mengelompokkan pasut menurut perbandingan jumlah

amplitudo komponen harian tunggal (diurnal) dan harian ganda (semi diurnal)

berupa bilangan Formzahl dalam persamaan (I.11).

𝑁𝐹 =K1+O1

M2 +S2..........................................................................(I.11)

Tipe pasut berdasarkan nilai bilangan Formzahl dapat dilihat di Tabel I.3.

Tabel I.3. Tipe pasut berdasarkan nilai bilangan Formzahl

Nilai Bentuk Tipe Pasut Fenomena

0 < 𝑁𝐹 < 0,25 Harian ganda

murni

2 kali pasang dalam satu hari

0,25 < 𝑁𝐹 < 1,5 Campuran condong

harian ganda

2 kali pasang dalam satu hari dengan

interval yang berbeda

1,5 < 𝑁𝐹 < 3 Campuran condong

harian tunggal

1 atau 2 kali pasang dalam satu hari

dengan interval yang berbeda

𝑁𝐹 > 3 Harian tunggal

murni

1 kali pasang dalam satu hari

I.7.3.2. Perhitungan kedalaman tereduksi. Kegiatan Survei Batimetri menghasilkan

data kedalaman yang masih mentah dan harus dikoreksi. Koreksi yang diberikan ke

masing – masing ukuran antara lain :

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

18

1. Koreksi alat dan kecepatan perambatan gelombang suara

Koreksi kesalahan karena ketidaksamaan antara kecepatan standar di laut dan

kecepatan gelombang suara dapat dilakukan dengan bar check. Koreksi ini

menggunakan perbandingan kedalaman suatu titik yang telah ditentukan

kedalamannya, biasanya dengan plat baja yang digantung dengan tali atau kawat

dengan kedalaman hasil pengukuran echosounder. Selisih hasil perbandingan adalah

besar kesalahan yang harus dikoreksikan ke hasil ukuran. Bar check dilakukan pada

saat sebelum dan sesudah pengukuran dalam satu hari. Hasil koreksi tidak ikut dalam

perhitungan data karena koreksi dilakukan pada waktu pengukuran.

2. Koreksi draft tranducer

Koreksi ini diperlukan karena posisi tranducer tidak tepat di permukaan air

laut. Koreksi dilakukan dengan mengukur jarak tranducer ke batas air laut di tali

penghubung ke tranducer. Nilai kedalaman setelah dikoreksikan terhadap draft

tranducer dihitung dengan persamaan (I.12) berikut :

𝐻0 = 𝐻𝑒 + 𝑑........................................................................................(I.12)

Keterangan :

𝐻0 : kedalaman terkoreksi

𝐻𝑒 : kedalaman hasil bacaan echosounder

𝑑 : nilai draft tranducer

Koreksi ini bernilai positif dan ditambahkan dalam perhitungan kedalaman.

3. Koreksi pasut laut

Koreksi pasut dilakukan karena data kedalaman harus direduksikan ke bidang

referensi tertentu, dalam penelitian ini muka surutan peta menggunakan MLLW.

Nilai MLLW dicari dengan persamaan (I.13) berikut :

𝑀𝐿𝐿𝑊 = 𝑍0 − (𝑀2+𝑆2)..................................................................(I.13)

Nilai 𝑍0 dicari dengan penjumlahan seluruh amplitudo konstanta harmonik utama

pasut dengan persamaan (I.14) berikut :

𝑍0 = 𝑂1 + 𝑃1 + 𝐾1 + 𝑁2 + 𝑀2 + 𝑆2 + 𝐾2 + 𝑀4 + 𝑀𝑆4............................(I.14)

Hubungan kedalaman ukuran dan pasut dalam skala waktu diterangkan dalam

Gambar I.3.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

19

Gambar I.3. Hubungan kedalaman ukuran dan pasut

Jadi, besar nilai kedalaman tereduksi dihitung dengan persamaan (I.15) berikut :

𝐻 = 𝐻0 − (𝐻𝑡 − 𝑀𝐿𝐿𝑊)...................................................... (I.15)

Keterangan :

𝐻 : kedalaman tereduksi

𝐻0 : kedalaman terkoreksi

𝐻𝑡 : tinggi pasut saat t

𝑀𝐿𝐿𝑊 : tinggi muka surutan peta

Nilai Ht diperoleh melalui proses interpolasi linear dari bacaan pasut pada waktu

pemeruman.

