bab i pendahuluan a. latar belakang...terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional mengamanatkan bahwa bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ruang
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara
kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk di dalam bumi, maupun
sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara
bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna dan dikelola secara berkelanjutan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam konteks tersebut, penataan ruang diyakini sebagai pendekatan
yang tepat dalam mewujudkan keterpaduan pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan secara berdaya guna dan berhasil guna. Diharapkan
dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang, kualitas ruang wilayah
nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan
umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional UUDNRI
Tahun 1945.1 Penyelenggaraan tata ruang di Indonesia telah diatur dengan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR).
UUPR mengatur bahwa masing-masing daerah harus menetapkan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi maupuan kabupaten/kota. Penetapan
RTRW ini sangat terkait dan mempengaruhi masalah perlindungan lahan
pertanian pangan yang berkelanjutan, serta penyelamatan kawasan hutan.
Dasar hukum penyelenggaraan tata ruang di Indonesia diatur melalui
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya
disebut UU Penataan Ruang) yang disahkan di Jakarta pada tanggal 26 April
2007. Arah pengaturan dari UU ini adalah:
- Untuk memperkukuh ketahanan nasional berdasarkan wawasan nusantara,
demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat
dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan;
1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 007 Nomor 68 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725, konsideran menimbang huruf a.
2
- Penyelenggaraan penataan ruang yang komprehensif, holistik,
terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian
lingkungan hidup;
- Penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan
lingkungan buatan, dan keterpaduan penggunaannya;
- Memberi perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif tahadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang; dan
- Penataan ruang didasarkan pada pendekatan sistem, fungsi utama
kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis
kawasan.
Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling
terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang melalui produk rencana tata ruang berupa
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hieratki terdiri dari
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
(RTRW Kab/Kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum
di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi
perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai UU
utama (core) dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka UU Penataan
Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat
mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor
pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumber daya alam maupun sumber
daya buatan.2
Terkait agenda pembangunan nasional (Nawa Cita) yang termaktub
dalam Buku I Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang
RPJMN 2015-2019, terdapat 4 (empat) agenda yang terkait dengan Tata
Ruang, yaitu:3
1. Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara.
Agenda pertama mencakup 10 (sepuluh) sub agenda, salah satu sub
agenda yang terkait tata ruang dan pertanahan yaitu memperkuat jati diri
2 I Wayan Parsa, dkk, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Penegakan Hukum
Penataan Ruang Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Tahun 2014, hlm 4.
3 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Buku Saku Rangkuman Buku I dan Buku II Terkait
Tata Ruang dan Pertanahan RPJMN Tahun 2015-2019, BAPERATURAN PEMERINTAHENAS,
Tahun 2015, hlm 10-16.
3
sebagai Negara Maritim. Strategi pembangunan yang diterapkan adalah
menyempurnakan sistem penataan ruang nasional dengan memasukkan
wilayah laut sebagai satu kesatuan dalam rencana penataan ruang
nasional/regional;
2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis
dan terpercaya.
Agenda kedua mencakup 5 (lima) sub agenda, salah satu sub agenda
yang terkait dengan tata ruang dan pertanahan yaitu meningkatkan
partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan publik;
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan.
Terdapat 3 (tiga) sub agenda yang terkait dengan tata ruang yaitu (1)
pengembangan kawasan perbatasan; (2) pengembangan daerah tertinggal
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan
pembangunan dan mengurangi kesenjangan pembangunan antara daerah
tertinggal dengan daerah maju dari 112 kabupaten pada tahun 2015-2019;
(3) pembangunan desa dan kawasan pedesaan.
4. Pemerataan Pembangunan Antarwilayah terutama Kawasan Timur
Indonesia.
Arah kebijakan utama pembangunan wilayah nasional difokuskan
untuk mempercepat pemerataan pembangunan antarwilayah. Oleh
karena itu, diperlukan arah pengembangan wilayah yang dapat
mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah KTI, yaitu
Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua, dengan tetap
menjaga momentum pertumbuhan di Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera.
Dalam pembangunan Bidang Tata Ruang terdapat 3 (tiga) isu strategis
yaitu:4
1. Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Siklus pelaksanaan penataan ruang, sebagaimana diatur oleh UU
Penataan Ruang, terdiri dari perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Mempertimbangkan masih ada RTR
dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K)
yang belum selesai, maka tahapan pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang belum dapat dilaksanakan secara efektif. Salah satu
faktor penyebab belum seluruh daerah memiliki RTR dan RZWP-3-K
adalah belum tersedianya peta berskala besar. Untuk mendukung
4Ibid., hlm. 41-42.
4
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, dibutuhkan juga
skema insentif sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;
2. Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang
Permasalahan kelembagaan mencakup masih belum memadainya
kualitas, kuantitas dan kompetensi SDM Bidang Tata Ruang, yang
berdampak pada cenderung rendahnya kualitas RTR. Untuk Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (Peraturan Pemerintah) Bidang Tata Ruang, selain
kualitas dan kuantitas yang masih harus ditingkatkan, wadah dan tata
kerjanya belum terdefinisikan dengan baik untuk menunjang
kinerjanya. Selain itu, masyarakat pengguna ruang juga belum berperan
aktif dalam penyelenggaraan penataan ruang. Minimnya pedoman yang
dapat menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan penataan ruang juga menimbulkan banyak kendala.
3. Rencana Tata Ruang sebagai acuan pembangunan berbagai sektor
Sebagai peraturan perundangan yang mewadahi Bidang Tata Ruang,
seluruh amanat UU Penataan Ruang harus dilengkapi dan selaras
dengan aturan sektoral lain. Namun saat ini RTR belum menjadi
pedoman bagi pembangunan sektoral. Selain itu, RTR juga belum
selaras dengan rencana pembangunan yang menjadi acuan pembiayaan
pembangunan.
Untuk menjawab isu-isu strategis Bidang Tata Ruang, sasaran
pembangunan bidang tata ruang untuk Tahun 2015-2019 adalah:5
1. Tersedianya peraturan perundang-undangan bidang tata ruang yang
lengkap, harmonis, dan berkualitas;
2. Meningkatnya kapasitas kelembagaan bidang tata ruang, dalam jangka
pendek, yang akan segera diselesaikan adalah penyusunan pedoman
perlindungan Peraturan Pemerintah Bidang Tata Ruang;
3. Meningkatnya kualitas dan kuantitas RTR serta terwujudnya tertib
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam jangka
pendek, yang akan segera diselesaikan adalah penetapan Revisi Perpres
Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur yang dilengkapi dengan lembaga dan/atau
pengelola Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur,
penyediaan peta dasar skala 1:5.000 untuk penyusunan Rencana Detil
5Ibid., hlm. 42.
5
Tata Ruang (RDTR) pada KSN dan daerah yang diprioritaskan, serta
penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan; dan
4. Meningkatnya kualitas pengawasan penyelenggaraan penataan ruang.
Berdasarkan isu strategis subbidang Tata Ruang tahun 2015-2019,
maka disusun arah kebijakan dan strategi:6
1. Meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan
harmonis dengan strategi: (a) penyusunan peraturan perundangan
amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 berupa peraturan perundangan
Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) dan regulasi turunannya
dalam rangka mendukung agenda Penguatan Sistem Pertahanan; (b)
penyusunan regulasi turunan UU Nomor 27 Tahun 2007 jo UU Nomor 1
Tahun 2014 terkait RZWP-3-K; (c) harmonisasi peraturan perundangan
yang berkaitan dengan Bidang Tata Ruang termasuk di dalamnya
peraturan insentif untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)
dalam rangka mendukung Agenda Kedaulatan Pangan; (d)
penginternalisasian kebijakan sektoral dalam NSPK Bidang Tata Ruang;
dan (e) pengintegrasian RTR dengan rencana pembangunan.
2. Meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang, untuk
mendukung pengendalian pemanfaatan ruang. Kebijakan tersebut
dicapai melalui strategi: (a) pembangunan sistem informasi penataan
ruang yang terintegrasi; (b) pembentukan perangkat Peraturan
Pemerintah yang handal dengan menyusun pedoman perlindungan
Peraturan Pemerintah Bidang Tata Ruang; serta (c) membuka partisipasi
publik melalui pembentukan forum masyarakat dan dunia usaha untuk
pengendalian pemanfaatan ruang yang optimal sesuai dengan amanat
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata
Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
3. Meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang, dengan strategi:
(a) peningkatan kualitas produk dan penyelesaian serta peninjauan
kembali RTR, baik RTRWN, RTR Laut Nasional, RTR Pulau/Kepulauan,
RTR KSN (termasuk penetapan revisi Perpres RTR KSN Jabodetabekjur),
RTRW yang telah mengintegrasikan LP2B dan prinsip-prinsip RZWP3K;
dan (b) percepatan penyediaan data pendukung pelaksanaan penataan
ruang yang mutakhir termasuk peta skala 1:5.000 untuk RDTR.
6Ibid., hlm. 43.
6
4. Melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang, melalui
pemantauan dan evaluasi yang terukur untuk menjamin kesesuaian
pemanfaatan ruang yang telah disusun.
UU Penataan Ruang memiliki keterkaitan dengan beberapa
peraturan perundang-undangan (PUU) lain, seperti PUU yang mengatur
mengenai perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, pertambangan
minerba, kehutanan, perumahan dan kawasan pemukiman, wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil dan lain-lain, serta beberapa peraturan pelaksana
lainnya. Keterkaitan di antara PUU tersebut perlu dilakukan analisis dan
evaluasinya, baik dari dimensi asas, potensi disharmoni maupun
efektivitasnya.
B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang dibahas dalam analisis dan evaluasi hukum ini
adalah:
1. Apakah materi muatan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan masalah penataan ruang terpadu, sudah sesuai dengan jenis
peraturan perundang-undangan?
2. Apakah rumusan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penataan ruang terpadu telah dirumuskan secara jelas?
3. Bagaimana penilaian kesesuaian norma peraturan perundang-undangan
yang terkait penataan ruang terpadu?
4. Apakah ada potensi disharmoni pengaturan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang terkait penataan ruang terpadu?
5. Apakah implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penataan ruang terpadu sudah efektif?
C. TUJUAN KEGIATAN
Tujuan dilaksanakannya kegiatan analisis dan evaluasi hukum dalam
rangka penyelamatan dan pemanfaatan kawasan hutan adalah:
1. Menilai kesesuaian antara jenis peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan penataan ruang terpadu;
2. Menganalisis kejelasan rumusan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan penataan ruang terpadu;
3. Menilai kesesuaian norma peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penataan ruang terpadu;
4. Menilai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penataan
ruang terpadu berpotensi tumpang tindih atau disharmoni pengaturan;
7
5. Menganalisis efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan
terkait dengan penataan ruang terpadu.
D. RUANG LINGKUP ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
Hasil inventarisasi PUU yang terkait dengan penataan ruang,
ditemukan sebanyak 69 (enam puluh sembilan) PUU, yang terdiri dari: 18
(delapan belas) Undang-Undang, 16 (enam belas) PERATURAN PEMERINTAH,
13 (tiga belas) Peraturan Presiden, 1 (satu) Keputusan Presiden dan 21 (dua
puluh satu) Peraturan Menteri. Daftar inventarisasi ini diambil dari hasil
inventarisasi PUU yang terkait dengan Penataan Ruang, kemudian PUU yang
mempunyai kedekatan substansi dengan penataan ruang dari UU hingga
peraturan pelaksananya. Dasar hukum yang di maksud dalam matrik ini
merupakan penjabaran dari konsideran mengingat dan menimbang yang
menjadi landasan dibentuknya suatu PUU di maksud.
Hasil inventarisasi PUU adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang
Nomor
Judul UU Dasar Hukum
1. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 Ayat (3) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 18B Ayat (2), Pasal 20, Pasal 25A, serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D Ayat (2), dan Pasal 23E Ayat (2) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
4. UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 27 Ayat (3), dan Pasal 30 UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
8
Nomor
Judul UU Dasar Hukum
5. UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, Pasal 33 Ayat (3), dan Pasal 34 Ayat (3) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
6. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
7. UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 33 UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
8. UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C, dan Pasal 33 UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
9. UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4), Pasal 33 Ayat (3), serta Pasal 34 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
10. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28F, dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
11. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam HAyati dan Ekosistemnya
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1), dan Pasal 33 UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
12. UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UU Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
13. UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Pasal 20 dan Pasal 21 UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
14. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
15. UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
Pasal 5 Ayat 1, Pasal 20 dan Pasal 33 UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
9
Nomor
Judul UU Dasar Hukum
16. UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Pasal 20, Pasal 22D Ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 Ayat (3) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
17. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba
Pasal 5 Ayat (I), Pasal 20 dan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
18. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 (H) Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat 4 UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Peraturan Pemerintah
Nomor
Judul PERATURAN PEMERINTAH Delegasi
1. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri
Pasal 19 dan Pasal 32 UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
2. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
Pasal 9 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Pasal 16 Ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
Pasal 43 sampai dengan Pasal 57 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
5. Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pasal 30 UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pengembangan Nasional
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
Pasal 22, Pasal 39, Pasal 66, dan Pasal 80 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
8. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Pasal 13 Ayat 4, Pasal 16 Ayat 4, Pasal
10
Nomor
Judul PERATURAN PEMERINTAH Delegasi
Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
37 Ayat 8, Pasal 38 Ayat 6, Pasal 40, Pasal 41 Ayat 3, Pasal 47 Ayat 2, Pasal 48 Ayat 5, Pasal 48 Ayat 6 dan Pasal 64 UU Nomor 26 Thun 2007 tentang Penataan Ruang.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang
Pasal 65 Ayat 3 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025
UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
11. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara
UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
12. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang
Pasal 14 Ayat 17 UU Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut UU Informasi Geospasial, dan 5 (lima) Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG)
Pasal 17 Ayat 5, Pasal 28 Ayat 3, Pasal 31 Ayat 3, Pasal 39 Ayat 3, Pasal 53 Ayat 3, Pasal 57 Ayat 3 dan Pasal 63 Ayat 3 UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
14. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal 11 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
15. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
Pasal 63 Ayat 5 dan Pasal 108 UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
16. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Pasal 20 Ayat 6 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
11
3. Peraturan Presiden
Nomor
Judul Perpres Delegasi
1. Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
2. Perpres Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
3. Perpres Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makasar, Maros, Sungguminasa, Takalar
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
4. Perpres Nomor 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang dan Karo
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
5. Perpres Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
6. Perpres Nomor 58 Tahun 2014 tentang RTR Kawasan Borobudur dan Sekitarnya
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
7. Perpres Nomor 70 Tahun 2014 tentang RTR Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan Sekitarnya
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
8. Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tentang RTR Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
9. Perpres Nomor 179 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
10. Perpres Nomor 31 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
12
Nomor
Judul Perpres Delegasi
11. Perpres Nomor 32 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
12. Perpres Nomor 33 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Maluku
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
13. Perpres Nomor 34 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat
Pasal 123 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
4. Keputusan Presiden
Nomor
Judul Kepres Delegasi
1. Kepres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan
Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam , perlu diwujudkan konsePasali, kebijaksanaan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu
5. Jenis Peraturan Menteri
No Judul Peraturan Menteri Delegasi
1. Permen PU Nomor 20 PRT/M/2007 tentang Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
2. Permen PU Nomor 21 PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
13
No Judul Peraturan Menteri Delegasi
3. Permen PU Nomor 22 PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
4. Permen PU Nomor 40 PRT/M/2007 tentang Kawasan Reklamasi Pantai
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
5. Permen PU Nomor 41 PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
6. Permen PU Nomor 5 PRT/M/2008 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Pasal 189 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
7. Permen PU Nomor 11 PRT/M/2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Perda Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kota Beserta Rinciannya
Pasal 18 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
8. Permen PU Nomor 13 PRT/M/2009 tentang Penyidik PERATURAN PEMERINTAHNS Penataan Ruang
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
9. Permen PU Nomor 15 PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Pasal 18 Ayat 3 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
10. Permen PU Nomor 16 PRT/M/ 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 18 Ayat 3 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
11. Permen PU Nomor17 PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. (Tidak diatur jelas Pasal pendelegasinya)
12. Permen ATR/BPN Nomor 37 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi dan Rencana Tata Ruang Kawasan
Pasal 24 Ayat 2 dan Pasal 27 Ayat 2 UU Nomo 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
14
No Judul Peraturan Menteri Delegasi
Strategis Kabupaten 13. Permen PU Nomor 14 PT/M/2010
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
PERATURAN PEMERINTAH Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
14. Permenhut Nomor P. 28/Menhut-Ii/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Dalam Rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan Atas Rancangan Perda Tentang Rencana Tata Ruang Daerah
Pasal 18 Ayat 1 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
15. Permendagri Nomor 13 Tahun 2016 tentang Evaluasi Rancangan Perda Tentang Rencana Tata Ruang Daerah
Pasal 400 Ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
16. Permendagri Nomor 56 Tahun 2014 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah
Pasal 12 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara
17. Permen PU Nomor 6 PRT/M/2006 tentang Pedoman Tata Cara Penunjukkan Badan pengelola Kawasan Siap Bangun dan Penyelenggara Lingkungan Siap Bangun yang Bediri Sendiri
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
18. Permen PU Nomor 32 PRT/M/2006 tentang Petunjuk Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri.
19. Permen ATR/BPN Nomor 32 Tahun 2016 tentang Sistem Kendali Mutu Program Pertanahan, Agraria dan Tata Ruang
(Tidak diatur dengan jelas pendelegasiannya)
20. Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
(Tidak diatur dengan jelas pendelegasiannya)
21. Permendagri Nomor 69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan
(Tidak diatur dengan jelas pendelagasiannya)
15
Dari 69 (enam puluh sembilan) PUU hasil inventarisasi tersebut,
Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Penataan Ruang Terpadu
melakukan analisis terhadap 47 (empat puluh tujuh) PUU, yaitu: 18 (delapan
belas) Undang-undang, 16 (enam belas) Peraturan Pemerintah dan 13 (tiga
belas) Peraturan Presiden. Sedangkan Peraturan Menteri diharapkan dapat
dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga non Kementerian
terkait.
E. Metode Analisis dan Evaluasi Hukum
Metode yang digunakan dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum
terhadap peraturan perundang-undangan menggunakan penilaian
berdasarkan 5 (lima) dimensi penilaian, yaitu:
1. Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan;
2. Kejelasan Rumusan;
3. Kesesuaian Norma;
4. Potensi Disharmoni Ketentuan:
5. Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan.
Setiap dimensi memiliki variabel dan indikator penilaiannya masing-
masing. Berikut variabel dan indikator dari masing-masing dimensi tersebut:
1. Variabel dan Indikator Penilaian Ketepatan Jenis PUU
NO PUU VARIABEL INDIKATOR
1. UU Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang diamanatkan secara tegas dalam Pasal UUD 1945
Ada 39 Pasal,yang memerintahkan secara tegas (lihat ket.)
Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang diamanatkan tidak secara tegas dalam Pasal UUD 1945
Terkait pelaksanaan HAM dan pembatasan HAM
Terkait pembatasan hak dan kewajiban warga Negara
Terkait pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
Terkait Wilayah Negara dan pembagian daerah
Terkait Keuangan Negara
Pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga Negara
Perintah Undang-Undang untuk diatur dengan
16
NO PUU VARIABEL INDIKATOR
Undang-Undang Tindak lanjut Putusan MK
Pengesahan Perjanjian Internasional tertentu yang perlu diatur dengan UU
Terkait masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara;
Terkait perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia;
Terkait kedaulatan atau hak berdaulat Negara; Terkait Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup;
Terkait pembentukan kaidah hukum baru; Terkait pinjaman dan/atau hibah luar Negeri.
2. PerPERATURAN PEMERINTAH
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
Adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat
Adanya kekosongan UU/belum ada UU yang mengatur
Mengatasi kekosongan UU dengan proses pembentukan UU secara normal/biasa (yang dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan) tidak dapat dilakukan, karena kondisi yang mendesak membutuhkan kepastian dan penyelesaian dengan cepat
Materi muatan Materi yang diatur dalam PerPeraturan Pemerintah harus termasuk dalam kewenangan presiden, tidak boleh di luar kewenangan presiden
Materi muatan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi
Materi yang diatur adalah materi yang harus diatur dengan UU, bukan materi yang sejatinya untuk melaksanakan UU
3. PERATURAN
Melaksanakan ketentuan Undang-Undang
Diperintahkan secara tegas
Tidak diperintahkan secara tegas,
17
NO PUU VARIABEL INDIKATOR
PEMERINTAH
namun diperlukan untuk melaksanakan ketentuan UU
Tindak lanjut Putusan MA Materi muatan Peraturan Pemerintah tidak melebihi hasil Putusan MA
4. Perpres Melaksanakan lebih lanjut perintah Undang-Undang
Diperintahkan secara tegas (delegasian)
Melaksanakan lebih lanjut perintah PERATURAN PEMERINTAH
Diperintahkan secara tegas (delegasian)
Untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
Tidak ada perintah dari PUU yang lebih tinggi
Tindak lanjut Putusan MA
5. Permen Delegasi Permen yang didelegasikan oleh UU, materi muatannya hanya terbatas untuk yang bersifat teknis administratif (petunjuk Nomor 211 Lampiran II UU 12/2011)
Atribusi Tidak bertentangan dengan PUU di atasnya
Mengatur struktur organisasi
Mengatur standar kerja
Mengatur metode kerja
6. Perda Penyelenggaraan otonomi daerah (kewenangan atributif)
Penyelenggaraan tugas pembantuan (kewenangan delegatif)
Penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundangan-Undangan yang lebih tinggi (kewenangan delegatif)
Tindak lanjut Putusan MA dan Keputusan Menteri
Keterangan:
Pada Dimensi Ketepatan Jenis PUU ini, komponen yang dinilai adalah:
- Judul, dengan bobot penilaian sebanyak: 10%
- Pembukaan (konsiderans Menimbang dan Dasar Hukum), dengan bobot
penilaian sebanyak: 20%
- Batang tubuh, dengan bobot penilaian sebanyak: 50%
18
- Penjelasan, dengan bobot penilaian sebanyak: 20%.
