bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63185/potongan/s2...sebagai...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“ Ini Aceh, adanya di Sumatra. Kalau kita ada di pulau mana, Maleo? Di sinikah?.
Bukan, bukan. Kalau ini Kalimantan. Kita ada di sini, di Pulau Papua. Jadi susunannya,
ini Sumatra, Jawa, ini Kalimantan, ini Sulawesi dan ini Papua. Susunannya harus
begini…”(kutipan percakapan film “Denias - Senandung di Atas Awan”).
Sudah sejak lama Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan, yang terdiri
atas lima pulau besar yaitu, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Lagu dari Sabang, sampai Merauke menunjukkan bagaimana susunan kepulauan
Indonesia di awali dari Sumatra kemudian berakhir di Papua. Tidak mengherankan
jika dalam percakapan yang terjadi antara Maleo dan Denias dalam film “Denias –
Senandung di Atas Awan” menampilkan bagaimana susunan kepulauan Indonesia
harus runtut seperti itu.
Sebagai sebuah pulau yang terletak di bagian paling timur wilayah
Indonesia, Papua selalu mendapat penggambaran sebagai wilayah yang
terbelakang. Disamping itu Papua sendiri memiliki penduduk yang berbeda warna
kulit ketimbang penduduk wilayah lain di Indonesia. Tidak mengherankan jika
selama ini etnis Papua dianggap sebagai masyarakat yang primitif dan berbeda
dari suku-suku yang lain di Indonesia.
Dalam Sitkom Komedi di Trans TV yang berjudul Keluarga Minus, yang
mencoba menampilkan etnis Papua, menampilkan bahwa etnis Papua digambarkan
sebagai etnis yang primitif. Terjadi eksploitasi stereotipe terhadap etnis Papua
untuk menciptakan kelucuan-keluuan untuk menimbulkan tawa khalayak (Olivia,
2012: 11). Keluarga Minus diidentifikasikan sebagai orang yang lugu dan bodoh.
Ketika menonton film Denias, sosok tokoh utama dalam film ini adalah
sosok yang jarang muncul di dalam film-film yang lain. Seorang anak yang sedang
mengenyam pendidikan sekolah dasar, berkulit gelap, dan tinggal di sebuah
perkampungan di pedalaman Pulau Papua. Pulau yang terletak di wilayah timur
Indonesia dan jauh dari ekspose media massa. Sebuah gambaran yang berbeda
2
dengan gambaran anak sekolah dasar yang sering ditampilkan di media massa
lainnya.
Kesuksesan film Denias di tahun 2006, membuat Rumah Produksi Alenia
getol menampilkan film anak dengan latar belakang kehidupan daerah yang jarang
terjamah oleh ekspose media massa. Sebut saja film Tanah Air Beta di tahun 2010,
yang mengisahkan mengenai kehidupan di perbatasan Timor-timor. Kemudian
film Serdadu Kumbang (2011) yang mengambil latar belakang kehidupan anak-
anak di pulau NTT. Film yang terbaru di tahun 2012 adalah film Di Timur
Matahari, yang mengambil syuting di Papua, seperti film Denias tetapi dengan
konsep cerita yang berbeda.
Secara tidak langsung Rumah Produksi Alenia, mencoba menggambarkan
Indonesia sebagai negara yang multikultural, yang memiliki beragam budaya.
Konsep multikulturalisme, secara tidak langsung diangkat kembali melalui film-
film anak tersebut untuk menghadirkan konsep tersebut secara ideal. Sebelumnya,
di era Orde Baru, pada tahun 1998 konsep ini pertama kali dikenalkan kepada
anak-anak melalui film Anak Seribu Pulau. Film besutan Garin Nugroho itu
mampu menggambarkan identias nasional yang dikuatkan dengan cerita-cerita
multikulturalisme, namun sayangnya di dalam film ini terdapat beberasa pesan-
pesan propaganda. Aryamami (2009) mengungkapkan bahwa film anak ini secara
tidak langsung mampu memberikan sebuah ruang negosiasi pemerintah dengan
masyarakat, mengenai efek dari mordenisasi yang dapat menghilangkan kekayaan
budaya di Indonesia.
Media massa film, merupakan sebuah cermin untuk merefleksikan realitas
sosial, sehingga apa yang di saksikan dalam media tersebut merupakan gambaran
yang sebenarnya atas realitas. Film memiliki peran yang penting dalam
merepresentasikan multikulturalisme. Namun, pada kenyataannya beberapa
penelitian yang meneliti konsep tersebut melalui konten film masih sering
menunjukkan ketimpangan. Multikulturalisme, merupakan sebuah isu yang sering
ditampilkan dengan menggambarkan ketimpangan yang ada dan bukan sebuah
solusi. Isu yang sering muncul dari penggambaran tentang multikulturalisme
3
adalah bagaimana kelompok minoritas digambarkan dan representasi apa yang
dihasilkan melalui struktur cerita dan content dari sebuah film.
Beberapa penelitian tentang film multikulturalisme di media massa visual,
menunjukkan bagaimana media massa membangun stereotipe terhadap kelompok
minor. Hasil penelitian diberbagai media massa (Siapera, 2010: 174) menunjukkan
bahwa media massa, terkadang secara tidak langsung membuat adanya
kesenjangan antara kelompok mayoritas dan minoritas dalam mempersepsikan
nilai multikulturalisme. Seolah-olah, gambaran yang seimbang adalah memberi
cap negatif terhadap mereka yang minor, agar tetap menjadi yang minor.
Indonesia sebagai sebuah negara yang multikultural, masih belum dapat
menampilkan konsep mengenai multikulturalisme secara berimbang. Hal ini dapat
dilihat melalui sajian dalam media massa mengenai konsep multikulturalisme
kerap ditampilkan dengan menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada. Remotivi
Indonesia, sebagai sebuah organisasi yang bergerak di bidang sajian televisi
Indonesia menemukan bahwa tayangan televisi yang menampilkan mengenai
multikulturalisme cenderung menampilkan pertentangan antar etnis dan budaya,
Cahasta (2011) juga menambahkan bahwa salah dua serial FTV di SCTV, Gara-
gara Gino (27 September 2011) dan Seandainya Aku Bukan Gue (4 Oktober 2011)
merupakan contoh lain konstruksi narasi dengan prasangka etnis, yaitu;
ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang dilekatkan pada identitas etnis. Etnis A yang
angkuh dan kaya dipertentangkan dengan etnis B yang lugu dan miskin. Ethnic
Runaway di Trans TV mempertontonkan pertentangan budaya. Konsep
tayangannya adalah dua orang artis tinggal dan beraktivitas bersama komunitas
masyarakat adat. Yang ditonjolkan Ethnic Runaway adalah perbedaan, bukan
keberagaman. Mengkonstruksi narasi bahwa mereka hidup dalam ketertinggalan
peradaban. Menganggap masayarakat adat sebagai liyan (the others).
Multikulturalisme di dalam media massa film, seharusnya ditampilkan
dengan keanekaragaman yang ada dan menawarkan solusi untuk mencegah
terjadinya konflik yang berkepanjangan, bukannya malah mempertajam perbedaan
yang ada. Untuk itu kehadiran film-film anak yang mencoba merepresentasikan
multikulturalisme Indonesia, diharapkan mampu mengenalkan dan mendidik anak-
4
anak dalam mengenal multikulturalisme. Film anak hasil karya Alenia Picture
menjadi dengan menarik untuk diteliti dikarenakan mencoba menggambarkan
etnis Papua dalam sebuah pandangan yang lain, yang berbeda dari gambaran yang
ada selama ini.
B. Rumusan Masalah
Persoalan yang coba dikaji dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Film
“Denias – Senandung Di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari”
merepresentasikan Etnis Papua dalam perspektif Multikuturalisme melalui tokoh
atau karakter dan alur dalam sebuah film ?.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat Bagaimana Film
“Denias – Senandung Di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari”
merepresentasikan Etnis Papua dalam perspektif Multikuturalisme melalui tokoh
atau karakter dan alur dalam sebuah film.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu komunikasi di bidang film dalam konteks komunikasi
budaya mengenai nilai multikulturalisme.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pada media
massa mengenai pentingnya kesadaran budaya mengenai nilai-nilai
multikulturalisme.
3. Manfaat Sosial
Penelitian ini diharapkan mampu mengajak khalayak untuk berpikir kritis
dan mengimplementasikan mengenai apa yang mereka lihat di dalam
sebuah film.
