bab i pendahuluan a. latar...

33
7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sekolah menjadi tempat bagi berlangsungnya proses-proses edukasi bagi siswa secara tersistem dan bertahap. Sekolah juga merupakan miniatur kehidupan dalam masyarakat. 1 Anggapan bahwa sekolah sebagai gambaran tentang dunia yang lebih besar lagi ditunjukkan melalui adanya proses belajar dan mengajar antara guru dengan siswa. Artinya ada guru, siswa, dan realitas dunia yang saling berhubungan dalam konteks pemahaman pembelajaran. Pendidikan yang diselenggarakan di sekolah menetapkan adanya jenjang-jenjang bertahap yang dimulai dari sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga bangku perguruan tinggi. Sekolah tidak hanya seputar „dunia ruang kelas beserta tumpukan buku dan tuntutan agar mencapai prestasi melalui nilai saja. Kegiatan utama ini disebut sebagai kegiatan intrakurikuler. Di samping kegiatan intrakurikuler terdapat pula fasilitas bagi para siswanya dengan berbagai bentuk kegiatan penunjang. Organisasi seperti OSIS dan ekstrakurikuler menjadi ruang alternatif dengan harapan siswa-siswi tidak hanya unggul di bidang akademis tetapi memiliki kemampuan yang memadai pada ranah soft skill. Tak hanya itu, keberadaan ektrakurikuler misalnya memiliki fungsi sebagai arena penyaluran minat dan bakat siswa yang tidak diperoleh di dalam kelas. Pengembangan prestasi di ranah non-akademis misalnya. Di samping itu juga agar dapat mengasah kapabilitas siswa dalam membangun jaringan melalui mekanisme-mekanisme yang sifatnya 1 Saksono, Ign. Gatut, Pendidikan yang Memerdekakan Siswa (Yogyakarta:Rumah Belajar Yabinkas), 2008. Hal. 83

Upload: trankhuong

Post on 03-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sekolah menjadi tempat bagi berlangsungnya proses-proses edukasi bagi siswa secara

tersistem dan bertahap. Sekolah juga merupakan miniatur kehidupan dalam masyarakat.1

Anggapan bahwa sekolah sebagai gambaran tentang dunia yang lebih besar lagi ditunjukkan

melalui adanya proses belajar dan mengajar antara guru dengan siswa. Artinya ada guru,

siswa, dan realitas dunia yang saling berhubungan dalam konteks pemahaman pembelajaran.

Pendidikan yang diselenggarakan di sekolah menetapkan adanya jenjang-jenjang bertahap

yang dimulai dari sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah

Menengah Atas (SMA), hingga bangku perguruan tinggi.

Sekolah tidak hanya seputar „dunia ruang kelas� beserta tumpukan buku dan tuntutan

agar mencapai prestasi melalui nilai saja. Kegiatan utama ini disebut sebagai kegiatan

intrakurikuler. Di samping kegiatan intrakurikuler terdapat pula fasilitas bagi para siswanya

dengan berbagai bentuk kegiatan penunjang. Organisasi seperti OSIS dan ekstrakurikuler

menjadi ruang alternatif dengan harapan siswa-siswi tidak hanya unggul di bidang akademis

tetapi memiliki kemampuan yang memadai pada ranah soft skill.

Tak hanya itu, keberadaan ektrakurikuler misalnya memiliki fungsi sebagai arena

penyaluran minat dan bakat siswa yang tidak diperoleh di dalam kelas. Pengembangan

prestasi di ranah non-akademis misalnya. Di samping itu juga agar dapat mengasah

kapabilitas siswa dalam membangun jaringan melalui mekanisme-mekanisme yang sifatnya

1 Saksono, Ign. Gatut, Pendidikan yang Memerdekakan Siswa (Yogyakarta:Rumah Belajar Yabinkas), 2008. Hal. 83 

8

formal dan organisatoris. Beberapa ekstrakurikuler pilihan yang ditawarkan tentu beragam.

Di antaranya jurnalistik, pasukan baris-berbaris (pleton inti), pecinta alam, teater, public

speaking, paduan suara, basket, kelompok riset dan masih banyak lagi.

Namun kegiatan-kegiatan yang kemudian terorganisir dalam bentuk organisasi

ekstrakurikuler ini tidak menutup kemungkinan munculnya ruang-ruang lain di luar itu.

Ruang ini terbentuk atas asas kolektifitas para siswa yang ada di dalam sekolah sehingga

tidak berada di bawah payung regulasi sekolah. Ruang lain yang tumbuh di dalam lingkup

sekolah yang bisa dikatakan merupakan ruang minor. Arti dari ruang minor itu sendiri terkait

dengan sifatnya yang cenderung mengarah pada hal-hal negatif dan ilegal. Dunia pendidikan

dewasa ini masih disibukkan oleh problem kemunculan geng-geng pelajar yang meresahkan,

tidak hanya bagi warga sekolah tetapi secara lebih luas lagi bagi masyarakat. Maraknya aksi-

aksi kekerasan antar geng pelajar di berbagai kota masa kini kian menambah catatan buram

dunia generasi muda.

Seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan di Yogyakarta, dari tahun ke tahun

angka tawuran pelajar di kota ini turut meningkat. Kasus yang terjadi tidak semua

diselesaikan melalui jalur penal atau hukum pidana tetapi ada yang diselesaikan melalui jalur

non penal dengan mediasi atau musyawarah secara kekeluargaan. Di tahun 2009 angka kasus

kekerasan tertinggi dilakukan oleh pelajar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu

sebesar 50%. Sementara untuk kalangan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) prosentase

yang ditunjukkan sebesar 6,77%.2 Meski demikian, kasus kekerasan antar pelajar SMA

marak terjadi. Beberapa sumber menunjukkan bahwa angka atau penurunan dari segi

kuantitas belum pasti mampu merepresentasi keadaan yang sebenarnya. 2 Dikutip dari Kurnia Budi Nugroho. Pendekatan Penal dan Non Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan dan Pengeroyokan Oleh Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yogyakarta. 2010. Skripsi Fakultas Hukum UII: Yogyakarta. 

9

Pada beberapa kasus bahkan hingga menyebabkan adanya korban jiwa yang

meninggal dunia. Salah satu aksi kekerasan yang identik dengan pelajar adalah tawuran antar

geng sekolah. Bermula sejak tahun 1990-an, khazanah geng remaja di Yogyakarta mulai

banyak diwarnai geng sekolah setingkat SMA, yaitu geng yang dibentuk oleh para siswa

sekolah tersebut.3 Sifat keanggotaan geng ini eksklusif karena tiap geng beranggotakan

siswa-siswa sekolah itu sendiri. Nilai dan norma yang diyakini oleh geng sebagai kelompok

sosial ini cenderung bersifat eksklusif karena dijadikan suatu tanda dari adanya identitas yang

berbeda dengan kelompok lain.

Studi-studi mengenai geng pelajar ini telah banyak dilakukan oleh para akademisi

dengan fokus-fokus kajian yang beragam. Tetapi jika ditarik benang merah dapat

disimpulkan bahwa ternyata sekolah juga memiliki kecenderungan dalam memunculkan

arena reproduksi kekerasan secara sosial dan kultural yang dilakukan oleh para siswanya. Hal

yang menarik adalah kontradiksi yang tercipta dengan hadirnya geng pelajar dengan segala

bentuk negativitasnya justru terjadi di dalam sekolah. Selama ini sekolah dianggap sebagai

poros area yang membentuk individu-individu terpelajar dan beradab melalui internalisasi

nilai-nilai serta proses yang mendidik.

