bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/s2-2015...di...

25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang “ALAM SAKTI KERINCI” menjadi jargon utama dataran tinggi Kabupaten Kerinci Jambi. Di mana-mana kita akan melihat jargon tersebut sebagai identitas pengenal sebuah kabupaten yang memang dikenal akan kesaktian alamnya. Desa Lempur yang menjadi lokasi penelitian saya dianggap sebagai desa tertua di Kerinci, kesaktian alam ini sangat dipercaya oleh seluruh masyarakat di Desa Lempur, karenanya mereka adalah masyarakat animisme yang mempercayai Dewi hutan bernama Mandari Kuning. Dewi tersebut sebagai tokoh mitologi masyarakat Desa Lempur yang menjaga hutan dari kerusakan akibat tangan-tangan manusia. Ia merupakan tokoh perempuan yang memberikan kehidupan kepada masyarakat desa dari hasil hutan, dan sangat disegani oleh masyarakat sekitar. Mata pencaharian masyarakat desa bergantung dari hasil hutan, mayoritas mereka bermata pencaharian sebagai petani dan penghasil kayu manis. Karena desa ini dikelilingi oleh hutan TNKS, maka tidak heran jika kehidupan mereka sangat dekat dengan alam. Karena alasan tersebut, Desa Lempur menjadi salah satu desa yang sedang dalam proses disiapkan untuk menghadapi program REDD+ di Jambi, oleh LSM Warsi.

Upload: lydien

Post on 29-Apr-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“ALAM SAKTI KERINCI” menjadi jargon utama dataran tinggi

Kabupaten Kerinci Jambi. Di mana-mana kita akan melihat jargon tersebut

sebagai identitas pengenal sebuah kabupaten yang memang dikenal akan

kesaktian alamnya. Desa Lempur yang menjadi lokasi penelitian saya dianggap

sebagai desa tertua di Kerinci, kesaktian alam ini sangat dipercaya oleh seluruh

masyarakat di Desa Lempur, karenanya mereka adalah masyarakat animisme yang

mempercayai Dewi hutan bernama Mandari Kuning. Dewi tersebut sebagai tokoh

mitologi masyarakat Desa Lempur yang menjaga hutan dari kerusakan akibat

tangan-tangan manusia. Ia merupakan tokoh perempuan yang memberikan

kehidupan kepada masyarakat desa dari hasil hutan, dan sangat disegani oleh

masyarakat sekitar.

Mata pencaharian masyarakat desa bergantung dari hasil hutan, mayoritas

mereka bermata pencaharian sebagai petani dan penghasil kayu manis. Karena

desa ini dikelilingi oleh hutan TNKS, maka tidak heran jika kehidupan mereka

sangat dekat dengan alam. Karena alasan tersebut, Desa Lempur menjadi salah

satu desa yang sedang dalam proses disiapkan untuk menghadapi program

REDD+ di Jambi, oleh LSM Warsi.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

Program REDD+1 yang merupakan program konservasi hutan ini

melibatkan masyarakat adat untuk mengurangi degradasi dan emisi karbon

dengan membentuk Hutan Tanaman Rakyat. HTR merupakan Salah satu

skema/model dari PHBM (Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat). Skema

PHBM sendiri meliputi Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan

Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Adat2. Hal ini selain untuk meningkatkan

hak-hak pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat setempat, juga

memberikan kontribusi pada program REDD+ yang mengedepankan konservasi,

yaitu memproteksi hutan dari kerusakan. Sayangnya, ketika LSM Warsi datang

bersama perwakilan dari Dinas Kehutanan melakukan sosialisasi REDD+ dengan

tema Program Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), masyarakat Desa Lempur

Tengah tidak menanggapi dengan antusias. Hanya beberapa tokoh adat yang

datang, sedangkan tidak satupun perempuan menghadiri acara tersebut, karena

merasa urusan sawah dan ladang lebih penting.

Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan dalam pengelolaan

hutan sangat dibutuhkan, karena perempuan lebih bergantung pada sumber daya

hutan untuk pemenuhan sebagian besar kebutuhan pangan, bahan bakar dan

penghidupan, dan karenanya cenderung mengambil peran aktif dalam

perlindungan hutan. Ketika perempuan diikutsertakan dalam pengelolaan hutan,

mereka akan memberikan dampak positif bagi pengelolaan hutan secara

berkelanjutan. Pernyataan bahwa perempuan lebih peduli terhadap lingkungan

1 REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan” 2 Rahmani, dkk. Tata Cara dan Prosedur Pengembangan Program Hutan Berbasis Masyarakat (CIFOR, 2011)

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan karena perempuan terbiasa peduli

memelihara keluarga dan peduli dengan kehidupan3.

Adapun kerugian yang akan terjadi pada masyarakat miskin pedesaan

terutama perempuan akibat perubahan iklim, sehingga partisipasi dan

pemberdayaan perempuan harus dilakukan oleh para LSM yang bergerak dalam

pemasalahan Climate Change dan Konservasi.

Menurut kontribusi Kelompok Kerja II (Working Group II) pada laporan IPCC tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan bahwa dampak terbesar perubahan iklim dalam jangka dekat akan diderita oleh masyarakat miskin pedesaan, termasuk keluarga yang dikepalai perempuan, yang hampir tidak memiliki akses kepada tanah, kepada sarana pertanian, infrastruktur dan pendidikan. (Tiwon dalam Candraningrum, 2014: 57) Perempuan di Desa Lempur Tengah, selain bekerja di sawah dan ladang,

mereka juga bekerja di area domestik. Seluruh kebutuhan keluarga telah menjadi

tanggung jawab perempuan, karena itu mereka tidak banyak waktu luang seperti

laki-laki yang setelah pulang berkebun masih dapat duduk-duduk di warung kopi.

Setelah pulang dari ladang, perempuan akan segera berbenah, mengambil kayu

bakar dan memasak untuk makan malam. Karena alasan kedekatan perempuan

terhadap lingkungan tersebut, maka pemberdayaan perempuan terus di

sosialisasikan oleh hampir seluruh LSM di Jambi, yang turut andil dalam program

REDD+.

