bab i pendahuluan a. latar...

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Yogyakarta, merupakan kota yang secara geografis dilintasi oleh tiga sungai besar, yang membelahnya dari Barat ke Timur yaitu Sungai Winongo, Code dan Gajah Wong. Secara umum, fungsi utama sungai adalah menampung curah hujan dalam suatu daerah dan mengalirkannya ke laut (Mori,1993:169-170). Namun, pada kenyataannya ketiga sungai yang melintasi Kota Yogyakarta tersebut telah mengalami pergeseran fungsi, dari fungsi utama sungai sebagai saluran pembuangan air hujan guna mengantisipasi banjir, saat ini kawasan di sekitar sungai justru dijadikan sebagai tempat tinggal yang justru mengancam kelestarian sungai itu sendiri. Menjamurnya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai didorong oleh semakin tingginya jumlah penduduk yang memilih menetap di kota Yogyakarta. Pemukiman yang semakin padat menyebabkan pilihan untuk bertempat tinggal semakin sempit dan salah satu ruang yang dimanfaatkan adalah kawasan bantaran sungai. Keberadaan masyarakat bantaran sungai menjadi sebuah masalah yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, dikarenakan lingkungan tersebut identik sebagai pemukiman kumuh yang tidak layak huni, lekat dengan kemiskinan dan dianggap sebagai masalah sosial yang dalam penanganannya masih tambal-sulam. Terkait dengan penataan kawasan perkotaan (tak terkecuali kawasan bantaran sungai), telah dijelaskan dalam

Upload: dangnga

Post on 18-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota Yogyakarta, merupakan kota yang secara geografis dilintasi oleh

tiga sungai besar, yang membelahnya dari Barat ke Timur yaitu Sungai

Winongo, Code dan Gajah Wong. Secara umum, fungsi utama sungai adalah

menampung curah hujan dalam suatu daerah dan mengalirkannya ke laut

(Mori,1993:169-170). Namun, pada kenyataannya ketiga sungai yang melintasi

Kota Yogyakarta tersebut telah mengalami pergeseran fungsi, dari fungsi utama

sungai sebagai saluran pembuangan air hujan guna mengantisipasi banjir, saat

ini kawasan di sekitar sungai justru dijadikan sebagai tempat tinggal yang justru

mengancam kelestarian sungai itu sendiri.

Menjamurnya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai didorong

oleh semakin tingginya jumlah penduduk yang memilih menetap di kota

Yogyakarta. Pemukiman yang semakin padat menyebabkan pilihan untuk

bertempat tinggal semakin sempit dan salah satu ruang yang dimanfaatkan

adalah kawasan bantaran sungai. Keberadaan masyarakat bantaran sungai

menjadi sebuah masalah yang menarik untuk dikaji lebih mendalam,

dikarenakan lingkungan tersebut identik sebagai pemukiman kumuh yang tidak

layak huni, lekat dengan kemiskinan dan dianggap sebagai masalah sosial yang

dalam penanganannya masih tambal-sulam. Terkait dengan penataan kawasan

perkotaan (tak terkecuali kawasan bantaran sungai), telah dijelaskan dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan

dan Kawasan Pemukiman,

Pasal 1

“Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas

pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,

pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap

perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem

pembiayaan, serta peran masyarakat..”

Dibagian akhir potongan UU diatas dapat dicermati bahwa upaya tata

kota tidak serta merta menjadi kuasa penuh pemerintah, melainkan dibutuhkan

peran dan andil masyarakat sebagai subyek kebijakan pembangunan kota itu

sendiri. Langkah kebijakan pemerintah kota yang cenderung bersifat top-down

seringkali menemui jalan buntu dalam pelaksanaannya di lapangan dan justru

muncul kesan ‘menggurui’ masyarakat.

Di tengah tertatihnya pemerintah kota melakukan penataan kawasan

bantaran sungai, muncul sebuah inisiatif menarik dari kelompok masyarakat

Paguyuban Kali Jawi (Sungai Gajah Wong dan Winongo) dan Arkom (Arsitek

Komunitas) Jogja. Pada tanggal 21 April 2014, ratusan warga yang bertempat

tinggal di bantaran sungai Winongo tersebut mendatangi Balaikota Yogyakarta

guna menyampaikan aspirasi mereka agar pemerintah mampu melakukan

penataan sungai berbasis masyarakat. Melalui Koordinator Arkom Jogja, Yuli

Kusworo, warga yang bertempat tinggal di bantaran Kali Winongo kini sudah

memiliki organisasi yang cukup kuat. Terbukti mereka datang ke Balaikota

Yogyakarta dengan membawa konsep pembangunan bantaran sungai Winongo

dari hasil pemetaan mereka sendiri. Selain itu mereka juga memiliki tabungan

swadaya masyarakat sebesar 141 juta rupiah yang siap digunakan untuk modal

awal penataan bantaran sungai Winongo. Konsep penataan ini diapresiasi oleh

Asisten Sekda Kota Yogyakarta Bidang Perekonomian dan Pembangunan,

Aman Yuriadijaya. Beliau juga memberikan jaminan bahwa inisiasi warga ini

akan segera ditindaklanjuti. (http://kr.co.id/read/213093/warga-winongo-

berharap-penataan-sungai-berbasis-masyarakat.kr, diakses pada tanggal 21

September 2014).

