bab i pendahuluan a. latar...

26
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitosan merupakan polimer karbohidrat termodifikasi yang diperoleh dari deasetilasi kitin serta memiliki karakteristik yang baik dan unik meliputi kemampuannya yang biodegradable, biokompatibel, bioaktif, dan non-toksik, sehingga kitosan telah banyak dipelajari dan diteliti untuk penggunaan dalam bidang bioteknologi, water treatment, pertanian, farmasi, dan industri makanan (Kumar, 2000; Rinaudo, 2006; Shahidi dkk., 1999). Adanya gugus NH 2 pada kitosan menjadi alasan mengapa kitosan memiliki potensi yang lebih baik dibandingkan kitin pada berbagai aplikasi yang berbeda (Honarkar dan Barikani, 2009). Pada aplikasi tertentu diperlukan bobot molekul kitosan yang spesifik. Secara umum, kitosan dengan bobot molekul yang tinggi tidak dapat terlarut dalam air, dimana hal ini akan membatasi penggunaannya terutama dalam bidang kedokteran dan industri makanan. Kitosan yang terdegradasi akan memiliki bobot molekul yang lebih rendah sehingga dapat lebih mudah larut dalam air dan memiliki perbedaan signifikan dalam aktivitasnya sebagai antimikroba, antitumor, dan aktivitas pertumbuhan tanaman dibandingkan kitosan dengan bobot molekul yang lebih tinggi (Hien dkk., 2012). Radiasi dengan sinar gamma merupakan metode yang telah banyak diteliti dan terbukti efektif, sederhana, 1

Upload: phamthuan

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kitosan merupakan polimer karbohidrat termodifikasi yang

diperoleh dari deasetilasi kitin serta memiliki karakteristik yang baik dan

unik meliputi kemampuannya yang biodegradable, biokompatibel,

bioaktif, dan non-toksik, sehingga kitosan telah banyak dipelajari dan

diteliti untuk penggunaan dalam bidang bioteknologi, water treatment,

pertanian, farmasi, dan industri makanan (Kumar, 2000; Rinaudo, 2006;

Shahidi dkk., 1999). Adanya gugus NH2 pada kitosan menjadi alasan

mengapa kitosan memiliki potensi yang lebih baik dibandingkan kitin

pada berbagai aplikasi yang berbeda (Honarkar dan Barikani, 2009).

Pada aplikasi tertentu diperlukan bobot molekul kitosan yang

spesifik. Secara umum, kitosan dengan bobot molekul yang tinggi tidak

dapat terlarut dalam air, dimana hal ini akan membatasi penggunaannya

terutama dalam bidang kedokteran dan industri makanan. Kitosan yang

terdegradasi akan memiliki bobot molekul yang lebih rendah sehingga

dapat lebih mudah larut dalam air dan memiliki perbedaan signifikan

dalam aktivitasnya sebagai antimikroba, antitumor, dan aktivitas

pertumbuhan tanaman dibandingkan kitosan dengan bobot molekul yang

lebih tinggi (Hien dkk., 2012). Radiasi dengan sinar gamma merupakan

metode yang telah banyak diteliti dan terbukti efektif, sederhana,

1

2

reproduktif, dan ramah lingkungan dalam mengurangi bobot molekul

kitosan serta dapat meningkatkan kelarutan kitosan dalam penggunaannya

diberbagai aplikasi (Yoksan dkk., 2004 dalam Pasanphan, 2010; Choi,

dkk., 2002).

Radiasi sinar gamma akan menyebabkan modifikasi bobot molekul

dan struktur kitosan. Modifikasi tersebut dapat memperbaiki kelemahan

kitosan meliputi bobot molekulnya yang sangat besar sehingga

kelarutannya rendah dalam air serta derajat deasetilasi yang masih rendah.

Radiasi sinar gamma dilakukan menggunakan dosis 25 kGray karena

merupakan dosis yang telah banyak digunakan dalam penelitian untuk

mendegradasi rantai polimer kitosan.

Kitosan yang telah diradiasi sinar gamma 25 kGray digunakan

dalam formulasi nanopartikel menggunakan metode ionik gelasi dengan

sambung silang natrium Tripolifosfat. Obat yang digunakan yaitu

Gamavuton-0 [1,5-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on]

yang merupakan salah satu senyawa analog kurkumin namun memiliki

stabilitas yang lebih baik daripada kurkumin. Senyawa ini mempunyai

aktivitas antioksidan dan antiinflamasi, serta memiliki aktivitas antitumor

(Supardjan dan Ridho, 2006). Sebagai senyawa analog kurkumin, GVT-0

masih memiliki kelemahan yaitu kelarutannya yang rendah di dalam air,

sehingga absorbsi dan bioavailabilitas GVT-0 menjadi rendah dan

mengurangi efek terapi yang diharapkan. Dengan menggunakan sistem

nanopartikel biopolimer dimana obat hidrofob dijerap, ditangkap,

3

diabsorbsi, atau diikat secara kimia dalam kompleks hidrofilik, diharapkan

dapat memperbaiki kelarutan senyawa GVT-0 yang bersifat non polar

tersebut (Thwala, 2010).

