bab i pendahuluan edit

35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Teknologi produksi obat tradisional di Indonesia mulai berkembang. Sebagian besar perusahaan obat tradisional kini tidak lagi memproduksi obat dalam bentuk sediaan tradisional seperti bentuk rajangan dengan bahan dasar simplisia, namun dalam bentuk sediaan obat modern seperti tablet atau kapsul yang menggunakan ekstrak sebagai bahan dasarnya. Perkembangan yang cukup pesat ini perlu didukung dengan pembuktian secara ilmiah mengenai mutu, khasiat dan keamanan obat tradisional sebagai fitofarmaka. Kegiatan isolasi kandungan aktif dan standarisasi ekstrak merupakan suatu upaya dalam pengembangan obat tradisional (Yuliani, 2001). Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut 1

Upload: liris

Post on 17-Sep-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Bab ini menjelaskan latar belakang penelitian perbedaan pelarut terhadap kualitas ekstrak kering daun sambung nyawa (Gynura procumbens (Lourr.) Merr) dengan metode simplex lattice design

TRANSCRIPT

22

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang PenelitianTeknologi produksi obat tradisional di Indonesia mulai berkembang. Sebagian besar perusahaan obat tradisional kini tidak lagi memproduksi obat dalam bentuk sediaan tradisional seperti bentuk rajangan dengan bahan dasar simplisia, namun dalam bentuk sediaan obat modern seperti tablet atau kapsul yang menggunakan ekstrak sebagai bahan dasarnya. Perkembangan yang cukup pesat ini perlu didukung dengan pembuktian secara ilmiah mengenai mutu, khasiat dan keamanan obat tradisional sebagai fitofarmaka. Kegiatan isolasi kandungan aktif dan standarisasi ekstrak merupakan suatu upaya dalam pengembangan obat tradisional (Yuliani, 2001).Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Anonim, 1995). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Anonim, 2000). Ekstrak mulai banyak digunakan sebagai obat tradisional karena pada umumnya komponen bioaktif yang ada dalam tumbuhan berada dalam jumlah kecil, sedangkan ekstrak mengandung sebagian besar zat aktif yang diharapkan dan lebih sedikit zat ballast sehingga diharapkan aktivitas biologisnya lebih tinggi dan lebih mudah dikontrol mutunya. Salah satu kriteria ekstrak yang baik adalah mengandung senyawa aktif yang diharapkan dalam kuantitas dan kualitas. Pemilihan pelarut dalam proses penyarian merupakan faktor yang berpengaruh dalam menghasilkan ekstrak yang baik. Carian pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk mengekstraksi senyawa aktif sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan dari senyawa lainnya, serta hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan (Anonim, 2000).Komposisi pelarut merupakan salah satu penentu efektivitas pelarut dalam melakukan ekstraksi. Komposisi pelarut optimal dapat dicari dengan metode Simplex Lattice Design (SLD), salah satu metode yang umum digunakan dalam proses optimasi di berbagai bidang, diantaranya dalam pengolahan makanan, formulasi kimia, tekstil, serta obat-obatan farmasi. Metode SLD berisi rumusan perhitungan matematis yang dapat menentukan komposisi pelarut optimal untuk mendapatkan ekstrak dengan parameter mutu paling tinggi sehingga trial and error yang menyita waktu tidak perlu dilakukan (Bondari, 2005).Bahan baku yang digunakan pada sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet pada umumnya berbentuk ekstrak kering. Ekstrak yang masih kental cenderung kurang homogen dan masih lengket sehingga kesulitan dalam penanganan dan penentuan dosis (Sembiring, 2009). Salah satu tanaman yang sering digunakan dalam pengobatan tradisional adalah sambung nyawa (Gynura Procumbens (Lour.) Merr.). Daun sambung nyawa telah banyak dimanfaatkan secara luas untuk pengobatan berbagai masalah kesehatan, antara lain sebagai obat kanker (Meiyanto, 1996), demam, ruam, penyakit ginjal, sakit kepala, konstipasi, tekanan darah tinggi, dan diabetes melitus (Perry, 1980). Penelitian Sudarto dan Pramono (1985) melaporkan senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas farmakologi tersebut adalah senyawa flavonoid. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti, dimana flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi radikal bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Giorgio, 2000).Daerah Mangunan (Yogyakarta) telah melakukan usaha budidaya tanaman sambung nyawa untuk memenuhi permintaan pasar. Hertiani dkk. (2014) telah melakukan penelitian tentang mutu simplisia dan ekstrak sambung nyawa di ketiga tempat di daerah Mangunan yaitu daerah barat, piat dan gligir dan mendapatkan hasil bahwa daerah gligir memiliki kadar kaemferol dan flavonoid total paling tinggi. Untuk mendapatkan ekstrak dengan mutu yang baik, penelitian tentang optimasi komposisi pelarut perlu dilakukan. Optimalnya suatu pelarut dalam menyari ekstrak daun sambung nyawa dapat ditentukan dengan menggunakan metode SLD untuk mendapatkan ekstrak kering yang baik, dan dievaluasi terhadap kadar golongan senyawa flavonoid total, fenolik total serta aktivitas antioksidannya. Penelitian ini diharapkan dapat membantu memudahkan industri obat tradisional untuk memproduksi sediaan sambung nyawa yang memiliki mutu yang baik dan kandungan aktif tinggi.

