bab i pendahuluan a. latar...

60
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Menjelang Pemilu 2014, partai-partai politik yang kini menjadi peserta terus berjibaku untuk mengkomunikasikan visi dan misi mereka kepada massa pemilih lewat kampanye politik. Berbagai cara pun dilakukan, mulai dari beriklan di beragam media konvensional, hingga pelaksanaan acara-acara tatap muka yang menarik perhatian media massa. Harapannya jelas, yaitu suara yang melimpah setelah Pemilu dilaksanakan. Bergulirnya kampanye politik beriringan dengan gegap gempita massa pemilih, mulai dari sekedar pemerhati hingga simpatisan partai politik. Pembicaraan soal partai serta tokoh politik ramai memenuhi media-media sosial, dari yang sifatnya substansial hingga emosional. Pada pelaksanaan kampanye terbuka tanggal 16 Maret sampai 5 April 2014, konvoi-konvoi, orasi terbuka, serta selingan hiburan konser juga kian ramai dibanjiri massa. Media massa pun tak mau ketinggalan. Seiring berjalannya kampanye, ribuan berita soal partai politik dan tokoh-tokoh kunci Pemilu 2014 membanjiri media massa. Berita positif, negatif, maupun netral berselang-seling menghiasi media televisi, radio, surat kabar, hingga media online. Topiknya pun beragam, mulai dari substansi kebijakan hingga hal-hal terkait kampanye politik. Media massa merupakan salah satu institusi paling penting dalam perjalanan kampanye politik. Alasannya sederhana, yakni di era dimana pemilihan umum (universal suffrage) dijalankan, lingkup yang mesti dijangkau partai politik sangatlah luas. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya perantara pesan yang mampu menjangkau massa pemilih di saentero negara. Fungsi ini dipenuhi media massa, sebagai elemen diseminasi ide-ide yang berskala besar atau massal (McQuail, 2010). Selain itu, hal

Upload: lynhan

Post on 15-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni

Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Menjelang Pemilu 2014, partai-partai politik yang

kini menjadi peserta terus berjibaku untuk mengkomunikasikan visi dan misi mereka

kepada massa pemilih lewat kampanye politik. Berbagai cara pun dilakukan, mulai

dari beriklan di beragam media konvensional, hingga pelaksanaan acara-acara tatap

muka yang menarik perhatian media massa. Harapannya jelas, yaitu suara yang

melimpah setelah Pemilu dilaksanakan.

Bergulirnya kampanye politik beriringan dengan gegap gempita massa

pemilih, mulai dari sekedar pemerhati hingga simpatisan partai politik. Pembicaraan

soal partai serta tokoh politik ramai memenuhi media-media sosial, dari yang sifatnya

substansial hingga emosional. Pada pelaksanaan kampanye terbuka tanggal 16 Maret

sampai 5 April 2014, konvoi-konvoi, orasi terbuka, serta selingan hiburan konser juga

kian ramai dibanjiri massa.

Media massa pun tak mau ketinggalan. Seiring berjalannya kampanye, ribuan

berita soal partai politik dan tokoh-tokoh kunci Pemilu 2014 membanjiri media

massa. Berita positif, negatif, maupun netral berselang-seling menghiasi media

televisi, radio, surat kabar, hingga media online. Topiknya pun beragam, mulai dari

substansi kebijakan hingga hal-hal terkait kampanye politik.

Media massa merupakan salah satu institusi paling penting dalam perjalanan

kampanye politik. Alasannya sederhana, yakni di era dimana pemilihan umum

(universal suffrage) dijalankan, lingkup yang mesti dijangkau partai politik sangatlah

luas. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya perantara pesan yang mampu menjangkau

massa pemilih di saentero negara. Fungsi ini dipenuhi media massa, sebagai elemen

diseminasi ide-ide yang berskala besar atau massal (McQuail, 2010). Selain itu, hal

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

2

ini berkaitan dengan peran ideal media massa sebagai penyedia analisis mengenai isu-

isu yang menyangkut kepentingan publik. Di masa kampanye, para kandidat

mengemukakan visi dan misi mereka menyangkut isu-isu tersebut. Tugas media,

adalah menjelaskan keterkaitan antara masalah menyangkut isu-isu dalam kaitannya

visi serta misi kandidat, agar pemilih memiliki landasan ketika memilih (Seib, 1994:

41). Dalam perannya yang demikian, media massa memegang peran kunci dalam

proses kampanye politik.

Fungsi media massa bagi kampanye politik menjadi krusial jika menilik

tujuan kampanye politik: menggiring opini publik ke arah yang diharapkan partai

politik (Holbrook, 1996 dalam Burton & Shea, 2010: 7). Ini tidak lepas dari

kemampuan media massa, yang hingga kini, masih menjadi alat paling ampuh untuk

menumbuhkan afeksi pemilih pada partai politik atau kandidat (Mujani, Liddle, dan

Ambardi, 2012). Dalam hal ini, peneliti tidak berniat mendaulat media massa semata-

mata sebagai corong partai politik. Melainkan, pada suatu waktu, kepentingan kedua

pihak (pemilih dan kandidat) pasti bertemu: publik membutuhkan media massa

sebagai sumber informasi politik, dan kandidat membutuhkan media massa sebagai

saluran komunikasi politik. Pada kondisi inilah media massa berperan

mengakomodasi keduanya.

Momentum dimana media massa memegang perannya yang demikian,

menjadi arena persaingan paling nyata bagi partai-partai peserta Pemilu. Tugas partai

atau kandidat, dengan demikian, adalah menyusun perencanaan kampanye

sedemikian rupa sehingga visi dan misi serta image, dapat menjadi pendorong opini

positif publik terhadap mereka. Perencanaan ini kemudian diejewantahkan menjadi

beragam praktek kampanye politik. Peneliti melihat transformasi susunan

perencanaan menjadi praktek kampanye politik, salah satunya, pada kampanye

terbuka Pemilu 2014.

Kampanye terbuka ini dilaksanakan di seluruh Indonesia pada tanggal 16

Maret sampai 5 April 2014. Kegiatan ini kebanyakan berupa konvoi, yang

dilanjutkan dengan orasi terbuka dan beragam kegiatan lain dimana massa pemilih

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

3

dan kandidat bertatap muka. Momentum kampanye terbuka merupakan saat paling

jelas dimana kandidat menyampaikan substansi kebijakan secara langsung. Di sinilah

peran jurnalis sebagai penangkap dan penyalur visi dan misi kandidat kepada pemilih,

terutama yang sedang tidak hadir pada saat orasi, mendapatkan tempatnya.

Pada saat yang demikian, arena persaingan antara para kandidat dan partai

politik terbuka lebar. Namun, agar persaingan dapat berlangsung secara sehat, ada

satu syarat yang mesti dipenuhi: wartawan media massa bekerja secara profesional,

dengan mendasarkan diri pada kepentingan publik. Wartawan mesti memaparkan

fakta secara akurat, berusaha sebisa mungkin independen dan objektif. Dengan

demikian kampanye terbuka yang dilaksanakan oleh semua partai memiliki kans

untuk diliput, entah bagian baik atau buruknya, secara adil. Jika yang terjadi seperti

itu, maka arena kompetisi akan berlangsung adil. Kebutuhan publik akan informasi

politik akhirnya terpenuhi, dan publik mengetahui pula apa saja yang terjadi selama

kampanye terbuka.

Akan tetapi, masalah menjadi lain ketika kerja wartawan tidak profesional.

Dalam hal ini, wartawan tidak lagi mendasarkan diri pada kepentingan publik,

melainkan ada kepentingan ekonomi-politik tertentu. Jika demikian, fungsi media

massa akan berjalan timpang. Jika fungsinya sudah timpang, maka arena tidak lagi

layak. Akibatnya, sebaik apapun substansi kebijakan yang disusun serta model

kampanye yang dilaksanakan partai politik lain—yang mana kepentingannya

berlawanan—akan dihadapi dengan mata buta. Akibat terburuknya, informasi politik

yang diterima publik tidak lagi komplit, seiring adanya kans bagi substansi visi-misi

partai politik lain yang tidak terkover.

Berdasarkan kekhawatiran ini, peneliti ingin mempelajari netralitas

pemberitaan oleh media massa di Indonesia ketika memberitakan kampanye terbuka

menjelang Pemilu 2014. Peneliti membagi media yang dianalisis menjadi dua, yakni

media milik politikus dan milik non-politikus. Media milik politikus yang dipilih

peneliti adalah okezone.com, sebuah portal berita yang berada di bawah naungan

Global Mediacomm milik Hary Tanoesoedibjo, dan viva.co.id, portal berita di bawah

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

4

naungan Visi Media Asia di bawah naungan Bakrie & Brothers (Aburizal Bakrie).

Hary Tanoesoedibyo kini adalah petinggi Partai Hanura sekaligus calon kandidat

wakil presiden pasangan Wiranto. Sedangkan Aburizal Bakrie adalah politikus yang

sudah beriklan untuk sebagai (bakal) calon presiden dari Partai Golkar. Sedangkan

media milik non-politikus yang dipilih di sini adalah kompas.com dan tempo.co.

B. Rumusan Masalah

“Bagaimana netralitas pemberitaan kampanye terbuka oleh portal berita

online milik politikus (okezone.com dan viva.co.id) dan non-politikus (tempo.co dan

kompas.com) pada 23 Maret sampai 5 April 2014?”

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan netralitas pemberitaan kampanye terbuka oleh portal berita

online milik politikus dan non-politikus.

2. Membandingkan pemberitaan kampanye terbuka oleh portal berita online

milik politikus dan non-politikus.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap akan diperoleh manfaat:

1. Teoretis: mampu memperkaya kajian komunikasi politik, khususnya yang

berhubungan dengan kampanye politik dan pemberitaan politik.

2. Praktis: memberikan gambaran mengenai kecenderungan perilaku media

massa yang dikuasai oleh kandidat politik. Peneliti berharap gambaran yang

diperoleh dari penelitian ini bisa berguna bagi partai politik serta konsultan

komunikasi politik, khususnya yang terlibat dalam kampanye, sebagai salah

satu referensi ketika menyusun strategi yang melibatkan media massa.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

5

E. Kerangka Pemikiran

Peneliti meletakkan fokus pada interaksi antara media dengan partai politik.

Dalam konteks penelitian ini, institusi media direpresentasikan oleh pers online,

sedangkan institusi partai politik direpresentasikan oleh pseudo-event yang

berhubungan dengan kampanye politik. Keduanya, sebagaimana dijelaskan di latar

belakang, menemukan titik temu, salah satunya, di momentum kampanye terbuka.

Pada momentum kampanye terbuka ini, hak untuk bersaing meraih suara adalah

setara bagi semua partai politik. Namun, arena tersebut bisa rusak jika media, yang

mana menjadi wahana diseminasi informasi politik, tidak netral. Studi ini bertujuan

mempelajari netralitas pada media berita yang terlibat dalam diseminasi berita soal

kampanye terbuka (McQuail, 2010). Sub bab kerangka pemikiran ini akan

menjabarkan studi literatur peneliti sehubungan masalah-masalah di atas.

E.1. Peran Politik Pers Sebagai Institusi Demokrasi

Pers merupakan salah satu institusi penting yang, jika bukan turut terombang-

ambing, menjadi pendorong dalam proses demokratisasi. Sebagaimana diungkapkan

Grugel (2002) dan Merkel (1998), pers merupakan institusi yang tidak berhubungan

langsung dengan proses pengambilan keputusan pada pemerintahan, namun memiliki

peran yang signifikan. Pers mampu mempengaruhi kualitas institusi demokrasi pada

pemerintahan yang berjalan, dan oleh karenanya, menjadi salah satu pilar yang

penting bagi tegaknya demokrasi (dalam Voltmer, 2006). Pentingnya pers sebagai

keran bagi diseminasi informasi, berpotensi membangkitkan kesadaran politik warga

(McQuail, 2010).

Kovach dan Rosentiel (2010) melihat kaitan antara pers dan demokrasi dari

sudut pandang lain. Menurut mereka, berkembangnya pers berjalan sedikit lebih

dahulu daripada demokrasi modern. Jurnalisme mengemuka segera setelah adanya

pemahaman tentang istilah “fakta”—atau, “sesuatu yang benar-benar terjadi atau

kejadian sebenarnya; karena itu kebenaran tertentu diketahui lewat pengamatan sejati

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

6

atau kesaksian yang sahih, sebagai lawan dari sekadar dugaan.”1 Munculnya istilah

tersebut merupakan buah dari pergolakan pengetahuan yang terjadi saat itu, dimana

sebelum Gutenberg menemukan mesin cetak, pengetahuan dikuasai sepenuhnya oleh

otoritas mapan (gereja dan pemerintahan). Diakuinya pengamatan “sejati” lewat

indera dan akal atas beragam fenomena di tengah-tengah masyarakat, membuat

pengetahuan tidak lagi satu sumber.

Seabad setelah penemuan mesin cetak oleh Gutenberg—sebagai penanda

terbukanya keran literasi di kalangan masyarakat Eropa—“buku-berita” (news book)

pertama muncul. Segeralah setelah itu, tepatnya pada tahun 1604, koran-koran

pertama muncul di Jerman, Perancis, dan Inggris. Meskipun mengalami penyensoran,

pelarangan, dan pemenjaraan para pegiatnya, bibit media massa tetap tumbuh.

Persebaran informasi menjadikan orang-orang berani bertanya, menentang, atau

bahkan mematahkan informasi yang disodorkan otoritas mapan. Proses literasi yang

mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat di tiga negara tersebut saat itu,

menjadikan warga semakin “terdidik”, yang akhirnya berperan dalam mengatur tata

argumen mereka. Literasi lewat proses jurnalisme saat itu memancing keluar istilah

yang sangat penting bagi demokrasi, namun absen sejak jaman Yunani dan Romawi,

yakni: opini publik. John Locke pada saat itu menggunakan istilah tersebut pada

pidato parlemen dan esai-esai politik. Ini menandakan bahwa, apa yang selama

berabad-abad merupakan pendapat kasar yang tidak dianggap, mulai mendapat posisi

terhormat.