Pada awal penelitian dilakukan karakterisasi sifat fisika kimia

kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray. Setelah itu, dilakukan formulasi

nanopartikel dengan variasi konsentrasi senyawa GVT-0, konsentrasi

kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray, dan konsentrasi tripolifosfat.

Rasio konsentrasi yang paling optimal selanjutnya dikarakterisasi dengan

mengamati ukuran partikel, morfologi partikel, potensial zeta, dan

entrapment efficiency. Diharapkan pada akhir penelitian ini akan diperoleh

formula nanopartikel yang paling optimal sebagai model nanopartikel

GVT-0 sebelum akhirnya dikembangkan lebih lanjut dalam skala besar

dan diaplikasikan sebagai senyawa obat baru.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh radiasi sinar gamma dengan kekuatan 25 kGray

terhadap sifat fisika kimia kitosan, yaitu karakter fisik, viskositas, dan

derajat deasetilasinya?

2. Apakah kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray dapat menghasilkan

nanopartikel Gamavuton-0 dengan pengait silang Tripolifosfat melalui

metode gelasi ionik?

3. Bagaimana karakteristik nanopartikel yang dihasilkan dengan kitosan

teradiasi sinar gamma 25 kGray meliputi karakter ukuran dan

4

distribusi partikel, potensial zeta, morfologi partikel, serta entrapment

efficiency?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah

kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray dapat digunakan dalam

formulasi nanopartikel Gamavuton-0 dengan pengait silang

Tripolifosfat secara gelasi ionik.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh sinar gamma terhadap sifat fisika kimia

kitosan melalui pengamatan fisik kitosan, uji viskositas, dan

analisis derajat deasetilasi kitosan.

b. Untuk mengetahui apakah kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray

dapat menghasilkan nanopartikel gamavuton-0 dengan pengait

silang Tripolifosfat secara gelasi ionik.

c. Mengetahui karakteristik nanopartikel yang dihasilkan dari kitosan

teradiasi sinar gamma 25 kGray melalui pengamatan terhadap

karakter ukuran dan distribusi partikel, potensial zeta, morfologi,

serta entrapment efficiency.

5

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

penggunaan kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray dalam formulasi

nanopartikel Gamavuton-0 (GVT-0) dengan pengait silang tripolifosfat

(TPP) secara gelasi ionik dalam perkembangan sistem penghantaran obat.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kitosan

Kitosan merupakan polimer karbohidrat alami termodifikasi yang

diperoleh melalui deasetilasi kitin, sebuah biopolimer alami yang terdapat

pada cangkang kepiting, udang, maupun lobster. Kitosan juga ditemukan

dibeberapa mikroorganisme, yeast, dan fungi (Illum, 1998). Unit primer

yang terdapat pada polimer kitin adalah 2-deoksi-2-(asetilamino) glukosa.

Unit ini dikombinasikan dengan ikatan glikosidik β-(1,4), membentuk

polimer rantai panjang yang linear. Deasetilasi kitin menggunakan NaOH

pekat mengubah gugus asetamida pada kitin menjadi gugus amina dalam

kitosan, namun proses asetilasi sulit untuk secara mutlak mengubah

keseluruhan gugus asetamida menjadi amina sehingga kitosan tidak dapat

dinyatakan sebagai poliglukosamin.

Secara struktural, kitosan merupakan straight-chain polymer yang

terdiri dari D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin. Kitosan mempunyai

rumus umum (C6H11NO4)n atau disebut sebagai poli(2-amino-2-deoksi-β-

D-glukosa) (Fernandez-Kim, 2004). Kitosan memiliki pKa 6,5 sehingga

6

kitosan dapat larut dalam sebagian besar larutan organik yang bersifat

asam dan memiliki pH kurang dari 6,5 termasuk format, asetat, tartarat,

dan asam sitrat (LeHoux dan Grondin, 1993; Peniston and Johnson, 1980).

Kitosan tidak larut dalam fosforat dan asam sulfurat.

Gambar 1. Struktur Polimer Kitosan

Kelarutan kitosan, kemampuannya terbiodegarasi, reaktivitas, dan

adsorbsi oleh banyak substrat tergantung dari jumlah gugus amino yang

terprotonasi dalam rantai polimer, selain dari perbandingan jumlah unit D-

glukosamin yang terasetilasi dan tidak terasetilasi. Gugus amina (pKa 6,2

– 7,0) akan terprotonasi dalam asam dengan pKa yang lebih rendah dari

6,2, sehingga kitosan dapat terlarut (Guibal, 2004; Kubota dkk., 2000;

Kurita, 2006; Anthonsen dan Smidsroed, 1995; Rinaudo, 2006;

Sankararamakrishnan dan Sanghi, 2006). Di dalam asam, gugus amina

pada kitosan akan terprotonasi menjadi ammonium kuartener (-NH3+)

sehingga kitosan menjadi bermuatan positif.

Kitosan dipilih sebagai salah satu polimer yang baik untuk aplikasi

biomedis dan farmasetik karena sifat yang dimilikinya yaitu,

kemampuannya terbiodegradasi, biokompatibel, antimikroba, tidak toksik,

7

dan antitumor. Selain itu, kitosan dapat diaplikasikan dalam berbagai

sediaan dan rute administrasi (Kumar, 2000).