B. Perumusan Masalah1. Berapa komposisi pelarut optimal yang dapat menyari daun sambung nyawa sehingga menghasilkan ekstrak kering yang bermutu baik dengan kadar flavonoid total, fenolik total dan aktivitas antioksidan paling tinggi?2. Adakah korelasi antara kadar flavonoid total, fenolik total dan aktivitas antioksidan dari ekstrak kering daun sambung nyawa?

C. Tujuan Penelitian1. Menentukan komposisi pelarut yang dapat menyari daun sambung nyawa secara optimal sehingga menghasilkan ekstrak kering dengan kadar air, kandungan flavonoid total, fenolik, dan aktivitas antioksidan paling optimal.2. Menguji korelasi flavonoid total dan fenolik total yang terkandung dalam ekstrak kering daun sambung nyawa terhadap aktivitas antioksidannya.

D. TINJAUAN PUSTAKA1. Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.)a. Sistematika tanaman

Gambar 1. Tanaman sambung nyawa

Klasifikasi tanaman sambung nyawa sebagai berikut:Divisio: SpermatophytaSub divisio:AngiospermaeClassis:DicotyledonaeOrdo:Aserales (Compositae)Familia:Asteraceae (Compositae)Genus:GynuraSpesies:Gynura procumbens (Lour.) Merr.(Backer dan Van den Brink, 1965; Steenis, 1975)b. Nama daerahAda beberapa nama daerah yang digunakan untuk menamai tanaman ini yaitu: daun dewa atau beluntas cina (Heyne, 1987), sambung nyawa atau ngokilo (Anonim, 1989), akar sebiak di Malaysia dan sabungai di Filipina (Wiart, 2006).c. MorfologiTanaman G. procumbens merupakan perdu tegak (bila masih muda) dapat memanjat atau merambat. Tumbuh sebagai semak, pagar tepi hutan, hutan yang tembus cahaya, lapangan rumput (lading), sepanjang sungai, dan daerah kosong yang ada di dataran Asia Tenggara pada permukaan laut sampai ketinggian 1500 mdpl (Wiart, 2006). Bila daunnya diremas berbau aromatis. Batangnya segi empat, beruas-ruas, panjang ruas dari pangkal ke ujung makin pendek, ruas berwarna hijau dengan bercak ungu. Daun bervariasi bentuknya bulat telur sampai lonjong, lanset dengan pangkal membulat atau juga menyempit, ujungnya tumpul atau runcing, bertepi rata atau berlekuk, menyirip membagi, meririp tidak teratur, bergerigi kasar. Tangkai daun panjang 0,5-3,5 cm, helaian daun bagian atas berwarna hijau muda dan mengkilap, kedua permukaan daun berambut pendek. Tulang daun menyirip, tulang dari helaian daun bawah menonjol dan jelas. Pada tiap pangkal ruas terdapat tunas kecil berwarna hijau kekuningan. Bunga bongkol, dalam bongkol terdapat bunga tabung berwarna kuning orange atau orange berubah menjadi coklat kemerahan panjang 1-1,5 cm, berbau tak enak. Tiap-tiap tangkai daun dan helaian daunnya terdapat sel-sel kelenjar keringat (Steenis, 1975; Backer dan Van den Brink, 1965).d. Kandungan kimiaTanaman G. procumbens daunnya mengandung senyawa flavonoid, sterol tidak jenuh, triterpen, polifenol dan minyak atsiri (Sudarto dan Pramono, 1985). Penelitian Suganda dkk. (1985) menyebutkan bahwa daun sambung nyawa senyawa flavonoid, tannin, saponin, steroid, triterpenoid, asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam p-kumarat, asam-p-hidroksi benzoate. Penelitian Tan dkk. (2013) melaporkan komponen aktif G. procumbens berupa