5
E. Kerangka Pemikiran
Sub bab ini akan memaparkan mengenai pemikiran-pemikiran dan teori-
teori yang dikemukakan oleh para ahli, sehingga diharapkan mampu membantu
peneliti untuk menelaah dan mengkonstruksikan kerangka berpikir terkait dengan
representasi multikulturalisme dalam film anak di Indonesia. Untuk menjelaskan
hal tersebut, maka beberapa teori dan konsep yang akan digunakan adalah sebagai
berikut ;
E.1 Representasi
E.1.1 Film dan Realitas
Film merupakan sebuah media massa yang memiliki peran untuk
menyiarkan informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi. Sebagai sebuah
media audio visual yang bekerja dengan gambar, simbol, dan tanda visual sebagai
unsur-unsur dasar penyajiannya. Suara dan kata-kata dialog yang hadir, berperan
sebagai pendukung dan penyatu unsur-unsur dasar, sehingga menghasilkan bahasa
audio visual. Film oleh McQuail (1996: 13) memiliki peran sebagai sarana baru
yang digunakan untuk menyebarkan hiburan, menajikan cerita, peristiwa, musik,
drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum.
Pada awalnya film merupakan adalah hiburan bagi kelas bawah di
perkotaan, namun seiring berjalannya dengan waktu keberadaan film mampu
menembus batas-batas kelas dan menjangkau kelas yang lebih luas. Dari sinilah
kemampuan film yang menjangkau banyak segmen sosial berpotensi untuk
mempengaruhi khalayaknya.
Sebagai sebuah produk dari kreativitas, film tidak dapat dipisahkan dari
konteks masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsi film tersebut. Marshal
McLuhan (Prakoso, 1997: 20) menyebutkan bahwa film sarat mengandung pesan
dan penting di dalam kehidupan manusia. Film pada dasarnya mengandung nilai-
nilai kultural yang edukatif. Dimana film merupakan bentuk dokumen sosial dan
budaya yang mencoba memberikan gambaran mengenai keadaan yang ada di saat
itu.
Film merupakan bentuk dokumen yang mengandung nilai sosial dan
budaya yang mencerminkan masyarakatnya, film bisa saja dijadikan sebagai
6
sebuah media yang multitafsir. Melalui film, seseorang bisa saja berbicara jujur
mengenai realitas yang ada, tetapi bisa juga memberikan gambaran yang bohong
mengenai realitas yang ada.
Terdapat beberapa teori mengenai film dan berdebatannya. Beberapa
kritikus film menyatakan, bahwa film merupakan bentuk dari seni, sehingga
konten di dalamnya bukanlah suatu hal yang nyata, melainkan hanya hasil karya
dari sebuah seni. Anti-realist view melalui formative theory (Mast & Cohen, 1979:
2), menyatakan bahwa film merupakan bentuk seni, yang menginterpretasikan
dunia melalui manipulasi kamera, dengan menghasilkan dunia alternatif.
Berbeda dengan anti-realist view, Siegfried Kraucauer (Mast & Cohen,
1979: 2), pencetus awal mengenai pandangan film sebagai sebuah gambaran atas
realitas. Kraucauer, melalui realist view berargumentasi bahwa film adalah foto
dari realitas dan merupakan bentuk gambaran yang ada secara ilmiah di dunia.
Alasan dari Kraucauer mengemukakan hal tersebut adalah karena sebuah film di
produksi melalui hal-hal yang ada secara riil di dunia, sehingga sangat
memungkinkan untuk menggambarkan dunia, bukan sekedar hasil seni.
Argumentasi dari Kraucauer di atas menyatakan bahwa film sebagai
sebuah refleksi dari masyarakatnya, hal ini dikarenakan karakteristik di dalam
sebuah film mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual. Film
menurut Irawanto (1999: 13) selalu bertautan dengan nilai-niai yang hidup dalam
masyarakat dan selera publik, dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai
yang ada dalam masyarakatnya. Bisa dikatakan film adalah sebuah potret dari
masyarakat di mana film tersebut dibuat. Film selalu merekam realitas yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Tidak mengherankan apabila film
dikatakan sebagai agen penyampai realitas melalui tayangan yang ditampilkannya.
Sejalan dengan Kraucauer, Ferdinand Saussure dan Jacques Lacan
(Littlejohn & Foss, 2009: 402) mengembangkan teori materialist dalam melihat
film, yaitu dengan melihat bagaimana struktur dari bahasa bermain di dalam
sebuah film. Tujuan dari teori ini adalah melihat bagaimana sejarah dari sebuah
konten film. Teori ini terkonsen melalui teks, sistem bahasa, dan makna yang
dihasilkan dalam sebuah film.
7
Film merupakan sebuah media komunikasi yang unik dalam
menyampaikan nilai sosial dan budaya, karena film menjadi cermin dari sebuah
masyarakat yang menciptakan mereka. Konten di dalam sebuah film merupakan
hasil dari interpretasi sang sutradara. Keinginan sang sutradara memberikan
penggambaran suatu hal yang ada, film sering disebut sebagai agen yang
merepresentasikan suatu hal melalui gambar, tulisan, dan tutur kata. Konten dari
film, sering dimaknai sebagai bentuk representasi realitas yang ada.
E.1.2 Film Anak Sebagai Medium Penyampai Pesan
Film anak, menurut MacDaugall (2006: 43) adalah sebuah film yang
menampilkan nilai yang dimiliki anak-anak di masa anak-anak. Anak-anak
memiliki sebuah dunia sendiri yang menjadi awal dari mereka untuk
menggambarkan dunia diluar diri mereka. John Locke menggambarkan bahwa
anak-anak adalah kertas putih yang akan menghasilkan pemaknaan akan sesuatu
hal berdasarkan pengalamannya.
Berdasarkan pemikiran Locke (Nurnisya, 2009), ide dalam diri manusia
berdasarkan atas pengalaman empiris. Locke melihat pikiran manusia bagaikan
sebuah tabula rasa, seperti kertas putih yang kosong dimana individu bisa dengan
bebas mengisi kertas tersebut. Penerima pesan yaitu anak-anak dilihat sebagai
tabula rasa yang dapat diisi dengan ide-ide dari pengiriman pesan melalui media
massa, film misalnya.
Kita bisa melihat secara jelas bagaimana media menjadi jendela awal bagi
anak-anak. Maksudnya adalah bagaimana anak-anak dimungkinkan untuk melihat
banyak hal lain melalui media massa, di saat mereka belum pernah mengalami hal
itu secara riil.
“Anak-anak umur 8-18 tahun tahun biasanya hidup di dalam rumah dengan rata-rata 3,6
pemutar CD atau tape; 3,5 TV; 3,3 radio; 2,9 VCR/DVD; 2,1 konsol video game; dan 1,5
komputer. Anak-anak ini, karena mereka sering mengkonsumsi lebih dari satu medium
pada saat yang bersamaan, “sungguh-sungguh terekspos muatan media hingga 8,5 jam
sehari meskipun mereka menguranginya hingga kurang dari 6,5 jam sehari” (Rideout,
Roberts, dan Foehr, 2005, hlm 6, 9, dalam Baran & Devis, 2010: 240).
Anak-anak merupakan heavy viewer, George Gerbner (Griffin, 2000: 350)
menegaskan bahwa pengguna televisi pada tingkat heavy viewer akan terus
8
mengembangkan keyakinan bahwa realita dunia sesuai dengan apa yang
ditampilkan di media massa.
“Jean Pieget menjelaskan bagaimana perkembangan kognisi anak yang terus berlangsung
dari anak lahir hingga kelak dewasa. Secara ringkas perkembangan itu terbagi menjadi:
1. Tahap Sensori Motorik (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak mencoba menghubungkan kemampuan motoriknya dengan
pemahamannya sendiri. Anak akan memahami sebab dan akibat dari tindakan
yang ia lakukan.
2. Tahap Pra-Operasional (3-6 tahun)
Pada tahap ini belajar menggunakan bahasa untuk mengidentifikasi objek atau
berpendapat tentang objek. Anak pada tahap ini lebih bersifat egosentris yaitu
pola pikir berpusat pada dirinya sendiri, sehingga ia susah untuk memandang sisi
orang lain.
