bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/s2-2015...di...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“ALAM SAKTI KERINCI” menjadi jargon utama dataran tinggi
Kabupaten Kerinci Jambi. Di mana-mana kita akan melihat jargon tersebut
sebagai identitas pengenal sebuah kabupaten yang memang dikenal akan
kesaktian alamnya. Desa Lempur yang menjadi lokasi penelitian saya dianggap
sebagai desa tertua di Kerinci, kesaktian alam ini sangat dipercaya oleh seluruh
masyarakat di Desa Lempur, karenanya mereka adalah masyarakat animisme yang
mempercayai Dewi hutan bernama Mandari Kuning. Dewi tersebut sebagai tokoh
mitologi masyarakat Desa Lempur yang menjaga hutan dari kerusakan akibat
tangan-tangan manusia. Ia merupakan tokoh perempuan yang memberikan
kehidupan kepada masyarakat desa dari hasil hutan, dan sangat disegani oleh
masyarakat sekitar.
Mata pencaharian masyarakat desa bergantung dari hasil hutan, mayoritas
mereka bermata pencaharian sebagai petani dan penghasil kayu manis. Karena
desa ini dikelilingi oleh hutan TNKS, maka tidak heran jika kehidupan mereka
sangat dekat dengan alam. Karena alasan tersebut, Desa Lempur menjadi salah
satu desa yang sedang dalam proses disiapkan untuk menghadapi program
REDD+ di Jambi, oleh LSM Warsi.
Program REDD+1 yang merupakan program konservasi hutan ini
melibatkan masyarakat adat untuk mengurangi degradasi dan emisi karbon
dengan membentuk Hutan Tanaman Rakyat. HTR merupakan Salah satu
skema/model dari PHBM (Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat). Skema
PHBM sendiri meliputi Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan
Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Adat2. Hal ini selain untuk meningkatkan
hak-hak pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat setempat, juga
memberikan kontribusi pada program REDD+ yang mengedepankan konservasi,
yaitu memproteksi hutan dari kerusakan. Sayangnya, ketika LSM Warsi datang
bersama perwakilan dari Dinas Kehutanan melakukan sosialisasi REDD+ dengan
tema Program Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), masyarakat Desa Lempur
Tengah tidak menanggapi dengan antusias. Hanya beberapa tokoh adat yang
datang, sedangkan tidak satupun perempuan menghadiri acara tersebut, karena
merasa urusan sawah dan ladang lebih penting.
Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan dalam pengelolaan
hutan sangat dibutuhkan, karena perempuan lebih bergantung pada sumber daya
hutan untuk pemenuhan sebagian besar kebutuhan pangan, bahan bakar dan
penghidupan, dan karenanya cenderung mengambil peran aktif dalam
perlindungan hutan. Ketika perempuan diikutsertakan dalam pengelolaan hutan,
mereka akan memberikan dampak positif bagi pengelolaan hutan secara
berkelanjutan. Pernyataan bahwa perempuan lebih peduli terhadap lingkungan
1 REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan” 2 Rahmani, dkk. Tata Cara dan Prosedur Pengembangan Program Hutan Berbasis Masyarakat (CIFOR, 2011)
dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan karena perempuan terbiasa peduli
memelihara keluarga dan peduli dengan kehidupan3.
Adapun kerugian yang akan terjadi pada masyarakat miskin pedesaan
terutama perempuan akibat perubahan iklim, sehingga partisipasi dan
pemberdayaan perempuan harus dilakukan oleh para LSM yang bergerak dalam
pemasalahan Climate Change dan Konservasi.
Menurut kontribusi Kelompok Kerja II (Working Group II) pada laporan IPCC tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan bahwa dampak terbesar perubahan iklim dalam jangka dekat akan diderita oleh masyarakat miskin pedesaan, termasuk keluarga yang dikepalai perempuan, yang hampir tidak memiliki akses kepada tanah, kepada sarana pertanian, infrastruktur dan pendidikan. (Tiwon dalam Candraningrum, 2014: 57) Perempuan di Desa Lempur Tengah, selain bekerja di sawah dan ladang,
mereka juga bekerja di area domestik. Seluruh kebutuhan keluarga telah menjadi
tanggung jawab perempuan, karena itu mereka tidak banyak waktu luang seperti
laki-laki yang setelah pulang berkebun masih dapat duduk-duduk di warung kopi.
Setelah pulang dari ladang, perempuan akan segera berbenah, mengambil kayu
bakar dan memasak untuk makan malam. Karena alasan kedekatan perempuan
terhadap lingkungan tersebut, maka pemberdayaan perempuan terus di
sosialisasikan oleh hampir seluruh LSM di Jambi, yang turut andil dalam program
REDD+.
LSM Warsi, Gita Buana, AMAN, dan ZSL merupakan LSM yang sudah
cukup lama berkecimpung mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi
REDD+. Seperti sosialisasi REDD+ yang dilakukan di DA (Area Demonstrasi) 3http://blog.cifor.org/6204/donor-dapat-berupaya-lebih-keras-untuk-pelopori-masuknya-gender-dalam-program-mitigasi-iklim-dan-kehutanan-menurut-ahli#.U8Vu-EDztPw
Berbak Jambi oleh Warsi, Gita Buana dan ZSL yang salah satu programnya ialah
dengan memberdayakan perempuan, melibatkan mereka dalam mengelola sumber
daya hutan non-kayu, seperti memanfaatkan rotan dan madu. Selain itu juga
mereka mengikutsertakan perempuan dalam rapat desa, dengan tujuan untuk dapat
menyumbangkan aspirasinya. Namun hal tersebut bukan perkara mudah, karena
perempuan lebih banyak bertindak pasif dan hanya menurut saja.
