bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/s2...sebagai...

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ini Aceh, adanya di Sumatra. Kalau kita ada di pulau mana, Maleo? Di sinikah?. Bukan, bukan. Kalau ini Kalimantan. Kita ada di sini, di Pulau Papua. Jadi susunannya, ini Sumatra, Jawa, ini Kalimantan, ini Sulawesi dan ini Papua. Susunannya harus begini…”(kutipan percakapan film “Denias - Senandung di Atas Awan”). Sudah sejak lama Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan, yang terdiri atas lima pulau besar yaitu, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Lagu dari Sabang, sampai Merauke menunjukkan bagaimana susunan kepulauan Indonesia di awali dari Sumatra kemudian berakhir di Papua. Tidak mengherankan jika dalam percakapan yang terjadi antara Maleo dan Denias dalam film “Denias Senandung di Atas Awan” menampilkan bagaimana susunan kepulauan Indonesia harus runtut seperti itu. Sebagai sebuah pulau yang terletak di bagian paling timur wilayah Indonesia, Papua selalu mendapat penggambaran sebagai wilayah yang terbelakang. Disamping itu Papua sendiri memiliki penduduk yang berbeda warna kulit ketimbang penduduk wilayah lain di Indonesia. Tidak mengherankan jika selama ini etnis Papua dianggap sebagai masyarakat yang primitif dan berbeda dari suku-suku yang lain di Indonesia. Dalam Sitkom Komedi di Trans TV yang berjudul Keluarga Minus, yang mencoba menampilkan etnis Papua, menampilkan bahwa etnis Papua digambarkan sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk menciptakan kelucuan-keluuan untuk menimbulkan tawa khalayak (Olivia, 2012: 11). Keluarga Minus diidentifikasikan sebagai orang yang lugu dan bodoh. Ketika menonton film Denias, sosok tokoh utama dalam film ini adalah sosok yang jarang muncul di dalam film-film yang lain. Seorang anak yang sedang mengenyam pendidikan sekolah dasar, berkulit gelap, dan tinggal di sebuah perkampungan di pedalaman Pulau Papua. Pulau yang terletak di wilayah timur Indonesia dan jauh dari ekspose media massa. Sebuah gambaran yang berbeda

Upload: doankhue

Post on 08-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“ Ini Aceh, adanya di Sumatra. Kalau kita ada di pulau mana, Maleo? Di sinikah?.

Bukan, bukan. Kalau ini Kalimantan. Kita ada di sini, di Pulau Papua. Jadi susunannya,

ini Sumatra, Jawa, ini Kalimantan, ini Sulawesi dan ini Papua. Susunannya harus

begini…”(kutipan percakapan film “Denias - Senandung di Atas Awan”).

Sudah sejak lama Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan, yang terdiri

atas lima pulau besar yaitu, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Lagu dari Sabang, sampai Merauke menunjukkan bagaimana susunan kepulauan

Indonesia di awali dari Sumatra kemudian berakhir di Papua. Tidak mengherankan

jika dalam percakapan yang terjadi antara Maleo dan Denias dalam film “Denias –

Senandung di Atas Awan” menampilkan bagaimana susunan kepulauan Indonesia

harus runtut seperti itu.

Sebagai sebuah pulau yang terletak di bagian paling timur wilayah

Indonesia, Papua selalu mendapat penggambaran sebagai wilayah yang

terbelakang. Disamping itu Papua sendiri memiliki penduduk yang berbeda warna

kulit ketimbang penduduk wilayah lain di Indonesia. Tidak mengherankan jika

selama ini etnis Papua dianggap sebagai masyarakat yang primitif dan berbeda

dari suku-suku yang lain di Indonesia.

Dalam Sitkom Komedi di Trans TV yang berjudul Keluarga Minus, yang

mencoba menampilkan etnis Papua, menampilkan bahwa etnis Papua digambarkan

sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua

untuk menciptakan kelucuan-keluuan untuk menimbulkan tawa khalayak (Olivia,

2012: 11). Keluarga Minus diidentifikasikan sebagai orang yang lugu dan bodoh.

Ketika menonton film Denias, sosok tokoh utama dalam film ini adalah

sosok yang jarang muncul di dalam film-film yang lain. Seorang anak yang sedang

mengenyam pendidikan sekolah dasar, berkulit gelap, dan tinggal di sebuah

perkampungan di pedalaman Pulau Papua. Pulau yang terletak di wilayah timur

Indonesia dan jauh dari ekspose media massa. Sebuah gambaran yang berbeda

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

2

dengan gambaran anak sekolah dasar yang sering ditampilkan di media massa

lainnya.

Kesuksesan film Denias di tahun 2006, membuat Rumah Produksi Alenia

getol menampilkan film anak dengan latar belakang kehidupan daerah yang jarang

terjamah oleh ekspose media massa. Sebut saja film Tanah Air Beta di tahun 2010,

yang mengisahkan mengenai kehidupan di perbatasan Timor-timor. Kemudian

film Serdadu Kumbang (2011) yang mengambil latar belakang kehidupan anak-

anak di pulau NTT. Film yang terbaru di tahun 2012 adalah film Di Timur

Matahari, yang mengambil syuting di Papua, seperti film Denias tetapi dengan

konsep cerita yang berbeda.

Secara tidak langsung Rumah Produksi Alenia, mencoba menggambarkan

Indonesia sebagai negara yang multikultural, yang memiliki beragam budaya.

Konsep multikulturalisme, secara tidak langsung diangkat kembali melalui film-

film anak tersebut untuk menghadirkan konsep tersebut secara ideal. Sebelumnya,

di era Orde Baru, pada tahun 1998 konsep ini pertama kali dikenalkan kepada

anak-anak melalui film Anak Seribu Pulau. Film besutan Garin Nugroho itu

mampu menggambarkan identias nasional yang dikuatkan dengan cerita-cerita

multikulturalisme, namun sayangnya di dalam film ini terdapat beberasa pesan-

pesan propaganda. Aryamami (2009) mengungkapkan bahwa film anak ini secara

tidak langsung mampu memberikan sebuah ruang negosiasi pemerintah dengan

masyarakat, mengenai efek dari mordenisasi yang dapat menghilangkan kekayaan

budaya di Indonesia.

Media massa film, merupakan sebuah cermin untuk merefleksikan realitas

sosial, sehingga apa yang di saksikan dalam media tersebut merupakan gambaran

yang sebenarnya atas realitas. Film memiliki peran yang penting dalam

merepresentasikan multikulturalisme. Namun, pada kenyataannya beberapa

penelitian yang meneliti konsep tersebut melalui konten film masih sering

menunjukkan ketimpangan. Multikulturalisme, merupakan sebuah isu yang sering

ditampilkan dengan menggambarkan ketimpangan yang ada dan bukan sebuah

solusi. Isu yang sering muncul dari penggambaran tentang multikulturalisme

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

3

adalah bagaimana kelompok minoritas digambarkan dan representasi apa yang

dihasilkan melalui struktur cerita dan content dari sebuah film.

Beberapa penelitian tentang film multikulturalisme di media massa visual,

menunjukkan bagaimana media massa membangun stereotipe terhadap kelompok

minor. Hasil penelitian diberbagai media massa (Siapera, 2010: 174) menunjukkan

bahwa media massa, terkadang secara tidak langsung membuat adanya

kesenjangan antara kelompok mayoritas dan minoritas dalam mempersepsikan

nilai multikulturalisme. Seolah-olah, gambaran yang seimbang adalah memberi

cap negatif terhadap mereka yang minor, agar tetap menjadi yang minor.

Indonesia sebagai sebuah negara yang multikultural, masih belum dapat

menampilkan konsep mengenai multikulturalisme secara berimbang. Hal ini dapat

dilihat melalui sajian dalam media massa mengenai konsep multikulturalisme

kerap ditampilkan dengan menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada. Remotivi

Indonesia, sebagai sebuah organisasi yang bergerak di bidang sajian televisi

Indonesia menemukan bahwa tayangan televisi yang menampilkan mengenai

multikulturalisme cenderung menampilkan pertentangan antar etnis dan budaya,

Cahasta (2011) juga menambahkan bahwa salah dua serial FTV di SCTV, Gara-

gara Gino (27 September 2011) dan Seandainya Aku Bukan Gue (4 Oktober 2011)

merupakan contoh lain konstruksi narasi dengan prasangka etnis, yaitu;

ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang dilekatkan pada identitas etnis. Etnis A yang

angkuh dan kaya dipertentangkan dengan etnis B yang lugu dan miskin. Ethnic

Runaway di Trans TV mempertontonkan pertentangan budaya. Konsep

tayangannya adalah dua orang artis tinggal dan beraktivitas bersama komunitas

masyarakat adat. Yang ditonjolkan Ethnic Runaway adalah perbedaan, bukan

keberagaman. Mengkonstruksi narasi bahwa mereka hidup dalam ketertinggalan

peradaban. Menganggap masayarakat adat sebagai liyan (the others).