Melalui jurnalisme, muncul konsep yang lebih kokoh, yakni: ide bahwa orang

bisa mengatur diri sendiri. Inilah yang menjadi pangkal dari demokrasi. Ini

menunjukkan bahwa, buah terbesar peradaban Barat—yakni demokrasi—tidak lain

adalah “saudara yang hampir seumuran” dengan jurnalisme. Demokrasi dan

1 Kovach dan Rosentiel (2010) menjelaskan asal kata fakta atau fact dalam bahasa Inggris

berdasarkan Oxford English Dictionary. Menurut kamus tersebut, istilah “fakta” baru muncul di

Inggris pada abad 16, atau 100 tahun sejak penemuan mesin cetak Gutenberg.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

7

jurnalisme, tak lain adalah buah dari produk evolusi komunikasi (Kovach &

Rosentiel, 2010).

Proses kesejarahan pers dalam hubungannya dengan demokratisasi di Eropa,

agaknya menjalin hubungan metaforistis dengan demokratisasi Indonesia. Proses

demokratisasi selama kurang lebih 25 tahun menjelang akhir abad dua puluh, juga

ditandai oleh jatuh bangun pers: pembatasan, pembredelan, pemenjaraan pegiat, dan

sebagainya. Memang pada dasarnya bukan pers yang menjadi penyebab utama

tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, namun perannya sebagai katup wawasan yang

membuka pikiran para “pejuang reformasi” sedikit demi sedikit, menjadikannya

institusi yang tidak bisa diremehkan (Sen & Hill, 2002).

Biar demikian, lebih penting kiranya memahami adalah apa yang terjadi

setelah itu. Tumbangnya Orde Baru mengemukakan kembali konsep-konsep penting

demokrasi yang sempat mati, seperti halnya di Eropa pada abad 17: opini publik dan

kepengaturan atas diri sendiri. Pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat”, sebagaimana dinyatakan oleh Abraham Lincoln, kembali naik ke permukaan.

Penerapan demokrasi, dengan demikian, memerlukan pengawal yang konsisten dalam

memahami basis ontologisnya. Pers-lah yang berfungsi sebagai “pengawal” tersebut.

Dengan demikian, pers merupakan institusi krusial bagi penerapan demokrasi di

Indonesia.

Untuk mengenali demokrasi lebih dalam, diperlukan adanya pemahaman soal

konsep yang lebih tinggi, yakni: politik. Ada banyak definisi mengenai politik,

namun satu hal yang pasti melekat dalam politik adalah “distribusi sumber daya.”

Denton dan Woodward (1990) mendefinisikan politik sebagai “alokasi sumber daya

publik, otoritas resmi (yang diberi mandat untuk membuat keputusan eksekutif dan

legislatif secara legal), dan sanksi resmi (apa yang dihukum maupun diapresiasi oleh

negara)” (dalam McNair, 2003).

Demokrasi adalah salah satu pengejewantahan politik. Dalam demokrasi,

masing-masing fungsi yang berada di dalam politik, yakni eksekutif, legislatif

(otoritas pengambil keputusan), dan yudikatif (pemberlaku sanksi) memiliki asal

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

8

yang sama, yakni: rakyat. Demokrasi adalah salah satu model penerapan politik

berdasarkan aktor, dimana yang memiliki kuasa paling tinggi atas pemerintahan

adalah rakyat.

Media massa seringkali disebut sebagai institusi yang memiliki fungsi setara

dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun fungsinya itu seperti apa, masih

diperdebatkan hingga kini. Biar demikian, sejak awal mula perkembangan pemikiran

pada awal abad 18, para filsuf menyadari bahwa peran debat publik serta kebebasan

berpendapat sangat krusial dalam demokrasi. Inilah yang kemudian meluas ke

kebutuhan akan adanya pers bebas, yang merupakan dasar laku media massa (Keane,

1991). Bagaimana peran politik pers (yang sudah) bebas itu melakukan tugasnya,

adalah pertanyaan yang mengisi perdebatan kaum intelektual hingga kini.

Voltmer (2006) menjelaskan secara apik perdebatan terkait peran politik pers

bebas dari waktu ke waktu. Ia menjelaskan beberapa keyakinan yang melingkupi

pemaknaan atas pers bebas. Pandangan tersebut terdiri dari tiga versi: pasar bebas ide,

penyedia informasi, dan pengawas atau “anjing penjaga”.

E.1.1. Pasar Bebas Ide (Free Marketplace of Ideas)

Pandangan ini meyakini bahwa pers bebas merupakan akomodator dari “pasar

bebas ide” (free marketplace of ideas). Pasar bebas ide adalah kondisi dimana

kontradiksi antara suara-suara yang saling berkompetisi di tengah-tengah warga

terjadi tanpa adanya campur tangan negara.2 Istilah pasar bebas ide, secara praktis,

merunut pada kepercayaan liberal bahwa tidak ada satupun agen yang memiliki

pernyataan terakhir soal apa yang benar dalam politik. Lebih jauh, “kebenaran”

adalah hal yang akan muncul setelah tabrakan antara argumen dan kontra-argumen

secara terus menerus (Mill, 1859, dalam Voltmer, 2006). Tugas media massa, dalam

hal ini, adalah menjadi “arena” bagi kompetisi tersebut. Ini menempatkan media 2 Metafora “pasar” (marketplace) tidak mesti mengimplikasikan struktur pasar kepemilikan privat

media. Dalam konteks peran demokratis media, makna “pasar” mengarah pada istilah “pasar sebagai

ruang publik di dalam sebuah komunitas”, seperti agora di dalam demokrasi Athena. (Selengkapnya

lihat Voltmer, 2006: 3-5).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

9

dalam perannya yang pasif, yakni hanya sekadar melayani sebagai “forum” dimana

bermacam-macam kelompok dan individu memiliki kesempatan yang sama untuk

mengekspresikan pandangan mereka.

Biarpun sekilas tampak ideal, pandangan tentang “pasar bebas ide” tetap tak

luput dari kritik. Kritik yang paling dalam adalah munculnya pertanyaan: apakah

konfrontasi perbedaan pandangan secara terus menerus pada akhirnya akan benar-

benar membuat “kebenaran” mengemuka? Kritik ini menghujam jauh ke dalam posisi

filosofis pendirian pasar bebas ide. Lebih jauh, efek konfrontasi antar-pandangan

justru membawa kemungkinan lain: kebingungan dan (pada akhirnya) mempertajam

(aggravate) konflik—dalam hal ini, mendorong konflik ke arahnya yang manifes.

Selain kritik tersebut, kritik lainnya adalah bahwa jangan-jangan, yang

membedakan argumen satu dan argumen lain dalam kompetisi bukanlah bagus atau

tidaknya substansi argumen itu, melainkan seberapa efektif aktor menyatakan

argumennya (Gutmann and Thomson 1996, dalam Voltmer, 2006). Perdebatan seperti

ini sebenarnya sudah pernah mengemuka jauh sebelum masa demokrasi modern.

Kejayaan retorika pada masa Yunani Kuno, melahirkan pertentangan antara Plato dan

para Sofis (pengajar pidato). Plato memandang bahwa “kebenaran” adalah nilai

paling tinggi yang mendasari retorika. Sedangkan para sofis memandang bahwa nilai

tertinggi dari retorika adalah persuasi (Perloff, 2003: 20-22). Ketika demokrasi telah

mendapatkan tempatnya di masa modern, seperti halnya demokrasi pada jaman

Yunani Kuno, perdebatan ini kembali mengemuka: jika pada masa Yunani Kuno

mediumnya adalah panggung-panggung pidato, pada masa modern mediumnya

adalah media massa.

Kritik lain yang menyerang pasar bebas ide adalah adanya ketidakjelasan,

sampai sejauh mana media massa berkontribusi dalam mengakomodasi sudut

pandang tertentu. Dengan kata lain, apakah media partisan itu sah dalam “pasar bebas

ide”, atau apakah peran mereka adalah sebagai penyalur netral atas pandangan-

pandangan yang saling bertentangan? Kritik ini melahirkan dua definisi atas posisi

pers di tengah-tengah masyarakat demokratis (McQuail 1986; Napoli 1999; Voltmer

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

10

2000, dalam Voltmer, 2006). Pertama, horisontal, dimana mereka ada sejajar dan

berjalan beriringan dengan aktor-aktor yang memiliki pandangan berbeda. Dalam hal

ini, setiap media massa yang ada mewakili aktor dengan pandangan tertentu, dan oleh

karenanya, informasi yang dihadirkannya sejak awal bias. Kedua, vertikal, dimana

media bersikap netral, menjadi akomodator murni atas pandangan-pandangan yang

bertentangan. Meskipun tampak ideal, posisi yang kedua ini justru mengakomodasi

kritik sebelumnya, yakni pada akhirnya pandangan yang dihargai bukanlah yang

paling benar, melainkan yang disampaikan dengan cara yang apik.

Beragam kritik atas tersebut tidak semata-mata menjadikan “pasar bebas ide”

tidak relevan, melainkan mendorong evaluasi atas konsep tersebut dari waktu ke

waktu. Dengan demikian, pasar bebas ide adalah hal yang tetap dibutuhkan oleh

masyarakat demokratis. Dengan catatan, pendefinisian atasnya direvisi dari waktu ke

waktu, sesuai konteks dimana ia berlaku.

E.1.2. Penyedia Informasi (Information Provider)

Penanda paling pangkal dari penerapan sistem demokrasi adalah adanya

keterlibatan warga pada penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu contoh

penyelenggaraan demokrasi, dalam operasionalisasinya yang paling dasar, adalah

penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum, warga

menghadapi sebuah pilihan mengenai siapa yang akan mewakili mereka. Inilah yang,

sebagaimana diungkapkan Dahl (1989), menjadi tempat bagi sebuah masalah. Proses

memilih, dimana ketika hal yang mesti dilakukan awalnya dianggap sangat mudah

(tinggal “mencoblos” kalau di Indonesia) ternyata tidak bisa dilakukan secara

serampangan (dalam Voltmer, 2006).

Tanpa adanya kemampuan warga untuk melakukan pemilihan dengan alasan

rasional, akan membuat pemilihan umum menjadi tidak berarti bagi demokrasi. Di

sinilah letak pers bebas: ia adalah penyedia informasi yang objektif bagi masyarakat

pemilih. Dalam hal ini, pers bertanggung jawab untuk menyampaikan segala bentuk

informasi yang dapat mendukung keputusan memilih. Apa yang disampaikan oleh

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

11

para politikus (lewat beragam bentuk kampanye politik) tidak secara otomatis

menjadi informasi yang benar ketika sampai kepada pemilih. Dibutuhkan adanya

penyaring serta penyedia beragam pertimbangan substansial yang mampu mendorong

serta menjernihkan pandangan pemilih ketika memasuki bilik suara.

Konseptualisasi pers bebas sebagai penyedia informasi, sangat lekat dengan

istilah kualitas informasi. Informasi yang berkualitas merupakan kebutuhan yang

sangat penting bagi pemilih. Akan tetapi, pendefinisian kualitas informasi adalah hal

yang hampir mustahil, mengingat kemampuan (dalam mencerna informasi) dan

kebutuhan (akan informasi) berbeda pada setiap individu. Salah satu standar kualitas

informasi adalah komprehensivitas, namun, seiring semakin kompleksnya dunia

politik saat ini, penyederhanaan juga diperlukan agar semua kalangan pemilih mampu

memahami informasi yang disediakan. Lemert (1989, dalam Voltmer, 2006)

merangkum fungsi tersebut dalam apa yang disebutnya sebagai “informasi

penggerak” (mobilizing information), dimana informasi yang disajikan memiliki

potensi untuk memperjelas identitas politik pemilih (melalui beragam pertimbangan

rasional) dan mendorong partisipasi politik (Voltmer, 2006).

Dalam demokrasi yang baru bergerak, kualitas informasi dan kebutuhan akan

orientasi politik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam proses politik. Namun

demikian, pendefinisian atas “informasi yang berkualitas” harus terus direvisi dari

waktu ke waktu, agar tidak meleset dari konteks dimana ia disebarkan. Studi-studi

lokal dibutuhkan untuk meredefinisi konsep ini, agar pers bebas sebagai penyedia

informasi, memiliki acuan yang benar-benar tepat.

E.1.3. Pengawas atau “Anjing Penjaga” (Watchdog)

Pandangan ini memaknai pers bebas sebagai “anjing penjaga” (watchdog)

yang menjaga agar otoritas politik tetap akuntabel dengan memonitor aktivitas

mereka serta menginvestigasi kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan

(Curran, 1991 dalam Voltmer, 2006). Perumpamaan “anjing penjaga” rupanya

memang tidak tergantikan dalam menggambarkan pers bebas. Pers bebas harus

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

12

memiliki naluri layaknya anjing penjaga, dimana ia langsung bereaksi ketika

mengendus adanya ketidakberesan. Dalam menjadi pengawas, ia mesti langsung

bereaksi layaknya binatang ketika melihat adanya kesalahan—tidak seperti manusia

(watchman) yang mesti pikir-pikir dulu sebelum bereaksi.

Istilah watchman dirasa peneliti tepat untuk menjadi penggambaran institusi

yudikatif. Perbedaan media massa (watchdog) dan institusi yudikatif (watchman)

dalam hal ini adalah pada posisi mereka. Yang satu berada di luar lingkar

pemerintahan, sedangkan yang satu masih termasuk dalam lingkaran formal

pemerintahan. Kemungkinan adanya “penyalahgunaan kolektif” (oleh eksekutif,

legislatif, dan yudikatif) atas kekuasaan, bisa ditekan dengan adanya pengawas di luar

institusi pemerintahan.