Lain halnya dengan masyarakat Kerinci, Kerinci dikenal sebagai
masyarakat yang mengadopsi sistem Matrilineal dari Minangkabau jika dilihat
berdasarkan sistem pembagian warisnya, begitu pula Desa Lempur. Jika dilihat
dari lokasi geografisnya, Kerinci berada di sebelah Selatan Sumatera Barat, lebih
dekat dengan Minangkabau dibandingkan dengan Jambi sebagai Provinsi. LSM
Jambi seperti Warsi, AMAN, dan Gita Buana menyatakan bahwa di dataran tinggi
Jambi - Kerinci, keadaan masyarakatnya memiliki hak yang setara antara laki-laki
dan perempuan. Hal itu dikarenakan, perempuan mempunyai hak waris yang sama
besar dengan laki-laki, mereka mempunyai tanah, sawah dan ladang yang sama
besarnya.
Perempuan Kerinci di Desa Lempur hanya terlibat dalam pengambilan
keputusan rapat desa ketika acara adat saja. Di luar acara adat, mereka enggan
untuk berpartisipasi karena lebih mementingkan urusan ladang dan sawah.
Sehingga rapat desa pada umumnya hanya dihadiri oleh laki-laki. Selain itu,
hanya perempuan yang dapat menentukan pemimpin dan anggota adat dalam
pemerintahan desa, dan gelar yang digunakan oleh anggota adat adalah gelar dari
garis keturunan perempuan.
Sistem kekerabatan Matrilineal tersebut, telah membawa pandangan
mengenai “kesetaraan” menurut para LSM di Jambi. Seperti yang dikatakan
Randle dalam Frank (1992), bahwa citra matrilineal dari keperempuanan
menunjukkan kekuatan ketimbang kelemahan, dan posisi ekonomi perempuan
biasanya kuat, memberikan otonomi bukan ketergantungan. Sehingga bagi para
anggota LSM Jambi, bukanlah hal yang sulit untuk mensosialisasikan keterlibatan
perempuan dalam kegiatan program REDD+ di Kerinci.
Posisi kaum perempuan dalam masyarakat Minangkabau memiliki
hubungan yang cukup sulit antara sistem kekerabatan matrilineal dengan karakter
Islam yang patriarkat. Matrilineal berarti anak keturunan dan harta warisan diatur
menurut garis ibu atau pihak perempuan dalam keluarga. Pada masa lampau, pola
seperti ini sering secara keliru disebut dengan matriarkat, sebuah istilah yang
hendak menunjukkan posisi dominan kaum perempuan. Fakta bahwa di sana ada
sistem kekerabatan matrilineal dan bahwa mereka menduduki posisi dominan
dalam semua bidang kehidupan sosial (Davidson, 2010: 226).
Masyarakat matrilineal pada masyarakat Minangkabau, memiliki sistem
keturunan menurut garis Ibu. Anak mengikuti marga dari ibunya. Begitu juga
tentang harta pusaka menurut hukum kewarisan matrilineal itu bukan dari ayah ke
anak, tetapi dari mamak ke kemanakan. Fungsi laki-laki lebih sebagai mamak dari
pada sebagai ayah, karena menurut sistem Minangkabau, apabila terjadi
perkawinan, maka pihak perempuanlah yang meminang, bukan laki-laki. Jika
sudah menikah, laki-lakilah yang dibawa ke rumah pihak perempuan, bukan laki-
laki yang membawa istrinya ke rumahnya. Zed, dkk (1992 : 95).
Sedangkan menurut penelitian Beckmann (2000), Matrilineal sangat
berkaitan erat dengan pola hak waris yang berada dalam garis keturunan Ibu,
sehingga laki-laki bekerja dan tinggal di tanah dan properti milik perempuan
(istrinya). Di dalam masyarakat Matrilineal Minangkabau, sekalipun perempuan
mempunyai hak waris secara penuh, namun mereka tidak mempunyai porsi
kedudukan dalam lembaga adat. Di dalam lingkungan keluarga, perempuan
bekerja di sawah dan ladang yang dekat dengan rumah Ibunya, atau rumah
keluarga kecilnya jika sudah memiliki tempat tinggal sendiri. Anak-anak mereka
dididik dan dihidupi oleh mamak dari keluarga Ibu. Sedangkan Ayah tidak
memiliki wewenang terhadap anaknya.
Secara konseptual, perempuan mempunyai status yang baik di dalam
Matrilineal, karena mereka memiliki hak waris lebih besar dibandingkan dengan
laki-laki. Namun di dalam penelitian ini, saya tidak melihat bentuk kesetaraan
seperti anggapan beberapa LSM Jambi yang telah dikemukakan sebelumnya.
Sehingga saya sebagai peneliti merasa tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana
hak waris dan bagaimana perempuan Kerinci di desa Lempur mempunyai kuasa
atas hak warisnya tersebut.
B. Permasalahan
Dalam pra-observasi ini, saya melihat bentuk “kesetaraan” atas
kepemilikan hak waris tidak semulus seperti apa yang dikatakan LSM Warsi,
AMAN, dan Gita Buana. Dalam konteks REDD+, pelibatan masyarakat adat
dalam menjaga hutan seringkali melupakan berbagai bentuk ketidakadilan gender
dalam pengelolaan hutan4, terutama siapa yang memiliki kekuasaan dalam
mengakses dan mengontrol sumber daya hutan. Beberapa LSM di Jambi berada
dalam perspektif Matrilineal dengan menganggap perempuan mempunyai otoritas
yang kuat di dalam desa, dan karenanya menganggap tidak sulit untuk
memberdayakan perempuan di Desa Lempur. Karena itu kita perlu melihat
bagaimana sebenarnya gagasan matrilineal terhadap pewarisan pada anak
perempuan itu diwujudkan dalam kehidupan sosial. Selain itu perlu dilihat
bagaimana gagasan dan praktik pewarisan itu berubah dari waktu ke waktu. Maka
pertanyaan besar dalam tesis ini untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi
dalam sistem matrilineal dan prakteknya.