Sementara sekolah selama ini diharapkan menjadi lingkungan pembentuk kepribadian

individu yang terpelajar dan berbudi. Fenomena ini mendorong peneliti mengasumsikan

bahwa mungkin ada beberapa aspek kebutuhan dari sebagian diri siswa yang tidak

„tertangkap� oleh pihak sekolah. Hingga pada akhirnya para siswa sendirilah yang berinisiatif

menciptakan ruang alternatif baru bagi mereka sehingga dirasa kebutuhan mereka yang tidak

tertampung sekolah terpenuhi. Salah satu ruang ini muncul dalam bentuk geng. 3 Jatmika, Sidik. Genk Remaja (Yogyakarta:Penerbit Kanisius), 2010. Hal. 85 

10

Sebagian sekolah di beberapa kota bahkan menyandang predikat “sekolah tawur”.

Salah satunya SMA Negeri 6 Yogyakarta. Sebagian besar pelajar sekolah ini dikenal

seringkali terlibat aksi tawuran antar pelajar dengan sekolah lain. Image ini telah cukup lama

lekat di sekolah yang kini mulai lebih dikenal sebagai sekolah berbasis riset. Geng pelajar

sekolah ini bernama GNB. GNB sendiri merupakan kepanjangan dari “Gerakan Non Bodjo”

yang berarti para anggotanya adalah para siswa SMA 6 yang tidak memiliki kekasih.

Sebelumnya geng ini bernama De Pazter (Depan Pasar Terban). Nama kelompok ini

digunakan karena letak sekolah yang berhadapan dengan Pasar Terban di sebelah Barat.

Sebagai sebuah bentuk kelompok, GNB dimaknai oleh para anggotanya sebagai

wadah yang menguatkan solidaritas antar angkatan, terutama bagi siswa laki-laki. Meski

demikian mereka menganggap bahwa seluruh siswa SMA Negeri 6 Yogyakarta merupakan

anggota GNB yang harus dibela tanpa kecuali. GNB berdiri bukan sebagai sebuah organisasi

resmi seperti OSIS, ekstrakurikuler atau bersifat melembaga sekalipun. GNB ada atas dasar

solidaritas tiap angkatan. Basis kekuatan kelompok ini berupa ikatan komunal yang terjalin

antar angkatan bahkan dengan para alumni.

Di sisi lain, keberadaan kelompok ini justru dianggap oleh pihak sekolah sebagai

sesuatu yang harus dihindari oleh siswa-siswanya terutama bagi peserta didik angkatan

pertama. Hal ini disebabkan karena aktivitas kelompok yang cenderung negatif dan

membahayakan diri sendiri serta nama baik sekolah. Sejak awal tahun 2000-an kelompok

pelajar ini seringkali terlibat adu fisik atau tawuran dengan kelompok pelajar dari SMA lain.

Pada umumnya sebagian besar geng pelajar memiliki bentuk-bentuk aktivitas yang

seragam di antaranya aksi coret-coret tembok sebagai sebuah penanda identitas dan wilayah

kekuasaan, klithih (istilah yang kurang lebih berarti “mencari musuh di jalanan”) hingga

berujung pada aksi-aksi yang mendorong konflik maupun kekerasan secara terbuka. Tidak

11

terkecuali GNB. Kenakalan anggota geng pelajar ini sangat dikenal tidak hanya antar pelajar SMA tetapi juga oleh masyarakat Yogyakarta.

Menurut penuturan beberapa orang guru, siswa-siswa SMA 6 dikenal tak dapat

dikendalikan oleh guru. Bahkan terkadang guru yang menerima akibat dari kekerasan yang

mereka lakukan. Selain itu tak jarang ada siswa menginap di sekolah. Pada intinya, siswa-

siswa sangat sulit diatur. Sementara semangat dalam berkelahi cukup tinggi.

Sebagai arena sosialisasi sekaligus pendidikan, sekolah berpotensi melahirkan

berbagai bentuk kebudayaan di dalamnya. Geng pelajar GNB dalam hal ini tergolong sebagai

sebuah folklor, yang kurang lebih dimaknai sebagai sub kultur dari sesuatu yang bersifat

kolektif yang didistribusikan dan diwariskan turun-temurun melalui tradisi. Reproduksi nilai-

nilai kelompok ini dilakukan dengan cara yang terbuka sehingga membuat bergabungnya

para siswa secara sukarela akibat dari internalisasi simbol yang kurang tepat.

Kaum muda, dalam hal ini remaja khususnya, diposisikan sebagai salah satu sumber

patologi4 sosial. Mereka dianggap tidak hanya sebagai agen dalam pendefinisian ulang nilai-

nilai, tetapi juga menunjuk pada kisah-kisah pembangkangan. Bradley menyebutkan saat ini

kaum muda dipahami lekat dengan perilaku devian yang keluar dari nilai dan aturan normatif

lingkungan tertentu. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya berada di

dalam ruang lingkup kondisi kejiwaan remaja yang secara umum memiliki sifat-sifat : (1)

ingin diperhatikan (2) senang berfantasi (3) mengandalkan rasa “aku” nya (4) ingin

mengetahui masalah seksual dan lain sebagainya. Sekolah, sebagai arena sosialisasi yang

penting dalam pembentukan kepribadian individu remaja justru menjadi arena cikal-bakal

kenakalan remaja. Salah satunya adalah tawuran antar pelajar. 4 Para ahli sosiologi menyebutnya sebagai segaa bentuk perilaku yang bertentangan dengan norma kebaikan, moral, stabilitas lokal, dan hukum formal. 

12

Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud menjadikan SMA Negeri 6 Yogyakarta

sebagai obyek kajian terkait dengan geng pelajar bernama GNB yang secara regeneratif

tumbuh di dalamnya. Riset mengenai GNB sendiri pernah dilakukan oleh Muhammad Dwiki

Prastianto, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, di dalam

skripsinya yang berjudul Pergulatan Membangun Identitas (Studi Tentang Formasi,

Kontestasi, dan Dinamika Pergulatan Identitas Geng Pelajar GNB di Kota Yogyakarta

Periode Tahun 2005-2010) . Di dalam skripsi tersebut dibahas mengenai aspek-aspek

kekuasaan yang berkembang dalam formasi atau pembentukan identitas geng pelajar dalam

konteks kelompok, serta pergulatan identitas yang berlangsung di dalam tubuh GNB sebagai

kelompok sosial yang sarat oleh hal-hal yang sifatnya patologis.

Dom Helder Camara dalam skripsi Tantra Gumilar dengan judul “Reproduksi Nilai

Kekerasan Langsung Gang Sunday Morning Cartoon” menyebutkan bahwa kekerasan tidak

berdiri sendiri. Ia muncul sebagai rantai fantasi berikutnya sehingga menyebabkan reproduksi

kekerasan yang tidak ada habisnya. Kelompok adalah individu yang mempunyai ikatan

emosional bersama, dimana jika satu kejadian mempengaruhi seseorang dalam kelompok

maka anggota lain akan terpengaruh. Dalam konteks ini keberadaan geng pelajar tetap ada di

setiap angkatan dipengaruhi oleh adanya dendam dari generasi sebelumnya terhadap musuh-

musuh mereka yang kemudian diwariskan kepada generasi baru. Hal ini yang menjadikan

musuh tersebut sebagai musuh bersama.

Pada kesempatan ini melalui pendekatan dan fokus yang berbeda peneliti mencoba

untuk menelusuri motif di balik berdirinya GNB sebagai sebuah ruang atau wadah serta

konsekuensi yang timbul karenanya. Bagaimana siswa yang terlibat di dalam aktivitas geng

mengkonstruksi nilai-nilai kelompok lalu mengasosiasikan dirinya sebagai anggota. Jika

menilik dari aspek resiprokalitas, eksistensi GNB sebagai geng pelajar yang hampir

13

memasuki tahun ke 20 ini tentunya memiliki dinamika mulai dari konstruksi nilai-nilai yang

berkembang hingga dampak yang ditimbulkan terhadap segala bentuk aktivitas internal

siswa. Dinamika yang cenderung menampilkan adanya perubahan pemaknaan nilai inilah

yang menarik. GNB seringkali dipahami sebagai bentuk penyimpangan social yang tercipta

dari dalam lingkungan sekolah. Pernyataan ini bukan tanpa alasan jika melihat aktivitas-

aktivitas yang dilakukan kelompok ini.