Gerakan masyarakat yang bersifat bottom-up (diinisiasi dari lingkup

masyarakat paling bawah menuju ke tingkatan lebih tinggi) dalam melakukan

perjuangan untuk mengembangkan daerah tempat tinggal mereka menjadi

sebuah kajian sosial yang menarik. Mengapa masyarakat lebih memilih

bertahan di lingkungan bantaran sungai yang identik dengan kawasan tidak

layak huni dan tingkat kesejahteraan yang rendah? Apakah dikarenakan faktor

keterbatasan ekonomi semata yang membuat mereka langgeng di kawasan ini?

Belum lagi ancaman yang dihadapi oleh masyarakat yang ‘nekat’ memilih

tempat tinggal di daerah ini tidaklah sepele, mulai dari ancaman banjir, tanah

longsor, hingga kebakaran, sangat rentan terjadi. Gatot Saptadi, Kepala Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta

mengungkapkan bahwa periode rawan banjir dan tanah longsor terbesar di Kota

Yogyakarta terjadi saat puncak musim hujan antara Bulan Januari Februari

dengan ancaman total mencapai sepuluh ribu jiwa

(http://www.tempo.co/read/news/2013/12/18/058538512/Hujan-Ancam-

50Ribu-Jiwa-di-Yogyakarta, diakses pada 10 September 2014). Kekhawatiran

semakin membumbung tinggi ketika jumlah penduduk yang bermukim di

daerah ini sulit untuk dikontrol oleh pemerintah seiring peraturan tata kota yang

sering tidak diindahkan oleh masyarakat sendiri.

Dalam penelitian ini peneliti membagi fokus ke dalam dua rumusan

masalah yang memiliki keterlekatan satu sama lain. Di bagian pertama peneliti

ingin menerjemahkan kondisi di lapangan secara aktual. Dengan tujuan ingin

menelaah bagaimana cara masyarakat bantaran (Sungai Winongo di Kelurahan

Kricak) beradaptasi terhadap lingkungan yang ditinggali. Hidup berdampingan

dengan resiko menjadi daya tarik dalam fokus penelitian ini, dimana peneliti

ingin menggali lebih dalam motivasi apa saja yang menguatkan pendirian

mereka dalam strategi mempertahankan hidup.

Dalam fokus kedua, peneliti ingin mengetahui bagaimana respon

masyarakat bantaran Sungai Winongo (Kelurahan Kricak) terhadap penataan

maupun konsep penataan yang ditawarkan oleh pihak luar (baik lembaga

pemerintah maupun non-pemerintah) terhadap daerah yang mereka tinggali.

Selain bertujuan untuk mengetahui strategi bertahan masyarakat bantaran,

fokus ini sekaligus bertujuan menelaah sejauh mana peran aktor-aktor dalam

upaya penataan kawasan bantaran Sungai Winongo di Kelurahan Kricak.

Pemetaan aktor ini nantinya didasarkan atas perspektif masyarakat bantaran

sungai itu sendiri (dilihat melalui perspektif bottom up), mengingat perspektif

tersebut menjadi konsentrasi studi peneliti dalam kajian sosiologis. Dalam

penelitian ini yang dimaksud dengan penataan adalah konsep penataan. Sebagai

seorang akademisi, peneliti tidak menaruh keberpihakan lebih pada aktor

maupun kelompok manapun demi mempertahankan obyektivitas penelitian.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara masyarakat bantaran Sungai Winongo, Kelurahan Kricak

beradaptasi terhadap lingkungan yang ditinggali?

2. Bagaimana cara masyarakat bantaran Sungai Winongo, Kelurahan Kricak

merespon upaya penataan lingkungan yang dilakukan pihak luar terhadap

daerah mereka?

C. Tujuan Penelitian

1. Peneliti ingin mengetahui cara masyarakat bantaran sungai beradaptasi

terhadap lingkungannya dan strategi mereka dalam merespon ancaman

perubahan atas penataan ruang di Sungai Winongo di Kelurahan Kricak,

KotaYogyakarta.

2. Peneliti ingin mengetahui cara masyarakat bantaran Sungai Winongo

Kelurahan Kricak dalam merespon penataan dan konsep penataan yang

ditawarkan oleh pihak luar terhadap daerah mereka, sekaligus memetakan

aktor-aktor yang terlibat didalmnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberikan manfaat di

berbagai ranah keilmuan. Dalam ranah ilmu sosial, hasil penelitian ini

diharapkan mampu menanamkan benih-benih pemahaman baru dan

memperkaya kajian kritis mengenai permasalahan terkait. Selain itu, besar

harapan penelitian ini mampu menunjang dan menginspirasi penelitian lebih

lanjut yang memiliki keterkaitan dalam bidang yang sama.