senyawa flavonol dan asam fenolat yang dapat diidentifikasi diantaranya kaemferol, kuersetin, kaemferol-3-O--D-glukopiranosida, kaemferol-3-O-rutinosida, rutin, asam klorogenat dan asam 3,5-dikafeoilquinat metil ester. Menurut Farmakope Herbal Indonesia (FHI) (2008) simplisia dan ekstrak kental daun sambung nyawa mengandung flavonoid total masing-masing tidak kurang dari 0,20% dan 2,7% dihitung sebagai kaemferol.e. KhasiatDaun Sambung Nyawa telah banyak dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia antara lain sebagai anti kanker (Meiyanto, 1996), demam, ruam, penyakit ginjal, sakit kepala, konstipasi, tekanan darah tinggi, dan diabetes mellitus (Perry, 1980). Studi farmakologi mengindikasikan bahwa ekstrak etanolik daun sambung nyawa memiliki aktivitas antioksidan (Rosidah dkk., 2008, 2009), antivirus herpes simpleks (Nawawi dkk., 1999), antihiperglikemik (Algariri dkk., 2013; Hasan dkk., 2010), antiinflamasi (Iskander dkk., 2002), antihiperlipidemia (Zhang dan Tan, 2000) dan antihipertensi (Hoe dkk., 2011, 2013; Kim dkk., 2006). Penelitian Sudarto dan Pramono (1985) melaporkan senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas farmakologi tersebut adalah senyawa flavonoid.

2. EkstrakEkstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara distilasi dengan pengurangan tekanan agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Anonim, 1995).Ekstrak tumbuhan obat dari simplisia nabati dapat digunakan sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan awal dianalogikan dengan komoditi bahan baku obat yang diproses menjadi produk jadi dengan teknologi fitofarmasi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti masih dapat diproses menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi berarti ekstrak sebagai sediaan obat jadi siap digunakan oleh penderita (Anonim, 2000). Ekstrak mulai banyak digunakan sebagai obat tradisional karena pada umumnya komponen bioaktif yang ada dalam tumbuhan berada dalam jumlah kecil, sedangkan ekstrak mengandung sebagian besar zat aktif yang diharapkan dan lebih sedikit zat ballast sehingga diharapkan aktivitas biologisnya lebih tinggi dan lebih mudah dikontrol mutunya. Salah satu kriteria ekstrak yang baik adalah mengandung senyawa aktif yang diharapkan dalam kuantitas dan kualitas. Pemilihan pelarut dalam proses penyarian merupakan faktor yang berpengaruh dalam menghasilkan ekstrak yang baik. Optimalnya suatu pelarut dalam menyari ekstrak dapat dilihat dengan melakukan pengujian terhadap aktivitas biologisnya. Ekstrak yang memiliki aktivitas tinggi menunjukkan bahwa pelarut telah menyari secara optimal. Daun sambung nyawa memiliki komponen aktif berupa flavonoid aglikon dan glikosida yang bersifat semipolar. Oleh karena itu, sambung nyawa dapat diekstraksi dengan campuran etanol dan air. Penelitian Puangponpritag (2010) menyebutkan kadar antioksidan daun sambung nyawa lebih tinggi bila diekstraksi dengan etanol dibandingkan dengan air, namun belum ada penelitian yang menyebutkan komposisi pelarut yang tepat untuk mengekstraksi daun sambung nyawa agar menghasilkan ekstrak kering yang baik.