LSM Warsi, Gita Buana, AMAN, dan ZSL merupakan LSM yang sudah

cukup lama berkecimpung mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi

REDD+. Seperti sosialisasi REDD+ yang dilakukan di DA (Area Demonstrasi) 3http://blog.cifor.org/6204/donor-dapat-berupaya-lebih-keras-untuk-pelopori-masuknya-gender-dalam-program-mitigasi-iklim-dan-kehutanan-menurut-ahli#.U8Vu-EDztPw

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

Berbak Jambi oleh Warsi, Gita Buana dan ZSL yang salah satu programnya ialah

dengan memberdayakan perempuan, melibatkan mereka dalam mengelola sumber

daya hutan non-kayu, seperti memanfaatkan rotan dan madu. Selain itu juga

mereka mengikutsertakan perempuan dalam rapat desa, dengan tujuan untuk dapat

menyumbangkan aspirasinya. Namun hal tersebut bukan perkara mudah, karena

perempuan lebih banyak bertindak pasif dan hanya menurut saja.

Lain halnya dengan masyarakat Kerinci, Kerinci dikenal sebagai

masyarakat yang mengadopsi sistem Matrilineal dari Minangkabau jika dilihat

berdasarkan sistem pembagian warisnya, begitu pula Desa Lempur. Jika dilihat

dari lokasi geografisnya, Kerinci berada di sebelah Selatan Sumatera Barat, lebih

dekat dengan Minangkabau dibandingkan dengan Jambi sebagai Provinsi. LSM

Jambi seperti Warsi, AMAN, dan Gita Buana menyatakan bahwa di dataran tinggi

Jambi - Kerinci, keadaan masyarakatnya memiliki hak yang setara antara laki-laki

dan perempuan. Hal itu dikarenakan, perempuan mempunyai hak waris yang sama

besar dengan laki-laki, mereka mempunyai tanah, sawah dan ladang yang sama

besarnya.

Perempuan Kerinci di Desa Lempur hanya terlibat dalam pengambilan

keputusan rapat desa ketika acara adat saja. Di luar acara adat, mereka enggan

untuk berpartisipasi karena lebih mementingkan urusan ladang dan sawah.

Sehingga rapat desa pada umumnya hanya dihadiri oleh laki-laki. Selain itu,

hanya perempuan yang dapat menentukan pemimpin dan anggota adat dalam

pemerintahan desa, dan gelar yang digunakan oleh anggota adat adalah gelar dari

garis keturunan perempuan.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

Sistem kekerabatan Matrilineal tersebut, telah membawa pandangan

mengenai “kesetaraan” menurut para LSM di Jambi. Seperti yang dikatakan

Randle dalam Frank (1992), bahwa citra matrilineal dari keperempuanan

menunjukkan kekuatan ketimbang kelemahan, dan posisi ekonomi perempuan

biasanya kuat, memberikan otonomi bukan ketergantungan. Sehingga bagi para

anggota LSM Jambi, bukanlah hal yang sulit untuk mensosialisasikan keterlibatan

perempuan dalam kegiatan program REDD+ di Kerinci.

Posisi kaum perempuan dalam masyarakat Minangkabau memiliki

hubungan yang cukup sulit antara sistem kekerabatan matrilineal dengan karakter

Islam yang patriarkat. Matrilineal berarti anak keturunan dan harta warisan diatur

menurut garis ibu atau pihak perempuan dalam keluarga. Pada masa lampau, pola

seperti ini sering secara keliru disebut dengan matriarkat, sebuah istilah yang

hendak menunjukkan posisi dominan kaum perempuan. Fakta bahwa di sana ada

sistem kekerabatan matrilineal dan bahwa mereka menduduki posisi dominan

dalam semua bidang kehidupan sosial (Davidson, 2010: 226).

Masyarakat matrilineal pada masyarakat Minangkabau, memiliki sistem

keturunan menurut garis Ibu. Anak mengikuti marga dari ibunya. Begitu juga

tentang harta pusaka menurut hukum kewarisan matrilineal itu bukan dari ayah ke

anak, tetapi dari mamak ke kemanakan. Fungsi laki-laki lebih sebagai mamak dari

pada sebagai ayah, karena menurut sistem Minangkabau, apabila terjadi

perkawinan, maka pihak perempuanlah yang meminang, bukan laki-laki. Jika

sudah menikah, laki-lakilah yang dibawa ke rumah pihak perempuan, bukan laki-

laki yang membawa istrinya ke rumahnya. Zed, dkk (1992 : 95).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

Sedangkan menurut penelitian Beckmann (2000), Matrilineal sangat

berkaitan erat dengan pola hak waris yang berada dalam garis keturunan Ibu,

sehingga laki-laki bekerja dan tinggal di tanah dan properti milik perempuan

(istrinya). Di dalam masyarakat Matrilineal Minangkabau, sekalipun perempuan

mempunyai hak waris secara penuh, namun mereka tidak mempunyai porsi

kedudukan dalam lembaga adat. Di dalam lingkungan keluarga, perempuan

bekerja di sawah dan ladang yang dekat dengan rumah Ibunya, atau rumah

keluarga kecilnya jika sudah memiliki tempat tinggal sendiri. Anak-anak mereka

dididik dan dihidupi oleh mamak dari keluarga Ibu. Sedangkan Ayah tidak

memiliki wewenang terhadap anaknya.

Secara konseptual, perempuan mempunyai status yang baik di dalam

Matrilineal, karena mereka memiliki hak waris lebih besar dibandingkan dengan

laki-laki. Namun di dalam penelitian ini, saya tidak melihat bentuk kesetaraan

seperti anggapan beberapa LSM Jambi yang telah dikemukakan sebelumnya.

Sehingga saya sebagai peneliti merasa tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana

hak waris dan bagaimana perempuan Kerinci di desa Lempur mempunyai kuasa

atas hak warisnya tersebut.