Multikulturalisme di dalam media massa film, seharusnya ditampilkan

dengan keanekaragaman yang ada dan menawarkan solusi untuk mencegah

terjadinya konflik yang berkepanjangan, bukannya malah mempertajam perbedaan

yang ada. Untuk itu kehadiran film-film anak yang mencoba merepresentasikan

multikulturalisme Indonesia, diharapkan mampu mengenalkan dan mendidik anak-

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

4

anak dalam mengenal multikulturalisme. Film anak hasil karya Alenia Picture

menjadi dengan menarik untuk diteliti dikarenakan mencoba menggambarkan

etnis Papua dalam sebuah pandangan yang lain, yang berbeda dari gambaran yang

ada selama ini.

B. Rumusan Masalah

Persoalan yang coba dikaji dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Film

“Denias – Senandung Di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari”

merepresentasikan Etnis Papua dalam perspektif Multikuturalisme melalui tokoh

atau karakter dan alur dalam sebuah film ?.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat Bagaimana Film

“Denias – Senandung Di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari”

merepresentasikan Etnis Papua dalam perspektif Multikuturalisme melalui tokoh

atau karakter dan alur dalam sebuah film.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi

pengembangan ilmu komunikasi di bidang film dalam konteks komunikasi

budaya mengenai nilai multikulturalisme.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pada media

massa mengenai pentingnya kesadaran budaya mengenai nilai-nilai

multikulturalisme.

3. Manfaat Sosial

Penelitian ini diharapkan mampu mengajak khalayak untuk berpikir kritis

dan mengimplementasikan mengenai apa yang mereka lihat di dalam

sebuah film.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

5

E. Kerangka Pemikiran

Sub bab ini akan memaparkan mengenai pemikiran-pemikiran dan teori-

teori yang dikemukakan oleh para ahli, sehingga diharapkan mampu membantu

peneliti untuk menelaah dan mengkonstruksikan kerangka berpikir terkait dengan

representasi multikulturalisme dalam film anak di Indonesia. Untuk menjelaskan

hal tersebut, maka beberapa teori dan konsep yang akan digunakan adalah sebagai

berikut ;

E.1 Representasi

E.1.1 Film dan Realitas

Film merupakan sebuah media massa yang memiliki peran untuk

menyiarkan informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi. Sebagai sebuah

media audio visual yang bekerja dengan gambar, simbol, dan tanda visual sebagai

unsur-unsur dasar penyajiannya. Suara dan kata-kata dialog yang hadir, berperan

sebagai pendukung dan penyatu unsur-unsur dasar, sehingga menghasilkan bahasa

audio visual. Film oleh McQuail (1996: 13) memiliki peran sebagai sarana baru

yang digunakan untuk menyebarkan hiburan, menajikan cerita, peristiwa, musik,

drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum.

Pada awalnya film merupakan adalah hiburan bagi kelas bawah di

perkotaan, namun seiring berjalannya dengan waktu keberadaan film mampu

menembus batas-batas kelas dan menjangkau kelas yang lebih luas. Dari sinilah

kemampuan film yang menjangkau banyak segmen sosial berpotensi untuk

mempengaruhi khalayaknya.

Sebagai sebuah produk dari kreativitas, film tidak dapat dipisahkan dari

konteks masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsi film tersebut. Marshal

McLuhan (Prakoso, 1997: 20) menyebutkan bahwa film sarat mengandung pesan

dan penting di dalam kehidupan manusia. Film pada dasarnya mengandung nilai-

nilai kultural yang edukatif. Dimana film merupakan bentuk dokumen sosial dan

budaya yang mencoba memberikan gambaran mengenai keadaan yang ada di saat

itu.

Film merupakan bentuk dokumen yang mengandung nilai sosial dan

budaya yang mencerminkan masyarakatnya, film bisa saja dijadikan sebagai

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

6

sebuah media yang multitafsir. Melalui film, seseorang bisa saja berbicara jujur

mengenai realitas yang ada, tetapi bisa juga memberikan gambaran yang bohong

mengenai realitas yang ada.

Terdapat beberapa teori mengenai film dan berdebatannya. Beberapa

kritikus film menyatakan, bahwa film merupakan bentuk dari seni, sehingga

konten di dalamnya bukanlah suatu hal yang nyata, melainkan hanya hasil karya

dari sebuah seni. Anti-realist view melalui formative theory (Mast & Cohen, 1979:

2), menyatakan bahwa film merupakan bentuk seni, yang menginterpretasikan

dunia melalui manipulasi kamera, dengan menghasilkan dunia alternatif.

Berbeda dengan anti-realist view, Siegfried Kraucauer (Mast & Cohen,

1979: 2), pencetus awal mengenai pandangan film sebagai sebuah gambaran atas

realitas. Kraucauer, melalui realist view berargumentasi bahwa film adalah foto

dari realitas dan merupakan bentuk gambaran yang ada secara ilmiah di dunia.

Alasan dari Kraucauer mengemukakan hal tersebut adalah karena sebuah film di

produksi melalui hal-hal yang ada secara riil di dunia, sehingga sangat

memungkinkan untuk menggambarkan dunia, bukan sekedar hasil seni.

Argumentasi dari Kraucauer di atas menyatakan bahwa film sebagai

sebuah refleksi dari masyarakatnya, hal ini dikarenakan karakteristik di dalam

sebuah film mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual. Film

menurut Irawanto (1999: 13) selalu bertautan dengan nilai-niai yang hidup dalam

masyarakat dan selera publik, dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai

yang ada dalam masyarakatnya. Bisa dikatakan film adalah sebuah potret dari

masyarakat di mana film tersebut dibuat. Film selalu merekam realitas yang

tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Tidak mengherankan apabila film

dikatakan sebagai agen penyampai realitas melalui tayangan yang ditampilkannya.

Sejalan dengan Kraucauer, Ferdinand Saussure dan Jacques Lacan

(Littlejohn & Foss, 2009: 402) mengembangkan teori materialist dalam melihat

film, yaitu dengan melihat bagaimana struktur dari bahasa bermain di dalam

sebuah film. Tujuan dari teori ini adalah melihat bagaimana sejarah dari sebuah

konten film. Teori ini terkonsen melalui teks, sistem bahasa, dan makna yang

dihasilkan dalam sebuah film.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

7

Film merupakan sebuah media komunikasi yang unik dalam

menyampaikan nilai sosial dan budaya, karena film menjadi cermin dari sebuah

masyarakat yang menciptakan mereka. Konten di dalam sebuah film merupakan

hasil dari interpretasi sang sutradara. Keinginan sang sutradara memberikan

penggambaran suatu hal yang ada, film sering disebut sebagai agen yang

merepresentasikan suatu hal melalui gambar, tulisan, dan tutur kata. Konten dari

film, sering dimaknai sebagai bentuk representasi realitas yang ada.

E.1.2 Film Anak Sebagai Medium Penyampai Pesan

Film anak, menurut MacDaugall (2006: 43) adalah sebuah film yang

menampilkan nilai yang dimiliki anak-anak di masa anak-anak. Anak-anak

memiliki sebuah dunia sendiri yang menjadi awal dari mereka untuk

menggambarkan dunia diluar diri mereka. John Locke menggambarkan bahwa

anak-anak adalah kertas putih yang akan menghasilkan pemaknaan akan sesuatu

hal berdasarkan pengalamannya.

Berdasarkan pemikiran Locke (Nurnisya, 2009), ide dalam diri manusia

berdasarkan atas pengalaman empiris. Locke melihat pikiran manusia bagaikan

sebuah tabula rasa, seperti kertas putih yang kosong dimana individu bisa dengan

bebas mengisi kertas tersebut. Penerima pesan yaitu anak-anak dilihat sebagai

tabula rasa yang dapat diisi dengan ide-ide dari pengiriman pesan melalui media

massa, film misalnya.

Kita bisa melihat secara jelas bagaimana media menjadi jendela awal bagi

anak-anak. Maksudnya adalah bagaimana anak-anak dimungkinkan untuk melihat

banyak hal lain melalui media massa, di saat mereka belum pernah mengalami hal

itu secara riil.