Akan tetapi, relasi yang terjadi tidak sesederhana itu. Arah pers bebas sebagai

anjing penjaga bisa menghadapi dilema ketika ada masalah-masalah yang tidak bisa

diatasi hanya sekadar melalui pengawasan. Misalnya, pada negara yang baru

menganut demokrasi secara sempurna, umumnya pemerintahannya masih “baru”, dan

oleh karena itu, masih rapuh. Di saat yang sama, tanggung jawab mereka adalah

emansipasi atas setiap warga negara. Sekalipun memaksakan diri untuk bekerja

sebaik-baiknya, ada kalanya pemerintahan yang baru itu masih belum mampu

mengatasi beragam masalah yang menumpuk, misalnya ekonomi dan keamanan,

dengan segera. Jika demikian, pers bebas sebagai pendorong kepercayaan publik pada

pemerintahan lebih dibutuhkan daripada sebagai pengawas yang mencari-cari

kesalahan. Di sisi lain, media-media yang juga baru bangkit seiring demokratisasi

juga tidak dengan sendirinya mampu membiayai produksinya sendiri—dan oleh

karena itu, membutuhkan subsidi dari pemerintah. Secara paradoksal, kemampuan

media untuk menjaga akuntabilitas kadang-kadang terbentur oleh hal-hal teknis,

seperti struktur dan prosedur yang telah disetujui bersama (Morris & Waisbord; Price

et al. 2002, dalam Voltmer, 2006).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

13

E.2. Pemberitaan Politik: Kegiatan Pers dalam Memenuhi Peran Sebagai Free

Marketplace of Ideas dan Information Provider

Berdasarkan penjelasan mengenai peran politik pers sebagai institusi

demokrasi di atas, peneliti menarik dua saja untuk menjadi patokan penelitian ini,

yakni: pasar bebas ide (free marketplace of ideas) dan penyedia informasi

(information provider). Pasar bebas ide, dalam hal ini, menjadi akomodator bagi

pihak-pihak yang berkepentingan dalam percaturan politik. Secara khusus,

sebagaimana ditetapkan dalam penelitian ini, pihak tersebut adalah partai politik.

Sedangkan untuk peran penyedia informasi, menjadi akomodator bagi kebutuhan

publik akan informasi politik. Kedua peran tersebut bertemu pada satu momentum

dimana partai politik membutuhkan saluran penyebarluasan visi-misi, dan publik

membutuhkan informasi politik, yakni masa kampanye politik. Dan oleh pers, peran

tersebut dilaksanakan dalam bentuk pemberitaan politik.

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dikemukakan di sini definisi kampanye

politik. Seringkali pemilih melihat pemberitaan maupun iklan beberapa tokoh di

media massa jauh sebelum Pemilu (di Indonesia, misalnya, Hary Tanoesoedibjo,

Prabowo, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh). Apakah iklan atau pemberitaan seperti

itu masuk ke dalam kampanye politik? Mana yang termasuk kampanye dan mana

yang bukan?

Definisi kampanye politik sendiri sangatlah luas. Oleh karena itu, seringkali

istilah “kampanye” menjadi sukar untuk dijelaskan. Biar demikian, beberapa ahli

mencoba mendefinisikan kampanye politik, meskipun, hanya berlaku untuk konteks

tertentu. Dalam hal ini, peneliti memilih definisi dengan melihat kondisi institusional

dan kuasi-institusional yang memungkinkan adanya kampanye. Brady, Johnston, &

Sides (2006) melihat suatu kegiatan dapat disebut sebagai kampanye politik, ketika

menemui beberapa kondisi:

1. Tanggal Pemilu sudah diketahui.

2. Identitas kandidat sudah diketahui.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

14

3. Kandidat bersedia menyisihkan semua waktunya secara virtual demi dipilih

(atau dipilih kembali).

4. Kegiatan-kegiatan tertentu yang semula biasanya tidak masuk ke dalam

regulasi, menjadi masuk regulasi—misalnya, sumbangan kepada Kepala Desa

di luar masa kampanye diperbolehkan, namun pada masa kampanye tidak

boleh karena merupakan bentuk money politics.

Segala bentuk penyampaian pesan atau gagasan akan menjadi kampanye

politik ketika semua kondisi tersebut berlaku. Jadi, menjawab pertanyaan

sebelumnya, sebuah iklan tokoh atau opini tokoh soal penanggulangan suatu masalah

dalam pemberitaan isu tertentu tidak bisa disebut sebagai kampanye politik ketika

informasi masih samar. Dengan kata lain, ketika empat kondisi tersebut belum

terpenuhi. Sebaliknya, begitu ada satu iklan saja yang menyebutkan bahwa seorang

tokoh itu calon presiden atau calon wakil presiden, maka segala bentuk iklan atau

koverasi media menjadi kampanye politik.

Untuk menyederhanakan definisi, bisa ditilik pula pengertian sebagaimana

tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik

Indonesia No. 1 2014. Menurut peraturan tersebut, “kampanye adalah kegiatan

peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan

program peserta Pemilu”. Kampanye politik bisa dilakukan dengan berbagai alat

(yang dipasang di ruang-ruang atau media tersedia) dan bahan (yang disebar kepada

pemilih), serta pelaksanaan acara-acara dimana kandidat memiliki ruang untuk

menyampaikan pesan politik kepada pemilih (PP Bawaslu RI No. 1 2014: 4). Dengan

dua definisi ini (kondisi-kondisi dan Peraturan Bawaslu RI) peneliti menyimpulkan

kampanye politik sebagai segala bentuk penyampaian pesan politik ketika sudah

terdapat kejelasan mengenai identitas kandidat dan informasi Pemilu. Di sini, kata

kunci yang bisa dipegang untuk membayangkan interaksi antara partai politik dengan

media massa adalah pesan politik. Pesan politiklah yang disampaikan dalam

pemberitaan politik, dan pesan politik pula yang menjadi inti dari kampanye politik.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

15

Dalam hubungannya dengan media massa, peneliti membagi penyampaian

pesan melalui kampanye politik ke dalam dua bentuk besar, yakni: political

advertising (dalam bentuk iklan) dan political public relations (dalam bentuk

kegiatan kehumasan) (McNair: 2003: 95). Political advertising menggunakan

metode-metode yang digunakan dalam kegiatan periklanan. Misalnya, menyiapkan

biaya, menyusun materi iklan, kemudian menyewa spot siaran atau halaman media

massa untuk pemasangannya. Sedangkan, political public relation menggunakan

metode-metode dalam kehumasan. Misalnya pelaksanaan kegiatan-kegiatan (events)

seperti orasi, bakti sosial, dan sebagainya, yang kemudian memancing perhatian

media massa. (Burton & Shea, 2010; McNair, 2003)

Dalam konteks penelitian ini, secara khusus peneliti menaruh perhatian pada

political public relations. Dalam pandangan peneliti, political public relation

merupakan metode yang memiliki keterikatan lebih erat dengan media massa

dibandingkan dengan political advertising. Alasannya sederhana, yakni adanya fungsi

publisitas atau free media yang dibawa political public relations (kebalikan dari

political advertising, yang berbayar). Istilah free media sendiri secara sederhana

dapat diartikan sebagai kondisi dimana partai politik atau kandidat mendapatkan

saluran penyampaian pesan secara cuma-cuma dari media massa.

Peristiwa dimana partai politik mendapatkan free media dari media massa

disebut pseudo-event. Boorstin (1962) menelurkan istilah pseudo-event sebagai

reaksinya terhadap kenaikan kecenderungan media berita untuk meliput kejadian-

kejadian yang “tidak nyata” atau tidak otentik. Sederhananya, pseudo-event bisa

disebut peristiwa buatan yang dianggap media bernilai berita (Boorstin, 1962: 14).

Cara penyampaian pesan politik melalui pseudo-event merupakan salah satu

kunci political public relations. Dalam hal ini, fungsi media massa sebagai sumber

berita berimpitan dengan kepentingan partai atau kandidat dalam menyampaikan

pesan politik. Audiens akan menganggap informasi bermuatan politik yang

dicernanya sebagai lebih “hidup” dan lebih “asli”, karena informasi yang mereka

peroleh hasil dari peliputan langsung. Oleh karena itu, informasi akan masuk secara

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

16

lebih halus, atau, secara tidak sadar. Ini bertentangan dengan political advertising,

dimana, “mereka (pemilih) sadar bahwa ini (iklan politik) adalah informasi

bermuatan politik…(dan oleh karenanya) efektivitas iklan sebagai media persuasi

menjadi terbatas…mengetahui bahwa pesannya “sengaja”, pemilih akan menjaga

jarak darinya” (McNair, 2003: 130).

Ada pembelaan maupun kritik terhadap maraknya peliputan pseudo-event. Di

satu sisi, ada yang memandang bahwa peliputan pseudo-event sebagai bentuk

tindakan pengiklanan dengan “kualitas berita”. Ini mengindikasikan posisi wartawan

sebagai agen kehumasan partai politik, sebab dikendalikan oleh kepentingan selain

publik (Jamieson, 1992 dalam Blumler & Gurevitch, 2001). Namun di sisi lain, ada

yang memandang bahwa pembuatan pseudo-event dan peliputannya merupakan

bagian dari kebebasan berpendapat (freedom of speech). Sebagaimana dikemukakan

Boorstin (1962):

“Dalam masyarakat demokratis…pembuatan pseudo-event merupakan bagian

dari kebebasan pers dan penyiaran. Politisi, wartawan/jurnalis dan media

massa yang berkompetisi, menemukan (arena) kontestasinya pada pseudo-

event. Mereka berlomba satu sama lain untuk menawarkan pesan atraktif dan

informatif, serta gambaran mengenai dunia. Mereka bebas untuk berspekulasi

atas fakta, membawa fakta baru ke kenyataan, untuk menagih jawaban atas

segala pertanyaan yang mereka simpan. “Pasar bebas ide (free market of

ideas)” kita adalah tempat dimana kubu-kubu diperlawankan melalui

kompetisi pseudo-event, dan diperbolehkan untuk menghakiminya. Ketika

kita membicarakan tentang “memberi informasi” kepada warga, inilah yang

kita maksud.” (Boorstin, 1962: 35).

Peneliti menyimpulkan, dua pertentangan tersebut sama-sama mungkin terjadi jika

melihat fakta yang ada. Di satu sisi, jika pada dasarnya peliputan pseudo-event

dikendalikan kepentingan ekonomi-politik tertentu, hal tersebut tampak dalam bentuk

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

17

bias pemberitaan. Sebaliknya, ketika dikendalikan oleh kepentingan publik, media

akan bersikap adil dalam pemberitaan. Masalahnya bukan terletak pada pseudo-event

itu sendiri, melainkan pada bagaimana dan atas dasar apa pseudo-event itu

diperlakukan. Pseudo-event diluncurkan ke dalam arena kontestasi, dimana semua

mendapat perhatian, semua mungkin tampak baik dan semua mungkin tampak buruk

sesuai keadaan di lapangan. Artinya, persaingan terjadi secara adil. Inilah posisi yang

dipegang peneliti sebagai dasar penelitian ini. Dengan demikian, posisi pers sebagai

pasar bebas ide dan penyedia informasi mampu terlaksana dengan maksimal.

Kampanye Terbuka menjelang Pemilu Legislatif 2014, merupakan salah satu

bentuk pseudo-event kampanye politik. Kampanye ini dilaksanakan pada tanggal 16

Maret sampai dengan 5 April 2014. Pada masa ini, seluruh partai politik menerapkan

segala bentuk strategi kampanye tatap muka yang telah dirancang dalam sekali tarik.

Free media merebak, dan partai akan kebanjiran publisitas, baik dalam hal yang

mendukung maupun memojokkan. Keuntungan yang diperoleh pun dobel, satu dari

tatap muka langsung dengan massa pemilih, dan satu lagi lewat media massa. Akan

tetapi, ada masalah. Peta penguasaan media-media di Indonesia berkutat di sekitar

petinggi partai politik, dan tidak ada yang bisa menebak pola pemberitaannya seperti

apa. Penelitian yang dilakukan soal pengaruh kepemilikan media terhadap

pemberitaan, pada tahun-tahun yang lalu, ternyata menunjukkan hasil yang kurang

memuaskan.

E.3. Konsentrasi Kepemilikan Media: Studi Mengenai Terhalangnya Peran

Ideal Pers

Posisi ideal pers menemukan momentumnya yang paling penting saat masa-

masa kampanye. Pada saat yang demikian, pers tidak akan bisa melepaskan diri dari

kandidat dan pemilih, dan oleh karena itu, harus menjalankan kerjanya seideal

mungkin. Dari sini muncul pertanyaan: apa kira-kira yang menjadi dasar kerja ideal

wartawan? Tim Russert, Jody Wilgoren, dan Howard Fineman dalam Kovach (2001)

menyarankan jurnalis yang berkecimpung dalam pemberitaan politik untuk bertanya

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

18

kepada diri sendiri: siapa saya? Dimana sekarang posisi saya seharusnya? Apa saja

yang telah dan akan saya kerjakan dalam lingkaran politik? Apa sikap politik saya

terhadap setiap suatu peristiwa atau figur kandidat? Jawaban yang harus selalu keluar

adalah:

“Kita adalah para profesional tanpa peran partisan. Kita netral terhadap semua

partai politik, faksi, kandidat. Kita ada di sisi publik. Kita menyuplai berita-

berita vital, konteks untuk memahaminya, analisis dan interpretasi ketika

dibutuhkan” (Kovach, 2001 dalam Masduki, 2004).

Apakah massa pemilih di Indonesia kini bisa mengalami kerja jurnalis yang

benar-benar ideal seperti jawaban di atas? Jawaban peneliti: tampaknya belum.

Argumen ini, salah satunya, didasari oleh satu kenyataan, yakni bahwa kerja jurnalis

di Indonesia memang “menumpul” pada waktu Pemilu. Gejala tersebut salah satunya

terbukti pada Pemilu 2004.

Berdasarkan hasil riset, Masduki (2004) mengemukakan bahwa, “ide tentang

jurnalisme politik yang independen gagal berjalan selama Pemilu 2004 di Indonesia.

Daripada menjaga jarak dari kepentingan kapitalis dan borjuis, beberapa jurnalis

justru dengan bangga melayani mereka.” Kecenderungan watak media massa pada

Pemilu 2004 memperlihatkan kontradiksi dengan cita-cita reformasi. Pascareformasi,

kepentingan media massa justru terarah melangkahi kepentingan publik; dari

penguasa (oleh represi), langsung ke pemodal (oleh uang). Kepentingan ini terwujud

dalam bentuk sikap skeptis media massa: Pemilu 2004 justru dijadikan media sebagai

momentum untuk menyajikan berita bisnis dan hiburan (yang berorientasi pasar)

sebagai trade-mark, dan kontroversi tidak tampak sama sekali. Beberapa pengelola

media bahkan secara jelas menjadi tim sukses kandidat presiden dan wakil presiden.