Bagi pemerintah kota, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

masukan dan gambaran baru mengenai problematika masyarakat bantaran

sungai, dan besar harapan mampu menyumbang ide untuk arah kebijakan

pemerintah daerah kedepannya. Sedangkan untuk peneliti sendiri, penelitian ini

diharapkan bisa memperkaya pengetahuan sekaligus mengasah kepekaan

peneliti terhadap problematika sosial yang ada di sekitar, khususnya mengenai

masyarkat bantaran sungai.

E. Kajian Pustaka

E.1. Kajian Penelitian Terdahulu

Dalam jurnal penelitian BAPPEDA Kota Yogyakarta No. 6 April

2011 dilaporkan sebuah penelitian sosial yang mengambil lokasi di daerah

bantaran Sungai Winongo Kota Yogyakarta. Penelitian tersebut

mengambil judul “Strategi Penyusunan Pola Tata Komunitas Berbasis

Partisipasi Masyarakat Bantaran Sungai Winongo (Studi Kasus di

Kelurahan Wirobrajan dan Notoprajan Kota Yogyakarta)”. Studi dengan

pendekatan studi kasus tersebut dipimpin oleh bebrapa peneliti yaitu Dra.

Sri Suminar, MP, Ir. Christine S.W, MP, Drs. Hartono, M.Si.

Penelitian ini mencoba mengkaji lebih mendalam mengenai proses

kelembagaan dalam suatu masyarakat khususnya pola tata komunitas

masyarakat bantaran sungai Winongo di Kelurahan Wirobrajan dan

Notoprajan Kota Yogyakarta. Apa yang ingin dipahami dalam studi ini

mencakup bagaimana gambaran umum komunitas yang didapati di

masyarakat setempat, bagaiamana proses serta aktor yang mempengaruhi

partisipasi komunitas masyarakat setempat, hingga strategi apakah yang

dapat dilakukan untuk menyusun pola tata komunitas berbasis partisipasi

komunitas.

Dalam metodenya peneliti menggunakan pendekatan studi mikro,

yaitu metode kerja penelitian yang bertujuan memperoleh suatu

pemahaman atas gejala-gejala sosial mulai dari lingkup paling sederhana

dalam masyarakat. Tahapan-tahapan fundamental penelitian ini dilakukan

dalam tiga tahap, pertama pengumpulan data yang dilakukan melalui studi

dokumen, pengamatan , wawancara, kuesioner, dan diskusi kelompok atau

FGD (Focus Group Discussion). Sampai pada tahap analisis data

dilakukan menggunakan model kualitatif mulai dari reduksi data,

penyajian data, penarikan kesimpulan. Tahapan terakhir yang menjadi inti

dari penelitian ini adalah Rancangan Penyusunan Strategi dimana hasil

penelitian yang sudah didapat didiskusikan antara peneliti pihak-pihak

terkait dalam pengelolaan lingkungan sungai Winongo. Tujuan dari FGD

adalah menyusun strategi penyelesaian masalah yang ada kemudian

disusun program secara partisipatif, dengan demikian didapatkan

penyusunan pola tata komunitas berbasis partisipasi masyarakat.

Peneliti mengawali pembahasan dengan mencermati tiga aspek

dasar, yakni aspek geografis, kependudukan, dan partisipasi masyarakat

terhadap komunitas sekitar. Di kelurahan Wirobrajan khususnya RT 35

RW 08 peneliti menemukan permasalahan bahwa masyarakat di wilayah

ini dominan dihuni oleh para pengusaha industri tahu yang belum memiliki

kelembagaan yang mapan dan tidak adanya dana komunitas sehingga

warga sulit mengembangkan industrinya. Peneliti melihat permasalahan

ini terletak pada lemahnya kesadaran masyarakat (antar pengusaha industri

tahu) dalam membangun komunitas. Oleh karena itu yang dibutuhkan

warga adalah motivasi untuk meningkatkan kesadaran berkelompok dan

membangun kerjasama antar warga. Dari pemetaan permasalahan diatas

disusun rancangan strategi pola tata komunitas masyarakat bantaran sungai

Winongo di Kelurahan Wirobrajan. Program yang dirancang antara lain,

peningkatkan kesadaran berkelompok dan membangun kerjasama antar

anggota, optimalisasi fungsi komunitas, dan pendampingan dalam

mengembangkan jejaring dengan berbagai stakeholder.

Sedangkan di Kelurahan Notoprajan RT 12/13 RW 02 didapati

permasalahan mengenai prasarana jalan dan ruang publik yang terbatas

juga kumuh, hal itu disebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat

dalam memanfaatkan dan mengelola ruang publik. Terutama lingkungan

sungai yang masih digunakan sebagai pembuangan sampah dan limbah.

Program tata komunitas yang disusun guna mengatasi permasalahan

tersebut antara lain optimalisasi fungsi organisasi komunitas,

pemberlakuan tata tertib masyarakat, dan pendampingan dalam

pengembangan jejaring dan stakeholder.