Namun mungkin yang luput dari pengamatan selama ini adalah bagaimana individu

dalam kelompok memaknai dan memandang GNB sebagai sebuah wadah, saluran

komunikasi, atau geng. Selama ini pokok perhatian dan persepsi yang diciptakan oleh

masyarakat terkait aktivitas-aktivitas GNB yang cenderung berbau kekerasan hanya

dipusatkan pada sejarah dan setting terjadinya kekerasan tersebut. Sementara di sisi lain

tindakan kekerasan dipahami sebagai instrumen bagi pencapaian tujuan-tujuan individu dan

kelompok. Berbagai tindakan itu pun mengalami penghalusan dari “doing violence” ke

“saying violence” dimana bentuk-bentuk simbolik kekerasan justru menjadi alat negosiasi

dan pembentukan sistem dan tatanan sosial.5

Para anggota GNB yang bersinggungan langsung dengan para siswa yang tidak ikut

serta didalam geng sedikit banyak tentu memberikan implikasi meskipun tidak secara

langsung. Salah satu contohnya bisa dilihat melalui mobilisasi massa saat pemilihan ketua

OSIS tiba misalnya. Indikasi ini timbul karena kuatnya penanaman prinsip-prinsip dan

doktrin kelompok untuk menyamakan visi dan misi seluruh siswa di dalam SMA Negeri 6

tanpa kecuali. Konsep mobilisasi secara politis ini dikonstruksi dengan mewariskan nilai-nilai

bentukan kelompok secara berkelanjutan antar angkatan. 5 Dikutip dari Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), 2006. Hal. 205 

14

Hal yang menarik lainnya bahwa GNB telah dibubarkan oleh kelompok itu sendiri.

GNB disebut-sebut telah dibubarkan di tahun 2010 yang lalu setelah cukup dikenal melalui

eksistensinya sejak tahun 1995. Salah satu alasan yang menyeruak ke permukaan adalah

bahwa pembubaran ini berkaitan erat dengan kebijakan yang diterapkan oleh pihak sekolah

sebagai sebuah strategi pengembalian kembali fungsi sekolah sebagai arena pendidikan dan

pembentukan karakter manusia berbudi. Tujuan pendidikan adalah memungkinkan orang

menemukan kepribadiannya, membentuk kepribadiannya dengan memanusiakan manusia.6

Selain itu para alumni7 terutama melihat GNB telah mengalami banyak pergeseran

dari tujuan awal berdirinya dulu sehingga akhirnya diputuskan agar kelompok ini bubar.

Pergeseran seperti apa yang dimaksud tentu berhubungan erat dengan bagaimana melalui

GNB fungsi-fungsi dari sebuah kelompok dipraktekkan di ranah riil, khususnya di

lingkungan sekolah. Peneliti mencoba memfokuskan kajian kepada sejauh mana pergeseran

nilai dalam kelompok terjadi dengan rentang waktu yang tidak pendek. Penelitian ini

nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu dokumen rekam jejak historis atas eksistensi

GNB sebagai sebuah kelompok pelajar di Yogyakarta.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana dinamika yang terjadi dalam proses konstruksi nilai-nilai pada GNB

sebagai geng pelajar sejak awal kemunculannya hingga dibubarkan?

2. Bagaimana dampak eksistensi GNB terhadap kegiatan kesiswaan? 6   Diunduh dari http://almasakbar45.blogspot.com/2011/01/sejarah‐dan‐dinamika‐pendidikan.html pada tanggal 12 November 2013 pukul 19.26 WIB 7 Alumni yang dimaksud adalah alumni yang pernah terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan 

kegiatan kelompok dalam GNB. 

15

C. Tujuan penelitian

1. Melakukan identifikasi secara khusus terhadap fenomena GNB sebagai sebuah

geng dan tujuan-tujuan yang menyertainya

2. Melakukan analisis terhadap kasus geng pelajar GNB pada ragam bentuk kegiatan

para siswa SMA Negeri 6 Yogyakarta.

D. Manfaat penelitian

1. Kontribusi sosiologis bagi dunia akademis melalui hasil penelitian berupa rekam

jejak sejarah mengenai kelompok pelajar di Yogyakarta.

2. Refleksi bagi dunia pendidikan, khususnya para siswa dan tenaga pelajar SMA

Negeri 6 Yogyakarta, agar dapat melihat dari berbagai sisi atas keberadaan geng

pelajar GNB.

E. Kajian pustaka

E.1. Organisasi

Jika merujuk pada fungsi organisasi atau ekstrakurikuler di dalam sekolah sebagai arena

penyaluran potensi siswa yang tak tertampung di ruang kelas rupanya tidak sepenuhnya

tercapai. Philip Selznick menjelaskan organisasi dari perspektif formal dan mikro.

Menurutnya organisasi merupakan ruang dari pembentukan individu-individu untuk

memfasilitasi accomplishment dari beberapa tujuan sekaligus terdapat tujuan dan fungsi yang

menyertai di dalamnya.

Dalam pengembangan lebih jauh konsep organisasi tersebut menjadi lebih luas ke dalam

definisi Chester I. Barnard yaitu “Cooperation of two or more persons, a system of

16

consciously coordinated personal activities or forces”.8 Sebagai sebuah bentuk organisasi

formal di dalam sekolah ekstrakurikuler dirasa seudah cukup mewadahi potensi non

akademik maupun aspirasi para siswanya. Namun rupanya keberadaan ekstrakurikuler tidak

menutup kemungkinan munculnya ruang-ruang lain yang sifatnya non formal atau tidak

berada di bawah payung regulasi sekolah.

E.2. Kelompok Sosial

Suatu kelompok sosial dimaknai sebagai kesatuan individu-individu yang didasari

oleh macam-macam hal. Pembentukan kelompok bisa terjadi karena kesamaan misi, jenis

kelamin, kemiripan asal-usul dan sebagainya. Page dan Mac. Iver9 melihat kelompok sebagai

suatu himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, memiliki hubungan

timbal balik, dan memiliki kesadaran untuk saling tolong menolong.

Analogi yang digunakan Olmsted dalam Pengantar Sosiologi Kelompok untuk

menjelaskan secara mendetail tentang kelompok sosial adalah dengan membayangkan orang-

orang yang sedang menyaksikan harimau di kebun binatang. Meskipun berada di tempat yang

sama atau dengan ketertarikan yang serupa, melihat-lihat harimau dari luar kandang, orang-

orang tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kelompok sosial. Akan berbeda keadaannya

ketika kondisi berubah manakala harimau itu lepas dari kandang sehingga mereka terjebak di

dalam situasi ketakutan yang sama, yang pada akhirnya mendorong satu sama lain untuk

berkoordinasi menyelamatkan diri bersama-sama.

Perubahan status dari sebuah kerumunan ke bentuk kelompok sosial seperti analogi di

atas terjadi ketika masing-masing individu di dalamnya saling berinteraksi dan bekerja

8 Dikutip dari Amitai Etzioni, Complex Organization : A Sociological Reader, 1961 dalam Ndraha, Taliziduhu.Teori Budaya Organisasi.(Jakarta:PT. Rineka Cipta).2005 9 Dalam http://iesdepedia.com/blog/2013/02/13/1008/ diunduh pada tanggal 16 November 2013 pukul 14.06 

WIB 

17

bersama untuk mencapai satu tujuan yang sama. Meski dari contoh di atas keberadaan

kelompok hanya bersifat sementara. Karakteristik lain yang dimiliki kelompok sosial adalah

terciptanya suatu pola hubungan yang berlangsung secara intens yang kemudian lambat laun

memunculkan bentuk kebudayaan kelompok. Pembentukan gagasan-gagasan atau nilai-nilai

terdiri dari suatu proses pemusatan keputusan yang merupakan kesepakatan bersama.