Obat akan berinteraksi dengan kitosan melalui interaksi

elektrostatik, ikatan hidrogen, dan interaksi hidrofobik (Tiyaboonchai,

2003). Selain itu, kitosan memiliki karakter unik sebagai polimer, yakni

bersifat mukoadhesif atau dapat melekat pada permukaan mukosa.

Karakteristik ini diakibatkan oleh interaksi ionik antara gugus ammonium

kuartener kitosan dengan permukaan mukus yang bermuatan negatif. Saat

melekat pada permukaan mukosa, kitosan dapat membuka sementara tight

junction antar sel-sel epithel glikoprotein, yaitu asam sialat yang bersifat

anionik. Pembukaan sementara ini memberi waktu yang lebih panjang

bagi interaksi dan transport obat ke dalam sel (Schipper dkk., 1997).

Kitosan tersedia dalam kisaran bobot molekul yang luas dan

berbagai derajat deasetilasi. Bobot molekul dan derajat deasetilasi

merupakan faktor utama yang mempengaruhi ukuran partikel,

pembentukan partikel, dan agregasi. Derajat deasetilasi merupakan derajat

berkurangnya gugus asetil pada kitin yang mengalami perubahan menjadi

amino dalam kitosan. Untuk pemakaian dalam formulasi sediaan

farmasetik, kitosan harus memiliki persyaratan seperti berwarna putih atau

kekuningan, densitas 1,35 dan 1,40 g/cm3, pH 6,5-7,5, kandungan

kelembaban <10%, derajat deasetilasi 70-100%, material tidak larut <1%,

tidak berasa, dan tidak berbau (Miyazaki dkk., 1981).

8

Umumnya, kitosan yang diperoleh dari deasetilasi kitin akan

memiliki bobot molekul yang tinggi, kelarutan yang rendah didalam

pelarut air, serta viskositas yang tinggi bahkan dalam larutan dengan

konsentrasi rendah, dimana hal tersebut akan membatasi aplikasinya,

terutama dalam bidang ilmu kesehatan dan makanan. Oleh karena itu,

untuk meningkatkan kelarutan kitosan, diperlukan degradasi kitosan yang

nantinya akan mengubah bobot molekul kitosan menjadi lebih rendah,

sehingga kelarutannya dalam air akan meningkat. Kitosan dengan bobot

molekul yang lebih kecil dapat dipreparasi secara kimiawi, radiasi, atau

degradasi enzimatik dari polimer yang memiliki bobot molekul lebih

tinggi. Diantara berbagai cara modifikasi tersebut, kemampuan radiasi

sinar gamma untuk menginduksi polimerisasi telah terbukti sebagai

metode yang efektif, karena memungkinkan preparasi dan sterilisasi dalam

satu langkah teknologi, tanpa membutuhkan tambahan inisiator ataupun

agen cross linker. Dalam reaksi radiasi, tidak dibutuhkan senyawa kimia

dan tidak perlu untuk mengontrol temperatur, lingkungan, ataupun

tambahan lainnya (Feng dkk., 2008). Secara spesifik, radiasi dapat

menimbulkan reaksi seperti pemotongan rantai pada ikatan 1-4 glikosidik

yang akan menyebabkan pengurangan bobot molekul dari polimer dan

cross-linking yang sifatnya sangat kecil (Lim dan Tung, 1997).

Radiasi sinar gamma diketahui dapat menyebabkan chain scissions

(pemotongan rantai) pada polisakarida serta mengurangi viskositas dan

bobot molekul polimer (Rao dkk, 2006). Kecepatan dosis yang tinggi

9

mendukung reaksi cross-linking (pengikatan silang) dan kecepatan dosis

yang rendah akan mendukung pemotongan rantai. Berdasarkan penelitian

Ocloo dkk (2012), dilakukan pengukuran viskositas dan bobot molekul

rata-rata dari kitosan yang teradiasi 0, 5, 15, dan 25 kGy. Hasilnya adalah

bobot molekul dari larutan kitosan menurun secara signifikan sesuai

dengan dosis radiasi sebagai hasil dari degradasi. Penurunan yang sangat

terlihat ketika dosis radiasi ditingkatkan dari 0 kGy sampai 5 kGy, namun

setelah dosis tersebut penurunan bobot molekul tidak terlalu terlihat secara

signifikan. Rashid dkk., (2012) dalam penelitiannya mempelajari efek dari

radiasi gamma terhadap karakteristik kitosan dan mengindikasikan bahwa

radiasi gamma dapat menimbulkan depolimerisasi yang sangat kuat pada

kitosan yang diradiasi serta dapat meningkatkan derajat deasetilasi dengan

semakin meningkatnya dosis radiasi yang digunakan.

Paparan radiasi sinar gamma dapat menyebabkan fragmentasi

kitosan yang diduga akan menghasilkan radikal pada posisi C1, C4, dan C5.