Terlepas dari segala pencapaian yang telah berhasil dilakukan,

dalam studi terdahulu ini masih ditemui kelemahan terkait dengan tidak

ditemukannya bagian teoritisasi. Kajian ini merujuk pada tinjauan pustaka

yang relevan, namun ketiadaan teortitasasi atau perspektif teori membuat

proses pengkritisan di bagian pembahasan terasa kurang tajam dan banyak

data menarik yang hanya disajikan secara lugas, tanpa dimaknai secara

lebih mendalam menggunakan konsep atau perspektif teori.

Persamaan penelitian diatas dengan penelitian ini adalah sama-

sama berangkat dari kepekaan peneliti melihat semakin banyaknya

masyarakat pendatang yang menetap di bibir sungai daerah perkotaan,

khususnya sungai Winongo di kota Yogyakarta. Lingkungan bantaran

sungai yang masih belum tertata rapi dan sebagian besar dihuni

pemukiman tidak layak huni melahirkan beragam permasalahan sosial

yang kemudian menjadi daya tarik kedua peneliti untuk mengkajinya lebih

dalam.

Kemudian, kedua penelitian ini sama-sama menjadikan masyarakat

bantaran sungai Winongo sebagai objek penelitian. Namun didapati

perbedaan mendasar, yakni penelitian terdahulu lebih menekankan pada

kajian kelembagaan atau pola tata komunitas masyarakat bantaran sungai

Winongo, dimana bertujuan menghasilkan keluaran berupa rancangan

strategi penyusunan pola tata komunitas (berbasis partisipasi masyarakat)

sungai Winongo. Sedangkan penelitian dalam laporan ini berfokus pada

kajian sosial masyarakat bantaran sungai Winongo. Analisis dijelaskan dari

perspektif bottom up, dimana dalam pembahasan peneliti berangkat dari

kacamata masyarakat bantaran sungai, didasarkan data lapangan yang

diperoleh dari wawancara. Dalam penelitian ini, keluaran yang diharapkan

adalah sebuah tulisan mengenai kajian sosial masyarakat bantaran Sungai

Winongo (Kelurahan Kricak) dalam upaya beradaptasi dengan lingkungan

dan merespon penataan yang datang dari luar, yang diharapkan mampu

memperluas khasanah mengenai permasalahan terkait secara lebih

mendalam.

E.2. Konseptualisasi

Lingkungan Bantaran sungai

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 Bab 1,

Pasal 1, Ayat 5, Tahun 1991 dijelaskan bahwa bantaran sungai adalah

lahan yang berada pada kedua sisi di sepanjang palung sungai dihitung dari

tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam. Lingkungan bantaran

sungai dapat didefinisikan sebagai pemukiman yang berada di atas

bantaran sungai itu sendiri, baik itu hunian berupa rumah maupun

bangunan lainnya. Kawasan ini sebagian besar dihuni oleh rumah tidak

layak huni dan ekonomi lemah.

E.3. Teoritisasi

Lingkungan perkotaan telah mengalami pertumbuhan yang masif,

dari infrastruktur dan teknologi canggih hingga perkembangan karakter

masyarakat perkotaan yang semakin beragam. Kajian mengenai bantaran

sungai pun demikian, bukan semata-mata permasalahan alam saja yang

terjadi, namun sudah jauh berkembang menjadi permasalahan sosial yang

kompleks. Oleh karena itu, untuk menganalisis permasalahan studi

bantaran sungai ini berangkat dari beberapa perspektif teori berikut.

E.3.1 Masyarakat Resiko

Daya tarik perkotaan mendorong manusia untuk datang

berbondong-bondong menuju ke kota. Pertumbuhan penduduk tidak

selaras dengan ruang untuk bertempat tinggal, sehingga banyak lahan

yang sebenarnya mengancam atau beresiko untuk ditinggali

dijadikan hunian untuk bertahan hidup. Resiko merupakan sesuatu

yang tidak terlihat, tidak bisa diubah, dan didasarakan pada

interpretasi kausal (Susilo, 2008: 174). Dalam konteks lingkungan,

resiko tidak berjangka pendek dan seringkali masyarakat sadar

dampak lingkungan sesaat setelah bencana terjadi

Dalam bukunya yang berjudul “Risk Society: Towards A New

Modernity” Ulrich Beck, menceritakan mengenai proses

modernisasi perkotaan yang terjadi pada era masyarakat industri

menuju masyarakat akhir modern di Jerman. Kemajuan teknologi

maupun ekonomi membawa perubahan sedemikian rupa dalam

masyarakat perkotaan, sehingga memunculkan dominasi kelompok

yang berkuasa atas modal. Hal tersebut mengakibatkan semakin

terlihatnya perbedaan golongan masyarakat kaya dan miskin.

Golongan miskin inilah yang paling rentan terhadap ancaman resiko,

dikarenakan memiliki posisi tawar yang rendah terhadap kekuatan

ekonomi.