3. Simplex Lattice Design (SLD)Metode SLD merupakan salah satu teknik optimasi formula untuk mendapatkan daerah yang mempunyai respon sama dan daerah yang optimal. Teknik ini sesuai untuk prosedur optimasi formula dimana jumlah total dari bahan yang berbeda adalah konstan. Metode SLD perlu mempersiapkan formulasi yang bervariasi terdiri dari kombinasi tambahan bahan (Bolton, 1997). Persamaan SLD untuk dua komponen atau faktor adalah:Y = a [A] + b [B] + ab [A] [B](1)Keterangan:Y =hasil percobaana; b; ab=koefisien yang dihitung berdasarkan hasil percobaan[A] dan [B]=komponen yang jumlahnya harus satu bagian

Untuk penerapan dua komponen atau faktor perlu dilakukan minimal tiga percobaan yaitu percobaan yang menggunakan 100%A, 100%B, dan campuran 50%A dan 50%B.

4. Spray dryingSpray drying merupakan proses pengeringan dengan cara memaparkan partikel cairan (droplet) pada semburan gas panas dengan suhu lebih tinggi dari suhu droplet. Suhu yang tinggi menyebabkan terjadinya penguapan cairan droplet sehingga terbentuk partikel yang kering (Shabde, 2006). Spray drying telah digunakan untuk membuatan bahan pengisi tablet dengan metode kempa langsung (Limwong dkk., 2004; Hauschild dan Freyer, 2004).Spray drying merupakan proses yang ekonomis karena langsung menghasilkan serbuk dari larutan dan mengurangi langkah-langkah seperti kristalisasi, presispitasi, pengeringan, dan pengurangan ukuran partikel. Adanya pengurangan langkah-langkah tersebut dapat mengurangi biaya peralatan, pekerja, tempat dan kemungkinan terjadinya kontaminasi (Rudnic dan Scharwtz, 2000). Perusakan produk karena panas umumnya jarang terjadi karena pemaparan material dengan panas terjadi dalam waktu singkat (Anonim, 2007). Oleh karena itu spray drying dapat digunakan untuk material yang sensitif terhadap panas (Rudnic dan Kottke, 1996).Prinsip dasar proses spray drying terdiri dari tiga tahapan, yaitu:a. AtomisasiAtomisasi merupakan tahap pembentukan droplet. Cairan (feed) ditekan oleh pompa untuk melewati suatu celah hingga cairan terpecah menjadi fine droplets. Perbedaan tekanan yang diberikan menentukan diameter rata-rata droplet yang terbentuk. Serbuk hasil spray drying mayoritas berupa partikel spheris, berpori, dan masing-masing memiliki ukuran yang identik (Bolhuis dan Chowhan, 1996; Shaw, 1997). Sistem spray drying yang ada secara komersial, proses atomisasinya menggunakan salah satu dari beberapa bentuk energi di bawah ini, yaitu:1) Energi SentrifugalCentrifugal atomizer umumnya beroprasi dengan cakram diameter 5-50 cm dengan kecepatan putar 5000-25000 rpm. Jenis atomizer ini menghasilkan droplet dengan variasi ukuran sekitar 15 m, tergantung jumlah energi yang ditransmisikan pada larutan (Shaw,1997).2) Energi KinetikEnergi kinetik diaplikasikan dalam bentuk two-fluid. Dalam teknik ini, atomisasi terjadi melalui interaksi antara larutan (feed) dengan udara bertekanan. Ukuran droplet dipengaruhi oleh rasio aliran udara dan cairan (Shaw, 1997).3) Energi TekananDalam teknik ini, liquid feed ditekan oleh suatu pompa dan dikeluarkan melalui nozzle secara paksa, kemudian dipecah menjadi droplet halus. Ukuran droplet dipengaruhi besarnya tekanan udara (Shaw, 1997).4) Energi Sonik dan VibrasiKeuntungan sonic nozzle adalah beroprasi pada tekanan yang rendah dan memiliki saluran alir yang lebar, sehingga memungkinkan untuk digunakan pada material yang abrasif dan korosif (Celik dan Wendel, 2005).b. Spray-air contact dan evaporasiCairan yang diatomisasi harus mengalami interaksi dengan aliran udara panas sehingga terjadi evaporasi yang merata pada seluruh permukaan droplet. Fase interaksi ini terjadi dalam suatu tabung yang disebut drying chamber. Aliran udara panas dialirkan ke dalam chamber oleh air dispenser, yang memastikan udara mengalir secara merata ke seluruh bagian chamber (Celik dan Wendel, 2005). Secara terpisah dapat dijelaskan sebagai berikut:1) Spray-air contactTahapan dimana droplet terpapar dengan udara panas merupakan tahapan kritis dalam operasi spray-drying. Kontak antara tetesan dengan udara panas ditentukan oleh posisi atomizer yang terhubung dengan udara inlet. Udara inlet dialirkan ke dalam drying chamber melalui air dispenser. Udara yang masuk ke dalam dispenser harus tercampur dengan baik dan tidak memiliki gradient temperatur (Celik dan Wendel, 2005).2) EvaporasiPemaparan tetesan dengan aliran udara panas menyebabkan material yang terlarut di dalam larutan akan membentuk lapisan tipis pada permukaan sphere, cairan akan berdifusi ke permukaan sphere dan evaporasi terjadi secara cepat. Proses ini terjadi pada bagian terdingin dari dryer yaitu udara pengering berada pada atau di sekitar suhu udara outlet. Oleh karena itu, partikel padatan tidak akan terpapar panas dengan suhu di atas suhu udara outlet, dan serbuk kering yang dihasilkan akan berada pada suhu 20oC lebih rendah dari suhu udara outlet (Celik dan Wendel, 2005).c. Pemisahan serbukSpray-drying chamber memiliki cone bottom yang berfungsi untuk mengumpulkan serbuk kering. Cone bottom juga berfungsi sebagai siklon pemisah. Aliran udara panas dengan kandungan uap lembap dikeluarkan dari cone bottom dan dilepaskan ke udara, sedangkan serbuk kering akan terkumpul di particle collector (Shaw, 1997).Granul yang dihasilkan melalui spray drying memiliki ukuran partikel, densitas, dan kompaktibilitas yang konsisten (tidak berubah). Karakteristik ini membuat spray drying menjadi proses yang sesuai untuk memproduksi bahan pengisi yang baik untuk kempa langsung, seperti latosa, microcrystalline cellulose, dan manitol (Celik dan Wendel, 2005).Keuntungan proses spray drying adalah:1) Prosesnya berjalan kontinyu, artinya ketika cairan dimasukkan ke sistem pengering, langsung dapat dihasilkan produk secara kontinyu.2) Prosesnya sangat cepat, penguapan terjadi dalam waktu singkat.3) Waktu pemaparan panas singkat, sehingga spray drying sesuai untuk produk yang sensitif terhadap panas.4) Sifat fisik produk seperti bentuk dan ukuran partikel, kadar air dan sifat alir dapat dikontrol dengan memilih alat dan kondisi proses (Shaw, 1997).

