bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/chapter...

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah atau dengan kata lain disebut dengan hukum tanah. 1 Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut maka diundangkanlah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan diundangkannya UUPA, berarti sejak saat itu Indonesia telah memiliki Hukum Agraria Nasional yang merupakan warisan kemerdekaan setelah pemerintahan kolonial Belanda. 2 Didalam konsiderans Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, menegaskan peranan kunci tanah, bahwa bumi, air dan ruang angkasa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks ini, penguasaan dan penghakkan atas tanah terutama tertuju pada perwujudan keadilan dan kemakmuran dalam pembangunan masyarakat. Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal 3 UUPA menegaskan pengakuan tersebut dengan menyebutkan “dengan mengingat ketentuan-ketentuan 1 K. Wantijk Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia 1982, Halaman 7 2 Sudjito, Prona Pensertifikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang bersifat Strategis, Yogyakarta, Liberty, 1987, Halaman 1. Universitas Sumatera Utara

Upload: lamdiep

Post on 05-Apr-2018

230 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam

kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan

hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang

lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan

dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah atau

dengan kata lain disebut dengan hukum tanah.1

Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut maka diundangkanlah Undang-undang Nomor

5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan

diundangkannya UUPA, berarti sejak saat itu Indonesia telah memiliki Hukum

Agraria Nasional yang merupakan warisan kemerdekaan setelah pemerintahan

kolonial Belanda.2

Didalam konsiderans Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok Agraria, menegaskan peranan kunci tanah, bahwa bumi, air dan ruang

angkasa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang

adil dan makmur. Dalam konteks ini, penguasaan dan penghakkan atas tanah terutama

tertuju pada perwujudan keadilan dan kemakmuran dalam pembangunan masyarakat.

Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar,

karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya

negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal 3 UUPA menegaskan

pengakuan tersebut dengan menyebutkan “dengan mengingat ketentuan-ketentuan

1 K. Wantijk Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia 1982, Halaman 7

2 Sudjito, Prona Pensertifikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah

yang bersifat Strategis, Yogyakarta, Liberty, 1987, Halaman 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-

masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus

sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-

undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.3

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia

hidup dalam melakukan aktivitas diatas tanah sehingga setiap saat manusia selalu

berhubungan dengan tanah, dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia

baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah.

Tanah memiliki peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan Bangsa

Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan

sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat

yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pada

saat manusia mati masih membutuhkan tanah untuk penguburannya sehingga begitu

pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha

memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan

suatu sengketa didalam masyarakat, sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian

antara dua pihak atau lebih yang salah satu melakukan perbuatan melawan hukum.

Penguasaan yuridis dilandasi hak dengan dilindungi oleh hukum dan

umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik

tanah yang dihaki. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang beraspek

perdata maupun publik.

3 Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Jakarta, Kompas, 2001 Halaman 54

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata

jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional,

yaitu :

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas

tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, beraspek publik.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek

perdata dan publik.

4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata terdiri atas :

a. Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara

langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut

dalam Pasal 16 dan 53.

b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan dalam Pasal 49.

c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25,

33, 39, dan 51.

Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas

tanah sebagai lembaga hukum :

1. Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan ;

2. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang

untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya ;

3. Mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang

haknya dan syarat-syarat penguasaannya ;

4. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.

Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas

tanah sebagai hubungan hukum konkret.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

1. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum

yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam poin 1

diatas.

2. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain.

3. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain

4. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya

5. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.

Kasus-kasus yang menyangkut sengketa dibidang pertanahan dapat dikatakan

tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan meningkat dalam kompleksitas

maupun kuantitas permasalahannya, seiring dengan dinamika ekonomi, sosial dan

politik Indonesia. Sebagai gambaran dewasa ini di Indonesia, dengan semakin

memburuknya situasi ekonomi yang sangat terasa dampaknya.

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka di

dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 disebutkan : “Bahwa bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.4 Ketentuan mengenai tanah juga dapat terdapat

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari

pengaduan sesuatu pihak (orang/ badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan

tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya

dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia

beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama

kemerdekaan Indonesia negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

kepada rakyatnya, UUPA baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan

tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.

Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang/ badan hukum dapat memunculkan

konflik maupun sengketa. Berbagai sengketa pertanahan itu telah mendatangkan

berbagai dampak baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Secara ekonomis

sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya yang

dikeluarkan. Dalam hal ini dampak lanjutan yang potensial terjadi adalah penurunan

produktivitas kerja tata usaha karena selama sengketa berlangsung, pihak-pihak yang

terlibat harus mencurahkan tenaga dan pikirannya, serta meluangkan waktu secara

khusus terhadap sengketa sehingga mengurangi hal yang sama terhadap kerja atau

usahanya.