2. Variabel dan Indikator Penilaian Kejelasan Rumusan
NO VARIABEL INDIKATOR
1 Kesesuaian dengan sistematika dan teknik penyusunan PUU
Judul Mencerminkan isi PUU
Tidak mengandung singkatan atau akronim
Ketentuan umum
Berisi batasan pengertian atau definisi
Berisi hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi Pasal atau beberapa Pasal berikutnya
Ditulis dengan sistematika umum-khusus
Materi pokok yang diatur
Ditulis dengan sistematika umum-khusus
Apakah perumusan sanksi administrasi dan sanksi keperdataan sudah sesuai dengan petunjuk
Ketentuan Pidana (jika ada)
Mencantumkan unsur-unsur pidana secara jelas
Tidak merujuk kembali ketentuan di PUU lain
Diatur setelah pengaturan materi pokok
Mencantumkan tegas kualifikasi pidana (kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif)
Ketentuan Peralihan (jika ada)
Lihat petunjuk Nomor 127 s.d 135 Lampiran II UU 12/2011
Ketentuan Penutup
Lihat petunjuk Nomor 136 s.d 159 Lampiran II UU 12/2011
2 Penggunaan bahasa, istilah, kata
Konsisten antar ketentuan
Tidak menimbulkan ambiguitas/multitafsir
Tepat
Tegas
Jelas
Efisien
Mudah dipahami Tidak subjektif
19
3. Variabel dan Indikator Penilaian Kesesuaian Norma (dengan asas
materiil)
NO VARIABEL INDIKATOR
1 Pengayoman Adanya ketentuan yang menjamin perlindungan masyarakat/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan masyarakat
Adanya ketentuan yang menjamin keberlanjutan generasi kini dan generasi yang akan datang/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terjaminnya keberlanjutan generasi kini dan yang akan datang
Adanya ketentuan yang menjamin ketertiban umum/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat mengakibatkan rusaknya ketertiban umum
2 Kemanusiaan Adanya ketentuan yang menjamin Perlindungan HAM/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menghambat perlindungan HAM
Adanya ketentuan yang menjamin Pemajuan HAM/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menghambat pemajuan HAM Adanya ketentuan yang menjamin Penegakan HAM/tidak ditemukannya ketentuan yang menghambat penegakan HAM
Adanya ketentuan yang menjamin Pemenuhan HAM/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menghambat pemenuhan HAM
Adanya ketentuan yang menjamin Kemerdekaan berserikat dan berkumpul/tidak ditemukannya ketentuan yang melarang kemerdekaan berserikat berkumpul
3 Kebangsaan Adanya ketentuan yang mengatur tentang pembatasan keikutsertaan pihak asing /tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terbatasnya keikutsertaan pihak asing
Adanya ketentuan yang dapat mendorong peningkatan kemandirian bangsa/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menghambat kemandirian bangsa
Adanya ketentuan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan bangsa/tidak ditemukannya ketentuan yang menghambat peningkatan kesejahteraan bangsa
Adanya ketentuan yang menjamin pengutamaan
20
NO VARIABEL INDIKATOR
kepemilikan dan peranan nasional/tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terjaminnya pengutamaan kepemilikan dan peranan nasional
4 Kekeluargaan Adanya ketentuan yang menjamin pelaksanaan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya pelaksanaan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan
Adanya ketentuan yang menjamin pelibatan seluruh pihak terdampak dalam pembentukan kebijakan/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya pelibatan seluruh pihak terdampak dalam pembentukan kebijakan
Adanya ketentuan yang menjamin akses informasi publik dalam proses pengambilan keputusan/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya akses informasi publik dalam proses pengambilan keputusan
Adanya ketentuan yang menjamin pemberian peluang kepada masyarakat dalam memberikan pendapat terhadap pengambilan keputusan/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya pemberian peluang kepada masyarakat dalam memberikan pendapat terhadap pengambilan keputusan
Adanya ketentuan yang menjamin masyarakat memberikan penilaian proses politik dan pemerintahan/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya masyarakat memberikan penilaian proses politik dan pemerintahan
Adanya ketentuan yang menjamin sistem kerja yang kooperatif dan kolaboratif/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya sistem kerja yang kooperatif dan kolaboratif
5 Kenusantaraan Adanya ketentuan yang mengedepankan kepentingan nasional/tidak ditemukannya ketentuan yang mengesampingkan kepentingan nasional Adanya ketentuan yang mengedepankan kepemilikan dan keikutsertaan nasional/tidak ditemukannya
21
NO VARIABEL INDIKATOR
ketentuan yang mengesampingkan kepemilikan dan keikutsertaan nasional
Adanya ketentuan yang jelas mengenai pembagian kewenangan antar sektor secara proporsional
Adanya ketentuan yang jelas mengenai pembagian kewenangan pusat dan daerah
Adanya ketentuan yang menjamin kepentingan seluruh wilayah Indonesia/tidak ada ketentuan yang mengandung resiko yang membahayakan bagi Kepentingan seluruh wilayah Indonesia
6 Bhineka Tunggal Ika
Memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya nasional/tidak ditemukannya ketentuan yang mengabaikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya nasional
Adanya ketentuan yang menjamin pengakuan dan perlindungan nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal)/tidak ditemukannya ketentuan yang berpotensi mengabaikan pengakuan dan perlindungan nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal)
Adanya ketentuan yang menjamin keterlibatan masyarakat hukum adat
7 Keadilan Adanya ketentuan yang mengatur peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk mendapatkan akses pemanfaatan sumber daya/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk mendapatkan akses pemanfaatan sumber daya
Adanya ketentuan yang menjamin penggantian kerugian kepada masyarakat terkena dampak negatif
Adanya ketentuan yang menjamin keterlibatan masyarakat marjinal/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya keterlibatan masyarakat marjinal
Adanya ketentuan yang berpihak pada masyarakat daerah terpencil/tidak ditemukannya kebijakan yang menyebabkan tidak terjaminnya kepentingan masyarakat daerah terpencil
Adanya ketentuan mengenai afirmatif action sebagai ikhtiar mengatasi kesenjangan sosial
Adanya ketentuan yang jelas terkait dengan nilai-nilai
22
NO VARIABEL INDIKATOR
keadilan/tidak ditemukan ketentuan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
8 Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan
Adanya ketentuan pengakuan pada hak kelompok minoritas/tidak ditemukan ketentuan yang menghambat hak kelompok minoritas
Adanya ketentuan yang menjamin non diskriminasi, baik secara eksplisit, maupun implisit (dampak/efek)/tidak ditemukannya ketentuan yang diskriminatif, baik secara eksplisit, maupun implisit (dampak/efek)
Adanya ketentuan yang menjamin keterlibatan perempuan/tidak ditemukannya ketentuan yang menghambat keterlibatan perempuan
9 Ketertiban dan Kepastian Hukum
Adanya ketentuan yang jelas mengenai koordinasi
Adanya ketentuan yang jelas mengenai penyelesaian konflik
Adanya ketentuan yang jelas mengenai sanksi terhadap pelanggaran
Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum
Adanya ketentuan yang jelas mengenai tindakan yang harus diambil atas peraturan-peraturan yang bertentangan atau tumpang tindih.
Adanya ketentuan yang menjamin transparansi (keterbukaan)/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya tranparansi (keterbukaan)
Adanya ketentuan yang menjamin akuntabilitas pengelolaan/tidak ditemukan ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terjaminnya akuntabilitas pengelolaan
Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas dan efisien/tidak ditemukannya ketentuan mengenai prosedur yang jelas dan efisien
10 Keseimbanga, Keserasian, Dan Keselarasan
Adanya ketentuan yang mengedepankan fungsi kepentingan umum/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya fungsi kepentingan umum Adanya ketentuan yang mengedepankan prinsip kehati-hatian/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya prinsip kehati-hatian
Adanya ketentuan yang memberikan pembatasan pada
23
NO VARIABEL INDIKATOR
kepemilikan individu dan korporasi/tidak ditemukannya ketentuan yang membatasi kepemilikan individu dan korporasi.
Adanya ketentuan yang memberikan pembatasan pada kepentingan individu dan korporasi/tidak ditemukannya ketentuan yang membatasi kepentingan individu dan korporasi.
4. Variabel dan Indikator Penilaian Potensi Disharmoni Pengaturan
NO VARIABEL INDIKATOR 1 Kewenangan Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2
(dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memberikan kewenangan yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan kewenangan yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewenangan yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memberikan kewenangan yang berbeda
Ada Pengaturan mengenai kewenangan yang tidak konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU yang sama)
2
Hak Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memberikan hak yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memberikan hak yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hak yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memberikan hak tersebut pada subyek yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hak yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan hak tersebut pada subyek yang berbeda Ada pengaturan mengenai hak yang tidak konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU yang sama)
3 Kewajiban Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua)
24
NO VARIABEL INDIKATOR
atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memberikan kewajiban yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan kewajiban yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi membebankan kewajiban tersebut pada subyek yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi membebankan kewajiban tersebut pada subyek yang berbeda
Ada Pengaturan mengenai kewajiban yang tidak konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU yang sama)
4 Perlindungan Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memberikan perlindungan yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan perlindungan yang berbeda Adanya pengaturan mengenai perlindungan yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memberikan perlindungan tersebut pada subyek yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan perlindungan tersebut pada subyek yang berbeda
Ada pengaturan mengenai perlindungan yang tidak konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU yang sama)
5 Penegakan Hukum
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi memiliki hukum acara yang berbeda Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memiliki hukum acara yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU yang berbeda hierarki, tetapi membebankan sanksi yang berbeda
Adanya pengaturan mengenai kewajiban yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi membebankan
25
NO VARIABEL INDIKATOR
sanksi yang berbeda Ada pengaturan mengenai penegakan hukum yang tidak konsisten/saling bertentangan antar Pasal (dalam PUU yang sama)
5. Variabel dan Indikator Penilaian Efektivitas Pelaksanaan PUU
NO VARIABEL INDIKATOR
1. Aspek Operasional atau Tidaknya PUU
Pengaturan dalam PUU masih diberlakukan secara efektif
2. Aspek Rasio Beban dan Manfaat (Cost and Benefit Ratio)
Perhitungan manfaat harus lebih besar daripada beban/biaya atau nilai rasio benefit terhadap cost harus di atas angka 1 (B/C > 1)
3. Aspek Relevansi Dengan Situasi Saat Ini
Pengaturan dalam PUU masih relevan untuk diberlakukan secara efisien
4. Aspek Kekosongan Pengaturan
Dari segi peraturan pelaksananya
5. Aspek Koordinasi Kelembagaan/Tata Organisasi
Kelembagaan yang melaksanakan pengaturan dalam PUU jelas dan tidak tumpang tindih
Pembagian kewenangan dan tugasnya jelas
6. Aspek Sumber Daya Manusia
Tercukupinya SDM yang dibutuhkan dalam menerapkan pengaturan dalam PUU
Terpenuhinya kepasitas, integritas dan kualitas SDM yang dibutuhkan dalam menerapkan pengaturan dalam PUU
Terpenuhinya kuantitas SDM yang dibutuhkan dalam menerapkan pengaturan dalam PUU
7. Aspek Sarana Prasarana
Infrastruktur dan anggaran sudah tersedia dalam menerapkan pengaturan dalam PUU
8. Aspek Budaya Hukum Masyarakat
Dari segi pemahaman masyarakat pada pengaturan PUU
Dari segi kesadaran/kepatuhan masyarakat pada pengaturan PUU
9. Aspek Akses Informasi Masyarakat
Ketersediaan informasi dalam menerapkan pengaturan PUU
Kemudahan akses informasi 10. Aspek Penegakan
Hukum Ditinjau dari rumusan sanksi pidananya
Ditinjau dari aparat penegak hukumnya
11. Aspek Partisipasi Masyarakat
Dari segi partisipasi aktif dari masyarakat pemangku kepentingan
Dari segi terbukanya akses untuk partisipasi masyarakat
26
NO VARIABEL INDIKATOR
Dari segi kemudahan prosedur akses partisipasi masyarakat
12. Aspek Standar Operasional Pelaksana
Ketersediaan SOP yang jelas, lengkap dan benar-benar diterapkan
13. Aspek Teknologi Penunjang Pelayanan
14. Aspek Pelayanan dan Batasan Waktu
Penentuan Standar Pelayanan Minumum (SPM)
15. Aspek Public Complain
16. Aspek Pengawasan
27
BAB II
ANALISIS DAN EVALUASI BERDASARKAN
KETEPATAN JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Penilaian ketepatan jenis peraturan ditinjau dari berbagai sudut pandang,
yaitu dimulai dari namanya, politik hukumnya, dasar hukumnya, maupun dari
materi muatannya. Penamaan suatu peraturan perundang-undangan seharusnya
mencerminkan materi muatannya. Hal ini juga dijelaskan dalam Lampiran II UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
petunjuk Nomor 3 disebutkan dalam petunjuk tersebut bahwa nama Peraturan
Perundang-Undangan (PUU) dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan
satu kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi
peraturan perundang-undangan.
Politik hukum suatu peraturan perundang-undangan dapat diketahui dari
konsiderans menimbang dan penjelasan umumnya, dari penjelasan tersebut
dapat diketahui arah kebijakan yang ingin dicapai dengan PUU dimaksud. Dengan
demikian dapat dianalisis apakah materi muatan yang tercantum dalam
ketentuan pasal sudah sejalan dengan arah yang ingin dicapai.
Analisis juga ditinjau dari dasar hukum yang mengamanatkan
dibentuknya suatu PUU. Pada dasarnya UU merupakan pelaksanaan dari amanat
atau penjabaran dari ketentuan pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, PERATURAN
PEMERINTAH pelaksanaan amanat atau menjalankan ketentuan pasal dalam UU,
Perpres pelaksanaan amanat atau penjabaran ketentuan pasal dari UU atau
PERATURAN PEMERINTAH dan/atau dalam rangka melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sedangkan Peraturan Menteri
pelaksanaan amanat atau penjabaran ketentuan pasal dalam PERATURAN
PEMERINTAH atau perpres, Peraturan Menteri dapat pula mengatur lebih lanjut
atas dasar kewenangan pendelegasian dari UU, namun hanya sebatas peraturan
yang bersifat teknis administratif (petunjuk Nomor 211 Lampiran II UU Nomor 12
Tahun 2011). Pada bagian dasar hukum dalam suatu PUU, memuat dasar
28
kewenangan pembentukan PUU (dasar hukum formil) dan PUU yang secara
materiil dirujuk dalam membentuk PUU lebih lanjut (dasar hukum materiil).
Suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang
tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut yang berupa norma dasar (Grundnorm).
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka dapat dianalisis apakah
materi muatan dalam suatu PUU tersebut sesuai dengan tingkat hierarkinya.
Dengan demikian, materi muatan masing-masing hierarki dapat dibedakan,
perbedaan tersebut dilihat dari cara perumusan normanya pada masing-masing
jenis peraturan peraturan perundang-undangan. Norma dalam peraturan
perundang-undangan pada jenjang yang semakin ke atas, maka seharusnya
semakin abstrak, begitu juga sebaliknya. Norma dalam peraturan perundang-
undangan pada jenjang yang semakin ke bawah mudah dilaksanakan, begitu juga
sebaliknya.
Dari hasil analisis terhadap 47 (empat puluh tujuh) PUU, berdasarkan
ketepatan jenis peraturan perundang-undangan (PUU), ditemukan 3 (tiga) UU
yang dinilai tidak tepat jenis PUU nya dan beberapa catatan penting terhadap 2
(dua) PUU.
UU yang dinilai tidak tepat jenis PUU nya yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
Batang tubuh dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung ini berisikan perihal pengaturan mengenai fungsi, persyaratan,
penyelenggaraan, pembinaan, sanksi dan lain sebagainya yang dapat
dikatakan merupakan unsur-unsur yang bersifat teknis. Jika dibandingkan
dengan Peraturan pelaksana dari UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung yaitu PERATURAN PEMERINTAH Nomor 36 Tahun 2005
tentang Bangunan Gedung maupun Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
29
Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan
Bangunan Gedung, isi batang tubuh dari ketiga Peraturan Perundang-
undangan tersebut berisikan unsur teknis yang tidak terlalu banyak
perbedaan. Dapat dikatakan materi muatan pada UU Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung ini lebih tepat jika dituangkan menjadi jenis PUU
dibawah UU. Seperti yang terdapat didalam Penjelasan umum Undang-
Undang tersebut yang menguraikan perihal bangunan gedung merupakan
salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam pengaturan
bangunan tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang. Dari uraian
tersebut dapat menjadi dasar bahwa Undang-Undang dapat dijadikan
PERATURAN PEMERINTAH dengan merujuk pada Undang Undang Nomor 26
Tahun 2007 atau bisa juga dijadikan Peraturan Presiden maupun Peraturan
Menteri. Oleh karena itu Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung tidak tepat diuangkan dalam bentuk UU, karena tidak
dalam rangka mengatur lebih lanjut UUD 1945, sehingga direkomendasikan
untuk diatur dalam jenis PUU dibawahnya, dapat menjadi PERATURAN
PEMERINTAH (dengan merujuk UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang), Peraturan presiden maupun Peraturan Menteri yang bersifat lebih
teknis.
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak tepat
dituangkan dalam jenis UU, sebab tidak didasarkan pada Pasal tertentu
secara tegas dalam UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, mengingat
pentingnya masalah penanggulangan bencana merupakan masalah yang
penting dalam rangka melindungi warga negaranya maka persoalan
penanggulangan bencana dapat dituangkan dalam jenis peraturan
perundang-undangan yang tepat yaitu dalam bentuk Peraturan Presiden.
30
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial;
Sebagian besar ketentuan pasal merupakan aturan teknis pemetaan. Hanya
sebagian kecil yang mengatur masalah pembatasan hak dan kewajiban warga
Negara secara umum yang merupakan materi muatan UU, yaitu Pasal 23
Ayat (4), Pasal 50, Pasal 52, Pasal 55 dan Pasal 56 . Dapat dikatakan bahwa
sebagian besar materi muatan UU ini berisi pedoman dalam pemetaan, yang
merupakan materi muatan PUU di bawah UU.
UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial tidak tepat
dituangkan dalam jenis UU. Namun demikian, mengingat pentingnya masalah
IG bagi perencanaan pembangunan bidang eknomi, social, budaya dan
ketahanan nasional yang berhubungan dengan ruang kebumian, maka IG
dapat dituangkan dalam jenis PERATURAN PEMERINTAH (jika dapat dianggap
sebagai pelaksanaan dari UU 14/2008 tentang KIP) atau Perpres (jika lebih
menekankan pada penataan kelembagaan penyelenggara IG, dan bukan
dalam rangka melaksanan UU di atasnya).
Selain ketidaktepatan jenis PUU tiga UU di atas, ada pula catatan terhadap 2
(dua) PUU lain, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Materi pengaturan yang terkait penataan ruang pesisir dan pulau-
pulau kecil hendaknya diatur secara integral ke dalam UU Nomor 26 Tahun
2007 tentang penataan ruang, karena pada hakekatnya ruang pesisir dan
pulau-pulau kecil adalah juga daratan, karena di bawahnya masih terdapat
dasar/ tanah yang dapat diukur. Sehingga, materi pengaturan UU Nomor 27
Tahun 2007 hanya terbatas yang berkenaan dengan pengeloalaan WP3K,
dengan memperhatikan penataan ruangnya. Jika ruang wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dikecualikan dari UU Nomor 26 Tahun 2007 akan
31
berpotensi terjadi konflik kewenangan antara Kementerian ATR/BPN dan
Kementerian KKP.
Ditinjau dari politik hukum (arah pengaturan) dari UU ini, seperti yang
diuraikan pada Penjelasan Umum UU Nomor 27 Tahun 2007, bahwa UU ini
ingin mengatur pemanfaatan atau pengelolaan WP3K yang tidak hanya
berorientasi pada eksploitasi, akan tetapi juga memperhatikan kelestarian
sumber daya, kesadaran nilai strategi WP3K secara berkelanjutan, terpadu
dan berbasis pemberdayaan masyarakat lokal, terintegrasi dengan
pembangunan daerah. Disebutkann pula bahwa Norma-norma Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan pada
norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-
undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang
telah diundangkan. Sedangkan UU 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU 27
Tahun 2007, merupakan penyempurnaan dari makna penguasaan Negara
terhadap sumber daya WP3K yang semula diatur dengan HP-3 menjadi Ijin.
Oleh karenanya, seharusnya UU PWP3K tidak mengatur masalah
perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang menjadi ranah UU
Nomor 26 Tahun 2007, melainkan hanya mengatur masalah pengelolaan yang
harus memperhatikan kelestarian ekosistem, nilai strategis, berkelanjutan,
terpadu dan berbasis masyarakat lokal. Oleh karenanya, UU ini sebaiknya
diubah dengan hanya memfokuskan diri pada pengelolaan, tanpa mengatur
perencanaan dan pengendalian penafaatan ruang nya.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah.
Peraturan Pemerintah ini melaksanaan Pasal 16 UU Nomor 24 Tahun
2004 tentang Penataan Ruang, yang berbunyi:
“Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna
air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya
32
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) butir a, diatur dengan
Peraturan Pemerintah”.
UU ini sudah dicabut dan diganti dengan UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Pasal 33 pada UU No, 26 Tahun 2007 diamanatkan
agar Penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Kemudian Pasal 78 (Ketentuan Penutup) memerintahkan agar
Peraturn Pemerintah yang diamanatkan UU ini diselesaikan paling lambat 2
tahun sejak diundangkan, yaitu pada tahun 2006. Namun Peraturan
Pemerintah tentang Penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan
udara dan penatagunaan sumber daya alam lainnya hingga saat ini belum
dibentuk.
Mengacu pada Pasal 76 (Ketentuan Peralihan), walaupun isi dari
Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2004 mengacu pada UU yang sudah
dicabut (UU No 24 tahun 1992), namun sebenarnya masih relevan untuk
diberlakukan dan tidak bertentangan dengan UU No 26 Tahun 2007. Oleh
karena itu Peraturan Pemerintah ini masih layak diberlakukan sampai ada
perubahannya yang didasarkan pada UU No 26 Tahun 2007.
33
BAB III
ANALISIS DAN EVALUASI BERDASARKAN
KEJELASAN RUMUSAN
Penilaian kejelasan rumusan ini akan menilai apakah peraturan perundang-
undangan harus disusun sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan, dengan memperhatikan sistematika, pilihan kata atau istilah, teknik
penulisan, dengan menggunakan bahasa peraturan perundang-undangan yang
lugas dan pasti, hemat kata, objektif dan menekan rasa subjektif, membakukan
makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten, memberikan
definisi atau batasan artian secara cermat. Sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Variabel dan indikator yang digunakan dalam melakukan penilaian kejelasan
rumusan yaitu:
1. Variabel kesesuaian dengan sistematika dan teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan dengan menggunakan indikator:
- Judul: mencerminkan isi PUU; tidak mengandung singkatan atau akronim
- Ketentuan Umum : berisi batasan pengertian atau definisi; berisi hal-hal
lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal
berikutnya, ditulis dengan sistematika umum-khusus
- Materi pokok yang diatur : ditulis dengan sistematika umum-khusus;
apakah perumusan sanksi administrasi dan sanksi keperdataan sudah
sesuai dengan petunjuk
- Ketentuan pidana: mencantumkan unsur-unsur pidana secara jelas; tidak
merujuk kembali ketentuan di PUU lain; diatur setelah pengaturan materi
pokok; mencantumkan tegas kualifikasi pidana (kumulatif, alternatif, atau
kumulatif alternatif); ketentuan peralihan (jika ada): lihat petunjuk no.127
s/d 135 Lampiran II UU No.12 tahun 2011
- Ketentuan penutup: lihat petunjuk No.136 s/d 159 Lampiran II UU No.12
tahun 2011.
34
2. Variabel penggunaan bahasa, istilah dan kata dengan menggunakan
indikator:
- Konsisten antar ketentuan
- Tidak menimbulkan ambiguitas/multitafsir
- Tepat
- Tegas
- Jelas
- Efisien
- Mudah dipahami
- Tidak subjektif
Ada beberapa catatan penting dari hasil analisis berdasarkan kejelasan
rumusan yang perlu diperhatikan secara umum pada setiap PUU, yaitu:
1. Mengenai penuangan asas dalam norma.
Bahwa norma merupakan ‘pancaran’ dari asas (asas adalah nilai yang
‘menjiwai’ norma). Oleh karenanya, asas itu sendiri pada prinsipnya tidak
tertulis dalam norma, jika dinormakan, harus ada maksud tertentu dari
pengaturan tersebut, misalnya, untuk mengatur
pengecualian/penyimpangan dari asas atau untuk memunculkan suatu asas
atau beberapa asas tertentu (khusus), di luar asas-asas materiil umum
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011
(Bagir Manan, “Asas-Asas Hukum dan Non Hukum yang Diperlukan Dalam
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-
Undangan”, Pada Acara Capacity Building Penyusunan Naskah Akademik, Di
Jakarta, 9 Desember 2009). Asas yang dinormakan ini, sebagaimana
petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 seharusnya
termuat dalam bagian Ketentuan Umum, tanpa dituangkan dalam pasal atau
bab tertentu.
35
2. Mengenai penuangan maksud dan/atau tujuan dalam norma.
Pada prinsipnya ‘maksud dan/atau tujuan‘ tidak tertulis dalam norma
ketentuan, karena maksud, tujuan dan arah pengaturan, sudah tertuang
dalam konsiderans menimbang dan/atau penjelasan umumnya, secara rinci
lagi tertuang dalam Naskah Akademiknya.