Hal terpenting dari sebuah kebudayaan kelompok adalah bahwa hal-hal di dalamnya

tercipta sebagai suatu gejala yang mencerminkan kesamaan pandangan mengenai situasi dan

proses kelompok dalam melakukan interaksi dengan masyarakat. Jika suatu kelompok

merupakan bagian dari masyarakat yang lebih besar, maka bisa jadi kebudayaan yang ada di

kelompok tersebut adalah kebudayaan khusus. Namun tidak menutup kemungkinan jika

kebudayaan khusus kelompok tersebut bertentangan dengan kebudayaan masyarakat luas

atau sering disebut counter culture. Misalnya kebudayaan khusus remaja nakal.10

Dalam konteks kelompok, pembentukan identitas dapat dipahami sebagai proses

produksi identitas. Ada mekanisme-mekanisme yang dilakukan untuk menanamkan identitas

tertentu dan menginternalisasikan nilai yang dibawa kelompok. Terapan dari mekanisme-

mekanisme inilah yang membuat identitas kelompok akhirnya diamini individu-individu

didalamnya sebagai identitas sosialnya.11 Terbentuknya sebuah kelompok tidak terlepas dari

adanya ikatan emosional (afeksi) antar individu yang kemudian menimbulkan adanya rasa

memiliki dalam kebersamaan. Pada akhirnya tiap-tiap anggota akan saling terkait dalam

mencapai tujuan-tujuan dan menjalankan peranan dalam kelompok. 10 Soekanto, Soerjono.Pengantar Sosiologi Kelompok.(Bandung:Remadja Karya CV). 1986. Hal. 53 11 Lihat Dwiki Prastianto. Pergulatan Membangun Identitas (Studi Tentang Formasi, Kontestasi, dan Dinamika Pergulatan Identitas Geng Pelajar GNB di Kota Yogyakarta Periode Tahun 2005‐2010). Skripsi Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM: Yogyakarta. 2013. 

18

Menurut Soetarno12 melalui kutipan hasil penelitian sosiologi dan psikologi sosial

menunjukkan ciri-ciri kelompok sosial antara lain :

1. Memiliki motif yang sama di antara anggotanya

Kesamaan motif membentuk sebuah kelompok memberikan tenaga moral yang

mustahil diperoleh jika ia sebagai individu hidup sendiri. Motif inilah yang

menjadi pengikat agar tiap anggotanya bekerja bersama untuk mencapai tujuan

tertentu.

2. Adanya sikap in-group dan out-group

Sikap in-group lebih menekankan pada aspek interaksi internal antara anggota

kelompok. Sikap ini juga dapat berarti penerimaan anggota kelompok terhadap

anggota lain yang tergabung di dalam kelompok melalui pembuktian dan

kesediaannya berkorban. Sementara sikap out-group dipengaruhi oleh adanya

perbedaan yang terentang antara satu kelompok dengan kelompok lain. Artinya

sikap ini ditunjukkan manakala kelompok bersinggungan dengan kelompok lain

sebagai aktor eksternal.

3. Adanya solidaritas

Terciptanya sebuah solidaritas tergantung pada tingkat kepercayaan tiap anggota

terhadap anggota lain atas kemampuannya melakukan tugas dengan baik. Aspek

ini seringkali dikaitkan dengan unsur kesetiakawanan satu sama lain. Asumsinya

semakin kuat solidaritas yang terjalin maka akan makin tinggi pula sense of

belonging terhadap kelompok. 12 Dalam Huraerah, Abu. Dinamika Kelompok. (Bandung:PT Refika Aditama). 2006. Hal. 6 

19

4. Adanya struktur kelompok

Strukturisasi dalam sebuah kelompok tidak dapat dilepaskan dari bentuk atau sifat

kelompok itu sendiri. Misalnya jika kelompok terdiferensiasi menjadi kelompok

formal dan non formal. Tentu keduanya memiliki struktur yang berbeda. Dalam

konteks ini kelompok non formal memiliki struktur yang cenderung lebih fleksibel

sekalipun tetap ada posisi-posisi fungsional yang dimiliki anggota.

5. Adanya norma-norma yang disepakati kelompok

Norma yang dimaksud disini dimanifestasi kan sebagai pedoman yang mengatur

tingkah laku individu, tentang apa yang boleh dan tidak dilakukan. Dalam

kelompok non formal seperti geng, norma-norma yang dijalankan biasanya tidak

tertulis namun disepakati bersama.

E.3. Penelitian

Aksi-aksi kekerasan pelajar di Yogyakarta memang menarik untuk dikaji. Beberapa

penelitian tentang tawuran dan eksistensi geng-geng pelajar SMA khususnya telah banyak

dilakukan oleh para akademisi. Penelitian mengenai GNB sendiri pernah dilakukan

sebelumnya oleh Dwiki Prastianto, mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan Universitas

Gadjah Mada angkatan 2008, dalam skripsi yang berjudul “Pergulatan Membangun

Identitas (Studi Tentang Formasi, Kontestasi, dan Dinamika Pergulatan Identitas Geng

Pelajar GNB di Kota Yogyakarta Periode Tahun 2005-2010)”.

Hasil penelitian tersebut mengulas tentang bagaimana identitas kelompok yang dalam

hal ini dipersempit lagi maknanya sebagai geng pelajar GNB dikonstruksi oleh para

anggotanya secara turun-temurun. Di dalamnya dijelaskan bagaimana aktivitas-aktivitas

dan ritualisme geng justru dipahami oleh anggotanya sebagai bentuk lain atau alternatif

20

dalam membela nama baik almamater. Kebanggaan yang diperoleh dengan membawa

nama sekolah ini memunculkan anggapan bahwa geng tersebut mewakili sebuah

almamater tertentu. Geng pelajar adalah sekelompok siswa yang menegaskan diri mereka

dalam sebuah nama. Pada umumnya geng pelajar terbentuk dalam sebuah lingkup

almamater yang sama. Dalam perkembangannya, geng pelajar ini dekat sekali dengan

kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan negative.

Jika dilihat dari proses interaksional, identitas GNB ini merupakan identitas sosial

yang keberadaanya dihasilkan melalui proses yang cenderung deduktif. Dimana dalam

perspektif model ini, kelompok GNB dimaknai sebagai sumber identitas sosial individu

didalamnya. GNB pada dasarnya telah memiliki dan mempraktikkan atribut dan nilai-

nilai tertentu yang mengikat anggotanya menjadi satu kesatuan kolektif. Identitas sosial

pada perspektif ini diturunkan oleh kelompok kepada individu, melalui internalisasi nilai

dan atribut kelompok ke dalam konsep diri individu. Identitas sosial dalam model ini

dipahami sebagai konsekuensi logis yang muncul dari interaksi antara individu dan sistem

nilai dalam kelompok, sehingga pada tahap tertentu akhirnya kebiasaan kelompok GNB

ini terikat dan melahirkan kesadaran sebagai seorang anggota kelompok.

Selain itu di dalam bukunya yang berjudul Genk Pelajar, Dr. Sidik Jatmika Msi

memaparkan dengan lengkap dan terperinci mengenai sejarah kemunculan geng-geng

remaja di Yogyakarta termasuk di dalamnya geng-geng pelajar SMA. Kendati ia

menggolongkan bahwa keberadaan geng remaja memiliki stigma negatif, sebenarnya hal

tersebut lebih disebabkan oleh ketidakmampuan para remaja untuk memahami dan

menyepakati aturan-aturan budaya, masyarakat dan komunitas tempat berfungsinya

dengan sebagaimana mestinya. Inilah yang disebut Jurgen Habermas sebagai bentuk

distorsi komunikasi dalam diri remaja.

21

Secara umum menurut Paul B. Horton terdapat tiga langkah dalam mengupayakan

pengendalian dan kontrol atas penyimpangan sosial (social deviation). Pertama,

internalisasi nilai-nilai melalui kelompok informal. Keterlibatan lembaga sosial seperti

keluarga dan sekolah dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menekan pertambahan

jumlah dan aksi-aksi kekerasan geng. Kedua, penerapan hukum pidana. Dengan adanya

sanksi secara hukum diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku tindak

kekerasan pelajar.