Dampak sosial dari konflik adalah dapat terjadinya ketidakharmonisan/

kerenggangan sosial diantara warga masyarakat, termasuk hambatan bagi terciptanya

kerjasama diantara mereka. Dalam hal ini konflik dapat terjadi dengan instansi

pemerintah dan warga masyarakat di sekitar lokasi tanah sengketa, sehingga

menimbulkan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah

berkenaan ketidakpastian hukum.

Disamping itu, selama konflik berlangsung ruang atas suatu wilayah dan atas

tanah yang menjadi objek konflik/ sengketa biasanya berada dalam keadaan status quo

sehingga ruang atas tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan akibatnya

adalah terjadinya penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat merugikan

kepentingan semua pihak.

Tanah yang dulu dipandang dari sudut sosial, yang tercakup dalam lingkup

hukum adat, hak ulayat dan fungsi sosial, kini mulai dilihat dari sudut ekonomi,

sehingga tepat apabila Perserikatan Bangsa-bangsa mensinyalir bahwa saat ini

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

masalah pertanahan tidak lagi menyangkut isu kemasyarakatan tetapi telah

berkembang menjadi isu ekonomi.5

Bertambahnya kegiatan/ aktivitas manusia setiap hari sangat berpengaruh pada

pemanfaatan tanah tersebut. Sebutan tanah dapat kita pakai dalam berbagai arti, maka

dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti tersebut

digunakan dalam hukum tanah, kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti juridis,

sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA, dengan

demikian bahwa tanah dalam pengertian juridis adalah permukaan bumi ayat (1),

sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang

terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar, sedangkan menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah adalah:

a. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali

b. Keadaan bumi disuatu tempat.

c. Permukaan bumi yang diberi batas.

d. Bahan-bahan dari bumi, seperti : pasir, cadas, napal, dan sebagainya.6

Adapun yang menjadi tanah sengketa/ konflik tersebut adalah Perkebunan

Kelapa Sawit di kawasan hutan lindung Padang Lawas seluas ± 23.000 dan ± 24.000

hektar yang dikelola oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit, PT. Torganda, dan

Koperasi Parsub yang terletak kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,

mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Salah satu sumber daya alam di bumi yang dapat diperbaharui adalah hutan.

Hutan merupakan sekumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-

5 Muhammad Yamin dan Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan :

Pustaka Bangsa Press, 2004, Halaman 26 6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Jilid 1, Jakarta : Djambatan, 2005, Halaman 18

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

tumbuhan lain, disamping itu terdapat juga masyarakat didalamnya. Hutan juga salah

satu sumber pendapatan negara, hal ini dapat dilihat dari segi hutan produksi. Menurut

Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 1999, membagi hutan berdasarkan statusnya, yaitu :7

1. Hutan Negara adalah “Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”.

2. Hutan Hak adalah “Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah”. Berdasarkan Pasal 15 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,

pengukuhan sebuah kawasan berkepastian hukum sebagai kawasan hutan melalui 4

(empat) tahapan :

1. Tahapan Penunjukan Kawasan Hutan

2. Tahapan Penataan Batas Kawasan Hutan

3. Tahapan Pemetaan Kawasan Hutan

4. Tahapan Penetapan Kawasan Hutan dengan tunduk kepada RTRW (Rencana Tata

Ruang Wilayah)

Jika 4 (empat) tahapan ini sudah dilakukan barulah status hukum Register 40

Padang Lawas sah sebagai kawasan hutan negara.

Seluruh bidang-bidang tanah masyarakat adat sebagian berasal dari tanah adat

yang dikuasai secara turun temurun yang terletak di desa Gunung Manaon Sim, desa

Simangambat Julu, desa Tanjung Botung, desa Sigagan dan desa Aek Raru, Ujung

Gading Tua, Langkimat, Mandasip, Hutapasir, Hutabaru, Jabi-jabi, Sibulang-bulang,

Hutabaringin seluruhnya berada di kecamatan Simangambat (dahulu kecamatan

Barumun Tengah) kabupaten Tingkat II Tapanuli Selatan (sekarang Padang Lawas),

provinsi Sumatera Utara.8

Sampai dengan tahun 1995 bidang-bidang tanah tersebut dalam keadaan

terlantar, ditumbuhi semak-semak dan alang-alang serta tidak mempunyai nilai

7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 8 Putusan Nomor 26/PDT.PLW/2007/PN.PSP, Halaman 13

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

ekonomis sama sekali. Oleh karenanya masyarakat adat diwakili oleh tokoh adat

setempat bermaksud memanfaatkannya demi kesejahteraan masyarakat. Namun

karena keterbatasan dana dan keahlian untuk itulah para masyarakat adat melalui

tokoh-tokoh adat telah mengambil keputusan untuk mencari investor yang memiliki

dana dan berminat untuk mengelola tanah tersebut sebagai lahan perkebunan

khususnya perkebunan kelapa sawit. Setelah beberapa waktu lamanya dan bertemu

dengan beberapa investor, akhirnya D.L Sitorus sebagai investor yang sanggup untuk

mengelola lahan tersebut untuk dimanfaatkan sebagai kebun kalapa sawit.

Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu

masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam

lingkungan wilayahnya. Sebagaimana telah kita ketahui, wewenang dan kewajiban

tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata, yaitu berhubungan dengan hak

bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik,

berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukkan,

penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya.

Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah

masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang

maupun yang belum. Dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah sebagai “res

nullius”. Umumnya, batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak

dapat ditentukan secara pasti.

Kemudian, Adi Putra Parlindungan Nasution mengemukakan bahwa

pemberian tempat kepada hukum adat di dalam UUPA tidak menyebabkan terjadinya

dualisme seperti yang dikenal sebelum berlakunya UUPA. Reorientasi pelaksanaan

hukum di Indonesia akan lebih berhasil jika kita mampu memahami jiwa hukum adat

yang akan dikembangkan di dalam perundang-undangan saat ini. Pemberian tempat

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

bagi hukum adat di dalam UUPA, apalagi penempatan itu didalam posisi dasar,

merupakan kristalisasi dari asas-asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan

hukum adat yang sebenarnya.9

Hukum Adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat

yang telah dihilangkan sifat-sifat khusus kedaerahannya dan diberi sifat nasional.

Sehingga dalam hubungannya dengan prinsip persatuan bangsa dan Negara Kesatuan

Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan suku dan

masyarakat hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara:

1. Hukum Adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa (Pasal 5

UUPA) dan tidak merupakan penghambat pembangunan,

2. Hukum Adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri,

yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa serta dapat

menghambat pembangunan negara.

3. Hukum Adat yang tidak bertentangan tersebut dalam point 1 diatas, tetap berlaku

dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali

hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal

II, VI dan VIII. Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam point 2

tidak diberlakukan lagi (tidak diadatkan)

Selanjutnya, Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan norma-norma

Hukum Adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan

dengan jiwa dan Ketentuan UUPA, bahkan Pasal 5 UUPA memberikan syarat yang

lebih rinci, yaitu: sepanjang tidak bertentangan kepentingan nasional dan negara,

9 A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung : Alumni,

1984, Halaman 51

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta

peraturan-peraturan yang tercamtum dalam UUPA dan dengan peraturan

perundang-undangan lainnya.

Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA, adalah hukum yang berlaku bagi

Golongan Bumi Putera, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak

tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan

dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana

keagamaan.

Antara sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan

yang fundamental, misalnya :10

1. Hukum Barat mengenal “zakelijke rechten” dan “persoonlijke rechten”.

Zakelijke rechten adalah hak atas benda yang bersifat berlaku terhadap tiap

orang. Jadi merupakan hak mutlak atau absolut. Persoonlijke rechten adalah

hak atas suatu objek (benda) yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain

tertentu yang merupakan hak relatif.

2. Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat.

Hukum adat tidak mengenal perbedaan ini.

3. Hukum Barat membedakan pelanggaran-pelanggaran hukum dalam dua

golongan, yaitu pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh

hakim pidana, dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat

dalam lapangan perdata saja serta yang diadili oleh hakim perdata. Hukum

Adat tidak mengenal perbedaan demikian. Tiap pelanggaran hukum adat

10 Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta : Ichtiar, 1961, Halaman 10

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala adat)

memutuskan upaya adat (adat reaksi) apa yang harus digunakan untuk

memulihkan kembali hukum yang dilanggar itu.

Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya

disebabkan karena :

a. Corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum

Barat

b. Pandangan hidup yang mendukung (“Volkgeist” menurut Von

Savigny).

Bahwa proses lahirnya hak milik menurut hukum adat, pertama-tama orang

perlu membuka hutan yang dikenal dengan istilah babat alas, menetapkan batas-

batasnya yang kemudian ia memperoleh satu jenis hak yaitu Hak Terdahulu. Setelah

menanam, memungut hasil dan tinggal disitu, kemudian ia memperoleh Hak

Menikmati, yang sifatnya lebih kuat dari Hak Terdahulu. Kemudian, setelah ia

mendapat Hak Menikmati dan itu sudah diakui oleh masyarakat di sekitarnya, ia

mendapatkan yang dinamakan Hak Pakai ketika ia mewariskan tanah itu, lahirlah apa

yang dinamakan Hak Milik.11

Bahwa kalau sampai orang-orang yang membuka hutan disebut atau

diklasifikasikan sebagai Penggarap, itu adalah suatu penghinaan bagi warga negara.