5. LaktosaLaktosa adalah gula yang diperoleh dari gula susu dalam bentuk anhidrat atau mengandung satu molekul air hidrat. Laktosa berupa serbuk atau massa hablur, keras, putih atau krem, tidak berbau, rasa sedikit manis, stabil di udara tetapi mudah menyerap bau. Laktosa mudah (dan pelan-pelan) larut dalam air dan tidak larut dalam kloroform dan eter (Anonim, 1995).Laktosa atau gula susu merupakan bahan pengisi yang paling banyak digunakan karena tidak bereaksi dengan hampir semua obat, baik yang digunakan dalam bentuk hidrat atau anhidrat. Sediaan obat yang menggunakan laktosa memberikan kecepatan pelepasan obat yang baik, granul yang terbentuk cepat kering dan waktu hancur tidak terlalu peka terhadap perubahan (Banker dan Anderson, 1986).Laktosa mempunyai densitas 1,589 g/cm3 dan rumus empirisnya C12H22O11 (Edge dkk., 2006). Laktosa masuk dalam golongan disakarida yang terbentuk dari glukosa dan galaktosa dan diperoleh melalui kristalisasi, pemusingan dan pengeringan atau melalui pengering sembur dari air susu (lebih banyak air susu perut binatang menyusui dengan 5% laktosa). Dalam ketergantungannya dari konfigurasi bagian glukosanya dipisahkan antara -laktosa dan -laktosa. Laktosa yang digunakan dalam teknologi farmasi umumnya adalah -laktosa monohidrat. Metode kompresi langsung cocok menggunakan laktosa yang diperoleh melalui pengering sembur menghasilkan tablet yang kompak. Sifat yang sama diperoleh dengan bahan yang dikeringkan pada silinder pejal (Voight, 1994).

