bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Paradigma pelayanan kefarmasian saat ini telah meluas dari pelayanan yang
berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi pada
pasien (patient oriented) (Depkes RI, 2008). Pergeseran paradigma pelayanan
tersebut menuntut apoteker untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Kemenkes
RI, 2004). Salah satu aspek pelayanan kefarmasian yang dapat dilakukan oleh
apoteker di apotek adalah home pharmacy care (Depkes RI, 2008).
Penyakit kronis merupakan penyakit dengan dampak panjang. Penyakit
tidak menular (noncommunicable diseases/NCD), juga dikenal sebagai penyakit
kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit tersebut mempunyai durasi
panjang dan perkembangan umumnya lambat. Penyakit kronis adalah penyakit
yang memiliki satu atau lebih dari karakteristik berupa penyakit permanen,
meninggalkan cacat sisa, disebabkan oleh perubahan patologis yang
nonreversible, pasien membutuhkan pelatihan khusus untuk rehabilitasi, atau
mungkin diperkirakan membutuhkan waktu yang lama pengawasan, pengamatan
atau perawatan (WHO, 2003). Empat jenis utama dari penyakit kronis tersebut
adalah penyakit kardiovaskular (seperti serangan jantung dan stroke), kanker,
penyakit pernapasan kronis (seperti penyakit kronis terhambat paru dan asma) dan
diabetes (WHO, 2015b).
2
Diabetes adalah penyakit kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif
menggunakan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon yang mengatur gula
darah. Hiperglikemia, atau gula darah tinggi, merupakan efek umum dari diabetes
yang tidak terkontrol dan dari waktu ke waktu menyebabkan kerusakan serius
pada banyak sistem tubuh, khususnya saraf dan pembuluh darah (WHO, 2015a).
Prevalensi diabetes melitus di dunia menurut WHO pada tahun 2014
diperkirakan 9% di antara orang dewasa berusia 18 tahun ke atas (WHO, 2015 a) .
Pada tahun 2012, sekitar 1,5 juta kematian secara langsung disebabkan oleh
diabetes. Lebih dari 80% kematian diabetes terjadi pada berpenghasilan rendah
dan negara berkembang (WHO, 2014). Pada tahun 2013, proporsi penduduk
Indonesia yang berusia ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9 persen. Prevalensi
diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI
Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%) (Kemenkes,
2013).
Prevalensi DM di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Penderita yang
terkena bukan hanya berusia senja, melainkan banyak pula yang masih dalam usia
produktif. Prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia, tetapi pada usia ≥65 tahun cenderung menurun.
Prevalensi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, di
perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada di perdesaan, serta cenderung lebih
tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan kuintil
indeks kepemilikan tinggi (Kemenkes, 2013).
3
Pusat Kesehatan Masyarakat Srandakan terletak berada di pusat kecamatan,
tepatnya berada di Jl. Raya Srandakan No. 96, Dusun Srandakan, Desa Trimurti
Kecamatan Srandakan, Bantul. Luas wilayah Kecamatan Srandakan adalah 18,3
km2 yang sebagian besar lahan merupakan tanah kering dan areal persawahan.
Wilayah kerja Puskesmas Srandakan adalah Kecamatan Srandakan. Kecamatan
Srandakan terdiri dari dua desa, yaitu Desa Trimurti dan Desa Poncosari. Desa
Trimurti terdiri dari 19 dusun dan Desa Poncosari terdiri dari 24 dusun
(Puskesmas Srandakan, 2015b). Jumlah penduduk Kecamatan Srandakan tahun
2013 sebanyak 28.935 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 14.340
jiwa dan perempuan 14.599 jiwa (BPS, 2014).
Berdasarkan data periode Januari hingga September 2012, diabetes mellitus
(DM) termasuk ke dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas Srandakan
(Puskesmas Srandakan, 2015c). Pada bulan Oktober 2012, diabetes melitus
menduduki peringkat pertama pada kelompok sepuluh besar penyakit diikuti oleh
hipertensi esensial, Acute Upper Respiratory Infection Unspesified, dyspepsia,
myalgia, luka terbuka mengenai berbagai daerah tubuh, demam tanpa sebab yang
jelas, ginggivitis dan penyakit-penyakit peridontal, sakit kepala, dan asma
(Puskesmas Srandakan, 2015c).