Dalam penelitian ini, peneliti tidak ingin menyamakan latar

belakang maupun persamaan sejarah yang terjadi pada era

modernisasi di Jerman dengan masyarakat bantaran Sungai Winongo

(Kelurahan Kricak) saat ini. Namun, cara pandang mengenai konteks

resiko-lah yang diadopsi peneliti untuk mengkritisi proses bertahan

hidup masyarakat bantaran sungai. Dalam studi ini, peneliti melihat

bahwa upaya penataan yang dilakukan oleh pihak luar (lembaga

pemerintah dan non-pemerintah) terhadap kawasan bantaran sungai

dimaknai sebagai sebuah ancaman perubahan yang hadir ke

lingkungan mereka. Perlu dijelaskan bahwa resiko yang dimaksud

dalam penelitian ini bukan resiko yang berasal dari ancaman bencana

fisik (seperti banjir dan tanah langsor), melainkan resiko atas

anacaman penataan ruang kawasan bantaran sungai oleh pihak luar.

Masyarakat bantaran Sungai Winongo (Kelurahan Kricak)

dengan ekonomi lemah, merupakan kelompok yang terlibat kerasnya

persaingan di perkotaan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga

tempat untuk bertempat tinggal. Masyarakat bantaran sungai

merupakan salah satu kelompok yang terus berjuang untuk bertahan

hidup, hingga mengabaikan aspek resiko yang berasal dari ancaman

bencana fisik (banjir dan tanah langsor) dimana mereka tinggal.

Namun, bukan resiko fisik inilah yang menjadi konsentrasi studi

peneliti, masyarakat resiko (risk society) yang dimaksudkan dalam

penelitian ini merupakan konversi dari pemahaman masyarakat

resiko yang dikemukakan oleh Beck, bahwa ancaman perubahan

yang datang bukan lagi ancaman yang terlihat secara kasat mata,

namun resiko ancaman yang sebenarnya disadari masyarakat

bantaran sungai berbentuk ancaman atas konsep penataan yang

datang dari pihak luar, dan itu dimaknai sebagai bentuk ancaman

perubahan terhadap daerah mereka. Perubahan itu sendiri dimaknai

sebagai bentuk modernisasi yang mencoba masuk ke dalam tatanan

lingkungan masyarakat bantaran sungai.

E.3.2. Produksi Ruang

Studi mengenai masyarakat bantaran sungai Winongo

termasuk dalam studi keruangan. Terbatasnya ruang atau lahan untuk

bertempat tinggal membuat warga bantaran sungai membangun

hunian liar di sekitar sungai Winongo untuk ditinggali. Permasalahan

ini dikaji menggunakan perspektif produksi ruang yang

dikemukakan sosiolog sosialis asal Perancis, Henri Lefebvre dimana

teori tersebut berkutat pada ranah diskusi ruang. Cara pandang ruang

yang dimaksud dalam penelitian ini digunakan untuk melihat proses

produksi ruang relasi seperti apakah yang terbentuk dalam

masyarakat bantaran sungai Winongo (Kelurahan Kricak).

Dalam proses penemuan “The Production of Space”,

Lefebvre terinspirasi oleh konsep kapitalisme yang diusung oleh Karl

Marx. Beliau menyoroti bahwa relasi produksi dan akumulasi kapital

menjadi dua hal pokok dalam proses produksi masif yang menjadi

cikal bakal munculnya stratifikasi kelas dalam sistem kapitalisme.

Namun, kejelian dari Lefebvre adalah melihat adanya pengabaian

peran ‘ruang’ dalam konsep tersebut. Ia menjelaskan bahwa relasi

produksi dan akumulasi kapital tidak akan terjadi tanpa adanya ruang

relasi. Ruang relasi inilah yang kemudian mampu mengembangkan

wacana ruang secara lebih luas hingga dalam tataran praktis.

“(Social) space is a (social) product. This proposition might

appear to border on the tautologous, and hence on the obvious...

The more show in view of the further claim that the space thus

produced also serves as a tool of thought and of action; that in

addition to being a means of production it is also a means of

control, and hence of domination, of power; yet that, as such, it

escapes in part from those who would make use of

it.”(Lefebvre,1991:26)

Ruang adalah produk sosial yang dalam pemaknaannya

melalui proses yang panjang. Ruang berfungsi sebagai alat untuk

berpikir dan bertindak, sehingga penguasaan atas ruang sangat

tergantung oleh aktor-aktor yang memanfaatknannya. Sedangkan

lefebvre lebih tertarik mewacanakan konsep ruang dalam tataran

konstruksi ilmu pengetahuan. Dengan analogi yang sama bahwa

relasi produksi menciptakan akumulasi kapital, bagi Lefebvre relasi

sosial juga menciptakan akumulasi pengetahuan.