1. Bagaimana Sistem pewarisan menurut garis keturunan masyarakat
matrilineal Desa Lempur ?
2. Bagaimana akses dan kontrol atas properti waris bagi perempuan dan laki-
laki di Desa Lempur?
C. Tinjauan Pustaka
Studi ini membahas mengenai bagaimana sistem kekerabatan matrilineal
di Desa Lempur Tengah telah membawa isu ‘kesetaraan’ di tingkat LSM Jambi
dan masyarakat desa yang bersangkutan. Juga bagaimana bentuk adaptasi
masyarakat matrilineal dalam menghadapi perubahan dan pengaruh dari luar,
yang justru membawa pada ketimpangan dan bukan kesetaraan dalam mengakses
4 Komentar Solidaritas Perempuan- AKSI-Ulu Foundation, yang disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2012 (versi 26 September 2012)
sumber daya alam yang berupa ladang, sawah, dan tanah. Terkait dengan studi
tersebut, ada beberapa tulisan yang menurut saya dapat menjadi titik tolak dalam
penulisan tesis ini.
Di bawah ini Franke (1992), menyajikan penelitian pada masyarakat Hopi
yang mengadopsi sistem kekerabatan Matrilineal. ia menekankan bahwa tidak
semua masyarakat yang mengadopsi sistem Matrilineal dalam kekerabatannya,
mempunyai pola sikap dan perilaku yang sama. Penelitiannya tidak hanya melihat
perempuan dalam matrilineal, tetapi juga melihat maskulinitas dalam sistem
matrilineal tersebut.
Pria matrilineal dalam masyarakat Hopi adalah pria yang didefinisikan
oleh perempuan. Sebagai contoh, menjadi seorang ayah dalam komunitas Hopi
sangat dihargai, dan salah satu cara di mana seorang pria Hopi memenuhi
kewajibannya dalam lingkungan desa ialah dengan menjadi ayah yang baik.
Seorang ayah pada masyarakat Hopi harus melindungi dan menafkahi anak-anak
mereka. Pria yang dipanggil ayah, adalah suatu "Peran dan tugasnya adalah untuk
menggendong anak dalam pelukannya dan membantu (Ibu) dalam merawat dan
menggendongnya. (Franke, 1992: 479-480).
Penelitian di atas memperlihatkan bahwa konsep matrilineal tidak disikapi
sama oleh seluruh kehidupan masyarakat yang mengadopsi sistem matrilineal.
Seperti masyarakat Hopi, bahwa perempuan yang mendefinisikan bagaimana
bentuk idealnya seorang laki-laki. Karena itu, penelitian saya akan
mendeskripsikan Matrilineal dari sisi lain, di mana masyarakat Kerinci Desa
Lempur yang telah membentuk kebudayaannya sendiri, telah mengadopsi sistem
matrilineal dari daerah Minangkabau Sumatra Barat.
Ada pun penelitian yang dilakukan oleh Beckmann (2000), yang telah
dilakukan di Minangkabau, bahwa sistem matrilineal telah membawa perempuan
terlibat dalam organisasi sosial masyarakat, bukan hanya pelibatan peran
perempuan sebagai ibu rumah tangga saja. Selain itu Matrilineal dalam
Minangkabau sangat berkaitan erat dengan pola hak waris yang berada dalam
garis keturunan Ibu, dan peran ayah tidak terlalu sentral seperti peran mamak
(paman) atau saudara laki-laki dari pihak Ibu.
Adapun kekuasaan dalam sistem matrilineal tidak hanya pada perempuan,
tetapi juga laki-laki memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu lebih ditekankan
pada peran mamak, dan bukan ayah. Kondisi masyarakat Minangkabau saat ini
telah mengalami perubahan, seperti merubah pola warisan dari ayah kepada
anaknya, yang sebelumnya tidak boleh dilakukan. Hal ini merupakan salah satu
pola adaptasi masyarakat Minangkabau dalam menerima perubahan, terutama
masalah perekonomian, dan berpindahnya tempat tinggal perempuan dari rumah
gadang, ke rumah yang hanya dapat ditinggali oleh keluarga kecilnya saja.
Masih penelitian pada masyarakat Minangkabau, Blackwood (2001)
menganalisis kebudayaan masyarakat Minangkabau yang salah satunya dari tokoh
Mitologi Bundo Kanduang. Di dalam penelitiannya, perempuan muncul sebagai
orang-orang yang menghasilkan ahli waris untuk mengabadikan garis keturunan,
sementara paman dari pihak Ibu mengelola garis keturunan dan anggotanya.
Perempuan mempunyai banyak hak dan kewajiban di dalam sistem matrilineal.
Secara struktural laki-laki berada dalam posisi marginal di dalam rumah
adat yang di kontrol oleh perempuan. Laki-laki Minangkabau tidak ada yang
memiliki rumah atau tempat tinggal yang bisa dikatakan milik mereka. Rumah
adalah milik ibu dan saudara perempuan. Perempuan yang dituakan memiliki
suara paling didengar dalam diskusi keluarga ketika kaum (kelompok keluarga
matrilokal) memutuskan tindakan apapun yang akan menjadi kepentingan
keluarganya.
Pada masyarakat Minangkabau, Bundo Kanduang merupakan tokoh
mitologi masyarakat. Bundo Kanduang digambarkan sebagai Ibu sejati yang
memiliki sikap keibuan dan kualitas kepemimpinan. Negara melihat Bundo
Kanduang sebagai ibu dari anak-anaknya, sedangkan pehamaman lokal, Bundo
Kanduang mempunyai arti yang lebih luas, perempuan sebagai pemimpin di
kelompok kekerabatannya.