Pasien dengan penyakit kronis mempunyai kendala pada kepatuhan minum
obat. Penelitian systematic review oleh Cramer (2004) menegaskan bahwa banyak
pasien dengan diabetes mengambil obat dengan jumlah kurang dari yang
ditentukan, termasuk ADO dan insulin. Secara keseluruhan tingkat kepatuhan
dengan ADO adalah 36-93% pada studi retrospektif dan studi prospektif (Cramer,
4
2004). Kondisi pengetahuan pasien, kondisi penyakit pasien, dan dukungan
keluarga dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan pasien dan kemudian dapat
mempengaruhi keluaran klinik pasien (Morisky et al., 2011).
Cara untuk mengurangi NCD dapat disampaikan melalui pendekatan
perawatan kesehatan primer untuk memperkuat deteksi dini dan pengobatan tepat
waktu. Bukti menunjukkan bahwa intervensi tersebut adalah investasi ekonomi
yang sangat baik karena, jika diterapkan pada pasien awal, dapat mengurangi
kebutuhan untuk perawatan lebih mahal. Langkah-langkah ini dapat
diimplementasikan dalam berbagai tingkat sumber daya. Dampak terbesar dapat
dicapai dengan menciptakan kebijakan publik yang sehat yang mempromosikan
pencegahan dan pengendalian NCD dan reorientasi sistem kesehatan untuk
mengatasi kebutuhan orang-orang dengan penyakit tersebut (WHO, 2015b).
Peraturan Mentri Kesehatan RI no 75 tahun 2014 pasal 35 menyatakan
home care adalah bentuk dari upaya kesehatan perorangan tingkat pertama. Upaya
tersebut dilakukan oleh badan pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu Pusat
Kesehatan Masyarakat. Menurut Permenkes no 9 tahun 2014 pasal 32, pelayanan
kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dilaksanakan
dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, pelayanan satu hari (one day care) dan/atau
home care.
Konseling merupakan salah satu bentuk pelayanan dalam home pharmacy
care. Konseling dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap pasien yang akan
berpengaruh terhadap kepatuhannya menggunakan obat antidiabetik (Ramadona,
2011). Pemberian konseling berdampak pada pengetahuan pasien yang
5
memberikan outcome berupa berkurangnya stres akibat diabetes dan kontrol kadar
glikemik pasien mendekati angka yang diharapkan serta meningkatnya kualitas
hidup (Karlsen et al., 2004). Pelayanan home pharmacy care merupakan bagian
atau lanjutan dari pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif
yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang
bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau
memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan dampak penyakit.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan, yaitu:
1. Apakah ada perubahan kepatuhan pasien DM tipe 2 dengan pemberian
home pharmacy care di Puskesmas Srandakan Bantul?
2. Apakah ada perubahan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 dengan
pemberian home pharmacy care di Puskesmas Srandakan Bantul?
3. Apakah ada perubahan kualitas hidup pasien DM tipe 2 dengan pemberian
home pharmacy care di Puskesmas Srandakan Bantul?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian, yaitu:
1. Untuk melihat perubahan kepatuhan pasien DM tipe 2 dengan pemberian
home pharmacy care di Puskesmas Srandakan Bantul.
2. Untuk melihat perubahan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 dengan
pemberian home pharmacy care di Puskesmas Srandakan Bantul.
6
3. Untuk melihat perubahan kualitas hidup pasien DM tipe 2 dengan
pemberian home pharmacy care di Puskesmas Srandakan Bantul.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Srandakan:
Sebagai informasi mengenai pengaruh pelayanan home pharmacy care
untuk pasien DM tipe 2 dan sebagai masukan dalam bidang peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas Srandakan.
2. Bagi Pemerintah:
Sebagai sumber informasi dalam mengambil keputusan kebijakan terkait
dengan pelayanan kesehatan.
3. Bagi peneliti :
Meningkatkan pengetahuan tentang penerapan pelayanan kesehatan dalam
bentuk konseling home pharmacy care di tingkat pelayanan kesehatan
pertama.
E. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika
pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau
dapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon
kerja insulin secara efektif. Insulin merupakan hormon yang berfungsi dalam
regulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah atau
7
hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan
seringkalimengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh,
terutama padasel saraf dan pembuluh darah (WHO, 2015a). Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya (ADA, 2011).
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut American Diabetes
Association 2009 meliputi:
a. Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 atau Isulin Dependent Diabetes Melitus
(IDDM) terjadi akibat dari kerusakan autoimun sel beta pankreas (Triplitt
et al., 2005). Infeksi virus menimbulkan reaksi autoimun yang membuat
sistem imun bekerja secara berlebihan. Hal tersebut menyebabkan sel-sel
pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus, tetapi merusak dan
memusnahkan sel-sel beta pankreas sehingga sel-sel beta pankreas tidak
dapat memproduksi insulin. Bila insulin tidak dapat diproduksi, maka sel
tidak dapat menyerap glukosa dari darah sehingga kadar gula meningkat
(Tjay dan Raharja, 2002).
b. Diabetes Melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) terjadi karena proses penuaan pada pasien sehingga
terjadi penyusutan sel-sel beta pankreas secara progresif. Sel beta pankreas
yang telah menyusut tersebut umumnya masih aktif tetapi sekresi
8
insulinnya berkurang. Penyusutan sel beta pankreas dan juga resistensi
insulin mengakibatkan kadar gula darah meningkat (Tjay dan Raharja,
2010). Pasien diabetes melitus tipe 2 sering mengalami komplikasi seperti
hipertensi, hiperlipidemia, dan infeksi (Triplitt et al., 2005).
c. Diabetes Melitus tipe Spesifik
Diabetes melitus tipe spesifik meliputi individu dengan defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit endokrin
pankreas (pankreatitis, cystic fibrosis), endokrinopati (akromegali,
Sindrom Cushing), diabetes melitus karena obat atau bahan kimia, infeksi
dan sindrom genetik (Triplitt et al., 2005 ; Asdie, 2000).
d. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus gestasional adalah intoleransi glukosa yang timbul
selama kehamilan. Diabetes melitus gestasional terjadi 7% dari seluruh
kehamilan. Terapi untuk diabetes melitus gestasional memiliki tujuan
untuk menurunkan kecacatan dan kematian pada ibu dan janin (Triplitt et
al., 2005)
Diagnosis diabetes melitus ditegakkan melalui gejala khas poliuri,
polifagi, dan polidipsi, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL atau
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL. Apabila pemeriksaan glukosa darah
meragukan maka pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) perlu
dilakukan untuk memastikan diagnosis diabetes melitus (ADA, 2009). Nilai
pemeriksaan HbA1c tidak dapat digunakan untuk diagnosis diabetes melitus
karena kurang sesitif. Nilai pemeriksaan HbA1c adalah gold standard untuk
9
monitoring kadar gula darah pada jangka waktu yang panjang (Triplitt et al.,
2005).
Terapi farmakologi obat-obat yang dapat digunakan dalam pengobatan
diabetes antara lain sebagai berikut:
a. Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output”
dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin
dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Secara umum metformin dapat
ditolerir oleh pasien. Efek tidak diinginkan yang sering dikeluhkan adalah
keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan
hipoglikemia; dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa
menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik dari
metformin yaitu tidak menyebabkan penambahan berat badan atau
menyebabkan panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan
kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan
risiko asidosis laktik; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal (Nathan et
al., 2008).
b. Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara
meningkatkan sekresi insulin. Dari segi efikasinya, sulfonilurea tidak
berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang
tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan
mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat sering terjadi pada
10
orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan
glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea generasi kedua yang lain.
Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2 kg.
Kelebihan sulfonilurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah
maksimal pada setengah dosis maksimal, dan dosis yang lebih tinggi
sebaiknya dihindari (Nathan et al., 2008).
c. Glinide
Glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini
memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada
sulfonilurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering.
Golongan glinide dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko
peningkatan berat badan pada glinide menyerupai sulfonilurea, akan tetapi
risiko hipoglikemia lebih kecil (Nathan et al., 2008).
d. Penghambat α-glukosidase
Penghambat α-glukosidase bekerja dengan menghambat pemecahan
polisakharida di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi
berkurang; dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial
dihambat. Monoterapi dengan penghambat α-glukosidase tidak
mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan
sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun
sebesar 0,5 – 0,8 %. Peningkatan karbohidrat di kolon mengakibatkan
peningkatan produksi gas dan keluhan gastrointestinal (Nathan et al.,
2008).