6. FlavonoidSenyawa flavonoid adalah senyawa yang mempunyai struktur dasar C6-C3-C6. C6 berupa cincin benzena yang dihubungkan dengan tiga atom C yang merupaan rantai alifatik. Cincin diberi tanda A B C, atom karbon dinomori menurut sistem penomoran yang menggunakan angka biasa untuk cincin A dan C serta angka beraksen untuk cincin B (Markham, 1988).

Gambar 2. Kerangka flavonoid

Senyawa flavonoid menunjukkan aktivitas biologi yang bermacam-macam diantaranya antivirus, antihistamin, diuretik, antihipertensi, bakteriostatik, estrogenik, mengaktivasi enzim dan lain-lain termasuk aktivitas antioksidan (Geissman, 1962).Flavonoid yang terdapat di alam sangat beragam macam dan sifatnya. Flavonoid terdapat dalam bentuk bebas (aglikon) dan dalam bentuk terikat dengan gula (glikosida) yang sebagian besar terdapat dalam bentuk glikosida, baik mono, di, atau triglikosida (Harborne, 1987).Penggolongan Flavonoid berdasarkan penambahan rantai oksigen heterosiklik dan perbedaan distribusi dari gugus hidrofilnya. Klasifikasi flavonoid berdasarkan perbedaan rantai C3 yaitu : flavon, flavonol, flavanon, isoflavon, auron, khalkon. Bagian terbesar yang sering ditemukan dalam tanaman adalah flavon dan flavonol (Robinson, 1995).

Gambar 3. Kerangka tipe-tipe flavonoid

Ekstraksi flavonoid dari tumbuhan dapat dilakukan dengan pelarut polar maupun nonpolar tergantung jenis flavonoidnya. Pelarut yang kurang polar digunakan untuk mengekstraksi aglikon flavonoid, sedangkan pelarut yang lebih polar digunakan untuk glikosida flavonoid atau antosianin. Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih atau suatu gula. Oleh karena itu, umumnya flavonoid cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol (EtOH), methanol (MetOH), butanol (BuOH), aseton, dimetil sulfoksida (DMSO), dimetilforfamid (DMF), dan air (Markham, 1988).Umumnya pelarut alkoholik merupakan pilihan untuk mengekstraksi semua golongan flavonoid. Bahan segar dapat diekstraksi dengan alkolhol absolut. Bahan kering dan berkayu dapat menggunakan alkohol berair, disesuaikan dengan glikosida flavonoidnya (Harborne, 1987).Salah satu deteksi kualitatif flavonoid adalah menggunakan sitroborat dengan cara pembentukan kompleks pada rantai C6 dan C3 dari senyawa flavonoid. Deteksi kuantitatif dapat menggunakan metode Chang, yaitu dengan pembentukan kompleks antara flavonoid dengan AlCl3 alam suasana asam sehingga menghasilkan warna kuning (Mabry dkk., 1970) yang intensitas warnanya dapat dihitung menggunakan spektrofotometer (Vermesis & Nicholson, 2006).