3. Tahap Operasi Kongkret (7-11 tahun)
Anak sudah bisa berpikir secara terbalik, mengelompokkan sesuatu berdasarkan
urutan tertentu dan mengemukakan pernyataan dengan kalimat yang logis.
4. Tahap Formal (diatas 11 tahun)
Pada tahap akhir perkembangan kognisi, anak sudah bisa menggabungkan semua
aspek logika maupun yang abstrak ke dalam pernyataan. Anak-anak telah mampu
berpikir secara induktif dan deduktif, serta mulai mampu memahami masalah dan
persoalan-persoalan yang rumit.” (Surbakti, 2008:12-14)
Perkembangan anak ini menunjukkan bahwa anak-anak ketika berusia 3-11 tahun,
masih belum dapat memilah apa yang mereka tonton. Mereka menganggap segala
sesuatu yang ditonton oleh mereka adalah realitas.
Film anak merupakan sebuah medium penyampai pesan. Perkembangan
mengenai film yang tidak hanya dipahami sebagai hasil karya seni, menjadikan
adanya pergeseran dalam memandang film. Film dianggap sebagai sebuah praktik
sosial dan komunikasi massa.
Film menurut Irawanto merupakan “sebuah medium komunikasi massa yang beroperasi di
dalam masyarakat. Dalam prespektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi
seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-
elemen pendukung proses produksi, distribusi, maupun eksibisinya. Sedangkan dalam
prespektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan
dalam komunikasi filmis, yang memahami hakikat, fungsi, dan efeknya” (1999: 11).
Sebagai sebuah media komunikasi yang unik dalam menyampaikan nilai
sosial dan budaya, film dianggap menjadi cermin dari sebuah masyarakat yang
menciptakan mereka. Konten dari sebuah film sarat dengan pengertian-pengetian,
atau simbol-simbol, dan berasosiasi suatu pengertian serta mempunyai konteks
dengan lingkungan yang menerima. Disini simbol dalam film menghasilkan
sebuah makna bagi khalayak penontonnya. Menonton film sama saja kita melihat
9
sebuah simbol yang bermakna yang secara tidak langung memberikan penawaran
baru mengenai simbol tertentu. Film dianggap sebagai pemberi gambaran tentang
suatu hal yang penting, yang selama ini belum kita ketahui
Mengutip medium theory oleh McLuhan (Siapera, 2010: 64), dimana
digambarkan bahwa sebuah media massa secara spesifik dapat merubah
masyarakat dan konten dalam sebuah media mendukung untuk perubahan itu.
Teori ini mencoba menjelaskan bahwa sebuah media massa, misalnya film, dan
pesan yang disampaikan dalam media tersebut, memainkan peran penting dalam
kehidupan manusia. Hingga saat ini, film masih dijadikan sebagai sebuah medium
dalam menyampaikan gagasan budaya nasional kepada seluruh masyarakat.
Menurut teori ini, film merupakan sebuah media yang spesifik sehingga
dapat merubah masyarakat. Pesan di dalam media tersebut merupakan variable
yang penting dalam proses komunikasi. Film anak bergerak dengan model
komunikasi yang ditawarkan oleh Harlod Lasswell (Baran & Davis, 2010:218),
“who says what in what channel with what effect”. Model komunikasi transimisi
ini berasumsi bahwa sebuah sumber pesan mendominasi proses komunikasi dan
hasil utamanya adalah seperti efek kepada sang penerima, yaitu sesuai dengan
pembuat pesan.
E.1.3 Film sebagai Representasi Realitas Sosial
Salah satu kelebihan dari film, yaitu mampu menjadi sebuah agen
representasi. Fiske (2004: 282) mengatakan bahwa representasi ini merujuk pada
proses dimana realitas dikomunikasikan melalui kata-kata, bunyi, dan
kombinasinya. Bisa dikatakan bahwa representasi merupakan sebuah proses sosial
pemaknaan melalui sistem penandaan.
Representasi menurut Hall, “pada hakikatnya menghubungkan antara sesuatu, konsep, dan
tanda dalam sebuah proses produksi makna lewat bahasa yang secara sederhana dipahami
sebagai suatu proses produksi makna tentang konsep yang ada dalam pikiran kita lewat
bahasa” (1997: 15).
Representasi sangat berhubungan dengan penggambaran kembali budaya
dan makna. Menurut Hall (1997: 15), representasi berarti menggunakan bahasa
untuk mengungkapkan sesuatu yang bermakna, atau untuk mewakili, dunia penuh
10
arti, untuk orang lain. Representasi merupakan bagian penting dari sebuah proses
pertukaran makna, dimana makna diproduksi dan dipertukarkan antara anggota
melalui budaya. Bahasa, tanda, dan gambar itu ada untuk merepresentasikan
sesuatu hal.
Terdapat dua proses di dalam dua sistem representasi, yang pertama adalah
sistem yang terdiri dari objek, manusia, dan kegiatan yang berkolerasi dengan
sebuah konsep yang disebut mental representation, yang dipahami sebagai hal
yang ada dalam isi kepala seseorang. Mental representation, merupakan sebuah
sistem pengelompokan objek, orang, dan peristiwa, berdasarkan pada pengalaman
yang telah dilalui seseorang sehingga mampu mempengaruhi persepsi akan suatu
hal. Tujuan mental representation adalah untuk mengorganisir, mengelompokkan,
dan mengklasifikasi konsep yang diterima seseorang, sehingga menghasilkan
sebuah peta konseptual (conseptual map).
Kedua adalah bahasa, yang memiliki fungsi sebagai penghubung antara
suatu konsep yang dimiliki oleh seseorang dan yang dilihat dalam kehidupan riil.
Melalui bunyi, kata, gambar atau objek yang berfungsi sebagai tanda dan
diorganisasikan dengan tanda lain ke dalam sebuah sistem yang memungkinkan
untuk membawa dan mengekspresikan makna dengan menggunakan bahasa.
Proses pemaknaan di dalam sebuah budaya, dilakukan melalui dua sistem
representasi. Sistem representasi memungkin untuk pemberian makna untuk dunia
melalui konstruksi pemikiran dan sistem konsep dalam peta konsep seseorang.
Sistem representasi ini memudahkan sebuah makna untuk disebarkan dan
diekspresikan ke khalayak luas, melalui bahasa. Hubungan yang terjadi antara
benda, konsep, dan tanda akan memproduksi sebuah makna di dalam bagasa.
Proses inilah yang dimaknai sebagai sebuah proses representasi.
Theorist of representation, dijelaskan oleh Hall (1997: 24-25) melalui tiga
pendekatan untuk menjelaskan bagaimana representasi dari pemaknaan melalui
bahasa. Ketiga pendekatan itu adalah reflective approach, intentional approach,
dan constructivist approach. Reflective approach, menganggap bahwa bahasa
memiliki fungsi sebagai kaca, yang mampu merefleksikan makna sebenarnya akan
suatu hal yang ada di dunia ini. Bahasa dalam pendekatan ini dijadikan sebagai
11
sebuah sistem sederhana untuk merefleksikan atau mengimitasi kebenaran yang
ada di dunia, disebut sebagai mimetic. Intentional approach, berkebalikan dengan
reflective approach, dimana bahasa sebagai sebuah sistem pemikiran sosial.
Artinya, pemikiran pribadi seseorang dapat dinegosiasikan melalui bahasa untuk
disebarluaskan kepada orang lain. Constructionist approach, melihat bagaimana
bahasa dapat membentuk masyarakat. Dalam pendekatan ini kita sendirilah yang
mengkonstruksi sebuah makna menggunakan sistem representasi. Sistem bahasa,
kita gunakan untuk merepresentasikan konsep yang kita miliki. Disini aktor sosial
yang menggunakan sistem konsep dari budaya mereka, melalui bahasa, kemudian
sistem representasi mengkonstruksikan makna untuk membuat dunia menjadi
lebih bermakna dan untuk berkomunikasi.
Barker (2011: 9), menambahkan bahwa representasi digunakan untuk
melihat bagaimana dunia ini dikonstruksikan secara sosial kepada dan oleh kita
sendiri. Representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu, mereka
melekat ada bunyi, objek, televisi, dan film. Makna diproduksim ditampilkan,
digunakan, serta dipahami dalam konteks sosial tertentu.
Manusia memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur
dan pranata sosialnya, serta secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya
melalui respons-respons terhadap dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu
atau manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di
dalam dunia sosialnya. Melalui pandangan paradigma definisi sosial, realitas
merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial
terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)
diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Ia menggambarkan
proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan
secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara
subyektif.