11
e. Thiazolidinedione (TZD)
Thiazolidinedione bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan
hepar terhadap insulin baik endogen maupun exogen. Data mengenai efek
TZD dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi
adalah penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling
sering dikeluhkan adalah penambahan berat badan dan retensi cairan
sehingga terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung
kongestif (Nathan et al., 2008).
f. Insulin
Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes, paling efektif dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat,
insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target
terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak
memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan
berat badan dan hipoglikemia (Nathan et al., 2008).
g. Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor)
Dipeptidyl peptidase four inhibitor merupakan protein membran
yang diekspresikan pada berbagai jaringan termasuk sel imun. Dipeptidyl
peptidase four inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek
GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan “glucose- mediated insulin secretion”
dan menekan sekresi glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa
DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %. Golongan obat ini
12
tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai monoterapi
(Nathan et al., 2008).
Komplikasi yang terjadi pada penyakit diabetes melitus meliputi
komplikasi akut dan juga komplikasi kronik. Komplikasi akut meliputi
dehidrasi hipovolemi, gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan reaksi
imun, ketoasidosis, gangguan penyembuhan luka, dan hiperlipidemia.
Komplikasi kronik meliputi komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati.
Komplikasi makroangiopati meliputi stroke, penyakit jantung aterosklerosis
koroner (angina pectoris dan infark miokard), dan penyakit kaki diabetik
(gangrene dan ulkus). Komplikasi mikroangiopati meliputi retinopati, nefropati
diabetik dan rentan terhadap infeksi (Asdie, 2000).
2. Pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care)
Pelayanan obat secara home pharmacy care merupakan layanan dapat
digambarkan sebagai sebuah layanan yang memberikan persediaan obat-obatan
yang sedang berlangsung dan, jika perlu, perawatan terkait, diprakarsai oleh
resep rumah sakit, langsung ke rumah pasien dengan persetujuan mereka.
Tujuan layanan obat home pharmacy care adalah untuk meningkatkan pasien
perawatan dan pilihan pengobatan klinis (Royal Pharmaceutical Society,
2014).
Pelayanan kefarmasian di rumah oleh apoteker adalah pendampingan
pasien oleh apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan
persetujuan pasien atau keluarganya (Depkes RI, 2008). Pelayanan
13
kefarmasian di rumah terutama untuk pasien yang tidak atau belum dapat
menggunakan obat dan atau alat kesehatan secara mandiri, yaitu pasien yang
memiliki kemungkinan mendapatkan risiko masalah terkait obat misalnya
komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik obat, kompleksitas
pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau kurangnya
pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan atau
alat kesehatan agar tercapai efek yang terbaik. (Depkes RI, 2008)
Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah tidak dapat diberikan pada
semua pasien mengingat waktu pelayanan yang cukup lama dan
berkesinambungan. Oleh karena itu diperlukan seleksi pasien dengan
menentukan prioritas pasien yang dianggap perlu mendapatkan pelayanan
kefarmasian di rumah. Pasien yang perlu mendapat pelayanan kefarmasian di
rumah antara lain :
a. Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian
khusus tentang penggunaan obat, interaksi obat dan efek samping
obat.
b. Pasien dengan terapi jangka panjang misal pasien TB, HIV/AIDS,
DM dan lain-lain.
c. Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih
dengan salah satu kriteria atau lebih regimen obat yang kompleks.
(Depkes RI, 2008)
Konseling didefinisikan sebagai nasihat tetapi juga melibatkan diskusi
yang saling menguntungkan dan adanya pertukaran opini antara pemberi dan
14
penerima konseling (Rantucci, 2007). Konseling oleh farmasis merupakan
komponen dari pharmaceutical care dan harus ditunjukkan untuk
meningkatkan hasil terapi, dengan memaksimalkan penggunaan obat-obatan
yang tepat (Charles, 2006). Konseling melibatkan faktor psikologis sebagai
aktivitas untuk memberikan edukasi kepada pasien sesuai dengan kebutuhan
pasien sehingga terjadi perubahan progresif pasien yang mempengaruhi
pengethuannya, sikap dan perilaku (Rantucci, 2007).