Hubungan keperdataan antara orang yang dikatakan sebagai Penggarap (memiliki

sejarah mengusahakan membuka hutan) dengan tanah yang telah dibukanya secara

turun-temurun, tidak boleh diputuskan begitu saja. Hak keperdataan dari orang

11 OC. Kaligis, Pendapat Ahli Dalam Perkara Pidana, Jakarta : 2008, Halaman 81

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

sebagai warga negara harus dilindungi dan dihargai oleh negara dan tidak boleh

diabaikan.12

Ketika seseorang mempunyai suatu tanah, secara fakta (de facto) orang

tersebut adalah pemilik tanah, dan ketika ia olah dan ia kerjakan ia menjadi pemilik

secara konkret (de facto in concreto), dan ketika tanah itu didaftarkan dan terbit

sertifikatnya, ia menjadi pemilik secara hukum (de jure), dan ini adalah proses

pemilikan, dan bukan proses penggarapan. Penguasaan dalam arti fisik menduduki,

berbeda dengan penguasaan de facto, dan karena pengusaan fisik, seharusnya ia

ditanya apakah orang tersebut mau memiliki tanah tersebut atau tidak, dan apabila

orang tersebut memiliki, disitu terjadi kepemilikan (bezit), karena didalam hukum,

faktor niat menentukan penguasaan atas benda tetap.13

Tanah Negara bukanlah tanah yang dimiliki oleh negara, tetapi tanah yang

dikuasai dan diurus oleh negara, dan negara memberikan kesempatan kepada warga

negaranya untuk menguasai. Asal konsep Tanah Negara itu, adalah negara bukan

pemilik, tetapi hanya mengatur, mengurus dan menjaga.

Penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait sengketa pertanahan, pada

umumnya ditempuh melalui jalur pengadilan dengan dampak sebagaimana diuraikan

diatas. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan Landreform

menunjukkan perlunya peningkatan penegakan hukum dibidang Landreform sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang melandasinya, terhadap kasus

penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain

berdasarkan pengalaman tampaknya penyelesaian yang lebih efektif adalah melalui

12 Ibid 13 Ibid Halamn 85

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

jalur non pengadilan yang pada umumnya ditempuh melalui cara-cara perundingan

yang dipimpin atau diprakarsai oleh Pihak Ketiga yang netral atau tidak memihak.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari

hakekatnya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang

mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam

pada itu ketentuan tersebut tidak berarti untuk kepentingan umum (masyarakat).

Kepentingan masyarakat dan perorangan haruslah saling berdampingan, hingga pada

akhirnya akan tercapailah tujuan pokok kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi

masyarakat seluruhnya (Pasal 2 ayat 3 UUPA) yaitu : Wewenang yang bersumber

pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk

mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan

kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka,

berdaulat, adil dan makmur.

Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan secara garis besar dapat di pilah

menjadi lima kelompok yakni :

1. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan

kehutanan dan lain-lain.

2. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform.

3. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk

pembangunan.

4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.

5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.

Tipologi sengketa pertanahan yang ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional

(BPN) dikelompokkan dalam pengalaman Konsorsium Pembaharuan Agraria, pola

sengketa pertanahan . Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

konflik maupun sengketa. Penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait sengketa perdata

pada umumnya ditempuh melalui jalur pengadilan dengan dampak yang sangat luas

terhadap kehidupan dimasyarakat14.

Terhadap kasus-kasus penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan,

kehutanan, dan lain-lain, berdasarkan pengalaman, tampaknya penyelesaian yang

lebih efektif adalah melalui jalur non pengadilan yang pada umumnya ditempuh

melalui cara-cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang

netral atau tidak memihak.15

Proses eksekusi yang dilakukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara

terhadap manajemen pengelolaan lahan Register 40 seluas 47.000 hektar di kabupaten

Padang Lawas dinilai cacat administrasi.

Adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 2642 K/Pid/2006 tertanggal 12

Pebruari 2006 yang menyatakan terjadinya tindak pidana berupa penyalahgunaan

kawasan hutan di lokasi yang disebut Register 40 tersebut.

Dalam putusan itu, MA menyatakan seluruh aset Koperasi Perkebunan Kelapa

Sawit Bukit Harapan dan PT. Torganda yang mengelola lahan itu dinyatakan disita

oleh negara.

Proses eksekusi itu juga mendapatkan protes dari warga yang berada di lokasi

Register 40 karena hampir seluruhnya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) lebih

dari 1820 SHM yang berjumlah lebih 15.000 kepala keluarga atas tanah yang mereka

tempati.16

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membahas

perlindungan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat adat, sebagai suatu karya

14 Maria S.W Soemardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,

Jakarta : 2008 Halaman 109-111 15 Ibid 16 Berita Antara Medan tertanggal 27 September 2009

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas

Tanah Masyarakat Adat Diatas Tanah Register 40 Pasca Putusan Pidana No.2642

K/Pid/2006 An. Terpidana D.L Sitorus

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadi sengketa pertanahan antara

masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan di atas tanah Register 40?

2. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat adat

dengan perusahaan perkebunan di atas tanah Register 40 ?

3. Bagaimana perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat adat yang berada

dalam Register 40 pasca Putusan Perkara Pidana No. 2642 K/Pid/2006

An.Terpidana D.L Sitorus ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan diatas, maka tujuan penelitian yang dilakukan

penulis adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadi sengketa pertanahan

antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan diatas tanah Register 40.