“Anak-anak umur 8-18 tahun tahun biasanya hidup di dalam rumah dengan rata-rata 3,6

pemutar CD atau tape; 3,5 TV; 3,3 radio; 2,9 VCR/DVD; 2,1 konsol video game; dan 1,5

komputer. Anak-anak ini, karena mereka sering mengkonsumsi lebih dari satu medium

pada saat yang bersamaan, “sungguh-sungguh terekspos muatan media hingga 8,5 jam

sehari meskipun mereka menguranginya hingga kurang dari 6,5 jam sehari” (Rideout,

Roberts, dan Foehr, 2005, hlm 6, 9, dalam Baran & Devis, 2010: 240).

Anak-anak merupakan heavy viewer, George Gerbner (Griffin, 2000: 350)

menegaskan bahwa pengguna televisi pada tingkat heavy viewer akan terus

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

8

mengembangkan keyakinan bahwa realita dunia sesuai dengan apa yang

ditampilkan di media massa.

“Jean Pieget menjelaskan bagaimana perkembangan kognisi anak yang terus berlangsung

dari anak lahir hingga kelak dewasa. Secara ringkas perkembangan itu terbagi menjadi:

1. Tahap Sensori Motorik (0-2 tahun)

Pada tahap ini anak mencoba menghubungkan kemampuan motoriknya dengan

pemahamannya sendiri. Anak akan memahami sebab dan akibat dari tindakan

yang ia lakukan.

2. Tahap Pra-Operasional (3-6 tahun)

Pada tahap ini belajar menggunakan bahasa untuk mengidentifikasi objek atau

berpendapat tentang objek. Anak pada tahap ini lebih bersifat egosentris yaitu

pola pikir berpusat pada dirinya sendiri, sehingga ia susah untuk memandang sisi

orang lain.

3. Tahap Operasi Kongkret (7-11 tahun)

Anak sudah bisa berpikir secara terbalik, mengelompokkan sesuatu berdasarkan

urutan tertentu dan mengemukakan pernyataan dengan kalimat yang logis.

4. Tahap Formal (diatas 11 tahun)

Pada tahap akhir perkembangan kognisi, anak sudah bisa menggabungkan semua

aspek logika maupun yang abstrak ke dalam pernyataan. Anak-anak telah mampu

berpikir secara induktif dan deduktif, serta mulai mampu memahami masalah dan

persoalan-persoalan yang rumit.” (Surbakti, 2008:12-14)

Perkembangan anak ini menunjukkan bahwa anak-anak ketika berusia 3-11 tahun,

masih belum dapat memilah apa yang mereka tonton. Mereka menganggap segala

sesuatu yang ditonton oleh mereka adalah realitas.

Film anak merupakan sebuah medium penyampai pesan. Perkembangan

mengenai film yang tidak hanya dipahami sebagai hasil karya seni, menjadikan

adanya pergeseran dalam memandang film. Film dianggap sebagai sebuah praktik

sosial dan komunikasi massa.

Film menurut Irawanto merupakan “sebuah medium komunikasi massa yang beroperasi di

dalam masyarakat. Dalam prespektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi

seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-

elemen pendukung proses produksi, distribusi, maupun eksibisinya. Sedangkan dalam

prespektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan

dalam komunikasi filmis, yang memahami hakikat, fungsi, dan efeknya” (1999: 11).

Sebagai sebuah media komunikasi yang unik dalam menyampaikan nilai

sosial dan budaya, film dianggap menjadi cermin dari sebuah masyarakat yang

menciptakan mereka. Konten dari sebuah film sarat dengan pengertian-pengetian,

atau simbol-simbol, dan berasosiasi suatu pengertian serta mempunyai konteks

dengan lingkungan yang menerima. Disini simbol dalam film menghasilkan

sebuah makna bagi khalayak penontonnya. Menonton film sama saja kita melihat

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

9

sebuah simbol yang bermakna yang secara tidak langung memberikan penawaran

baru mengenai simbol tertentu. Film dianggap sebagai pemberi gambaran tentang

suatu hal yang penting, yang selama ini belum kita ketahui

Mengutip medium theory oleh McLuhan (Siapera, 2010: 64), dimana

digambarkan bahwa sebuah media massa secara spesifik dapat merubah

masyarakat dan konten dalam sebuah media mendukung untuk perubahan itu.

Teori ini mencoba menjelaskan bahwa sebuah media massa, misalnya film, dan

pesan yang disampaikan dalam media tersebut, memainkan peran penting dalam

kehidupan manusia. Hingga saat ini, film masih dijadikan sebagai sebuah medium

dalam menyampaikan gagasan budaya nasional kepada seluruh masyarakat.

Menurut teori ini, film merupakan sebuah media yang spesifik sehingga

dapat merubah masyarakat. Pesan di dalam media tersebut merupakan variable

yang penting dalam proses komunikasi. Film anak bergerak dengan model

komunikasi yang ditawarkan oleh Harlod Lasswell (Baran & Davis, 2010:218),

“who says what in what channel with what effect”. Model komunikasi transimisi

ini berasumsi bahwa sebuah sumber pesan mendominasi proses komunikasi dan

hasil utamanya adalah seperti efek kepada sang penerima, yaitu sesuai dengan

pembuat pesan.

E.1.3 Film sebagai Representasi Realitas Sosial

Salah satu kelebihan dari film, yaitu mampu menjadi sebuah agen

representasi. Fiske (2004: 282) mengatakan bahwa representasi ini merujuk pada

proses dimana realitas dikomunikasikan melalui kata-kata, bunyi, dan

kombinasinya. Bisa dikatakan bahwa representasi merupakan sebuah proses sosial

pemaknaan melalui sistem penandaan.

Representasi menurut Hall, “pada hakikatnya menghubungkan antara sesuatu, konsep, dan

tanda dalam sebuah proses produksi makna lewat bahasa yang secara sederhana dipahami

sebagai suatu proses produksi makna tentang konsep yang ada dalam pikiran kita lewat

bahasa” (1997: 15).

Representasi sangat berhubungan dengan penggambaran kembali budaya

dan makna. Menurut Hall (1997: 15), representasi berarti menggunakan bahasa

untuk mengungkapkan sesuatu yang bermakna, atau untuk mewakili, dunia penuh

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

10

arti, untuk orang lain. Representasi merupakan bagian penting dari sebuah proses

pertukaran makna, dimana makna diproduksi dan dipertukarkan antara anggota

melalui budaya. Bahasa, tanda, dan gambar itu ada untuk merepresentasikan

sesuatu hal.

Terdapat dua proses di dalam dua sistem representasi, yang pertama adalah

sistem yang terdiri dari objek, manusia, dan kegiatan yang berkolerasi dengan

sebuah konsep yang disebut mental representation, yang dipahami sebagai hal

yang ada dalam isi kepala seseorang. Mental representation, merupakan sebuah

sistem pengelompokan objek, orang, dan peristiwa, berdasarkan pada pengalaman

yang telah dilalui seseorang sehingga mampu mempengaruhi persepsi akan suatu

hal. Tujuan mental representation adalah untuk mengorganisir, mengelompokkan,

dan mengklasifikasi konsep yang diterima seseorang, sehingga menghasilkan

sebuah peta konseptual (conseptual map).

Kedua adalah bahasa, yang memiliki fungsi sebagai penghubung antara

suatu konsep yang dimiliki oleh seseorang dan yang dilihat dalam kehidupan riil.

Melalui bunyi, kata, gambar atau objek yang berfungsi sebagai tanda dan

diorganisasikan dengan tanda lain ke dalam sebuah sistem yang memungkinkan

untuk membawa dan mengekspresikan makna dengan menggunakan bahasa.

Proses pemaknaan di dalam sebuah budaya, dilakukan melalui dua sistem

representasi. Sistem representasi memungkin untuk pemberian makna untuk dunia

melalui konstruksi pemikiran dan sistem konsep dalam peta konsep seseorang.

Sistem representasi ini memudahkan sebuah makna untuk disebarkan dan

diekspresikan ke khalayak luas, melalui bahasa. Hubungan yang terjadi antara

benda, konsep, dan tanda akan memproduksi sebuah makna di dalam bagasa.

Proses inilah yang dimaknai sebagai sebuah proses representasi.

Theorist of representation, dijelaskan oleh Hall (1997: 24-25) melalui tiga

pendekatan untuk menjelaskan bagaimana representasi dari pemaknaan melalui

bahasa. Ketiga pendekatan itu adalah reflective approach, intentional approach,

dan constructivist approach. Reflective approach, menganggap bahwa bahasa

memiliki fungsi sebagai kaca, yang mampu merefleksikan makna sebenarnya akan

suatu hal yang ada di dunia ini. Bahasa dalam pendekatan ini dijadikan sebagai

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

11

sebuah sistem sederhana untuk merefleksikan atau mengimitasi kebenaran yang

ada di dunia, disebut sebagai mimetic. Intentional approach, berkebalikan dengan

reflective approach, dimana bahasa sebagai sebuah sistem pemikiran sosial.