Radikal pada masing-masing posisi tersebut akan menghasilkan

pembukaan cincin kitosan maupun pemotongan rantai polimer kitosan

yang diikuti dengan terbentuknya senyawa karbonil. Bertambahnya gugus

C=O merupakan produk dari proses fragmentasi kitosan, dimana proses

tersebut dipengaruhi oleh gugus-gugus yang terikat pada cincin piranosa

seperti gugus CH, CH2OH, dan gugus amino. Radikal pada posisi C1 akan

menghasilkan gugus ester dan keton serta menginisiasi pembentukan

radikal pada posisi C5 yang nantinya menimbulkan pembukaan cincin

10

kitosan, sedangkan radikal pada posisi C4 akan menghasilkan gugus

aldehid, dan posisi C5 akan menghasilkan gugus keton (von Sonntag,

1987; Ulanski dan von Sonntag, 2000 dalam Gryczka dkk., 2009).

Gambar 2. Mekanisme radiolisis kitosan (Gryczka dkk., 2009)

2. Nanopartikel

Nanopartikel merupakan dispersi partikel atau partikel padat yang

memiliki ukuran antara 1 sampai 1000 nm. Nanopartikel mengandung

material makromolekul dan dapat digunakan secara terapetik sebagai

adjuvant pada vaksin atau drug carriers, dimana zat aktif akan terlarut,

C1

C5

C4

11

terjerap, terenkapsulasi atau menempel kedalam matriks nanopartikel

(Allemann dkk, 1993).

Berdasarkan proses preparasinya, terdapat dua tipe nanopartikel yaitu

nanosphere dan nanocapsule (Allemann dkk, 1993). Nanosphere

merupakan partikel nano dengan sistem matriks (struktur monolitik)

dimana obat terdispersi atau teradsorbsi ke dalam permukaan polimer.

Sementara nanocapsule merujuk pada sistem membran, dimana obat

ditangkap dalam rongga yang dikelilingi membran polimer (Nagavarma

dkk, 2012). Namun, tipe partikel yang terbentuk tidak dapat dibedakan

sehingga digunakan istilah nanopartikel untuk menyebutkan partikel

berukuran nano secara umum (Tiyaboonchai, 2003).

Tujuan utama pembuatan sistem nanopartikel sebagai salah satu

sistem penghantaran obat adalah untuk mengontrol ukuran partikel,

karakter permukaan dan pelepasan farmakologi dari zat aktif sehingga

tercapai aksi obat yang spesifik secara terapeutik dengan kecepatan dan

regimen dosis yang optimal (Mohanraj dan Chen, 2006). Secara singkat,

sistem nanopartikel membantu untuk meningkatkan stabilitas obat/protein

dan bermanfaat untuk menghasilkan sistem pelepasan obat yang

terkontrol.

Mohanraj dan Chen (2006) menjelaskan keuntungan dari

pemanfaatan nanopartikel dalam sistem penghantaran obat, antara lain:

12

a) Ukuran partikel dan karakteristik nanopartikel dapat dengan mudah

dimodifikasi untuk mencapai baik target obat pasif maupun aktif

secara penggunaan parenteral.

b) Nanopartikel mengontrol dan menunda proses pelepasan obat selama

transportasi dan pada saat sampai di tempat pengobatan, mengubah

distribusi organ dari obat dan juga klirens obat dengan tujuan untuk

meningkatkan efikasi terapi obat dan mengurangi efek samping.

c) Karakteristik pelepasan terkontrol dan degradasi partikel dapat dengan

mudah diubah sesuai dengan pemilihan matriks yang digunakan.

d) Drug loading umumnya tinggi dan obat dapat digabungkan ke dalam

sistem tanpa adanya reaksi kimia. Hal ini merupakan faktor penting

untuk menjamin aktivitas obat.

e) Target obat yang spesifik dapat tercapai dengan menempelkan ligan

yang tertarget pada permukaan partikel atau melalui teknik magnetik.

f) Sistem nanopartikel dapat digunakan untuk berbagai rute administrasi

dan sasaran pengobatan, termasuk oral, nasal, parenteral, intra-okular,

dan sebagainya. Hal ini dikarenakan nanopartikel masuk ke dalam

sistem peredaran darah dan dibawa oleh darah menuju target

pengobatan.

Proses pemasukan nanopartikel ke dalam sel merupakan mekanisme

pinositosis. Mekanisme uptake nanopartikel dijelaskan oleh Faraji dan

Wipf (2009), sebagai berikut:

a) Penempelan nanopartikel pada sel

13

b) Internalisasi nanopartikel melalui endositosis

c) Pelepasan nanopartikel dari endosomal

d) Degradasi kompleks nanopartikel oleh lisosom

e) Obat bebas berdifusi dalam sitoplasma

f) Penghantaran obat ke organel target oleh sitoplasma

g) Eksositosis kompleks nanopartikel

Nanopartikel dapat disiapkan dari berbagai macam material, seperti

protein, polisakarida, dan protein sintetik. Preparasi nanopartikel yang

paling sering dilakukan adalah menggunakan tiga metode sebagai berikut:

dispersi polimer; polimerisasi dari monomer; dan gelasi ionik atau

koaservasi dari polimer hidrofilik.