B. Permasalahan

Dalam pra-observasi ini, saya melihat bentuk “kesetaraan” atas

kepemilikan hak waris tidak semulus seperti apa yang dikatakan LSM Warsi,

AMAN, dan Gita Buana. Dalam konteks REDD+, pelibatan masyarakat adat

dalam menjaga hutan seringkali melupakan berbagai bentuk ketidakadilan gender

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

dalam pengelolaan hutan4, terutama siapa yang memiliki kekuasaan dalam

mengakses dan mengontrol sumber daya hutan. Beberapa LSM di Jambi berada

dalam perspektif Matrilineal dengan menganggap perempuan mempunyai otoritas

yang kuat di dalam desa, dan karenanya menganggap tidak sulit untuk

memberdayakan perempuan di Desa Lempur. Karena itu kita perlu melihat

bagaimana sebenarnya gagasan matrilineal terhadap pewarisan pada anak

perempuan itu diwujudkan dalam kehidupan sosial. Selain itu perlu dilihat

bagaimana gagasan dan praktik pewarisan itu berubah dari waktu ke waktu. Maka

pertanyaan besar dalam tesis ini untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi

dalam sistem matrilineal dan prakteknya.

1. Bagaimana Sistem pewarisan menurut garis keturunan masyarakat

matrilineal Desa Lempur ?

2. Bagaimana akses dan kontrol atas properti waris bagi perempuan dan laki-

laki di Desa Lempur?

C. Tinjauan Pustaka

Studi ini membahas mengenai bagaimana sistem kekerabatan matrilineal

di Desa Lempur Tengah telah membawa isu ‘kesetaraan’ di tingkat LSM Jambi

dan masyarakat desa yang bersangkutan. Juga bagaimana bentuk adaptasi

masyarakat matrilineal dalam menghadapi perubahan dan pengaruh dari luar,

yang justru membawa pada ketimpangan dan bukan kesetaraan dalam mengakses

4 Komentar Solidaritas Perempuan- AKSI-Ulu Foundation, yang disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2012 (versi 26 September 2012)

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

sumber daya alam yang berupa ladang, sawah, dan tanah. Terkait dengan studi

tersebut, ada beberapa tulisan yang menurut saya dapat menjadi titik tolak dalam

penulisan tesis ini.

Di bawah ini Franke (1992), menyajikan penelitian pada masyarakat Hopi

yang mengadopsi sistem kekerabatan Matrilineal. ia menekankan bahwa tidak

semua masyarakat yang mengadopsi sistem Matrilineal dalam kekerabatannya,

mempunyai pola sikap dan perilaku yang sama. Penelitiannya tidak hanya melihat

perempuan dalam matrilineal, tetapi juga melihat maskulinitas dalam sistem

matrilineal tersebut.

Pria matrilineal dalam masyarakat Hopi adalah pria yang didefinisikan

oleh perempuan. Sebagai contoh, menjadi seorang ayah dalam komunitas Hopi

sangat dihargai, dan salah satu cara di mana seorang pria Hopi memenuhi

kewajibannya dalam lingkungan desa ialah dengan menjadi ayah yang baik.

Seorang ayah pada masyarakat Hopi harus melindungi dan menafkahi anak-anak

mereka. Pria yang dipanggil ayah, adalah suatu "Peran dan tugasnya adalah untuk

menggendong anak dalam pelukannya dan membantu (Ibu) dalam merawat dan

menggendongnya. (Franke, 1992: 479-480).

Penelitian di atas memperlihatkan bahwa konsep matrilineal tidak disikapi

sama oleh seluruh kehidupan masyarakat yang mengadopsi sistem matrilineal.

Seperti masyarakat Hopi, bahwa perempuan yang mendefinisikan bagaimana

bentuk idealnya seorang laki-laki. Karena itu, penelitian saya akan

mendeskripsikan Matrilineal dari sisi lain, di mana masyarakat Kerinci Desa

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

Lempur yang telah membentuk kebudayaannya sendiri, telah mengadopsi sistem

matrilineal dari daerah Minangkabau Sumatra Barat.

Ada pun penelitian yang dilakukan oleh Beckmann (2000), yang telah

dilakukan di Minangkabau, bahwa sistem matrilineal telah membawa perempuan

terlibat dalam organisasi sosial masyarakat, bukan hanya pelibatan peran

perempuan sebagai ibu rumah tangga saja. Selain itu Matrilineal dalam

Minangkabau sangat berkaitan erat dengan pola hak waris yang berada dalam

garis keturunan Ibu, dan peran ayah tidak terlalu sentral seperti peran mamak

(paman) atau saudara laki-laki dari pihak Ibu.

Adapun kekuasaan dalam sistem matrilineal tidak hanya pada perempuan,

tetapi juga laki-laki memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu lebih ditekankan

pada peran mamak, dan bukan ayah. Kondisi masyarakat Minangkabau saat ini

telah mengalami perubahan, seperti merubah pola warisan dari ayah kepada

anaknya, yang sebelumnya tidak boleh dilakukan. Hal ini merupakan salah satu

pola adaptasi masyarakat Minangkabau dalam menerima perubahan, terutama

masalah perekonomian, dan berpindahnya tempat tinggal perempuan dari rumah

gadang, ke rumah yang hanya dapat ditinggali oleh keluarga kecilnya saja.

Masih penelitian pada masyarakat Minangkabau, Blackwood (2001)

menganalisis kebudayaan masyarakat Minangkabau yang salah satunya dari tokoh

Mitologi Bundo Kanduang. Di dalam penelitiannya, perempuan muncul sebagai

orang-orang yang menghasilkan ahli waris untuk mengabadikan garis keturunan,

sementara paman dari pihak Ibu mengelola garis keturunan dan anggotanya.