2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa tanah yang terjadi antara

masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan diatas tanah Register 40.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat adat yang

berada dalam register 40 pasca Putusan Perkara Pidana No. 2642 K/Pid/2006 An

Terpidana Darianus Lungguk Sitorus.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Dari sisi praktis penelitian ini diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-

persoalan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa lahan perkebunan, khususnya

dibidang pertanahan.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan

ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria. Dengan

adanya penelitian dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha

untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yang

terjadi di lapangan.

2. Secara praktis, bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi

ilmu pengetahuan dalam bidang agraria ataupun pertanahan, dan agar para pihak

mengerti akan tuntutan dan menyadari pentingnya perlindungan hukum terhadap

hak atas masyarakat adat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas

Sumatera Utara, guna menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian di dalam

masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data khususnya di

lingkungan Fakultas Hukum USU menunjukkan bahwa penelitian dengan judul

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Tanah Masyarakat Adat Diatas Tanah

Register 40 Pasca Putusan Pidana No.2642 K/Pid/2006 An.Terpidana Darianus

Lungguk Sitorus belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian

mengenai masalah sengketa pertanahan namun secara substansi pokok permasalahan

yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan

sengketa pertanahan yang pernah dilakukan adalah :

1. Tipologi Sengketa Pertanahan di Pengadilan Negeri Medan. Oleh : Nuriati

(017011010)/ MKn-USU Medan.

2. Hambatan Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang

Sengketa Pertanahan, oleh Hartanta Sembiring (027011071)/ MKn-USU Medan

3. Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Atas Timbulnya Sertifikat Tumpang

Tindih (over lapping) Untuk Satu Bidang Tanah (studi kasus di Kantor

Pertanahan Kabupaten Asahan oleh : M. Syahrizal (057011052)/ MKn-USU

Medan.

4. Penyelesaian Ganti Rugi Tanah Untuk Pembangunan Bandar Udara Silangit

Siborong-Borong Kabupaten Tapanuli Utara oleh Bangun P. Nababan

(077011007)

5. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli

Serdang oleh : Manahan Harahap (087011074)/ Mkn-USU Medan.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses

tertentu terjadi dan sesuatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-

fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menetapkan landasan teori pada

waktu diadakan penelitian ini tidak salah arah. Sebelumnya diambil rumusan landasan

teori seperti yang dikemukakan M.Solly Lubis yang menyebutkan bahwa landasan

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai

suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis

yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang membuat kerangka berpikir

dalam penulisan.17

Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu

kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis

dalam penelitian dan suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk

bagaimana pengorganisasian dan mengintrepretasikan hasil-hasil penelitian dan

menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan atau

petunjuk dan perkiraan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini

merupakan penelitian hukum yang diarahkan secara khas ilmu hukum, maksudnya

adalah penelitian ini berusaha untuk memahami jalan penyelesaian sengketa tanah

yang diatur dalam undang-undang.18

“Teori yang dipakai adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan hukum”.19 Menurut Roscoe Pound dalam Sociological Jurisprudence

sebagaimana dikutip oleh Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, mengemukakan bahwa : Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hukum merupakan a tool of social engineering atau hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat. Hukum yang digunakan sebagai alat pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Jadi hukum merupakan pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan.20

17 JJJ.U Wuisman dengan Penyunting M.Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Jilid 1 Bandung

: Mahar Madju 1994, Halaman 80 18 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian Bandung : Mahar Madju 1994, Halaman 80 19 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Edisi 1, Andi,

Yogyakarta, 2006, Halaman 6. 20 H.Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung :

Citra Aditya Bakti, 2004, Halaman 66-67.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Dalam hal ini dapat pula diartikan, bahwa didalam doktrin negara hukum

dalam kehidupan negara perilaku setiap orang harus mempunyai dasar pembenaran

hukum.

Negara hukum berarti negara yang mengakui supremasi hukum. Baik pemerintah dan rakyat wajib taat kepada hukum dan bertingkah laku sesuai dengan ketentuan hukum. Semua pejabat negara dan pemerintah, dari kepala negara, para menteri, anggota MPR dan DPR, hakim dan jaksa sampai pegawai negeri rendah, didalam menjalankan tugasnya masing-masing harus taat kepada hukum. Mereka wajib menjunjung tinggi hukum, mengambil keputusan sesuai dengan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hal tersebut adalah semata-mata demi tegaknya hukum dan keadilan.21 Sehingga dalam negara hukum, kedudukan warganegara demikian juga

pejabat pemerintah adalah sama, dan tak ada bedanya dimuka hukum. Keduanya tidak

boleh melanggar hukum tetapi harus sama-sama melaksanakannya. Apabila tidak ada

persamaan dimuka hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan kebal

hukum. Hal mana pada umumnya akan menindas yang lemah”.22

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa negara hukum juga

berarti negara yang berlandaskan hukum dan menjamin keadilan bagi warganya,

dimana segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa,

semata-mata berdasarkan hukum atau diatur oleh hukum. Hal demikian

mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. Negara menjamin agar setiap

orang dapat memiliki dan menikmati hak-haknya dengan aman dan semua orang

berhak mendapatkan jaminan hukum sebagai hak asasinya. Dalam rangka itu negara

dan kehidupannya harus didasarkan atas hukum dan menurut hukum seperti yang

dituangkan dalam konstitusi, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