Artinya, pemikiran pribadi seseorang dapat dinegosiasikan melalui bahasa untuk

disebarluaskan kepada orang lain. Constructionist approach, melihat bagaimana

bahasa dapat membentuk masyarakat. Dalam pendekatan ini kita sendirilah yang

mengkonstruksi sebuah makna menggunakan sistem representasi. Sistem bahasa,

kita gunakan untuk merepresentasikan konsep yang kita miliki. Disini aktor sosial

yang menggunakan sistem konsep dari budaya mereka, melalui bahasa, kemudian

sistem representasi mengkonstruksikan makna untuk membuat dunia menjadi

lebih bermakna dan untuk berkomunikasi.

Barker (2011: 9), menambahkan bahwa representasi digunakan untuk

melihat bagaimana dunia ini dikonstruksikan secara sosial kepada dan oleh kita

sendiri. Representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu, mereka

melekat ada bunyi, objek, televisi, dan film. Makna diproduksim ditampilkan,

digunakan, serta dipahami dalam konteks sosial tertentu.

Manusia memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur

dan pranata sosialnya, serta secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya

melalui respons-respons terhadap dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu

atau manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di

dalam dunia sosialnya. Melalui pandangan paradigma definisi sosial, realitas

merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial

terhadap dunia sosial di sekelilingnya.

Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)

diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Ia menggambarkan

proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan

secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara

subyektif.

Berger dan Luckman (1966) mengatakan institusi masyarakat tercipta dan

dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun

masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

12

kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subyektif melalui proses interaksi.

Obyektivitasi baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan

oleh orang lain yang memiliki definisi yang sama. Pada tingkat generalitas yang

paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal,

yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan

mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang

kehidupannya.

The social construction of reality, melakukan penyelidikan mengenai

bagaimana pengetahuan manusia dibentuk melalui interaksi sosial. Identitas benda

dihasilkan dari bagaimana kita berbicara tentang objek, bahasa yang digunakan

untuk menangkap konsep kita, dan cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri

pada pengalaman umum mereka. Oleh karena itu, alam di rasa kurang penting di

banding bahasa yang digunakan untuk memberi nama, membahas dan mendekati

dunia.

Konstruksi sosial merupakan hasil dari representasi produksi makna

melalui bahasa. Media massa, memiliki peran yang penting dalam proses

representasi. Melalui sebuah film, pemaknaan mengenai budaya yang telah

dikonstruksikan oleh masyarakat dipertukarkan melalui proses produksi dan

pertukaran, melalui bahasa. Bahasa berfungsi sebagai sebuah penghasil makna

dalam memahami sesuatu, dimana bahasa tersebut telah diproduksi, dan

dipertukarkan. Melalui bahasa, kita mengenal tanda dan simbol yang dapat

digunakan dalam menghasilkan representasi. Kemudian, apa yang disebut dengan

budaya dalam masyarakat kita terus kukuhkan melalui sosialisasi secara terus

menerus. Proses sosialisasi tersebut dilakukan melalui berbagai media, salah

satunya melalui film.

E.1.4 Ideologi Dalam Teks Film

Film dipandang sebagai representasi, dimana film merupakan cermin dari

nilai budaya yang ada dalam masyarakat. Maka film tidak pernah lepas dari

berbagai aspek kepentingan, baik kepentingan ideologi, ekonomi, maupun politik.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

13

Film secara tidak langsung memiliki sebuah peran yang besar terhadap perubahan

dalam masyarakat.

Aart Van Zoest (Sobur, 2006: 60) menjelaskan bahwa sebuah teks tidak

pernah lepas dari ideologi dan kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah

suatu ideologi. Ideologi menurut Piliang (2010: 13) didefinisikan sebagai sebuah

system kepercayaan dan system nilai sera representasinya dalam berbagai media

dan tindakan sosial. Ideologi pada dasarnya memiliki dua pengertian yang bertolak

belakang. Secara positif, ideologi bagi Sobur (2006: 61) dipersepsikan sebagai

suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial

tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka,

sedangkan secara negative ideologi adalah sebuah kesadaran palsu, yaitu suatu

kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman

orang mengenai realitas sosial.

Marx (Barker, 2011: 58) menganggap ideologi merupakan sebuah

kesadaran palsu, yang memiliki dua aspek penting, yang pertama adalah ide-ide

dominan dalam sebuah masyarakat adalah ide kelas yang berkuasa. Kedua, apa

yang kita persepsikan sebagai sebuah relasi sosial adalah sebuah mistifikasi pasar.

Ideologi selalu menciptakan pada diri setiap orang sebuah lukisan diri sebagai

kebenaran, padahal semuanya adalah lukisan palsu palsu yang diciptakan oleh elit

ideolog.

Secara normal ideologi dalam sebuah teks film kelihatan hidup seolah-olah

wajar seluruhnya, karena citraan dan wacananya yang menggambarkan dan

menjelaskan sebuah realitas secara sempurna. Sebuah teks film pada dasarnya

adalah bentuk dari praktik ideologi atau gambaran ideologi tertentu. Film sebagai

sebuah media komunikasi penyampai makna, pada akhirnya merupakan media

penyampai ideologi yang membawa peran sebagai agen perubahan sosial. Maka

bisa dikatakan film bisa dijadikan sebuah media untuk melakukan perebutan

ideologi dalam masyarakat.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

14

E.2 Budaya

E.2.1 Multikulturalisme

Istilah multikulturalisme pada umumnya dipergunakan untuk merujuk pada

suatu masyarakat yang ingin menunjukkan keanekaragaman yang dimilikinya.

Multikulturalisme muncul pertama kali di negara-negara yang mendapatkan diri

mereka berhadapan dengan kelompok-kelompok kultural yang berbeda.

Masyarakat demikian ini telah lama menerima bahwa mereka memiliki suatu

kebudayaan nasional tunggal dimana para warganya harus melebur.

Multikulturalisme menurut Tillar (2004: 82), mengandung pengertian yang

sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, “kulturalisme” berisi pengertian

kultur atau budaya. Plural memiliki arti berjenis-jenis, namun dalam hal ini

pluralisme tidak terbatas hanya pada pengakuan akan adanya hal yang berjenis-

jenis tetapi juga adanya pengakuan terhadap hak-hak hidup kelompok-kelompok

masyarakat yang ada dalam suatu komunitas yang memiliki kebudayaan masing-

masing.

Kymlicka (2002: 26), memusatkan perhatian pada jenis multikulturalisme

yang timbul karena adanya perbedaan etnis. Suatu kebudayaan sebagai sinonim

suatu bangsa atau rakyat yang mengacu pada sebuah komunitas antargenerasi,

menempati wilayah tertentu, berbagai satu bahasa, dan sejarah yang berbeda.

Kebudayaan menyediakan sebuah tempat bagi masyarakat di dalamnya untuk

melakukakan kehidupan sosial, pendidikan, keagamaan, kehidupan rekreasi dan

ekonomi, yang secara kelembagaan terwujud dalam bentuk sekolah-sekolah,

media, ekonomi, dan pemerintahan.

Kebudayaan merupakan hal yang vital bagi perkembangan manusia,

kelompok minoritas pun memiliki hak atas kebudayaan mereka. Prinsip keadilan

menuntut bahwa minoritas dan mayoritas harus mampu menggunakan hak-hak

kultural yang sama dan harus mampu menggunakan hak-hak ini dengan sama

efektifnya. Jenis hak minoritas yang dituntut oleh kelompok-kelompok etnis,

adalah ;

- Hak-hak memimpin diri sendiri.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

15

- Hak-hak polietnis (yang berhubungan dengan praktik-praktik agama dan

budaya yang khas).

- Hak-hak perwakilan khusus.

Sebagai minoritas, kebudayaan tersebut ingin mempertahankan diri sebagai

masyarakat tersendiri di sisi kebudayaan mayoritas, dan menuntut berbagai bentuk

otonomi atau pemerintahan sendiri untuk memastikan keberlangsungannya sebagai

masyarakat sendiri. Bagi Kymlica (2002: 25), multikultural dalam arti yang lebih

luas, mencakup sejumlah kelompok sosial yang dikesampingkan dari aliran utama

masyarakat. Hal ini memperlihatkan kompleksnya istilah kebudayaan, yaitu

banyak kelompok yang memiliki kebudayaan yang berbeda, yang mengacu pada

adat istiadat, perspektif, atau etos yang berbeda dari kelompok lainnya.