Yang terakhir, dekriminalisasi. Artinya ekesistensi geng pelajar ini diakui oleh

negara. Bukan berarti negara melegalkan tindakan-tindakan kriminalitas yang dilakukan

oleh geng pelajar. Sebaliknya disini negara lebih mengarah kepada satu betuk afiliasi

terhadap ekspresi dan potensi yang dimiliki sebuah geng agar dapat dikembangkan ke

arah yang positif. Misalnya dengan pemberian ruang atau media khusus untuk seni grafiti

yang selama ini sering dilakukan di berbagai fasilitas publik yang cenderung meresahkan

masyarakat.

Hingga saat ini definisi spesifik mengenai “geng” itu sendiri belum sepenuhnya jelas.

Namun setidaknya bagaimana sebuah kelompok sosial dikategorikan sebagai geng

diamati melalui beberapa karakteristik. Ciri-ciri utama geng remaja di Indonesia di

antaranya sebagai berikut :

1. Pewarisan nilai-nilai nya didistribusikan melalui tutur kata atau mulut ke mulut.

Hal ini membuka kemungkinan terjadinya perubahan, baik itu pengurangan maupun

penambahan, dalam consensus kelompok tersebut.

2. Sifatnya tradisional. Konsep geng disebarkan dalam bentuk relative tetap di antara

kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.

22

3. Hadir dalam berbagai versi.

4. Bersifat anonim. Sebagian besar geng pelajar di Yogyakarta khususnya, tidak

diketahui secara jelas siapa dan dimana penciptanya

5. Memiliki pola tertentu

6. Menurut Ted Robert Gurr (dalam buku “Genk Remaja”) geng mempunyai fungsi

sebagai sarana pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan gambaran atau proyeksi

keinginan yang terpendam.

7. Bersifat pralogis karena logika yang digunakan dan disepakati biasanya tidak sesuai

dengan logika secara umum pada masyarakat kebanyakan

8. Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.

9. Menurut Frank Hearn dalam buku yang sama mengatakan bahwa sifat geng

umumnya bersifat polos dan lugu sehingga cenderung tampak kasar atau terlalu spontan.

Hal ini disebabkan karena folklor13 merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur.

F. Kerangka teoritis

(1) Sosiologi Pengetahuan dan Teori Konstruksi Sosial Peter L.Berger dan Thomas

Luckmann

Menurut Collins Dictionary of Sociology, sosiologi pengetahuan merupakan

sebuah cabang ilmu sosiologi yang mengkaji proses-proses sosial yang melibatkan

produksi pengetahuan. Sosiologi pengetahuan menganalisis keterkaitan antara

pengetahuan dan eksistensi serta menelusuri bentuk-bentuk perkembangan intelektual

13 Folklor sering diartikan sebagai sebagian dari kebudayaan dari kolektivitas yang tersebar dan diwariskan 

secara turun‐temurun. 

23

manusia. Menurut Peter Berger dan Luckmann pengetahuan yang dikembangkan

manusia hingga kini adalah kenyataan. Apa yang ditemui manusia pada kehidupannya

sehari-hari merupakan sesuatu yang mereka tafsirkan. Proses pembentukan

pengetahuan dipengaruhi oleh pola perilaku dan pikiran dari masing-masing individu.

Asumsinya adalah bahwa pengetahuan manusia tidak bisa lepas dari

subjektivitas individu yang memiliki pengetahuan tersebut. Pengetahuan dan

eksistensi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Semua manusia akan

menangkap realitas berdasarkan perspektif yang dimilikinya. Latar belakang sosial

dan psikologi individu yang memiliki pengetahuan memiliki pengaruh dalam proses

menginterpretasikan dan kemudian memahami pengetahuan tersebut. Konsep awal

sosiologi pengetahuan berasal dari gagasan Karl Marx bahwa keberadaan individu

pada suatu konteks sosial turut mempengaruhi kesadaran dalam pemikiran dan

perspektif individu tersebut.

Poin utama dari sosiologi pengetahuan adalah bahwa terdapat cara-cara

berpikir yang tidak dapat dipahami secara memadai selama asal usul sosialnya tidak

jelas. Sosiologi pengetahuan berupaya memahami pemikiran dalam latar belakang

konkret dari situasi sosial historis tertentu yang memunculkan pikiran individual yang

berbeda-beda secara bertahap-tahap. Konsep ini mengandung pengertian bahwa

sesungguhnya bukan manusia sebagai individu yang berpikir tetapi manusia dalam

kelompok, pikiran manusia sebenarnya merupakan pikiran kelompoknya. Karena

sesungguhnya apa yang ada dalam pikiran seseorang berasal dari kelompok. Sehingga

pemikiran seseorang merupakan cermin dari pemikiran kelompok, pengetahuan

seseorang merupakan cermin pengetahuan kelompok dan pandangan seseorang

merupakan cermin pandangan kelompok.

24

Sosiologi pengetahuan yang dikembangkan oleh Berger dan Luckmann

mendasarkan pengetahuan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai

kenyataan. Mereka menyatakan bahwa dunia kehidupan sehari-hari menampilkan diri

sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia.14 Kenyataan dalam kehidupan

sehari-hari ini sifatnya intersubjektif karena dipahami oleh tiap individu yang ada

dalam masyarakat secara bersama-sama. Meskipun begitu bukan berarti perspektif

dan pemahaman mereka sudah pasti memiliki kesamaan. Beberapa di antaranya

sangat mungkin bertentangan sama sekali. Dapat disimpulkan bahwa kenyataan

dikonstruksi secara sosial. Kunci utama untuk memahaminya adalah dengan

mengintegrasikan kenyataan dan pengetahuan.

Berger menyatakan bahwa masyarakat merupakan kenyataan objektif

sekaligus kenyataan subjektif.15 Masyarakat sebagai kenyataan objektif memberikan

pengertian bahwa individu berada di luar masyarakat. Individu merupakan pembentuk

masyarakat. Sementara masyarakat sebagai kenyataan subjektif, individu tidak dapat

lepas dari masyarakat karena masyarakat juga membentuk individu. Hal tersebut

merupakan implikasi dari sebuah proses yang dikenal dengan dialektika pengetahuan.

Dialektika terdiri atas eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.

Eksternalisasi merupakan tahap dimana individu menyesuaikan diri dengan

lingkungan sosio kulturalnya dengan pertukaran pengetahuan tentang suatu nilai atau

konsep. Nilai ini nantinya akan dikomunikasikan kepada antar anggota masyarakat.

Eksternalisasi juga berarti pencurahan atau pembentukan kedirian manusia ke dunia.

Manusia, dalam hal ini juga berarti individu, sejak dilahirkan ke dunia belum

14 Dikutip dari  http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119:memahami ‐ teori‐konstruksi‐sosial&catid=34:mkp&Itemid=61 pada tanggal 27 November 2013 pukul 11.35 WIB 15 Berger dalam Ucca Arawindha.2012.Konstruksi Sosial Kematian Orang Dengan AIDS/HIV (ODHA).(Tesis 

Jurusan Sosiologi UGM) 

25

sepenuhnya dapat dikatakan selesai dalam hal berproses sebagai manusia. Hal inilah

yang membedakan manusia dengan binatang.

Untuk menjadi manusia seutuhnya maka individu harus melewati proses

perkembangan diri serta perolehan budaya. Pembentukan diri ini juga merupakan

sarana untuk menunjukkan eksistensi individu atas individu lain. Dunia individu pada

akhirnya bukan diperoleh secara langsung dan terprogram melainkan dibentuk oleh

aktivitas-aktivitas individu tersebut. Dalam melakukan aktivitas pun tiap individu

akan mengalami persinggungan satu sama lain. Sehingga dibutuhkan tatanan sosial

yang mengatur kehidupan sehari-hari. Dunia bentukan inilah yang disebut sebagai

kebudayaan. Sifat kebudayaan ini tentunya tidak stabil karena selalu mengalami

perubahan. Ini yang menjadi alasan bagaimana individu-individu mereproduksi

kebudayaan secara terus-menerus. Sebagai sebuah produk, baik kebudayaan maupun

tatanan sosial, akan terus diproduksi selama individu mengeksternalisasi diri mereka

dalam setiap aktivitas.