21 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,

Jakarta : Elsam dan Huma, 2000, Halaman 472 22 Abuh Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh , Asas-Asas Hukum Tata Negara , Jakarta :

Ghalia Indonesia, 1983, Halaman 113.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul kepermukaan dan merupakan bahan

pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus

pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :

1. Harga tanah yang terus meningkat dengan cepat.

2. Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/ haknya.

3. Iklim keterbukaan pada saat ini

Menurut Rusmadi Murad memberikan pengertian terhadap sengketa tanah

yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak

(orang/badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah,

baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat

memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan

yang berlaku.

Dengan menilai secara khusus kedudukan tanah dan hak seseorang yang

terkait pada tanah haknya, bagaimana kuat hubungan hukum antara keduanya serta

pengaruh hubungan kosmis-magis-religius menurut hukum adat bangsa kita

Dapat diketahui bahwa pada dasarnya hak milik atas tanah hanya dapat

dimiliki oleh Warga Negara Indonesia, dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara

asing dan badan hukum asing, baik yang didirikan di Indonesia maupun yang

didirikan di luar negeri dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang terdiri dari :23

a. Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut Bank Negara) b. Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan atas

Undang-undang No.79 Tahun 1985 (Lembaran Negara Tahun 1985 No.139) c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria setelah

mendengar Menteri Agama. d. Badan-badan sosial yang di tunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria setelah

mendengar Menteri Sosial.

23 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana Prenada

Group, 2004, Halaman 31-32

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Tidak ada pihak lain yang dapat menjadi pemegang hak milik atas tanah di

Indonesia, dengan ketentuan yang demikian berarti setiap orang tidak dapat dengan

begitu saja melakukan pengalihan hak milik atas tanah. Ini berarti undang-undang

pokok agraria memberikan pembatasan peralihan hak milik atas tanah. Agar hak milik

atas tanah dapat dialihkan, maka pihak terhadap siapa hak milik atas tanah tersebut

hendak dialihkan haruslah merupakan orang perorangan Warga Negara Indonesia,

atau badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 1963 tersebut.24

Dapat dikatakan bahwa pendaftaran hak milik atas tanah merupakan suatu

yang mutlak dilakukan bahkan terhadap setiap bentuk peralihan, hapusnya maupun

pembebanan terhadap hak milik juga wajib didaftarkan. Sehubungan dengan

pendaftaran tanah ini perlu diketahui bahwa sebelum berlakunya undang-undang

pokok agraria, sistem pendaftaran tanah yang diberlakukan adalah registration of

deed. Dengan pendaftaran tanah (registration of deed) dimaksudkan bahwa yang

didaftarkan adalah akta yang membuat perbuatan hukum yang melahirkan hak atas

tanah (hak kebendaan atas tanah, termasuk didalamnya hak milik sebagaimana diatur

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata)

Pada dasarnya setiap orang maupun badan hukum membutuhkan tanah, karena

tidak ada aktivitas orang ataupun badan hukum apalagi yang disebut kegiatan

pembangunan perkebunan yang tidak membutuhkan tanah. Pihak swasta yang

melaksanakan upaya pengembangan dan peningkatan usahanya yang membutuhkan

tanah dan belum lagi banyaknya anggota masyarakat yang melakukan pendudukan

(okupasi ilegal) dan menguasai tanah tanpa alas hak yang sah bahkan dengan cara-

24 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

cara yang terencana dan sengaja melakukan kekerasan untuk memenuhi

kebutuhannya.

Oleh karena itu, semakin cepat roda pembangunan berputar maka semakin

luaslah tanah yang dibutuhkan. Dimana wilayah yang padat penduduknya, secara

logis disitu pulalah kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang lebih luas

dilaksanakan. Dengan demikian pengambilan tanah-tanah yang lebih luaspun yang

sudah dimiliki/ dikuasai oleh masyaraakat tidak terelakkan akan menjadi korban.

Hak seseorang atas tanah semestinya harus dihormati, dalam pengertian tidak

boleh orang lain melakukan tindakan yang melawan hukum untuk memiliki/

menguasai tanah tersebut. Seyogianya jika ada hak seseorang atas tanah harus

didukung oleh bukti hak dapat berupa sertifikat, bukti hak tertulis non sertifikat dan/

atau pengakuan/ keterangan yang dapat dipercaya kebenarannya.