3. Mengenai pengertian norma.
Perlu diingat apa sebenarnya yang dimaksud dengan norma. Pada prinsipnya
norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam
hubungannya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya atau dapat
juga diartikan sebagai ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak
atau bertingkah laku dalam masyarakat (Suharyono, Makalah Bahasan
Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta, 2010). Adapun norma terdiri dari
dua kategori, yaitu norma tingkah laku dan meta norma. Norma tingkah
laku berisi tentang perintah (gebod), larangan (verbod), pembebasan
(vrijsteling/dispensasi) dan izin (toesteming). Norma tingkah laku ini
membutuhkan operator norma untuk dapat dilaksanakan. Operator norma
berupa kata kerja seperti kata ‘wajib’, ‘harus’, ‘dapat’, ‘bebas’, ‘dilarang’.
Dengan operator norma, maka norma tingkah laku memiliki akibat hukum
berupa sanksi. Sedangkan meta norma dapat berisi tentang pengakuan,
perubahan, kewenangan, definisi (yang tertuang dalam pasal 1 ketentuan
umum) dan penilaian. Sehingga dapat dipahami bahwa asas dan tujuan
secara an sich tidak tepat dituangkan dalam norma, kecuali ada masksud
tertentu, atau ada hal khusus mengenai asas.
Dari 47 daftar PUU terkait penataan ruang terpadu yang telah dilakukan
analisis dan evaluasi masih terdapat ketidaksesuaian dengan sistematika dan
teknik penyusunan PUU terkait penempatan asas, maksud dan tujuan yang
diatur dalam pasal tersendiri yang seharusnya masuk dalam ketentuan umum,
diantaranya yaitu:
36
1. UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam HAyati
dan Ekosistemnya;
2. UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
3. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Pemerintah
Pengganti UU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang;
4. UU No 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
5. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
6. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
7. UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
8. UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
9. UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan;
10. UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman;
11. UU No 4 Tahun 2011 tentang Informai Geospasial;
12. UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
13. UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU No 1 Tahun
2014;
14. UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian;
15. UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan;
16. Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap
Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri;
17. Peraturan Pemerintah No 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota;
18. Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah;
19. Peraturaan Pemerintah No 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol;
37
20. Peraturan Pemerintah No 39 tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan;
21. Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata
Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang;
22. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut UU
Informasi Geospasial
23. Peraturan Pemerintah No 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri;
24. Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianju;
25. Perpres No 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan;
26. Perpres No 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar;
27. Perpres No 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Batam;
28. Perpres No 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Danau Toba dan Sekitarnya;
29. Perpres No 31 Tahun 2015 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan;
30. Perpres No 179 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur;
31. Perpres No 32 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Papua;
32. Perpres No 33 tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Maluku;
33. Perpres No 34 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua
Barat;
38
34. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 2017.
Dari 47 (empat puluh tujuh) PUU yang telah dilakukan penilaian pada
variabel penggunaan bahasa, istilah, kata masih terdapat adanya ketidak
konsistenan antar ketentuan, ambigu atau multitafsir, tidak tepat dan tidak
tegas. PUU dimaksud antara lain adalah:
1. UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;
2. UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
3. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
4. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
5. UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman;
6. UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial;
7. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 2008;
8. Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang;
9. Perpres No 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar;
10. Perpres No 31 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Kalimantan;
11. Perpres No 179 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur;
12. Perpres No 32 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Papua;
13. Perpres No 33 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Maluku;
39
14. Perpres No 34 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat
Pada variabel penegakan hukum, ditemukan beberapa PUU yang memiliki
pengaturan terkait penegakan hukum yaitu:
1. Pada UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pada Pasal 44 dan
45, 46 dan 47, dimana pengaturan mengenai sanksi administrasi dan
sanksi pidana disarankan untuk dipisahkan dan tidak di dalam satu bab
yang sama yang berisikan sanksi keperdataan dan sanksi pidana;
2. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti
UU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang. Pada Pasal 80 terkait
sanksi, dimana sanksi administrasi seharusnya diatur secara terintegrasi
dengan Pasal yang dikenai sanksi;
3. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam Pasal 75-
79 dikaitkan dengan Pasal 150 Ayat (1), (2) dan (3) mengenai sanksi
administratif, dimana seharusnya sanksi administratif dalam Pasal 150
disusun menjadi bagian dalam masing-masing pasal yang dengan norma
yang memberikan sanksi adminitratif;
4. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
- Pada Pasal 57 tidak menjelaskan jenis sanksi secara detail apakah
sanksi tersebut merupakan sanksi administratif, sanksi pidana atau
sanksi perdata, sementara dalam Pasal 57 hanya disebutkan sanksi
sesuai dengan ketentuan PUU dan di penjelasan pasalnya dikatakan
cukup jelas.
- Kemudian di Pasal 61, 62, 63 dan 64 yang mengatur persoalan sanksi,
apabila norma yang memberikan sanksi administrasi atau keprdataan
lebih dari satu pasal, maka sanksi administrasi atau sanksi
40
keperdataan tersebut dirumuskan dalam satu pasal terakhir dari
bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan
ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi
perdata dansanksi adminitrstif dalam satu bab. Oleh karena itu Pasal
64, 62 dan 64 seharusnya disusun dalam satu pasal.
- Bab IX Ketentuan Pidana Pasal 69, 70, 71, 72, 73, 74 dan Pasal 75.
Terkait adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan
tindak pidana pelanggaran dalam KUHP, maka rumusan ketentuan
pidana harus dinyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang
diancam pidana, apakah itu kejahatan atau pelanggaran;
5. UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Terdapat ketidak konsistenan antara Pasal 101, 102 dan 108 terkait
penerapan sanksi pidana.
- Pasal 101 mengatur sanksi bagi setiap orang yang melepaskan
dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan atau izin lingkungan, dipidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000 dan paling banyak Rp3.000.000.000;
- Pasal 102 mengatur sanksi bagi setiap orang yang melakukan
pengelolaan limbah B3 tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000;
- Pasal 108 mengatur sanksi bagi setiap orang yang melakukan
pembakaran lahan seluas maksimum 2 hektar dipidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
41
denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp
10.000.000.000.
Tindak pidana dari ketiga Pasal tersebut sama beratnya, terutama
dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pidananya, tapi sanksi yang
diberikan tidak sama. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam pelaksanaannya.
6. Terdapat beberapa PUU dimana sanksi administrasi tidak diletakkan pada
bagian dari Pasal yang dikenai sanksi. PUU tersebut antara lain:
- Pasal 70 UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan;
- Pasal 150 Ayat (1), (2) dan (3) UU No 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Pemukiman;
42
BAB IV
ANALISIS EVALUASI BERDASARKAN
KESESUAIAN NORMA DENGAN ASAS MATERIIL
Penilaian kesesuaian norma dimaksudkan untuk memastikan bahwa
ketentuan yang diatur sudah sesuai dengan asas materiil umum peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2011 dan asas materiil khusus (Pasal 6 Ayat (2)) yang harus
menjiwai ketentuan peraturan perundang-undangan. Asas materiil umum
peraturan perundang undangan yang disebutkan dalam Pasal 6 UU Nomor
12 Tahun 2011, yaitu:
1) Asas Pengayoman
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan untuk ketentraman masyarakat.
2) Asas Kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
3) Asas Kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4) Asas Kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
5) Asas Kenusantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi
muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
6) Asas Bhineka Tunggal Ika
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus
43
daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
7) Asas Keadilan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
8) Asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh
memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
9) Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian
hukum.
10) Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Sedangkan asas materiil khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat
(2) UU No 12 Tahun 2011 adalah asas lain sesuai dengan bidang hukum PUU
yang bersangkutan, antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara
lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Kesepuluh asas materiil umum dan asas materiil khusus dari suatu PUU
menjadi variabel penilaian terhadap ketentuan pasal yang ada dalam masing-
masing PUU terkait dengan masalah Penataan Ruang. Dari variabel tersebut
diturunkan lagi menjadi beberapa indikator penilaian. Dari 47 PUU terkait
Penataan Ruang yang dianalisis, 19 PUU di antaranya masih terdapat ketentuan
pasal yang tidak sesuai dengan asas materiil. Berikut data hasil penilaian PUU
terkait masalah Penataan Ruang, yang ditinjau dari dimensi kesesuaian norma
dengan asas materiil:
1. UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam HAyati dan
Ekosistemnya.
Terdapat ketidak sesuaian dengan variabel kemanusiaan dalam indikator
jaminan terhadap keikutsertaan masyarakat lokal yaitu Pasal 37;
44
2. UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Terdapat ketidak sesuaian dengan variabel ketertiban dan kepastian
hukum dengan indikator ketentuan yang jelas mengenai akuntabilitas
pengelolaan yaitu Pasal 39;
3. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti
UU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
Terdapat ketidaksesuaian dengan variabel kebangsaan dalam indikator
tidak ditemukannya ketentuan yang membatasi keikutsertaan pihak asing
yaitu Pasal 54;
4. UU No 38 Tahun 2004 tentang Jalan
- Pasal 14 tidak sesuai dengan variabel kenusantaraan dengan indikator
pembagian kewenangan pusat dan daerah;
- Pasal 51 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dengan indikator
transparansi/keterbukaan;
- Pasal 59 tidak sesuai dengan variabel keadilan dengan indikator
adanya penggantian kerugian pada masyarakat daerah terpencil;
- Pasal 61 tidak sesuai dengan variabel keadilan dengan indikator
adanya penggantian kerugian kepada masyarakat yang terkena
dampak negatif;
5. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 10 Ayat (4) tidak sesuai dengan variabel kenusantaraan dengan
indikator pembagian kewenangan antara pusat dan daerah;
6. UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Pasal 14 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah;
7. UU No 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
- Pasal 5 tidak sesuai dengan variabel pengayoman dan keseimbangan
dengan indikator tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan masyarakat;
- Pasal 8 tidak sesuai dengan variabel kekeluargaan dengan indikator
adanya ketentuan yang menjamin pelibatan seluruh pihak terdampak
dalam pembentukan kebijakan;
- Pasal 10 dan Pasal 11 tidak sesuai dengan variabel pengayoman
dengan indikator tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan masyarakat dan
45
variabel keseimbangan, keserasian dan keselarasan dengan indikator
tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya
prinsip kehati-hatian;
8. UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
- Pasal 42 Ayat (2) tidak sesuai dengan ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator akuntabilitas pengelolaan;
- Pasal 60, Pasal 66 Ayat (4), (5) dan (6), Pasal 109 Ayat (1) tidak sesuai
dengan asas kenusantaraan dengan indikator pembagian kewenangan
pusat dan daerah;
- Pasal 137, Pasal 139 dan Pasal 140 tidak sesuai dengan variabel
ketertiban dan kepastian hukum dengan indikator kejelasan sanksi
terhadap pelanggaran;
- Pasal 146 Ayat (2) tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan
kepastian hukum dengan indikator pengelolaan;
9. UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
Pasal 54 tidak sesuai dengan variabel kebangsaan dan kenusantaraan
dengan indikator tidak ditemukannya ketentuan yang dapat
menyebabkan tidak terbatasnya keikutsertaan pihak asing dan tidak
ditemukannya ketentuan yang mengesampingkan kepentingan nasional;
10. UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
- Pasal 43 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator kejelasan mengenai pihak yang melakukan
pengawasan dan penegakan hukum;
- Pasal 16 Ayat (2) tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan
kepastian hukum dengan indikator ketentuan yang jelas mengenai
akuntabilitas pengelolaan;
11. UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagaimana diubah dengan UU No 1 Tahun 2014
- Pasal 7 tidak sesuai dengan variabel keseimbangan, keserasian dan
keselarasan dengan indikator mengedepankan prinsip kehati-hatian;
- Pasal 48 tidak sesuai dengan variabel kebangsaan dengan indikator
tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terbatasnya keikutsertaan pihak asing;
12. UU No 3 Tahun 2004 tentang Perindustrian
- Pasal 22 tidak sesuai dengan variabel kebangsaan dengan indikator
pengutamaan kepemilikan dan peranan nasional;
- Pasal 23, Pasal 92 tidak sesuai dengan variabel kebangsaan dengan
indikator pembatasan keikutsertaan pihak asing;
46
- Pasal 24 tidak sesuai dengan ketertiban dan kepastian hukum dengan
indikator transparansi/keterbukaan;
- Pasal 26 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator kejelasan aturan mengenai koordinasi;
- Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 tidak sesuai dengan variabel
kebangsaan dengan indikator pembatasan keikutsertaan pihak asing;
- Pasal 32 tidak sesuai dengan variabel pengayoman dengan indikator
jaminan terhadap keberlanjutan generasi kini dan generasi yang akan
datang;
- Pasal 51 tidak sesuai dengan variabel keseimbangan, keserasian dan
keselarasan dengan indikator mengedepankan prinsip kehati-hatian;
- Pasal 91 tidak sesuai dengan vaiabel kebangsaan dengan indikator
peningkatan kemandirian bangsa;
13. UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 249-251 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian
hukum dengan variabel adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang
jelas dan efisien;
14. Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap bangun
dan lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri
- Pasal 15 tidak sesuai dengan varabel keadilan dengan indikator
memperlakukan semua orang secara seimbang tanpa diskriminasi;
- Pasal 18 Ayat (3), Pasal 23, Pasal 25, Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (5),
Pasal 33, Pasal 36 Ayat (2), Pasal 38 Ayat (2), Pasal 44 Ayat (2), Pasal
48 Ayat (1) dan Pasal 51 Ayat (5) tidak sesuai dengan variabel
ketertiban dan kepastian hukum dengan indikator aturan dan
kebijakan berdasarkan kajian ilmiah;
15. UU No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
Pasal 19 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator adanya ketentuan yang menjamin akuntabilitas
pengelolaan/tidak ditemukan ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya akuntabilitas pengelola;
16. Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Pasal 11 tidak sesuai dengan variabel keseimbangan, keserasian dan
keselarasan dengan indikator mengedepankan kepentingan umum dan
mengedepankan prinsip kehati-hatian;
17. Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang
47
Pasal 10 Ayat (4) tidak sesuai dengan variabel kenusantaraan dengan
indikator pembagian kewenangan antara pusat dan daerah;
18. Peraturan Pemerintah No 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman
Pasal 15-16 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang
melakukan pengawasan dan penegakan hukum;
19. Peraturan Pemerintah No 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
- Pasal 41 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang
melakukan pengawasan dan penegakan hukum;
- Pasal 43 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian hukum
dengan indikator adanya ketentuan yang menjamin transparansi
(keterbukaan)/tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan
tidak terjaminnya transparansi (keterbukaan);
- Pasal 44 dan 46 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian
hukum dengan indikator adanya ketentuan yang menjamin prosedur
yang jelas dan efisien/tidak ditemukannya ketentuan mengenai
prosedur yang jelas dan efisien;
- Pasal 51-52 tidak sesuai dengan variabel ketertiban dan kepastian
hukum dengan indikator adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak
yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum;
48
BAB V
ANALISIS DAN EVALUASI BERDASARKAN
POTENSI DISHARMONI ANTAR KETENTUAN
Sebelum membahas beberapa ketentuan pasal yang berpotensi
disharmoni, terlebih dahulu perlu dibahas konsep penataan ruang
sebagai mana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU 26 Tahun 2007
memiliki makna yang terpadu/integral, dengan makna pengelolaan ruang
yang dimaksud Pasal 6 Ayat (5). Disebutkan dalam pasal 6 tersebut bahwa
pengelolaannya dilakukan dengan mengacu pada undang-undang
tersendiri. Hal ini perlu dilakukan persamaan persePasali mengenai
makna terminologi “pengelolaan” dalam Pasal 6 Ayat (5) itu sendiri, yang
menyebutkan bahwa “Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur
dengan undang-undang tersendiri”.
Pengelolaan dapat diterjemahkan dalam beberapa sudut pandang, yaitu:
- Pengelolaan diterjemahkan sebagai suatu proses manajemen (POAC)
sehingga harus dilakukan perencanaan tersendiri diluar penataan
ruang wilayah, atau
- Pengelolaan diterjemahkan sebagai proses kegiatan yang dilakukan
pasca perencanaan/penataan ruang wilayah karena ruang laut
dianggap sebagai satu kesatuan ruang dalam terminologi wilayah
bersama dengan darat dan udara, sehingga yang diatur hanya
pengelolaannya saja.
Pasal 1 angka1 secara tegas disebutkan apa yang dimaksud Ruang,
yaitu: “wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya”. Artinya bahwa penataan ruang seharusnya
merupakan satu kesatuan. Jika politik hukum menghendaki makna
keterpaduan penataan ruang baik darat, laut dan udara, maka idealnya
49
UU 26/2007 dan UU 27/2007 diintegrasikan. Oleh karenanya, hal-hal yang
terkait penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil hendaknya diatur
secara integral ke dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang, sehingga
materi pengaturan UU 27/2007 hanya berkenaan dengan pengeloalaan
WP3K, dengan memperhatikan penataan ruangnya.
Penilaian Potensi Disharmoni Pengaturan ini dilakukan dengan
pendekatan normatif, untuk mengetahui disharmoni pengaturan
mengenai: 1) kewenangan, 2) hak, 3) kewajiban, 4) perlindungan, dan
5) penegakan hukum. Dari hasil penilaian potensi disharmoni pengaturan
terhadap kewenangan, hak, kewajiban, perlindungan dan penegakan
hukum yang dilakukan terhadap 47 PUU terkait pentatan ruang,
ditemukan beberapa ketentuan pasal yang berpotnesi disharmoni.
Penilaian berdasarkan potensi disharmoni terhadap PUU yang terkait
dengan masalah penataan ruang, ditinjau antara pasal ketentuan dalam
satu PUU atau antar ketentuan pasal dari satu atau dua PUU, baik antara
PUU yang setingkat maupun yang bertingkat secara vertikal antara lain
yaitu:
- Pasal 54 dan Pasal 55 UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial;
- Pasal 7 Ayat (2), (3), (4), dan (5) UU Nomor UU Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014;
- Pasal 9, Pasal 1 huruf 34 UU Nomor 26 TAhun 2007 tentang
Penataan Ruang;
- Pasal 23 Ayat (6), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 26 Ayat (7), Pasal 27 Ayat (1)
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
- Pasal 14, 15, 17, 20. 27, 29 Peraaturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
2013 tentang Tingkat Ketelitian Peta;
50
- Pasal 26 Ayat (4) UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah
Provinsi DKI;
- Pasal 361 Ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berpotensi
disharmoni dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 dan UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dalam variabel kewenangan.
- Pasal 54 dan Pasal 55 UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial berpotensi disharmoni dengan pasal 23 Ayat (4) pada
undang-undang yang sama dalam variabel masalah kewenangan.
- UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah di ubah dengan UU Nomor1
Tahun 2014, Pasal 7 Ayat (2), (3), (4), (5) berpotensi disharmoni
dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lampiran mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren
huruf Y Nomor1) dalam variabel masalah kewenangan.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 9 dan Pasal
1 huruf 34 berpotensi disharmoni dengan undang-undang yang sama,
Pasal 1 huruf 1 dalam variabel masalah kewenangan.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 23 Ayat (6),
Pasal 24 Ayat (1), Pasal 26 Ayat (7), Pasal 27 Ayat (1). Disebutkan
bahwa rencana tata ruang dan rencana rinci tata ruang wilayah
provinsi, kabupaten, kota ditetapkan dengan peraturan daerah
berpotensi disharmoni dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (sebagaimana telah
di ubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014) Pasal 9 dan Permen
51
Kelautan dan Perikanan Nomor 16/MEN/2008 tentang Pengelolaan
WP3K, Pasal 27 Ayat (1), dalam variabel masalah kewenangan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tingkat Ketelitian
Peta (Pasal 14, 15, 17, 20, 27, 29) berpotensi disharmoni dengan
Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 16/MEN/2008 tentang
Perencanaan WP3K (Pasal 18 dan 19) dalam variabel Masalah
Perlindungan.
- UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI (Pasal 26
Ayat (4)) berpotensi disharmoni dengan UU Nomor 23 Tahun 2014
(Pasal 27 Ayat (2) huruf c) dalam variabel Masalah kewenangan.
- UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 361
Ayat (3) berpotensi disharmoni dengan UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang jo. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang dalam variabel Masalah
Kewenangan.
- Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pengaturan Jarak Bebas
SUTET berpotensi disharmoni dengan Permen ESDM Nomor 18 Tahun
2015 dalam variabel Masalah Kewenangan.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berpotensi
disharmoni dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaran Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 2009 tentang BKPRN, dan Permendagri Nomor 50
Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berpotensi
disharmoni dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, UU Nomor 22
Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 21 Tahun 2014
tentang Panas Bumi, UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
52
Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan, dan UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berpotensi
disharmoni dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam variabel kewenangan.
53
BAB VI
ANALISIS DAN EVALUASI BERDASARKAN
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang hendak dicapai, dapat dilaksanakan, serta berdayaguna dan
berhasilguna sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a s/d huruf e UU No.12
tahun 2011.Penilaian terhadap efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana manfaat dari suatu
peraturan perundang-undangan tersebut, apakah sesuai dengan yang diharpkan.
Efektivitas pelaksanaan PUU ini didukung dengan data empiris hasil pelaksanaan
diskusi publik di daerah dan FGD, narasumber, dan kelompok pakar serta hasil
temuan tim pokja.
Variabel yang digunakan dalam melakukan penilaian efektivitas peraturan
perundang-undangan meiputi:
- Operasional atau tidaknya suatu PUU;
- Rasio beban dan manfaat (cost and benefit ratio);
- Relevansi dengan situasi saat ini;
- Kekosongan pengaturan;
- Koordinasi kelembagaan/tata organisasi;
- Sumber daya manusia;
- Sarana dan prarsarana;
- Budaya hukum;
- Akses informasi masyarakat;
- Penegakan hukum;
- Partisipasi masyarakat;
- SOP;
- Teknologi penunjang pelayanan;
- Pelayanan dan batasan waktu;
- Public complain; dan
- Pengawasan
Hasil penilaian terhadap efektivitas implementasi peraturan perundang-
undangan terkait Penataan Ruang Terpadu dapat dilihat sebagai berikut:
1. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Bab X Ketentuan
Pidana Pasal 64-Pasal68) tidak sesuai dengan variabel aspek penegakan
hukum dengan indikator ditinjau dari rumusan sanksi pidananya.
54
2. UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Pasal63 dan Pasal64) tidak
sesuai dengan variabel aspek penegakan hukum dengan indikator ditinjau
dari rumusan sanksi pidana.
3. UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Pasal14 Ayat (2),
Pasal 22 Ayat (1), Pasal25 Ayat (1), Pasal 28) tidak sesuai dengan variabel
aspek operasional atau tidaknya PUU dengan indikator pengaturan dalam
PUU masih belum dilaksanakan secara efektif.
4. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang tidak sesuai dengan variabel aspek kekosongan
hukum dengan indikator yang belum diatur.
5. UU Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Pasal, 18) ,
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tingkat Ketelitian
Peta, Permen KP Nomor 16/MEN/2008 tentang Perencanaan WP3K tidak
sesuai dengan variabel aspek sarpras dengan indikator kurang
memadainya sarana dan prasarana.
6. Pasal 15 Ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016
tentang Perangkat Daerah tidak sesuai dengan variabel aspek tata
organisasi dengan indikator pembagian kewenangan dan tugasnya masih
belum tegas.
7. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria tidak sesuai
dengan variabel aspek kekosongan pengaturan dengan indikator dari segi
pengaturannya.
8. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria tidak sesuai
dengan variabel aspek kelembagaan dengan indikator segi
pengaturannya.
9. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 23, Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 2010 Pasal 18, Permen PUU Nomor 20 Tahun 2011 Pasal 3 tidak
sesuai dengan variabel aspek materi hukum dengan indikator tidak efektif
implementasinya.
10. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 29, Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 2010 Pasal 36, Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tidak sesuai
dengan variabel kelembagaan dan aparatur dengan indikator aspek
sarana dan prasarana.
11. UU 26 tahun 2007 Pasal 16, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
Pasal 88-89 tidak sesuai dengan variabel materi hukum dengan indikator
tidak adanya pengaturan (kekosongan hukum).
12. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 32 Ayat (1) tidak sesuai dengan variabel
materi hukum dengan indikator kekosongan hukum.
55
13. Pengaturan kepemilikan lahan (Perkep BPN Nomor 7 Tahun 2007) tidak
sesuai dengan variabel budaya hukum dengan indikator aspek kepastian
hukum masyarakat.
14. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 38 tidak sesuai dengan variabel materi
hukum dengan indikator belum ada pengaturannya (kekosongan hukum).
15. UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 78 Huruf b dan c tidak sesuai dengan
pelayanan hukum dengan indikator pengawasan.
16. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah Pasal 12,
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Pasal 15, tidak sesuai
dengan variabel kelembagaan dengan indikator tata organisasi.
17. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tidak sesuai dengan
variabel kelembagaan dengan indikator kewenangan.
56
BAB VII
PENUTUP
A. Simpulan
1. Dari hasil analisis berdasarkan ketepatan jenis PUU, terhadap 47 (empat
puluh tujuh) PUU, terdapat 3 (tiga) PUU yang tidak tepat jenis PUU nya,
dan beberapa catatan penting terhadap 2 (dua) PUU yang perlu
dievaluasi. PUU yang dimaksud adalah:
UU yang dinilai tidak tepat jenis PUU nya yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
3. Undang-Undang Nomor 24Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana;
Sedangkan PUU yang memiliki catatan penting yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014;
2. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
2. Dari hasil analisis berdasarkan kejelasan rumusan, terdapat 47 (empat
puluh tujuh) PUU terkait Penataan Ruang yang dievaluasi, masih belum
memenuhi kejelasan rumusannya. Berikut data hasil penilaiannya:
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistem perlu diubah pada Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 27, Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3) serta perlu dicabut pada Pasal
2 karena tidak sesuai dengan variabel penulisan norma-norma dalam
UU ini sehingga perlu diubah dalam penulisannya.
2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertanahan Negara
perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 22 karena tidak sesuai
dengan variabel penggunaan bahasa, istilah ataupun katanya tidak
ada ketegasan dan kejelasan serta pada beberapa pasal dinilai kurang
konsisten.
3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 39, Pasal 44, Pasal
45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 49 karena tidak sesuai dengan
57
variabel penulisan, ada beberapa pengaturan yang tidak perlu
dijadikan terpisah serta adanya hal-hal yang belum diatur di dalam UU
ini.
4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Penetapan PERATURAN PEMERINTAH Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
perlu diubah pada Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 serta
perlu dicabut pada Pasal 80, Pasal 83A dan Pasal 83B karena tidak
sesuai dengan variabel penulisan, masih diperlukan adanya revisi
penulisan norma pada UU ini.
5) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan perlu diubah
pada Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 karena tidak sesuai dengan variabel
penyusunan, perlu adanya revisi terkait penyusunan ruang lingkup
yang cukup dimasukkan kedalam ketentuan umum saja.
6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana perlu diubah pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 60 ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) dan Pasal 75 - Pasal 79 karena tidak sesuai dengan
variabel penyusunan, sehingga diperlukan adanya revisi.
7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang perlu
diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (3), Pasal 10 ayat (7), Pasal
11 ayat (6), Pasal 57, Pasal 61 - Pasal 64, dan Pasal 69 – Pasal 75
karena tidak sesuai dengan variabel penyusunan, terkait dengan
sanksi masih terdapat sanksi-sanksi yang diatur secara terpisah serta
terdapat beberapa pasal yang masih inkonsistensi antarketentuan.
8) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6 karena
tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan sehingga diperlukan
adanya revisi.
9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), (4), Pasal 46, Pasal 66, Pasal 69 ayat (1),
Pasal 98, Pasal 99, Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 108 karena tidak
sesuai dengan variabel Bahasa, istilah dan kata serta terdapat teknik
penulisan yang kurang tepat yang dapat memicu permasalahan dan
konflik baru.
58
10) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) perlu diubah pada Pasal 1, Pasal 8 dan Pasal 20 ayat (1)
karena tidak sesuai dengan variabel Bahasa, istilah dan kata,
diperlukan adanya ketegasan penggunaan variabel tersebut dalam UU
ini.
11) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 10 - Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 70 serta perlu dicabut
pada Pasal 8, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penulisan,
sehingga perlu adanya revisi pada penulisan tujuan dan ruang lingkup
serta tidak perlu adanya pemisahan pada pengaturan terkait sanksi.
12) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 60 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 64 ayat (4), Pasal 150
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Bab XVI Ketentuan Pidana Pasal 151 –
Pasal 163, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan
sehingga diperlukan adanya revisi.
13) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
perlu diubah pada Pasal Pasal 2, Pasal 3, Pasal 23 ayat (4), Pasal 24
ayat (2), Pasal 54 Pasal 55, Pasal 63, karena tidak sesuai dengan
variabel teknik penulisan.
14) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun tentang
Informasi Geospasial perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
97, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 117, dan Pasal 119, karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan serta adanya kekosongan
pengaturan terhadap satu pasal yang merujuk pada PUU lain namun
belum adanya PUU tersebut.
15) Undang-Undang Nomor UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (telah dilakukan pada tahun 2016) perlu diubah pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 71, dan Pasal 72, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan, pengaturan terkait sanksi penyusunannya direkomendasikann untuk disatukan.
16) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 107, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan.
59
17) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah perlu diubah pada Pasal 12 karena perlu adanya penyesuaian dengan nomenklatur lembaga yang ada.
18) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan perlu diubah pada Pasal 2, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan, terkait dengan maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
19) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri perlu diubah pada Pasal 2 Bab IX Ketentuan Lain, karena tidak sesuai dengan variable teknik penyusunan.
20) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota perlu diubah pada Pasal 2, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan, terkait dengan tujuan penyelenggaraan hutan kota dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang dan dalam naskah akademiknya.
21) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 9 ayat (1), karena Asas tidak termasuk dalam kategori meta norma yang harus dituangkan dalam ketentuan pasal atau bab tersendiri, namun dalam ketentuan umum.
22) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol perlu
diubah pada Pasal 2, karena tidak sesuai dengan variabel teknik
penyusunan, terkait dengan maksud, tujuan dan penyelenggaraan
jalan tol dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran
undang-undang dan dalam naskah akademiknya.
23) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung perlu diubah pada Pasal 2 dan Pasal 3, karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan.
24) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan perlu
diubah pada Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4, karena tidak sesuai dengan
variabel teknik penyusunan.
25) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
sebagaimana telah diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH Nomor
3 Tahun 2008 perlu diubah pada Pasal 33 (Nama PERATURAN
PEMERINTAH), karena tidak sesuai dengan variabel penggunaan
60
Bahasa, istilah dan kalimat pada UU ini perlu adanya kejelasan dan
ketegasan.
26) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang perlu diubah pada Pasal 1, Pasal 2
dan Pasal 51, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan
dan penggunaan Bahasa.
27) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan
Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang perlu
diubah pada Pasal 4, karena tidak sesuai dengan variabel teknik
penyusunan.
28) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan
dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara perlu diubah pada
Pasal 2, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan.
29) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut
UU Informasi Geospasial perlu diubah pada Pasal 2, karena tidak
sesuai dengan variabel teknik penyusunan.
30) Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu diubah
pada Pasal 12 ayat (2), karena tidak sesuai dengan variabel Bahasa,
istilah dan kata pada UU ini direkomendasikan untuk lebih tegas, jelas
dan singkat.
31) Permenhut Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pembatasan Luasan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam,
IUPHHK Hutan Tanaman Industri, Atau IUPHHK Restorasi Ekosistem
Pada Hutan Produksi perlu diubah pada Pasal 2, karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan.
32) Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan
Industri perlu diubah pada Pasal 2 ayat (2), karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan.
33) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur perlu diubah pada Pasal 2 dan Pasal 5, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan.
34) Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan
perlu diubah pada Pasal 2 dan Pasal 6, karena tidak sesuai dengan
variabel teknik penyusunan.
61
35) Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan
Takalar perlu diubah pada Pasal 6 dan Pasal 26, karena tidak sesuai
dengan variabel teknik penyusunan.
36) Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo
perlu diubah pada Pasal 3, karena tidak sesuai dengan variabel
penggunaan Bahasa/kata pada UU ini perlu adanya perubahan,
khususnya pada kata berperan sebaiknya diganti dengan kata harus
digunakan.
37) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun perlu diubah pada Pasal
3 dan Pasal 6, karena tidak sesuai dengan variabel penggunaan
Bahasa/kata pada UU ini perlu adanya perubahan, khususnya pada
kata berperan sebaiknya diganti dengan kata harus digunakan.
38) Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya perlu diubah pada Pasal 3
dan Pasal 21 ayat (7), karena tidak sesuai dengan variabel
penggunaan Bahasa/kata pada UU ini perlu adanya perubahan,
khususnya pada kata berperan sebaiknya diganti dengan kata harus
digunakan.
39) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merap perlu diubah pada
Pasal 3, karena tidak sesuai dengan variabel penggunaan Bahasa/kata
pada UU ini perlu adanya perubahan, khususnya pada kata berperan
sebaiknya diganti dengan kata harus digunakan.
40) Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya perlu diubah pada Pasal 3 dan Pasal 6, karena tidak sesuai dengan variabel penggunaan Bahasa/kata pada UU ini perlu adanya perubahan, khususnya pada kata berperan sebaiknya diganti dengan kata harus digunakan.
41) Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan perlu diubah pada Pasal 2 , Pasal 3 , Pasal 17, Pasal 21, Pasal 45 ayat (3), Pasal 47 ayat (3), Pasal 64, dan Pasal 83 ayat (3), karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan dan penggunaan Bahasa, perlu adanya perubahan di dalam penggunaan Bahasa ataupun singkatan pada UU ini.
42) Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur
62
perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 46 ayat (3), Pasal 49 ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 52 ayat (3), Pasal 81 , dan Pasal 89 ayat (3), karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan, suatu Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup dan perlu adanya kejelasan terkait instrumen hukum yang digunakan.
43) Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua perlu diubah Pasal 2 , Pasal 3 Pasal 17 ayat (7), Pasal 18 ayat (5), Pasal 22 ayat (5) Pasal 33 ayat (7), Pasal 34 ayat (4), Pasal 35, Pasal 51 ayat (3), Pasal 52 ayat (3), Pasal 64 ayat (3), Pasal 77, Pasal 110 huruf c, dan Pasal 129, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan, suatu Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup dan perlu adanya kejelasan terkait instrumen hukum yang digunakan.
44) Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku perlu diubah pada Pasal 2 , Pasal 3 , Pasal 9 ayat (1) , Pasal 17 ayat (7), Pasal 22 ayat (5), Pasal 32 ayat (7), Pasal 33 ayat (4), Pasal 35, Pasal 42 ayat (1), Pasal 46 ayat (3), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (3), Pasal 61 ayat (3), dan Pasal 73, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan, suatu Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup dan perlu adanya kejelasan terkait instrumen hukum yang digunakan.
45) Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat perlu diubah pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 17 ayat (7), Pasal 21 ayat (5), Pasal 23 ayat (4), Pasal 32 ayat (7), Pasal 33 ayat (4), Pasal 34, Pasal 45 ayat (3), Pasal 47 ayat (3), Pasal 48 ayat (3), Pasal 60 ayat (3), Pasal 73, Pasal 81 ayat (4) huruf c, dan Pasal 89 ayat (3), karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan, suatu Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup dan perlu adanya kejelasan terkait instrumen hukum yang digunakan.
46) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 perlu diubah pada Pasal 37, karena tidak sesuai dengan variabel teknik penyusunan.
3. Dari hasil analisis berdasarkan kesesuaian norma dengan asas materiil, 19
(sembilan belas) PUU dinilai masih terdapat ketentuan pasal yang tidak
sesuai dengan asas materiil. Berikut data hasil penilaian tersebut:
63
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu diubah pada Pasal 37
karena tidak sesuai dengan variabel jaminan terhadap keikutsertaan
masyarakat local.
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung perlu diubah pada Pasal 39 karena tidak sesuai dengan variabel ketentuan yang jelas mengenai akuntabilitas pengelolaan.
3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 perlu diubah pada Pasal 39 karena tidak sesuai dengan variabel
Tidak ditemukannya ketentuan yang membatasi keikutsertaan pihak
asing.
4) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan perlu diubah
pada Pasal 13, Pasal 14, Pasal 51, Pasal 59, Pasal 61, dan Pasal 65
karena tidak sesuai dengan variabel:
- Peluang yang sama bagi setiap warga negara terhaap akses pemanfaatan sumber daya;
- Mengedepankan fungsi kepentingan umum; - Mengedepankan fungsi kepentingan umum; - Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran; - Pengedepanan kepemilikan dan keikutsertaan nasional; - Pembagian kewenangan pusat dan daerah; - Transparansi /keterbukaan; - Adanya penggantian kerugian pada masyarakat daerah terpencil; - Adanya penggantian kerugian kepada masyarakat terjena dampak
negatif; - Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran.
5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang perlu
diubah pada Pasal 10 ayat (4) karena tidak sesuai dengan variabel
pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.
6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan &
Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu diubah pada Pasal 14 karena
tidak sesuai dengan variabel aturan dan kebijakan berdasarkan kajian
ilmiah.
7) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus perlu diubah pada Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 11
karena tidak sesuai dengan variabel:
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan masyarakat;
64
- Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya prinsip kehati-hatian;
- Adanya ketentuan yang menjamin pelibatan seluruh pihak terdampak dalam pembentukan kebijakan;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan masyarakat;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya prinsip kehati-hatian;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terjaminnya perlindungan masyarakat;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya prinsip kehati-hatian
8) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman perlu diubah pada Pasal 42 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), Pasal 60, Pasal 66 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 109, Pasal 137, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 146 ayat (2) karena tidak sesuai dengan variabel: - Akuntabilitas pengelolaan; - Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah; - Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran
9) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial perlu diubah pada Pasal 54 karena tidak sesuai dengan variabel: - Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terbatasnya keikutsertaan pihak asing; - Tidak ditemukannya ketentuan yang mengesampingkan
kepentingan nasional. 10) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun perlu
diubah pada Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 43, karena tidak sesuai dengan variabel: - Kejelasan mengenai pihak yang melakukan pengawasan dan
penegakkan hukum; - Transparansi/keterbukaan; - Ketentuan yang jelas mengenai akuntabilitas pengelolaan.
11) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Sebagaimana Telah diubah Dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 perlu diubah pada Pasal 7 dan Pasal 48 karena tidak sesuai dengan variabel: - Mengedepankan prinsip kehati-hatian; - Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terbatasnya keikutsertaan pihak asing. 12) 12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian perlu
diubah pada Pasal Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27,
65
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 91 dan Pasal 92, karena tidak sesuai dengan variabel: - Pengutamaan kepemilikan dan peranan nasional; - Pembatasan keikutsertaan pihak asing; - Transparansi/keterbukaan; - Kejelasan aturan mengenai koordinasi; - Mengedepankan prinsip kehati-hatian; - Peningkatan kemandirian bangsa.
13) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah perlu diubah pada Pasal 249 – Pasal 251 karena tidak sesuai dengan variabel adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas dan efisien.
14) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri perlu diubah pada Pasal 15, Pasal 18 ayat (3), Pasal 23, pasal 25, Pasal 28 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 33, Pasal 36 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 44 ayat (2), pasal 48 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (5), karena tidak sesuai dengan variabel: - Memperlakukan semua orang secara seimbang tanpa diskriminasi; - Aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah.
15) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota perlu diubah pada Pasal 19 karena tidak sesuai dengan variabel: - Adanya ketentuan yang menjamin akuntabilitas
pengelolaan/tidak; - Ditemukan ketentuan yang dapat menyebabkan tidka terjaminnya
akuntabilitas pengelola. 16) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah perlu diubah pada Pasal 11 karena tidak sesuai dengan variabel: - Mengedepankan kepentingan umum; - Mengedepankan prinsip kehati-hatian.
17) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang perlu diubah pada Pasal 10 ayat (4) karena tidak sesuai dengan variabel pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.
18) Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu diubah pada Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18 karena tidak sesuai dengan variabel: - Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan
pengawasan dan penegakan hukum; - Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan
pengawasan dan penegakan hukum.
66
19) Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri perlu diubah pada Pasal 41, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 46, Pasal 51 dan Pasal 52 karena tidak sesuai dengan variabel: - Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan
pengawasan dan penegakan hukum; - Adanya ketentuan yang menjamin transparansi (keterbukaan)/
tidak; - Ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya
transparansi (keterbukaan); - Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas dan efisien; - Tidak ditemukannya ketentuan mengenai prosedur yang jelas dan
efisien.
4. Dari hasil penilaian berdasarkan potensi disharmoni, terdapat beberapa
ketentuan pasal yang disharmoni, baik dari aspek kewenangan,
perlindungan maupun penegakan hukumnya.
a. Aspek kewenangan:
- UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil sebagaimana diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 terkait
pengelolaan penataan ruang darat dan ruang laut dan juga terkait
kewenangan antara Kementerian Agraria/Tata Ruang dengan
Kementerian Kelautan Perikanan.
- UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, yaitu
antara Pasal 54, 55 dengan Pasal 23 Ayat 4 terkait dengan
kebolehan penyelenggaraan Informasi Geospasial Tematik (IGT).
IGT merupakan bagian dari IG sehingga ketentuan Pasal 54 dapat
disalahartikan bahwa IGT juga dapat diselenggarakan oleh pihak
lain selain pemerintah.
- UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lampiran UU mengenai pembagian urusan
pemerintah konkuren huruf Y Nomor 1), dimana pembagian urusan
pemerintahan konkuren sub bidang kelautan, pesisir dan pulau-
pulau kecil (huruf Y Nomor 1), pada lampiran ini tidak memberikan
tugas perencanaan WP3K kepada Pemda.
- UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan UU No 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil terkait amanat penetapan RTRW dengan Perda, sementara
RZWP3K juga dituangkan dalam Perda tersendiri yang terpisah
67
dengan RTRW. Jika RTRW dan RZWP3K sama-sama disusun &
ditetapkan dalam Perda yang berbeda, maka berpotensi tumpang
tindih pengaturan terhadap wilayah administrasi kecamatan yang
ada dipesisir, sehingga keterpaduan penatan ruang wilayah menjadi
sulit diwujudkan.
- UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang terkait penetapan rencana detail tata ruang,
dimana menurut UU Pemda penetapan RDTR merupakan
kewenangan Pemerintah Pusat sementara menurut UU Penataan
Ruang dan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang penetapan RDTR merupakan kewenangan
pemerinta daerah.
- Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pengaturan Jarak Bebas
SUTET dengan Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2015 tentang Ruang
Bebas dan Jarak Bebas Minimum pada Saluran Udara Tegangan
Tinggi, Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi dan Daluran Udara
Tegangan Tinggi Arus Searah Untuk Penyaluran Tenaga Listrik
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang terkait kelembagaan Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang tidak memiliki
hubungan hierarki dengan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
(BKPRN) yang sudah dibubarkan, sebab pembentukan BKPRD
bukan amanat dari Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2009
tentang Pembentukan BKPRN.
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011
tengan Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dimana kawasan pertambangan tidak diatur dalam perda
68
tata ruang, kemudian juga terkait dengan persetujuan dan
penyelesaian hak atas tanah.
b. Aspek Perlindungan
Tidak seragamnya skala peta dasar RTRW dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 dan RZWP3K dalam Permen KP
Nomor 16/MEN/2008. Dengan demikian, penanganan penataan
ruang masih belum dapat memperoleh data peta yang seragam.
5. Dari hasi penilaian berdasarkan efektivitas pelaksanaan PUU hasil analisis
berdasarkan efektivitas pelaksanaan PUU di bidang kehutanan, masih
terdapat beberapa kendala, baik dari aspek substansi hukum, struktur
hukum maupun budaya hukumya, yaitu:
1) Masalah Substansi Hukum
- Masih terdapat kendala dalam penilaian legalitas pertanian di
beberapa daerah;
- Belum adanya pengaturan property right untuk ruang bawah tanah
(ruang dalam bumi) sebagai penjabaran/turunan UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
- Nomenklatur yang terlalu bervariasi menyebabkan pengaturan
yang tidak efektif;
- Belum terdapat peraturan terkait proses peninjauan kembali RDTR
dan PZ, sehingga proses revisi dalam rangka peninjauan kembali
dilakukan dengan proses yang sama dengan penyusunan baru;
- Tidak menjadi acuan oleh SKPD dalam penyusunan
program/kegiatan karena belum terdapat ketentuan tentang
penatagunaan tanah, air dan udara yang mengatur ketentuan
teknisnya;
- Belum terdapat peraturan terkait insentif dan disinsentif dalam
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
2) Masalah Struktur Hukum
- Masih sangat terbatasnya sarana dan prasarana Badan Informasi
Geospasial yang harusnya menyediakan peta dasar dengan skala
terkecil 1:10.000 dalam menunjang penataan ruang wilayah;
- Belum tuntasnya penataan kelembagaan di daerah pasca
pembentukan Kementerian ATR/BPN yang menggabungkan
masalah agrarian dan tata ruang;
69
- Keterbatasan lahan dalam penerapan 30% Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di perkotaan.
3) Masalah Budaya Hukum
- Rasio pidana penjara dan denda yang tidak berpola dan kurang
mempertimbangkan tingkat solvency masyarakat dan korporasi
pada UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
- Masyarakat tidak mendapatkan status hak milik pada lokasi yang
tidak sesuai dengan zonasinya. Padahal terdapat kegiatan-kegiatan
yang diizinkan terbatas, diizinkan bersyarat pada zona-zona
tersebut;
- Lemahnya pengawasan dan sanksi dalam penetapan RTRW di
daerah, sebab dalam pelaksanaannya ternyata banyak provinsi
yang RTRW-nya baru ditetapkan lebih dari 5 (lima) tahun sejak
ditetapkannya UU tersebut khususnya provinsi yang wilayahnya
mempunyai kawasan hutan yang relatif luas seperti Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau, Kepulauan
Riau dan Sumatera Utara.
B. Rekomendasi Umum
- Perlu dikaji ulang terminologi pengelolaan dalam perspektif UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan UU Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
- Perlu dikaji ulang definisi ruang menurut UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, dimana ruang adalah wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, sementara substansi yang diatur hanya
ruang darat;
- Perlu didorong agar provinsi lebih mempercepat penyusunan RTRW
Provinsi, karena secara berjenjang/hierarki RTRW Provinsi akan menjadi
rujukan bagi penetapan RTRW Kab/Kota;
- Perlu mendorong Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk mengejar
kekurangan data skala terkecil seluruh Indonesia, mengingat penyediaan
peta skala besar yang disediakan BIG sangat diperlukan sementara
kemampuan yang ada saat ini belum memadai;
70
- Perlu percepatan penataan organisasi yang mengurusi tata ruang secara
terintegrasi dengan land use dan land register (sperti yang ada di pusat) di
seluruh daerah;
- Perlu diatur mengenai property right untuk ruang bawah tanah (ruang
dalam Bumi);
- Perlu ada solusi antara kebutuhan RTH dengan luas lahan perkotaan yang
semakin sempit. Misalnya bekerjasama dengan pengembang untuk
menyediakan RTH 30%. Memaksimalkan ruang-ruang kosong di
perkotaan untuk dijadikan taman kota, fasilitas publik dan lainnya.