Kebutuhan publik atas informasi politik yang komplit saat itu tidak terlayani dengan

baik (Masduki, 2004).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

19

Selain bukti di atas, riset yang lebih baru juga menunjukkan gejala yang

sejalan. Nugroho dkk. (2012) mengemukakan bahwa “sebagai alat untuk kekuasaan,

media menanggung bias yang tidak dapat dihindari karena adanya intervensi pemilik

media, yang juga diharuskan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan korporasi

ketika menciptakan konten (terutama konten berita), serta mendistribusikannya

kepada pemirsa.” Pemilik media, dalam hal ini, membuat media menjadi sebuah

komoditas dimana pemirsa hanya dipandang sebagai konsumen, bukan warga negara

yang sah. Hasilnya, warga negara hanya terpapar informasi secara terbatas, karena

kebanyakan isu-isu seperti sosial, ekonomi, dan politik disampaikan secara selektif

(Nugroho, Putri, & Laksmi, 2012).

Apabila kecenderungannya masih sama, gejala yang mungkin dihadapi pada

Pemilu 2014 jauh lebih mengkhawatirkan. Beberapa pemilik korporasi besar induk

media massa kini bahkan sudah resmi mengampanyekan diri sebagai calon

presiden—seperti Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacomm/MNC), Aburizal Bakrie

(Visi Media Asia), dan Surya Paloh (Media Group). Bahkan, media yang seharusnya

melayani kepentingan publik bisa beralih jadi media propaganda. Mengutip Chomsky

(1992), media propaganda ada untuk memenuhi fungsi, “’Model Propaganda’ oleh

elit yang menguasai media dan menggunaan bentuk-bentuk ‘celaan’ (censure) untuk

menjaga agar ide-ide yang tidak diinginkan (oleh elit) tetap berada di luar kesadaran

publik.” Dalam jurnalisme propaganda, media tidak berniat memberikan pendidikan

politik yang sehat, melainkan membiarkan diri menjadi political public relations para

kandidat (Herman & Chomsky, 1988). Semua hal tersebut bisa terjadi dengan latar

satu hal: media yang kian tidak netral.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

20

Tabel 1.1. Kelompok media utama Indonesia Per-2011 (Nugroho, dkk., 2012).

E.4. Media yang Diteliti: Portal Berita Online Milik Politikus dan Non-Politikus

Seiring berkembangnya media internet, media massa konvensional turut serta

memperluas jalur diseminasi informasi mereka, yang kini mengambil wujud sebagai

portal berita online. Adanya fenomena ini menggeser dugaan awal mengenai fungsi

internet, yakni sebagai wahana informasi alternatif serta tempat bagi suara-suara

kaum marginal dan tertindas (Krasnoboka & Brants, 2002, dalam Voltmer (ed.),

2006). Meskipun yang terakhir ini pada akhirnya juga berjalan, namun media-media

yang sudah berkuasa sejak sebelumnya tetap dominan. Berbagai studi menunjukkan,

internet pada akhirnya hanya menjadi alat lain yang mendukung semakin

tertancapnya kuasa golongan-golongan dominan (Voltmer, 2006). Nugroho (2012)

membahasakan portal berita online ini sebagai “konten lama dengan wajah baru.”

(Nugroho dkk., 2012: 87).

Akan tetapi, gejalanya tidak mesti demikian. Di Ukraina, studi Krasnoboka

dan Brants (2002) menunjukkan bahwa portal berita online lebih banyak mengemas

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

21

berita secara netral dibandingkan dengan media konvensional. Dalam posisi yang

demikian, meskipun tetap merambah menjadi media jurnalistik, portal berita online

memenuhi fungsinya sebagai “penyedia sudut pandang alternatif” (mengingat media

lain condong kepada pemerintahan). Biar demikian, inti masalah belum tersentuh.

Kesan yang diperoleh dahulu mengenai informasi di internet, yakni “baca koran ya

baca koran, baca internet ya baca internet” (Nugroho, 2012: 89), luruh seiring

perpanjangan tangan media konvensional dalam menggunakan internet sebagai media

berita. Kini, seiring merebaknya portal berita online, “koran” semakin ada di mana-

mana.

Dalam kondisi seperti ini, solusi yang mestinya dijalankan adalah penerapan

kaidah-kaidah jurnalistik ideal pada portal berita online. Ketika media jurnalistik

bercampur baur dengan media-media diskusi di internet, seharusnya media jurnalistik

tersebut mampu menjadi referensi yang handal bagi diskusi yang berjalan. Artinya,

berita yang ditawarkan mesti objektif. Selain itu, media tersebut seharusnya mampu

merekam lebih banyak kegelisahan-kegelisahan yang tumpah dalam diskusi

masyarakat dalam jaringan. Dengan demikian, fungsi yang keberadaan portal berita

online justru menjadi dapur pacu pemberdayaan kaum marginal. Ukraina sudah

pernah mengalami itu, dan terbukti, media online mampu jadi penyedia informasi

politik yang lebih baik (Voltmer, 2006).

Akan tetapi, pembaca portal berita online di Indonesia tampaknya mesti lebih

dahulu gelisah jika memikirkan ini. Studi Masduki (2004) dan Nugroho (2012),

sebagaimana dijelaskan sebelumnya, telah lebih dahulu menunjukkan gejala yang

membikin pesimis. Kepemilikan media konvensional, turut mengendalikan kualitas

berita yang disebar. Dan sebagian besar pemilik media konvensional itulah, yang kini

memperpanjang jangkauannya lewat portal berita online.

Studi ini ingin membandingkan bagaimana pemberitaan yang tampil pada

portal berita online, yang merupakan perpanjangan tangan media konvensional

tersebut. Portal yang dipilih peneliti adalah okezone.com, yang berada di bawah

naungan Global Mediacomm milik Hary Tanoesoedibyo, dan viva.co.id, di bawah

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

22

naungan Bakrie & Brothers milik Aburizal Bakrie. Selain itu, peneliti juga akan

menganalisis pemberitaan portal berita lain yang tidak dimiliki politikus, yakni

tempo.co dan kompas.com pada periode yang sama, untuk melihat bagaimana

perbedaannya. Secara implisit peneliti mempertanyakan, apakah jalur diseminasi

yang berbeda melahirkan pemberitaan yang berbeda pula—artinya menjadi lebih

“ramah khalayak”—atau sama saja—sebagai perpanjangan tangan bagi “propaganda”

si pemilik. Oleh karena itu, peneliti ingin membandingkan netralitas pemberitaan

keempat berita online tersebut.

E.5. Kerangka Konsep

Penelitian ini dilakukan dengan analisis per satuan berita. Konsep utama yang

digunakan untuk analisis tersebut adalah netralitas. Namun demikian, untuk melihat

kecenderungan pemberitaan di luar satuan berita, peneliti menggunakan unit-unit

pendukung di luar konsep netralitas. Harapannya, analisis yang akan dihasilkan

menjadi lebih kaya, dan bisa memberi gambaran-gambaran baru tanpa harus terikat

satuan unit berita. Bagian kerangka konsep ini berisi penjelasan mengenai konsep

netralitas, yang kemudian diikuti dengan pembahasan mengenai informasi umum

berita.

E.5.1. Memahami Netralitas sebagai Salah Satu Ukuran Laku Ideal Pers

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pers memegang peran politik yang

krusial sebagai di masa kampanye. Peran tersebut adalah pasar bebas ide (free

marketplace of ideas) dan penyedia informasi (information provider). Pasar bebas

ide, dalam hal ini, tertuang dalam bagaimana institusi media memperlakukan aktor-

aktor yang bergulat dalam percaturan politik. Kemudian sebagai penyedia informasi,

tertuang dalam bagaimana informasi yang disediakan mampu menjadi informasi yang

benar bagi publik. Dalam hal ini, peneliti mengangkat satu konsep yang dirasa

peneliti mampu merangkum dua peran tersebut, yakni: netralitas.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

23

Netralitas dapat dikatakan sebagai konsep paling ujung dalam “genealogi”

profesionalisme wartawan (Iggers, 1999). Netralitas merupakan turunan dari

objektivitas, sebuah konsep besar yang terus dipertahankan sebagai basis

epistemologi jurnalisme. Pada pembahasan ini, peneliti akan mengawali diskusi

dengan membahas objektivitas sebagai konsep induk dari netralitas. Melalui diskusi

ini, peneliti menyajikan gambaran mengenai muasal konsep netralitas. Baru setelah

itu, peneliti akan menginjak netralitas.

E.5.1.1. Objektivitas: Arketipe Jurnalisme

Sebelum mendalami konsep netralitas, peneliti akan menjelaskan terlebih

dahulu tentang konsep “induk”-nya, yakni objektivitas. Objektivitas merupakan

konsep arketipal dalam jurnalistik, yang disebut-sebut sebagai standar (McQuail,

2010), etika sentral, maupun doktrin epistemologis (Iggers, 1999). Objektivitas dapat

dikatakan merupakan “sifat dasar” dari jurnalisme itu sendiri (Klaidman &

Beauchamp, 1987).

Konsep objektivitas mulai mengemuka di Barat pada 1920-an, ketika kerja-

kerja jurnalistik mengalami krisis kredibilitas (Iggers, 1999). Pada saat itu,

sebagaimana umum terjadi, wartawan banyak didaulat tidak untuk menjadi pengabar

peristiwa, melainkan mengarahkan opini publik. Elit negara pada saat itu

membutuhkan dukungan bagi perang, dan oleh karenanya, pers digunakan untuk

propaganda.

Di Indonesia sendiri, pers mengalami gejala yang sama. Seiring perjalanan

sejarah, pers Indonesia terus mengalami redefinisi. Di masa penjajahan, pers didaulat

menjadi “alat perjuangan”. Pada pemerintahan Sukarno pers didaulat menjadi “alat

revolusi”. Pada masa Orde Baru, pers diperbolehkan “bebas” namun

“bertanggungjawab” (dua konsep yang mulanya baik, namun menjadi ambigu ketika

digabungkan), dan merupakan “pendukung pembangunan” (Sen & Hill, 2007).

Sekilas, jika melihat konteksnya, pers sebagai alat propaganda di masa lalu

memang menghasilkan banyak manfaat bagi negara-negara yang baru lepas dari

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

24

penjajahan. Hal yang sama juga berlaku bagi negara yang sudah lama berdiri, yakni

ketika negara tersebut membutuhkan “nasionalisme” agar tetap bersatu. Akan tetapi,

para intelektual maupun filsuf menyadari bahwa “pers sebagai alat penguasa” tidak

boleh terus dibiarkan. Meskipun pada saat itu sangat membantu, pers propaganda

lambat laun akan membuat jurnalisme mengalami krisis ontologis. Kekhawatiran ini

bukan tanpa alasan. Daya pers yang sangat kuat saat itu telah disadari, dan jika

dimanfaatkan oleh segelintir elit, suatu saat justru akan mendesak publik.

Oleh karena itu, para intelektual berpikir bahwa pers mesti “memisahkan

diri”. Ia harus bisa berdiri sendiri, agar publik senantiasa memiliki ruang untuk

mengetahui apa yang betul-betul “benar”. Menanggapi ini, Lipmann (1920)

mengemukakan bahwa jurnalisme harus membangun tubuh profesionalnya, atau

dengan kata lain mesti mengambil metodenya dari sains, dan membangun budaya

organisasinya dari profesionalisme. Sebagai profesi, ia digadang-gadang mampu

menjawab klaim tentang bangunan keahlian (body of expertise) dan tanggung jawab

khusus kepada publik (special responsibility to the public). Oleh karena itu, pers

membutuhkan sebuah bangunan filosofis yang mampu menjadi patokan

konsistensinya. Inilah yang kemudian mendasari lahirnya konsep objektivitas.

Meskipun sudah menemukan bentuk, diskusi soal objektivitas selalu

mengalami masalah. Sekurang-kurangnya ada dua pandangan mengenai definisi

objektivitas. Pertama, jurnalisme yang objektif adalah jurnalisme yang, dalam

menyatakan fakta, atau secara lebih luas dalam menggambarkan realitas, benar-benar

mewakili fakta apa adanya. Kedua, jurnalisme yang objektif adalah yang, dalam

proses kerjanya, mematuhi seperangkat prosedur yang telah ditentukan untuk

menghasilkan produk yang objektif. Pada prakteknya, banyak jurnalis yang mematuhi

prosedur namun tanpa disertai komitmen epistemologis. George Lardner Jr., seorang

wartawan Washington Post, mengodifikasi prosedur-prosedur yang menentukan

objektivitas, antara lain:

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

25

1. Reporter hanya boleh menceritakan apa yang bisa diobservasi dan pada

sebuah peristiwa yang jelas—apa yang bisa dilihat dan diverifikasinya.

2. Reporter mesti menceritakan hal kontroversial dengan menyatakan pandangan

masing-masing pihak yang bertentangan. Aturan ini biasanya

merepresentasikan usaha reporter untuk menjelaskan unsur “mengapa”, ketika

kerjanya dibatasi oleh aturan pertama (hanya peristiwa yang bisa diobservasi

dan diverifikasi). Pertentangan pandangan akan memberikan pertimbangan-

pertimbangan soal “mengapa” dalam peristiwa.

3. Reporter, dalam mengumpulkan fakta observatif dan menuliskan pandangan

dari pihak-pihak yang bertentangan, harus imparsial. Ia tidak boleh

membiarkan keyakinan, prinsip, kehendak, bahkan pengetahuannya mewarnai

fakta mentah yang diobservasinya atau pernyataan (dalam berita) yang

mengovernya (sebagaimana dikutip Lou (1977); dalam Iggers, 1997).

Berdasarkan paparan di atas, pertanyaan akan objektivitas sebuah berita dapat

diwakili oleh dua pertanyaan: (1) “apakah berita benar-benar mewakili fakta apa

adanya?” atau (2) “apakah berita dibuat berdasarkan prosedur (etis) yang berlaku?”

Biar demikian, sebagian besar intelektual yang mempertahankan objektivitas sebagai

bangunan yang melekat dalam jurnalisme, memegang keyakinan bahwa dalam

prakteknya, objektivitas sejati tidak akan bisa dicapai. Dalam hal ini, tugas jurnalisme

adalah mendekati kebenaran objektif sedekat mungkin.