Tahap yang kedua adalah objektivasi. Pada tahap ini nilai yang telah dipahami

didefinisikan kembali pada system of believe dalam kesadaran individu, di sini

pengetahuan akan nilai menjadi realitas obyektif karena nilai telah diakui dalam

masyarakat dan suatu komunitas. Kecenderungan yang dimiliki manusia adalah

repetitif atas tindakannya. Ketika suatu tindakan dirasa memberikan efek positif maka

ia akan mengulang kembali tindakan tersebut. Apa yang diproduksi manusia dan

dihasilkan memperoleh sifat sebagai realitas objektif. Segala bentuk aktivitas manusia

pada tahap eksternalisasi dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) dan

kemudian masuk fase pelembagaan (institusionalisasi). Pembiasaan dapat terjadi

melalui pola-pola tertentu dan mungkin saja mengalami inovasi pada prosesnya.

26

Sementara suatu pembiasaan baru dapat dikatakan masuk tahap pelembagaan

manakala terjadi tipifikasi timbal balik antar tiap-tiap tindakan. Tipifikasi tersebut

telah menjadi satu lembaga. Terlebih lagi tipifikasi menjadi milik bersama ketika

telah dibiasakan.

Tahap terakhir dalam proses dialektika adalah internalisasi. Tahapan ini

merupakan proses dimana pemaknaan atas nilai-nilai yang diperoleh individu melalui

dua tahapan sebelumnya ditularkan dan diinternalisasi ke dalam dirinya. Kegiatan

eksternalisasi dan obyektivasi merupakan momen-momen dalam suatu proses

dialektis yang berlangsung terus-menerus, hingga akhirnya membentuk suatu dunia

sosial baru bagi manusia Nilai-nilai dapat berupa agama, kebiasaan hidup, norma,

budaya, dan sebagainya.

G. Metode penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.

Karakteristik utama dari metode penelitian ini tercermin pada fokus penelitian yang

lebih mementingkan proses daripada hasil sehingga yang dicari bukan pemahaman

mutlak melainkan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan sosial. Pada

beberapa fenomena yang tidak dapat dikuantifikasi seperti langkah kerja atau budaya,

metode ini digunakan untuk melakukan eksplorasi lebih detail.

Selain itu metode ini melihat bahwa antara manusia dengan setting memiliki

keterkaitan yang erat. Keduanya tidak dipisahkan ke dalam bentuk-bentuk variabel

tetapi dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Keunggulan dari metode ini adalah

ketajaman dan kedalaman pemaknaan yang tersembunyi di antara realitas sosial yang

27

ada tanpa melakukan proses generalisasi. Oleh karena topik penelitian yang dilakukan

cukup kompleks dan berhubungan erat dengan interaksi sosial dan proses sosial maka

metode kualitatif merupakan sebuah alternatif yang tepat.

Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah fenomenologi.

Fenomenelogi berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu „phainomai� yang berarti

„menampak� dan „phainomenon� yang berarti „pada yang menampak�.16

Fenomenologi bertujuan untuk melihat lebih jauh tentang apa yang ada di balik

realitas, bukan hanya sekedar menangkap realitas pada permukaannya. Keen

menuturkan bahwa tidak seperti metode lain, fenomenologi lebih dari pendekatan,

sikap, cara menginvestigasi postur dengan serangkaian tujuan.17 Melalui metode ini

peneliti dapat mempelajari pengalaman sehari-hari dari subyek tanpa melakukan

intervensi atau mengkritisi pemahaman tersebut. Artinya fenomenologi berupaya

mengidentifikasi sebuah fenomena secara apa adanya sesuai dengan apa yang

dituturkan individu. Fenomenologi secara sistematis melakukan kontak

berkesinambungan dengan pengalaman-pengalaman. Metode ini mengungkap

kesadaran yang seperti apa yang menuntun individu melakukan sesuatu yang

kemudian menjadi realitas dan bagaimana proses kesadaran itu terbentuk.

Fenomenologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah fenomenologi

transendental. Menurut Moustakas fenomenologi transendental atau disebut juga

sebagai fenomenologi psikologi ini hanya sedikit memfokuskan interpretasi peneliti

dan lebih menitikberatkan pada pengalaman yang disampaikan oleh narasumber.

Peneliti sangat dimungkinkan untuk menggali pengalaman, perilaku, esensi dan 16 Diunduh dari  http://alldienow.blogspot.com/2011/10/fenomenologi.html pada 24 Desember 2013 pukul 10.40 WIB 17 Lihat Hycner, Richard H.Some Guidelines For the Phenomenological Analysis of Interview 

28

Data.(Netherlands:Martinus Nijhoff Publisher).1985. hal. 279 

29

pemahaman narasumber sebanyak mungkin. Segala bentuk data tersebut diposisikan

sebagai kesatuan yang saling berhubungan.

Sumber data utama diperoleh melalui wawancara langsung dengan para

narasumber yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas geng.

Dalam melakukan wawancara peneliti bertindak secara pasif atau sebagai pendengar

dengan menciptakan suasana yang leluasa bagi narasumber untuk mengungkap

pengalamannya secara spontan. Narasumber dibebaskan bercerita dan tidak

terpengaruh oleh statement atau justifikasi dari peneliti sehingga data atas pengalaman

sehari-hari yang memiliki keterkaitan dengan obyek penelitian sifatnya alamiah dan

segar. Dalam penelitian jenis ini peneliti diharapkan memahami kombinasi yang

tercipta antara realitas dan pengalaman yang dimiliki oleh narasumber. Bila peneliti

menerapkan ukuran atau teorinya sendiri tentang makna tindakan maka dikhawatirkan

peneliti tidak akan menemukan makna yang sama di antara para aktor tersebut.

Data-data berupa pengalaman sehari-hari, latar sosial dan kejadian-kejadian

yang diungkapkan oleh narasumber menjadi aspek utama yang akan dianalisis sebagai

suatu rangkaian proses yang membentuk kesadaran individu tersebut dalam

memaknai fenomena atau mengambil keputusan yang dalam hal ini keikutsertaan

dalam sebuah kelompok atau geng. Perolehan data ini juga dilakukan dengan

mengkombinasi metode historis mengingat penelitian yang dilakukan tidak melihat

dari konteks kekinian melainkan dinamika yang berjalan dari awal eksistensi

kelompok di tahun 1990-an hingga dibubarkan belum lama ini. Kenyataan ini

dipahami peneliti bahwa terdapat kesadaran yang secara tidak sengaja dibentuk oleh

semangat kolektivitas dan kesadaran yang muncul secara spontan dari pribadi yang

bersangkutan.

29 2

2. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di SMA Negeri 6 Yogyakarta yang beralamatkan di Jl. C.

Simanjutak no.2 Yogyakarta. Namun secara lebih spesifik lagi, penggalian data dan

informasi lebih terfokus di lingkungan sekitar sekolah terutama tempat-tempat

berkumpulnya para mantan anggota geng GNB dan alumni (biasanya di warung

makan atau angkringan).

3. Teknik Pemilihan Informan

Pemilihan informan dalam proses penelitian ini dilakukan berdasarkan beberapa

kriteria utama. Informan dibedakan ke dalam dua jenis yaitu key informan dan non-

key informan. Key informan adalah informan utama yang mengetahui dan memahami

seluk-beluk objek penelitian. Biasanya mereka merupakan orang-orang yang cukup

penting di dalam lingkungan tersebut atau orang-orang yang memiliki posisi penting

dan cukup dekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan topik penelitian. Key informan

dalam penelitian ini adalah mereka (para siswa maupun alumni) yang menjadi

penggerak kelompok di tiap angkatan masing-masing.