C. Rekomendasi Khusus
Rekomendasi terhadap masing-masing ketentuan peraturan perundang-
undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
direkomendasikan diubah.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati & Ekosistemnya direkomendasikan diubah.
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
direkomendasikan diubah.
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
direkomendasikan diubah.
5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan direkomendasikan
diubah.
6. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
direkomendasikan diubah.
7. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara direkomendasikan diubah.
8. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup direkomendasikan diubah.
9. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) direkomendasikan diubah.
10. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan direkomendasikan diubah.
71
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan
Pemukiman direkomendasikan diubah.
12. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial direkomendasikan
diubah.
13. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun direkomendasikan
diubah.
14. UU Nomor UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1
Tahun 2014 (telah dilakukan pada tahun 2016) direkomendasikan diubah.
15. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
direkomendasikan diubah.
16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan UU Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah direkomendasikan diubah.
17. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
direkomendasikan diubah.
18. Undang-Undang Nomor UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
direkomendasikan dipertahankan.
19. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap
Bangun Dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri
direkomendasikan di ubah.
20. Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota
direkomendasikan diubah.
21. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah direkomendasikan di ubah.
22. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
direkomendasikan diubah.
23. Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung direkomendasikan diubah.
24. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan direkomendasikan diubah.
25. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
sebagaimana telah diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH Nomor 3
Tahun 2008 direkomendasikan di ubah.
72
26. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 direkomendasikan di ubah.
27. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang direkomendasikan di ubah.
28. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata
Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang direkomendasikan di
ubah.
29. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara direkomendasikan diubah.
30. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan
Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman
direkomendasikan di ubah.
31. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
direkomendasikan di ubah.
32. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut UU Informasi Geospasial direkomendasikan diubah.
33. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025 tetap.
34. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang direkomendasikan di ubah.
35. Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakart, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur direkomendasikan di ubah.
36. Perpres Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan direkomendasikan di ubah.
37. Perpres Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar
direkomendasikan di ubah.
38. Perpres Nomor 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo direkomendasikan di ubah.
39. Perpres Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun direkomendasikan di ubah.
40. Perpres Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya direkomendasikan di ubah.
41. Perpres Nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi direkomendasikan di ubah.
42. Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya direkomendasikan di ubah.
73
43. Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara Di Kalimantan direkomendasikan di ubah.
44. Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur direkomendasikan di ubah.
45. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua direkomendasikan di ubah.
46. Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku direkomendasikan di ubah.
47. Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara Dan Provinsi Papua Barat direkomendasikan di ubah.
74
Lampiran
TABEL ANALISIS MASING-MASING PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BERDASARKAN 5 (LIMA) DIMENSI ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terdiri dari 80 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang direkomendasikan di Ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sebagaimana petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
- Tujuan harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkan.
- Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan UU diubah dan dimasukkan dalam Bab I Ketentuan Umum atau Penjelasan Umum atau tercermin dalam Naskah Akademik.
ubah
3. Pasal 7 Ayat (3) Kejelasan Rumusan
- Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Dalam penjelasannya ketentuan PUU nya tidak disebutkan PUU
ubah
75
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
yang mana atau apa saja yang terkait, sehingga kurang jelas. - Sebaiknya dalam penjelasan juga dirujuk ketentuan PUU yang
dimaksud.
4. Pasal 10 Ayat (7)
Kejelasan Rumusan
- Dalam hal Pemerintah Daerah Provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Dalam penjelasannya ketentuan PUU nya tidak disebutkan PUU yang mana atau apa saja yang terkait, sehingga kurang jelas.
- Sebaiknya dalam penjelasan juga dirujuk ketentuan PUU yang dimaksud.
ubah
5. Pasal 11 Ayat (6)
Kejelasan Rumusan
- Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah Daerah Provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Dalam penjelasannya ketentuan PUU nya tidak disebutkan PUU yang mana atau apa saja yang terkait, sehingga kurang jelas.
- Sebaiknya dalam penjelasan juga dirujuk ketentuan PUU yang dimaksud.
ubah
6. Pasal 57 Kejelasan Rumusan
- Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Ayat (2), pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pasal ini tidak sesuai dengan teknik penyusunan PUU - Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan
ubah
76
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
- Selain itu, dalam Pasal 57 juga tidak menjelaskan jenis sanksi secara detail apakah sanksi tersebut merupakan sanksi administartif, sanksi pidana atau sanksi perdatan. Dalam Pasal 57 hanya disebutkan sanksi sesuai dengan ketentuan PUU, dan di penjelasan pasalnya dikatakan cukup jelas.
- Oleh karena itu direkomendasikan diatur kejelasan sanksinya untuk memenuhi asas kepastian hukum.
7. Pasal 61, 62 dan 63, 64
Kejelasan Rumusan
- Pasal 61, 62 dan 63 dan 64 mengatur persoalan sanksi. - Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
- Kemudian jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan tersebut dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanki pidana, sanksi perdata, dan sanki administratif dalam satu bab;].
- Oleh karena itu Pasal 61, 62 dan 64 seharusnya disusun dalam satu pasal.
ubah
77
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
8. Pasal 10 Ayat (4)
Kejelasan Rumusan
- Pada penjelasan pasal tidak dijelaskan tugas pembantuan itu apa. Oleh karena itu ditambahkan maksud dari tugas pembantuan sehingga ada kejelasan pembagian kewenangannya.
ubah
9. Pasal 14 Ayat (2), Pasal 22 Ayat (1), Pasal 25 Ayat (1), Pasal 28
Efektivitas - Masih terdapat kendala dalam penilaian legalitas pertanahan di beberapa daerah sehingga seringkali Perda RTRW provinsi lebih lambat ditetapkan dibandingkan dengan Perda RTRW Kab/kota.
- Dari segi Aspek operasional atau tidaknya PUU, Pengaturan dalam PUU masih blm dilaksanakan secara efektif.
ubah
10. - Efektivitas - Kawasan pertambangan tidak diperintahkan untuk diatur dalam perda tata ruang, wilaya pertambangan mempunyai pedoman tersendiri, sehingga seringkali tidak sinkron dengan RTRW yang sudah dicanangkan, terutama gesekan antara kawasan hutan, kawasan pertanian dan kawasan pertambangan.
- Hal ini juga dikarenakan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba tidak mengatur bahwa wilayah pertambangan merupakan bagian integral dari penataan ruang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang, artinya penataan ruang membutuhkan penanganan yang komprehensif, termasuk wilayah pertambangan.
Direkomendasikan mewajibkan kawasan tambang agar masuk dalam RTRW daerah, hal ini dapat dituangkan dalam perubahan UU tentang Minerba.
78
2. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati & Ekosistemnya
Terdiri dari 45 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati & Ekosistemnya
direkomendasikan di Ubah
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan
Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c
dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
ubah
2. Pasal 3 Kejelasan
Rumusan
- Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat didirekomendasikankan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkan.
- Direkomendasikan ditambahkan kata “harus” sebagai operator norma tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi jika tidak tercapai tujuannya.
ubah
3. Pasal 4 Kejelasan
Rumusan
- Bunyi pasal ini menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya “merupakan” tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan masyarakat. Norma yang dituliskan pada pasal ini hanya berupa pernyataan tanpa
ubah
79
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
mengandung suatu operator normanya. Sebaiknya norma tertulis operator misalnya kata “harus” sehingga memiliki konsekuensi jika tidak dilaksanakan.
4. Pasal 27 Kejelasan
Rumusan
- Peran serta yang dimaksud dalam UU ini menunjukkan bahwa masyarakat berada di posisi menerima keputusan atau kebijakaan konservasi dan harus diarahkan, digerakkan, diberi penyuluhan dan pendidikan supaya sadar akan konservasi. Pengertian peran serta ini faktanya tidak dapat menjadi solusi terhadap permasalahan yang terjadi di dalam praktek konservasi di lapangan. Karena permasalahannya bukan mengajak masyarakat untuk sadar konservasi, namun menempatkan masyarakat langsung sebagai pelaku dan mitra dalam upaya konservasi itu sendiri.
ubah
5. Pasal 40 Ayat
(2) dan Ayat
(3)
Kejelasan
Rumusan
- Ancaman pidana bagi yang melanggar paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Dengan belum adanya kasus yang dikenakan dengan ancaman tersebut, membuktikan bahwa kebijakan yang ada tidak enforceability (memiliki daya paksa). Demikian juga ancaman tersebut tidak membuat jera atau takut bagi pelanggar ketentuan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan masih maraknya kegiatan illegal logging di kawasan konservasi. Kondisi ini juga lebih didorong tidak jelasnya kepastian hukum.
ubah
6. Pasal 37 Kesesuaian
Norma
- Pada Ayat (1) dinyatakan bahwa tentang “peran serta rakyat”. Peran serta yang dimaksud menunjukkan bahwa masyarakat
ubah
80
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
ddengan Asas berada di posisi menerima keputusan atau kebijakaan konservasi dan harus diarahkan, digerakkan, diberi penyuluhan dan pendidikan supaya sadar akan konservasi. Pengertian peran serta ini faktanya tidak dapat menjadi solusi terhadap permasalahan yang terjadi di dalam praktek konservasi di lapangan. Karena permasalahannya bukan mengajak masyarakat untuk sadar konservasi, namun menempatkan masyarakat langsung sebagai pelaku dan mitra dalam upaya konservasi itu sendiri.
- Dalam prakteknya di lapangan, rakyat seringkali dijadikan sebagai korban dalam penunjukan atau penetapan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi, baik Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, maupun Taman Nasional. Masyarakat di sekitar wilayah konservasi tidak dilibatkan secara aktif dalam penunjukkan atau penetapan tersebut, hak dan kearifan masyarakat sering kali diabaikan dalam pengelolaan kawasan konservasi tersebut.
- Bahkan di beberapa lokasi, masyarakat yang sudah lama tinggal
di dalam kawasan konservasi diusir akibat penunjukan atau
penetapan tersebut. Konflik di dalam kawasan konservasi
Indonesia tidak dapat terelakkan karena menempatkan rakyat
atau masyarakat di dalam dan sekitar konservasi bukan menjadi
bagian dalam pengelolaan konservasi.
81
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
- TIDAK SESUAI DENGAN ASAS Kemanusiaan, DENGAN
INDIKATOR: Jaminan terhadap keikutsertaan masyarakat lokal
7. Konsep
konservasi
dalam UU
Potensi
disharmoni
(perbedaan
konsep/definisi)
Salah satu konflik yang timbul dari tata kelola konservasi adalah
adanya ketidaksamaan persePasali terhadap “hutan konservasi”.
Pendefinisian hutan konservasi selama ini menunjukkan ketidak
konsitenan sebagai akibat perbedaan penafsiran definisi yang
terdapat pada perbagai PUU, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak menyebutkan istilah kawasan konservasi, tetapi menggunakan istilah Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan adanya “kawasan konservasi” pada Pasal 23 Ayat (1) huruf e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya.
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak digunakan istilah kawasan konservasi, tetapi hutan konservasi, yang terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru. Di dalam
ubah
82
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Undang-Undang ini fungsi lindung dipisahkan dari fungsi konservasi. Jadi, hutan lindung tidak termasuk hutan konservasi.
8. - Efektivitas
pelaksanaan
PUU (aspek
kekosongan
hukum/aturan)
Adanya tumpang tindih dan ketidak jelasan pengertian dari istilah-
istilah yang digunakan untuk menamakan kategori maupun tujuan
dari kategori. Misalnya, dari sudut bahasa dan ekologi, apa
sebenarnya arti yang tepat dari “konservasi”, “pelestarian”,
“pengawetan”, “perlindungan”, “cagar”, dan “suaka”? Dalam
ketentuan peraturan-peraturan yang ada, khususnya menurut
ketentuan Pasal 1, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
disebutkan bahwa “Konservasi sumber daya alam hayati adalah
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaanya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya”. Definisi tersebut tidak menjelaskan
bagaimana sifat atau cara pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati,
tetapi menjelaskan pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati.
Pemanfaatan hanyalah sebagian kecil dari pengelolaan. Jadi definisi
tersebut juga tidak memberikan penjelasan tentang istilah
konservasi.
ubah
83
3. UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Terdiri dari 49 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung direkomendasikan di Ubah. UU ini tidak tepat
diuangkan dalam bentuk UU, karena tidak dalam rangka mengatur lebih lanjut UUD 1945, sehingga direkomendasikan
untuk diatur dalam jenis PUU dibawahnya, bisa dalam jenis Peraturan Pemerintah (dengan merujuk UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri yang bersifat lebih teknis.
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. - Nama UU; - Dasar Hukum
UU; - Politik Hukum
UU.
Ketepatan Jenis PUU
A. Analisis terhadap nama UU: Di dalam petunjuk Nomor 3 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maka dapat dikatakan bahwa judul Undang-Undang tersebut sudah memenuhi petunjuk yang terdapat di dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut dengan hanya menggunakan kata secara singkat namun secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan.
B. Analisis terhadap dasar hukum mengingat: Di dalam bagian dasar hukum mengingat disebutkan 2 Pasal UUD 1945 yaitu Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1):
- Pasal 5 Ayat (1), di dalam Pasal ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembentukan Undang-Undang ini dibentuk oleh pejabat yang tepat dalam hal ini Presiden
Direkomendasikan dikaji kembali apakah IG direkomendasikan diatur dengan UU, atau PUU di bawahnya.
Pengaturan IG dapat diatur denga PERATURAN PEMERINTAH (dengan merujuk UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), atau Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri yang bersifat
84
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
sebagai kepala Pemerintahan. - Pasal 20 Ayat (1), sama hal nya dengan Pasal 5 Ayat (1),
di dalam Pasal 20 Ayat (1) ini menunjukkan bahwa Undang-Undang ini dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang sah dalam pembentukan Undang-Undang.
Di dalam dasar hukum mengingat pada Undang-Undang ini hanyalah merujuk kepada 2 Pasal di dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menunjukkan bahwa pembentukan Undang-Undang ini adalah dibentuk oleh lembaga ataupun pejabat yang tepat dan berwenang. Dapat dikatakan bahwa ada kekosongan landasan materiil dalam Undang-Undang ini karena tidak ada landasan materiil yang dapat menjadi dasar hukum yang melatarbelakangi Undang-Undang tersebut.
Batang tubuh dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung ini berisikan perihal pengaturan mengenai fungsi, persyaratan, penyelenggaraan, pembinaan, sanksi dan lain sebagainya yang dapat dikatakan merupakan unsur-unsur yang bersifat teknis. Jika dibandingkan dengan Peraturan pelaksana dari UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yaitu PERATURAN PEMERINTAH Nomor 36 Tahun 2005 tentang
lebih teknis.
85
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Bangunan Gedung maupun Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung, isi batang tubuh dari ketiga Peraturan Perundang-undangan tersebut berisikan unsur teknis yang tidak terlalu banyak perbedaan. Dapat dikatakan materi muatan pada UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung ini lebih tepat jika dituangkan menjadi jenis PUU dibawah UU. Seperti yang terdapat didalam Penjelasan umum Undang-Undang tersebut yang menguraikan perihal bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam pengaturan bangunan tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang. Dari uraian tersebut dapat menjadi dasar bahwa apabila Undang Undang dijadikan PERATURAN PEMERINTAH maka dapat merujuk pada Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 atau bisa juga dijadikan Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri.
Mengenai kebutuhan sanksi pada Undang Undang ini maka dapat diatur dengan adanya sanksi administratif seperti contohnya sanksi denda, pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin ataupun bisa dengan sanksi paksa yang dilakukan oleh pemerintah (besturdwang).
86
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
c. Analisis terhadap Politik Hukum
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produkti√itas, dan jati diri manusia. oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung direkomendasikan diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri serta seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa bangunan gedung menjadi penting sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya untuk mencapai berbagai sasaran yang menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional.
Dari penjelasan tersebut dapat tersajikan dengan jelas, bahwa kebutuhan pengaturan mengenai Bangunan Gedung menjadi hal yang penting, namun tidak tepat jika dituangkan dalam PUU jenis Undang-Undang.
Kesimpulan Analisis:
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung tidak tepat dituangkan dalam bentuk UU, karena tidak dalam rangka mengatur lebih lanjut UUD 1945, sehingga
87
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
direkomendasikan untuk diatur dalam jenis PUU dibawahnya, dapat menjadi PERATURAN PEMERINTAH (dengan merujuk UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri yang bersifat lebih teknis.
2. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
3. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Sesuai dengan petunjuk yang terdapat di Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 angka 98, tujuan yang terdapat di Pasal 3 Undang-undang Nomo 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur mengenai tujuan pengaturan bangunan gedung tidak direkomendasikan diatur dengan pasal tersendiri.
Ubah
4. Pasal 4 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup tidak direkomendasikan dibuat dalam pasal tersendiri, tetapi dimasukkan dalam pasal ketentuan umum dengan megikuti petunjuk dalam lampiran II Nomor 109 huruf a UU Pembentukan PUU dimana pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus
Ubah
5. Pasal 39 Kejelasan Di dalam Pasal 39 berisikan pengaturan mengenai Ubah
88
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Rumusan Pembongkaran. Namun di dalam pasal ini tidak ada pengaturan yang lebih terperinci mengenai pembongkaran bangunan gedung tersebut. Sepatutnya pengaturan mengenai pembongkaran Bangunan Gedung menjadi satu perhatian khusus yang diatur secara jelas dan lengkap.
6. Pasal 44 dan Pasal 45
Kejelasan Rumusan
Pengaturan mengenai sanksi administrasi dan sanki pidana disarankan untuk dipisahkan dan tidak didalam satu bab yang sama yang berisikan sanksi administratif, sanksi keperdataan dan sanksi pidana. Di dalam sanksi administrasi pun terintegrasi dengan mengurutkan dengan pasal sebelumnya yang berisikan pelanggaran apabila dilakukan .
Ubah
7. Pasal 46 dan Pasal 47
Kejelasan Rumusan
Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. Dalam memurumuskan ketentutan pidana direkomendasikan diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam buku kesatu Kitab Undang-Undan Hukum Pidana, karena ketentutan dalam buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan-perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di dalam Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 ini direkomendasikan adanya pertimbangan lebih lanjut dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda karena mempengaruhi dampak yang
Ubah
89
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
akan timbul oleh tindak pidana di dalam masyarakat.
Disarankan adanya pemisahan antara sanksi pidana dan sanksi administrasi, tidak di dalam satu bab yang sama. Pengkhususan penyebutan sanksi pidana yang akan dijerat oleh pelaku pelanggaran juga diharapkan lebih memiliki penjelasan yang lebih terperinci agar tidak timbulnya multi tafsir di kemudian hari.
8. Pasal 49 Kejelasan Rumusan
Penyimpangan dapat saja terjadi saat/sebelum mulai berlakunya peraturan perundang-undangan, hendaknya dinyatakan secara tegas dengan peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Ubah
9. Pasal 39
(1) Bangunan gedung dapat dibongkar apabila: a. tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; b. dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan
Kesesuaian Norma
Di dalam Pasal 39 berisikan pengaturan mengenai Pembongkaran. Namun di dalam pasal ini tidak ada pengaturan yang lebih terperinci mengenai pembongkaran bangunan gedung tersebut. Sepatutnya pengaturan mengenai pembongkaran Bangunan Gedung menjadi satu perhatian khusus yang diatur secara jelas dan lengkap.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS Ketertiban dan kepastian hukum, DENGAN INDIKATOR : Ketentuan yang jelas mengenai akuntabilitas pengelolaan:
Ubah
90
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
bangunan gedung dan/atau lingkungannya; c. tidak memiliki izin mendirikan bangunan
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
Terdiri dari 84 (delapan puluh empat) pasal. Status pasal: - Pasal 1 angka 6, Pasal 4 Ayat (3) dan Pasal 5 Ayat (1), (2), dan (3) dibatalkan oleh MK (Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012); - Penambahan 2 pasal sisipan, yaitu Pasal 83A dan Pasal 83B berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
PERATURAN PEMERINTAH Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang;
- Pasal 50 Ayat (1), Ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf j, huruf k, dan Pasal 78 Ayat (1), Ayat (2) dicabut oleh UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Rekomendasi: UU ini direkomendasikan di Ubah dalam rangka simplifikasi regulasi, dan mengintegrasikan substansi dari UU No 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan kedalam UU Kehutanan karena kedua UU ini memiliki obyek dan politik hukum yang sama. Hal-hal yang bersifat teknis dapat diturunkan dalam bentuk PERATURAN PEMERINTAH atau Perpres. Sedangkan pengaturan pokok serta sanksi pidana mengenai pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dapat diintegrasikan ke dalam satu UU Kehutanan secara utuh.
91
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 1 Kejelasan Rumusan Kata “Negara” pada Pasal 1 Angka 6 dibatalkan oleh MK (Putusan MK. Nomor 35/PUU-X/2012). Sehingga direkomendasikan diubah dengan bunyi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Ubah
2. Pasal 2 Kejelasan Rumusan Dalam teknik penulisan norma, penyebutan asas tidak didirekomendasikankan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). Asas adalah nilai-nilai yang menjiawai seluruh norma yang berisi pengaturan. Hal ini sejalan dengan petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan asas-asas dicabut, cukup dielaborasi asas dalam naskah akademik. Jika memang ada suatu asas yang penting untuk dinormakan/normanisasi asas, maka direkomendasikan kalimat norma yang standar dan operasional.
Ubah
3. Pasal 3 Kejelasan Rumusan Ketentuan ini pada dasarnya juga pernyataan mengenai tujuan penyelenggaraan pangan, yang seharusnya temuat dalam penjelasan umum UU dan dalam naskah akademiknya. Jika sangat
Ubah
92
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
didirekomendasikankan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkam.
Misalnya rumusan diganti dengan: penyelenggaraan kehutanan harus ditujukan untuk:...... “ (Kata “harus” di sini berfungsi sebagai operator norma, dan dengan demikian memiliki konsekuensi jika penyelenggaraan kehutanan tidak ditujukan sebagaimana yang dimaksud).
4. Pasal 4 Kejelasan Rumusan Pasal 4 Ayat (3) dibatalkan oleh MK (Putusan MK. Nomor 35/PUU-X/2012). Pasal 4 Ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang
Ubah
5. Pasal 5 Kejelasan Rumusan Pasal 5 Ayat (1), (2), (3) dibatalkan oleh MK (Putusan. MK. Nomor 35/PUU-X/2012).
- Pasal 5 Ayat (1) bertentangan dengan Undang-
Ubah
93
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat.
- Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- Pasal 5 Ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- Pasal 5 Ayat (3), Frasa “dan Ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
6. Pasal 80 Kejelasan Rumusan Sanksi adminsitratif seharusnya diatur secara terintegrasi dengan pasal yang dikenai sanksi.
Ubah
94
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Petunjuk Nomor 64 Lampiran II UU Nomor 12/2011:
“Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan”.
Petunjuk Nomor 65:
“Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.”
7. Pasal 83A, Pasal 83B
Kejelasan Rumusan Penambahan oleh PERATURAN PEMERINTAH Nomor 1 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. Tambahan pasal ini bertentangan ketentuan Pasal 38, yang melarang penambangan terbuka di kawasan hutan lindung.
Ubah
95
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Bunyi Pasal 83A:
“Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.”
Catatan:
Direkomendasikan meninjau kembali PERATURAN PEMERINTAH Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan. PERATURAN PEMERINTAH ini memuat list 13 usaha pertambahan yang melakukan peratambangan di kawasan hutan. Status: masih berlaku.