Berdasarkan Permenkes No 1027 tahun 2004, konseling merupakan
suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien
untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat
dan pengobatan. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan
farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari
bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau
perbekalan kesehatan lainnya (Menkes RI, 2004). Apoteker harus memberikan
konseling secara berkelanjutan kepada pasien penderita penyakit tertentu
seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya
(Menkes RI, 2004).
3. Kepatuhan
Kepatuhan (adherence) adalah sejauh mana perilaku seseorang - minum
obat, mengikuti diet, dan / atau melaksanakan perubahan gaya hidup, sesuai
dengan rekomendasi yang telah disepakati dari penyedia layanan kesehatan
15
(WHO, 2003). Kesesuaian (compliance) adalah lebih pada kepatuhan terhadap
hal yang telah disampaikan penyedia layanan kesehatan secara sepihak tanpa
persetujuan dari pasien (WHO, 2003). Perbedaan utama antara kepatuhan dan
kesesuaian adalah membutuhkan kesepakatan pasien dengan rekomendasi
(WHO, 2003). Pasien harus menjadi mitra aktif dengan tenaga profesional
kesehatan dalam perawatan mereka sendiri. Komunikasi yang baik antara
pasien dan profesional kesehatan adalah suatu keharusan untuk praktek klinis
efektif (WHO, 2003).
Kepatuhan memiliki sedikit hubungan dengan faktor-faktor
sosiodemografi seperti usia, jenis kelamin, ras, kecerdasan, dan pendidikan.
Meskipun kepatuhan yang rendah adalah masalah tersendiri bagi perawatan
diri untuk untuk semua gangguan, pasien dengan masalah kejiwaan dan pasien
dengan cacat fisik cenderung untuk lebih patuh karena penyakit tersebut lebih
mungkin untuk mematuhi. Selain itu, pasien cenderung melewatkan janji
pemeriksaan dan putus perawatan ketika, ada waktu tunggu yang panjang di
klinik atau jarak waktu yang lama antar janji pememeriksaan selanjutnya
(McDonald et al., 2002).
Bagi pasien diabetes, kepatuhan merupakan keterlibatan aktif dan
sukarela pasien dalam pengelolaan penyakitnya, dengan mengikuti terapi
pengobatan yang disepakati bersama dan berbagi tanggung jawab antara pasien
dan penyedia layanan kesehatan (WHO, 2003). Penting untuk menilai tingkat
kepatuhan terhadap setiap komponen dari rejimen pengobatan secara terpisah
(misalnya, self-monitor glukosa darah, insulin atau pemberian agen
16
hipoglikemik oral, diet, aktivitas fisik, perawatan kaki dan praktek perawatan
diri lainnya) daripada menggunakan ukuran tunggal untuk menilai kepatuhan
terhadap pengobatan secara keseluruhan (WHO, 2003). Hal ini karena
tampaknya ada sedikit korelasi antara kepatuhan terhadap perilaku perawatan
diri yang terpisah, menunjukkan bahwa kepatuhan bukanlah bangunan
unidimensional (WHO, 2003).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pada pasien
diabetes dapat dikelompokkan dalam empat jenis (WHO, 2003):
a. Karakteristik dari penyakit dan pengobatannya
Tiga elemen dari pengobatan (kompleksitas dari pengobatan, lamanya
penyakit dan cara pemberian pelayanan) dan penyakit itu sendiri
snagat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Pada umumnya,
semakin kompleks rejimen pengobatan semakin kecil kemungkinan
pasien dalam mematuhi. Indikator kompleksitas dari suatu pengubatan
adalah frekuensi pengobatan yang harus dilakuakan oleh pasien itu
sendiri, misalnya frekuensi minum obat dalam sehari. Pasien akan
lebih patuh pada dosisi yang diberkian satu kali sehari daripada dosis
yang diberikan lebih sering, misalnya tiga kali sehari. Lamanya
penyakit tampak memberikan efek negatif terhadap kepatuhan pasien.