Perempuan mempunyai banyak hak dan kewajiban di dalam sistem matrilineal.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

Secara struktural laki-laki berada dalam posisi marginal di dalam rumah

adat yang di kontrol oleh perempuan. Laki-laki Minangkabau tidak ada yang

memiliki rumah atau tempat tinggal yang bisa dikatakan milik mereka. Rumah

adalah milik ibu dan saudara perempuan. Perempuan yang dituakan memiliki

suara paling didengar dalam diskusi keluarga ketika kaum (kelompok keluarga

matrilokal) memutuskan tindakan apapun yang akan menjadi kepentingan

keluarganya.

Pada masyarakat Minangkabau, Bundo Kanduang merupakan tokoh

mitologi masyarakat. Bundo Kanduang digambarkan sebagai Ibu sejati yang

memiliki sikap keibuan dan kualitas kepemimpinan. Negara melihat Bundo

Kanduang sebagai ibu dari anak-anaknya, sedangkan pehamaman lokal, Bundo

Kanduang mempunyai arti yang lebih luas, perempuan sebagai pemimpin di

kelompok kekerabatannya.

Beberapa hal prinsipil yang berkaitan dengan Bundo Kanduang ialah

warisan mengikuti garis keturunan Ibu, yang kedua bahwa perempuan penerima

utama dari warisan, juga pemilik rumah dan tanah. Seorang ayah wajib

membangun rumah untuk anak perempuannya, bukan anak lelakinya. Namun hal

ini bukan berarti laki-laki tidak mendapatkan perhatian dalam hukum adat,

melainkan karena alam telah memberikan kekuatan lebih besar daripada

perempuan.

Perempuan menurut Islam dan adat, tidak boleh tinggal di mana saja

seperti laki-laki, mereka harus memiliki tempat tinggal yang jelas. Jika tidak

seperti itu, sesuatu mungkin akan terjadi yang akan mencoreng nama baik

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

perempuan. Sesuai dengan sifat perempuan yang dianggap lemah, sehingga adat

Minang memberikan kelebihan dalam memproteksi perempuan.

Hal tersebut jika dilihat dalam studi ecofeminism menurut Vandana Shiva

(2005), menjadi sangat berkaitan. Terutama karena melihat perempuan secara

alamiah lemah, erat kaitannya dengan kehidupan dan penghidupan, karena itu

perempuan cenderung lebih dekat dengan alam. Alam telah membentuk

perempuan mempunyai potensi besar dalam kepeduliannya kepada lingkungan,

dibandingkan dengan laki-laki yang mempunyai kecenderungan merusak

lingkungan. Perempuan juga secara naluriah mempunyai kemampuan dalam

mempertahankan kehidupan, sedangkan laki-laki tidak.

Praktik-praktik lokal dalam kehidupannya berinteraksi dengan hutan dapat

menjadi faktor yang sangat mendukung untuk memperlihatkan bagaimana mereka

melihat masa depan, dan mempersiapkan generasi berikutnya. Masa depan hutan

tidak akan luput dari pembangunan dan kerusakan jika teknologi terus masuk dan

mempengaruhi cara fikir masyarakat untuk kehidupan yang lebih moderen.

Karena itu peran perempuan sangat penting dalam menentukan keberlangsungan

hidupnya dan generasi penerusnya ketika menghadapi sebuah pembangunan yang

masuk dari luar desanya.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dimana perempuan matrilineal

yang secara alamiah dianggap lemah, sehinnga butuh perlakuan khusus dan

perhatian lebih. Penelitian oleh Lewellen (2003), pada masyarakat Indian Iroquois

lebih menekankan kekuasaan ekonomi berada di tangan perempuan. Tidak semua

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

masyarakat yang mengadopsi sistem matrilineal dalam sistem kekerabatannya

mempunyai relasi kuasa yang sama antara laki-laki dan perempuan.

Penelitian ini menjadi fondasi penelitian saya melihat peran gender yang

tidak lepas dari konstruksi lingkungan atas peran perempuan dan laki-laki, bahwa

Ibu matrilineal diposisikan sebagai kekuatan ekonomi. Laki-laki Matrilineal

berinteraksi dengan ibu yang memiliki otonomi dan kekuasaan pengambilan

keputusan. Perempuan Iroquois, menghasilkan sumber daya utama pangan dan

mengendalikan semua makanan, termasuk hewan buruan yang dibawa oleh

pemburu laki-laki, serta makanan untuk acara seremonial. Mereka juga memiliki

kekuatan untuk mempengaruhi aksi militer dengan menahan persediaan makanan

bagi para prajurit. Ibu sebagai satu-satunya pusat dan kekuatan dalam kehidupan.

Perempuan meskipun kurang berperan dalam jabatan formal, namun

mereka memiliki kekuatan politik informal yang besar. Kelayakan turun-temurun

dalam sebuah jabatan, harus dengan persetujuan perempuan. Perempuan Iroquois

bisa meningkatkan atau melengserkan para tetua penguasa, bisa menghadiri

Dewan Tinggi, dan bisa mempengaruhi keputusan dewan. Mereka memiliki

kekuatan sesekali atas perilaku perang dan negosiasi perjanjian. Ketika kepala

suku meninggal, perempuan mengadakan pertemuan untuk memilih calon baru.

Meskipun dalam masyarakat Iroquois, laki-laki memegang semua urusan formal,

namun kekuatan perempuan secara tegas dilembagakan. (Lawellen, 2003: 138-

140).

Citra matrilineal dari keperempuanan menunjukkan kekuatan ketimbang

kelemahan, dan posisi ekonomi perempuan biasanya kuat, memberikan otonomi

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

bukan ketergantungan. Dari penelitian ini, ide mengenai matrilineal yang identik

dengan kekuasaan di tangan perempuan, mempengaruhi konsep “kesetaraan” pada

masyarakat matrilineal Kerinci yang diakui oleh NGO. Sedangkan matrilineal

tidak dapat disama ratakan disetiap daerah, dan tergantung dengan kultur yang

berlaku di daerah tersebut.