I.7.4 Interpolasi Data

Tempfli (1977) mendefinisikan interpolasi adalah penentuan nilai pendekatan

dari variabel f (p) pada titik antara P dalam ruang berdimensi r. Secara umum

interpolasi dapat didefinisikan sebagai penentuan nilai suatu besaran berdasarkan

besaran lain yang sudah diketahui nilainya sebagai acuan, dimana letak besaran yang

akan ditentukan sebagai besaran antara dicari di antara besaran yang sudah

diketahui. Hubungan antara titik – titik acuan tersebut didekati menggunakan fungsi

interpolasi dan penetuan nilai besaran antara sehingga didapatkan nilai interpolasi

yang berada di antara titik – titik acuan.

Penggunaan teknik interpolasi dalam penelitian ini diterapkan dalam

penentuan tinggi pasut pada waktu tertentu dan penggambaran garis kedalaman

berdasarkan data kedalaman yang ada. Penggunaan teknik interpolasi ini juga

digunakan penentuan nilai koordinat suatu titik diatas peta batimetri.

Dasar Laut

H muka air t

MLLW

H H0

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

20

X0 X X1

f

(x1) f (x)

f

(x0)

Interpolasi diklasifikasikan dalam beberapa macam. Salah satunya adalah

klasifikasi interpolasi berdasarkan jumlah fungsi interpolasi pada suatu daerah

(sekelompok data acuan) dikelompokkan menjadi interpolasi global dan interpolasi

titik.

I.7.4.1 Interpolasi global. Interpolasi global menggunakan pendekatan satu fungsi

dalam suatu wilayah interpolasi. Salah satu contoh yaitu interpolasi linear.

Interpolasi linear merupakan bentuk yang paling sederhana dari interpolasi global.

Interpolasi ini menghubungkan dua titik dengan garis lurus. Interpolasi linear dapat

dilihat di Gambar I.4.

Gambar I.4. Interpolasi Linear

Jika dilihat dari gambar I.4., interpolasi linear dapat dinyatakan dalam persamaan

(I.16) berikut :

𝑓1 𝑥 − 𝑓(𝑥0)

𝑥− 𝑥0=

𝑓 𝑥1 − 𝑓(𝑥0)

𝑥1− 𝑥0............................................ (I.16)

Keterangan :

𝑓1 𝑥 : fungsi besaran yang dicari

𝑓(𝑥0) : fungsi besaran acuan pertama

𝑓 𝑥1 : fungsi besaran acuan kedua

𝑥 : nilai besaran yang dicari

𝑥0 : nilai besaran acuan pertama

𝑥1 : nilai besaran acuan kedua

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

21

I.7.4.2. Interpolasi titik. Interpolasi titik merupakan interpolasi yang menggunakan

unit area terkecil. Setiap titik di interpolasi ini mempunyai fungsi interpolasi yang

berbeda di setiap interval, sehingga satu set nilai parameter yang baru sebagai fungsi

interpolasi harus ditentukan kembali. Penentuan jarak maksimum titik acuan

terhadap titik antara dilakukan dahulu untuk menentukan jumlah titik acuan yang

digunakan sebagai parameter. Salah satu contoh interpolasi titik yaitu dengan

menggunakan rata – rata berat. Pemberian bobot lebih besar pada nilai yang sangat

dekat daripada titik – titik yang jauh. Tahap perhitungannya sebagai berikut :

1. Penentuan jarak maksimum (d0).

Penentuan jarak dilakukan dengan menghitung jarak titik antara ke masing –

masing titik acuan. Jumlah titik acuan sebanyak tiga buah akan menghasilkan

geometri jarak yang terkontrol terhadap titik antara. Penentuan jarak maksimum

dapat dilihat pada Gambar I.5.

Gambar I.5. Interpolasi titik

Jika X adalah nilai antara dan (X1, X2, X3) adalah nilai titik – titik acuan, g(x)

adalah kedalaman titik antara, dan {g(x1), g(x2), g(x3)}adalah kedalaman titik – titik

acuan, maka titik acuan yang digunakan adalah yang paling dekat dengan titik antara,

yaitu titik acuan 2 dan 3. Jarak maksimum adalah rata – rata hasil selisih nilai

koordinat x titik acuan 2 ke titik antara dan hasil selisih nilai koordinat x titik acuan 3

ke titik antara.

2. Penentuan fungsi jarak yang digunakan W (d).

X1 X2 X X3

g

(x3) g (x)

g(x1)

g(x2)

x

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

22

Penentuan jarak ini dilakukan dengan mengurangi nilai koordinat X masing -

masing titik acuan ke titik antara.

D adalah matrik Jarak. W adalah matrik bobot jarak.

𝐷 =

𝑋 − 𝑋2

𝑋 − 𝑋3

⋮𝑋 − 𝑋𝑛

𝑊 =

1

𝐷1

1

𝐷2

⋮1

𝐷𝑛

3. Perhitungan nilai interpolasi. Bentuk matematisnya adalah :

𝑓 = 𝑊𝑘 𝑔1𝑘

𝑚𝑘=1

𝑊𝑘𝑚𝑘=1

= AT F........................................................(I.17)

A adalah matrik fungsi bobot jarak terhadap jumlah bobot jarak. F adalah matrik

fungsi nilai kedalaman.