Lefebvre kemudian menjelaskan bahwa dalam kajian ruang

tidak bisa terlepas dari aspek historitas. Aspek historitas

mengandung arti bahwa setiap ruang memiliki perjalanan penemuan

definisinya masing-masing. Dalam konteks lahan bantaran sungai

pun demikian, awal mula kisah sebuah lahan kosong yang kemudian

berkembang menjadi pemukiman bantaran sungai (yang penuh

dengan dinamika sosial), sebenarnya telah mengalami perjalanan

proses produksi ruang yang panjang. Aspek historitas digunakan

untuk melihat bagaimana proses interaksi sosial yang terjadi di

bantaran Sungai Winongo (Kelurahan Kricak) dan mencoba

memetakan ruang relasi yang yang muncul di tengah-tengah

masyarakat.

Guna mengkaji ruang secara lebih mendalam, Lefebvre

mengembangkan konsep pemahaman ruang kedalam ‘Triad

Konseptual’. Konsep ini merupakan pondasi yang digunakan untuk

mengangkat “The Production Of Space”, yaitu sebuah perilaku

manusia menganai proses produksi ruang melalui relasi produksi

yang terjadi di dalam sebuah relasi dan praktik sosial. Triad itu

sendiri merupakan tiga komponen wajib yang berperan pada

pembentukan makna tentang ruang dan memiliki keterlekatan satu

sama lain dan tidak dapat dipisahkan, yaitu Praktik Spasial (Spatial

Practice), Ruang Representasional (Representational Space) dan

Representasi Ruang (Representations of Space). (Lefebvre,

1991:33)

Triad ini digunakan sebagai pisau analisis dalam kajian

masyarakat bantaran sungai Winongo. Pertama, Praktek Spasial

dapat didefinisikan sebagai sebuah praktik atau aktivitas yang

dilakukan manusia terhadap tempat fisik (locus) dimana aktivitas

yang dilakukannya berpengaruh dalam proses pemaknaan ruang

secara lebih spsesifik. (Lefebvre,1991:38) Contoh, seseorang yang

pada awalnya melihat lahan kosong di pingggiran sungai tanpa

mengerti status kepemilikan lahan tesebut, lalu ia mendirikan

bangunan tempat tinggal dan menempatinya. Bisa dikatakan orang

tersebut telah melakukan pemaknaan ruang terhadap sebuah lahan

kosong menjadi sebuah rumah atau tempat tinggal. Seiring

berjalannya waktu, dan peraturan pemerintah mengenai

penggunaan lahan bantaran sungai lebih diperinci, orang tersebut

kemudian mengurus SHM (Sertifikat Hak Milik) atas lahan ia

tinggali selama ini, dimana aktivitas telah ia lakukan diatasnya.

Maka tindakan orang tersebut telah menjelaskan praktek spasial

menjadi lebih spesifik, karena ia mencoba memberikan status

keabsahan kepemilikan lahan baik secara geografis maupun

legalitas hukum.

Lebih lanjut lagi, sebagai contoh apabila lahan yang sudah

dibangun menjadi rumah tersebut kemudian dijadikan warung

dimana terjadi proses interaksi sosial-ekonomi di dalamnya secara

lebih spesifik. Maka, proses pemaknaan terhadap ruang yang

muncul kemudian tidak hanya sebatas praktek spasial atau fisik saja,

namun juga terdapat praktek simbolik yang tidak hanya cukup

apabila dijelaskan melalui poin pertama ini.

Kedua, Representasi Ruang adalah pemaknaan manusia

terhadap ruang secara simbolik dalam bentuk wacana dan konsepsi,

yang kemudian dipraktekan secara konkret melalui sistem tanda dan

bahasa (Lefebvre,1991:38-39) Pemaknaan ruang seperti ini dapat

berkembang dengan sangat luas tergantung ilmu pengetahuan yang

dimilki masing-masing manusia, Dalam konteks masyarakat

bantaran sungai Winongo, representasi ruang digunakan untuk

mengkritisi segala bentuk upaya penataan kawasan bantaran Sungai

Winongo (Kelurahan Kricak) dari pihak luar, baik itu dari lembaga

pemerintah maupun non-pemerintah.

Ketiga, Ruang Representasional adalah ruang yang penuh

dinamika, karena dalam ruang ini dihuni dengan berbagai

kepentingan yang diartikulasikan melalui hasrat dan tindakan.

Ruang representasional merupakan bentuk tindak lanjut atas wacana

dan konsepsi yang dibangun pada tahapan representasi ruang

(Lefebvre,1991:39). Dalam konteks penelitian ini, ruang

representasional digunakan untuk mengkaji dan menganilisis

berbagai bentuk penataan ruang yang sudah berjalan di bantaran

Sungai Winongo. Perspektif ini sekaligus digunakan untuk

mengkritisi apa yang membuat masyarakat setempat memilih

bertahan di kawasan bantaran sungai.

Konsep yang dikemukakan Lefebvre ini digunakan untuk

memahami ruang relasi yang terbentuk di masyarakat bantaran

sungai. Ruang relasi yang terbentuk itulah yang membantu

menjelaskan cara masyarakat bantaran sungai Winongo (Kelurahan

Kricak) dalam beradaptasi dengan resiko dan merespon ancaman

resiko atas penataan ruang yang datang dari pihak luar.