Semakin lama pasien mengidap penyakit diabetes, maka akan semakin
kecil pasien terebut patuh pada pengobatan. Cara pemberian
pelayanan untuk diabetes bervariasi dari perawatan secara intensig
yang diberikan oleh tim diabetes multidisiplin hingga perawatan rawat
17
jalan dari pelayanan kesehatan primer (dokter umum). Pasien yang
dilayani pada klonik dokter keluarga lebih banyak mengunjungi
dokternya dengan tujuan untuk mendapatkan konseling terapinya dari
pada untuk memeriksakan drinya karena terserang penyakit yang akut.
Masala biaya pelayanan juga merupakan hambatan yang besar bagi
pasien yang mendapatkan pelayanan rawat jalan dari klinik umum.
Hambatan terhadap akses pelayanan juga berhubungan dengan
buruknya kontrol metabolik.
b. Faktor Intrapersonal
Tujuh faktor intrapersonal penting yang berhubungan dengan
kepatuhan adalah umur, jenis kelamin, penghargaan terhadap diri
sendiri, disiplin diri, stres, depresi dan penyalahgunaan alkohol. Umur
berpengaruh terhadap kepatuahan dalam menerapkan terapi non-
farmakologi berupa aktivitas fisik. Pada kasus diabetes, pasien yang
lebih muda lebih banyak melakukan aktivitas fisik sehingga
mengeluarkan kalori lebih banyak dari pada pasien yang lebih tua.
Orang dewasa tua lebih mematuhi rejimen pengobatan daripada orang
dewasa muda.
c. Faktor interpersonal
Dua hal penting dalam faktor interpersonal : kualitas hubungan antara
pasien dan petugas pelayanan kesehatan dan dukungan keluarga.
Komuniakasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan sangan
memperbaiki kepatuhan pasien.
18
d. Faktor lingkungan
Dua faktor lingkungan yaitu sistem lingkungan dan situasi dengan
risiko tinggi, berhubungan dengan buruksnya kepatuhan pasien
diabetes. Perilaku pengaturan pengobatan oleh diri sendiri terjadi
dalam lingkungan yang berubah secara rutin, misalna dari lingkungan
rumah, lingkungan kerja, lingkungan masyrakat dan sebaainya, yang
berhubungan dengan kebutuhan dan prioritas yang berbeda-beda.
Setiap ada perubahan lingkaran kegiatan rutinnya, setiap orang akan
perlu melakukan penyesuaian. Situasi yang menyebabkan terjadinya
ketidakpatuhan disebut dengan resiko tinggi.
Pengukuran kepatuhan pasien dapat dilakukan dengan beberapa
kuesioner yang melihat penyakit pasien yang berbeda. Kuesioner dibagi
menjadi 2 berdasarkan penyakit pasien, yaitu gangguan metabolik (diabetes,
hipertensi, dislipidemia) dan gangguan mental (schizophrenia, psychosis,
depresi). Kuesioner untuk mengukur kepatuhan pada pasien dengan penyakit
gangguan metabolik antara lain Medication Adherence Questionnaire (MAQ),
Self-Efficacy for Appropriate Medication Use Scale (SEAMS), Brief
Medication Questionnaire (BMQ), dan Hill-Bone Compliance Scale.
Kuesioner MAQ juga dikenal dengan Modified Morisky Adherence Scale
(MMAS). Pengukuran kepatuhan pada pasien dengan gangguan mental dapat
menggunakan Medication Adherence Rating Scale (MARS) dan BMQ (Lavsa
et al., 2011).
19
Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale 8 (MMAS-8)
merupakan pengembangan dari kuesioner Morisky Medication Adherence
Scale 4 (MMAS-4) (Morisky et al., 2011). Kuesioner MMAS-4 terdiri dari 4
item pertanyaan sedangkan kuesioner MMAS-8 terdiri dari 8 item pertanyaan.
Kuesioner MMAS-8 telah divalidasi pada 1367 responden dengan α sebesar
0,83 (Morisky et al., 2008). Kuesioner tersebebut relatif sederhana dan praktis
digunakan pada kondisi klinik untuk melihat masalah kepatuhan pasien di awal
dan untuk memantau kepatuhan selama pelaksanaan terapi (Morisky et al.,
2008).
Di Indonesia kuesioner MMAS-8 telah diuji validitas dan realibilitas oleh
Chaliks (2012) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada 20 pasien DM tipe 2
dan didapatkan Cronbach’s alpha sebesar 0,795 untuk intrumen MMAS-8.