Pemilihan bahan matriks (polimer) memiliki pengaruh dalam proses

menembus membran saluran intestinal. Beberapa polimer dapat bersifat

mukoadhesif seperti pada alginat, namun juga ada polimer yang membuka

epithelial tight junction seperti pada kitosan. Kedua karakteristik tersebut

mempermudah proses interaksi kompeks nanopartikel dengan permukaan

mukus dan memperpanjang waktu aksi. Pemilihan matriks (polimer) yang

digunakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: ukuran

nanopartikel yang diinginkan; karakteristik dasar obat yang digunakan,

seperti kelarutan dan stabilitasnya; karakteristik permukaan seperti muatan

dan permeabilitasnya; tingkat biodegradabilitas, biokompatibilitas, dan

toksisitas; serta profil pelepasan obat yang diinginkan (Kreuter, 1994).

14

Polimer yang dapat digunakan dalam sistem penghantaran

nanopartikel dapat berasal dari alam maupun hasil sintesis, namun pada

dasarnya polimer tersebut harus memenuhi kriteria yaitu biodegradable,

biocompatible, non-immunogenic, non-toxic, murah, mudah disintesis dan

dikarakterisasi (Tiyaboonchai, 2003). Beberapa polimer alami yang

umumnya digunakan dalam formulasi nanopartikel adalah kitosan, natrium

alginat, gelatin, dan albumin. Meskipun nanopartikel polimer memiliki

banyak keuntungan, namun kenyataannya sulit untuk memperoleh sistem

nanopartikel yang ideal. Penyiapan nanopartikel menggunakan polimer

tidak larut air melibatkan panas, serta solven organik yang mengakibatkan

rusaknya obat, sehingga penggunaan polimer larut air lebih efisien karena

lebih sederhana dan tidak membutuhkan energi sebanyak polimer tidak

larut air (Tiyaboonchai, 2003).

Terdapat beberapa karakterisasi nanopartikel yang perlu diketahui,

antara lain:

a) Ukuran partikel

Ukuran partikel dan distribusi ukuran adalah karakteristik paling

penting dari sistem nanopartikel. Kedua hal tersebut menentukan

distribusi in vivo, kondisi biologis, toksisitas, dan kemampuan

targeting dari sistem nanopartikel. Selain itu, dapat juga

mempengaruhi drug loading, lepasnya obat, dan stabilitas

nanopartikel. Semakin kecil partikel maka semakin besar luas

permukaannya, sehingga banyak obat yang berada dekat atau pada

15

permukaan partikel menyebabkan obat dapat cepat terlepas dari

sediaan.

Metode yang saat ini paling umum digunakan untuk menentukan

ukuran partikel adalah dengan Single-Particle Optical Sensing (SPOS)

secara mikroskopi dan spektroskopi photon korelasi atau Dynamic

Light Scattering (DLS).

Photon-correlation spectroscopy perlu untuk mengetahui viskositas

medium dan menentukan diameter partikel dengan gaya Brown dan

sifat penghamburan cahaya. Hasil yang diperoleh kemudian

diverifikasi dengan scanning atau Transmission Electron Microscopy

(SEM atau TEM).

b) Karakter permukaan dari nanopartikel

Parameter karakter permukaan dari nanopartikel yang terbentuk akan

mempengaruhi stabilitas fisik sediaan yang terbentuk serta

mempengaruhi interaksi dengan sistem biologis.

Hidrofobisitas permukaan nanopartikel menentukan jumlah obat yang

diadsorbsi oleh komponen darah, terutama protein (opsonin). Hal ini

mempengaruhi kondisi in vivo dari nanopartikel. Ikatan antara opsonin

dengan permukaan nanopartikel disebut opsonisasi yang berfungsi

sebagai jembatan antara nanopartikel dan fagosit. Obat yang dibawa

oleh carrier non konvensional akan memodifikasi profil biodistribusi

obat, terutama ke dalam mononuclear phagocytes system (MPS)

seperti liver, ginjal, paru-paru, dan sumsum tulang belakang. Disisi

16

lain, nanopartikel yang tidak dimodifikasi permukaannya akan cepat

teropsonisasi dan dibuang oleh makrofag yang terdapat pada organ-

organ MPS (Grislain dkk, 1983).

Parameter yang umumnya digunakan untuk mengkarakterisasi

permukaan nanopartikel adalah zeta potensial. Zeta potensial

menggambarkan potensial elektrik dari partikel dan medium tempat

partikel tersebut terdispersi. Nanopartikel yang memilki zeta potensial

diatas ± 30 mV menunjukkan suspensi yang stabil, hal ini dikarenakan

muatan permukaan akan mencegah agregasi antar partikel. Zeta

potensial juga dapat digunakan untuk menentukan apakah muatan zat

aktif telah terenkapsulasi didalam nanocapsule atau teradsorbsi ke

dalam permukaan (Couvreur dkk, 2002). Pengukuran potensial zeta

dapat dilakukan dengan alat Dynamic Laser Scattering (DLS),

Zetasizer, Zeta Plus TM, Zeta Potensial Analyzer.

c) Drug loading dan entrapment efficiency

Entrapment efficiency merupakan parameter yang menggambarkan

keberhasilan polimer memerangkap obat terlarut dalam proses

pembentukan nanopartikel. Drug loading dan entrapment efficiency

sangat tergantung pada kelarutan obat padat dalam bahan matriks atau

polimer, dimana hal ini tergantung pada komposisi polimer, bobot

molekul, serta interaksi obat-polimer (Govender dkk., 1999; Govender

dkk, 2000; Panyam dkk, 2004).