Westertahl (1983) mencoba merangkum prosedur-prosedur yang menjadi

standar objektivitas menjadi konsep-konsep baru. Menurutnya, konsep besar

objektivitas terdiri dari dua kriteria, yakni faktualitas dan imparsialitas. Faktualitas

adalah keharusan sebuah kerja atau produk jurnalistik untuk faktual, atau; pertama,

dapat dicek kebenarannya (truth), kedua, informasi yang dikumpulkan atau peristiwa

yang ditulis relevan (relevance), dan ketiga, berisi muatan yang layak

(informativeness). Sedangkan imparsialitas adalah keharusan sebuah kerja atau

produk jurnalistik untuk memperlihatkan ketidakberpihakan, atau; pertama,

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

26

berimbang (atau, proporsional dalam hal ruang, waktu, dan penekanan), dan kedua,

menunjukkan netralitas (tidak bias dalam proses penggambaran fakta, atau

menggambarkan fakta apa adanya).

Bagan 1.1. Objektivitas dan turunan-turunannya (Westertahl, 1983, dalam McQuail,

2010).

Faktualitas, dalam hal ini, kurang lebih sesuai dengan prosedur pertama, yakni apa

yang diceritakan haruslah memungkinkan untuk diverifikasi. Sedangkan imparsialitas

sesuai dengan prosedur kedua dan ketiga, dimana wartawan mesti merangkum semua

sisi (berimbang), di samping itu juga tidak memasukkan nilai-nilai subjektif ke dalam

berita (netral).

E.5.1.2. Turunan Netralitas

Berdasarkan penjelasan soal objektivitas di atas, dapat dilihat dimana posisi

netralitas. Netralitas sendiri, dalam konteks studi ini, merupakan konsep yang

digunakan untuk melihat kinerja media melalui berita yang dihasilkannya. Netralitas

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

27

sejatinya merupakan konsep yang sederhana, namun bersifat fleksibel sehingga

mungkin untuk diterapkan dalam segala bentuk objek.

Netralitas adalah seberapa netral berita disampaikan kepada pembaca.

Eriyanto (2011) mendefinisikan berita netral sebagai berita yang menyampaikan

peristiwa dan fakta apa adanya, tidak memihak kepada sisi-sisi peristiwa. Secara lebih

detail, berita yang netral dapat dikatakan sebagai berita yang tidak mengandung

evaluasi (penilaian/penghakiman), dan tidak mengandung dramatisasi atas fakta

(Eriyanto, 2011: 184).

McQuail (2010) juga mengajukan definisi soal berita yang netral.

Menurutnya, berita yang netral adalah berita yang memisahkan fakta dan opini,

menghindari pendapat yang sarat nilai, atau penggunaan bahasa dan gambar yang

sifatnya mengandung penilaian emosional (McQuail, 2010). Senada dengan hal ini,

telah ada bukti bahwa pemilihan kata-kata merefleksikan dan mengindikasikan

masuknya penilaian (atau perlakuan khusus) dalam pemberitaan.

Sebagaimana dikemukakan Eriyanto (2011), pengukuran netralitas melibatkan

dua indikator, yakni evaluatif/non-evaluatif, serta sensasional/non-sensasional.

Selanjutnya, Definisi McQuail (2010) menyebutkan bahwa berita yang netral

memisahkan fakta dan opini. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti membagi

indikator netralitas menjadi dua, yakni:

1. Evaluasi.

2. Sensasi.

Pertama, evaluatif/non-evaluatif merupakan ukuran yang mewakili netralitas

dari penggunaan kata-kata, kalimat, dan gambar. Secara sederhana, evaluatif/non-

evaluatif merupakan ada atau tidaknya penilaian yang masuk ke dalam sebuah berita.

Hal ini diwakili oleh kecenderungan pemilihan kata-kata atau kalimat di luar kutipan

yang digunakan, apakah mengandung konotasi mendukung atau memojokkan pihak

yang diberitakan.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

28

Untuk secara lebih ketat mendefinisikan evaluasi, peneliti menggunakan

definisi Thomson (2008) tentang netralitas. Menurutnya, berita yang netral adalah

berita yang mengurangi opini kepengarangan (authorial opinion) dan sudut pandang

(point of view), dan menggambarkan fakta apa adanya. Penggunaan kata-kata

keterangan tanpa dasar dalam berita, merupakan contoh opini kepengarangan.

Untuk identifikasi atas ada atau tidaknya evaluasi, peneliti menggunakan teori

penilaian (appraisal theory). Identifikasi atas ada atau tidaknya sudut pandang

kepengarangan di sini didasarkan pada teori penilaian (appraisal theory). Teori

penilaian berisi tipologi reaksi berdasarkan sikap atas suatu peristiwa (lihat Martin

2000, White 2000a, dan Martin & White 2005 untuk contoh). Teori ini merupakan

teori yang dikembangkan untuk mengidentifikasi kata-kata seperti apa yang

memungkinkan untuk dimuati nilai, baik itu positif maupun negatif, dan oleh karena

itu, merupakan evaluasi (Thomson, 2008). Dalam pendefinisiannya, peneliti

menyesuaikan tipe reaksi dalam konteks analisis teks berita. Berikut tipe-tipe reaksi:

1. Afeksi (affection): reaksi atas sesuatu berdasarkan kondisi emosi tertentu,

dan dengan demikian, teks yang ditulis mengandung nilai emosional—

“marah”, “senang”, “sedih”, “takut”, dan sebagainya—tanpa adanya

pemaparan kutipan langsung, baik wawancara maupun kata-kata dari pihak

lain, yang menunjukkan atribusi pada pihak yang digambarkan;

2. Penghakiman (judgment): reaksi atas perilaku pihak yang diberitakan

berdasarkan penilaian normatif berdasarkan kerangka referensi atas norma-

norma yang berlaku—misalnya berupa etis/tidak etis, jujur/tidak jujur,

pemberani/penakut, mampu/tidak mampu, normal/abnormal, dan

sebagainya—tanpa adanya pemaparan kutipan langsung, baik wawancara

maupun kata-kata dari pihak lain, yang menunjukkan atribusi pada pihak yang

digambarkan.

3. Apresiasi (appreciation): masuknya nilai sosial pada artefak, teks, objek,

pernyataan, dan sebagainya, berdasarkan estetika dan penilaian lain sesuai

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

29

referensi wartawan—penggunaan kata keterangan “rapi”, “tampan”, “baik”,

penggunaan kata ganti “penyelamat”, dan sebagainya—tanpa adanya

pemaparan kutipan langsung, baik wawancara maupun kata-kata dari pihak

lain, yang menunjukkan atribusi pada pihak yang digambarkan.

Tiga reaksi atas sikap di atas, dapat dimuati nilai, entah dalam bentuknya yang

positif maupun negatif. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat pula bagaimana

nada yang ditunjukkan pada setiap evaluasi yang muncul. Adanya kecenderungan

nada pemberitaan tertentu pada evaluasi, akan menunjukkan arah ketidaknetralan

berita.

Ketiga jenis reaksi-atas-sikap di atas merupakan indikator peneliti untuk

melihat ada atau tidaknya evaluasi. Ketiga poin tersebut, dalam penelitian ini,

diperlakukan secara setara oleh peneliti semata-mata sebagai indikator. Tidak ada

ukuran soal mana yang lebih evaluatif, apakah afeksi, penghakiman, atau apresiasi.

Selama di antara ketiga reaksi tersebut pada berita, maka berita akan dilihat sebagai

evaluatif, dan dengan demikian, tidak netral.

Fungsi berita, pada dasarnya adalah menyampaikan rekaman wartawan atas

suatu peristiwa. Biasanya hal ini berbentuk kutipan-kutipan tidak langsung, kutipan

langsung, atau deskripsi wartawan atas peristiwa yang dilihat secara langsung. Akan

tetapi, kadang-kadang wartawan memasukkan nilai kepada kata-kata yang

digunakannya. Masuknya berapa reaksi tersebut pada berita akan digolongkan pula

oleh peneliti, namun semata-mata untuk tujuan deskriptif.

Pengukuran evaluasi akan dilakukan menurut bagian-bagian struktur berita.

Adanya evaluasi akan dilihat secara mendetail pada berita. Struktur berita terdiri dari

headline (judul), lead (awalan), body (tubuh), dan leg (penutup). Masing-masing

bagian struktur merupakan tempat-tempat yang cukup krusial bagi penempatan kata

atau kalimat-kalimat evaluatif dan sensasional. Melalui pengukuran pada masing-

masing bagian struktur, peneliti ingin melihat bagaimana kecenderungan awak media

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

30

dalam memberitakan peristiwa, apakah keseluruhan berita itu evaluatif dan/atau

sensasional, atau pada bagian-bagian tertentu saja.

Kedua, sensasional/non-sensasional. Secara esensial, sensasional/ non-

sensasional ditandai dengan personalisasi cerita, permainan emosi audiens, melalui

penggunaan bahasa yang dramatis, atau tidak pada tempatnya (Gunter, 1997). Sensasi

tampak pada, pertama, penggambaran peristiwa yang semula biasa saja, namun dibuat

menjadi penting, luar biasa, atau di luar kewajaran (dalam konteks jurnalistik).

Kedua, berita yang pada dasarnya mengandung keseriusan atau menyangkut topik-

topik serius, namun dikemas secara “bercanda” atau menjadi bahan hiburan. Ciri-ciri

seperti ini biasanya muncul pada berita yang mengusung nama infotainment. Namun

dalam hal ini peneliti menerapkan pengukuran pada berita jurnalistik.

E.5.2. Informasi Umum Berita

Informasi umum berita merupakan informasi terkait berita selain yang diambil

untuk pengukuran netralitas. Selain variabel-variabel yang diukur untuk

mengidentifikasi nertal atau tidaknya sebuah berita, ada konsep lain yang juga tidak

bisa lepas dari analisis. Untuk informasi umum berita, peneliti mengambil tiga

konsep, yakni nada berita, subjek pemberitaan, dan porsi pemberitaan.

F. Definisi Operasional

Agar bisa melakukan pengukuran dengan tepat, konsep-konsep yang sudah

dijelaskan di kerangka pemikiran perlu didefinisikan secara lebih sederhana. Pada

bagian ini, peneliti akan menjelaskan definisi serta pecahan masing-masing konsep

untuk operasionalisasi. Peneliti membagi data yang dikumpulkan menjadi dua bagian,

yakni netralitas dan informasi umum berita. Netralitas dalam hal ini termasuk aspek-

aspek untuk melihat netral atau tidaknya sebuah berita. Sedangkan informasi umum

berita merupakan pendukung analisis.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

31

F.1. Netralitas

Setelah melihat beragam definisi netralitas (sebagaimana dijelaskan peneliti di

bagian kerangka pemikiran) peneliti menyimpulkan satu definisi netralitas untuk

penelitian ini, yakni: seberapa besar kesempatan diberikan oleh ruang-ruang redaksi

bagi masuknya unsur-unsur subjektif dalam berita. Semakin netral sebuah media,

maka ruang yang diberikan semakin kecil. Sebaliknya, semakin tidak netral sebuah

media, maka ruang bagi unsur-unsur subjektif semakin besar.

Lantas apa yang dimaksud dengan unsur subjektif? Peneliti mendefinisikan

unsur subjektif sebagai adanya kehendak yang diejewantahkan ke dalam perlakuan

tertentu terhadap fakta. Misalnya, jika awak redaksi berusaha sebisa mungkin untuk

memaparkan fakta apa adanya, maka berita tersebut semakin jauh dari “kehendak”

atas peristiwa, dan dengan demikian semakin netral. Netralitas, atau seberapa jauh

masuknya unsur subjektif/kehendak atas fakta, memiliki dua indikator: evaluasi dan

sensasi.

F.1.1. Indikator-Indikator

F.1.1.1. Evaluasi

Evaluasi merupakan seberapa besar porsi yang diberikan bagi masuknya

unsur-unsur subjektif pada berita. Secara operasional, evaluasi ditandai oleh ada atau

tidaknya penilaian dalam bentuk kata-kata atau kalimat tak berdasar yang masuk ke

dalam berita. Berita pada dasarnya merupakan salah satu piranti untuk

menggambarkan peristiwa. Adanya evaluasi merupakan adanya penilaian dari awak

redaksi yang tidak mengikuti alur pengutipan dan tidak memberi bukti kesaksian, dan

dengan demikian, tidak memiliki dasar.

Akan tetapi, tidak semua pernyataan tanpa dasar bisa disebut sebagai evaluasi.

Kadang-kadang ada pernyataan tanpa dasar, namun sebenarnya bukan merupakan

evaluasi, melainkan sekadar penggambaran/deskripsi wartawan atas apa yang dilihat

dan didengarnya lokasi. Yang terakhir ini sah dalam pemberitaan. Wartawan

memiliki hak untuk mendeskripsikan, misalnya, lokasi dan suasana, jika narasumber

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

32

yang dapat dijumpai minim. Adapun identifikasi atas ada atau tidaknya evaluasi akan

didasarkan pada tiga kategori berdasarkan teori penilaian (appraisal theory)

(Thomson, 2008). Tiga kategori tersebut adalah afeksi (affect), penghakiman

(judgment), dan apresiasi (appreciation). Berikut ini penjelasan masing-masing

kategori identifikasi:

Indikator

Netralitas Kategori Penjelasan Ciri-ciri

Evaluasi

Afeksi

Terdapat pemilihan

kata-kata

berdasarkan

kondisi emosi

tertentu, dan

dengan demikian,

teks yang ditulis

mengandung nilai

emosional; tanpa

adanya pemaparan

kutipan langsung,

baik wawancara

maupun kata-kata

dari pihak lain,

yang membuktikan

kebenaran atribusi

tersebut pada objek

yang digambarkan.

Penggunaan kata-

kata yang

menyangkut emosi,

seperti

“kemarahan”,

“senang”, “sedih”,

“takut”, dan

sebagainya.

Penghakiman Adanya kata-kata

yang merupakan

Penggunaan kata-

kata yang

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

33

atribut atas

perilaku pihak

yang diberitakan,

yang berdasarkan

penilaian normatif;

tanpa adanya

pemaparan kutipan

langsung, baik

wawancara

maupun kata-kata

dari pihak lain,

yang mengatakan

atribusi tersebut

pada pihak yang

digambarkan.

mengindikasikan

gagasan etis/tidak

etis, jujur/tidak

jujur,

pemberani/penakut,

mampu/tidak

mampu,

normal/abnormal,

dan sebagainya.