Jika penguasaan atas tanah dimaksud hanya didasarkan atas kekuasaan,

arogansi atau kenekatan semata, pada hakekatnya penguasaan tersebut sudah melawan

hukum. Tegasnya berdasarkan hukum tidak dapat disebut bahwa yang bersangkutan

mempunyai hak atas tanah atau dengan kata lain penguasaan yang demikian tidak

boleh ditolerir dan semestinya yang berwenang dengan segala wewenang yang ada

padanya harus segera mengurusnya dari tanah tersebut.

Karena jika berlarut-larut masalahnya semakin rumit untuk diselesaikan dan

pengaruhnya sangat meluas dan berdampak tidak baik dimasa mendatang. Masalah ini

semakin meningkat akhir-akhir ini karena jumlah penduduk Indonesia sebagai petani

yang membutuhkan tanah untuk diolah warga masyarakat.

Pada asasnya jika diperlukan tanah atau benda-benda lainnya kepunyaan orang

lain/ negara (hak menguasai negara) untuk sesuatu keperluan haruslah terlebih dahulu

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan pemiliknya, misalnya

jual-beli dan tukar-menukar.

Bahwa dalam teori ilmu hukum pertanahan , tanah yang sudah digarap sudah

pula menimbulkan hubungan kepemilikan. Di dalam teori kepemilikan tentang

tanah mengenal teori pemilikan de facto dan de jure, bahwa ketika seseorang menjadi

warganegara, secara de facto orang tersebut adalah pemilik tanah dan kalau tanah

yang dimilikinya dikuasai secara nyata dan didaftarkan, ia menjadi pemilik de jure.25

Pada dasarnya kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of

interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh antara

individu dengan individu; individu dengan badan hukum; badan hukum dengan badan

hukum dan lain sebagainya. Untuk menjamin kepastian hukum yang diamanatkan

Undang-undang Pokok Agraria maka dapat diberikan penyelesaian kepada yang

berkepentingan yaitu melalui Badan Pertanahan Nasional dan Badan Peradilan. Hal

ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

A. Solusi Melalui BPN

Kasus pertanahan sering terjadi karena adanya klaim/ pengaduan/ keberatan

dari individu/masyarakat atau badan hukum yang mengajukan keberatan dan tuntutan

terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang ditetapkan

oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, dimana

dalam keputusan tersebut merugikan para pihak atas suatu bidang tanah tersebut.26

Dengan adanya tuntutan hak/ gugatan dari salah satu pihak, para pihak ingin

mendapat penyelesaian secara administrasi dengan melakukan koreksi terhadap

pejabat yang berwenang dalam hal ini Kepala BPN.

25 Op.cit OC Kaligis Halaman 80 26 www,http. Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia.com, diakses tanggal 10 Juli

2010

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Kasus pertanahan ini timbul meliputi beberapa macam antara lain : mengenai

status tanah, kepemilikan, bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak,

dan lain-lain.

Setelah mendapat laporan pengaduan dari masyarakat maka pejabat yang berwenang

meneliti dan mengumpulkan data terhadap berkas yang diterima. Dari hasil penelitian

ini apakah dapat diproses lebih lanjut atau tidak. Apabila data yang disampaikan

kurang lengkap maka BPN akan meminta keterangan disertai dengan data dan saran

kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat letak tanah

yang disengketakan.

Jika kelengkapan data telah terpenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian

kembali terhadap masalah yang meliputi prosedur, kewenangan dan penerapan

hukumnya.

Untuk menjaga kepentingan masyarakat yang berhak atas sebidang tanah yang

menjadi objek sengketa, maka Kepala Kantor Pertanahan setempat memiliki

kewenangan untuk melakukan pemblokiran atas tanah tersebut. Kebijakan ini

dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992

N0.110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.16 Tahun 1984.

Inti dari Surat Edaran tersebut bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat

hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara

di bidang Pertanahan (Sertifikat/ Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah),

harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang

baik antara lain : asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas

persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-

pihak yang bersengketa.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional

untuk dimintakan penyelesaiannya, dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa

dengan cara musyawarah dan peranan BPN disini sebagai mediator. Bilamana

penyelesaian musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus disertai dengan bukti

tertulis, yaitu surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya

sebagai bukti adanya perdamaian yang dituangkan dalam akta yang di buat di hadapan

notaris sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang kuat.

B. Melalui Badan Peradilan

Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang

bersengketa tidak tercapai, demikian juga penyelesaian secara sepihak dari Kepala

Badan Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa,

maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan

Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang

diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan

sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat

juga mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang

berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat

Badan Pertanahan Nasional tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut

berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan

sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat.

Sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi

Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang

bersangkutan (status quo). Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya masalah di

kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara harus menerapkan asas-asas

umum pemerintahan yang baik untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan

sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in

kracht van gewijsde).

Setelah ada putusan hakim yang berkuatan hukum tetap, maka Kepala Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan mengusulkan

permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan

yang telah diputuskan. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan laporan

mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban yang ada diatas tanah

tersebut serta segala permasalahan yang ada.