Beberapa hal prinsipil yang berkaitan dengan Bundo Kanduang ialah
warisan mengikuti garis keturunan Ibu, yang kedua bahwa perempuan penerima
utama dari warisan, juga pemilik rumah dan tanah. Seorang ayah wajib
membangun rumah untuk anak perempuannya, bukan anak lelakinya. Namun hal
ini bukan berarti laki-laki tidak mendapatkan perhatian dalam hukum adat,
melainkan karena alam telah memberikan kekuatan lebih besar daripada
perempuan.
Perempuan menurut Islam dan adat, tidak boleh tinggal di mana saja
seperti laki-laki, mereka harus memiliki tempat tinggal yang jelas. Jika tidak
seperti itu, sesuatu mungkin akan terjadi yang akan mencoreng nama baik
perempuan. Sesuai dengan sifat perempuan yang dianggap lemah, sehingga adat
Minang memberikan kelebihan dalam memproteksi perempuan.
Hal tersebut jika dilihat dalam studi ecofeminism menurut Vandana Shiva
(2005), menjadi sangat berkaitan. Terutama karena melihat perempuan secara
alamiah lemah, erat kaitannya dengan kehidupan dan penghidupan, karena itu
perempuan cenderung lebih dekat dengan alam. Alam telah membentuk
perempuan mempunyai potensi besar dalam kepeduliannya kepada lingkungan,
dibandingkan dengan laki-laki yang mempunyai kecenderungan merusak
lingkungan. Perempuan juga secara naluriah mempunyai kemampuan dalam
mempertahankan kehidupan, sedangkan laki-laki tidak.
Praktik-praktik lokal dalam kehidupannya berinteraksi dengan hutan dapat
menjadi faktor yang sangat mendukung untuk memperlihatkan bagaimana mereka
melihat masa depan, dan mempersiapkan generasi berikutnya. Masa depan hutan
tidak akan luput dari pembangunan dan kerusakan jika teknologi terus masuk dan
mempengaruhi cara fikir masyarakat untuk kehidupan yang lebih moderen.
Karena itu peran perempuan sangat penting dalam menentukan keberlangsungan
hidupnya dan generasi penerusnya ketika menghadapi sebuah pembangunan yang
masuk dari luar desanya.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dimana perempuan matrilineal
yang secara alamiah dianggap lemah, sehinnga butuh perlakuan khusus dan
perhatian lebih. Penelitian oleh Lewellen (2003), pada masyarakat Indian Iroquois
lebih menekankan kekuasaan ekonomi berada di tangan perempuan. Tidak semua
masyarakat yang mengadopsi sistem matrilineal dalam sistem kekerabatannya
mempunyai relasi kuasa yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Penelitian ini menjadi fondasi penelitian saya melihat peran gender yang
tidak lepas dari konstruksi lingkungan atas peran perempuan dan laki-laki, bahwa
Ibu matrilineal diposisikan sebagai kekuatan ekonomi. Laki-laki Matrilineal
berinteraksi dengan ibu yang memiliki otonomi dan kekuasaan pengambilan
keputusan. Perempuan Iroquois, menghasilkan sumber daya utama pangan dan
mengendalikan semua makanan, termasuk hewan buruan yang dibawa oleh
pemburu laki-laki, serta makanan untuk acara seremonial. Mereka juga memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi aksi militer dengan menahan persediaan makanan
bagi para prajurit. Ibu sebagai satu-satunya pusat dan kekuatan dalam kehidupan.
Perempuan meskipun kurang berperan dalam jabatan formal, namun
mereka memiliki kekuatan politik informal yang besar. Kelayakan turun-temurun
dalam sebuah jabatan, harus dengan persetujuan perempuan. Perempuan Iroquois
bisa meningkatkan atau melengserkan para tetua penguasa, bisa menghadiri
Dewan Tinggi, dan bisa mempengaruhi keputusan dewan. Mereka memiliki
kekuatan sesekali atas perilaku perang dan negosiasi perjanjian. Ketika kepala
suku meninggal, perempuan mengadakan pertemuan untuk memilih calon baru.
Meskipun dalam masyarakat Iroquois, laki-laki memegang semua urusan formal,
namun kekuatan perempuan secara tegas dilembagakan. (Lawellen, 2003: 138-
140).
Citra matrilineal dari keperempuanan menunjukkan kekuatan ketimbang
kelemahan, dan posisi ekonomi perempuan biasanya kuat, memberikan otonomi
bukan ketergantungan. Dari penelitian ini, ide mengenai matrilineal yang identik
dengan kekuasaan di tangan perempuan, mempengaruhi konsep “kesetaraan” pada
masyarakat matrilineal Kerinci yang diakui oleh NGO. Sedangkan matrilineal
tidak dapat disama ratakan disetiap daerah, dan tergantung dengan kultur yang
berlaku di daerah tersebut.
Menurut penelitian Ward (2009), suku Minangkabau di Sumatera Barat
ketika dalam pengaruh pemerintah kolonial Belanda, hanya laki-laki saja yang
dapat berpartisipasi dalam politik formal dan nasional. Pemerintah kolonial
Belanda memberlakukan pengaturan ini dimulai pada abad kedelapan belas.
Sistem pendidikan Indonesia, agama, dan media mempromosikan ideologi gender
perempuan sebagai ibu rumah tangga, mengandalkan suami mereka untuk
memberikan pendapatan yang berkelanjutan bagi keluarga. Paparan pengaruh ini
tercermin dalam cara wanita muda sudah mulai menekankan pentingnya tinggal di
rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang ideal, sebagian
besar termasuk bekerja keluar rumah, di sawah, sebagai bagian dari menjadi
seorang ibu rumah tangga. Dengan demikian, mereka mendamaikan wacana
negara dan Islam dengan realitas lokal dan nilai-nilai. Bahkan, mereka
mendefinisikan kembali istilah "ibu rumah tangga".