Berger dan Luckman (1966) mengatakan institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun
masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada
12
kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subyektif melalui proses interaksi.
Obyektivitasi baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan
oleh orang lain yang memiliki definisi yang sama. Pada tingkat generalitas yang
paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal,
yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan
mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang
kehidupannya.
The social construction of reality, melakukan penyelidikan mengenai
bagaimana pengetahuan manusia dibentuk melalui interaksi sosial. Identitas benda
dihasilkan dari bagaimana kita berbicara tentang objek, bahasa yang digunakan
untuk menangkap konsep kita, dan cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri
pada pengalaman umum mereka. Oleh karena itu, alam di rasa kurang penting di
banding bahasa yang digunakan untuk memberi nama, membahas dan mendekati
dunia.
Konstruksi sosial merupakan hasil dari representasi produksi makna
melalui bahasa. Media massa, memiliki peran yang penting dalam proses
representasi. Melalui sebuah film, pemaknaan mengenai budaya yang telah
dikonstruksikan oleh masyarakat dipertukarkan melalui proses produksi dan
pertukaran, melalui bahasa. Bahasa berfungsi sebagai sebuah penghasil makna
dalam memahami sesuatu, dimana bahasa tersebut telah diproduksi, dan
dipertukarkan. Melalui bahasa, kita mengenal tanda dan simbol yang dapat
digunakan dalam menghasilkan representasi. Kemudian, apa yang disebut dengan
budaya dalam masyarakat kita terus kukuhkan melalui sosialisasi secara terus
menerus. Proses sosialisasi tersebut dilakukan melalui berbagai media, salah
satunya melalui film.
E.1.4 Ideologi Dalam Teks Film
Film dipandang sebagai representasi, dimana film merupakan cermin dari
nilai budaya yang ada dalam masyarakat. Maka film tidak pernah lepas dari
berbagai aspek kepentingan, baik kepentingan ideologi, ekonomi, maupun politik.
13
Film secara tidak langsung memiliki sebuah peran yang besar terhadap perubahan
dalam masyarakat.
Aart Van Zoest (Sobur, 2006: 60) menjelaskan bahwa sebuah teks tidak
pernah lepas dari ideologi dan kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah
suatu ideologi. Ideologi menurut Piliang (2010: 13) didefinisikan sebagai sebuah
system kepercayaan dan system nilai sera representasinya dalam berbagai media
dan tindakan sosial. Ideologi pada dasarnya memiliki dua pengertian yang bertolak
belakang. Secara positif, ideologi bagi Sobur (2006: 61) dipersepsikan sebagai
suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial
tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka,
sedangkan secara negative ideologi adalah sebuah kesadaran palsu, yaitu suatu
kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman
orang mengenai realitas sosial.
Marx (Barker, 2011: 58) menganggap ideologi merupakan sebuah
kesadaran palsu, yang memiliki dua aspek penting, yang pertama adalah ide-ide
dominan dalam sebuah masyarakat adalah ide kelas yang berkuasa. Kedua, apa
yang kita persepsikan sebagai sebuah relasi sosial adalah sebuah mistifikasi pasar.
Ideologi selalu menciptakan pada diri setiap orang sebuah lukisan diri sebagai
kebenaran, padahal semuanya adalah lukisan palsu palsu yang diciptakan oleh elit
ideolog.
Secara normal ideologi dalam sebuah teks film kelihatan hidup seolah-olah
wajar seluruhnya, karena citraan dan wacananya yang menggambarkan dan
menjelaskan sebuah realitas secara sempurna. Sebuah teks film pada dasarnya
adalah bentuk dari praktik ideologi atau gambaran ideologi tertentu. Film sebagai
sebuah media komunikasi penyampai makna, pada akhirnya merupakan media
penyampai ideologi yang membawa peran sebagai agen perubahan sosial. Maka
bisa dikatakan film bisa dijadikan sebuah media untuk melakukan perebutan
ideologi dalam masyarakat.
14
E.2 Budaya
E.2.1 Multikulturalisme
Istilah multikulturalisme pada umumnya dipergunakan untuk merujuk pada
suatu masyarakat yang ingin menunjukkan keanekaragaman yang dimilikinya.
Multikulturalisme muncul pertama kali di negara-negara yang mendapatkan diri
mereka berhadapan dengan kelompok-kelompok kultural yang berbeda.
Masyarakat demikian ini telah lama menerima bahwa mereka memiliki suatu
kebudayaan nasional tunggal dimana para warganya harus melebur.
Multikulturalisme menurut Tillar (2004: 82), mengandung pengertian yang
sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, “kulturalisme” berisi pengertian
kultur atau budaya. Plural memiliki arti berjenis-jenis, namun dalam hal ini
pluralisme tidak terbatas hanya pada pengakuan akan adanya hal yang berjenis-
jenis tetapi juga adanya pengakuan terhadap hak-hak hidup kelompok-kelompok
masyarakat yang ada dalam suatu komunitas yang memiliki kebudayaan masing-
masing.
Kymlicka (2002: 26), memusatkan perhatian pada jenis multikulturalisme
yang timbul karena adanya perbedaan etnis. Suatu kebudayaan sebagai sinonim
suatu bangsa atau rakyat yang mengacu pada sebuah komunitas antargenerasi,
menempati wilayah tertentu, berbagai satu bahasa, dan sejarah yang berbeda.
Kebudayaan menyediakan sebuah tempat bagi masyarakat di dalamnya untuk
melakukakan kehidupan sosial, pendidikan, keagamaan, kehidupan rekreasi dan
ekonomi, yang secara kelembagaan terwujud dalam bentuk sekolah-sekolah,
media, ekonomi, dan pemerintahan.
Kebudayaan merupakan hal yang vital bagi perkembangan manusia,
kelompok minoritas pun memiliki hak atas kebudayaan mereka. Prinsip keadilan
menuntut bahwa minoritas dan mayoritas harus mampu menggunakan hak-hak
kultural yang sama dan harus mampu menggunakan hak-hak ini dengan sama
efektifnya. Jenis hak minoritas yang dituntut oleh kelompok-kelompok etnis,
adalah ;
- Hak-hak memimpin diri sendiri.
15
- Hak-hak polietnis (yang berhubungan dengan praktik-praktik agama dan
budaya yang khas).
- Hak-hak perwakilan khusus.
Sebagai minoritas, kebudayaan tersebut ingin mempertahankan diri sebagai
masyarakat tersendiri di sisi kebudayaan mayoritas, dan menuntut berbagai bentuk
otonomi atau pemerintahan sendiri untuk memastikan keberlangsungannya sebagai
masyarakat sendiri. Bagi Kymlica (2002: 25), multikultural dalam arti yang lebih
luas, mencakup sejumlah kelompok sosial yang dikesampingkan dari aliran utama
masyarakat. Hal ini memperlihatkan kompleksnya istilah kebudayaan, yaitu
banyak kelompok yang memiliki kebudayaan yang berbeda, yang mengacu pada
adat istiadat, perspektif, atau etos yang berbeda dari kelompok lainnya.
Multikulturalisme merupakan sebuah konsep yang bertujuan untuk
merayakan perbedaan yang ada. Secara tradisional menurut Tilaar (2004: 83),
multikulturalisme memiliki dua ciri utama, yaitu: Kebutuhan terhadap pengakuan
(the need of recognition) dan legitimasi keragaman budaya atau pluralisme
budaya. Siapera (2010: 12) menjelaskan multikulturalisme sebagai sebuah
masyarakat yang mampu untuk mengakomodasi, melayani, dan menerima adanya
pluralitas yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Konsep untuk menelaah mengenai multikulturalisme juga ditawarkan oleh
Baumann (1999: 19) dengan menggunakan multicultural triangle dalam sebuah
negara. Multicultural triangle dapat berkembang disebuah negara jika didukung
oleh pemerintah dalam sebuah negara, hegomoni media, dan budaya masyarakat
yang dominan. Konsep yang ditawarkan oleh Baumann menunjukkan bahwa
pluralitas atau keanekaragaman sebuah budaya dapat diterapkan apabila didukung
oleh pemerintah, media massa, dan masyarakat.