8. Pasal 54 Kesesuaian Norma Pada Ayat (3) dinyatakan bahwa izin melakukan penelitian kehutanan Indonesia dapat diberikan kepada peneliti asing dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan pada Ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah wajib melindungi hasi penemuan ilmiah pengetahuan dan teknologi di bidang kehutanan
Direkomendasikan merevisi penjelasan pasal 54 Ayat (3)
96
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
sesuai dengan PUU yang berlaku.
Catatan:
Dalam penjelasan direkomendasikan disebutkan rujukan PUU nya, yaitu:
- Pasal 17 UU 18 /2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
- PERATURAN PEMERINTAH 41/2006 tentang Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, Dan Orang Asing;
- PERATURAN PEMERINTAH 12/2010 tentang Penelitian dan Pengembangan, Serta Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.
9. UU Kehutanan
Pasal 5 Ayat (3) Jo. Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang
Potensi Disharmoni (aspek Kewenangan)
Permasalahan yang menjadi polemik antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah penerbitan sertipikat yang merupakan pengakuan atas kepastian hukum terhadap penguasaan tanah oleh masyarakat yang terletak pada kawasan hutan.
Ubah
97
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Perencanaan Kehutanan
Izin yang dikeluarkan didalam kawasan hutan acap disebut bukan sebagai izin untuk memanfaatkan tanah, melainkan izin untuk memanfaatkan sumber daya hutan di atasnya, meski dalam beberapa hal ini tidak dapat disangkal adalah sebagai salah satu bentuk izin pemanfaatan tanah. Sebagai contoh, Izin pemanfaatan hutan tanaman dimana pemegang izin dapat menanami kawasan hutan adalah pula izin untuk memanfaatkan tanah tersebut. Pasal 5 (3) UU 41/1999 menyatakan bahwa penetapan status hutan dilakukan oleh Pemerintah, diatur lebih lanjut dalam Pasal 15 PERATURAN PEMERINTAH 44/2004 bahwa pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh Menteri (Ment. LHK). Hal ini bertentangan dengan Pasal 19 UU Nomor 5/1960 (UUPA) yang mengatur bahwa pendaftaran tanah dilakukan oleh BPN dan Pasal 2 Ayat (4) hanya memberikan dasar hukum bahwa penguasaan tanah hanya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, jika didirekomendasikankan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sehingga dengan kata lain, penguasaan Kement.
98
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
LHK terhadap tanah dalam kawasan hutan Negara tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Permasalahn ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya: - Tidak integralnya kawasan hutan dalam proses
penataan ruang, karena paradigma kehutanan adalah unit produksi, bukan bagian dari proses pengaturan tata ruang.
- Permasalahan hutan bukan diletakkan pada sumber daya yang ada di dalam hutan, namun lebih kepada masalah tenurial. Masalah penguasaan tanaha seringkali menjadi sumber konflik di antara pemangku kepentingan (antar kementerian, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, antara masyarakat dengan pemerintah atau antara masyarakat local dengan pemegang konsensi/lisensi yang diberikan oleh pemerintah).
- Adanya dualisme kebijakan administrasi pertanahan, di mana legalitas pemanfaatan tanah di kawasan hutan adalah izin Kemenhut, sedangkan di luar kawasan hutan menjadi kewenangan BPN. Hal ini berimplikasi pada munculnya aturan yang berbeda pada bidang
99
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
pertanian di dalam dan di luar kehutanan, kepastian hukum menjadi tidak terjamin.
10. Pasal 3 huruf b dan Pasal 6
Potensi Disharmoni (Perbedaan konsep/terminologi)
- konsep ‘fungsi lindung’ pola ruang yang ada dalamPasal 1 huruf 20, 21, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 23, Pasal 26 dan Pasal 33 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan ‘fungsi lindung’ kawasan hutan dalam Pasal 3 huruf b dan Pasal 6 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Direkomendasikan dilakukan harmonisasi
Pasal 1 huruf 9, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 36 dan Pasal 37
Potensi Disharmoni (Perbedaan konsep/terminologi)
- konsep konsep ‘konservasi’ dalam Pasal 1 huruf 9, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 36 dan Pasal 37 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan dengan konservasi yang dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 24 Potensi Disharmoni (Perbedaan konsep/terminologi)
- konsep ‘taman nasional’ yang diatur dalam Pasal 24 UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan ‘taman nasional laut’ yang menjadi kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 78A UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WP3K.
100
5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Terdiri dari 68 (enam puluh delapan) pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya
Rekomendasi : UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS Kebangsaan DENGAN INDIKATOR: Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terbatasnya keikutsertaan pihak asing
Ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Tujuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang dan dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan maka dirumuskan dalam salah satu butir pasal tentang ketentuan umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Ubah
3. Pasal 4 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada pasal 1 tentang ketentuan umum.
Ubah
101
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
4. Pasal 5
Kesesuaian Norma dengan Asas
Peran jalan sebagai sarana transportasi sudah tercermin dalam pasal ini, sehingga ketentuan dalam pasal ini sudah sesuai dengan asas materi muatan
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keadilan INDIKATOR: Peluang yang sama bagi setiap warga negara terhaap akses pemanfaatan sumber daya.
Ubah
5. Pasal 6 Kesesuaian Norma dengan Asas
Fungsi jalan sesuai peruntukannya bagi lalu lintas umum serta kelancaran distribusi barang dan jasa yang di butuhkan masyarakat umum. Ketentuan dalam pasal ini sudah sesuai dengan asas materi muatan.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keserasian, dan Keselarasan
INDIKATOR: Mengedepankan fungsi kepentingan umum
Ubah
6. Pasal 7 Kesesuaian Norma dengan Asas
Pembagian sistem jaringan jalan atas jaringan jalan primer dan sekunder merupakan satu sistem yang mengedepankan pembagian dari fungsi suatu jalan untuk pelayanan distribusi barang dan jasa untuk kepentingan umum. Ketentuan dalam pasal ini sudah sesuai dengan asas materi muatan
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
INDIKATOR: Mengedepankan fungsi kepentingan umum
Ubah
102
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
7. Pasal 12 Kesesuaian Norma dengan Asas
Yang dimaksud dengan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan adalah setiap bentuk tindakan atau kegiatan yang dapat mengganggu fungsi jalan, seperti terganggunya jarak atau sudut pandang, timbulnya hambatan samping yang menurunkan kecepatan atau menimbulkan kecelakaan lalu lintas, serta terjadinya kerusakan prasarana, bangunan pelengkap, atau perlengkapan jalan. Pasal ini sudah sesuai dengan asas materi muatan.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum
INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran
Ubah
8. Pasal 13 Kesesuaian Norma dengan Asas
Jalan merupakan fasilitas umum yang harus dikuasai oleh negara, karena berpengaruh kepada hajat hidup orang banyak. Ketentuan pasal ini sudah sesuai dengan asas materi muatan
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan
INDIKATOR: Pengedepanan kepemilikan dan keikutsertaan nasional
Ubah
9. Pasal 14 Kesesuaian Norma dengan Asas
Dalam Ayat (2) mengenai wewenang penyelenggaraan jalan nasional selain tentang pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan juga harus ditambahkan mengenai perencanaannya sehingga pembangunan jalan akan sinergis dengan rencana RTRW. Ketentuan pasal ini mesti diubah.
Ubah
103
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan
INDIKATOR: Pembagian kewenangan pusat dan daerah
10. Pasal 51 Kesesuaian Norma dengan Asas
Seharusnya pemerintah tidak melakukan kerjasama dengan pengusahaan jalan tol, cukup dilakukan oleh BUMN saja.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Transparansi/keterbukaan
Ubah
11. Pasal 59 Kesesuaian Norma dengan Asas
Ketentuan dalam pasal ini bertentangan dengan pasal 58 sehingga akan terjadi kesewenang-wenangan dalam pelaksanaannya
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keadilan
INDIKATOR: Adanya penggantian kerugian pada masyarakat daerah terpencil
Ubah
12. Pasal 61 Kesesuaian Norma dengan Asas
Pembangunan jalan tol memerlukan pengadaan tanah. Pengadaan tanah tersebut berhubungan erat dengan tanah milik masyarakat, serta berhubungan dengan RTRW yang sudah ditetapkan oleh karena itu direkomendasikan dipikirkan mengenai penggunaan tanah tersebut, jangan sampai merubah fungsi tanah yang sudah ditetapkan sebagai lahan yang memang direkomendasikan dijaga kelestariannya seperti LP2B. Jadi dalam pasal ini direkomendasikan penjelasan khusus mengenai tanah yang akan digunakan untuk jalan
Ubah
104
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
tol tidak boleh mengganggu LP2B.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keadilan
INDIKATOR: Adanya penggantian kerugian kepada masyarakat terkena dampak negatif.
13. Pasal 65 Kesesuaian Norma dengan Asas
Terhadap badan usaha yang melakukan pelanggaran terhadap jalan maka pidana denda yang dijatuhkan ditambah sepertiga dari denda yang dijatuhkan. Ketentuan pasal ini sudah sesuai dengan asas materi muatan
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran
Ubah
14. Pasal 63, Pasal 64
Efektivitas - Sebanyak 27 pasal mendelegasikan PERATURAN PEMERINTAH - Terdapat PERATURAN PEMERINTAH dengan judul yang sama
(PERATURAN PEMERINTAH 24/2006 tentang Jalan) - Rasio pidana penjara dan denda tidak berpola, dan kurang
mempertimbangkan tingkat solvency masyarakat dan korporasi.
TP Denda Penjara/ kurungan
Sengaja (Pasal 63)
melakukan kegiatan yang 18 bln 1,5 Mliar
Direkomendasikan dikaji kembali mengenai sanksi pidana dengan mempertimbangkan cost and benefit agar pelaksanaannya efektif dan efisien.
105
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
mengakibatkan terganggunya fungsi jalan
melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan
9 bln 500 juta
melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan
3 bln 200 juta
melakukan kegiatan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada Pasal 42
2 thn 2 Miliar
melakukan kegiatan pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
15 thn 15 Miliar
Lalai (Pasal 64)
mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan
3 bln 300 juta
mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan
2 bln 200 juta
106
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan,
12 hari 120 juta
selain pengguna jalan tol dan petugas jalan tol yang karena kelalaiannya memasuki jalan tol
7 hari 1,5 juta
6. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Terdiri dari 83 pasal.
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana direkomendasikan di ubah. UU ini tidak tepat dituangkan
dalam jenis UU, sebab tidak didasarkan pada Pasal tertentu secara tegas dalam UUD NRI Tahun 1945. Namun
demikian, mengingat pentingnya masalah penanggulangan bencana merupakan masalah yang penting dalam rangka
melindungi warga negaranya maka persoalan penanggulangan bencana dapat dituangkan dalam jenis peraturan
perundang-undangan yang tepat yaitu dalam bentuk Peraturan Presiden.
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. - Nama UU; - Dasar Hukum
UU; - Politik Hukum
UU.
Ketepatan Jenis PUU
1. Analisis terhadap “nama” UU: Dalam petunjuk Nomor 3 Lampiran II UU 12/2011, dinyatakan bahwa nama PUU menggunakan kata atau frasa, yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi dari PUU itu sendiri. Ditinjau dari namanya, “Penanggulangan Bencana”, penanggulangan memiliki pengertian proses, cara, perbuatan
Direkomendasikan dikaji kembali apakah pengaturan ini direkomendasikan dituangkan dalam jenis UU atau PUU di bawah
107
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
menanggulangi; sementara bencana menurut KBBI memiliki pengertian sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Dalam Pasal 1 angka 1 dikatakan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak Pasalikologis.
Dilihat dari materi muatan UU Penanggulangan Bencana, maka Penamaan UU Penanggulangan Bencana sudah sesuai.
A. Analisis terhadap dasar hukum mengingat: Dalam bagian dasar hukum mengingat UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan 2 (dua) pasal UUD NRI Tahun 1945 yaitu: Pasal 20 dan Pasal 21 UUD NRI Tahun 1945.
- Pasal 20 Pada dasarnya penyebutan Pasal 20 adalah untuk memenuhi asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (Pasal 5 huruf b UU 12 Tahun 2011). Namun seharusnya dalam konsideran mengingat tidak disebutkan Pasal 20 secara utuh, melainkan hanya Pasal 20 Ayat (1) saja yang terkait dengan ketepatan kelembagaan pembentuk (landasan formil);
UU. Pengaturan ini dapat dituangkan dapalam jensi Perpres.
108
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
- Pasal 21 Pasal 21 UUDNRI Tahun 1945 pada dasarnya sama dengan Pasal 20 yaitu terkait dengan hak DPR dalam mengajukan RUU.
B. Analisis terhadap Politik Hukum (arah pengaturan): Politik hukum UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dapat ditinjau dari konsideran menimbang dan/atau penjelasan umumnya.
Dalam konsideran menimbang, dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945; Bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh factor alam, factor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak Psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan
109
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
nasional.
- Dalam penjelasan umum dikatakan bahwa nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Selama ini masih dirasakan adanya kelemahan baik dalam pelaksanaan penanggulangan bencana maupun yang terkait dengan landasan hukumnya, karena belum ada undang-undang yang secara khusus menangani bencana.
- Materi muatan UU ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan
tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan penanggulangan bencana tersebut terdiri dari unsur pengarah dan unsur pelaksana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu sesuai dengan kewenangannya.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan
110
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dengan memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan perlindungan sosial, mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan kesempatan secara luas kepada lembaga usaha dan lembaga internasional.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masing-masing tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.
6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain didukung dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, juga disediakan dana siap pakai dengan pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus.
7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada setiap tahapan bencana, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaan dana penanggulangan bencana.
8. Untuk menjamin ditaatinya undang-undang ini dan sekaligus memberikan efek jera terhadap para pihak, baik
111
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
karena kelalaian maupun karena kesengajaan sehingga menyebabkan terjadinya bencana yang menimbulkan kerugian, baik terhadap harta benda maupun matinya orang, menghambat kemudahan akses dalam kegiatan penanggulangan bencana, dan penyalahgunaan pengelolaan sumber daya bantuan bencana dikenakan sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana denda, dengan menerapkan pidana minimum dan maksimum.
Kesimpulan Analisis:
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak tepat dituangkan dalam jenis UU, sebab tidak didasarkan pada Pasal tertentu secara tegas dalam UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, mengingat pentingnya masalah penanggulangan bencana merupakan masalah yang penting dalam rangka melindungi warga negaranya maka persoalan penanggulangan bencana dapat dituangkan dalam jenis peraturan perundang-undangan yang tepat yaitu dalam bentuk Peraturan Presiden.
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
3. Pasal 4 Kejelasan - Tujuan harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang Ubah
112
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Rumusan benar agar dapat dioperasionalkan. - Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan UU
diubah dan dimasukkan dalam Bab I Ketentuan Umum atau penjelasan umum atau tercermin dalam Naskah Akademik.
4. Pasal 60 Ayat (3), (4) dan (5)
Kejelasan Rumusan
- Ayat (3) Pemerintah daerah dapat membentuk atau menunjuk Badan Hukum.
- Ayat (4) Pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
- Ayat (5) Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh Gubernur.
- Dalam penjelasan dikatakan cukup jelas. - Dari Ayat-Ayat tersebut diatas bermakna ambigu atau
menimbulkan suatu ketidakjelasan. Ketidakjelasan tentang bagaimana mekanisme penunjukannya. Sebab, hal ini terkait dengan kewenangan seorang pejabat Gubernur ataupun Bupati/Walikota dalam menjalankan kewenangannya. Ayat ini sangat rentan untuk diselewengkan.
- Oleh karena itu, Ayat tersebut harus diubah dengan penambahan penjelasan pada penjelasannya atau mekanisme penunjukan diatur dalam ketentuan tersendiri yang disebutkan dalam Ayat berikutnya.
Ubah
5. Pasal 75-79 Kejelasan Rumusan
- Pasal 150 Ayat (1), (2) dan (3) mengatur mengenai sanksi administrative.
- Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan
Ubah
113
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan;
- Oleh karena itu seharusnya sanksi administratif dalam pasal 150 disusun menjadi bagian dalam masing-masing pasal yang dengan norma yang memberikan sanksi administrative.
7. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Terdiri dari 175 (seratus tujuh puluh lima) Pasal. Status pasal: - Terdapat perubahan norma pada Pasal 6 Ayat (1) huruf e, Pasal 9 Ayat (2), Pasal 14 Ayat (1), dan Pasal 17, karena dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi oleh Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012; - Terdapat perubahan norma pada Pasal 22 huruf e, huruf f dan Pasal 52 Ayat (1), karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh
putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010; - Terdapat perubahan norma pada Pasal 55 Ayat (1) dan Pasal 6 Ayat (1), karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh putusan
MK Nomor 30/PUU-VIII/2010; - Terdapat perubahan norma pada Pasal 10 huruf b, karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh putusan MK Nomor 32/PUU-
VIII/2010. Rekomendasi : UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara direkomendasikan di ubah.
114
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sebagaimana petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat didirekomendasikankan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma tingkah laku yang membutuhkan operator norma agar dapat dioperasionalkan.
Misalnya rumusan diganti dengan: “pengelolaan mineral batubara harus ditujukan untuk:...... “ (Kata “harus” di sini berfungsi sebagai operator norma, dan dengan demikian memiliki konsekuensi jika pengelolaan energi tidak ditujukan sebagaimana yang dimaksud).
Ubah
3. Pasal 4 Kesesuaian Norma dengan Asas
Ketentuan ini mempertegas bahwa penguasaan sumber daya minerba di tangan Negara, untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Pada hakekatnya ketentuan ini merupakan penjabaran dari apa yang dimaksud oleh Pasal 33 Ayat (3), yaitu bahwa:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun demikian, pada Ayat (2) menyebutkan bahwa penguasaan minerba diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemda direkomendasikan ditinjau
Ubah
115
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
ulang, karena bahan galian minerba merupakan asset strategis nasional. Selain itu dari segi teknologi dan dampak lingkungan tidak semua pemda menguasai persoalannya, sehingga banyak menimbulkan ekspoitasi yang merusak lingkungan tanpa penanganan dari Pemda.
4. Pasal 6 Kesesuaian Norma dengan Asas
(Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012)
Ayat (1) huruf e dibatalkan oleh MK, sepanjang tidak dimaknai setelah ditentukan oleh Pemda.
Frasa “setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah” dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf e, Pasal 9 Ayat (2), Pasal 14 Ayat (1), dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “setelah ditentukan oleh pemerintah daerah”.
Bunyi Pasal 6 Ayat (1) huruf e:
“Penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan DPR RI”.
Bunyi Pasal 1 angka 29:
“Wilayah Pertambangan (WP) adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
Ubah
116
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.”
Lampiran UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda huruf CC Pembagian Urusan Pem Konkuren Bid ESDM, table Nomor 2 Sub Urusan Minerba.
Urusan Pemerintah Pusat:
“a. Penetapan wilayah pertambangan sebagai bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional, yang terdiri atas wilayah usaha pertambangan, wilayah pertambangan rakyat dan wilayah pencadangan negara serta wilayah usaha pertambangan khusus.
b. penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara serta wilayah izin usaha pertambangan khusus. c. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan lintas Daerah Provinsi dan wilayah laut lebih dari 12 mil.
d. dst”.
Urusan Pemerintah Daerah Provinsi:
a. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam 1 (satu) Daerah Provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 mil.
b. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara dalam rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha
117
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
pertambangan Daerah yang berada dalam 1 (satu) Daerah Provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil laut.
c. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha pertambangan yang berada dalam 1 (satu) Daerah Provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil laut.
d. dst.”
5. Pasal 7 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Rincian Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan minerba, direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
Ubah
6. Pasal 8 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Rincian Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan minerba, direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
Ubah
7. Pasal 14 Kejelasan Norma
Penetapan WUP berkoordinasi dengan DPR dan pemda setempat. Ayat (1) di batalkan oleh MK (Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012) sepanjang tidak dimaknai ‘setelah ditentukan oleh Pmeda’.
Ubah
8. Pasal 15 Kesesuaian Norma
Direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
Ubah
118
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dengan Asas
9. Pasal 17 Kejelasan Norma
Penetapan WUP berkoordinasi dengan DPR dan pemda setempat, dibatalkan oleh MK (Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012), sepanjang tidak dimaknai ‘setelah ditentukan oleh Pmeda’.
Ubah
10. Pasal 21 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
Ubah
11. Pasal 23 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Kewenangan Bupati/Walikota direkomendasikan disesuaikan dengan UU 23/2014.
Ubah
12. Pasal 27 Kesesuaian Norma dengan Asas
WPN untuk kepentingan strategis nasional, yaitu untuk cadangan komoditas tertentu dan daerah konservasi untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.
Catatan:
Namun pada Ayat (4), juga pada Bab X dan Bab XI yang mengatur IUPK, asas berkelanjutan menjadi lemah. Perubahan WPN menjadi WIUPK tidak jelas arah dan kebijakan yang akan dituju. Pasal ini juga berpotensi bertentangan dengan masalah konservasi hutan yang diatur dalam Pasal 38 Ayat (4) UU 4
Ubah
119
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
tahun 1999 tentang Kehutanan. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 1 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang menambahkan Pasal 83A dan 83B yang meyangkut IUP pada hakekanya hanya untuk menghindari ketidakpastian pada masalah ijin usaha pertambangan. Untuk itu direkomendasikan diatur bahwa ijin pertambangan di wilayah hutan konservasi tidak boleh diperpanjang.
13. Pasal 28 Kesesuaian Norma dengan Asas
Ketentuan ini pada dasarnya mengatur pengecualian bagi pasal sebelumnya (Pasal 27) mengenai WPN. Untuk memastikan asas keberlanjutan berjalan dengan baik, maka ketentuan pasa ini direkomendasikan pengaturan yang lebih tegas, yaitu dengan mengubah kata “dapat” menjadi kata “wajib”. Sehingga berbunyi: “perubahan status WPN sebagaimana dimaskdu dalam Pasal 27 menjadi WPUK wajib mempertimbangkan:…..”. Dengan demikian ketentuan ini memilki konsekwensi jika tidak mempertimbangkan kriteria-kriteria dimaksud. Untuk itu pasal ini direkomendasikan diubah.
Ubah
14. Pasal 37 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Direkomendasikan disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
Ubah
15. Pasal 40 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Syarat-syarat dan kriteria yang harus dipenuhi pemegang IUP. Ayat (6) dan (3) yang member kewenangan kepada Bupati/Walikota sudah tidak sesuai dengan UU 23/2014 tentang Pemda, mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba, yang sudah tidak memberikan
Ubah
120
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
kewenangan kepada bupati/walikota untuk mengeluarkan ijin.
16. Pasal 43 Kesesuaian Norma dengan Asas
Mineral dan batu bara yang tergali pada masa eksplorasi atas dasar IUP, wajib dilaporkan dan jika ingin menjual, wajib seizin pemerintah. Direkomendasikan ditambahkan sanksinya jika ada pelanggaranya, yang terintgrasi dengan pasal ini.
Catatan:
Pasal 43 Ayat (2) ambigu dengan aturan yang terkandung dalam Pasal 36 dan Pasal 41. Yaitu bahwa satu IUP hanya diperuntukan bagi IUP tertentu (eksplorasi dan/atau operasi produksi). Ditegaskan oleh Pasal 41 bahwa IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP. Namun dengan adanya pasal 43 Ayat (2) ini justru memberi peluang bagi pelanggaran dari pasal 41. Pasal ini harus disempurnakan, bagaimana sebenarnya kebijakan Pemerintah terhadap IUP ini.
Ubah
17. Pasal 44 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Pemberian izin sementara oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, direkomendasikan disesuaikan dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
Ubah
18. Pasal 48 Potensi Disharmoni (aspek
Pemberian IUP pengoperasian produk, direkomendasikan disesuaikan dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda.
Ubah
121
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
kewenangan)
19. Pasal 51 Kesesuaian Norma dengan Asas
Cara pemberian WIUP logam dengan lelang.