Multikulturalisme merupakan sebuah konsep yang bertujuan untuk

merayakan perbedaan yang ada. Secara tradisional menurut Tilaar (2004: 83),

multikulturalisme memiliki dua ciri utama, yaitu: Kebutuhan terhadap pengakuan

(the need of recognition) dan legitimasi keragaman budaya atau pluralisme

budaya. Siapera (2010: 12) menjelaskan multikulturalisme sebagai sebuah

masyarakat yang mampu untuk mengakomodasi, melayani, dan menerima adanya

pluralitas yang ada di dalam masyarakat tersebut.

Konsep untuk menelaah mengenai multikulturalisme juga ditawarkan oleh

Baumann (1999: 19) dengan menggunakan multicultural triangle dalam sebuah

negara. Multicultural triangle dapat berkembang disebuah negara jika didukung

oleh pemerintah dalam sebuah negara, hegomoni media, dan budaya masyarakat

yang dominan. Konsep yang ditawarkan oleh Baumann menunjukkan bahwa

pluralitas atau keanekaragaman sebuah budaya dapat diterapkan apabila didukung

oleh pemerintah, media massa, dan masyarakat.

Multikulturalisme menurut Hariyono (2006: 34) sebagai sebuah bentuk

keanekaragaman etnis dengan kebudayaan yang hidup secara berdampingan dan

saling mengakui keberadaannya dengan sikap saling menghormati antar etnis,

kelompok, dan antar kebudayaan. Perkembangan mengenai konsep

multikulturalisme tidak hanya mengenai hidup yang berdampingan, tetapi

bagaimana adanya pengakuan terhadap identitas suatu kelompok, distribusi

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

16

kekuasaan di dalam mayarakat sehingga tidak terjadi diskriminasi, dan peranan

kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan.

Beberapa masalah yang kerap timbul akibat adanya konsep

multikulturalisme yang belum terakomodasi dengan baik adalah timbulnya

stereotype, etnosentrisme, dan diskriminasi kekuasaan (munculnya kelompok

mayoritas dan minoritas). Stereotipe menurut Barker (2011) digambarkan sebagai

representasi sederhana yang mereduksi orang-orang menjadi serangkaian

karakteristik yang dibesar-besarkan dan bersifat negatif. Etnosentrisme

(Gudykunst, 2002: 9), merupakan bentuk pengakuan terhadap budaya sendiri yang

mengarah kepada kecintaan pada diri sendiri atau narsisme budaya. Pandangan

etnosentrisme ini memandang bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan

budaya yang lain, dimana budaya lain dinilai berdasarkan standar budaya

seseorang.

Film sebagai medium penyampai pesan, memiliki peran yang penting

dalam menyampaikan nilai multikulturalisme melalui proses representasi. Konten

film dalam menggambarkan nilai multikulturalisme masih sering menunjukkan

ketimpangan. Isu yang sering muncul dari penggambaran tentang

multikulturalisme adalah bagaimana kelompok minoritas digambarkan dan

bagaimana representasi yang dihasilkan dari penggambaran tersebut. Beberapa

penelitian tentang film multikulturalisme di televisi, menunjukkan bagaimana

media massa membangun stereotipe terhadap kelompok minor.

Pada tahun 1992, Jhally & Lewis (dalam Siapera, 2010: 74) melakukan

penelitian mengenai orang berkulit hitam di televise Amerika, dan hasil dari

penelitian itu menunjukkan bahwa media merepresentasikan orang berkulit hitam

secara stereotipe dan satu dimensi. Pada tahun 1999, Wilson & Sparks (dalam

Siapera, 2010: 174) melakukan analiis resepsi audiens dan mendapatkan hasil

mengenai adanya stereotipe kulit hitam di Amerika, sebagai seorang yang hanya

pandai dibidang olahraga atau menjadi seorang atlet, dan bukan seorang yang

pandai secara akademik. Karen Ross (dalam Siapera, 2010: 174) di UK pada tahun

2000 mencoba melihat mengenai etnis minoritas dalam tayangan televisi yang

menyajikan tayangan mengenai etnis-etnis yang berbeda. Hasil dari penelitiannya

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

17

menunjukkan bahwa media massa memberikan penggambaran secara stereotipe

terhadap mereka yang berkulit hitam sebagai pelaku kejahatan, sedangkan orang

asia fokus dengan masalah-masalah rumah tangga.

Penelitian di atas menunjukkan bahwa media massa, terkadang secara tidak

langsung membuat adanya kesenjangan antara kelompok mayoritas dan minoritas

dalam mempersepsikan nilai multikulturalisme. Seolah-olah, gambaran yang

seimbang adalah memberi cap stereotipe terhadap mereka yang minor, agar tetap

menjadi yang minor.

Representasi multikulturalisme dapat dilihat di dalam media massa,

khususnya film melalui alur cerita yang disajikan film. Konsep multikulturalisme

dapat dilihat melalui penggambaran identitas tertentu suatu etnis dalam film,

melalui bagaimana simbol budaya, stereotipe yang ditampilkan, kecintaan suatu

etnis terhadap budaya dan distribusi kekuasaan yang disajikan (digambarkan

sebagai masyarakat mayoritas atau minoritas). Konsep-konsep tersebut merupakan

hal yang terpenting dalam melihat dan memahami bagaimana multikulturalisme

direpresentasikan dalam sebuah film.

E.2.2 Identitas Kultural

Identitas menurut Klap (Berger, 2010: 125) meliputi segala hal pada

seseorang yang dapat menyatakan secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya

sendiri – statusnya, nama, kepribadian, dan masa lalunya. Gudykunst (2002: 225),

menyatakan bahwa identitas merupakan hal yang penting dalam sebuah

komunikasi budaya. Identitas baginya terdiri dari identitas rasial (yang

berdasarkan pada karakteristik individu), identitas kultutral (identitas yang

digunakan oleh individu pada saat berkomunikasi pada budaya yang lebih bersar),

identitas etnis (identifikasi diri dan pengetahuan tentang budaya etnis – tradisi,

customs, nilai, dan perilaku), dan identitas sosial (mengacu pada pengetahuan

anggota kelompok budaya).

Social Identity Theory (SIT) menurut Tajfel & Turner (Gudykunst, 2002:

225) bertujuan bahwa individu memiliki sebuah konsep pada dirinya sendiri dalam

bersosialisasi dan mengidentifikasi dirinya sendiri. Identitas personal melihat

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

18

bahwa individu adalah sebuah makhluk yang unik, memiliki budaya, hidup di

dalam sebuah group, dan identitas sosial mengacu pada pengetahuan dalam

anggota kelompok budaya dan berkomunikasi dengan budaya yang lain.

Papua merupakan penganut budaya kolektivistik, dimana budaya

kolektivistik mempengaruhi komunikasi dalam pembentukan norma dan aturan

dalam suatu budaya. Dengan kata lain budaya juga mempengaruhi individu dalam

bersosialisasi dalam suatu masyarakat. Gudykunst (2002) membagi tiga

karakteristik individu yang dipengaruhi oleh kolektivistik dalam komunikasi

individu :

- Personality Orientations (orientasi personal), menggambarkan bagaimana

orientasi personal dalam berhubungan dengan sebuah budaya lain.

- Individual Values (nilai-nilai individu), merupakan nilai-nilai personaliti

yang dimiliki oleh Individu dalam mempertahankan dan menjaga

kepercayaan diri seseorang ketika melakukan komunikasi lintas budaya.

- Self Constractuals (penyingkapan diri/ ekspresi diri), menggambarkan

bagaimana individu menggekspresikan dirinya ketika berkomunikasi

dengan individu yang memiliki budaya berbeda.

Communication Accommodation Theory (Gudykunst, 2002) memahami

interaksi antara seseorang dengan kelompok lain yang berbeda dengan menilai

melalui bahasa, perilaku secara non-verbal, dan paralanguage yang digunakan

individu. CAT fokus terhadap hubungan antara komunikasi dan identitas, dimana

identitas mampu mempengaruhi komunikasi secara divergen atau konvergen.

Dalam budaya kolektivistik, penganutnya cenderung untuk lebih mengutamakan

kepentingan kelompok atau golongan dibanding kepentingan individu di dalamnya

dan menganggap kelompok lain adalah ancaman sehingga mereka bereaksi

negatif.

Identitas budaya merupakan hal yang penting di dalam komunikasi lintas

budaya, Collier & Thomas (Gudykunst, 2002: 194) menyebutkan terdapat enam

asumsi mengenai bagaimana identitas budaya ditampilkan dalam interaksi antar

budaya. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagaimana identitas

budaya berfungsi sebagai sebuah scope (bagaimana identitas umum mereka),

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

19

salience (bagaimana pentingnya identitas mereka), dan intensity (bagaimana

kuatnya identitas mereka dalam berkomunikasi dengan yang lain).