Multikulturalisme menurut Hariyono (2006: 34) sebagai sebuah bentuk
keanekaragaman etnis dengan kebudayaan yang hidup secara berdampingan dan
saling mengakui keberadaannya dengan sikap saling menghormati antar etnis,
kelompok, dan antar kebudayaan. Perkembangan mengenai konsep
multikulturalisme tidak hanya mengenai hidup yang berdampingan, tetapi
bagaimana adanya pengakuan terhadap identitas suatu kelompok, distribusi
16
kekuasaan di dalam mayarakat sehingga tidak terjadi diskriminasi, dan peranan
kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan.
Beberapa masalah yang kerap timbul akibat adanya konsep
multikulturalisme yang belum terakomodasi dengan baik adalah timbulnya
stereotype, etnosentrisme, dan diskriminasi kekuasaan (munculnya kelompok
mayoritas dan minoritas). Stereotipe menurut Barker (2011) digambarkan sebagai
representasi sederhana yang mereduksi orang-orang menjadi serangkaian
karakteristik yang dibesar-besarkan dan bersifat negatif. Etnosentrisme
(Gudykunst, 2002: 9), merupakan bentuk pengakuan terhadap budaya sendiri yang
mengarah kepada kecintaan pada diri sendiri atau narsisme budaya. Pandangan
etnosentrisme ini memandang bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan
budaya yang lain, dimana budaya lain dinilai berdasarkan standar budaya
seseorang.
Film sebagai medium penyampai pesan, memiliki peran yang penting
dalam menyampaikan nilai multikulturalisme melalui proses representasi. Konten
film dalam menggambarkan nilai multikulturalisme masih sering menunjukkan
ketimpangan. Isu yang sering muncul dari penggambaran tentang
multikulturalisme adalah bagaimana kelompok minoritas digambarkan dan
bagaimana representasi yang dihasilkan dari penggambaran tersebut. Beberapa
penelitian tentang film multikulturalisme di televisi, menunjukkan bagaimana
media massa membangun stereotipe terhadap kelompok minor.
Pada tahun 1992, Jhally & Lewis (dalam Siapera, 2010: 74) melakukan
penelitian mengenai orang berkulit hitam di televise Amerika, dan hasil dari
penelitian itu menunjukkan bahwa media merepresentasikan orang berkulit hitam
secara stereotipe dan satu dimensi. Pada tahun 1999, Wilson & Sparks (dalam
Siapera, 2010: 174) melakukan analiis resepsi audiens dan mendapatkan hasil
mengenai adanya stereotipe kulit hitam di Amerika, sebagai seorang yang hanya
pandai dibidang olahraga atau menjadi seorang atlet, dan bukan seorang yang
pandai secara akademik. Karen Ross (dalam Siapera, 2010: 174) di UK pada tahun
2000 mencoba melihat mengenai etnis minoritas dalam tayangan televisi yang
menyajikan tayangan mengenai etnis-etnis yang berbeda. Hasil dari penelitiannya
17
menunjukkan bahwa media massa memberikan penggambaran secara stereotipe
terhadap mereka yang berkulit hitam sebagai pelaku kejahatan, sedangkan orang
asia fokus dengan masalah-masalah rumah tangga.
Penelitian di atas menunjukkan bahwa media massa, terkadang secara tidak
langsung membuat adanya kesenjangan antara kelompok mayoritas dan minoritas
dalam mempersepsikan nilai multikulturalisme. Seolah-olah, gambaran yang
seimbang adalah memberi cap stereotipe terhadap mereka yang minor, agar tetap
menjadi yang minor.
Representasi multikulturalisme dapat dilihat di dalam media massa,
khususnya film melalui alur cerita yang disajikan film. Konsep multikulturalisme
dapat dilihat melalui penggambaran identitas tertentu suatu etnis dalam film,
melalui bagaimana simbol budaya, stereotipe yang ditampilkan, kecintaan suatu
etnis terhadap budaya dan distribusi kekuasaan yang disajikan (digambarkan
sebagai masyarakat mayoritas atau minoritas). Konsep-konsep tersebut merupakan
hal yang terpenting dalam melihat dan memahami bagaimana multikulturalisme
direpresentasikan dalam sebuah film.
E.2.2 Identitas Kultural
Identitas menurut Klap (Berger, 2010: 125) meliputi segala hal pada
seseorang yang dapat menyatakan secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya
sendiri – statusnya, nama, kepribadian, dan masa lalunya. Gudykunst (2002: 225),
menyatakan bahwa identitas merupakan hal yang penting dalam sebuah
komunikasi budaya. Identitas baginya terdiri dari identitas rasial (yang
berdasarkan pada karakteristik individu), identitas kultutral (identitas yang
digunakan oleh individu pada saat berkomunikasi pada budaya yang lebih bersar),
identitas etnis (identifikasi diri dan pengetahuan tentang budaya etnis – tradisi,
customs, nilai, dan perilaku), dan identitas sosial (mengacu pada pengetahuan
anggota kelompok budaya).
Social Identity Theory (SIT) menurut Tajfel & Turner (Gudykunst, 2002:
225) bertujuan bahwa individu memiliki sebuah konsep pada dirinya sendiri dalam
bersosialisasi dan mengidentifikasi dirinya sendiri. Identitas personal melihat
18
bahwa individu adalah sebuah makhluk yang unik, memiliki budaya, hidup di
dalam sebuah group, dan identitas sosial mengacu pada pengetahuan dalam
anggota kelompok budaya dan berkomunikasi dengan budaya yang lain.
Papua merupakan penganut budaya kolektivistik, dimana budaya
kolektivistik mempengaruhi komunikasi dalam pembentukan norma dan aturan
dalam suatu budaya. Dengan kata lain budaya juga mempengaruhi individu dalam
bersosialisasi dalam suatu masyarakat. Gudykunst (2002) membagi tiga
karakteristik individu yang dipengaruhi oleh kolektivistik dalam komunikasi
individu :
- Personality Orientations (orientasi personal), menggambarkan bagaimana
orientasi personal dalam berhubungan dengan sebuah budaya lain.
- Individual Values (nilai-nilai individu), merupakan nilai-nilai personaliti
yang dimiliki oleh Individu dalam mempertahankan dan menjaga
kepercayaan diri seseorang ketika melakukan komunikasi lintas budaya.
- Self Constractuals (penyingkapan diri/ ekspresi diri), menggambarkan
bagaimana individu menggekspresikan dirinya ketika berkomunikasi
dengan individu yang memiliki budaya berbeda.
Communication Accommodation Theory (Gudykunst, 2002) memahami
interaksi antara seseorang dengan kelompok lain yang berbeda dengan menilai
melalui bahasa, perilaku secara non-verbal, dan paralanguage yang digunakan
individu. CAT fokus terhadap hubungan antara komunikasi dan identitas, dimana
identitas mampu mempengaruhi komunikasi secara divergen atau konvergen.
Dalam budaya kolektivistik, penganutnya cenderung untuk lebih mengutamakan
kepentingan kelompok atau golongan dibanding kepentingan individu di dalamnya
dan menganggap kelompok lain adalah ancaman sehingga mereka bereaksi
negatif.
Identitas budaya merupakan hal yang penting di dalam komunikasi lintas
budaya, Collier & Thomas (Gudykunst, 2002: 194) menyebutkan terdapat enam
asumsi mengenai bagaimana identitas budaya ditampilkan dalam interaksi antar
budaya. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagaimana identitas
budaya berfungsi sebagai sebuah scope (bagaimana identitas umum mereka),
19
salience (bagaimana pentingnya identitas mereka), dan intensity (bagaimana
kuatnya identitas mereka dalam berkomunikasi dengan yang lain).
Penyingkapan identitas budaya melalui Communication Accommodation
Theory dapat menunjukkan bagaimana orang Papua menunjukkan identitas
mereka dan bagaimana identitas mereka dikomunikasikan kepada kelompok yang
lain. Representasi multikulturalisme dalam film mengenai multikulturalisme dapat
dilihat melalui identitas yang ditampilkan melalui film, stereotipe, etnosentrisme,
dan distribusi kekuasaan (ditampilkan sebagai kelompok mayoritas atau kelompok
minoritas).
E.3 Papua Dalam Konteks Indonesia
Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Nugini
bagian barat. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut
keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli.
Pada tahun 2004, menurut papua.go.id, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh
pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama 'Papua' sedangkan bagian
baratnya menjadi Irian Jaya Barat.