Demikian pula, dengan meningkatnya peluang upah buruh, perempuan
memiliki sumber pendapatan lain selain dari suami mereka. Hal ini membuat
anak-anak perempuan kurang bergantung pada ibu mereka untuk sumber daya
lahan. Meskipun demikian, praktik matrilineal masih tetap berlangsung. Mereka
masih mengandalkan warisan mereka dari tanah leluhur dan mempertahankan
kepemilikan tanah dan rumah mereka sendiri. Suami tetap tokoh bawahan di
bidang ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan keturunan.
Rata-rata, wanita mengontrol lima kali lebih banyak tanah dari suaminya.
Pria tidak dapat meng-klaim wilayah lahan matrilineal istri mereka atau bahkan
untuk tanah dan rumah yang diperoleh bersama-sama. Tanah dan kepemilikan
rumah bersama, dibarengi dengan kepatuhan terhadap adat lokal, tetap
memberikan dasar untuk kekuatan perempuan, meskipun sudah banyak pengaruh
kolonial, nasional dan Islam. Prinsip matrilineal belum hancur.
Dalam Agarwal (2003), terdapat kasus yang kurang lebih menyerupai tesis
dalam penelitian saya, yaitu akses dan kontrol atas warisan tanah. Di mana
perempuan India harus diperjuangkan hak atas tanahnya karena kepemilikan tanah
akan mengurangi kebergantungan mereka kepada suami dan anak laki-laki
mereka. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa perempuan harus
diperjuangkan atas kepemilikan tanah atas mereka.
Beberapa diantaranya mengurangi risiko mereka diusir oleh anak-anaknya,
meningkatkan kebebasan mereka untuk mengambil keputusan independen atas
penggunaan lahan tanpa menunggu keputusan suami, memungkinkan mereka
untuk memperoleh kredit produksi, memberikan mereka kontrol yang lebih besar
atas pendapatan pertanian untuk digunakan di rumah, memungkinkan mereka
untuk menawarkan keamanan bagi anak perempuan, dan juga anak-anak
perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya.
Hak atas tanah dapat membuat perbedaan penting untuk daya tawar
perempuan dalam rumah dan masyarakat, meningkatkan kepercayaan diri mereka
dan rasa harga diri, memungkinkan mereka untuk bernegosiasi melakukan
penawaran yang lebih baik di pasar upah tenaga kerja, memfasilitasi partisipasi
mereka di desa badan pengambil keputusan, dan sebagainya.
Tanah juga dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak
langsung bagi perempuan India. Keuntungan langsung dapat berasal dari tanaman
yang tumbuh atau pakan ternak atau pohon. Keuntungan tidak langsung dapat
mengambil berbagai bentuk, seperti tanah milik dapat berfungsi sebagai jaminan
kredit atau sebagai aset untuk dijual selama krisis. Tanah (baik yang dimiliki atau
dikendalikan) dapat meningkatkan pekerjaan upah tambahan. Dengan kata lain,
hak atas tanah yang aman untuk perempuan pedesaan saat ini bisa meningkatkan
kesejahteraan anak-anak mereka, terutama anak perempuan.
Hal ini dikarenakan masyarakat India lebih mengutamakan warisan kepada
anak laki-laki mereka, sedangkan perempuan dibiarkan bergantung kepada suami
dan ayahnya ketika belum menikah. Setelah menikah mereka akan bergantung
kepada suaminya. Perempuan tidak mempunyai hak atas tanah karena laki-laki
dianggap sebagai tulang punggung keluarga, dan yang bertugas menafkahi
mereka. kepemilikan perempuan atas tanah dianggap dapat mengancam keutuhan
rumah tangga.
D. Kerangka Konseptual/Teori
Adakalanya hukum adat lebih berlaku dalam penggunaannya sebagai
aturan dalam suatu masyarakat dibandingkan dengan hukum negara. Hukum adat
juga memiliki cakupan yang lebih banyak dan terperinci karena memahami
kebutuhan hidup suatu masyarakat. Di Kerinci misalnya, hukum adat dan adat
istiadat mengatur masyarakat desa dalam pembagian hak waris. Selain itu, kedua
aturan tersebut juga mengatur bagaimana perempuan dan laki-laki mengakses
tanah sawah dan ladang yang sebagian besar merupakan harta yang akan
diwariskan, termasuk dalam tata cara memperlakukan tanah waris. Berangkat dari
kondisi itulah selanjutnya penelitian ini akan melihat dinamika yang terjadi dalam
masyarakat Kerinci. Penelitian ini akan melihat berbagai bentuk ketimpangan
yang terjadi pada masyarakat Kerinci mengenai akses properti hak waris yang
dimiliki oleh perempuan.