17

Idealnya, sistem nanopartikel yang berhasil memiliki kapasitas drug-

loading yang tinggi, sehingga mengurangi jumlah bahan matriks

(polimer) yang digunakan dalam administrasi obat.

3. Gamavuton-0

Senyawa gamavuton-0 (GVT-0) merupakan salah satu senyawa

analog kurkumin yang memiliki nama kimia [1,5-bis(4’-hidroksi-3’-

metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on]. Kurkumin sendiri memiliki banyak

manfaat, antara lain memiliki efek hepatoprotektif terhadap berbagai

hepatoksin, efek antiinflamasi, antikarsinogenik, antimikroba, serta

menekan proliferasi sel tumor (Malesu dkk., 2011; Nurrochman dkk.,

2012). Namun, pemanfaatan kurkumin sebagai agen terapi baru yang

poten terhambat oleh karakteristik fisikokimia kurkumin yang peka

terhadap cahaya dan pH, serta bioavailabilitasnya yang rendah akibat

kelarutannya buruk dalam air.

Stabilitas kurkumin dapat ditingkatkan tanpa mempengaruhi efek

biologisnya, yakni dengan cara memodifikasi kurkumin menjadi GVT-0.

Perbedaan antara kurkumin dengan GVT-0 terletak pada rantai tengah.

Kurkumin memiliki rantai tengah 1,6-heptadien-3,5-dion, sedangkan rantai

tengah GVT-0 merupakan 1,4-pentadien-3-on. Gugus β-diketon pada

kurkumin diubah menjadi gugus monoketon. Hilangnya gugus karbonil

dan gugus metilen pada kurkumin menjadi kerangka 1,4-pentadien-3-on,

menjadikan GVT-0 sebagai suatu senyawa yang lebih stabil pada pH

diatas 6,5 dibandingkan dengan kurkumin dan tetap mempunyai sifat

18

antioksidan. Senyawa ini mempunyai aktivitas antioksidan dan

antiinflamasi, serta memiliki aktivitas antitumor (Supardjan dan Ridho,

2006).

Senyawa GVT-0 dapat disintesis dengan cara mereaksikan vanillin

dan aseton menggunakan katalis asam melalui reaksi Claisen-Schmidt.

Senyawa ini merupakan diena simetris pada bagian tengah yang

menghubungkan dua cincin aromatik, sehingga GVT-0 memiliki dua

bagian α,β unsaturated. Atom O karbonil memiliki karakteristik parsial

negatif sehingga dalam kondisi terionisasi dapat bertindak sebagai

nukleofil dan menyerang suatu kation. Pada GVT-0 tidak terdapat gugus

metilen aktif seperti pada kurkumin. Gugus metilen aktif dapat

terhidrolisis pada pH basa dan mengakibatkan degradasi fotokimia oleh

cahaya (Tonnesen dan Karlsen, 1985), sehingga penghilangan gugus

tersebut mengakibatkan GVT-0 lebih stabil terhadap pengaruh cahaya

dan pH.

Gambar 3. Struktur Kurkumin (a) dan Struktur Gamavuton-0 (b)

(Hermawan, 2012)

(a)

(b)

19

Senyawa GVT-0 telah diuji toksisitasnya secara akut maupun

subakut untuk mengevaluasi keamanannya, dan hasilnya menunjukkan

bahwa GVT-0 tidak menunjukkan efek toksis dalam jangka waktu

pemaparan 24 jam dan juga untuk pemakaian 30 hari, dilihat dari

parameter hematologi, kimia darah, dan kimia urin, baik pada tikus jantan

maupun betina. Hasil pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik pada

organ-organ vital seperti paru, ginjal, hati, usus, dan limpa tidak

menunjukkan adanya efek toksik ataupun abnormalitas dibandingkan

dengan kelompok kontrol (Ikawati dkk., 2008).

Namun, walaupun GVT-0 memiliki stabilitas lebih baik dengan

efek farmakologis yang tidak berbeda signifikan dari kurkumin,

kemiripan kerangka inti GVT-0 dan kurkumin mengakibatkan sifat

solubilitas yang mirip. GVT-0 praktis tidak larut dalam air, tetapi larut

dalam pelarut organik, seperti aseton, dimetil sulfoksida, etanol, etil asetat

(Sharma dkk., 2005). Pada pemakaian oral, kelarutan yang rendah akan

berakibat pada rendahnya absorbsi di usus, sehingga efek farmakologis

yang dicapai tidak maksimal (Ravindranath dan Chanrasekhara, 1980;

Ravindranath dan Chandrasekara, 1981; Ravindranath dan

Chandrasekara, 1982).

4. Natrium Tripolifosfat (TPP)

Natrium tripolifosfat atau sodium tripolyphospate (TPP) biasa

dikenal juga dengan nama triphosphate atau pentasodium

20

tripolyphosohate (Na5P3O10) merupakan rantai lurus hasil derivatisasi dari

asam fosforat.

Natrium Tripolifosfat memiliki bobot molekul sebesar 367,86

dengan komposisi Na 31,25%, O 43,49%, dan P 25,26% (O’neil dkk,

2006). Natrium tripolifosfat dihasilkan dengan memanaskan campuran

stoikiometri disodium fosfat (Na2HPO4) dan monosodium fosfat

(NaH2PO4) dibawah kondisi terkontrol.