Wacana Papua dalam konteks Indonesia, erat kaitannya dengan adanya
perbedaan yang tajam dalam konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme
Papua. Bagi Indonesia, Papua merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Hal
ini bertentangan dengan masyarakat Papua yang menganggap dirinya berbeda ras
dengan masyarakat Indonesia.
Thorning dan Kivimaki (dalam Widjojo, 2009: 10) membahas mengenai
masalah mendasar di Papua, yaitu adanya stereotipe nasionalis Indonesia tentang
orang Papua yang cenderung merendahkan harkat dan martabat orang Papua. Hal-
hal ini berkaitan dengan hak-hak politik orang Papua sebagai warga negara
Indonesia, perbedaan budaya, ekonomi, dan pendidikan. Papua dimarjinalisasikan
sebagai kelompok subordinat akibat dari relasi kekuasaan yang bersifat asimetris
dengan kelompok dominan.
Pembentukan identitas Papua dengan masyarakat luar terjadi sejak masa
kolonialisme Belanda. Pada saat itu masyarakat Papua melihat orang-orang asing
20
(mereka menyebutnya sebagai amber) dengan antagonism karena mengolonisasi
tanah mereka. Pada tahun 1963, ketika Republik Indonesia berkuasa di Papua,
pembentukan identitas Papua semakin kuat, hal ini diakibatkan kegagalan
pemerintah Indonesia yang begitu terobsesi untuk mematikan nasionalisme Papua,
namun yang terjadi adalah makin menyuburkan nasionalisme Papua dan
mengaleniasi mereka dari Indonesia.
Hasil penelitian LIPI (dalam Widjojo, 2009: 7) di Papua tahun 2004
menjelaskan terdapat empat isu strategis sebagai sumber konflik di Papua.
Keempat isu strategis itu adalah sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan
identitas politik orang Papua; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; gagalnya
pembangunan di Papua; dan inkonsistensi Pemerintah dalam implementasi Otsus
serta marjinalisasi orang Papua. Keempat hal tersebut dapat digambarkan dalam
table berikut :
Persoalan Konteks Narasi dominan
(nasionalis Indonesia)
Narasi Tandingan
(nasionalis Papua)
Sejarah integrasi,
status politik, dan
identitas politik
Peralihan
kekuasaan dari
Belanda ke
Indonesia dan
perang dingin.
- Teritori Papua
bagian dari NKRI
- Status politik sudah
sasmelalui Pepera dan
resolusi PBB
- Integrasi =
pembebasan dari
kolonialisme Belanda
- Orang Papua bukan
dari Indonesia karena
Melanisia
- Pepera tidak sah
karena tidak
merepresentasikan
aspirasi rakyat Papua
- Integrasi =
kolonialisasi Indonesia
Kekerasan politik
dan pelanggaran
HAM
Rezim
sotoritarianisme
Orde Baru dan
kapitalisme
internasional
Kekerasan = cara
untuk menjaga
keutuhan NKRI
Kekerasan adalah
pelanggaran HAM
Kegagalan
pembangunan
Rezim
otoritarianisme
Pembangunan = upaya
modernisasi orang
Pembangunan =
migrasi tenaga kerja
21
Orde Baru dan
kapitalisme
internasional
Papua dari luar Papua dan
marjinalisasi orang
Papua.
Inkonsisten Reformasi dan
demokratisasi
Otsus = diletakkan
dalam konteks
integrasi nasional dan
pembangunan
Otsus = pelurusan
sejarah Papua,
perlindungan hak-hak
orang Papua,
pembangunan untuk
orang Papua, dan
repapuanisasi.
Tabel 1. Persoalan, Konteks dan Kontradiksi Narasi
E.4 Studi Naratif
“A narrative is the semiotic representation of a series of events meaningfully connected in
a temporal and causal way”- Susana Onega and Jose Angel Garcia Landa (Herman &
Vervaeck, 2005: 13).
Studi naratif hadir akibat adanya perkembangan strukturalisme dalam
pemikiran di Eropa tahun 1960-an. Perhatian utama dari strukturalisme adalah
meneliti cara-cara dan mekanisme berbahasa yang meliputi tutur kata dan bunyi
dalam kaitannya dengan sejarah, institusi sosial, dan konteks dimana bahasa itu
berkembang (Al-Fayyadl, 2005: 31).
Perkembangan awal strukturalisme pada abad 20, dipengaruhi oleh
berkembangnya pemikiran-pemikiran Formalis di Rusia tentang sastra. Pemikiran
inilah yang berkembang bersama strukturalisme mengenai naratif yang berada
dalam teks sastra seperti novel dan puisi. Victor Shklovsky (Aryanto, 2004: 8),
merupakan salah seorang pemikir penting formalis mengenai studi naratif yang
cukup berpengaruh, yang menawarkan konsep fabula, yaitu terjemahan untuk term
cerita, dan konsep syuzhet, yaitu terjemahan untuk alur atau plot.
Pembongkaran plot dari cerita kemudian diteruskan oleh Vladimir Propp.
Vladimir Propp (Turner, 1999: 79), ahli cerita rakyat Rusia, menganalisis a group
Russian folktales dengan tujuan untuk melihat bagaimana struktur dari cerita yang
menggambarkan realita tersebut disampaikan. Dasar dari penelitian naratif ini
22
adalah untuk melihat kesamaan struktur dalam sebuah cerita rakyat dan legenda
dari daerah yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa struktur naratif dari sebuah
cerita rakyat dalam suatu budaya memiliki nilai budaya universal.
Propp membagi secara detail komponen struktural, yaitu karakteristik,
setting, dan plots. Dalam studi naratif melihat susunan dan prosedur teks serta
struktur dari sebuah rangkaian peristiwa merupakan hal yang utama. Teks, dalam
naratif didefinisikan sebagai content, yang merepresentasikan peristiwa dalam
suatu waktu dan tempat. Peristiwa yang diorganisasikan dalam sebuah cerita dari
sebab-akibat dan melihat hubungan manusia.
Perhatian Propp terutama ditujukan pada ‘norma’ dimana struktur naratif
bekerja dan unit ‘konten’ yang saling berhubungan. Usaha Propp dalam membuat
taksonomi ini, menurut Hawkes (1977: 67) dapat diterapkan dalam semua jenis
naratif, termasuk film. Propp mencoba melakukan deformasi dengan
mengemukakan konsep fungsi dan keberadaan dari karakter atau peran dalam
sebuah cerita.
Analisis naratif film, memiliki konsep dasar dari formalisme dan
strukturalisme. Terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam analisis film, yaitu
semantik dan sintaktik. Pendekatan semantik menaruh perhatian pada hubungan
antara tanda dan pesan yang diproduksi narasi atau karya naratif dengan sistem
budaya yang lebih luas yang memberinya pemaknaan. Pendekatan ini
diperkenalkan oleh Levi-Strauss, dalam metodologi linguistik yang menyediakan
pembacaan budaya yang luas terhadap genre film tertentu. Dasar pemikirannya
adalah melakukan pembongkaran naratif dengan membuka permukaannya yang
berupa relasi sebab akibat dari alur dan setting kejadian, karakter, dan latar
belakang menjadi kelompok-kelompok paradigmatik (vertical) yang baru.
Sedangkan hubungan sintagmatik (horizontal) dalam narasi dilihat sebagai bentuk
permukaan struktur yang menyembunyikan logika yang lebih dalam. Sedangkan
pendekatan sintaktik, menganalisis mengenai urutan-urutan atau orde sintagmatik
pada kejadian-kejadian dari plot atau alur. Pendekatan ini sangat dekat dengan
model plot Vladimir Propp. Pendekatan sintaktik ini mencoba menjelaskan
bagaimana pergerakan narasi, dimana logika sebab dan akibat menghubungkan
23
satu kejadian naratif (plot) dengan kejadian naratif yang lain (Aryanto, 2004: 9-
11).
Sunarto (2000: 128), mendefinisikan studi naratif sebagai suatu teknik
analisis yang berusaha untuk mencari kesesuaian pesan-pesan dalam suatu pola
penceritaan. Penceritaan menggunakan karakter dan peristiwa sebagai symbol
untuk menceritakan interpretasinya mengsenai bagaimana sesuatu di dunia ini
terjadi dan berubah sepanjang waktu. Penelitian yang menggunakan analisis
naratif berasumsi bahwa semua pesan mengikuti konvensi-konvensi sebuah cerita.