Menurut penelitian Ward (2009), suku Minangkabau di Sumatera Barat

ketika dalam pengaruh pemerintah kolonial Belanda, hanya laki-laki saja yang

dapat berpartisipasi dalam politik formal dan nasional. Pemerintah kolonial

Belanda memberlakukan pengaturan ini dimulai pada abad kedelapan belas.

Sistem pendidikan Indonesia, agama, dan media mempromosikan ideologi gender

perempuan sebagai ibu rumah tangga, mengandalkan suami mereka untuk

memberikan pendapatan yang berkelanjutan bagi keluarga. Paparan pengaruh ini

tercermin dalam cara wanita muda sudah mulai menekankan pentingnya tinggal di

rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang ideal, sebagian

besar termasuk bekerja keluar rumah, di sawah, sebagai bagian dari menjadi

seorang ibu rumah tangga. Dengan demikian, mereka mendamaikan wacana

negara dan Islam dengan realitas lokal dan nilai-nilai. Bahkan, mereka

mendefinisikan kembali istilah "ibu rumah tangga".

Demikian pula, dengan meningkatnya peluang upah buruh, perempuan

memiliki sumber pendapatan lain selain dari suami mereka. Hal ini membuat

anak-anak perempuan kurang bergantung pada ibu mereka untuk sumber daya

lahan. Meskipun demikian, praktik matrilineal masih tetap berlangsung. Mereka

masih mengandalkan warisan mereka dari tanah leluhur dan mempertahankan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

kepemilikan tanah dan rumah mereka sendiri. Suami tetap tokoh bawahan di

bidang ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan keturunan.

Rata-rata, wanita mengontrol lima kali lebih banyak tanah dari suaminya.

Pria tidak dapat meng-klaim wilayah lahan matrilineal istri mereka atau bahkan

untuk tanah dan rumah yang diperoleh bersama-sama. Tanah dan kepemilikan

rumah bersama, dibarengi dengan kepatuhan terhadap adat lokal, tetap

memberikan dasar untuk kekuatan perempuan, meskipun sudah banyak pengaruh

kolonial, nasional dan Islam. Prinsip matrilineal belum hancur.

Dalam Agarwal (2003), terdapat kasus yang kurang lebih menyerupai tesis

dalam penelitian saya, yaitu akses dan kontrol atas warisan tanah. Di mana

perempuan India harus diperjuangkan hak atas tanahnya karena kepemilikan tanah

akan mengurangi kebergantungan mereka kepada suami dan anak laki-laki

mereka. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa perempuan harus

diperjuangkan atas kepemilikan tanah atas mereka.

Beberapa diantaranya mengurangi risiko mereka diusir oleh anak-anaknya,

meningkatkan kebebasan mereka untuk mengambil keputusan independen atas

penggunaan lahan tanpa menunggu keputusan suami, memungkinkan mereka

untuk memperoleh kredit produksi, memberikan mereka kontrol yang lebih besar

atas pendapatan pertanian untuk digunakan di rumah, memungkinkan mereka

untuk menawarkan keamanan bagi anak perempuan, dan juga anak-anak

perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya.

Hak atas tanah dapat membuat perbedaan penting untuk daya tawar

perempuan dalam rumah dan masyarakat, meningkatkan kepercayaan diri mereka

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

dan rasa harga diri, memungkinkan mereka untuk bernegosiasi melakukan

penawaran yang lebih baik di pasar upah tenaga kerja, memfasilitasi partisipasi

mereka di desa badan pengambil keputusan, dan sebagainya.

Tanah juga dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak

langsung bagi perempuan India. Keuntungan langsung dapat berasal dari tanaman

yang tumbuh atau pakan ternak atau pohon. Keuntungan tidak langsung dapat

mengambil berbagai bentuk, seperti tanah milik dapat berfungsi sebagai jaminan

kredit atau sebagai aset untuk dijual selama krisis. Tanah (baik yang dimiliki atau

dikendalikan) dapat meningkatkan pekerjaan upah tambahan. Dengan kata lain,

hak atas tanah yang aman untuk perempuan pedesaan saat ini bisa meningkatkan

kesejahteraan anak-anak mereka, terutama anak perempuan.

Hal ini dikarenakan masyarakat India lebih mengutamakan warisan kepada

anak laki-laki mereka, sedangkan perempuan dibiarkan bergantung kepada suami

dan ayahnya ketika belum menikah. Setelah menikah mereka akan bergantung

kepada suaminya. Perempuan tidak mempunyai hak atas tanah karena laki-laki

dianggap sebagai tulang punggung keluarga, dan yang bertugas menafkahi

mereka. kepemilikan perempuan atas tanah dianggap dapat mengancam keutuhan

rumah tangga.

D. Kerangka Konseptual/Teori

Adakalanya hukum adat lebih berlaku dalam penggunaannya sebagai

aturan dalam suatu masyarakat dibandingkan dengan hukum negara. Hukum adat

juga memiliki cakupan yang lebih banyak dan terperinci karena memahami

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

kebutuhan hidup suatu masyarakat. Di Kerinci misalnya, hukum adat dan adat

istiadat mengatur masyarakat desa dalam pembagian hak waris. Selain itu, kedua

aturan tersebut juga mengatur bagaimana perempuan dan laki-laki mengakses

tanah sawah dan ladang yang sebagian besar merupakan harta yang akan

diwariskan, termasuk dalam tata cara memperlakukan tanah waris. Berangkat dari

kondisi itulah selanjutnya penelitian ini akan melihat dinamika yang terjadi dalam

masyarakat Kerinci. Penelitian ini akan melihat berbagai bentuk ketimpangan

yang terjadi pada masyarakat Kerinci mengenai akses properti hak waris yang

dimiliki oleh perempuan.