Catatan:
Pasal 51 terkait dengan Pasal 1 angka 31. Ketentuan ini tidak mencerminkan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan dengan indikator pembatasan kepemilikan individu dan korporasi. Wilayah pertambangan dan wilayah usaha pertambangan seharusnya sepenuhnya dikuasai oleh Negara, oleh karenanya tidak boleh direduksi dengan menyerahkannya kepada perorangan/korporasoi pemegang IUP. Karena “wilayah” pada hakekatnya merupakan penguasaan. Akan sangat riskan dengan menyerahkan 100.000 hektar wilayah kepada perseorangan/korporasi. Untuk mengatur mengenai besara luas usaha pertambangan apakah tidak cukup dengan menyebutkannya dalam ketentuan mengenai IUP nya, sehingga tidak ada lagi ketentuan mengenai WIUP.
Ubah
20. Pasal 67 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Pelimpahan kewenangan kepada camat dari Walikota/Bupati untuk pemberian IPR, tidak dapat dilakukan lagi karena tidak sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan sebagaimana diatur dalam UU 23/2014, dimana Bupati/Walikota sudah tidak lagi mempunyai kewenangan pemberian izin.
Ubah
21. Pasal 81 Kesesuaian Norma
Mineral dan batu bara yang tergali pada masa eksplorasi atas dasar IUPK, wajib dilaporkan dan jika ingin menjual, wajib seizin Pemerintah.
Ubah
122
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dengan Asas Direkomendasikan ditambahkan sanksinya jika ada pelanggaranya, yang terintgrasi dengan pasal ini
22. Paasal 93 Kejelasan Norma
Ketentuan ini mengandung larangan, namun sanksinya tidak dilekatkan pada pasal ini, maka direkomendasikan diubah agar larangan dan sanksi administratifnya terintegrasi dalam satu pasal.
Ubah
23. Pasal 104 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Direkomendasikan disesuaikan dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014.
Ubah
24. Pasal 114 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Direkomendasikan penyesuaian kewenangan Bupati/Walikota sesuai dengan UU 23/2014.
Ubah
25. Pasal 118 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Pengembalian IUP dn IUPK kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, direkomendasikan disesuaikan Pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan sebagaimana diatur dalam UU 23/2014, dimana Bupati/Walikota sudah tidak lagi mempunyai kewenangan memberian izin.
Ubah
26. Pasal 119 Potensi Disharmoni (aspek
Kemungkinan IUP dan IUPK dicabut dengan alasan kepentingan umum dan LH direkomendasikan dipertahankan, namun normanya disesuaikan kewenangan masing-masing, antara Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.
Ubah
123
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
kewenangan)
27. Pasal 122 Potensi Disharmoni (aspek kewenangan)
Pengembalian IUP /IUPK yang sudah berakhir kepada Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota, direkomendasikan disesuaikan dengan kewenangan Bupati/Walikota sebagaimana diatur dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
Ubah
28. Pasal 121 Kesesuaian Norma dengan Asas
Pada Ayat (1) bagi pemegang IUP atau IUPK yang berakhir karena alasan tertentu (dikembalikan atau dicabut) tetap wajib menyelesaikan dan memenuhi kewajibannya. Namun pada Ayat (2) pasal ini dinegasikan dengan kemungkinan dapat dianggap telah dipenuhi, dengan persetujuan Menteri, Gubernur/Bupati/Walikota. Untuk menghindari ini sebaiknya diberi perbedaan, mana yang dapat dianggap telah selesai, dan mana yang tidak bias dianggap telah selesai kewajibannya. Jika berakhir dengan alasan dicabut karena tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP/IUPK sebaiknya tidak bisa dianggap telah selesai, sehingga direkomendasikan ada pengecualian saja.
Ubah
29. Pasal 139 D4 (aspek kewenangan)
Pembinaan yang dimaksud: pemberian pedoman dan standar, bimbingan, supervisi, pendidikan, pelatihan perencanaan, penelitan dan lain-lain. Pada Ayat (3) pelimpahan kewenangan pembinaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, direkomendasikan disesuaikan dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan (UU 23 Tahun 2014).
Ubah
124
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
30. Pasal 140 D4 (aspek kewenangan)
Pengawasan dilakukan oleh menteri dan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Khusus untuk Kabupaten/Kota direkomendasikan disesuaikan.
Ubah
31. Pasal 141 Kesesuaian Norma dengan Asas
Direkomendasikan diberikan kewenangan yang tegas dan jelas kepada inspektur tambang, sehingga tidak hanya mengawasi keselamatan kerja, tetapi juga benar-benar mengawasi pengelolaan lingkungan hidup, pasca tambang, juga pengawasan jumlah produksi, jumlah ekspor dan kualitas bahan tambang serta material hasil tambang lainnya untuk dijual atau diekspor.
Ubah
32. Pasal 143 D4 (aspek kewenangan)
Bupati/Walikota tidak lagi diberikan kewenangan penerbitan izin maupun pembinaan dan pengawasan di bidang minerba. Maka ketentuan ini harus disesuaikan.
Ubah
33. Pasal 151 Kejelasan rumusan
Jenis-jenis sanksi administratif didirekomendasikankan untuk menjamin kepastian hukum, namun teknik penulisan sanksi administratif menurut teknik penulisan PUU dalam Lampiran II UU 12/2011, diletakan pada masing-masing larangan yang dikenakan sanksi, bukan dilekatkan pada satu pasal, berbeda dengan teknik penulisan ketentuan pidana (petunjuk Nomor 64-66 lampiran II UU 12 Tahun 2011). Oleh karena itu ketentuan ini harus dicabut, dan seluruh ketetnuan sanksi dilekatkan pada pasal-pasal yang memiliki sanksi administratif.
Ubah
34. - Efektivitas (aspek
Kawasan pertambangan tidak diperintahkan untuk diatur dalam Perda Tata Ruang, wilayah pertambangan mempunyai pedoman tersendiri, sehingga
UU Minerba direkomendasikan
125
NO BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
kekosongan hukum)
seringkali tidak sinkron dengan RTRW yang sudah dicanangkan, terutama gesekan antara kawasan hutan, kawasan pertanian dan kawasan pertambangan.
mengatur mengenai kewajiban penentuan WP yang merujuk pada tata ruang wilayah.
8. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Terdiri dari 127 pasal.
Status pasal : terdapat perubahan norma pada Pasal 59 auat (4) dan Pasal 95 Ayat (1), karena dinyatakan bertentangan
dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekukatan hukum mengikat oleh putusan MK Nomor18/PUU-XII/2014,
tanggal 27 Oktober 2014.
Rekomendasi : UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
126
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
- Tujuan seharusnya dituangkan dalam ketentuan atau penjelasan umum dari suatu peraturan perundang-undangan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Hal ini sesuai dengan Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3 nomor 98 mengenai isi ketentuan umum.
- Jika sangat didirekomendasikankan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkan.
- Direkomendasikan ditambahkan kata “harus” sebagai operator norma tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi jika tidak tercapai tujuannya.
Ubah
3. Pasal 14 Kesesuaian Norma dengan Asas
Pasal ini membahas tentang instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Instrumen yang telah dijelaskan dalam pasal tersebut diatas adalah sudah cukup lengkap untuk melindungi lingkungan hidup dari pencemaran dan kerusakan, namun dalam penerapannya justru beberapa instrumen tidak diperhatikan sama sekali, contohnya instrumen perizinan, kadangkala pejabat yang berwenang dalam memberikan izin sama sekali tidak memperhatikan aspek risiko lingkungan, dan memberikan izin pengelolaan tersebut dengan sangat mudah hanya demi pemasukan daerah. Alhasil tidak sedikit sungai-sungai di Indonesia yang mengalami kerusakan lingkungan karena diakibatkan hal tersebut. Instrumen AMDAL, banyak perusahaan di Indonesia yang masih tidak memiliki dokumen AMDAL, sehingga kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh minimnya penanggulangan
Ubah
127
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
akibat pun terjadi.
TIDASK SESUAI DNG ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
DG INDIKATOR: Aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah.
4. Pasal 20 Kejelasan Rumusan
- Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Selanjutnya pada Pasal 20 dinyatakan baku mutu lingkungan meliputi, baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu air laut, baku mutu udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, didirekomendasikankan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat.
Ubah
5. Pasal 26 Ayat (2) dan (4)
Kejelasan Rumusan
- Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana “bentuk informasi yang transparan dan lengkap” tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan, begitupula dalam Ayat (4) “masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL” juga tidak diikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan
Ubah
128
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dalam hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut, sehingga justru mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses awal pembangunan.
6. Pasal 46 Kejelasan Rumusan
- Ketentuan ini akan sangat merugikan karena pencemarnya tidak diungkit sama sekali, dan anehnya di penjelasannya juga tertulis “cukup jelas”, padahal ketentuan dalam pasal ini bisa melepaskan pencemarnya begitu saja dan pemulihan justru dibebankan kepada pemerintah.
Ubah
7. Pasal 66 Kejelasan Rumusan
- Dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan perlindungan dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.
- Kalimat terakhir yang sekaligus penutup dari penjelasan tersebut “dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan merupakan kalimat kunci yang dimaksudkan untuk mematahkan/mementahkan janji dari pasal 66. Artinya diberlakukannya hak perlindungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 masih harus ditentukan dan diuji lagi oleh peradilan.
- Bahwa disidang peradilan segala sesuatu (apapun) masih mungkin terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan pasal 66 karena hakim bebas dan memiliki hak mutlak untuk menentukan/menjatuhkan putusannya.
Ubah
129
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
8. Pasal 69 Ayat (1)
Kejelasan Rumusan
- Dalam penjelasan pasal 69 Ayat (1) huruf h sebagaimana yang dimaksud kearifan lokal dalam pasal 69 Ayat (2) yaitu, kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Jika hal ini tidak tersosialisasikan ke masyarakat, terutama masyarakat pedesaan bisa saja akan menimbulkan permasalahan dan konflik baru.
Ubah
9. Pasal 98 dan 99
Kejelasan Rumusan
- Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana, biasanya dijabarkan secara rinci, tetapi dalam Pasal 98 dan Pasal 99 terdapat kesalahan fatal karena diabaikannya (dihilangkan) unsur perbuatan melawan hukum yang seharusnya ada.
Ubah
10. Pasal 101, 102, dan 108
Kejelasan Rumusan
- Sanksi hukum dalam Pasal 101 berbunyi ”setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
- Dalam Pasal 102 berbunyi ”setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 Ayat (4),
Ubah
130
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).” Hal ini justru menunjukkan ketidakpedulian Negara terhadap nilai keadilan akibat kejahatan yg berkaitan limbah B3, apalagi jika dibandingkan dengan sanksi hukum dalam Pasal 108 UU PLH.
- Pasal 108 UU PLH sangat penting untuk dilakukan sosialisasi, karena hal ini bisa menimbulkan kesalah pahaman dan kesewenang-wenangan dalam penerapannya. Dalam masyarakat pedesaan, masih banyak lahan milik masyarakat (perorangan) yang luasnya diatas 2 (dua) hektar. Sebagimana bunyi pasal 108 bahwa “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
131
9. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Terdiri dari 50 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 1 Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan penambahan butir yang menjelaskan mengenai siapa/pihak mana yang dimaksud dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, agar jelas dalam pelaksanaan ketentuan pasal selanjutnya.
Ubah
2. Pasal 5 Kesesuaian Norma dengan Asas
Ketentuan Pasal 5 yang memberikan peluang bagi badan usaha untuk mengusulkan KEK kepada Dewan Nasional, sebaiknya dihilangkan, karena badan usaha adalah badan yang berorientasi pada profit, sehingga memiliki potensi untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memandang kepentingan umum. Oleh karenanya, jika ada badan usaha yang memiliki usul KEK, sebaiknya disalurkan pada Pemerintahan (Provinsi/Kabupaten/Kota), agar dapat dipastikan oleh pemerintah bahwa usulan ini memang untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian sebaiknya pengusulan KEK hanya dapat datang dari Pemerintah Kabupaten/Kota atau Provinsi saja. TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Pengayoman, dan Keseimbangan, Keserasian, Dan Keselarasan INDIKATOR: - Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya perlindungan masyarakat; - Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya
Ubah
132
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
prinsip kehati-hatian.
3. Pasal 8 Kejelasan Rumusan
Kesesuaian Norma dengan Asas
Pasal ini mengatur bahwa dalam hal tertentu pemerintah dapat menetapkan wilayah KEK tanpa melalui proses pengusulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Artinya, bahwa pasal ini ingin memberi pengecualian terhadap ketentuan Pasal 5, namun tidak memberikan kriteria pengecualian tersebut, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika mengecualian ini akan diatur lebih lanjut, maka sebaiknya disebutkan secara tegas bahwa pengecualian ini akan diatur lebih lanjut pada peraturan pelaksanaannya. Ketentuan pengecualian ini dapat ditambahakan pada Pasal 9, sehingga menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan KEK dan pengecualiannya diatur dengan PERATURAN PEMERINTAH”. Ketentuan yang berbunyi “Dalam hal tertentu, Pemerintah dapat menetapkan suatu wilayah sebagai KEK tanpa melalui proses pengusulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5” Sebaiknya diikuti dengan prasyarat bahwa penentuan ini tidak bertentangan dengan RTRW dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung dan masyarakat setempat yang akan terkena dampak. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi yang dianut oleh UU ini, sebagaimana disebutkan dalam Panjelasan Umumnya.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: kekeluargaan INDIKATOR: Adanyaketentuan yang menjamin pelibatan seluruh pihak terdampak dalam pembentukan kebijakan
Ubah
4. Pasal 10 Kesesuaian Berpotensi menimbulkan conflict of interest dari badan usaha yang Ubah
133
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Norma dengan Asas
mengusulkan (sebagaimana diatur dalam Pasal 5) dan yang akan ditunjuk pemerintah dalam melaksanakan pembangunan KEK. TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Pengayoman, dan Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
INDIKATOR: - Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya perlindungan masyarakat; - Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan terabaikannya
prinsip kehati-hatian.
5. Pasal 11 Kesesuaian Norma dengan Asas
Idem (lihat analisis Nomor 2 dan Nomor4) Ubah
6. Pasal 20 Ayat (1)
Kejelasan Rumusan
Pasal 20 Ayat (1) yang mengatur mengenai komposisi Dewan Kawasan tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 14 Ayat (3) yang menyatakan bahwa Dewan Kawasan terdiri atas wakil dari pemerintah dan wakil dari pemerintah daerah. Dalam Pasal 20 Ayat (1) disebutkan bahwa: Dewan Kawasan atas ketua, yaitu Gubernur, wakil ketua, yaitu Bupati/Walikota, dan anggota, yaitu unsur Pemerintah di Provinsi, dan unsur Pemerintah Kabupaten/Kota. Di sini tidak menyebutkan wakil Pemerintah dalam komposisi Dewan Kawasan, melainkan hanya wakil dari pemerintah daerah. Oleh karenanya, dalam ketentuan umum Pasal 1 direkomendasikan dijelaskan siapa yang dimaksud pemerintah dan siapa yang dimaksud dengan pemerintah daerah.
Ubah
134
10. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Terdiri dari 77 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Tujuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang dan dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam suatu PUU, maka dirumuskan dalam salah satu butir pasa1 tentang ketentuan umum (baca petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3).
Ubah
3. Pasal 4 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada pasal 1 tentang ketentuan umum.
Di Cabut
4. Pasal 8 Ketentuan dalam pasal 8 ini sudah tercermin dalam pasal 7 Ayat (1), penambahan dalam pasal 8 tidak direkomendasikan di lakukan karena
Ubah
135
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
hanya pengulangan saja
5. Pasl 10 – 16 Kejelasan Rumusan
Berisi tentang pedoman perencanaan LP2B. Namun pelanggaran terhadap ketentuan perencanaan ini tidak memiliki konsekwensi atau sanksi, sehingga berpotensi tidak efektif.
Ubah
6. Pasal 17 Kejelasan Rumusan
Berisi pedoman bahwa LP2B dimuat dalam RPJP, RPJMN dan RKP. Namun tidak memiliki konsekwensi apapun jika ketentuan ini tidak dilaksanakan. Sehingga ketentuan ini berpotensi tidak efektif. Untuk itu direkomendasikan dipertimbangkan kembali rumusannya.
Ubah
7. Pasal 18 – 25 Kejelasan Rumusan
Berisi pedoman mengenai penetapan, namun tidak memiliki konsekwensi, sehingga berpotensi tidak efektif .
Ubah
8. Pasal 64 Ketepatan jenis PUU
Tidak menyebutkan secara tegas, jenis PUU yang akan mengatur lebih lanjut. Hal ini sebagaimana petunjuk Nomor 200 dalam Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011, bahwa pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebutkan dengan tegas jenis PUU nya.
Dengan tidak disebutkannya dengan jelas jenis PUU yang didelegasikan, telah terbit UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang secara teknis cukup diatur dalam PUU di bawah UU.
Ubah
9. Pasal 70 Kejelasan Sanksi administratif seharusnya diatur secara terintegrasi dengan pasal Ubah
136
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Rumusan yang dikenai sanksi.
Petunjuk Nomor 64 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011:
“Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan”.
Petunjuk Nomor 65:
“Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.”
10. Pasal 72 Kesesuaian Norma dengan Asas
Ratio sanksi pidana tidak berpola. Ubah, disesuaikan dengan tingkat solvency masyarakat dan korporasi yang menjadi subjek hukum, serta beban keuangan Negara dengan cost
137
NOMOR BAGIAN YANG
DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
and benefit analysis.
11. Pasal 73 Kesesuaian Norma dengan Asas
Menganut sanksi pidana minimal khusus, sehingga didirekomendasikankan pengaturan yang memberikan pedoman bagaimana cara penerapan sanksi pidana minimal khusus tersebut, agar terjadi kepastian hukum dalam penegakannya.
Ubah
12. Pasal 74 Kesesuaian Norma dengan Asas
Mengatur tanggung jawab korporasi, namun pengenaan sanksi pidananya hanya pada pengurusnya. Untuk dapat membidik korporasinya, maka sebaiknya rumusan normanya lebih dipertegas, yaitu dengan meyebutkan bahwa sanksi pidana dijatuhkan kepada pengurusnya, dan sanksi denda kepada korporasinya (bukan kepada pengurusnya).
Contoh:
“Dalam hal ….dilakukan oleh korporasi, maka sanksi pidana dikenakan kepada pengurusnya paling banyak……dan sanksi denda kepada korporasi paling banyak…..”.
Sanksi pidana minimal khusus, memerlukan pengaturan yang memberikan pedoman bagaimana cara penerapan sanksi pidana minimal khusus tersebut, agar terjadi kepastian hukum dalam penegakannya.
Ubah
138
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan Pemukiman
Terdiri dari 167 pasal.
Status pasal : Pasal 22 Ayat (3) dinyatakan bertentangan dengan kosntitusi dan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh Putusan MK
Nomor 14/PUU- X/2012
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Jika tujuan dari undang-undang ini direkomendasikan untuk dinormakan, seharusnya dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkan.
Ubah
3. Pasal 4 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup tidak direkomendasikan dibuat dalam pasal tersendiri, tetapi dimasukkan dalam pasal ketentuan umum dengan megikuti petunjuk dalam lampiran II Nomor 109 huruf a UU Pembentukan PUU dimana pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus
Ubah
4. Pasal 60 Ayat (3), (4) dan (5)
Kejelasan Rumusan
- Ayat (3) Pemerintah Daerah dapat membentuk atau menunjuk Badan Hukum.
Ubah
139
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
- Ayat (4) Pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh Bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
- Ayat (5) khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh Gubernur.
- Dalam penjelasan dikatakan cukup jelas. - Dari Ayat-ayat tersebut diatas bermakna ambigu atau
menimbulkan suatu ketidakjelasan. Ketidakjelasan tentang bagaimana mekanisme penunjukannya. Sebab, hal ini terkait dengan kewenangan seorang pejabat Gubernur ataupun Bupati/Walikota dalam menjalankan kewenangannya. Ayat ini sangat rentan untuk diselewengkan.
- Oleh karena itu, Ayat tersebut haru diubah dengan penambahan penjelasan pada penjelasannya atau mekanisme penunjukan diatur dalam ketentuan tersendiri yang disebutkan dalam Ayat berikutnya.
5. Pasal 64 Ayat (4) Kejelasan Rumusan
- Perencanaan kawasan pemukiman dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang.
- Dalam penjelasan disebutkan cukup jelas. - Penggunaan kata “dan” pada Ayat tersebut dalam teknis
penyusunan perundang-undangan memiliki makna kumulatif. Dalam arti perencanaan tersebut dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Setiap Orang
Ubah
140
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
secara bersama. - Seharusnya menggunakan dan/atau sehingga
perencanaan tersebut dapat dilakukan baik secara kumulatif atau alternatif.
6. Pasal 150 Ayat (1), (2) dan (3)
Kejelasan Rumusan
- Pasal 150 Ayat (1), (2) dan (3) mengatur mengenai sanksi administratif.
- Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
- Oleh karena itu seharusnya sanksi administratif dalam Pasal 150 disusun menjadi bagian dalam masing-masing pasal yang dengan norma yang memberikan sanksi administratif.
Ubah
7. Bab XVI Ketentuan Pidana
Pasal 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163
Kejelasan Rumusan
- Penegakan hukum untuk sanksi pidana direkomendasikan merujuk pada hukum materiil dan hukum formil dalam hukum pidana (KUHP dan KUHAP). Dalam KUHP membedakan antara aturan umum untuk kejahatan dan aturan umum untuk pelanggaran (antara lain dalam aturan atau ketentuan tentang percobaan, concursus daluwarsa dan sebagainya). Tidak ditetapkanya kualifikasi delik apakah tindak pidana yang
Ubah
141
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dimuat tersebut apakah kejahatan ataukah pelanggaran telah menyebabkan tidak dapat diberlakukannya beberapa aturan umum dalam KUHP.
- Petunjuk Nomor 121 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan bahwa sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran dalam KUHP, maka rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbatan yang diancam pidana, apakah kejahatan atau pelanggaran.
- Oleh karena itu direkomendasikan ada penambahan pasal yang menyatakan kualifikasi perbuatan yang diancam pidana pada pasal Pasal 151-163 apakah pelanggaran atau kejahatan.
- Rekomendasi:
Diubah, dengan penambahan Ayat pada pasal dengan frasa:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (…) adalah kejahatan” atau
“Tindak pidana sebagaimana di maksud pada Ayat (…) adalah pelanggaran
8. Pasal 42 Ayat (2) Kesesuaian Norma
Pada tataran implementasi banyak pengembang yang melakukan perjanjian pendahuluan padahal belum ada
142
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dengan Asas
bangunan sama sekali. Penegakan hukumnya lemah.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Akuntabilitas pengelolaan
9. Pasal 50 Ayat (2) Ketentuan sewa menyewa rumah telah diatur dalam KUHPerdata (BW), tidak direkomendasikan dituangkan dalam PERATURAN PEMERINTAH tersendiri, kecuali akan mengatur hal-hal khusus yang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum perdata.
Ubah
10. Pasal 60
Kesesuaian Norma dengan Asas
Pada Ayat (4) dikatakan bahwa pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh Bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Hal ini sudah tidak sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan UU No 9 Tahun 2015, dimana kewenangan Bupati/Walikota sudah ditarik menjadi kewenangan Gubernur.
Oleh karena itu, Ayat (4) dan (5) bisa dijadikan 1 pasal menjadi:
“pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan
Ubah
143
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
oleh Gubernur sesuai dengan kewenangannya.”