Sehingga menjadi tugas peneliti untuk menemukan konvensi cerita dan
menjelaskan strukturnya.
Pada analisis naratif dalam film ini akan dibagi menjadi dua dimensi, yaitu
dimensi sintagmatik dan dimensi paradigmatik. Dimensi sintagmatik biasanya
memfokuskan kajian untuk mencari sekuen dari peristiwa-peristiwa dan
menentukan hubungan-hubungan individual di antara peristiwa-peristiwa itu
sampai keseluruhan struktur cerita bisa dijelaskan. Sedangkan paradigmatik
berkaitan dengan makna di balik penggunaan orang dan tempat. Struktur naratif
pada sebuah cerita anak-anak menurut Stanton (dalam Kurniawan, 2009: 70-79)
terdiri dari beberapa elemen, yaitu ;
- Plot (Alur), yang merupakan keseluruhan sekuen peristiwa-peristiwa yang
terdapat di dalam cerita yaitu berupa rangkaian peristiwa yang terbentuk
melalui proses sebab akibat (kausalitas). Alur dalam sebuah cerita anak
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ;
a. Bagian awal, biasanya digunakan oleh pengarang untuk
memberitahukan dan mendeskripsikan berbagai informasi yang
diperlukan dalam pemahaman cerita secara eksposisi.
b. Bagian tengah dalam cerita ini merupakan bagian yang menghadirkan
konflik dan klimaks. Konflik merupakan tahap krusial dalam cerita
karena keberadaan keinginan antar tokoh saling berbenturan. Sunarto
(2000) menjelaskan biasanya dalam alur ini bisa dijumpai konflik yang
ditemui oleh tokoh utamanya, apakah konflik yang terjadi dengan diri
sendiri (person-against-self), konflik dengan orang lain (person-
24
against-person), konflik dengan alam (person-against-nature), dan
konflik dengan masyarakat (person-against-society).
Konflik dalam tahap ini akan membuat khalayak tegang, sehingga
mencapai pada klimaks cerita yaitu suatu momen dalam cerita saat
konflik berlangsung memuncak dan mengakibatkan terjadinya
penyelesaian yang tidak dapat dihindari.
c. Bagian akhir, terdiri dari segala sesuatu dari klimaks menuju ke
pemecahan atau hasil cerita. Dari penjelasam di atas, bagian alur dalam
cerita dapat digambarkan sebagai berikut ;
*Klimaks
*Komplikasi
*Konflik
*Instabilitas *Denouement
*Eksosisi
Awal Tengah Akhir
Gambar 1. Bagan Alur Cerita (Sumber: Sayuti, dalam Kurniawan 2009)
- Tokoh, merujuk pada orang atau individu yang hadir sebagai pelaku dalam
sebuah cerita. Tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Tokoh utama adalah tokoh sentral (central character) biasanya
merupakan tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya. Karakter tokoh utama bisa berperan
sebagai tokoh protagonis (tokoh yang diharapkan sesuai keinginan dari
khalayak) atau tokoh antagonis (tokoh yang tidak sesuai dengan
harapan khalayak).
b. Tokoh tambahan adalah tokoh yang keberadaannya hanya sebagai
penambah atau pelengkap dari tokoh utama.
- Latar (setting), adalah lingkungan tempa terjadinya peristiwa dalam sebuah
cerita. Latar dalam cerita biasanya menyangkut tiga hal :
25
a. Latar tempat, yaitu latar yang merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dan menunjuk lokasi tertentu secara geografis.
b. Latar waktu, berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam cerita.
c. Latar sosial, merujuk pada kondisi sosial masyarakat sebagai tempat
cerita. Biasanya mencakup kebiasaan masyarakat dan adat istiadat yang
dijadikan sebagai latar cerita.
- Tema, adalah makna cerita yang berhubungan dengan makna pengalaman
hidup. Tema dalam sebuah cerita diklasifikasikan menjadi lima jenis ;
a. Tema jasmaniah, yang cenderung berkaitan dengan tubuh manusia.
b. Tema moral, merupakan tema yang berhubungan dengan moral
manusia
c. Tema sosial, merupakan tema yang berada di luar masalah pribadi,
misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda.
d. Tema egoik, merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi
yang pada umumnya menentang pengaruh sosial.
e. Tema ketuhanan, merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan
situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
- Judul, merupakan elemen yang paling dikenali oleh khalayak. Dalam cerita
anak dapat dipastikan bahwa judul sangat berkorelasi dengan isi cerita.
- Sudut Pandang (point of view), merupakan cara pandang atau pandangan
yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah cerita kepada khalayak.
Studi naratif dalam film menurut Murphet (dalam Fulton, 2005: 47)
memiliki dua wewenang, yaitu melihat bagaimana shots dalam sebuah film
mampu memberikan gambaran naratif secara efisien, dan melihat bagaimana
individu dalam film tersebuat mampu memberikan informasi naratif secara
relevan. Film memungkin untuk mereproduksi sebuah realitas dengan cara
bercerita. Shots merupakan bagian yang penting dalam melihat naratif dalam film,
sebagai proto-narrative yaitu bagaimana konsep direpresentasikan melalui sebuah
26
adegan. Di dalam proto-narrative beberapa aksi terjadi dan adegan ini terdiri dari
unit-unit yang besar, berupa kalimat-kalimat yang berubah menjadi prosa.
Murphet (dalam Fulton, 2005) membagi beberapa elemen-elemen penting untuk
melihat naratif dalam film, yaitu;
a. Plots and Storry
Plots dalam film merupakan sebuah alat yang digunakan untuk melihat
konstruksi naratif. Plots merupakan hasil sebuah karya seni yang menyeleksi,
mengkombinasikan, exaggeration, distorsi, omission, akselerasi, memiliki
implikasi melalui cerita (kejadian dalam film) yang membuat sebuah struktur
sehingga menarik dan memaksa agar dapat dipercaya oleh audiens. Storry atau
cerita dalam sebuah film melihat bagaimana informasi disampaikan di dalam film
tersebut.
b. Narrative Time
Narrative time, merupakan waktu dalam sebuah cerita yang akan
menunjukkan seberapa lama sebuah kejadian ditampilkan dalam film. Terdapat
tiga elemen dalam narrative time, yaitu
- Story time, merupakan waktu keseluruhan dalam sebuah cerita, yang
menceritakan aktor utama dari awal hingga akhir cerita.
- Plot time, adalah waktu yang ditampilkan dalam sebuah narasi, yang
menceritakan bagian-bagian tertentu dari sebuah cerita.
- Screen time, adalah waktu yang sangat signifikan dalam level produksi
sebuah film.
Ketiga hal ini berguna untuk memahami bagaimana cerita dalam film
tersebut berhubungan mulai dari awal cerita, tengah, hingga akhir cerita.
c. Narrative Voice
Narrative voice menganalisa voice dalam sebuah film dengan melihat
narrators (sutradara) menjadi “first person” voice atau “third person” voice.
d. Point of View
Point of view di dalam naratif teks melihat bagaimana film menjadi sebuah
mesin dalam memberikan gambaran mengenai sebuah konsep. Focalisation dalam
27
point of view melihat bagaimana aktor utama dalam wacana naratif secara spesifik
diposisikan dalam sebuah cerita, melalui karakter yang ditampilkannya.
Dari beberapa pengertian mengenai analisis naratif, peneliti akan
menggabungkan fungsi elemen naratif milik Murphet dan Stanton. Elemen naratif
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Plot dan storry (Alur, tokoh,
tema dan judul film), Narrative time (menjelaskan mengenai setting alur cerita
dari film), Narrative voice (melihat bagaimana sutradara menceritakan tema film
untuk kepada khalayak), dan Point of view (melihat cara pandang sutradara dalam
menyampaikan cerita kepada khalayak).
F. Model Penelitian
Dari kerangka pemikiran diatas, maka dapat dibuat sebuah model
penelitian dimana film Denias-Senandung di Atas Awan dan Di Timur Matahari
dijadikan sebagai sebuah medium dalam merepresentasikan masyarakat Papua
dalam perspektif multikulturalisme menggunakan studi naratif. Prespektif
multikulturalisme di dalam penelitian ini merujuk pada intragroup prespektif, yang
menunjukkan mengenai Identitas Kultural Suku Papua, dan intergroup prespektif
yang melihat bagaimana akomodasi komunikasi dengan suku lain, mayoritas vs
minoritas, stereotipe, dan etnosentrisme. Studi naratif disini berguna untuk melihat
struktur cerita film melalui beberapa unit analisis.