𝐴 =

𝑊1

𝑊

𝑊2

𝑊

𝑊𝑛

𝑊

𝐹 =

𝑔11

𝑔12⋮

𝑔1𝑛

Berat yang diambil harus dari suatu fungsi yang berkurang terhadap jarak.

I.7.5 Penyajian Kondisi Topografi

Kondisi topografi suatu lokasi dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan

topografi dapat disebabkan oleh alam atau aktivitas manusia, contohnya

penambangan timah lepas pantai di dasar laut. Perubahan tersebut dapat diketahui

dengan membandingkan dua data dari lokasi yang sama dengan jangka waktu yang

berbeda. Perubahan yang terjadi berupa perubahan ketinggian atau kedalaman untuk

di dasar laut serta penambahan atau kekurangan massa berupa pasir atau material di

dasar laut yang diperlihatkan dalam nilai volume.

Data topografi yang telah diolah dan tereferensi terdiri dari satu atau lebih

jangka waktu (epok) yang berbeda di lokasi yang sama. Data topografi epok pertama

adalah acuan ketinggian 0 dimana belum terjadi perubahan. Data topografi epok

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

23

kedua dan seterusnya adalah data yang dianggap telah terjadi perubahan. Nilai

perubahan kedalaman dihitung dengan persamaan (I.18).

∆𝐻 = 𝐻2 − 𝐻1 .................................................... (I.18)

Keterangan :

∆𝐻 : selisih kedalaman kedua epok

𝐻2 : kedalaman epok kedua

𝐻1 : kedalaman epok pertama

Persamaan (I.18) menghasilkan nilai selisih kedalaman antar 2 epok. Luas

potongan penampang melintang epok 1 dan epok 2 menghasilkan luas permukaan

gabungan dari kedua epok yang di rata – rata . Nilai luas permukaan dicari dengan

persamaan (I.19).

𝐴 =𝐴1 +𝐴2

2 ................................................................ (I.19)

Keterangan :

𝐴 : selisih kedalaman kedua epok

𝐴1 : Luas permukaan epok pertama

𝐴2 : Luas permukaan epok kedua

Nilai ∆𝐻 sama dengan nilai jarak antar kedua ujung permukaan. Nilai luas

permukaan dan hasil selisih tersebut digunakan untuk menghitung volume. Volume

dihitung menggunakan persamaan (I.20) (Takasaki, 1980).

𝑉 = 𝐴 ∗ ∆𝐻................................................................ (I.20)

Keterangan :

∆𝐻 : selisih kedalaman kedua epok

A : Luas permukaan gabungan dari 2 epok

V : Volume yang dihasilkan

I.7.5.1. Penampang memanjang dan melintang. Penampang memanjang adalah irisan

tegak pada suatu permukaan dengan mengukur jarak dan beda tinggi titik-titik di atas

permukaan bumi. Penampang memanjang digunakan untuk melakukan pengukuran

yang jaraknya jauh, sehingga dikerjakan secara bertahap beberapa kali. Nilai panjang

yang besar membuat skala vertikal yang digunakan dibuat berbeda dengan

skala horisontalnya.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63910/potongan/S1-2013... · melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal

24

Penampang melintang adalah sebuah penampang vertikal yang tegak lurus

terhadap garis sumbu pada stasiun penuh dan stasiun plus dalam interval jarak

tertentu. Penampang ini menyatakan batas-batas suatu galian atau timbunan rencana

atau yang sudah ada. Penentuan luas potongan melintang menjadi sederhana bila

potongan melintang tersebut digambar diatas kertas gambar potongan melintang.

Potongan melintang digambar dengan skala yang disesuaikan untuk kemudahan

dalam penggambaran.

Penyajian kondisi topografi suatu permukaan dapat disajikan dengan 2 sajian

meliputi penampang memanjang dan penampang melintang. Penampang ini

merepresentasikan kenampakan kondisi topografi dalam bentuk 2D. Hasilnya berupa

gambar penampang (profil) yang menggambarkan tampang atau irisan dari kondisi

topografi suatu permukaan. Penampang memanjang dan melintang bisa juga

merepresentasikan perubahan kondisi topografi berupa perubahan kedalaman dan

volume yang terjadi dari 2 epok yang berbeda di lokasi yang sama.

I.8 Hipotesis

Bentuk topografi dasar laut Selat Bangka mengalami perubahan akibat

penambangan timah lepas pantai.