Secara khusus, key informan berasal dari beberapa angkatan tertentu dengan

rentang waktu antara tahun 1995-2012. Namun tentu tidak secara berurutan dari tiap

angkatan tersebut diambil mengingat pemilahan informan mempertimbangkan

beragam aspek. Misalnya dengan melihat kondisi kelompok di angkatan tersebut,

gejolak dan dinamika, serta adanya peranan aktor yang berpengaruh signifikan.

Alasan periodisasi ini dikarenakan GNB berdiri pada tahun 1995 dan kemudian

disebut-sebut dibubarkan oleh para alumni maupun siswanya pada tahun 2010.

Penggalian data dari angkatan 2011 dan 2012 dilakukan sebagai upaya konfirmasi

30

dengan asumsi masih ada sebagian siswa yang mengatasnamakan diri mereka berada

di bawah bendera GNB.

Sementara non-key informan diposisikan sebagai informan yang memberikan data

pendukung terkait dengan data utama yang telah diperoleh dari key informan. Teknik

pemilihan informan ini dilakukan berdasarkan keberadaannya di lingkungan sekitar

objek penelitian. Non-key informan yang merupakan sumber data pendukung berasal

dari pihak sekolah yaitu para guru dan kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan

utama. Selain dari para pemangku kebijakan di lingkup sekolah, para siswa yang tidak

tergabung sebagai anggota GNB namun memiliki pengalaman dengan geng tersebut

juga masuk sebagai non-key informan. Beberapa siswa yang menjadi non key

informan ini rata-rata berasal dari angkatan 2014. Penggalian data di ranah ini sebagai

bentuk konfirmasi atas kemungkinan adanya kaitan antara strategi sekolah dalam

mengembalikan fungsi dasar nya sebagai arena pendidikan dan langkah pembubaran

kelompok oleh GNB sendiri.

4. Teknik Pengambilan Data

a. Observasi

Kegiatan observasi meliputi melakukan pengamatan secara sistematik

kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek dan hal-hal lain yang diperlukan dalam

mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Pada tahap awal observasi

dilakukan secara umum, peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak

mungkin. Observasi dilakukan melalui pengamatan langsung di dalam area

sekolah terutama di tempat-tempat yang biasa digunakan untuk berkumpul oleh

31

para anggota GNB terdahulu. Selain itu observasi juga dilakukan di tempat-tempat

berkumpulnya para alumni, salah satunya kafe dan jejaring sosial di dunia maya.

Tahap selanjutnya peneliti melakukan observasi yang terfokus, yaitu mulai

menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat

menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus menerus terjadi. Jika hal

itu sudah diperoleh, maka peneliti dapat menemukan tema-tema yang akan diteliti.

Salah satu peranan pokok dalam melakukan observasi ialah untuk menemukan

interaksi yang kompleks dengan latar belakang sosial yang alami.

b. Wawancara

Wawancara atau in-depth interview merupakan salah stau langkah penggalian

data yang dilakukan dengan melakukan konfirmasi langsung terkait rumusan

masalah yang tertuang di dalam interview guide (pedoman wawancara).

Wawancara dapat dilakukan secara langsung atau bertatap muka dengan informan

atau secara tidak langsung melalui berbagai bentuk media komunikasi seperti

lewat telepon, pesan singkat, atau email. Di era yang kini dilengkapi dengan

kecanggihan teknologi wawancara sangat dimungkinkan berlangsung secara

virtual, dengan kata lain melalui media jejaring sosial seperti chatting.

c. Studi dokumen

Studi dokumen memiliki pengertian penelaahan terhadap dokumen-dokumen

atau literatur penelitian terdahulu. Profil sekolah, studi perilaku remaja, dan

kecenderungan aksi kekerasan merupakan beberapa di antara dokumen yang

dikaji terkait kebutuhan peneliti dalam mengetahui sisi hitoris sekolah dan peserta

didiknya.

32

Tabel 1.1 Informan Penelitian dan Sumber Data

Sumber Data Teknik Pengumpulan Data

Pri

mer

Observasi Lokasi : SMA N 6 Yogyakarta, warung angkringan di sekitar sekolah, pasar Terban

Wawancara Nama informan :

- C, 37 tahun (alumni angkatan 1995)

- NK, 31 tahun (alumni angkatan 2001)

- R, 26 tahun (alumni angkatan 2005)

- B, 22 tahun (alumni angkatan 2009)

- TY, 20 tahun (alumni angkatan 2011)

- KP, 19 tahun (alumni angkatan 2012)

- AFZ, 18 tahun (alumni angkatan 2013)

- M, 18 tahun (alumni angkatan 2013)

- D, 17 tahun (siswa angkatan 2014) - GB, 17 tahun (siswa angkatan

2014) Guru dan staf :

- Bapak Agus (guru BK) - Bapak Purwo (mantan guru

sosiologi)18 Sekunder Studi dokumen

a. Skripsi - Pergulatan Membangun Identitas

(Dwiki Prastianto, JPP UGM) - Reproduksi Nilai Kekerasan

Langsung Gang Sunday Morning Cartoon (Tantra Gumilar, Jurusan Sosiologi UGM)

b. Dokumen resmi milik sekolah c. Arsip Kesiswaan

Sumber : Data Primer dan Sekunder 2013-2014

33

5.1 Karakteristik Informan

Mayoritas informan penelitian ini adalah laki-laki, mengingat sebagian besar

penggerak maupun anggota GNB didominasi laki-laki. Pemilihan informan ini juga

berangkat dari maksud peneliti untuk melihat kelompok informal dalam konteks

kerangka struktur makna yang dikonstruksi para anggoanya berdasarkan pengalaman-

pengalaman terhadap kelompok. Selain menggunakan metode fenomenologi

penelitian ini juga dipadu dengan metode historis. Para informan ini terdiri dari para

siswa maupun alumni antar generasi.

Informan dalam penelitian ini sebenarnya berjumlah cukup banyak. Sebaran

ini dilakukan untuk dapat menemukan karakteristik data yang diharapkan mengingat

tiap angkatan memiliki dinamikanya sendiri. Setelah melalui penggalian data seluas-

luasnya akhirnya dikerucutkan pada beberapa informan terpilih saja yang memiliki

keunikan pengalaman dan pemaknaan. Mereka kemudian diwawancara lagi pada

topik yang lebih spesifik dan lebih mendalam. Sebagai upaya konfirmasi, guru

sekolah, staf, maupun siswa juga dilibatkan dalam proses penggalian data.

5.1.1 Alumni (mantan anggota GNB)

1. C, usia 37 tahun

C adalah alumni SMA Negeri 6 yang lulus pada tahun angkatan 1995. Ia berasal

dari Yogyakarta. Ia menamatkan bangku perkuliahannya dengan gelar sarjana

urusan teknologi informasi di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Saat ini ia

berprofresi sebagai tenaga lepasan pada beberapa event yang sarat akan budaya

dan story board creator dalam produksi film-film pendek di Yogyakarta. C

disebut-sebut sebagai salah satu aktor yang cukup penting saat GNB muncul

pertama kali. C adalah seorang yang idealis, bebas dan sangat menyukai segala hal

yang berkaitan dengan budaya lokal dan kesenian. Saat di bangku SMA dulu ia

34

pernah mengikuti ekstrakurikuler teater dan turut berpartisipasi dalam berbagai

event. Di usianya saat ini ia belum memutuskan untuk menikah karena

menurutnya “life begins at forty”. Ia mengaku masih ingin mencari pengalaman

bekerja seluas-luasnya sebelum kemudian meletakkan tanggung jawab nya pada

keluarga yang akan dibina nanti.