28
Representasi
Naratif Teks
Gambar 2. Bagan Model Penelitian Representasi Multikulturalisme
Dalam Film “Denias - Senandung di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari”
G. Kerangka Konsep
Konsep-konsep penting yang akan dibahas di dalam penelitian adalah sebagai
berikut ;
1. Representasi Konsep representasi dalam penelitian ini adalah
bagaimana melihat bahasa, simbol, dan konsep
mengenai suku Papua dalam perspektif
multikulturalisme diproduksi melalui sebuah film
anak, untuk mengkonstruksikan sebuah makna.
2. Multikulturalisme
Konsep multikulturalisme yang akan diangkat dalam
penelitian ini adalah bagaimana penggambaran suatu
etnis minoritas dalam sebuah film, melalui simbol
budaya, stereotipe yang ditampilkan, kecintaan suatu
etnis terhadap budaya dan distribusi kekuasaan yang
disajikan (digambarkan sebagai masyarakat mayoritas
atau minoritas) dalam memperoleh pengakuan akan
identitas, kebudayaan, dan hak sebagai warga negara.
Film Denias-Senandung
di atas awan & Di timur
Matahari
Multikulturalisme
Identitas Kultural
Suku Papua
Akomodasi
Komunikasi
Dengan Suku lain
Minoritas vs
Mayoritas
Stereotipe
Etnosentrisme
Intragroup
Perspektif
Intergroup
Perspektif
29
3. Identitas kultural
suku Papua
Konsep identitas kultural suku Papua dalam
penelitian ini adalah dengan melihat bagaimana
identitas suku Papua tersebut ditampilkan dalam film,
melalui tiga kategori, yaitu ;
- Identitas rasial: bagaimana karakteristik fisik
individu Papua ditampilkan.
- Identitas etnis: bagaimana identifikasi diri dan
pengetahuan tentang budaya Papua ditampilkan.
- Identitas sosial: bagaimana identifikasi diri suku
Papua dalam bersosialisasi dengan suku lain.
4. Akomodasi
komunikasi
dengan suku lain
Konsep akomodasi disini adalah melihat bagaimana
akomodasi etnis Papua dengan etnis lain. Apakah
mengarah pada konvergen (kesamaan), divergen
(perbedaan), atau Over Accomodation (komunikasi
dengan cara berlebihan).
5. Minoritas vs
Mayoritas
Konsep mengenai mayoritas dan minoritas dalam
penelitian ini adalah melihat siapa pelaku dominasi,
siapa yang ditampilkan secara minoritas.
6. Stereotipe Konsep stereotipe dalam penelitian ini adalah untuk
melihat siapa pelaku stereotipe, apakah Papua
terjebak dengan stereotipe yang ada, dan apakah film
anak ini membangun stereotipe.
7. Etnosentrisme Konsep etnosentrisme dalam penelitian ini adalah
untuk melihat siapa pelaku etnosentrisme dan
bagaimana pelaku verbal atau non verbal pelaku
etnosentrisme tersebut dalam berkomunikasi dengan
etnis lain.
8. Film Anak Konsep film anak dalam penelitian ini adalah sebagai
sebuah medium yang memiliki peran untuk mendidik
dan mempengaruhi.
30
9. Analisis Isi
Kualitatif
Konsep analisis isi kualitatif disiini adalah dengan
menggunakan studi naratif untuk melihat bagaimana
struktur sebuah cerita anak melalui plot atau alur
cerita, tokoh, setting, tema, judul, dan point of view
dalam merepresentasikan suku Papua dalam
prespektif multikulturalisme.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dimaksudkan
untuk memberikan gambaran bagaimana film “Denias – Senandung Di Atas
Awan” dan “Di Timur Matahari” merepresentasikan Suku Papua dalam perspektif
multikuturalisme.
Metode yang digunakan adalah analisis isi kualitatif dan naratif teks.
Analisis isi kualitatif oleh Siegfried Kracauer (Jensen & Jankwoski, 191: 121)
merupakan sebuah analisis yang melihat bagaimana content atau pesan dari sebuah
media mengandung sebuah makna. Analisis ini mencoba untuk melihat makna dari
sebuah pesan dengan melihat unit-unit yang ada (words, expressions, statements,
etc).
Analisis naratif menurut Manning dan Betsy (Denzin & Linclon, 2009:
616) merupakan analisis yang berpijak pada sudut pandang sang pencerita, yang
bercerita mengenai sebuah konsep dari awal, tengah, dan akhir melalui berbagai
latar peristiwa. Dalam analisis naratif, tema, metafora, definisi naratif, struktur
cerita (awal, tengah, akhir), dan kesimpulan dibatasi pada konsep-konsep yang
sudah ditentukan oleh peneliti.
2. Obyek Penelitan
Obyek penelitian ini adalah film “Denias - Senandung Di Atas Awan” dan
“Di Timur Matahari”. Alasan memilih kedua film anak diatas adalah karena
kedua film anak ini mencoba untuk menampilkan multikulturalisme melalui
penggambaran etnis Papua yang selama ini sering digambarkan timpang di media
31
massa dan melihat bagaimana etnis Papua tersebut berkomunikasi dengan suku
yang lain.
3. Jenis Data dan Pengumpulan Data
a. Data Primer
Adalah data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian ini dengan
mengamati serta mengkaji film “Denias - Senandung Di Atas Awan” dan
“Di Timur Matahari”.
b. Data Sekunder
Adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, yaitu data-data yang
mendukung penelitian ini baik berupa teori maupun informasi. Data-data
ini diperoleh dari buku-buku literatur, jurnal, dan internet, yang mampu
membantu penelitian dan relevan dengan masalah yang diteliti.
4. Analisis Data
Tahap analisis data yang akan dilakukan periset adalah :
Pertama, Peneliti menentukan dua film anak untuk diteliti, kemudian
mengamati isu-isu yang ditampilkan mengenai etnis Papua melalui
prespektif multikulturalisme.
Kedua, Peneliti akan mengkaji dua film anak tersebut melalui dua analisis,
yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Dalam analisis sintagmatik, film
tersebut akan di analisis melalui elemen-elemen studi naratif, yaitu plot
atau alur cerita, tokoh, setting, tema, judul, dan point of view.
Ketiga, Melakukan analisis paradigmatik, yaitu pembacaan terhadap
content dari film melalui words, expression, dan statement sesuai dengan
prespektif multikulturalisme yang telah ditentukan melalui coding form
dengan cara memotong-motong setiap unsur dalam film sesuai dengan
koding yang telah dibuat. Coding form digunakan untuk menunjukkan
bagaimana suku Papua digambarkan. Dengan menggunakan coding form,
diharapkan peneliti akan lebih mudah membaca content film.
32
Unit Terteliti Perspektif Dimensi Kategori
Film Denias &
Film Di Timur
Matahari
Multikulturalisme 1. Intragroup
Perspektif
2. Intergroup
Perspektif
- Identitas Ras
- Identitas Etnis
- Identitas Sosial
- Akomodasi
Komunikasi
dengan Suku Lain
- Minoritas vs
Mayoritas
- Stereotipe
- Etnosentrisme
Tabel 2. Coding Form Representasi Multikulturalisme
Dalam Film “Denias - Senandung di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari”
Keempat, Peneliti akan menyatukan dan merelasikan kembali unsur-unsur
yang telah dianalisis untuk melihat bagaimana relasi dan kesatuan antara
unsur-unsur naratif teks (plot atau alur cerita, tokoh, setting, tema, judul,
dan point of view) dan content (words, expression, dan statement) dalam
menggambarkan etnis Papua melalui prespektif multikulturalisme.
I. Limitasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sehingga hasilnya
dimungkinkan akan bersifat subjektif, mengingat hasil penelitian ini cenderung
pengungkapan pendapat pribadi. Disamping itu, penelitian ini hanya dapat
memahami proses produksi makna dihasilkan dalam sebuah film dan bagaimana
representasi etnis Papua melalui prespektif nilai multikulturalisme ditampilkan
dalam film anak, melalui analisis naratif yang mensinergikan antara alur dan teks.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah penelitian ini hanya bergerak pada ranah
teks, sehingga peneliti tidak dapat melihat bagaimana interpretasi atau proses
konsumsi dari pesan tersebut oleh khalayak.