Kondisi yang terjadi dalam masyarakat Kerinci mengingatkan saya akan

konsep kesetaraan perempuan dan hak perempuan sebagaimana terdapat dalam

teori ekofeminisme. Saya menggunakan pendekatan Ekofeminisme Spiritual

dalam tesis ini untuk melihat bagaimana kedekatan hubungan antara masyarakat

desa dengan alam sekitarnya. Kepercayaan masyarakat terhadap roh leluhur

“Dewi” yang disinyalir adalah roh perempuan yang menguasai hutan menyiratkan

adanya hubungan yang dekat antara perempuan dan alam. Alam di sini adalah

area hutan yang mengalami pergeseran hak ulayat5 semenjak masuknya Taman

Nasional ke dalam kawasan tersebut. Seiring dengan terus bergulirnya penerbitan

kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan Taman Nasioanal, selanjutnya

masyarakat desa yang pada awalnya sangat bergantung pada hasil sawah dan 5 Hak berarti hak, kekuasaan, wewenang. Ulayat berarti penjagaan, perwalian (Westenenk 1918a: 15). Dalam pemakaian masa kini di Minangkabau dan di Indonesia pada umumnya kosakata ulayat atau wilayat mengandung makna ruang: “area, daerah, distrik”. Sejak penjajahan Belanda, kontrol sosio-politik atas properti komunal dinyatakan sebagai ulayat atau hak ulayat. Beberapa orang berpendapat bahwa hak ulayat berlaku meliputi seluruh wilayah nagari (Van Vollenhoven 1918: 263; Westenenk 1918a: 16), dalam laporan-laporan lain dikatakan ia hanya meliputi tanah-tanah yang tidak ditanami dan hutan yang berada di dalam wilayah nagari (Risumi 1872: 15; Kroesen 1874: 7, 9; AB 11: 77; AB 11: 115 ff, 122, 124).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

kebun, dipaksa untuk meninggalkan aktifitasnya yang berkaitan dengan hutan

tersebut.

Bagi sebagian orang, spiritualitas adalah sejenis agama namun tidak

didasarkan pada kontinuitas dari agama patriarkal yang monoteistik sebagaimana

Kekristenan, Yudaisme atau Islam, semua agama dianggap bermusuhan terhadap

perempuan dan terhadap alam. Oleh karena itulah kemudian sebagian orang

berusaha menghidupkan kembali atau menciptakan suatu agama berbasiskan

dewi. Kendati spirit adalah perempuan, ia tidaklah terpisah dari dunia materiil.

Spiritualitas dalam artian yang lebih material ini lebih dekat dengan magis, bukan

dengan keagamaan seperti yang lazim dihayati. Spiritualis sebagian besar

diidentikan dengan sensualitas perempuan, energi seksual mereka, daya hidup

mereka yang paling berharga, yang menghubungkan mereka pada bentuk

kehidupan dan unsur-unsur yang lain. (Shiva, 1993: 18-19).

Masyarakat Desa Lempur baik laki-laki maupun perempuan sangat dekat

dengan alam, lewat aturan adatnya mereka mengatur pola perilaku dalam

mengeksploitasi hutan, seperti membuka lahan hutan menjadi ladang dan sawah

yang diatur dalam aturan adat. Dari sikap ini terlihat bahwa mereka mempunyai

rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap lingkungan. Meskipun mereka berada

dalam tekanan ekonomi dan memiliki keinginan untuk memanfaatkan hutan yang

ada, mereka yakin akan ke-sakti-an6 alam di sekitarnya. Dalam pemahaman

mereka, roh leluhur dan dewi hutan akan murka kepada mereka dalam bentuk

6 Masyarakat Kerinci selalu menggunakan kata sakti untuk menggambarkan kemagisan alam disekitarnya jika ada orang yang berniat merusak alam tersebut.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

bencana alam jika sebagai generasi penerus desa, mereka tidak menjaga

wilayahnya dengan baik.

Kepercayaan masyarakat setempat dengan sosok Dewi ini juga berpengaruh

pada perilaku mereka kepada perempuan. Para lelaki di desa tersebut pernah

bercerita kepada saya bahwa mereka tidak berani menduakan istri mereka karena

yakin hukum alam itu ada, dan mereka memberikan contoh kasus salah satu

penduduk yang ibarat pepatah hidup segan, mati tak mau (mati takut, hidup juga

tidak berguna), dan ternyata hal tersebut ditujukan kepada lelaki yang terkena

penyakit strooke, sehingga tidak bisa beraktifitas seperti sedia kala. Penduduk

sangat yakin bahwa hal tersebut dikarenakan ia menduakan istrinya.

Ekofeminis spiritual cenderung untuk memfokuskan pada penyembahan

terhadap dewi-dewi kuno dan ritual penduduk asli Amerika yang berorientasi

pada bumi. Mereka seringkali menarik analogi antara peran perempuan dalam

produksi biologis dan peran tipikal “Ibu Pertiwi” atau “Ibu Kelahiran” sebagai

pemberi kehidupan dan pencipta segala sesuatu yang ada (Tong, 1998: 381).

Begitu juga dengan masyarakat Desa Lempur yang dengan upacara adatnya

‘Kenduri Seko’, mereka mengundang dewi-dewi dan roh leluhur ketika masa

panen untuk berpesta adat, dalam rangka bersyukur dan berterima kasih atas

sumber daya alam berlimpah yang telah mereka berikan kepada mayarakat di

Desa Lempur.

Seperti cerita yang sangat dikenal oleh masyarakat desa, mengenai leluhur

mereka yang bernama Dewi Mandari Kuning yang melarang suaminya untuk

membuka tutup panci nasi ketika ia pergi ke sawah dan ladang, jika sampai

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

membuka tutup panci tersebut, maka sang dewi akan meminta cerai dan kembali

ke Gunung Kunyit. Mitos dewi ini menjadi simbol dari kedekatan perempuan

dengan alam, bahwa perempuan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya

dengan bekerja di sawah dan ladang, juga memasak makanan untuk keluarganya.

Selain itu, cerita ini juga tampak turut membentuk peran perempuan yang

terdomestifikasi dengan pekerjaan rumahnya sehingga pekerjaan-pekerjaan rumah

menjadi tabu untuk dilakukan oleh laki-laki.