Kondisi yang terjadi dalam masyarakat Kerinci mengingatkan saya akan
konsep kesetaraan perempuan dan hak perempuan sebagaimana terdapat dalam
teori ekofeminisme. Saya menggunakan pendekatan Ekofeminisme Spiritual
dalam tesis ini untuk melihat bagaimana kedekatan hubungan antara masyarakat
desa dengan alam sekitarnya. Kepercayaan masyarakat terhadap roh leluhur
“Dewi” yang disinyalir adalah roh perempuan yang menguasai hutan menyiratkan
adanya hubungan yang dekat antara perempuan dan alam. Alam di sini adalah
area hutan yang mengalami pergeseran hak ulayat5 semenjak masuknya Taman
Nasional ke dalam kawasan tersebut. Seiring dengan terus bergulirnya penerbitan
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan Taman Nasioanal, selanjutnya
masyarakat desa yang pada awalnya sangat bergantung pada hasil sawah dan 5 Hak berarti hak, kekuasaan, wewenang. Ulayat berarti penjagaan, perwalian (Westenenk 1918a: 15). Dalam pemakaian masa kini di Minangkabau dan di Indonesia pada umumnya kosakata ulayat atau wilayat mengandung makna ruang: “area, daerah, distrik”. Sejak penjajahan Belanda, kontrol sosio-politik atas properti komunal dinyatakan sebagai ulayat atau hak ulayat. Beberapa orang berpendapat bahwa hak ulayat berlaku meliputi seluruh wilayah nagari (Van Vollenhoven 1918: 263; Westenenk 1918a: 16), dalam laporan-laporan lain dikatakan ia hanya meliputi tanah-tanah yang tidak ditanami dan hutan yang berada di dalam wilayah nagari (Risumi 1872: 15; Kroesen 1874: 7, 9; AB 11: 77; AB 11: 115 ff, 122, 124).
kebun, dipaksa untuk meninggalkan aktifitasnya yang berkaitan dengan hutan
tersebut.
Bagi sebagian orang, spiritualitas adalah sejenis agama namun tidak
didasarkan pada kontinuitas dari agama patriarkal yang monoteistik sebagaimana
Kekristenan, Yudaisme atau Islam, semua agama dianggap bermusuhan terhadap
perempuan dan terhadap alam. Oleh karena itulah kemudian sebagian orang
berusaha menghidupkan kembali atau menciptakan suatu agama berbasiskan
dewi. Kendati spirit adalah perempuan, ia tidaklah terpisah dari dunia materiil.
Spiritualitas dalam artian yang lebih material ini lebih dekat dengan magis, bukan
dengan keagamaan seperti yang lazim dihayati. Spiritualis sebagian besar
diidentikan dengan sensualitas perempuan, energi seksual mereka, daya hidup
mereka yang paling berharga, yang menghubungkan mereka pada bentuk
kehidupan dan unsur-unsur yang lain. (Shiva, 1993: 18-19).
Masyarakat Desa Lempur baik laki-laki maupun perempuan sangat dekat
dengan alam, lewat aturan adatnya mereka mengatur pola perilaku dalam
mengeksploitasi hutan, seperti membuka lahan hutan menjadi ladang dan sawah
yang diatur dalam aturan adat. Dari sikap ini terlihat bahwa mereka mempunyai
rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap lingkungan. Meskipun mereka berada
dalam tekanan ekonomi dan memiliki keinginan untuk memanfaatkan hutan yang
ada, mereka yakin akan ke-sakti-an6 alam di sekitarnya. Dalam pemahaman
mereka, roh leluhur dan dewi hutan akan murka kepada mereka dalam bentuk
6 Masyarakat Kerinci selalu menggunakan kata sakti untuk menggambarkan kemagisan alam disekitarnya jika ada orang yang berniat merusak alam tersebut.
bencana alam jika sebagai generasi penerus desa, mereka tidak menjaga
wilayahnya dengan baik.
Kepercayaan masyarakat setempat dengan sosok Dewi ini juga berpengaruh
pada perilaku mereka kepada perempuan. Para lelaki di desa tersebut pernah
bercerita kepada saya bahwa mereka tidak berani menduakan istri mereka karena
yakin hukum alam itu ada, dan mereka memberikan contoh kasus salah satu
penduduk yang ibarat pepatah hidup segan, mati tak mau (mati takut, hidup juga
tidak berguna), dan ternyata hal tersebut ditujukan kepada lelaki yang terkena
penyakit strooke, sehingga tidak bisa beraktifitas seperti sedia kala. Penduduk
sangat yakin bahwa hal tersebut dikarenakan ia menduakan istrinya.
Ekofeminis spiritual cenderung untuk memfokuskan pada penyembahan
terhadap dewi-dewi kuno dan ritual penduduk asli Amerika yang berorientasi
pada bumi. Mereka seringkali menarik analogi antara peran perempuan dalam
produksi biologis dan peran tipikal “Ibu Pertiwi” atau “Ibu Kelahiran” sebagai
pemberi kehidupan dan pencipta segala sesuatu yang ada (Tong, 1998: 381).
Begitu juga dengan masyarakat Desa Lempur yang dengan upacara adatnya
‘Kenduri Seko’, mereka mengundang dewi-dewi dan roh leluhur ketika masa
panen untuk berpesta adat, dalam rangka bersyukur dan berterima kasih atas
sumber daya alam berlimpah yang telah mereka berikan kepada mayarakat di
Desa Lempur.
Seperti cerita yang sangat dikenal oleh masyarakat desa, mengenai leluhur
mereka yang bernama Dewi Mandari Kuning yang melarang suaminya untuk
membuka tutup panci nasi ketika ia pergi ke sawah dan ladang, jika sampai
membuka tutup panci tersebut, maka sang dewi akan meminta cerai dan kembali
ke Gunung Kunyit. Mitos dewi ini menjadi simbol dari kedekatan perempuan
dengan alam, bahwa perempuan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya
dengan bekerja di sawah dan ladang, juga memasak makanan untuk keluarganya.
Selain itu, cerita ini juga tampak turut membentuk peran perempuan yang
terdomestifikasi dengan pekerjaan rumahnya sehingga pekerjaan-pekerjaan rumah
menjadi tabu untuk dilakukan oleh laki-laki.