F. Metode Penelitian

F.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Kelurahan Kricak, Kecamatan

Tegalrejo, Kota Yogyakarta, D.I. Yogyakarta yang bersinggungan

langsung dengan Sungai Winongo. Sungai Winongo dipilih dikarenakan

pengembangan di daerah tersebut dirasa minim dibandingakan Sungai

Code maupun Gajahwong. Sedangkan pemilihan Kelurahan Kricak selain

karena daerah tersebut dilintasi sungai Winongo, kelurahan ini memiliki

jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Tegalrejo, yaitu mencapai angka

13.865 jiwa dengan luas wilayah sebesar 0,82 km2. Berikut Luas, Jumlah

Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan

Tegalrejo, Tahun 2011secara rinci:

Tabel 1.1.

Data Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan Tegalrejo Tahun 2011

Sumber: diambil dari “Laporan Akhir: Pendataan Kawasan Tidak Layak Huni Tahun

2011”, Lembaga Kerjasama Fakultas Teknik UGM dengan Badan Perncanaan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Yogyakarta.

F.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam studi ini peneliti mengkombinasikan dua teknik

pengumpulan data, yaitu wawancara dengan kuesioner berstruktur dan

wawancara mendalam (indepth interview) tidak berstrukur. Wawancara

dengan kuesioner berstruktur bertujuan untuk mendapatkan informasi

secara lebih menyeluruh terhadap lokasi penelitian. Sedangkan wawancara

mendalam tidak berstruktur, bertujuan untuk menelaah lebih dalam dan

Kelurahan Luas

(Km2)

Jumlah

Penduduk

Kepadatan

Penduduk

1. Tegalrejo 0,82 10.502 12.807

2. Bener 0,57 5.104 8.796

3. Kricak 0,82 13.865 16.908

4. Karangwaru 0,70 10.776 15.394

Jumlah 2,91 40.157 13.799

menangkap fenomena sosial yang tidak dapat dijelaskan dalam bentuk

angka maupun statistik.

Alasan pengkombinasian dua teknik pengumpulan data ini

mengingat bahwa studi yang dikaji memiliki permasalahan kompleks yang

kurang mendalam apabila menggunakan salah satu teknik pendekatan saja.

Interdisiplener penelitian juga mendorong peneliti dalam pemilihan metode

ini, dimana peniliti mengharapkan disiplin ilmu lain (diluar ilmu sosial)

mampu memahami studi yang dilakukan bahkan menjadikan penelitian ini

sebagai referensi penelitian selanjutnya. Pendekatan integratif ini dilakukan

demi menghasilkan pemahaman yang lebih baik.

Dalam penelitian ini, responden yang diwawancarai menggunakan

kuesioner adalah warga Kelurahan Kricak yang wilayah RT nya (Rukun

Tetangga) bersinggungan langsung dengan tepi sungai Winongo pada jarak

kurang dari 15 meter dengan talud sungai. Dalam pemilihan responden,

peneliti mengunakan teknik purposive, yaitu penentuan sampel yang

disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan penelitian, namun tidak

mengurangi konsekuensi di lapangan. Teknik ini dipilih dikarenakan

jumlah masyarakat bantaran sungai Winongo (Kelurahan Kricak) terus

berkembang secara dinamis, sehingga peneliti sulit untuk menentukan

jumlah populasi secara tepat. Baik Kelurahan, RW, maupun RT tidak

memiliki data pasti jumlah warga mereka yang tinggal di bantaran sungai

dengan jarak kurang dari 15 meter dengan talud sungai. Pada akhirnya

peneliti memetakan sendiri kawasan yang memenuhi kriteria pemilihan

responden dan memilihnya sesuai porsi yang ideal dan terbagi dalam setiap

RT dan Kampung di Kelurahan Kricak. Sedangkan untuk penentuan

informan wawancara mendalam tidak berstruktur, diambil dari sebagian

responden wawancara kuesioner berstruktur.

Dengan metode purposive, telah dipilih 60 responden yang

diwawancarai menggunakan kuesioner berstruktur dan diantara mereka

berjumlah 20 orang, juga dijadikan sebagai informan wawancara

mendalam tidak berstruktur (bagi responden yang memiliki pengalaman

khusus dan informasi yang mendukung studi terkait). Wilayah RT dan RW

yang masuk dalam ruang lingkup persebaran kuesioner antara lain:

Tabel 1.2.