Apresiasi Masuknya nilai

sosial pada

artefak, teks,

objek,

pernyataan, dan

sebagainya,

berdasarkan

estetika dan

penilaian sosial

sesuai referensi

wartawan; tanpa

adanya pemaparan

kutipan langsung,

Penggunaan kata-

kata penilaian yang

mengandung

gagasan estetis atau

baik/buruk dalam

konteks sosial,

seperti keterangan

“rapi”, “tampan”,

“tersenyum

berwibawa”,

“tersenyum sinis”,

dan “pernyataan

optimis”,

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

34

baik wawancara

maupun kata-kata

dari pihak lain,

yang membuktikan

kebenaran atribusi

tersebut pada pihak

yang digambarkan.

sebagainya.

Tabel 1.2. Definisi operasional evaluasi dan ciri-cirinya.

Adapun identifikasi akan ada atau tidaknya penilaian pada sebuah keterangan dalam

berita, dapat dilihat contohnya pada tabel berikut:

Indikator Kategori Contoh

Evaluatif Afeksi Viva.co.id, Sabtu, 5 April

2014. (“Masa Orde Baru

Memang Ada

Kekurangannya, tapi…”)

“….muncul kerinduan

masyarakat pada situasi

seperti di masa Orde Baru. Di

masa itu, situasi aman dan

damai, kebutuhan pokok

terjangkau harganya,

swasembada pangan, dan

sebagainya.” � tidak ada

pengutipan sumber atau hal

lain di dalam berita yang

menjadi dasar pernyataan ini,

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

35

sehingga merupakan

pernyataan pribadi awak

redaksi.

Penghakiman Okezone.com, Sabtu, 5 April

2014 (“Terbukti Bersih,

Rakyat Sambut Hanura

dengan Tangan Terbuka”).

“Terbukti Bersih, Rakyat

Sambut Hanura dengan

Tangan Terbuka” � tidak ada

pengutipan sumber atau hal

lain di dalam berita yang

menjadi dasar pernyataan ini,

sehingga merupakan

pernyataan pribadi awak

redaksi.

Apresiasi Okezone.com, Sabtu, 5 April

2014 (“Kemenangan Hanura,

Kemenangan Hati dan Nurani

Rakyat”).

“Kemenangan Hanura,

Kemenangan Rakyat & Hati

Nurani ” � tidak ada

pengutipan sumber atau hal

lain di dalam berita yang

menjadi dasar pernyataan ini,

sehingga merupakan

pernyataan pribadi awak

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

36

redaksi.

Non-evaluatif Tempo.co, Kamis, 3 April

2014.

(1) “Prabowo: Saya Tidak

Malu Jadi Tukang Mimpi” �

ada penyebutan nama yang

menunjukkan bahwa

pernyataan tersebut dikutip

dari seseorang pada peristiwa

yang diliput. Selain itu,

diperjelas pula pada bagian

dalam berita bahwa si subjek

memang mengatakan hal

tersebut.

(2) “Prabowo menegaskan

bahwa mimpi yang ingin ia

capai adalah menjadikan

bangsa Indonesia kaya dan

makmur. ‘Saya bermimpi tak

ada lagi orang miskin di

Indonesia,’ kata Prabowo.” �

ada kata-kata penerang yang

jelas bahwa awak redaksi

mengutip ujaran subjek.

Dalam hal ini, si penulis dan

editor berita memperjelas

posisi mereka, bahwa mereka

benar-benar menggambarkan

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

37

apa yang ada di lapangan.

Tabel 1.3. Contoh evaluasi berdasarkan masing-masing indikator.

Setiap sudut berita merupakan “tempat” dimana awak media menempatkan

konten yang sifatnya evaluatif. Oleh karena itu, peneliti memecah struktur berita agar

pengukuran evaluasi mudah dilakukan. Dengan memecah struktur berita, peneliti

ingin melihat kecenderungan pemberitaan. Struktur berita terdiri dari headline

(judul), lead (awalan), body (tubuh) dan leg (penutup). Berikut ini tabel dan

penjelasan untuk masing-masing unit analisis:

Struktur Berita Penjelasan Contoh

Headline Merupakan judul berita,

biasanya dicantumkan

dengan cetak tebal dan

ukuran huruf paling besar.

“Kemenangan Hanura,

Kemenangan Rakyat &

Hati Nurani”

(okezone.com, Sabtu, 5

April 2014).

Lead Merupakan awalan berita.

Di berita online, biasanya

merupakan paragraf

pembuka dimana inti

berita disampaikan

(berdasarkan prinsip

“piramida terbalik”).

JAKARTA - Dalam 10

Tahun Indonesia maju,

Mungkinkah? Itulah yang

sedang dijelaskan dan

dijawab Partai Hanura

dalam orasi kampanye

akbar yang digelar secara

meriah di Stadion Utama

Gelora Bung Karno,

Jakarta, Sabtu (5/4/2014).

Body Merupakan bagian tengah

pada berita. Biasanya

Di hadapan ratusan ribu

simpatisan yang memadati

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

38

berisi penjelasan lanjutan

dari paragraf awal, yang

sifatnya lebih khusus,

menjelaskan detail

peristiwa.

gelora kebanggaan

Indonesia ini, Partai

Hanura tampil dengan

pasangan capres

cawapresnya, Wiranto-

Hary Tanoesoedibjo (Win-

HT).

"Hati nurani adalah

kompas yang

mengarahkan kita pada

kebenaran, karena itu,

Partai Hati Nurani tidak

hanya sekadar partai

politik, namun juga sebuah

gerakan moral yang

merindukan perubahan

Indonesia," ujar Wiranto

membuka orasi yang

langsung disambut tepuk

tangan gemuruh…dst.

(okezone.com, Sabtu, 5

April 2014).

Leg Merupakan bagian

penutup berita. Bagian ini

terletak pada paragraf

terakhir.

HT optimistis, Indonesia

bisa maju dalam waktu

tidak kurang 10 tahun,

untuk itu kata dia, Partai

Hanura dan WinHT

mengusung visi misi ini,

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

39

tujuannya lanjut HT agar

masyarakat bisa sejahtera

dan Indonesia menjadi

bangsa bermartabat yang

dihargai negara-negara

lain. (okezone.com, Sabtu,

5 April 2014)

Tabel 1.4. Struktur berita.

Berikut ini contoh berita evaluatif (bagian bergaris bawah merupakan bagian yang

mengandung evaluasi):

ARB dan Dua Putri Soeharto Kampanye Pamungkas di Surabaya

Tidak kurang dari 10 ribu orang, kader dan simpatisan berkumpul.

Sabtu, 5 April 2014, 16:37 Beno Junianto

VIVAnews - Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, berkampanye terakhir alias

pamungkas di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu, 5 April 2014. Kampanye yang dihadiri 10 ribu massa

simpatisan Partai Golkar itu dipusatkan di gedung Jatim Expo.

Dua putri mendiang mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto dan

Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, turut mendampingi ARB (panggilan akrab Aburizal

Bakrie). Keduanya kompak mengenakan busana serba warna kuning.

Tutut Soeharto mengawali orasinya denga menyapa massa simpatisan Golkar dengan dua bahasa

utama masyarakat di Jawa Timur, yakni bahasa Jawa dan Madura: "De remmah

kabere(bagaimana kabarnya)?" "Yo opo kabare Suroboyo (bagaimana kabar Surabaya??"

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

40

"Kita semua berada di sini karena kita sayang Golkar. Kita berjuang bersama Partai Golkar," kata

Tutut.

"Sayang sama Golkar, kan?" tanya Tutut kepada massa. Hadirin yang memenuhi gedung expo itu

pun kompak menjawab: "Sayang..." Tutut membalas dengan berujar: "Pak Harto (Soeharto) juga

sayang sama rakyat Indonesia.

Sedangkan Titiek Soeharto langsung mengutip ungkapan populer yang seolah diucapkan

Soeharto: "Enak zamanku, toh? (enak di zamanku, kan?)" Ia mengaku sudah berkeliling daerah di

seluruh penjuru Tanah Air. Masyarakat, katanya, memiliki keluhan yang sama, yaitu masa Orde

Baru lebih baik daripada masa sekarang.

"Keluhannya sama: penak zaman mbiyen (lebih enak zaman dulu di masa Orde Baru). Kita sudah

lelah melihat bangsa ini yang setiap hari ada korupsi," ujarnya.

ARB tak mau kalah. Ia pun memulai orasinya dengan menyapa warga Surabaya dengan berbahasa

Jawa. "Dulur-dulurku kabeh arek-arek Suroboyo (saudara-saudaraku warga Surabaya), warga

Jawa Timur yang ada di sini, yak opo kabare, rek (bagaimana kabarnya semua)?

Ia mengaku bangga sekaligus bahagia berada di tengah-tengah masyarakat Surabaya, warga Jawa

Timur, yang semangat kepahlawanannya tak pernah padam, tetap berkobar hingga saat ini.

"Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita, ketika Bung Tomo, Pahlawan Nasional, berpidato

dengan berapi-api memekikkan takbir Allahu Akbar, yang mampu membangkitkan semangat

arek-arek Suroboyo dalam mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Republik

Indonesia," katanya.

"Mari kita pekikkan bersama Takbir: Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…!"

Kuningkan Surabaya

Tidak kurang dari 10 ribu orang, kader dan simpatisan Partai Golkar siang ini menguningkan JX

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

41

Internasional di Jalan Ahmad Yani, Surabaya.

Priyo Ketua DPP Golkar Budi Santoso mengatakan, dengan kemenangan Partai Golkar, cita-cita

pendiri bangsa terwujud, menuju masyarakat adil dan makmur.

Ketua DPD PG Jatim, Zainuddin Amali juga sama, diawali dengan alunan ayat Al Qur'an, dia

mengingatkan agar 9 April 2014 nanti memilih Golkar untuk mewujudkan kesejahteraan.

Dengan telekonferensi itu, ARB dari Surabaya juga melakukan kontak bicara dengan Akbar

Tandjung, Luhut Panjaitan dan sejumlah petinggi Golkar Sumatera Utara. (adi)

Harapan Berantas Koruptor Ada di Pundak Win-HT

Sabtu, 5 April 2014 - 13:07 wib | Marieska Harya Virdhani – Okezone

JAKARTA - Ribuan kader Partai Hanura terus mengalir memenuhi Gelora Bung Karno

(GBK). Para kader di dalam GBK terlihat menyibukan diri untuk bersuka cita dengan

membunyikan alat musik dari galon air mineral.

Salah satu kader dari Pondok Rangon, Tommy, mengaku sudah datang sejak pukul 10.00

dengan naik bus.

Tommy meyakini bahwa Partai Hanura akan mengimplementasikan jargonnya yakni Bersih,

Peduli, Tegas. "Bagus, visi misinya lebih jelas daripada partai yang lain," katanya kepada

Okezone, Sabtu (05/04/2014).

Dia meyakini bahwa Win-HT sosok yang tepat untuk memimpin Indonesia. Salah satunya

dengan slogan bersih, Win-HT dapat memberantas korupsi. "Saya yakin Pak Win-HT bisa

berantas para koruptor, Sudah kebanyakan koruptornya," tukasnya.

Tabel 1.5. Contoh berita evaluatif.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

42

F.1.1.2. Sensasi

Setelah evaluasi, ada satu indikator lagi bagi pengukuran netralitas, yakni

sensasi. Pada bagian kerangka pemikiran telah dijelaskan definisi sensasi (Gunter,

1997). Definisi sensasi, dalam konteks penelitian ini, dapat dilihat pada tabel berikut:

Indikator

Netralitas Penjelasan Contoh

Sensasi (1) Pemilihan sisi peristiwa

yang paling tidak relevan,

yang mengandung permainan

emosi. Menjadikan sisi-sisi dari

peristiwa yang sebetulnya tidak

bernilai berita sebagai berita.

Pada sebuah peristiwa, ada

beragam sisi yang bisa diliput.

Berita yang sensasional adalah

berita yang meliput bagian

paling tidak relevan dari

peristiwa. Misalnya, alih-alih

memberitakan pro-kontra dari

kedatangan seorang politikus

dalam rangka kampanye, awak

redaksi menyorot bagaimana

keluarga si politikus selalu

menemani, bagaimana mereka

bercengkrama dengan rukun,

dan sebagainya. Gunter (1997)

menyebut ini sebagai

(1) (okezone.com, Sabtu, 5 April

2014, “Tiba di GBK, Hary

Tanoesoedibjo Salami Penderita

Difabel”) “Dengan

menggunakan kursi roda, pria

yang terbilang berusia lanjut itu

mengejar mobil WIN-HT.

Hingga akhirnya, Hary

menghentikan laju kendaraannya

sejenak untuk menyalami pria

yang mengaku bernama

Darmawan Nasution. Dalam

percakapan keduanya, tampak

Darmawan menggagumi

pasangan WIN-HT.”

(2) (Viva.co.id, Sabtu, 5 April

2014: “Usai Kampanye

Terakhir, ARB dan Wartawan

Buat Kenangan;

Ia berterima kasih kepada

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

43

“permainan emosi”. Ini seperti

berita infotainment yang diberi

label berita politik.

(2) Penggunaan bahasa secara

tidak wajar. Ada penggunaan

perumpamaan atau label,

penggunaan bahasa yang tidak

pada tempatnya, atau bahasa

tidak baku, dalam rangka

membuat lebih menarik bagi

pembaca. Berita-berita yang

sebenarnya menampilkan

kontroversi serius diselubungi

dengan bahasa-bahasa candaan,

dan kesannya menjadi lebih

menarik sebagai hiburan.

(3) Judul tidak sesuai isi. Judul

merupakan bagian yang pertama

kali dilihat ketika membuka

berita portal, dan oleh karena itu,

segala macam praduga bisa

muncul seketika setelah melihat

judul. Akan tetapi, kadang-

kadang dalam rangka membuat

berita lebih menarik, judul

dibuat bombastis, namun isinya

sama sekali tidak

menggambarkan apa yang

wartawan yang meliputnya

selama kampanye”)

Usai kampanye terbuka pemilu

legisatif terakhir hari ini, 5 April

2014, Ketua Umum DPP Partai

Golkar Aburizal Bakrie (ARB)

melakukan kegiatan santai

bersama tim dan wartawan.