Mitos ini membentuk perilaku masyarakat agar menjaga hutan dari

kerusakan yang datang dari luar juga dari dalam. Praktek penjagaan ini

diwujudkan lewat bentuk sanksi adatnya. Penghormatan terhadap roh leluhur ini

lantas juga membentuk penghormatan terhadap perempuan seperti diberikan hak

yang sama untuk pendidikan dan wewenang atas pengambilan keputusan dalam

memilih anggota lembaga adat desa. Seperti pada saat pemilihan Depati7 sebagai

pemimpin adat desa, hak memilih hanya diputuskan oleh perempuan, laki-laki

tidak diperkenankan untuk memilih para calon Depati. Namun tidak dapat

dipungkiri, bahwa sebagaimana dikatakan Tiwon bahwa mitos dapat berubah ke

arah yang transformatif, seringkali dimobilisasi untuk berbagai keperluan politik

dan ideologis yang bersifat regresif. Mitos tidak hidup dalam ruang hampa, kedap

terhadap dinamika wacana dan politik kekuasaan. (Tiwon dalam Candraningrum,

2014: 60).

Dalam pendekatan Environment Feminism, meskipun hubungan

perempuan dan motivasi mereka untuk melindungi lingkungan memang bisa

7 Depati adalah para pemimpin-pemimpin adat yang menentukan aturan-aturan adat, serta yang memiliki wewenang dalam mengatur dan memberikan hukuman ketika masyarakat melanggar hukum adat.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

diidentifikasi seperti yang dipahami oleh ekofeminisme, namun hubungan ini

lebih didasarkan pada realitas material. Terdapat perbedaan pengalaman dan

pengetahuan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan lingkungan

mereka. Hubungan mereka dengan hutan di mana mereka bergantung ditandai

oleh kepentingan yang kompleks dan bervariasi terutama berdasarkan jenis

kelamin dan kelas (Agarwal, 2009).

Banyak perempuan India yang menjadi penanggung-jawab atas kebutuhan

pangan dan bahan bakar dari keluarga mereka, yang mengharuskan mereka

memelihara tanah dan mengumpulkan produk dari hutan. Kegiatan ini

memberikan pengetahuan yang mendalam tentang ekosistem dan kebutuhan yang

kuat untuk memastikan bahwa sumber daya digunakan secara berkelanjutan.

Kegagalan menghasilkan sumber daya berkelanjutan akan meningkatkan beban

kerja bagi perempuan (Agarwal, 1994).

Fokus ini memperlihatkan pentingnya praktek material, khususnya praktek

kerja laki-laki dan praktek kerja perempuan. Peran budaya secara spesifik

membentuk jenis kelamin dan hubungannya dengan lingkungan. Dengan

mendasarkan klaim ini pada praktek-praktek material, Agarwal memberikan dasar

empiris bagi gagasan bahwa perempuan memiliki pengetahuan lingkungan yang

unik, dan secara signifikan membawa analisis ekonomi politik ke dalam

perdebatan seputar gender dan lingkungan.

Perempuan Desa Lempur memiliki hak waris tanah sawah dan ladang

yang sama besar dengan saudara laki-lakinya. Namun kepemilikan tersebut tidak

dapat di akses secara leluasa oleh perempuan dikarenakan adat dan agama

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

mengatur peran suami sebagai kepala keluarga, yang memberi nafkah dan istri

harus mengikuti aturan yang dibuat oleh suaminya tersebut. Akses pada tanah

milik pribadi seorang istri, ketika menikah tidak dapat secara bebas di akses oleh

mereka karena suaminya telah menjadi bagian dari keluarga, sebagai kepala

keluarga sehingga ikut mengatur penggunaan sawah dan ladang tersebut.

Dalam hal ini, terdapat kepentingan material pada masing-masing jenis

kelamin ketika dihadapkan dengan sumber mata pencaharian mereka. Perempuan

lebih mengedepankan kebutuhan rumah tangga, seperti bahan bakar, dan makanan

pokok mereka sehari-hari. Sedangkan laki-laki lebih mengedepankan sumber

pemasukan yang dapat menguntungkan perekonomian mereka. Menurut Agarwal

(1992), pengetahuan tentang alam dan pengalamannya, pembagian kerja, properti,

kekuasaan, dan pengalaman juga membentuk pengetahuan berdasarkan

pengalaman itu.

Sebagaimana diuraikan Agarwal (1994), pentingnya hak atas tanah dapat

membuat perbedaan yang signifikan terhadap daya tawar perempuan dalam rumah

dan masyarakat. hak atas tanah dapat meningkatkan kepercayaan diri perempuan

dan harga diri, memungkinkan mereka untuk bernegosiasi melakukan penawaran

yang lebih baik di pasar upah tenaga kerja, meningkatkan rasa hormat perintah

terhadap mereka dalam masyarakat, memfasilitasi partisipasi mereka di desa

dalam pengambil keputusan, dan sebagainya.

Untuk melihat bagaimana perempuan Desa Lempur kehilangan akses pada

tanah miliknya sendiri, saya akan menggunakan pendekatan akses dan kontrol

milik Nancy Peluso. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya akses

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

perempuan pada tanahnya sendiri, dan hal tersebut tidak lepas dari harapan

kebudayaan masyarakat setempat kepada perempuan di dalam desa.

Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk

mendapatkan keuntungan dari sesuatu, termasuk objek material, individu, institusi

dan simbol-simbol. Formulasi akses ini akan memberikan ruang yang lebih luas

bagi hubungan sosial yang dapat membuat orang bisa mendapatkan keuntungan

dari sumber daya tanpa memfokuskan pada properti. Seperti pada perempuan di

Desa Lempur, sekalipun perempuan yang memiliki properti waris tanah sawah

dan ladang, namun laki-laki di desa tetap mendapatkan keuntungan yang lebih

besar dibandingkan dengan perempuan atas kepemilikannya.

Dengan memfokuskan pada sumber daya alam, Ribot dan Peluso

mengeksplorasi pembahasan mereka lebih luas tentang kekuasaan. Kekuasaan

melekat pada upaya-upaya melalui mekanisme, proses dan relasi sosial.