Jumlah persebaran responden di Kelurahan Kricak

Wilayah RW Wilayah

RT

Jumlah Responden

Yang Diwawancarai

Nama

Kampung

RW 01 RT 01

RT 60

RT 61

(6 Responden)

(6 Responden)

(5 Responden)

Kampung

Jatimulyo

RW 02 RT 07

RT 08

RT 09

(1 Responden)

(3 Responden)

(1 Responden)

RW 03 RT 14 (1 Responden)

RW 08 RT 34

RT 35

(5 Responden)

(5 Responedn)

Kampung

Kricak Kidul

RW 09 RT 39

RT 41

(5 Responden)

(5 Responden)

RW 15 RT 56

RT 57

RT 59

(5 Responden)

(7 Responden)

(5 Responden)

Kampung

Bangunrejo

6 RW 14 RT 60 Responden 3 Kampung Sumber: Berdasarkan pemetaan lapangan oleh peneliti

Gambar 1.1. Peta Kelurahan Kricak, Kec. Tegalrejo, Kota Yogyakarta

Selain wilayah yang disebutkan diatas sebenarnya masih ada

RT/RW yang juga bersinggungan langsung (dengan jarak kurang dari

15 meter) dengan Sungai Winongo namun tidak dipilih sebagai

responden, yaitu wilyah RW 06 (mencakup RT 25, 26, 27, 28)

mengingat kawasan tersebut merupakan komplek perumahan

(Jatimulyo Baru), yang dinilai sudah tertata baik dan kurang berimbang

apabila dipilih sebagai responden penelitian.

F.3. Alur Penelitian

Skema 1.1.

Alur Penelitian

Observasi (Pemetaan Aktor)

Penentuan responden

(Penyusunan kuesioner guide)

Pengumpulan Data

Wawancara Kuesioner Wawancara Mendalam

Berstruktur Tidak Berstruktur

Analisis dan Teoritisasi Data

Penarikan Kesimpulan

Sumber: Model visualisasi peneliti

Skema yang ditampilkan diatas merupakan visualisasi alur

penelitian yang dikerjakan. Pada tahapan awal peneliti terlebih dahulu

melakukan pemetaan dan observasi terhadap wilayah atau lokasi penelitian.

Hal tersebut bertujuan untuk memetakan aktor-aktor kunci di lapangan

terkait dengan pemilihan narasumber penelitian (responden dan informan).

Hasil observasi membantu peneliti dalam penyusunan instrumen dalam

wawancara kuesioner berstruktur. Setelah kuesioner sudah siap, peneliti

turun ke lapangan sebagaimana alur yang digambarkan dalam alur diatas.

Diawali proses pengumpulan data, peneliti melakukan wawancara

menggunakan kuesioner berstruktur terhadap 60 responden yang telah

ditentukan, kemudian diantara mereka dilakukan wawancara mendalam.

Setelah keseluruhan data terkumpul (melalui wawancara kuesioner

dan wawancara mendalam) maka dilakukan penyortiran data, dimana hasil

temuan lapangan dibersihkan dan diklasifikasikan mana yang perlu untuk

ditampilkan dan mana yang tidak, sehingga memudahkan proses analisis.

Selanjutnya peneliti meleburkan dua data penelitian menjadi satu atau

mengintegrasikan hasil-hasil dari dua data secara berdampingan dalam

pembahasan, atau biasa disebut integrasi berdampingan (slide-by-slide

integration) (Creswell,2011:320).

Setelah data diintegrasikan, data lapangan dianilisis lebih lanjut

dengan teoritisasi yang telah disusun di bagian sebelumnya. Teoritisasi

digunakan peneliti sebagai pisau analisis kritis atas data lapangan yang telah

melewati pencampuran di pentahapan sebelumnya.

Di pentahapan terakhir penelitan, dilakukan penarikan kesimpulan

atas temuan lapangan yang telah diolah dan disajikan. Data yang sudah

terinegrasi dan dianalisis dengan teoritisasi menjadi acuan dalam

kesimpulan. Di tahapan ini peneliti menarik benang merah yang dianggap

mampu untuk menyimpulkan dan mewakili proses penelitian yang telah

dilakukan.

Pengkombinasian dua teknik ini (wawancara kuesioner berstruktur

dan wawancara mendalam tidak berstruktur) memiliki kekuatan yang

terletak pada keseimbangan data yang dimiliki. Jawaban yang diperoleh

dari wawancara kuesioner menggambarkan fenomena sosial yang dapat

diukur dan ditampilkan dalam bentuk angka, sedangkan wawancara

mendalam menghasilkan data yang lebih spesifik dalam lingkup kajian

mikro-sosiologi. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwasanya

pemahaman masyarakat bantaran sungai yang dikaji secara mikro dan

meso, mampu melahirkan jawaban-jawaban yang lebih mendalam dan

membumi serta ditunjang dengan data statistik yang diambil dari data

primer peneliti. Resiko dan ruang relasi, menjadi dua kata kunci dalam

proses pemaknaan ruang masyarakat bantaran Sungai Winongo (Kelurahan

Kricak). Sedangkan untuk kelemahannya terletak pada teknik pemilihan

responden yang dilakukan secara purposive, dimana peneliti tidak

mendapatkan jumlah pasti mengenai populasi penelitian secara resmi. Oleh

karena itu, peneliti melakukan pemetaan sendiri terhadap jumlah dan

persebaran responden yang diwawancarai.