2. R, 26 tahun

R adalah seorang alumni angkatan 2005 yang tinggal di sekitar Godean,

Yogyakarta. Semasa sekolah di SMA N 6 dulu ia sangat dekat dengan aktivitas

tawuran antara GNB dengan geng sekolah lain. Ia memiliki penilaian bahwa

kebrutalan para siswa GNB di tahun-tahun tersebut (antara 2003-2007)

merupakan bentuk kekecewaan atas apa yang mereka lihat tidak sesuai. Misalnya

seperti kebijakan kenaikan uang sekolah atau ketika salah seorang teman mereka

terancam dikeluarkan dari sekolah. R dalam hal ini memposisikan GNB sebagai

ajang guyub yang merekatkan tali pertemanan antar angkatan. Di balik tawuran

yang mereka lakukan sebenarnya ada aksi solider yang disisipkan untuk menjaga

harga diri dan melindungi teman dalam kelompok.

3. B, usia 22 tahun

B merupakan alumni yang memegang peranan penting dalam GNB angkatan

2009. Saat itu ia berperan sebagai koordinator pada divisi organisasi. Di tahun

2010 B dipercaya teman-teman dan kakak angkatannya untuk menjadi ketua OSIS

SMA Negeri 6 Yogyakarta. Sebagai seorang siswa B tergolong cukup aktif dalam

berorganisasi dan berkomunikasi dengan sekitarnya. Ia adalah seseorang yang

cukup supel dan dikenal baik oleh teman-teman dari berbagai angkatan. Teater

Muda Wijaya ia pilih sebagai organisasi ekstrakurikuler yang diikutinya. Selain di

teater, B juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di MWHC. Kini ia berstatus

35

sebagai mahasiswa jurusan pertelevisian di salah satu perguruan tinggi swasta

Yogyakarta.

4. KP, usia 19 tahun

KP adalah salah satu alumni siswa angkatan 2012 yang tergolong cukup kritis.

Namun karena suatu peristiwa yang melibatkan dirinya dan memberikan ekses

negatif bagi sekolah, maka ia terpaksa harus dikeluarkan di detik-detik menjelang

ujian akhir (UNAS) dilaksanakan. Saat ini ia berkuliah di salah satu perguruan

tinggi negeri di Yogyakarta. KP adalah anak dari salah seorang pejabat daerah di

Yogyakarta. Meski demikian ia tetap menjadi pribadi yang down to earth dan

sangat senang mengakrabkan diri dengan banyak teman dari berbagai kalangan. Ia

memiliki hobi bermain musik. Kebiasaannya nongkrong bersama teman-teman

saat SMA dulu ia bawa ke bangku perkuliahan sehingga KP memiliki banyak

teman. Ia dikenal tidak hanya oleh teman-teman di jurusannya tetapi juga di

tingkat fakultas karena keaktifannya mengikuti organisasi. Saat GNB dibubarkan,

KP adalah salah satu siswa yang merasa keberatan atas keputusan tersebut. Karena

ia khawatir tidak adanya wadah lagi untuk mengemukakan pendapat mereka dan

memobilisasi kepentingan bagi para siswa.

5.1.2 Alumni dan Siswa (non-anggota GNB)

1. AFZ, usia 18 tahun

AFZ adalah alumni angkatan 2013. Semasa ia sekolah dahulu telah memiliki banyak

pengalaman buruk dengan GNB. Ia disebut-sebut sebagai pelopor di angkatannya

yang menolak kuasa atas seniornya yang tergabung di GNB yang sering melakukan

tindakan-tindakan kasar kepada adik kelasnya. AFZ beranggapan bahwa untuk

mengharumkan nama sekolah harus dilakukan dengan cara yang lebih baik, yaitu

melalui prestasi, tanpa harus ikut bergabung dengan kelompok informal seperti GNB.

36

AFZ adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia besar dan tinggal di Yogyakarta

bersama ibu dan kedua adiknya. Ayahnya telah meninggal karena serangan jantung.

Keadaan inilah yang mendorong AFZ tumbuh menjadi sosok yang dewasa dan

futuristik. Sama seperti KP, ia menyukai musik sebagai jalan hidup. Bahkan sebagai

kenang-kenangan, ia menciptakan lagu untuk sekolah tercintanya, SMA 6 Yogyakarta

yang kemudian dirilis beberapa bulan yang lalu.

2. GB, usia 17 tahun

GB masih berstatus sebagai siswa angkatan 2014. Ia disebut-sebut sebagai orang yang

penting di angkatannya oleh teman-temannya.

5.1.3 Pihak Sekolah

Penggalian data dari pihak sekolah dilakukan dalam rangka konfirmasi atas apa yang

dipaparkan key informan terkait dengan GNB. Selain itu juga untuk melakukan

penelusuran arsip dan dokumen resmi tentang perkembangan sekolah dan kegiatan

kesiswaan dari tahun ke tahun.

1. Bapak Agus (Guru BK)

2. Bapak Purwanto (mantan guru Sosiologi)

3. Bapak Sukarman (mantan wakasek)

5. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis data mengacu pada analisis data

fenomenologi menurut Moustakas. Secara umum tahapan dalam metode analisis data

menurut Moustakas adalah sebagai berikut :

a. Menulis menjadi sebuah teks tulisan atau transkrip semua hasil wawancara

b. Proses decoding, yaitu proses pemberian kode-kode pada tiap baris wawancara

37

yang peneliti lakukan dengan subjek penelitian.

c. Pembacaan hasil wawancara secara berulang-ulang oleh peneliti. Hal ini

dilakukan agar peneliti memahami dengan benar dan jelas isi hasil wawancara.

d. Mengerucutkan berbagai pemahaman dan konsep dari jawaban yang sesuai

dengan pertanyaan penelitian

e. Kemudian setelah itu peneliti melakukan pemotongan hal-hal yang tidak ada

kaitannya dengan masalah yang peneliti diangkat, tanpa mengubah susunan kata

awal. Artinya hanya terjadi proses pemotongan. Kemudian hasil dari tahap

pemotongan tersebut dimasukkan ke dalam cluster yang seragam atau juga disebut

sebagai matriks.

f. Setelah memasukan dalam tabel matriks, data dimasukkan ke dalam tabel

horisonalisasi. Pada kolom pertama tabel horisonalisasi berisi kalimat-kalimat

penting yang berhubungan dengan masalah penelitian serta kode dari kalimat

wawancara tersebut. Pada kolom kedua diisi oleh inti dari kalimat dalam kolom

pertama, dan kolom ketiga berisi makna atas inti kalimat tersebut.

g. Dalam membuat makna dari pernyataan informan digunakan bahasa yang jelas

agar esensi atau makna terdalam dari pernyataan tersebut mudah diketahui.

h. Pada kolom kempat dari tabel horisonalisasi berisi makna terdalam dari makna-

makna pernyataan informan. Pada tahap ini makna tersebut disintesakan dan

diintegrasikan dalam sebuah harmoni makna.

i. Makna terdalam dalam bentuk harmoni makna inilah yang akan menjadi fokus

bahasan peneliti serta menjadi hasil penelitian peneliti dalam bab pembahasan.

38

Gambar 1.1. Garis Besar Analisis Data dalam Penelitian Fenomenologi

Transkrip 

wawancara       

 Decoding 

transkrip 

wawancara     

 Matriks 

penelitian        

Tabel 

Horisonalisas 

Penggalian 

makna 

terdalam   

Sumber : Modifikasi Peneliti 2014 Tahap terakhir merupakan tahap yang menunjukkan makna paling mendetail atas struktur

pengetahuan yang membingkai pemaknaan para informan. Ketika proses analisis telah

mencapai tahap ini maka artinya pemaparan informan telah dikerucutkan menjadi lebih

spesifik yang kemudian mengacu kepada sebuah kesimpulan makna terdalam dari apa yang

dipaparkan. Perlu dipahami bahwa dalam metode fenomenologi sangat dimungkinkan

dilakukan proses wawancara lebih dari satu kali.19 Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya

data terkait struktur pengalaman yang akhirnya merangkai pengetahuan individu tersebut

sehingga dapat diperoleh pola pemaknaan yang dimiliki. 19 Richard H. Hycner, Ibid, hal.291