Berbagai kegiatan santai

dilakukan setelah melalui

kampanye yang melelahkan

siang harinya…Saat itu, tiba-tiba

Ketua DPP Partai Golkar Fuad

Hasan Masyhur melontarkan

sebuah pernyataan yang

membuat para wartawan

bersorak. ‘Kalau kita menang

nomor satu, semua wartawan

umroh,’ kata Fuad yang juga

pemilik biro haji dan umroh

Maktour ini.

‘Beneran ya Pak, catet ya,’ ujar

para wartawan.”

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

44

disebutkan pada judul.

Tabel 1.6. Definisi dan contoh sensasi

Berikut ini contoh berita sensasional:

Usai Kampanye Terakhir, ARB dan Wartawan Buat Kenangan

Ia berterima kasih kepada wartawan yang meliputnya selama kampanye.

Sabtu, 5 April 2014, 22:19 Maya Sofia

VIVAnews - Usai kampanye terbuka pemilu legisatif terakhir hari ini, 5 April 2014, Ketua

Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) melakukan kegiatan santai bersama tim

dan wartawan. Berbagai kegiatan santai dilakukan setelah melalui kampanye yang

melelahkan siang harinya.

ARB bersama pengurus partai, tim, dan para wartawan makan siang di sebuah hotel di dekat

lokasi kampanye. Musisi Maluku Zeth Lekatompessy tampak menghibur dengan beberapa

buah lagu diiringi piano.

Safar "KDI" yang selama ini jadi penyanyi di kampanye Golkar pun ikut unjuk kebolehan

menghibur dengan bermain piano. Maria, wartawan Metro TV tak mau kalah. Dia tampil

menghibur dengan bernyanyi diiringi piano Safar.

ARB dan rombongan tampak menikmati hiburan dari wartawan yang biasanya meliput dia.

Setelah Maria selesai bernyanyi dan rombongan akan kembali ke Jakarta, ARB dan wartawan

ingin membuat kenangan.

Kemudian ARB dan para wartawan yang selama ini meliput kampanye dan roadshow-nya

berfoto bersama. "Ayo kita berfoto untuk kenang-kenangan," kata ARB.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

45

Selesai berfoto, ARB mengucapkan terima kasih pada wartawan yang selama ini ikut

berkeliling dan memberitakan kegiatanroadshow dan kampanyenya.

Saat itu, tiba-tiba Ketua DPP Partai Golkar Fuad Hasan Masyhur melontarkan sebuah

pernyataan yang membuat para wartawan bersorak. "Kalau kita menang nomor satu, semua

wartawan umroh," kata Fuad yang juga pemilik biro haji dan umroh Maktour ini.

"Beneran ya Pak, catet ya," ujar para wartawan.

Setelah itu, ARB dan para wartawan pun bergegas menuju Bandara Juanda untuk kembali ke

Jakarta.

Laporan: Dian Widiyanarko

Tiba di GBK, Hary Tanoesoedibjo Salami Penderita Difabel

Sabtu, 5 April 2014 - 14:25 wib | Arief Setyadi – Okezone

JAKARTA – Calon presiden dan calon wakil presiden dari Partai Hanura, Wiranto dan Hary

Tanoesoedibjo, akhirnya tiba di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Sabtu (5/4/2014),

untuk mengikuti Kenduri Partai Hanura yang bertajuk Gebyar Hanura Merakyat.

Saat tiba sekira pukul 14.00 WIB, pasangan dari partai bernomor urut 10 itu tampak kompak

berada dalam satu mobil Toyota Camry warna hitam bernomor polisi B 1251 SAH.

Dengan mengenakan kemeja putih berlogo Partai Hanura, keduanya sempat menebar senyum

ke sejumlah masyarakat yang telah menanti di GBK.

Di sela-sela kedatangannya, Hary sempat menyalami salah seorang warga penderita difabel.

Dengan menggunakan kursi roda, pria yang terbilang berusia lanjut itu mengejar mobil WIN-

HT.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

46

Hingga akhirnya, Hary menghentikan laju kendaraannya sejenak untuk menyalami pria yang

mengaku bernama Darmawan Nasution. Dalam percakapan keduanya, tampak Darmawan

menggagumi pasangan WIN-HT.

"Doakan kami ya, Pak," ujar Hary kepada Darmawan.

Sementara itu, Darmawan mengaku sengaja datang ke acara Kenduri Hanura karena memang

mengagumi pasangan WIN-HT.

"Saya dari Jakarta Timur, mau ikut kampanye Hanura," pungkasnya.

Tabel 1.7. Contoh berita sensasional.

F.2. Informasi Umum Berita

Meskipun unit analisis serta tatacara pengukuran sudah ditetapkan pada

kerangka konsep, namun peneliti masih membutuhkan informasi di luar konsep untuk

menjadi acuan. Informasi ini berperan krusial bagi analisis, namun pada dasarnya

memang tidak memiliki fungsi pengukuran netralitas. Informasi umum ini antara lain

nada pemberitaan, subjek pemberitaan, dan porsi pemberitaan.

F.2.1. Nada Pemberitaan

Thomson (2008) mengemukakan bahwa masing-masing turunan dari

appraisal theory (afeksi, penghakiman, dan apresiasi) merupakan reaksi atas sikap

yang pasti dimuati nilai—yakni positif dan negatif. Nilai ini tentu saja juga akan

diperhitungkan dalam melihat netralitas. Sebetulnya, nilai ini melekat bersamaan

dengan identifikasi ada atau tidaknya evaluasi. Namun, untuk penelitian ini peneliti

menerapkan cara yang berbeda.

Ada satu hal yang didapati peneliti pada pengamatan awal. Muatan nilai, baik

positif maupun negatif, tidak selalu dikandung oleh berita yang mengandung evaluasi

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

47

dan sensasi. Pada berita yang netral pun bisa muncul muatan positif dan negatif. Dan

sebaliknya, meskipun berita memuat kata-kata evaluatif yang mengandung nilai

positif atau negatif, tidak selalu berpengaruh signifikan terhadap nada keseluruhan

berita. Selain itu, untuk melihat secara langsung kelekatan nilai pada kata-kata

evaluatif, akan melibatkan analisis yang sangat rumit.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati nada

pemberitaan secara terpisah, dengan melihat berita sebagai kesatuan unit, apakah

secara keseluruhan mendukung (positif) atau memojokkan (negatif) subjek yang

diberitakan. Dengan kata lain, yang diperhitungkan tidak hanya ada atau tidaknya

komentar tak berdasar awak redaksi yang sifatnya positif atau negatif, melainkan juga

berbagai pernyataan narasumber yang diikuti sebagai bagian dari penggambaran

fakta.

Berdasarkan alasan ini, untuk pengamatan atas nada atau muatan nilai pada

berita, berita yang netral pun tidak luput dari analisis. Adapun definisi operasional

nada pemberitaan bisa dilihat pada tabel berikut:

Unit Analisis Ukuran Penjelasan

Nada Pemberitaan. Positif Berita mengandung hal-hal positif

(bersifat mendukung/menguntungkan)

seperti sanjungan, pujian, dukungan, dan

lain-lain. Bisa berasal dari komentar

wartawan dan kutipan pernyataan

narasumber. Komentar dan pernyataan

tersebut akan dilihat secara keseluruhan

pada berita, apakah segala kata-kata yang

ada pada berita tersebut bisa membuat

kesan yang ditimbulkan positif.

Negatif Berita mengandung hal-hal negatif

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

48

(bersifat merugikan/memojokkan) seperti

hinaan, cercaan, tudingan, dan lain-lain.

Bisa berasal dari komentar wartawan dan

kutipan pernyataan narasumber.

Komentar dan pernyataan tersebut akan

dilihat secara keseluruhan pada berita,

apakah segala kata-kata yang ada pada

berita tersebut bisa membuat kesan yang

ditimbulkan positif.

Tabel 1.8. Definisi operasional nada berita.

Kemudian, penjelasan soal bagaimana nada pemberitaan dalam kaitannya dengan

berita yang netral (tidak mengandung evaluasi dan sensasi) maupun tidak netral

(mengandung evaluasi dan sensasi) bisa dilihat pada tabel berikut:

Netralitas Nada/Nilai/Sikap Penjelasan dan Contoh

Netral Positif/Negatif Berita tidak mengandung

evaluasi maupun sensasi.

Munculnya nilai positif atau

negatif pada berita disebabkan

semata-mata oleh komentar

narasumber. Jika komentar

narasumber yang dikutip

sifatnya positif bagi subjek yang

diberitakan, dan komentar

tersebut memenuhi berita, maka

berita menjadi positif. Contoh:

“….Prabowo menegaskan bahwa

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

49

mimpi yang ingin ia capai adalah

menjadikan bangsa Indonesia

kaya dan makmur. ‘Saya

bermimpi tak ada lagi orang

miskin di Indonesia,’ kata

Prabowo” (“Prabowo: Saya

Tidak Malu Jadi Tukang

Mimpi,” Tempo.co, Kamis, 3

April 2014). Sebagaimana

diamati peneliti, pada berita

tersebut awak redaksi hanya

semata-mata mengikuti apa yang

dikatakan narasumber. Pada

berita tersebut, Prabowo

tergambar positif. Dan karena

seluruh komentar positif tersebut

menjadi penentu alur berita,

maka dengan sendirinya berita

menjadi sepenuhnya positif,

meskipun tidak ada evaluasi dan

tidak sensasional. Hal yang sama

juga berlaku pada berita yang

mengandung nada negatif.

Tidak Netral Positif/Negatif Berita yang disusun sudah

mengandung komentar-komentar

tak berdasar (evaluatif) dan

pemilihan sisi peristiwa yang

bersifat “gosip” atau

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

50

mengandung dramatisasi

(sensasional). Keduanya

memang pada dasarnya

ditujukan untuk

menguntungkan/mendukung

(positif) maupun

merugikan/memojokkan

(negatif) subjek pemberitaan.

Contoh: “…Setelah itu, untuk

meningkatkan rasa solidaritas,

hadir di atas panggung enam

pemuka agama. Mereka

menyampaikan doa agar

Hanura meraih kemenangan

pada Pemilu 2014. Selain itu,

para kader dan simpatisan juga

terlihat ikut berdoa bersama

enam pemuka agama. Doa para

pemuka agama juga berisi agar

tak hanya menang dalam Pemilu

Legislatif, tetapi capres dan

cawapres Hanura yakni Win -

HT juga berhasil merebut kursi

RI 1 dan 2” (“WIN-HT Ajak

Simpatisan Doakan Para

Pahlawan”, di okezone.com,

Sabtu, 5 maret 2014). Pada

berita tersebut jelas terlihat

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

51

bahwa ada unsur evaluatif, yang

juga sensasional, dan

mengandung sikap mendukung

subjek yang diberitakan. Hal

yang sama juga berlaku pada

pemberitaan negatif.

Tabel 1.9. Nada pemberitaan pada berita yang netral dan tidak netral.

Berdasarkan penjelasan di atas, untuk mengidentifikasi muatan nilai pada

berita yang tidak netral, peneliti akan menyilangkan (crosstab) hasil identifikasi

netralitas dengan analisis nada pemberitaan. Dengan cara ini, peneliti bisa

menghasilkan dua keuntungan: pertama, melihat secara keseluruhan nada

pemberitaan masing-masing media terhadap partai politik, dan kedua, mengetahui

mana berita netral yang mengandung nilai positif/negatif dan mana berita tidak tidak

netral yang mengandung nilai positif/negatif. Melalui ukuran ini, peneliti berharap

analisis yang disajikan menjadi lebih menyeluruh.

F.2.2. Subjek Pemberitaan

Dalam penelitian ini, netralitas berita akan dikaitkan dengan siapa yang

diberitakan. Hal ini merupakan perwujudan dari niat awal peneliti, yakni melihat

apakah terdapat perbedaan perlakuan oleh media terhadap setiap partai. Niat peneliti

didasari oleh riset-riset sebelumnya yang menyebutkan bahwa kepemilikan media

berhubungan dengan performa pemberitaan. Penelitian ini bukan ditujukan untuk

melihat kembali hubungan tersebut, melainkan hanya mendeskripsikan, apakah bukti

yang diperoleh peneliti menunjukkan gejala yang sejalan.

Pihak yang diberitakan, dalam penelitian ini, didefinisikan sebagai partai

mana yang menjadi sasaran pemberitaan. Karena topik yang dipilih adalah

pemberitaan kampanye terbuka, maka peristiwa yang diberitakan bersumber dari

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

52

kampanye terbuka salah satu partai. Oleh sebab itu, peneliti merangkum semua pihak

dan peristiwa yang diliput terkait kampanye terbuka.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin melihat bagaimana

netralitas pemberitaan mengenai kampanye terbuka di media-media yang dipilih.

Oleh karena itu, peneliti membagi “siapa” yang diberitakan berdasarkan semua

peserta yang mengikuti Pemilu 2014, yakni: Partai Hanura, Partai Golkar, Partai

Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

(PDIP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai

Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan

Sejahtera (PKS), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

F.2.3. Porsi Pemberitaan

Porsi pemberitaan dalam hal ini merupakan jumlah berita, dalam kategori

apapun. Peneliti akan mengawali analisis dari melihat jumlah berita kampanye

terbuka masing-masing portal, untuk kemudian memetakan kecenderungan masing-

masing portal. Porsi pemberitaan merupakan informasi yang sangat penting dalam

penelitian ini, sebagai salah satu patokan analisis.

F.3. Skor Netralitas

Meskipun sifatnya deskriptif, namun penelitian ini juga memiliki tujuan

pembandingan—yakni antara keluaran berita dari portal berita online milik politikus

dan non-politikus. Jika pembandingan yang dilakukan hanya tergantung pada netral

atau tidaknya berita, analisis menjadi kurang bermakna. Oleh karena itu, diperlukan

adanya ukuran lain yang mampu memperkaya gambaran perbedaan masing-masing

media. Untuk perbandingan tersebut, peneliti menetapkan satu instrumen, yakni skor

netralitas.

Untuk pengukuran skor netralitas bagi masing-masing media, peneliti

memadukan ada atau tidaknya evaluasi (yang diterapkan identifikasinya pada struktur

berita) dan sensasional atau tidaknya berita. Peneliti menetapkan skor dari 1 sampai

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

53

10, dengan melihat kemungkinan adanya evaluasi dan sensasi pada berita yang

dianalisis. Penjelasan soal pengukuran ini bisa dilihat pada tabel berikut:

Skor Ukuran Penjelasan

1

Tidak ada satupun evaluasi tampak

pada masing-masing bagian (atau

struktur) berita, dan berita tidak

sensasional.