Penyingkapan identitas budaya melalui Communication Accommodation

Theory dapat menunjukkan bagaimana orang Papua menunjukkan identitas

mereka dan bagaimana identitas mereka dikomunikasikan kepada kelompok yang

lain. Representasi multikulturalisme dalam film mengenai multikulturalisme dapat

dilihat melalui identitas yang ditampilkan melalui film, stereotipe, etnosentrisme,

dan distribusi kekuasaan (ditampilkan sebagai kelompok mayoritas atau kelompok

minoritas).

E.3 Papua Dalam Konteks Indonesia

Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Nugini

bagian barat. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut

keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli.

Pada tahun 2004, menurut papua.go.id, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh

pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama 'Papua' sedangkan bagian

baratnya menjadi Irian Jaya Barat.

Wacana Papua dalam konteks Indonesia, erat kaitannya dengan adanya

perbedaan yang tajam dalam konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme

Papua. Bagi Indonesia, Papua merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Hal

ini bertentangan dengan masyarakat Papua yang menganggap dirinya berbeda ras

dengan masyarakat Indonesia.

Thorning dan Kivimaki (dalam Widjojo, 2009: 10) membahas mengenai

masalah mendasar di Papua, yaitu adanya stereotipe nasionalis Indonesia tentang

orang Papua yang cenderung merendahkan harkat dan martabat orang Papua. Hal-

hal ini berkaitan dengan hak-hak politik orang Papua sebagai warga negara

Indonesia, perbedaan budaya, ekonomi, dan pendidikan. Papua dimarjinalisasikan

sebagai kelompok subordinat akibat dari relasi kekuasaan yang bersifat asimetris

dengan kelompok dominan.

Pembentukan identitas Papua dengan masyarakat luar terjadi sejak masa

kolonialisme Belanda. Pada saat itu masyarakat Papua melihat orang-orang asing

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

20

(mereka menyebutnya sebagai amber) dengan antagonism karena mengolonisasi

tanah mereka. Pada tahun 1963, ketika Republik Indonesia berkuasa di Papua,

pembentukan identitas Papua semakin kuat, hal ini diakibatkan kegagalan

pemerintah Indonesia yang begitu terobsesi untuk mematikan nasionalisme Papua,

namun yang terjadi adalah makin menyuburkan nasionalisme Papua dan

mengaleniasi mereka dari Indonesia.

Hasil penelitian LIPI (dalam Widjojo, 2009: 7) di Papua tahun 2004

menjelaskan terdapat empat isu strategis sebagai sumber konflik di Papua.

Keempat isu strategis itu adalah sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan

identitas politik orang Papua; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; gagalnya

pembangunan di Papua; dan inkonsistensi Pemerintah dalam implementasi Otsus

serta marjinalisasi orang Papua. Keempat hal tersebut dapat digambarkan dalam

table berikut :

Persoalan Konteks Narasi dominan

(nasionalis Indonesia)

Narasi Tandingan

(nasionalis Papua)

Sejarah integrasi,

status politik, dan

identitas politik

Peralihan

kekuasaan dari

Belanda ke

Indonesia dan

perang dingin.

- Teritori Papua

bagian dari NKRI

- Status politik sudah

sasmelalui Pepera dan

resolusi PBB

- Integrasi =

pembebasan dari

kolonialisme Belanda

- Orang Papua bukan

dari Indonesia karena

Melanisia

- Pepera tidak sah

karena tidak

merepresentasikan

aspirasi rakyat Papua

- Integrasi =

kolonialisasi Indonesia

Kekerasan politik

dan pelanggaran

HAM

Rezim

sotoritarianisme

Orde Baru dan

kapitalisme

internasional

Kekerasan = cara

untuk menjaga

keutuhan NKRI

Kekerasan adalah

pelanggaran HAM

Kegagalan

pembangunan

Rezim

otoritarianisme

Pembangunan = upaya

modernisasi orang

Pembangunan =

migrasi tenaga kerja

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

21

Orde Baru dan

kapitalisme

internasional

Papua dari luar Papua dan

marjinalisasi orang

Papua.

Inkonsisten Reformasi dan

demokratisasi

Otsus = diletakkan

dalam konteks

integrasi nasional dan

pembangunan

Otsus = pelurusan

sejarah Papua,

perlindungan hak-hak

orang Papua,

pembangunan untuk

orang Papua, dan

repapuanisasi.

Tabel 1. Persoalan, Konteks dan Kontradiksi Narasi

E.4 Studi Naratif

“A narrative is the semiotic representation of a series of events meaningfully connected in

a temporal and causal way”- Susana Onega and Jose Angel Garcia Landa (Herman &

Vervaeck, 2005: 13).

Studi naratif hadir akibat adanya perkembangan strukturalisme dalam

pemikiran di Eropa tahun 1960-an. Perhatian utama dari strukturalisme adalah

meneliti cara-cara dan mekanisme berbahasa yang meliputi tutur kata dan bunyi

dalam kaitannya dengan sejarah, institusi sosial, dan konteks dimana bahasa itu

berkembang (Al-Fayyadl, 2005: 31).

Perkembangan awal strukturalisme pada abad 20, dipengaruhi oleh

berkembangnya pemikiran-pemikiran Formalis di Rusia tentang sastra. Pemikiran

inilah yang berkembang bersama strukturalisme mengenai naratif yang berada

dalam teks sastra seperti novel dan puisi. Victor Shklovsky (Aryanto, 2004: 8),

merupakan salah seorang pemikir penting formalis mengenai studi naratif yang

cukup berpengaruh, yang menawarkan konsep fabula, yaitu terjemahan untuk term

cerita, dan konsep syuzhet, yaitu terjemahan untuk alur atau plot.

Pembongkaran plot dari cerita kemudian diteruskan oleh Vladimir Propp.

Vladimir Propp (Turner, 1999: 79), ahli cerita rakyat Rusia, menganalisis a group

Russian folktales dengan tujuan untuk melihat bagaimana struktur dari cerita yang

menggambarkan realita tersebut disampaikan. Dasar dari penelitian naratif ini

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

22

adalah untuk melihat kesamaan struktur dalam sebuah cerita rakyat dan legenda

dari daerah yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa struktur naratif dari sebuah

cerita rakyat dalam suatu budaya memiliki nilai budaya universal.

Propp membagi secara detail komponen struktural, yaitu karakteristik,

setting, dan plots. Dalam studi naratif melihat susunan dan prosedur teks serta

struktur dari sebuah rangkaian peristiwa merupakan hal yang utama. Teks, dalam

naratif didefinisikan sebagai content, yang merepresentasikan peristiwa dalam

suatu waktu dan tempat. Peristiwa yang diorganisasikan dalam sebuah cerita dari

sebab-akibat dan melihat hubungan manusia.

Perhatian Propp terutama ditujukan pada ‘norma’ dimana struktur naratif

bekerja dan unit ‘konten’ yang saling berhubungan. Usaha Propp dalam membuat

taksonomi ini, menurut Hawkes (1977: 67) dapat diterapkan dalam semua jenis

naratif, termasuk film. Propp mencoba melakukan deformasi dengan

mengemukakan konsep fungsi dan keberadaan dari karakter atau peran dalam

sebuah cerita.

Analisis naratif film, memiliki konsep dasar dari formalisme dan

strukturalisme. Terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam analisis film, yaitu

semantik dan sintaktik. Pendekatan semantik menaruh perhatian pada hubungan

antara tanda dan pesan yang diproduksi narasi atau karya naratif dengan sistem

budaya yang lebih luas yang memberinya pemaknaan. Pendekatan ini

diperkenalkan oleh Levi-Strauss, dalam metodologi linguistik yang menyediakan

pembacaan budaya yang luas terhadap genre film tertentu. Dasar pemikirannya

adalah melakukan pembongkaran naratif dengan membuka permukaannya yang

berupa relasi sebab akibat dari alur dan setting kejadian, karakter, dan latar

belakang menjadi kelompok-kelompok paradigmatik (vertical) yang baru.

Sedangkan hubungan sintagmatik (horizontal) dalam narasi dilihat sebagai bentuk

permukaan struktur yang menyembunyikan logika yang lebih dalam. Sedangkan

pendekatan sintaktik, menganalisis mengenai urutan-urutan atau orde sintagmatik

pada kejadian-kejadian dari plot atau alur. Pendekatan ini sangat dekat dengan

model plot Vladimir Propp. Pendekatan sintaktik ini mencoba menjelaskan

bagaimana pergerakan narasi, dimana logika sebab dan akibat menghubungkan

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

23

satu kejadian naratif (plot) dengan kejadian naratif yang lain (Aryanto, 2004: 9-

11).