Kekuasaan dilandasi oleh materi, budaya, dan politik ekonomi yang terjalin

dalam lingkaran dan jaringan kekuasaan yang membentuk sumber akses.

Beberapa orang dan institusi bisa mengontrol sumber daya sementara yang lain

mempertahankan akses mereka melalui siapa yang mengontrol sumber daya.

Analisa akses juga akan membantu dalam memahami mengapa beberapa orang

atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya, dengan ada atau tidak

adanya kepemilikan barang pada mereka.

Perempuan Desa Lempur memiliki sumber daya lewat kepemilikannya

dari hak waris, sedangkan laki-laki mempertahankan akses mereka melalui istri-

istri mereka yang dimediasi oleh aturan adat dan agama untuk mendapatkan

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

keuntungan dari sumber daya. Pada bagian lain Ribot dan Peluso juga

memperluas diskusi dengan tentang bagaimana teknologi, kapital, pasar,

pengetahuan, kewenangan, identitas sosial dan relasi sosial bisa membentuk atau

mempengaruhi akses. Penguasaan teknologi dan pengetahuan yang dimiliki oleh

laki-laki karena peluang mereka dalam menerima informasi, dan kewenangan

yang didapat dari pengaruh islam dan adat, mempengaruhi atau membentuk akses

yang dimiliki oleh laki-laki desa.

E. Metode Pengumpulan Data

1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yang saya pilih adalah Desa Lempur Tengah, yang

berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia. Kerapatan Adat Lekuk

50 Tumbi8 terdiri dari 5 desa, yaitu Desa Lempur Mudik, Lempur Tengah,

Lempur Hilir, Dusun Baru Lempur, dan Desa Manjuto. Saya telah melakukan

pemetaan dan pengamatan di seluruh desa, namun hanya fokus pada satu desa

yaitu Lempur Tengah. Hal ini karena posisi Lempur Tengah berada di tengah-

tengah Kerapatan adat Lekuk 50 Tumbi, dan menjadi lokasi hilir mudik

penduduk. Terutama ketika diadakan pasar Rabu dan Jumat disetiap minggu yang

berada di Lempur Tengah.

Desa Lempur bukan sebagai daerah pilot project REDD+, namun ia

menjadi salah satu desa yang sudah memiliki hutan adat sebelum REDD+ hadir

dan membentuk PHBM sebagai program untuk menyiapkan masyarakat dalam

8 Nama Hutan Adat yang dimiliki oleh kelima desa di atas

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

menghadapi REDD+. Selama saya melakukan penelitian di desa Lempur, baru

sekali saja LSM Warsi melakukan sosialisasi di Desa Lempur Tengah, itupun

tidak ditanggapi dengan baik oleh masyarakat adat di desa ini. Sosialisasi tidak

menjelaskan hutan adat lagi, melainkan hutan kemasyarakatan (HKM). Hal ini

dikarenakan masyarakat desa Lempur sudah mempunyai hutan adat Lekuk 50

Tumbi dengan luas 580 Hektar. Sosialisasi HKM adalah program untuk

masyarakat desa yang terlanjur memiliki kebun yang berada di wilayah Taman

Nasional saja. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan. Sejak awal Februari

hingga Juli 2013.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini saya melakukan pengumpulan data kualitatif yang

bersifat primer dan sekunder. Pengumpulan data primer saya lakukan dengan

wawancara dan observasi partisipasi pada beberapa kegiatan perempuan dan laki-

laki. Namun saya mendapatkan keterbatasan akses ketika mengikuti kegiatan laki-

laki di desa karena aturan adat yang melarang perempuan untuk terlalu dekat

dengan laki-laki, sehingga saya meminta pertolongan rekan peneliti dari

WANADRI untuk membantu saya observasi partisipasi kegiatan laki-laki di

dalam desa disertai dengan foto-foto kegiatannya.

Sedangkan pengumpulan data sekunder saya lakukan dengan

mengumpulkan data dari perpustakan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat,

untuk melihat bagaimana proses terbentuknya hutan adat pertama kali di Kerinci

sebelum masuknya REDD+. Dan dinamika hadirnya Taman Nasional Kerinci

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82951/potongan/S2-2015...Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan ... dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan

Seblat pada masyarakat Desa Lempur. catatan-catatan itu dibuat oleh penduduk

lokal yang ketika itu bekerja sebagai anggota WWF yang terlibat dalam

pembentukan hutan adat tersebut.

Informan yang saya pilih adalah anggota masyarakat desa, baik laki-laki

maupun perempuan yang sudah menikah, maupun belum menikah. Juga orang-

orang adat yang mempunyai peran dominan di dalam desa. Penelitian dilakukan

dengan terlibat langsung dengan kegiatan perempuan dalam kehidupan sehari-

hari. Acara pernikahan, Upacara tegak tiang (membangun rumah), pengajian,

arisan, dan berkebun. Mengikuti kegiatan pemudi yang belum menikah, operasi

bersih masuk ke dalam hutan, berbincang-bincang di warung kopi bersama orang-

orang adat dan pemuda. Alat pengumpulan data yang saya gunakan adalah alat

rekam, dan kamera. Kegiatan sehari-hari saya tulis ke dalam buku catatan untuk

memastikan saya tidak kehilangan informasi apapun ketika akan melakukan

penulisan tesis.

3. Analisis Data dan Metode Analisis

Metode analisis yang saya gunakan ialah hasil pengumpulan data yang

sedari awal sudah ditujukan ke dalam beberapa pendekatan teori, kemudian di

analisis secara lebih tajam dengan menggunakan metode analisis Harvard untuk

melihat ketimpangan akses dan kontrol dalam hubungan gender. Data yang

disajikan dengan menggunakan metode penulisan etnografi, sehingga diharapkan

data yang sudah didapat, dapat menghasilkan analisis dan tulisan yang matang dan

fokus dengan menggunakan teori-teori tersebut.