Berita seperti ini sangat

netral, karena tidak

menampakkan evaluasi

maupun sensasi sama

sekali. Skor 1`adalah skor

terbaik bagi berita yang

dianalisis, atau dengan

kata lain, berita netral.

2

Ada evaluasi pada satu bagian berita

(headline, lead, body, atau leg) namun

berita tidak sensasional.

Berita ini dapat disebut

tidak netral, namun tidak

terlalu, mengingat

ketidaknetralan hanya

mengisi sebagian kecil

berita.

3 Ada evaluasi pada dua bagian berita,

namun berita tidak sensasional.

Berita mulai diisi

separuhnya oleh evaluasi,

namun masih tidak

sensasional. Oleh karena

itu, belum akut.

4 Ada evaluasi pada tiga bagian berita,

namun berita tidak sensasional.

Tiga perempat berita diisi

oleh evaluasi, namun

berita tidak sensasional.

Evaluasi dominan dalam

berita.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

54

5

Ada evaluasi pada seluruh bagian

berita (headline, lead, body, dan leg),

namun berita tidak sensasional.

Berita sudah dipenuhi oleh

afeksi, penghakiman,

maupun apresiasi tanpa

dasar, namun masih

relevan dalam hal

pemilihan sisi peristiwa

(tidak sensasional).

6

Tidak ada evaluasi pada masing-

masing bagian berita, namun berita

sensasional.

Dalam penelitian ini,

adanya evaluasi pada

keseluruhan berita masih

lebih netral daripada jika

beritanya sensasional.

Alasannya, jika evaluasi

masih menyangkut cara

penyampaian, sensasi

sudah menyangkut

pemilihan peristiwa.

Dalam hal ini, kadang-

kadang dalam pemberitaan

awak redaksi sama sekali

tidak melibatkan opini

pribadi dalam peliputan

(komentarnya selalu

diikuti fakta), namun

peristiwa yang dipilihnya

itu sendiri yang

bermasalah.

7 Satu bagian dari berita evaluatif, dan Mulai ada evaluasi pada

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

55

berita sensasional. penulisan berita yang

sifatnya sensasional.

8 Dua bagian dari berita evaluatif, dan

berita sensasional.

Separuh berita sensasional

dirasuki oleh evaluasi.

9 Tiga bagian dari berita evaluatif, dan

berita sensasional.

Evaluasi dominan dalam

berita, dan sensasional.

10 Seluruh bagian dari berita evaluatif,

dan berita sensasional.

Berita tidak netral akut.

Berita seluruhnya

mengandung evaluasi, dan

mengandung dramatisasi

fakta, atau sensasional.

Berita dengan

kecenderungan seperti ini

adalah yang paling jauh

jaraknya dari netral.

Tabel 1.10. Skor beserta penjelasan untuk mengukur netralitas.

Berdasarkan pengukuran dengan aturan di atas, peneliti akan melihat

netralitas dari media yang menjadi objek analisis. Media yang netral

direpresentasikan oleh skor 1, dan ketika skor lebih dari satu, meskipun sedikit,

media sudah bisa disebut tidak netral. Skor yang dilihat peneliti adalah seberapa

banyak media menjauhi skor 1; semakin jauh, maka ketidaknetralan semakin akut.

Untuk melihat skor media yang dianalisis, peneliti akan menerapkan hasil rata-rata

(mean) keseluruhan berita, dengan pembagian berdasarkan portal berita yang

memuatnya.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

56

G. Objek Penelitian: Pemberitaan Kampanye Terbuka di Portal Berita Online

Milik Kandidat pada 22 Maret sampai 5 April 2014

Sebagaimana dijelaskan di awal kerangka pemikiran, peneliti meletakkan

fokus pada interaksi antara media massa dan partai politik. Interaksi ini tampak pada

pseudo-event, terutama yang berhubungan dengan kampanye politik. Peneliti memilih

portal berita online sebagai objek, karena selain bentuknya yang baru sebagai media

jurnalistik, kini ia semakin mudah dijangkau—seiring berkembangnya jumlah

pengguna internet. Namun, disebabkan pandangan peneliti bahwa terdapat perbedaan

karakteristik antara portal berita online dengan jenis media massa lain, peneliti

membatasi populasi pada semua pemberitaan politik terkait Pemilu 2014 di portal

berita online saja. Peneliti berharap setidaknya penelitian ini dapat menjadi gambaran

kecenderungan sekaligus pendorong untuk penelitian jenis-jenis media lainnya. Objek

yang dipilih adalah pemberitaan kampanye terbuka di viva.co.id dan okezone.com

(milik Aburizal Bakrie dan Hary Tanoesoedibjo) serta tempo.co, dan kompas.com

(Yayasan Tempo dan Jakob Oetama). Karena keterbatasan kemampuan, peneliti

hanya memilih waktu 14 hari dari keseluruhan 21 hari jadwal kampanye terbuka,

yakni tanggal 23 Maret sampai 5 April 2014. Namun demikian, 14 hari tersebut

dirasa peneliti sudah cukup representatif.

H. Metode Penelitian

Riset ini memilih analisis isi kuantitatif sebagai metode utama. Adapun tujuan

pemilihan metode ini adalah untuk menjawab poin “what”, “to whom”, dan “how”

dari suatu proses komunikasi (Holsti, 1969, dalam Eriyanto, 2011). Secara khusus,

pemilihan metode ini sejalan dengan salah satu motif yang dikemukakan McQuail

(2010), yaitu “mendeskripsikan dan membandingkan keluaran (output) media

massa.” Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin membandingkan keluaran

media dalam bentuk berita, dengan dasar subjek yang diberitakan.

Ada beberapa definisi yang menjadi dasar pengertian analisis isi kuantitatif.

Menurut Krippendorff (2006), analisis isi merupakan teknik penelitian untuk

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

57

membuat inferensi-inferensi yang dapat direplikasi sehingga menghasilkan data yang

sahih. Sebagai sebuah metode, ia menambahkan, analisis isi mampu menambah

pemahaman peneliti mengenai fenomena serta tindakan-tindakan, dimana semuanya

termaktub dalam bentuk pesan. Definisi ini menjadi lambang atas perkembangan

objek kajian akademis, dimana kini suatu gejala tidak hanya dapat disimpulkan dari

analisis atas reaksi nyata, melainkan juga pada pesan-pesan buatan manusia. Dan

kini, seiring perkembangan media pesan (dalam bentuknya yang bermacam-macam),

tidak bisa dibantah lagi bahwa analisis isi menemukan relevansinya, atau dengan kata

lain, telah menjadi baku.

Meskipun memadai, peneliti membutuhkan definisi yang lebih praktis

daripada gagasan Krippendorff di atas. Selain itu, peneliti memandang bahwa definisi

tersebut belum sepenuhnya mewakili metode yang digunakan untuk penelitian ini,

yakni analisis isi kuantitatif. Untuk itu, peneliti mengutip satu definisi analisis isi

kuantitatif sebagaimana dirumuskan Neuendorf (2002). Analisis isi, menurut

Neuendorf, adalah metode yang sistematis dan objektif untuk melihat kuantitas

karakteristik pesan. Sistematis dan objektif adalah dua kata yang mewakili penjelasan

awal bagian metode ini. Dengan metode ini, peneliti memperlakukan fenomena

secara objektif, melalui kategorisasi berdasarkan variabel-variabel yang diturunkan

dari teori, untuk kemudian menyusunnya secara sistematis.

H.1. Unit Analisis

Unit analisis untuk penelitian ini mencakup tiga hal (Krippendorf, 2004).

Pertama adalah unit sampel, atau objek penelitian yang akan didalami. Unit sampel

merupakan hasil dari proses penjaringan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang

sifatnya objektif. Biasanya unit sampel dipilih dengan motif mewakili suatu lingkup,

populasi, atau topik. Kedua, unit pencatatan, yang merupakan aspek isi yang menjadi

dasar pengumpulan data dan analisis. Isi yang dimaksud di sini adalah elemen-

elemen, unsur-unsur, atau bagian-bagian yang beragam dari pesan-pesan yang

dijadikan objek. Karena keberagaman tersebut, harus ada pendefinisian unit

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

58

pencatatan terlebih dahulu (Eriyanto, 2010). Terakhir, unit konteks, merupakan usaha

peneliti untuk memberi konteks, yang mana memberi warna atau makna khusus,

terhadap hasil analisis. Konteks di sini bisa dalam rupa sosial, politik, psikologi-

sosial, atau konteks-konteks lain, sesuai dengan disiplin yang mendasari penelitian.

H.1.1. Unit Sampel

Sampel untuk penelitian ini ditetapkan secara purposif. Sebagaimana

dijelaskan sebelumnya, peneliti menetapkan semua pemberitaan pseudo-event politik

di media massa milik politisi sebagai populasi. Dengan dasar ini, peneliti menjadikan

pemberitaan kampanye terbuka di okezone.com sebagai sampel. Okezone.com adalah

portal berita online di bawah naungan Global Mediacomm/MNC, milik Hary

Tanoesoedibjo—kini calon wakil presiden pasangan Wiranto dari Partai Hanura.

Waktu yang dipilih disesuaikan dengan masa pelaksanaan kampanye terbuka Pemilu

2014, yakni pada 16 Maret sampai 5 April 2014. Pemberitaan kampanye terbuka

sendiri, adalah semua semua berita pada media dan tanggal tersebut yang

mengandung kata “kampanye terbuka”.

H.1.2. Unit Pencatatan

Unit pencatatan mencakup bagian-bagian atau aspek-aspek sumber pesan.

Sumber pesan dalam penelitian ini adalah sebagaimana dijelaskan di unit sampel,

yakni artikel di portal berita okezone.com bertemakan “kampanye terbuka” pada

tanggal 16 Maret sampai 5 April 2014. Unit-unit pencatatan pesan terdiri dari aspek

fisik, aspek sintaktis, aspek kategorial, aspek proposisional, dan aspek tematik. Unit-

unit pencatatan untuk penelitian ini antara lain unit fisik, sintaktis dan unit kategorial.

Pertama, unit fisik. Unit fisik adalah perhitungan ukuran aitem, waktu, dan

ruang suatu konten. Dalam penelitian ini, unit fisik berguna ketika pengukuran

variabel keberimbangan, dan mungkin sebagian variabel nada pemberitaan. Pada

variabel keberimbangan unit fisik berlaku ketika menghitung jumlah narasumber.

(Riffe, Lacy, & Fico, 2005).

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

59

Kedua, unit sintaksis. Unit ini berkaitan dengan posisi sebuah kata, kalimat,

dan sebagainya berdasarkan maknanya (Eriyanto, 2011). Sebagaimana dijelaskan

sebelumnya, pada variabel nada pemberitaan yang dilihat adalah maknanya, apakah

positif atau negatif. Unit fisik berlaku dalam pengukuran variabel ini.

Ketiga, unit referensial. Unit referensial merupakan unit pencatatan dimana

penggunaan nama, benda, tempat, atau lain-lainnya digunakan untuk mewakili pihak

yang diberitakan (Riffe, Lacy, & Fico, 2005). Unit referensial akan berlaku ketika

mengidentifikasi siapa yang sedang diberitakan. Unit ini juga berlaku untuk

mengidentifikasi nada konotasi yang digunakan.

H.1.3. Unit Konteks

Sebagaimana dijelaskan Krippendorff, analisis isi perlu menjadikan konteks

analisis yang mereka pilih eksplisit. Dengan demikian hasil analisis mereka akan jelas

bagi orang-orang yang memerlukannya (Krippendorff, 2004: 34). Konteks adalah

“lingkungan konseptual bagi teks”, atau dalam hal ini, merupakan latar yang

menjelaskan apa yang dilakukan oleh peneliti menyangkut karya yang dikerjakan.

Konteks adalah penjelas hubungan antara bidang dimana teks bisa ditarik

hubungannya dengan pertanyaan penelitian (Krippendorff, 2004).

Konteks yang menurut peneliti berlaku di dalam penelitian ini adalah

komunikasi politik (political communication). Konteks tersebut menurut peneliti

merupakan “wadah” bagi saling-silang interaksi antara media massa dan partai

politik. Konteks tersebut ditarik peneliti dari pemilihan teori serta fenomena yang

dianalisis, dimana literatur-literatur yang menjadi rujukan berasal dari studi tersebut.

H.2. Uji Validitas dan Reliabilitas

Untuk menjamin keandalan alat ukur, perlu dilakukan uji validitas dan

reliabilitas. Berikut ini penjelasan masing-masing pengujian alat ukur penelitian ini.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73501/potongan/S1-2014... · Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni ... mulai

60

H.2.1. Uji Validitas

Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas muka.

Sebagaimana dikemukakan Eriyanto (2011), validitas muka adalah validitas paling

sederhana. Intinya, sebagaimana dikemukakan Neuendorf (2002), “what you see is

what you get.” Peneliti mempelajari beberapa literatur, melihat contoh-contoh, dan

melihat penelitian yang mengukur hal serupa. Setelah itu, peneliti mengadopsinya

untuk penelitian ini.

H.2.2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas yang digunakan untuk penelitian ini adalah prosentase

persetujuan. Reliabilitas dihitung dengan membagikan jumlah persetujuan

(agreement) dengan jumlah sampel kasus yang dihitung. Rumus uji reliabilitas model

prosentase persetujuan adalah sebagai berikut:

Dimana A adalah jumlah persetujuan antara dua orang koder sampel kasus, dan N

adalah jumlah sampel kasus. Angka reliabilitas bergerak dari angka 0 sampai 1,

dimana 0 menunjukkan reliabilitas rendah, dan 1 menunjukkan reliabilitas tinggi.

H.3. Teknik Analisis

Analisis pada penelitian ini menggunakan SPSS (Statistical Package for

Social Sciences). Karena sifatnya deskriptif, peneliti hanya perlu menjabarkan temuan

berdasarkan statistik deskriptif. Untuk penyusunan statistik deskriptif tersebut,

peneliti menggunakan tabulasi silang (cross tabulation) sebagai piranti utama.