Sunarto (2000: 128), mendefinisikan studi naratif sebagai suatu teknik

analisis yang berusaha untuk mencari kesesuaian pesan-pesan dalam suatu pola

penceritaan. Penceritaan menggunakan karakter dan peristiwa sebagai symbol

untuk menceritakan interpretasinya mengsenai bagaimana sesuatu di dunia ini

terjadi dan berubah sepanjang waktu. Penelitian yang menggunakan analisis

naratif berasumsi bahwa semua pesan mengikuti konvensi-konvensi sebuah cerita.

Sehingga menjadi tugas peneliti untuk menemukan konvensi cerita dan

menjelaskan strukturnya.

Pada analisis naratif dalam film ini akan dibagi menjadi dua dimensi, yaitu

dimensi sintagmatik dan dimensi paradigmatik. Dimensi sintagmatik biasanya

memfokuskan kajian untuk mencari sekuen dari peristiwa-peristiwa dan

menentukan hubungan-hubungan individual di antara peristiwa-peristiwa itu

sampai keseluruhan struktur cerita bisa dijelaskan. Sedangkan paradigmatik

berkaitan dengan makna di balik penggunaan orang dan tempat. Struktur naratif

pada sebuah cerita anak-anak menurut Stanton (dalam Kurniawan, 2009: 70-79)

terdiri dari beberapa elemen, yaitu ;

- Plot (Alur), yang merupakan keseluruhan sekuen peristiwa-peristiwa yang

terdapat di dalam cerita yaitu berupa rangkaian peristiwa yang terbentuk

melalui proses sebab akibat (kausalitas). Alur dalam sebuah cerita anak

dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ;

a. Bagian awal, biasanya digunakan oleh pengarang untuk

memberitahukan dan mendeskripsikan berbagai informasi yang

diperlukan dalam pemahaman cerita secara eksposisi.

b. Bagian tengah dalam cerita ini merupakan bagian yang menghadirkan

konflik dan klimaks. Konflik merupakan tahap krusial dalam cerita

karena keberadaan keinginan antar tokoh saling berbenturan. Sunarto

(2000) menjelaskan biasanya dalam alur ini bisa dijumpai konflik yang

ditemui oleh tokoh utamanya, apakah konflik yang terjadi dengan diri

sendiri (person-against-self), konflik dengan orang lain (person-

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

24

against-person), konflik dengan alam (person-against-nature), dan

konflik dengan masyarakat (person-against-society).

Konflik dalam tahap ini akan membuat khalayak tegang, sehingga

mencapai pada klimaks cerita yaitu suatu momen dalam cerita saat

konflik berlangsung memuncak dan mengakibatkan terjadinya

penyelesaian yang tidak dapat dihindari.

c. Bagian akhir, terdiri dari segala sesuatu dari klimaks menuju ke

pemecahan atau hasil cerita. Dari penjelasam di atas, bagian alur dalam

cerita dapat digambarkan sebagai berikut ;

*Klimaks

*Komplikasi

*Konflik

*Instabilitas *Denouement

*Eksosisi

Awal Tengah Akhir

Gambar 1. Bagan Alur Cerita (Sumber: Sayuti, dalam Kurniawan 2009)

- Tokoh, merujuk pada orang atau individu yang hadir sebagai pelaku dalam

sebuah cerita. Tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu

a. Tokoh utama adalah tokoh sentral (central character) biasanya

merupakan tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai

kemungkinan sisi kehidupannya. Karakter tokoh utama bisa berperan

sebagai tokoh protagonis (tokoh yang diharapkan sesuai keinginan dari

khalayak) atau tokoh antagonis (tokoh yang tidak sesuai dengan

harapan khalayak).

b. Tokoh tambahan adalah tokoh yang keberadaannya hanya sebagai

penambah atau pelengkap dari tokoh utama.

- Latar (setting), adalah lingkungan tempa terjadinya peristiwa dalam sebuah

cerita. Latar dalam cerita biasanya menyangkut tiga hal :

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

25

a. Latar tempat, yaitu latar yang merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa

yang diceritakan dan menunjuk lokasi tertentu secara geografis.

b. Latar waktu, berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-

peristiwa yang terjadi dalam cerita.

c. Latar sosial, merujuk pada kondisi sosial masyarakat sebagai tempat

cerita. Biasanya mencakup kebiasaan masyarakat dan adat istiadat yang

dijadikan sebagai latar cerita.

- Tema, adalah makna cerita yang berhubungan dengan makna pengalaman

hidup. Tema dalam sebuah cerita diklasifikasikan menjadi lima jenis ;

a. Tema jasmaniah, yang cenderung berkaitan dengan tubuh manusia.

b. Tema moral, merupakan tema yang berhubungan dengan moral

manusia

c. Tema sosial, merupakan tema yang berada di luar masalah pribadi,

misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda.

d. Tema egoik, merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi

yang pada umumnya menentang pengaruh sosial.

e. Tema ketuhanan, merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan

situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

- Judul, merupakan elemen yang paling dikenali oleh khalayak. Dalam cerita

anak dapat dipastikan bahwa judul sangat berkorelasi dengan isi cerita.

- Sudut Pandang (point of view), merupakan cara pandang atau pandangan

yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,

tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam

sebuah cerita kepada khalayak.

Studi naratif dalam film menurut Murphet (dalam Fulton, 2005: 47)

memiliki dua wewenang, yaitu melihat bagaimana shots dalam sebuah film

mampu memberikan gambaran naratif secara efisien, dan melihat bagaimana

individu dalam film tersebuat mampu memberikan informasi naratif secara

relevan. Film memungkin untuk mereproduksi sebuah realitas dengan cara

bercerita. Shots merupakan bagian yang penting dalam melihat naratif dalam film,

sebagai proto-narrative yaitu bagaimana konsep direpresentasikan melalui sebuah

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

26

adegan. Di dalam proto-narrative beberapa aksi terjadi dan adegan ini terdiri dari

unit-unit yang besar, berupa kalimat-kalimat yang berubah menjadi prosa.

Murphet (dalam Fulton, 2005) membagi beberapa elemen-elemen penting untuk

melihat naratif dalam film, yaitu;

a. Plots and Storry

Plots dalam film merupakan sebuah alat yang digunakan untuk melihat

konstruksi naratif. Plots merupakan hasil sebuah karya seni yang menyeleksi,

mengkombinasikan, exaggeration, distorsi, omission, akselerasi, memiliki

implikasi melalui cerita (kejadian dalam film) yang membuat sebuah struktur

sehingga menarik dan memaksa agar dapat dipercaya oleh audiens. Storry atau

cerita dalam sebuah film melihat bagaimana informasi disampaikan di dalam film

tersebut.

b. Narrative Time

Narrative time, merupakan waktu dalam sebuah cerita yang akan

menunjukkan seberapa lama sebuah kejadian ditampilkan dalam film. Terdapat

tiga elemen dalam narrative time, yaitu

- Story time, merupakan waktu keseluruhan dalam sebuah cerita, yang

menceritakan aktor utama dari awal hingga akhir cerita.

- Plot time, adalah waktu yang ditampilkan dalam sebuah narasi, yang

menceritakan bagian-bagian tertentu dari sebuah cerita.

- Screen time, adalah waktu yang sangat signifikan dalam level produksi

sebuah film.

Ketiga hal ini berguna untuk memahami bagaimana cerita dalam film

tersebut berhubungan mulai dari awal cerita, tengah, hingga akhir cerita.

c. Narrative Voice

Narrative voice menganalisa voice dalam sebuah film dengan melihat

narrators (sutradara) menjadi “first person” voice atau “third person” voice.

d. Point of View

Point of view di dalam naratif teks melihat bagaimana film menjadi sebuah

mesin dalam memberikan gambaran mengenai sebuah konsep. Focalisation dalam

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

27

point of view melihat bagaimana aktor utama dalam wacana naratif secara spesifik

diposisikan dalam sebuah cerita, melalui karakter yang ditampilkannya.

Dari beberapa pengertian mengenai analisis naratif, peneliti akan

menggabungkan fungsi elemen naratif milik Murphet dan Stanton. Elemen naratif

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Plot dan storry (Alur, tokoh,

tema dan judul film), Narrative time (menjelaskan mengenai setting alur cerita

dari film), Narrative voice (melihat bagaimana sutradara menceritakan tema film

untuk kepada khalayak), dan Point of view (melihat cara pandang sutradara dalam

menyampaikan cerita kepada khalayak).