Kuesioner MMAS-8 mengukur kepatuhan dengan rentang nilai 0 sampai 8.
Jika nilai <6 maka responden tidak patuh sedangkan jika nilai 6-8 maka
responden patuh.
4. Kualitas hidup (Quality of Life)
Kualitas hidup (Quality of Life) merupakan konsep multidimensi
mengacu terhadap kesejahteraan total seseorang, termasuk status psikologis,
sosial, dan kesehatan fisik status (Palaian et al., 2004). Masalah yang terkait
dengan menurunya kualitas hidup pada pasien diabetes melitus tipe 2
umumnya disebabkan oleh penyakit itu sendiri, terabatasnya rejimen yang
digunakan dalam pengobatan dan adanya penyakit penyerta (Maddigan et al.,
20
2006). Beberapa prediktor kualitas hidup yang berhubungan dengan pasien
diabetes melitus adalah usia, jenis kelamin, status pekerjaan, tingkat
pendidikan, latihan (olah raga), dan penyakit penyerta (Quah et al., 2011). Hal
ini juga menetapkan bahwa apoteker menyediakan konseling pasien
meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes.
Kualitas hidup (Quality of Life) adalah cara untuk melakukan evaluasi
dan memantau efek terapi yang penting bagi pasien. Hal yang biasa diukur,
yaitu fungsi fisik, fungsi social, kesehatan mental, dan persepsi kesehatan
secara umum (Vogenberg, 2001).
Alat yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup (Quality of Life)
dalam bentuk kuesioner dapat dibagi secara umum ke dalam dua kategori
(Vogenberg, 2001), yaitu :
a. Generic Quality of Life Instrument
Desain alat pengukuran ini digunakan untuk menilai kualitas hidup
pada semua populasi tanpa melihat penyakit, terapi, ataupun
demografi pasien. Alat pengukuran generik ini dibuat untuk bisa
digunakan diberbagai rentang populasi dan intervensi yang berbeda-
beda (Coons et al., 2000). Instrumen generik pengukur kualitas
hidup antara lain: Medical Outcomes Study 36-Item Short Form (SF-
36), Nottingham Health Profile (NHP), Sickness Impact Profile
(SIP), Dartmouth Primary care Cooperative Information Project
(COOP) Charts, Quality of Well-Being (QWB) Scale, Health
21
Utilities Index (HUI), dan EuroQol Instrument (EQ-5D) (Coons et
al., 2000).
b. Disease – Spesific Quality of Life Instrument
Desain alat pengukuran ini digunakan untuk menilai kualitas hidup
pada pasein dengan penyakit tertentu sehingga memberikan hasil
yang terperinci berdasarkn luaran dari kondisi kesehatan atau
penyakit tersebut (Menkes RI, 2004). Instrumen pengukuran kualitas
hidup untuk pasien penderita diabetes antara lain: Appraisal of
Diabetes Scale (ADS), Audit of Diabetes-Dependent Quality of Life
(ADDQoL), Diabetes-39 (D-39), Diabetes Care Profile (DCP),
Diabetes Distress Scale (DDS), Diabetes Health Profile (DHP-1,
DHP-18), Diabetes Impact Measurement Scales (DIMS), Diabetes
Quality of Life measure (DQOL), Diabetes Quality of Life Clinical
Trial Questionnaire-Revised (DQLCTQ-R), Diabetes-Specific
Quality of Life Scale (DSQOLS), Elderly Diabetes Burden Scale
(EDBS), Insulin Delivery System Rating Questionnaire (IDSRQ),
Questionnaire on Stress in Diabetic patients-Revised (QSD-R), dan
Well-being Enquiry for Diabetics (WED) (El et al., 2008).