7. FenolikSenyawa fenolik atau polifenol merupakan skeumpulan metabolit sekunder yang memiliki cincin aromatik yang terikat dengan satu atau lebih substituent gugus hidroksi yang berasal dari jalur metabolism sikimat dan fenil propanoid. Termasuk dalam kelompok senyawa fenolik dan polifenol adalah fenol sederhana, asam fenolat, kumarin, tanin, dan flavonoid. Dalam tanaman, senyawa-senyawa ini biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya (Poestos & Kokaitis, 2006).Penentuan kadar fenolik total dapat ditetapkan secara spektrofotometri menggunakan pereaksi Folin Ciocalteu (FC). Pereaksi FC merupakan larutan kompleks ion polimetrik yang dibuat dari asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam klorida, litium, sulfat, dan bromin (Sutrisno, 1986). Pereaksi FC merupakan pereaksi terbaik untuk deteksi fenolik (Harborne, 1987).Metode penetapan fenol total dengan pereaksi Folin Ciocalteu (FC) ini pertama kali dikembangkan tahun 1972 untuk menganalisis asam amino tirosin. Metode ini berdasarkan prinsip reaksi redoks dalam suasana basa, yakni adanya senyawa fenolik akan dioksidasi oleh reagen asam fosfomolibdat-tungstat menghasilkan produk senyawa berwarna yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimal 745-750 nm. Warna biru yang terbentk akan semakin pekat setara dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat (Singleton & Rossi, 1985)

8. Spektrofotometri UV-VisSpektrofotometer merupakan suatu alat analisis yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis suatu jalur larutan dengan menggunakan monokromater sistem prisma atau kisi difraksi dan detektor fotosel. Spektrtrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi gelombang (Khopkar, 1990). Metode penentuan flavonoid total dan fenolik total yang diakui oleh Departemen Kesehatan RI adalah spektrofotometri UV yang berdasar pada prinsip kolorimetri. Absorbansi dari warna yang terbentuk diukur dengan spektrometer UV. Perhitungan ini berdasarkan pada hukum Lambert-Beer yang menunjukkan hubungan lurus antara absorbans dan kadar analit (Anonim, 2000).Hukum Lambert-Beer menyatakan secara empiris hubungan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya larutan, dan hubungan antara intensitas tadi dengan konsentrasi zat.A = Log (Io/I) = a.b.c(2)Keterangan :A=AbsorbanIo=Intensitas sinar yang datangI=Intensitas sinar yang diteruskana=Absrotivitasb=Tebal larutan (cm)c=Konsenstrasi(Gandjar & Rohman, 2010)

9. Aktivitas AntioksidanAntioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, menangkap (scavenging), menahan pembentukan maupun meniadakan efek spesies oksigen reaktif (Lautan, 1997). Penurunan produksi antioksidan terjadi seiring bertambahnya usia seseorang dan menyebabkan antioksidan tidak cukup dalam melawan radikal bebas yang ada dalam tubuh. Oleh karena itu, dibutuhkan antioksidan yang dikonsumsi dari luar. Antioksidan tersebut akan merangsang respon ion tubuh sehingga menghancurkan radikal bebas, mempertahankan kelenturan pembuluh darah, mempertahankan jaringan otak, dan mencegah kanker (Dalimartha dan Soedibyo, 1999).Antioksidan dapat berasal dari antioksidan sintetik maupun antioksidan alami. Penelitian antioksidan alami lebih banyak dikembangkan karena hasil penelitian menunjukkan bahwa antioksidan sintetik seperti BHT (Butylated Hydroxy Toluena) beracun dan bersifat karsinogenik (Takashi dan Takayuni, 1997). Kebanyakan sumber antioksidan alami adalah tumbuhan dan umumnya merupakan senyawa fenolik yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan baik di kayu, biji, daun, buah, akar, bunga maupun serbuk sari (Sarastani, dkk., 2002). Senyawa fenolik atau polifenolik antara lain dapat berupa golongan flavonoid. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti belakangan tahun ini, dimana flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi radikal bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Giorgio, 2000). Penelitian Perwiratami dkk. (2014) menunjukkan adanya korelasi positif antara kadar flavonoid total dan fenolik total dengan aktivitas antioksidan pada ekstrak buah tanjung (Mimusops elengi L.). Uji kuantitatif dilakukan untuk mengetahui besarnya aktivitas suatu senyawa sebagai antioksidan. Uji ini dapat dilakukan antara lain dengan metode spektrofotometri pengangkapan radikal bebas (scavenging test), pengujian aktivitas antioksidan dengan sistem linoleat-tiosianat, pengujian dengan asam tiobarbiturat, dan pengujian dengan sistem -karoten-linoleat (Pokorni dkk., 2001). Pengujian penangkapan radikal (radical scavenging test) ini dilakukan dengan mengukur penangkapan radikal sintetik dalam pelarut organik polar seperti metanol atau etanol pada suhu kamar. Radikal sintetik yang sering digunakan adalah DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) dan ABTS (2,2-azinobis (3-etil benzotizaolin-asam sulfonat) (Pokorni dkk., 2001).Metode DPPH didasarkan pada penangkapan radikal DPPH oleh suatu senyawa diikuti dengan penurunan absorbansi yang terjadi pada panjang gelombang 517 nm sebagai akibat direduksinya radikal tersebut oleh antioksidan (AH) atau sebagai hasil reaksi dengan spesies radikal lain. Reaksi yang terjadi adalah:DPPH* + AH DPPH-H + A*DPPH* + R DPPH-R (Pokorni dkk., 2001)(3)