F. Model Penelitian

Dari kerangka pemikiran diatas, maka dapat dibuat sebuah model

penelitian dimana film Denias-Senandung di Atas Awan dan Di Timur Matahari

dijadikan sebagai sebuah medium dalam merepresentasikan masyarakat Papua

dalam perspektif multikulturalisme menggunakan studi naratif. Prespektif

multikulturalisme di dalam penelitian ini merujuk pada intragroup prespektif, yang

menunjukkan mengenai Identitas Kultural Suku Papua, dan intergroup prespektif

yang melihat bagaimana akomodasi komunikasi dengan suku lain, mayoritas vs

minoritas, stereotipe, dan etnosentrisme. Studi naratif disini berguna untuk melihat

struktur cerita film melalui beberapa unit analisis.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

28

Representasi

Naratif Teks

Gambar 2. Bagan Model Penelitian Representasi Multikulturalisme

Dalam Film “Denias - Senandung di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari”

G. Kerangka Konsep

Konsep-konsep penting yang akan dibahas di dalam penelitian adalah sebagai

berikut ;

1. Representasi Konsep representasi dalam penelitian ini adalah

bagaimana melihat bahasa, simbol, dan konsep

mengenai suku Papua dalam perspektif

multikulturalisme diproduksi melalui sebuah film

anak, untuk mengkonstruksikan sebuah makna.

2. Multikulturalisme

Konsep multikulturalisme yang akan diangkat dalam

penelitian ini adalah bagaimana penggambaran suatu

etnis minoritas dalam sebuah film, melalui simbol

budaya, stereotipe yang ditampilkan, kecintaan suatu

etnis terhadap budaya dan distribusi kekuasaan yang

disajikan (digambarkan sebagai masyarakat mayoritas

atau minoritas) dalam memperoleh pengakuan akan

identitas, kebudayaan, dan hak sebagai warga negara.

Film Denias-Senandung

di atas awan & Di timur

Matahari

Multikulturalisme

Identitas Kultural

Suku Papua

Akomodasi

Komunikasi

Dengan Suku lain

Minoritas vs

Mayoritas

Stereotipe

Etnosentrisme

Intragroup

Perspektif

Intergroup

Perspektif

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

29

3. Identitas kultural

suku Papua

Konsep identitas kultural suku Papua dalam

penelitian ini adalah dengan melihat bagaimana

identitas suku Papua tersebut ditampilkan dalam film,

melalui tiga kategori, yaitu ;

- Identitas rasial: bagaimana karakteristik fisik

individu Papua ditampilkan.

- Identitas etnis: bagaimana identifikasi diri dan

pengetahuan tentang budaya Papua ditampilkan.

- Identitas sosial: bagaimana identifikasi diri suku

Papua dalam bersosialisasi dengan suku lain.

4. Akomodasi

komunikasi

dengan suku lain

Konsep akomodasi disini adalah melihat bagaimana

akomodasi etnis Papua dengan etnis lain. Apakah

mengarah pada konvergen (kesamaan), divergen

(perbedaan), atau Over Accomodation (komunikasi

dengan cara berlebihan).

5. Minoritas vs

Mayoritas

Konsep mengenai mayoritas dan minoritas dalam

penelitian ini adalah melihat siapa pelaku dominasi,

siapa yang ditampilkan secara minoritas.

6. Stereotipe Konsep stereotipe dalam penelitian ini adalah untuk

melihat siapa pelaku stereotipe, apakah Papua

terjebak dengan stereotipe yang ada, dan apakah film

anak ini membangun stereotipe.

7. Etnosentrisme Konsep etnosentrisme dalam penelitian ini adalah

untuk melihat siapa pelaku etnosentrisme dan

bagaimana pelaku verbal atau non verbal pelaku

etnosentrisme tersebut dalam berkomunikasi dengan

etnis lain.

8. Film Anak Konsep film anak dalam penelitian ini adalah sebagai

sebuah medium yang memiliki peran untuk mendidik

dan mempengaruhi.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

30

9. Analisis Isi

Kualitatif

Konsep analisis isi kualitatif disiini adalah dengan

menggunakan studi naratif untuk melihat bagaimana

struktur sebuah cerita anak melalui plot atau alur

cerita, tokoh, setting, tema, judul, dan point of view

dalam merepresentasikan suku Papua dalam

prespektif multikulturalisme.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dimaksudkan

untuk memberikan gambaran bagaimana film “Denias – Senandung Di Atas

Awan” dan “Di Timur Matahari” merepresentasikan Suku Papua dalam perspektif

multikuturalisme.

Metode yang digunakan adalah analisis isi kualitatif dan naratif teks.

Analisis isi kualitatif oleh Siegfried Kracauer (Jensen & Jankwoski, 191: 121)

merupakan sebuah analisis yang melihat bagaimana content atau pesan dari sebuah

media mengandung sebuah makna. Analisis ini mencoba untuk melihat makna dari

sebuah pesan dengan melihat unit-unit yang ada (words, expressions, statements,

etc).

Analisis naratif menurut Manning dan Betsy (Denzin & Linclon, 2009:

616) merupakan analisis yang berpijak pada sudut pandang sang pencerita, yang

bercerita mengenai sebuah konsep dari awal, tengah, dan akhir melalui berbagai

latar peristiwa. Dalam analisis naratif, tema, metafora, definisi naratif, struktur

cerita (awal, tengah, akhir), dan kesimpulan dibatasi pada konsep-konsep yang

sudah ditentukan oleh peneliti.

2. Obyek Penelitan

Obyek penelitian ini adalah film “Denias - Senandung Di Atas Awan” dan

“Di Timur Matahari”. Alasan memilih kedua film anak diatas adalah karena

kedua film anak ini mencoba untuk menampilkan multikulturalisme melalui

penggambaran etnis Papua yang selama ini sering digambarkan timpang di media

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

31

massa dan melihat bagaimana etnis Papua tersebut berkomunikasi dengan suku

yang lain.

3. Jenis Data dan Pengumpulan Data

a. Data Primer

Adalah data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian ini dengan

mengamati serta mengkaji film “Denias - Senandung Di Atas Awan” dan

“Di Timur Matahari”.

b. Data Sekunder

Adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, yaitu data-data yang

mendukung penelitian ini baik berupa teori maupun informasi. Data-data

ini diperoleh dari buku-buku literatur, jurnal, dan internet, yang mampu

membantu penelitian dan relevan dengan masalah yang diteliti.

4. Analisis Data

Tahap analisis data yang akan dilakukan periset adalah :

Pertama, Peneliti menentukan dua film anak untuk diteliti, kemudian

mengamati isu-isu yang ditampilkan mengenai etnis Papua melalui

prespektif multikulturalisme.

Kedua, Peneliti akan mengkaji dua film anak tersebut melalui dua analisis,

yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Dalam analisis sintagmatik, film

tersebut akan di analisis melalui elemen-elemen studi naratif, yaitu plot

atau alur cerita, tokoh, setting, tema, judul, dan point of view.

Ketiga, Melakukan analisis paradigmatik, yaitu pembacaan terhadap

content dari film melalui words, expression, dan statement sesuai dengan

prespektif multikulturalisme yang telah ditentukan melalui coding form

dengan cara memotong-motong setiap unsur dalam film sesuai dengan

koding yang telah dibuat. Coding form digunakan untuk menunjukkan

bagaimana suku Papua digambarkan. Dengan menggunakan coding form,

diharapkan peneliti akan lebih mudah membaca content film.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/S2...sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua untuk

32

Unit Terteliti Perspektif Dimensi Kategori

Film Denias &

Film Di Timur

Matahari

Multikulturalisme 1. Intragroup

Perspektif

2. Intergroup

Perspektif

- Identitas Ras

- Identitas Etnis

- Identitas Sosial

- Akomodasi

Komunikasi

dengan Suku Lain

- Minoritas vs

Mayoritas

- Stereotipe

- Etnosentrisme

Tabel 2. Coding Form Representasi Multikulturalisme

Dalam Film “Denias - Senandung di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari”

Keempat, Peneliti akan menyatukan dan merelasikan kembali unsur-unsur

yang telah dianalisis untuk melihat bagaimana relasi dan kesatuan antara

unsur-unsur naratif teks (plot atau alur cerita, tokoh, setting, tema, judul,

dan point of view) dan content (words, expression, dan statement) dalam

menggambarkan etnis Papua melalui prespektif multikulturalisme.

I. Limitasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sehingga hasilnya

dimungkinkan akan bersifat subjektif, mengingat hasil penelitian ini cenderung

pengungkapan pendapat pribadi. Disamping itu, penelitian ini hanya dapat

memahami proses produksi makna dihasilkan dalam sebuah film dan bagaimana

representasi etnis Papua melalui prespektif nilai multikulturalisme ditampilkan

dalam film anak, melalui analisis naratif yang mensinergikan antara alur dan teks.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah penelitian ini hanya bergerak pada ranah

teks, sehingga peneliti tidak dapat melihat bagaimana interpretasi atau proses

konsumsi dari pesan tersebut oleh khalayak.