Mitos ini membentuk perilaku masyarakat agar menjaga hutan dari
kerusakan yang datang dari luar juga dari dalam. Praktek penjagaan ini
diwujudkan lewat bentuk sanksi adatnya. Penghormatan terhadap roh leluhur ini
lantas juga membentuk penghormatan terhadap perempuan seperti diberikan hak
yang sama untuk pendidikan dan wewenang atas pengambilan keputusan dalam
memilih anggota lembaga adat desa. Seperti pada saat pemilihan Depati7 sebagai
pemimpin adat desa, hak memilih hanya diputuskan oleh perempuan, laki-laki
tidak diperkenankan untuk memilih para calon Depati. Namun tidak dapat
dipungkiri, bahwa sebagaimana dikatakan Tiwon bahwa mitos dapat berubah ke
arah yang transformatif, seringkali dimobilisasi untuk berbagai keperluan politik
dan ideologis yang bersifat regresif. Mitos tidak hidup dalam ruang hampa, kedap
terhadap dinamika wacana dan politik kekuasaan. (Tiwon dalam Candraningrum,
2014: 60).
Dalam pendekatan Environment Feminism, meskipun hubungan
perempuan dan motivasi mereka untuk melindungi lingkungan memang bisa
7 Depati adalah para pemimpin-pemimpin adat yang menentukan aturan-aturan adat, serta yang memiliki wewenang dalam mengatur dan memberikan hukuman ketika masyarakat melanggar hukum adat.
diidentifikasi seperti yang dipahami oleh ekofeminisme, namun hubungan ini
lebih didasarkan pada realitas material. Terdapat perbedaan pengalaman dan
pengetahuan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan lingkungan
mereka. Hubungan mereka dengan hutan di mana mereka bergantung ditandai
oleh kepentingan yang kompleks dan bervariasi terutama berdasarkan jenis
kelamin dan kelas (Agarwal, 2009).
Banyak perempuan India yang menjadi penanggung-jawab atas kebutuhan
pangan dan bahan bakar dari keluarga mereka, yang mengharuskan mereka
memelihara tanah dan mengumpulkan produk dari hutan. Kegiatan ini
memberikan pengetahuan yang mendalam tentang ekosistem dan kebutuhan yang
kuat untuk memastikan bahwa sumber daya digunakan secara berkelanjutan.
Kegagalan menghasilkan sumber daya berkelanjutan akan meningkatkan beban
kerja bagi perempuan (Agarwal, 1994).
Fokus ini memperlihatkan pentingnya praktek material, khususnya praktek
kerja laki-laki dan praktek kerja perempuan. Peran budaya secara spesifik
membentuk jenis kelamin dan hubungannya dengan lingkungan. Dengan
mendasarkan klaim ini pada praktek-praktek material, Agarwal memberikan dasar
empiris bagi gagasan bahwa perempuan memiliki pengetahuan lingkungan yang
unik, dan secara signifikan membawa analisis ekonomi politik ke dalam
perdebatan seputar gender dan lingkungan.
Perempuan Desa Lempur memiliki hak waris tanah sawah dan ladang
yang sama besar dengan saudara laki-lakinya. Namun kepemilikan tersebut tidak
dapat di akses secara leluasa oleh perempuan dikarenakan adat dan agama
mengatur peran suami sebagai kepala keluarga, yang memberi nafkah dan istri
harus mengikuti aturan yang dibuat oleh suaminya tersebut. Akses pada tanah
milik pribadi seorang istri, ketika menikah tidak dapat secara bebas di akses oleh
mereka karena suaminya telah menjadi bagian dari keluarga, sebagai kepala
keluarga sehingga ikut mengatur penggunaan sawah dan ladang tersebut.
Dalam hal ini, terdapat kepentingan material pada masing-masing jenis
kelamin ketika dihadapkan dengan sumber mata pencaharian mereka. Perempuan
lebih mengedepankan kebutuhan rumah tangga, seperti bahan bakar, dan makanan
pokok mereka sehari-hari. Sedangkan laki-laki lebih mengedepankan sumber
pemasukan yang dapat menguntungkan perekonomian mereka. Menurut Agarwal
(1992), pengetahuan tentang alam dan pengalamannya, pembagian kerja, properti,
kekuasaan, dan pengalaman juga membentuk pengetahuan berdasarkan
pengalaman itu.
Sebagaimana diuraikan Agarwal (1994), pentingnya hak atas tanah dapat
membuat perbedaan yang signifikan terhadap daya tawar perempuan dalam rumah
dan masyarakat. hak atas tanah dapat meningkatkan kepercayaan diri perempuan
dan harga diri, memungkinkan mereka untuk bernegosiasi melakukan penawaran
yang lebih baik di pasar upah tenaga kerja, meningkatkan rasa hormat perintah
terhadap mereka dalam masyarakat, memfasilitasi partisipasi mereka di desa
dalam pengambil keputusan, dan sebagainya.
Untuk melihat bagaimana perempuan Desa Lempur kehilangan akses pada
tanah miliknya sendiri, saya akan menggunakan pendekatan akses dan kontrol
milik Nancy Peluso. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya akses
perempuan pada tanahnya sendiri, dan hal tersebut tidak lepas dari harapan
kebudayaan masyarakat setempat kepada perempuan di dalam desa.
Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk
mendapatkan keuntungan dari sesuatu, termasuk objek material, individu, institusi
dan simbol-simbol. Formulasi akses ini akan memberikan ruang yang lebih luas
bagi hubungan sosial yang dapat membuat orang bisa mendapatkan keuntungan
dari sumber daya tanpa memfokuskan pada properti. Seperti pada perempuan di
Desa Lempur, sekalipun perempuan yang memiliki properti waris tanah sawah
dan ladang, namun laki-laki di desa tetap mendapatkan keuntungan yang lebih
besar dibandingkan dengan perempuan atas kepemilikannya.
Dengan memfokuskan pada sumber daya alam, Ribot dan Peluso
mengeksplorasi pembahasan mereka lebih luas tentang kekuasaan. Kekuasaan
melekat pada upaya-upaya melalui mekanisme, proses dan relasi sosial.