E. Landasan TeoriTanaman G. procumbens daunnya mengandung senyawa flavonoid, sterol tidak jenuh, triterpen, polifenol dan minyak atsiri (Sudarto dan Pramono, 1985). Penelitian Suganda dkambark. (1985) menyebutkan bahwa tanaman ini mengandung senyawa flavonoid, tannin, saponin, steroid, triterpenoid, asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam p-kumarat, asam-p-hidroksi benzoat (Suganda dkk., 1985). Penelitian Tan dkk. (2013) melaporkan komponen aktif dari G. procumbens adalah senyawa flavonol dan asam fenolat yang dapat diidentifikasi diantaranya kaempferol, kuersetin, kaempferol-3-O--D-glukopiranosida, kaempferol-3-O-rutinosida, rutin, asam klorogenat dan asam 3,5-dikafeoilquinat metil ester. Kemampuan flavonoid dan fenolik sebagai antioksidan telah banyak diteliti, dimana flavonoid dan fenolik memiliki kemampuan untuk mereduksi radikal bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Giorgio, 2000). Senyawa-senyawa aktif dalam daun sambung nyawa dapat disari dengan baik bila digunakan pelarut yang optimal. Penyari yang paling umum digunakan dalam industri obat alam adalah etanol. Optimalisasi penyarian menggunakan perbandingan jumlah etanol dan air tergantung pada bahan yang akan disari (Anonim, 1986). Ion anorganik atau senyawa organik polar sebagian besar akan tersari oleh air, sedangkan senyawa organik nonpolar sebagian besar akan tersari oleh pelarut organik sesuai dengan prinsip like dissolves like yang berarti senyawa polar akan mudah larut dalam pelarut polar, dan sebaliknya (Sudjadi, 1988).Perbandingan pelarut yang optimal dapat ditentukan dengan menganalisis kandungan zat aktif yang telah diketahui (Anonim, 1986). Optimasi komposisi pelarut ini dapat menggunakan metode SLD yang memiliki rumusan perhitungan yang dapat menghasilkan perbandingan pelarut yang optimal. SLD adalah suatu metode yang memungkinkan ditentukannya pelarut yang optimal dengan perhitungan matematis sehingga trial and error yang cukup menyita waktu dapat dihindari (Bondari, 2005).Bahan baku yang digunakan untuk sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet umumnya adalah ektrak kering. Jika ekstrak masih kental, penentuan dosis akan mengalami kesulitan karena bahan kurang homogen dan masih lengket sehingga sulit dalam perlakuannya. Pengolahan ekstrak kental menjadi ektrak kering dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengering. Penambahan bahan pengering akan menjaga komponen aktif agar tidak rusak serta mempercepat proses pengeringan (Sembiring, 2009). Penelititan ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan komposisi pelarut optimal untuk mendapatkan ekstrak kering bermutu baik dengan melihat respon kadar air, flavonoid total, fenolik total dan aktivitas antioksidan dengan metode simplex lattice design.

F. Hipotesis1. Pelarut dengan perbandingan komposisi etanol: air yang optimal dapat menyari senyawa aktif dalam daun sambung nyawa sehingga menghasilkan ekstrak yang memiliki kadar air, kandungan fenolik total, flavonoid total, dan aktivitas antioksidan yang optimal.2. Kandungan flavonoid total dan fenolik total sebagai respon dalam optimasi pelarut daun sambung nyawa berbanding lurus dengan aktivitas antioksidan.1