Kuesioner Diabetes Quality Of Life Clinical Trial Questionare
(DQOLCTQ) dikembangkan oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) 37 untuk pasien DM tipe 2. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner
tersebut disusun berdasarkan kuesioner yang telah dipublikasikan sebelumnya
termasuk Medical Outcomes Study (MOS), SF-20 dan SF-36, dan DQOL
22
(Kotsanos et al., 1997). Kuesioner DQOLCTQ telah diuji validitas terhadap
942 pasien di Kanada, Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat dengan
koefisien korelasi intra berkisar 0,74-0,90 dan nilai Cronbach’s alpha berkisar
0,77-0,90 (Shen et al., 1999). Kuesioner tersebut diterjemahkan oleh Hartati
pada tahun 2002. Uji validitas dan reabilitas DQOLCTQ dilakukan oleh Hartati
terhadap 35 pasien DM tipe 2 di RSUP Dr. Sardjito pada bulan Januari hingga
Maret 2002, yaitu dengan melihat distribusi respons, korelasi antara item,
korelasi item total, dan konsistensi internal serta menentukan status item. Pada
analisis item menyeluruh dari hasil uji kelayakan, nilai konsistensi internal α
seluruh item >0,5 (0,82) (Hartati, 2002).
5. Puskesmas Srandakan Bantul
Pusat Kesehatan Masyarakat Srandakan terletak berada di pusat
kecamatan, tepatnya berada di Jl. Raya Srandakan No. 96, Dusun Srandakan,
Desa Trimurti Kecamatan Srandakan, Bantul. Luas wilayah Kecamatan
Srandakan adalah 18,3 km2
yang sebagian besar lahan merupakan tanah kering
dan areal persawahan. Puskesmas Srandakan mempunyai wilayah kerja seluruh
wilayah Kecamatan Srandakan. Kecamatan Srandakan terdiri dari dua desa,
yaitu Desa Trimurti dan Desa Poncosari. Desa Trimurti terdiri dari 19 dusun
dan Desa Poncosari terdiri dari 24 dusun (Puskesmas Srandakan, 2015b).
23
F. Landasan Teori
Penelitian Suryani et al., (2013) di RSUD Wangaya selama bulan
November-Desember 2012 pada pasien DM Tipe 2 dengan riwayat hipertensi
menunjukkan adanya peningkatan skor kepatuhan pasien dan terdapat
perbedaan yang bermakna antara kepatuhan pasien dalam penggunaan obat
sebelum dan setelah pelaksanaan konseling dalam home pharmacy care.
Penelitian Priyaputranti (2007) menunjukan adanya peningkatan outcome
terapi yang ditunjukkan dari penurunan kadar GDP setelah pemberian
konseling pada pasien penderita DM tipe 2. Pemberian konseling oleh apoteker
pada pasien DM tipe 2 yang dilakukan terhadap pasien rawat jalan di RS Panti
Rapih dan RSUD Unit Swadana Pare, Kediri tahun 2007 menunjukkan
peningkatan persentase skor kualitas hidup (19,27%) sedangkan pada
kelompok kontrol yang tidak mendapatkan konseling oleh apoteker
menunjukkan penurunan persentase skor kualitas hidup (-14,47%) (Astuti,
2007).
Konseling oleh apoteker terhadap pasien DM Tipe 2 di RSUD Serang
dapat meningkatkan hasil terapi dan kualitas hidup serta tidak terdapat
hubungan signifikan antara hasil terapi dengan peningkatan skor kualitas hidup
(Sari, 2014). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut konseling dapat
meningkatkan kepatuhan penggunaan obat, menurunkan kadar glukosa darah,
dan mengingkatkan kualitas hidup pasien DM tipe 2.
24
G. Konsep Penelitian
Konsep penelitian yang digunakan adalah home pharmacy care yang
diberikan kepada pasien penderita DM tipe 2 akan memberikan perubahan
pada kepatuhan, kadar glukosa darah, dan kualitas hidup. Pemberian home
pharmacy care dapat meningkatkan kepatuhan, menjaga kadar glukosa darah,
dan meningkatkan kualitas hidup.
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori maka hipotesis yang dapat ditarik pada
penelitian, yaitu:
1. Pemberian home pharmacy care dapat meningkatkan kepatuhan pada
pasien diabetes melitus tipe 2.
2. Pemberian home pharmacy care dapat memperbaiki nilai glukosa darah
pada pasien diabetes melitus tipe 2.
3. Pemberian home pharmacy care dapat memperbaiki kualitas hidup pada
pasien diabetes melitus tipe 2
Home pharmacy care
Pasien DM tipe 2
Kepatuhan
Glukosa darah
Kualitas hidup