Kekuasaan dilandasi oleh materi, budaya, dan politik ekonomi yang terjalin
dalam lingkaran dan jaringan kekuasaan yang membentuk sumber akses.
Beberapa orang dan institusi bisa mengontrol sumber daya sementara yang lain
mempertahankan akses mereka melalui siapa yang mengontrol sumber daya.
Analisa akses juga akan membantu dalam memahami mengapa beberapa orang
atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya, dengan ada atau tidak
adanya kepemilikan barang pada mereka.
Perempuan Desa Lempur memiliki sumber daya lewat kepemilikannya
dari hak waris, sedangkan laki-laki mempertahankan akses mereka melalui istri-
istri mereka yang dimediasi oleh aturan adat dan agama untuk mendapatkan
keuntungan dari sumber daya. Pada bagian lain Ribot dan Peluso juga
memperluas diskusi dengan tentang bagaimana teknologi, kapital, pasar,
pengetahuan, kewenangan, identitas sosial dan relasi sosial bisa membentuk atau
mempengaruhi akses. Penguasaan teknologi dan pengetahuan yang dimiliki oleh
laki-laki karena peluang mereka dalam menerima informasi, dan kewenangan
yang didapat dari pengaruh islam dan adat, mempengaruhi atau membentuk akses
yang dimiliki oleh laki-laki desa.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian yang saya pilih adalah Desa Lempur Tengah, yang
berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia. Kerapatan Adat Lekuk
50 Tumbi8 terdiri dari 5 desa, yaitu Desa Lempur Mudik, Lempur Tengah,
Lempur Hilir, Dusun Baru Lempur, dan Desa Manjuto. Saya telah melakukan
pemetaan dan pengamatan di seluruh desa, namun hanya fokus pada satu desa
yaitu Lempur Tengah. Hal ini karena posisi Lempur Tengah berada di tengah-
tengah Kerapatan adat Lekuk 50 Tumbi, dan menjadi lokasi hilir mudik
penduduk. Terutama ketika diadakan pasar Rabu dan Jumat disetiap minggu yang
berada di Lempur Tengah.
Desa Lempur bukan sebagai daerah pilot project REDD+, namun ia
menjadi salah satu desa yang sudah memiliki hutan adat sebelum REDD+ hadir
dan membentuk PHBM sebagai program untuk menyiapkan masyarakat dalam
8 Nama Hutan Adat yang dimiliki oleh kelima desa di atas
menghadapi REDD+. Selama saya melakukan penelitian di desa Lempur, baru
sekali saja LSM Warsi melakukan sosialisasi di Desa Lempur Tengah, itupun
tidak ditanggapi dengan baik oleh masyarakat adat di desa ini. Sosialisasi tidak
menjelaskan hutan adat lagi, melainkan hutan kemasyarakatan (HKM). Hal ini
dikarenakan masyarakat desa Lempur sudah mempunyai hutan adat Lekuk 50
Tumbi dengan luas 580 Hektar. Sosialisasi HKM adalah program untuk
masyarakat desa yang terlanjur memiliki kebun yang berada di wilayah Taman
Nasional saja. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan. Sejak awal Februari
hingga Juli 2013.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini saya melakukan pengumpulan data kualitatif yang
bersifat primer dan sekunder. Pengumpulan data primer saya lakukan dengan
wawancara dan observasi partisipasi pada beberapa kegiatan perempuan dan laki-
laki. Namun saya mendapatkan keterbatasan akses ketika mengikuti kegiatan laki-
laki di desa karena aturan adat yang melarang perempuan untuk terlalu dekat
dengan laki-laki, sehingga saya meminta pertolongan rekan peneliti dari
WANADRI untuk membantu saya observasi partisipasi kegiatan laki-laki di
dalam desa disertai dengan foto-foto kegiatannya.
Sedangkan pengumpulan data sekunder saya lakukan dengan
mengumpulkan data dari perpustakan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat,
untuk melihat bagaimana proses terbentuknya hutan adat pertama kali di Kerinci
sebelum masuknya REDD+. Dan dinamika hadirnya Taman Nasional Kerinci
Seblat pada masyarakat Desa Lempur. catatan-catatan itu dibuat oleh penduduk
lokal yang ketika itu bekerja sebagai anggota WWF yang terlibat dalam
pembentukan hutan adat tersebut.
Informan yang saya pilih adalah anggota masyarakat desa, baik laki-laki
maupun perempuan yang sudah menikah, maupun belum menikah. Juga orang-
orang adat yang mempunyai peran dominan di dalam desa. Penelitian dilakukan
dengan terlibat langsung dengan kegiatan perempuan dalam kehidupan sehari-
hari. Acara pernikahan, Upacara tegak tiang (membangun rumah), pengajian,
arisan, dan berkebun. Mengikuti kegiatan pemudi yang belum menikah, operasi
bersih masuk ke dalam hutan, berbincang-bincang di warung kopi bersama orang-
orang adat dan pemuda. Alat pengumpulan data yang saya gunakan adalah alat
rekam, dan kamera. Kegiatan sehari-hari saya tulis ke dalam buku catatan untuk
memastikan saya tidak kehilangan informasi apapun ketika akan melakukan
penulisan tesis.
3. Analisis Data dan Metode Analisis
Metode analisis yang saya gunakan ialah hasil pengumpulan data yang
sedari awal sudah ditujukan ke dalam beberapa pendekatan teori, kemudian di
analisis secara lebih tajam dengan menggunakan metode analisis Harvard untuk
melihat ketimpangan akses dan kontrol dalam hubungan gender. Data yang
disajikan dengan menggunakan metode penulisan etnografi, sehingga diharapkan
data yang sudah didapat, dapat menghasilkan analisis dan tulisan yang matang dan
fokus dengan menggunakan teori-teori tersebut.