Gambar 4. Struktur TPP

Natrium tripolifosfat adalah garam tak berwarna yang terdapat baik

dalam bentuk anhidrat maupun dalam bentuk heksahidrat, serta sedikit

higroskopik. Kelarutan natrium tripolifosfat (g/100 mL) pada suhu 25oC

adalah 20g dan pada suhu 100oC adalah 86,5g. Larutan natrium

tripolifosfat konsentrasi 1% memiliki pH 9,7 – 9,8. Apabila natrium

tripolifosfat dipanaskan dalam waktu yang panjang, maka senyawa

tersebut akan kembali menjadi bentuk ortopospat. Stabilitas senyawa ini

lebih tinggi daripada metafosfat, tetapi lebih tidak stabil bila dibandingkan

dengan tetrasodium pirosfat (O’Neil dkk., 2006).

Dalam teknologi farmasi, tripolifosfat (TPP) digunakan sebagai

bahan dalam pembuatan nano kitosan dan sistem mikropartikel. Pada

tahun 1989, Bodemeier dkk., pertama kali meneliti tentang enkapsulasi

–O

P

O

P

O

P

O–

O O O

O– O– O–

Na+

5

21

obat dengan gelasi ionotropik yang disebabkan oleh pembentukan inter

dan intramolekuler sambung silang antara kitosan yang bermuatan positif

dengan tripolifosfat yang bersifat polianionik. Kitosan memiliki bobot

jenis grup amina yang tinggi pada bagian belakangnya dan gugus amina

tersebut terprotonasi untuk membentuk –NH3+ dalam larutan asam.

Muatan positif kitosan tersebut dapat mengalami sambung silang secara

kimiawi dengan dialdehid seperti glutaraldehid dan ethylene glycol

diglycidyl ether, atau sambung silang secara fisika dengan anion

multivalen turunan dari natrium tripolifosfat (TPP), sitrat, dan sulfat

(Kafshgari dkk., 2011).

TPP dipilih sebagai senyawa sambung silang pada gelasi ionik

kitosan, karena sifatnya yang non toksik, mampu membentuk gel dengan

cepat, lebih stabil, dan memiliki karakter penembusan membran yang lebih

baik (Yu-Hsin Lin dkk., 2008). Selain itu, proses gelasi ionik kitosan

dengan TPP sebagai senyawa sambung silang mudah untuk dilakukan

scale-up penjerapan dalam proses pembentukan partikel. Nanopartikel

kitosan dipreparasi dengan TPP sebagai senyawa sambung silang anionik

homogen dan kitosan yang memiliki muatan permukaan positif yang

membuat keduanya sesuai untuk aplikasi pada adesi mukosa (Gan dan

Wang, 2007).

Proses modifikasi kitosan dengan TPP ditentukan oleh beberapa

faktor, yaitu konsentrasi kitosan, pH TPP dan waktu terjadinya sambung

silang (Ko dkk., 2003). Kitosan dengan pKa 6,5 merupakan polikationik,

22

ketika dilarutkan dalam asam, amina bebas dari kitosan akan terprotonasi

menghasilkan –NH3+. TPP dilarutkan dalam air hingga diperoleh ion

hidroksil dan ion tripolifosfat. Ion tersebut dapat bergabung dengan

struktur dari kitosan. Pada penelitian Bhumkar dan Pokharkar (2006)

dinyatakan bahwa derajat sambung silang kitosan dan TPP dipengaruhi

oleh keberadaan sisi kationik dan senyawa anionik sehingga pH TPP

memiliki peran penting selama proses sambung silang. Proses sambung

silang dapat dilakukan pada dua kondisi pH, yaitu pH 3 dan pH 9. Pada pH

3 hanya dihasilkan ion tripolifosfat yang akan berinteraksi dengan –NH3+

dari kitosan sehingga pada kondisi tersebut diperoleh kitosan-TPP yang

didominasi oleh interaksi ionik. Sedangkan pada pH 9, dihasilkan ion

hidroksil dan tripolifosfat. Kedua ion tersebut berkompetisi untuk

berinteraksi dengan –NH3+. Pada kondisi tersebut sambung silang kitosan

didominasi oleh deprotonasi oleh ion hidroksil (Bhumkar dan Pokharkar,

2006).

5. Metode Gelasi Ionik

Proses pembuatan nanopartikel secara garis besar memiliki dua

prinsip dasar, yaitu teknologi top down, dimana proses pembuatan partikel

berukuran nano dari bahan awal partikel yang berukuran lebih besar, dan

teknolologi bottom up, dimana partikel nano diperoleh dari dispensi

molekuler suatu senyawa (Ober dan Gupta, 2011).

Selama lebih dari 30 tahun, preparasi kitosan nanopartikel telah

berkembang berdasarkan teknologi mikropartikel kitosan. Terdapat empat

23

metode yang dapat digunakan untuk membuat nanopartikel kitosan,

diantaranya gelasi ionotropik, mikroemulsi, difusi emulsifikasi pelarut,

dan kompleks polielektrolit. Metode gelasi ionik merupakan metode yang

paling umum digunakan dalam penyiapan nanopartikel kitosan, karena

sangat sederhana dan mudah untuk dilakukan.