Kewenangan administratif permohonan pembatalan Surat Keputusan

Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah adalah menjadi

kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk langkah-langkah

kebijaksanaan yang akan diambil berkenan dengan adanya suatu putusan hakim yang

tidak dapat dilaksanakan.

2 Konsepsi

Konsepsi merupakan bagian terpenting dalam teori, dapat diterjemahkan

sebagai usaha membawa dari abstrak menuju konkret. Penyelesaian sengketa tanah

dapat dilakukan dengan asas musyawarah mufakat dalam setiap mengambil keputusan

yang diperlukan.

Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dengan

observasi antara abstraksi dan kenyataan. Konsep mengandung arti sebagai kata

menyatukan abstraksi yang digenaralisasikan dari hal-hal yang khusus atau dengan

kata lain definisi operasional.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Konsep adalah suatu konstruksi mental yang dihasilkan oleh suatu proses yang

berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis merupakan unsur pokok

dari suatu penelitian, apabila masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas,

jika diketahui fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu

konsep adalah definisi singkat dari kelompok fakta atau gejala yang perlu diamati dan

menentukan antara variabel-variabel adanya hubungan empiris.

Pada hakekatnya merupakan pengarah atau pedoman yang lebih konkrit

daripada kerangka teoritis yang kadangkala masih bersifat abstrak, sehingga

diperlukan definisi-definisi operasional menjadi pegangan konkret dalam proses

penelitian. Dalam menjawab permasalahan yang terjadi dilapangan maka beberapa

konsep dasar untuk menyamakan persepsi sebagai berikut :

1. Perlindungan hukum adalah tempat bernaung subjek hukum.

2. Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang

terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

3. Masyarakat Adat Luhat Simangambat adalah suatu masyarakat Batak

Mandailing yang memusatkan kehidupannya masih dalam bentuk paguyuban

yang ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, ada pranata

dan perangkat hukum, masih mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah

Luhat Simangambat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

4. Tanah Register 40 berdasarkan Grant Besluit No. 50 Tahun 1924 adalah

kompleks hutan Padang Lawas yang batas-batasnya antara lain adalah di

sebelah utara berbatasan dengan hutan-hutan, ladang-ladang pertanian dan

pengembalaan Luhat Ujung Batu, di sebelah Timur berbatasan dengan Daerah

Pemerintahan Gubernur Pantai Timur Sumatera, di sebelah Selatan berbatasan

dengan hutan-hutan, ladang-ladang pertanian dan pengembalaan luhat-luhat

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Kotaraja Tinggi, Ujung Jilok, Janji Lobi dan Aeknabara, di sebelah Barat

berbatasan dengan hutan-hutan, ladang-ladang pertanian dan pengembalaan

luhat-luhat Aeknabara, Binanga, Unterundang, dan Simangambat, dan batas-

batas itu di luar Padang Lawas.

Selanjutnya, apabila masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas,

maka dapat diketahui pula fakta-fakta terhadap gejala-gejala yang menjadi pokok

perhatian dan konsep sebenarnya adalah definisi singkat dari kumpulan fakta atau

gejala.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang pada

dasarnya pada metode. Sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya,

kecuali itu maka diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum

tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada ilmu hukum

normatif, dan mengacu kepada norma-norma hukum positif yang terdapat didalam

peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya.27

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang diharapkan

untuk memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang

akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan

dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.28

27 Ibrahim Johni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayu Media

Publishing, 2005, Halaman 336 28 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung :

Alumni, 1994, Halaman 101

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

Penelitian ini meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber

hukum, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan beberapa

buku mengenai hukum pertanahan yang ada untuk mengetahui kepastian hukum

terhadap hak atas tanah masyarakat adat dan untuk mengetahui penyelesaian sengketa

tanah Register 40 dengan bukti sertifikat kepemilikan yang dimiliki oleh masyarakat

adat.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi

kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data-data dengan melakukan

penelahaan kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, hasil

penelitian dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.

3. Bahan Hukum

Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi

kepustakaan. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa undang-undang dan peraturan-peraturan

yang terkait dengan objek penelitian, yang terdiri dari : Undang-undang

Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 (UUPA), Undang-

undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor

39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 24

tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang Nomor 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 26

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28105/4/Chapter I.pdfDalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki

tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.29

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau

pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya

dengan objek penelitian.30

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang

untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar,

internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.31

4. Analisis Data

Analisis Data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian,

menghubungkannya dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan

dengan pendapat pakar hukum serta pihak yang terkait. Selanjutnya dilakukan

pengolahan data dengan menggunakan metode deduktif untuk sampai pada suatu

kesimpulan.

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 1995, Halaman 88 30 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982

Halaman 24 31 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta : Rajawali Pers, 1990, Halaman 14.

Universitas Sumatera Utara