Teknik preparasi kitosan menggunakan metode gelasi ionik

pertama kali dilakukan oleh Calvo dkk (1997) yang secara luas telah diuji

dan dikembangkan (Janes dkk, 2001; Pan dkk, 2002). Mekanisme

pembentukan nanopartikel kitosan berdasarkan pada interaksi elektrostatik

antara gugus amina kitosan dan muatan negatif pada polianion seperti

tripolifosfat (Bodmeier dkk, 1989; Xu dan Du, 2003). Metode ini

sederhana dan preparasinya dapat dilakukan dalam lingkungan berair.

Pertama-tama, kitosan dilarutkan dalam asam asetat baik yang

mengandung agen penstabil seperti poloksamer ataupun tidak. Polianion

atau polimer anionik kemudian ditambahkan dan nanopartikel akan

terbentuk secara spontan dengan pengadukan secara mekanik pada suhu

ruangan. Ukuran dan muatan permukaan partikel dapat dimodifikasi

dengan variasi perbandingan kitosan dan penstabil (Calvo dkk., 1997).

Keuntungan dari metode gelasi ionik adalah metodenya sederhana,

tidak toksik, dilakukan pada temperatur ruangan, ukuran dapat

disesuaikan, memiliki kapasitas baik untuk berasosiasi dengan obat

makromolekul pada komposisi partikel (Milloti dan Bernkop-SchnÜrch,

2009).

24

F. Landasan Teori

Kitosan yang diperoleh secara langsung dari deasetilasi kitin masih

memiliki bobot molekul yang tinggi, kelarutan yang rendah didalam

pelarut air, viskositas yang tinggi bahkan dalam larutan dengan

konsentrasi rendah, serta nilai derajat deasetilasi yang masih rendah,

dimana hal tersebut akan membatasi aplikasinya terutama dalam bidang

ilmu kesehatan dan makanan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan

efektivitas dari kitosan diperlukan modifikasi struktur kimia kitosan

menggunakan radiasi sinar gamma.

Metode degradasi radiasi ionik dengan sinar gamma merupakan

salah satu metode yang paling efektif untuk mendegradasi rantai polimer

kitosan. Paparan radiasi sinar gamma 25 kGray dapat menyebabkan

fragmentasi kitosan, dimana proses fragmentasi kitosan tersebut akan

menyebabkan pembukaan cincin kitosan maupun pemotongan rantai

polimer kitosan yang diikuti dengan terbentuknya senyawa karbonil. Hal

tersebut selanjutnya dapat menyebabkan pengurangan bobot molekul dari

polimer kitosan dan menurunkan nilai viskositasnya. Radiasi sinar gamma

25 kGray diketahui juga dapat meningkatkan derajat deasetilasi kitosan

karena menyebabkan hidrolisis asetamida menjadi gugus amina dengan

semakin meningkatnya dosis radiasi yang digunakan.

Karakter polimer kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray yang

memiliki lebih dari satu gugus amina akan bermanfaat sebagai polimer

dalam sistem nanopartikel. Gugus amina kitosan dalam suasana asam akan

25

terprotonasi dan memiliki muatan parsial positif sehingga dapat

berinteraksi dengan muatan parsial negatif dari senyawa Gamavuton-0.

Amina primer terprotonasi dari kitosan akan mempengaruhi stabilitas

kompleks nanopartikel yang terbentuk, sehingga diperlukan counter ion

yang mampu mengikat sisa amina primer terprotonasi kitosan tersebut.

Adanya interaksi antara muatan parsial positif dari kitosan dan muatan

parsial negatif gamavuton-0 menyebabkan pembentukan nanopartikel

dapat terjadi secara mudah dan sederhana melalui metode gelasi ionik.

Nanopartikel yang diperoleh dari penggunaan kitosan teradiasi

sinar gamma 25 kGray akan memiliki karakteristik yang berbeda

dibandingkan nanopartikel dengan penggunaan kitosan tidak teradiasi.

Kitosan yang memiliki rantai polimer lebih pendek serta cincin polimer

yang terbuka umumnya akan menyebabkan ukuran nanopartikel yang

lebih kecil diikuti dengan penurunan nilai entrapment efficiency, selain itu

nilai potensial zeta dan morfologi nanopartikel yang terbentuk juga akan

berbeda disebabkan adanya paparan radiasi 25 kGray pada kitosan yang

digunakan.

G. Hipotesis

Dari kajian pustaka yang telah dilakukan, dapat diajukan hipotesis sebagai

berikut:

1. Radiasi sinar gamma 25 kGray akan mempengaruhi sifat fisika kimia

kitosan, yaitu warna kitosan menjadi lebih gelap, viskositas menurun,

dan derajat deasetilasi kitosan meningkat.

26

2. Kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray dapat menghasilkan

nanopartikel Gamavuton-0 dengan penaut silang Tripolifosfat melalui

metode gelasi ionik.

3. Nanopartikel yang terbentuk dari polimer kitosan teradiasi sinar gamma

25 kGray memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan kitosan

yang tidak teradiasi melalui pengamatan karakter ukuran partikel dan

distribusi partikel, potensial zeta, morfologi partikel, serta entrapment

efficiency.