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan
INDIKATOR: Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
11. Pasal 66 Ayat (4), (5), (6)
Kesesuaian Norma dengan Asas
Hal ini sudah tidak sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan UU No 9 Tahun 2015, dimana kewenangan Bupati/Walikota sudah ditarik menjadi kewenangan Gubernur.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan
INDIKATOR: Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
Ubah
12. Pasal 109 Ayat (2), (3), (4)
Kesesuaian Norma dengan Asas
Hal ini sudah tidak sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan UU No 9 Tahun 2015, dimana kewenangan Bupati/Walikota sudah ditarik menjadi kewenangan Gubernur.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kenusantaraan
INDIKATOR: Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
Ubah
13. Pasal 137
Kesesuaian Norma dengan
Pada kenyataannnya banyak pengembang yang menjual satuan lingkungan perumahan dengan status tanah girik, akta jual beli.
Ubah
144
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Asas TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum
INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran
14. Pasal 139
Kesesuaian Norma dengan Asas
Pasal ini berpotensi bermasalah di implementasi.
Tidak sedikit lahan yang berstatus jalur hijau dibangun perumahan dan/atau permukiman, sehingga belum optimal pengawasan dan penegakan hukumnya.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum
INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran
Ubah
15. Pasaal 140
Kesesuaian Norma dengan Asas
Pasal ini berpotensi bermasalah di implementasi. Sebagaimana kita sering lihat, banyak perumahan dan permukiman yang dibangun di bawah suhu tegangan tinggi (sutet) listrik, di bantaran kali ataupun di lereng bukit yang kemungkinan bias longsor.
Oleh karena itu pasal ini bermasalah di pengawasan maupun penegakan hukumnya
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum
Ubah
145
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
INDIKATOR: Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran
16. Pasal 146 Ayat (2)
Kesesuaian Norma dengan Asas
Kavling tanah matang ukuran kecil. Berapa luas yang dikategorikan ukuran kecil, seharusnya dijelaskan di penjelasan sehingga pasti.
Namun demikian, dalam penjelasan disebutkan cukup jelas.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum
INDIKATOR: Akuntabilitas pengelolaan
Ubah
17. Pasal 50 Ayat (2) Kesesuaian Norma dengan Asas
Ketentuan sewa menyewa rumah telah diatur dalam KUHPerdata (BW), tidak direkomendasikan dituangkan dalam PERATURAN PEMERINTAH tersendiri, kecuali akan mengatur hal-hal khusus yang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum perdata.
Ubah
146
12. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
Terdiri dari 71 pasal.
Status pasal : berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial direkomendasikan di ubah. UU ini tidak tepat
dituangkan dalam jenis UU. Namun demikian, mengingat pentingnya masalah IG bagi perencanaan pembangunan bidang
eknomi, social, budaya dan Ketahanan Nasional Yang Berhubungan Dengan Ruang Kebumian, Maka IG Dapat Dituangkan
Dalam Jenis PERATURAN PEMERINTAH (jika dapat dianggap sebagai pelaksanaan dari UU 14/2008 tentang KIP) atau
Perpres (jika lebih menekankan pada penataan kelembagaan penyelenggara IG, dan bukan dalam rangka melaksanan UU di
atasnya).
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. - Nama UU; - Dasar Hukum
UU; - Politik Hukum
UU.
Ketepatan Jenis PUU
A. Analisis terhadap “nama” UU: Dalam petunjuk Nomor 3 Lampiran II UU 12/2011, dinyatakan bahwa nama PUU menggunakan kata atau frasa, yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi dari PUU itu sendiri. Ditinjau dari namanya, “Informasi Geospasial” dapat diasumsikan bahwa UU ini beisi tentang informasi. Informasi adalah suatu keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik (Pasal 1 UU 14/2008 tentang KIP). Dari pengertiannya dapat dillihat bahwa informasi adalah suatu persoalan yang sangat teknis aplikatif. Sampai pada analisis nama ini, maka PUU yang pokok materi muatannya adalah
Ubah
147
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
mengenai informasi tidak tepat dituangkan dalam jenis UU.
B. Analisis terhadap dasar hukum mengingat: Dalam bagian dasar hukum mengingat UU 4/2011 tentang IG, disebutkan 5 (lima) pasal UUD 1945, yaitu: Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28F dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4).
- Pasal 5 (1) Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukan bahwa pembentukan UU ini dibentuk oleh kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, sebagaimana Pasal 5 huruf b UU 12/2011), dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. (landasan formil)
- Pasal 20 Pada dasarnya penyebutan Pasal 20 adalah sama maknanya dengan penyebutkan Pasal 5 (1), yaitu untuk menenuhi asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (Pasal 5 huruf b UU 12/2011). Namun seharusnya Pasal 20 tidak disebutkan secara utuh, melainkan hanya Ayat (1) yang terkait dengan ketepatan kelembagaan pembentuk. (landasan formil)
- Pasal 25A Pasal 25A UUD 1945 mengamanatkan bahwa batas-batas wilayah dan hak-hak atas wilayah NKRI ditetapkan dengan undang-undang. Makna dari pasal ini adalah bahwa jika kita
148
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
ingin menetapkan batas-batas wilayah dan hak-hak NKRI maka hal tersebut dituangkan dalam UU. Apakah UU 4/2011 tentang IG ini berisi tentang penetapan batas-batas wilayah dan/atau hak-hak NKRI atas wilayah tersebut?
Hal ini dapat terjawab dengan meninjau batang tubuh dari UU ini. Dalam Pasal 1 huruf 4 disebutkan bahwa IG adalah DG yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian. Artinya bahwa ada penegasan baha IG ini pada hakekatnya digunakan sebagai ‘alat bantu’. Pasal-pasal selanjutnya berisi mengenai definisi peristilahan IG, jenis-jenis IG, pedoman teknis penggunaan dan perumusan IG.
Dari hasil tinjauan batang tubuh UU ini, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batas-batas wilayah dan hak-hak NKRI atas batas wilayah tersebut, selain masalah teknis. Oleh karenanya, materi muatan IG ini lebih tepat jika dituangkan dalam jenis PUU di bawah UU. Jenisnya bisa dengan PERATURAN PEMERINTAH atau Perpres jika tidak ada UU yang menjadi dasar hukumnya. Pengaturan masalah IG dan lembaga yang melaksankan dalam PUU di bawah UU tidak menghilangkan arti penting IG itu sendiri. Sedangnkan kebutuhakn akan ketentuan sanksi tetap dapat diakomodir, yaitu dengan mengatur sanksi administratif, misalnya:
149
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
pembekuan izin, pencabutan izin, denda administratif atau daya paksa polisional.
Merujuk pada hasil penelitian Mas Achmad Santosa, bahwa penegakan hukum administrasi direkomendasikan didorong khususnya di bidang SDALH, karena dianggap lebih efektif dibandingkan dengan penegakan hukum pidana atau perdata. Hal ini ditunjukan dengan kenyataan bahwa hukum administrasi lebih murah/efisien, karena ada kewajiban swapantau (self monitoring) oleh target penegakan hukum adminsitrasi, biaya pengumpulan bukti-bukti hukum (legal evidence) lebih kecil daripada yang dibutuhkan di pengadilan (pidana /perdata). Selain itu, proses penegakan hukum adminstrasi pun lebih cepat karena memungkinkan pemerintah langsung menjatuhkan sanksi untuk memperbaiki kondisi ketidaktaatan (non compliance). (Mas Achmad Santosa, Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan, Jakarta: as@-prima pustaka, 2016, hlm. 89)
- Pasal 28F Pasal 28F menyatakan bahwa bahwa setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan infomrasi dengan menggunakan segala jenis
150
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
saluran yang tersedia.
Semangat yang terkandung dalam pasal ini adalah bahwa setiap orang, dalam hal ini warga Negara, berhak atas komunikasi dan informasi, dengan mencari, memperoleh, mengolah dan menyampaikan dengan segala jenis saluran. Untuk mewujudkan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak warga negara akan infomrasi ini telah berlaku UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang di dalamnya telah ditentukan ada informasi yang wajib di sediakan dan diumumkan, sebagai hak informasi publik.
Dalam konteks UU 4/2001 tentang IG, bukan termasuk apa yang dimaksudkan oleh Pasal 28F tersebut. Karena UU IG ini merupakan bentuk dari tugas dan fungsi dari sebuah lembaga yang melaksanakan pemetaan (lihat sejarah berdirinya Bakorsurtanal), maka sebenarnya, pengaturan masalah IG ini justru dalam rangka mendukung UU 14/2008, yaitu bahwa informasi yang dihasilkan oleh lembaga yang melaksanakan IG harus memberikan informasinya kepada public, krn IG adalah termasuk dalam kategori “informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait”, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU 14/2008 tentang KIP.
- Pasal 33 Ayat (3) dan (4)
151
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Baik dari segi isi, sejarah penyantuman maupun penafsiran MK, menunjukan bahwa Pasal 33 merupakan satu kesatuan yang utuh, Ayat yang satu berkaitan dengan Ayat yang lain. Makna Pasal 33 UUD 1945 ini berintikan bahwa perekonomian nasional dilaksanakan dengan asas kekeluargaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan oleh karenanya cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak direkomendasikan dikuasai oleh Negara.
Oleh karena Pasal 33 ini harus dilihat secara utuh, maka tidak tepat jika hanya sebagian Ayat saja yang dijadikan sebagai dasar hukum membentuk suatu UU. (lihat contoh kasus JR UU 7/2004 tentang SDAir, Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 hlm. 131-145) juga membahas dan menafsirkan Ayat (1) dan (2) dan (4), walaupun UU ini hanya menggunakan Ayat (3) dan (5) sebagai landasan hukumnya).
Berdasarkan dari pertimbangan tigas aspek (isi, sejarah dan pendapat MK), maka dapat dipahami makna Pasal 33 ini adalah bahwa dalam menerapkan roda perekonomian nasional dan pemanfaatan SDA harus dalam rangka menjamin kepentingan masyarakat secara kolektif dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta adanya penguasaan Negara atas cabang-cabang produksi strategis (menguasai hajat hidup orang banyak). Jika tidak menjiwai ketiga kriteria tersebut, maka suatu UU tidak dapat melegitimasi Pasal 33 UUD 1945
152
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
sebagai dasar hukum pembentukannya. Beberapa unsur yang harus ada ketika suatu UU yang menyatakan dirinya sebagai pengaturan lebih lanjut Pasal 33 UUD 1945 dapat disebutkan sebagai berikut:
Adanya cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai oleh negara;
Adanya pembatasan hak-hak individual/swasta untuk kepentingan kolektif, dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
yang ingin diatur dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi.
Dalam konteks UU 4/2011 tentang IG, unsur2 tersebut tidak terdapat dalam substansi pengaturan IG.
C. Analisis terhadap Politik Hukum (arah pengaturan): Politik hukum UU 4/2011 tentang IG dapat ditinjau dari konsideran menimbang dan/atau penjelasan umum nya.
Dalam Penjelasan Umum UU 4/2011, disebutkan bahwa IG adalah alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian. Pengaturan mengenai IG ini diarahkan pada adanya jaminan kemutakhiran dan keakuratan serta penyelenggaraan secara terpadu. IG juga harus dilakukan sebagai pelayanan publik oleh aparat pemerintah yang menyediakan IG bagi kepentingan masyarakat. Selain dari pentingnya keakuratan
153
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dan keterbukaan IG, pengaturan ini juga menekankan masalah kelembagaan penyelenggara IG berikut SDM nya.
Dari penjelasan umum ini dapat tersajikan dengan jelas, bahwa kebutuhan hak pengaturan mengenai IG penting, namun tidak tepat jika dituangkan dalam PUU jenis Undang-Undang.
D. Analisis terhadap materi pokok yang diatur: Sebagian besar ketentuan pasal merupakan aturan teknis pemetaan. Hanya sebagian kecil yang mengatur masalah pembatasan hak dan kewajiban warga Negara secara umum yang merupakan materi muatan UU, yaitu Pasal 23 Ayat (4), Pasal 50, Pasal 52, Pasal 55 dan Pasal 56 . Dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi muatan UU ini berisi pedoman dalam pemetaan, yang merupakan materi muatan PUU di bawah UU.
Kesimpulan analisis:
UU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Informasi Geospasial tidak tepat dituangkan dalam jenis UU. Namun demikian, mengingat pentingnya masalah IG bagi perencanaan pembangunan bidang eknomi, sosial, budaya dan ketahanan nasional yang berhubungan dengan ruang kebumian, maka IG dapat dituangkan dalam jenis PERATURAN PEMERINTAH (jika dapat dianggap sebagai pelaksanaan dari UU 14/2008 tentang KIP) atau Perpres (jika lebih menekankan pada penataan kelembagaan penyelenggara IG, dan
154
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
bukan dalam rangka melaksanan UU di atasnya).
2. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
3. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Tujuan UU pada dasarnya telah tercermin dalam konsiderans menimbang dan lebih rinci tercantum dalam dalam penjelasan umum pada lampiran undang-undang dan lebih rinci lagi terdapat dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini dibtuhkan dalam suaut peraturan perundang-undangan maka dirumuskan dalam salah satu butir pasal tentang ketentuan umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan
Ubah
4. Pasal 23 Ayat (4) Kejelasan Rumusan
Bunyi ketentuan:
" Setiap orang dapat menyelenggarakan IGT hanya untuk kepentingan sendiri dan selain yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah".
Bunyi ketentuan ini tidak efektif, sehingga tidak jelas maksudnya. Jika ingin mengatur mengenai pengecualian, maka lebih efektif jika ditulis secara langsung. Misalnya, "IGT hanya dapat
Ubah
155
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, kecuali IGT yang diselenggarakan untuk kepentingan sendiri".
5. Pasal 24 (2) Kejelasan Rumusan
Bunyi ketentuan:
"Badan dapat menyelenggarakan IGT dalam hal IGT yang belum diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah selain Badan atau yang belum diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah".
Bunyi ketentuan ini tidak efektif sehingga tidak jelas maksudnya. jika norma ini ingin memebrikan izin kepada badan untuk menyelenggarakan IGT sendiri, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
"Dalam hal IGT belum diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah"
Ubah
6. Pasal 54 Kejelasan Rumusan
Bunyi pasal ambigu, karena disebutkan bahwa IG diselenggarakan oleh instansi Pemerintah dan Pemda, namun dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Pasal ini juga berpotensi disharmoni dengan Pasal 23 Ayat (4). Karena IGT sebagaimana diatur dalam Pasal 23 merupakan bagian dari IG.
Ubah
Kesesuaian Norma dengan Asas
Pasal ini selain ambigu dengan ketentuan Pasal 23 Ayat (4), juga berpotensi memberi peluang bagi keterlibatan asing dalam melaksanakan IG, yang terkait dengan keamanan dan pertahanan Negara, karena pada prinsipnya pemetaan wilayah Indonesia
Ubah
156
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
seharusnya merupakan otoritas Negara. Oleh karenanya, ketentuan yang menyebutkan “dapat dilaksanakan oleh setiap orang”, sebaiknya diikuti dengan ketentuan secara umum mengenai pembatasan siapa yang dimaksud setiap orang dan bagaimana keterlibatan pihak asing pada makna “setiap orang” tersebut.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan, dan Kenusantaraan
INDIKATOR:
- Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terbatasnya keikutsertaan pihak asing;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang mengesampingkan kepentingan nasional.
7. Pasal 55 Kejelasan Rumusan
Ambigu dengan Pasal 23 (4)
Pada Ayat (2) sebaiknya disebutkan rujukan PUU yang dimaksud.
8. Pasal 63 Kejelasan Rumusan
- Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan;
- Kemudian jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan tersebut dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak
Ubah
157
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
9. Pasal 54 dan
Pasal 55
Potensi disharmoni (aspek kewenangan)
Pasal 54 dan Pasal 55 berpotensi bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (4) pada UU yang sama.
Kebolehan penyelenggaraan IG oleh setiap orang selain Pemerintah dan Pemerintah Daerah berpotensi disharmoni dengan Pasal 23 Ayat (4) yang menentukan bahwa IGT hanya boleh diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemda, kecuali untuk kepentingan pribadi. IGT merupakan bagian dari IG, sehingga ketentuan Pasal 54 dapat disalah artikan bahwa IGT juga dapat diselenggarakan oleh pihak lain selain Pemerintah atau Pemda.
Direkomendasikan diubah
10. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
(Bab X Ketentuan Pidana Pasal 64 –Pasal 68)
Efektivitas Dalam merumuskan pidana denda hendaknya memperhitungkan kemampuan rata-rata ekonomi pelaku tindak pidana serta efisiensi bagi beban keuangan Negara. Pada Pasal 64 – Pasal 68 dapat dilihat rasio/perbandingan antara pidana penjara dan pidana dendanya sebagai berikut:
Sanksi pidana: alternatif
Pasal Pid. Penjara Pid. Denda
64 Ayat (1) 2 thn 500 Jt
Ayat (2) 5 thn 1,25 M
65 Ayat (1,2)
1 thn 250 Jt
Ketentuan sanksi hendaknya lebih difokuskan pada sanksi administrasi saja, agar lebih efektif dan efisien. Jika sanksi pidana sangat dibutuhkan, direkomendasikan diubah menjadi hanya pidana denda saja, tanpa alternatif pidana penjara.
158
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Ayat (3) 3 thn 750 Jt
66 Ayat (1, 2)
6 bln 125 Jt
Ayat (3) 3 thn 750 Jt
67 3 thn 750 Jt
68 Ayat (1) 2 thn 500 Jt Ayat (2) 3 thn 750 Jt
Rasio penjara : denda adalah 6 bln : 125 jt
- Ditinjau dari sudut solvency atau tingkat kecukupan kemampuan keuangan dari pelaku tindak pidana untuk membayar hukuman denda (Romli Atmasasmita & Kodrat Wibowo, Analisis Ekonomi Mikro tentang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016, hlm. 105). Kemampuan rata-rata ekonomi masyarakat Indonesia adalah berpenghasilan adalah 47,96 juta pertahun atau kurang lebih 4 juta per bulan (BPASAL, 2016). Artinya pendapatan orang Indonesia hanya 38% dari jumlah pidana denda yang ditentukan. Bercermin pada pendapatan perkapita tersebut, perhitungan pidana yang maksimal mencapai 125 juta, agaknya kurang efektif. Tingkat solvency yang rendah akan mengakibatkan efek pencegahan menjadi tidak efektif bekerja. Karena dapat diprediksi orang akan lebih memilih pidana penjara. Dari sudut pandang ini direkomendasikan dianalisis apakah sanksi denda ini mengarah pada pelaku orang per orang atau lebih mengarah pada korporasi. Jika memang sanksi denda ini untuk
Namun, oleh karena UU ini lebih tepat dituangkan dalam PUU di bawah UU (PERATURAN PEMERINTAH atau Perpres), maka sanksi yang boleh dinormakan hanya sanksi administratif.
159
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
menjaring korporasi maka perhitungan tingkat solvency akan berbeda, sehingga jumlah sanksi pidana denda dapat dirumuskan secara maksimal.
Metode pngitungan denda dapat dengan cara: memungut denda yang sama besar atau lebih besar beberapa persen dari manfaat yang mungkin diperoleh dari kejahatan yang dilakukan (Romli Atmasasmita, ibid, hlm. 108).
- Ditinjau dari efisiensi terhadap beban keuangan Negara, maka dapat diperhitungakan jika pidana penjara harus dijalankan maka cost yang harus dikeluarkan Negara untuk membiayai terpidana kasus IG ini adalah 6 bulan-5 tahun dikali biaya makan terpidana. Berdasarkan data bahwa anggaran makanan per orang sebesar 15 ribu per hari bagi tahanan/napi di LP, atau 30 ribu perhari bagi tahanan di kepolisian. Anggaran ini juga masih ditambah potensi beban biaya pengobatan bagi napi yang sakit, dan kedirekomendasikanan primer lainnya. Saat ini jumlah tahanan dan napi di seluruh Indonesia yang menjadi tanggungan Negara adalah 225.992 orang (data Ditjen Pemasyarakatn 2017). Untuk anggaran makanan mereka dibutuhkan anggaran sebanyak 3,389 Milyar Rupiah per hari.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kiranya direkomendasikan diformulasikan kembali mengenai sanksi pidana penjara bagi pelanggaran-pelanggaran di bidang IG, untuk dapat mengefisienkan politik pidana dan pemidanaan secara keseluruhan di Negara
160
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Indonesia.
11. Masalah tingkat ketelitian skala peta
Efektivitas Sangat terbatasnya ketersediaan peta dasar dengan skala terkecil (1: 10.000) dalam menunjang penataan ruang wilayah.
Hal ini terkait dengan adanya ketidakseragaman ketentuan mengenai tingkat ketelitian peta pada beberapa PUU. Di antaranya:
PERATURAN PEMERINTAH Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tingkat Ketelitian Peta (Pasal 14, 15, 17, 18, 20. 27, 29) dengan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 16/MEN/2008 tentang Perencanaan WP3K (Pasal 18 dan 19).
Skala Peta Dasar RTRW menurut PERATURAN PEMERINTAH Nomor 8/2013 dan RZWP3K menurut Permen KP Nomor 16/MEN/2008:
Wilayah RTRW RZWP3K
Provinsi 1: 250.000 (Pasal 14)
1:250.000 (Pasal 18)
Kabupaten 1: 50.000 (Pasal 15)
1:50.000 (Pasal 19)
Kota 1: 25.000 (Pasal 17)
1:50.000 (Pasal 19)
Kawasan perkotaan
1:10.000 1:50.000 (kwsn mencakup 2 wil. ab/kota)
-
Direkomendasikan harmonisasi kembali mengenai ketelitian skala peta, agar seragam dan dapat dipergunakan secara integral.
161
NOMOR BAGIAN YG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
(Pasal 27)
Kawasan perdesaan
1:10.000 1:50.000 (kwsn mencakup 2 wil.kab/kota) (Pasal 29)
-
Wilayah pulau/kepulauan
1:500.000 (Pasal 20)
-
Rencana rinci - 1:10.000
13. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Terdiri dari 120 pasal.
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang rumah Susun direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALLISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Tujuan dasar dari penyelenggaraan rumah susun lebih tepat dimuat dalam penjelasan umum undang-undang maupun naskah akademik. Kalaupun direkomendasikan dinormakan, seharusnya disebutkan di
Ubah
162
NOMOR BAGIAN YANG DIANALLISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dalam salah satu butir pasal 1 tentang ketentuan umum.
3. Pasal 4 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup merupakan salah satu dasar yang tidak direkomendasikan menjadi satu pasal tersendiri, alangkah baiknya jika tergabung didalam Pasal 1 tentang ketentuan umum.
Ubah
4. Pasal 43 Kesesuaian Norma dengan Asas
Di dalam Pasal ini tidak ada pengaturan mengenai pengawasan dari pemerintah terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PERATURAN PEMERINTAH). Pengaturan mengenai PERATURAN PEMERINTAH hanya antara pihak pembeli dan pihak pengembang saja, seharusnya ada campur tangan pemerintah dalam hal pengawasan dan pembinaannya.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR:
- Kejelasan mengenai pihak yang melakukan pengawasan dan penegakkan hukum
- Transparansi/keterbukaan
Ubah
5. Pasal 16
Kesesuaian Norma dengan Asas
Disebutkan dalam Pasal 16 (2):
“Pelaku pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.”
Ubah
163
NOMOR BAGIAN YANG DIANALLISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Pada kenyataannya tidak ada penerapannya, sampai saat ini Pihak pengembang tidak menjalankan kewajiban sesuai dengan apa yang telah diatur oleh Pasal ini.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Ketentuan yang jelas mengenai akuntabilitas pengelolaan
6. Pasal 97 Kejelasan Rumusan
Pasal ini berisi mengenai larangan mengingkari ketentuan Pasal 16 Ayat (2), sedangkan Pasal 16 Ayat (2) harus ditindaklanjuti dengan PERATURAN PEMERINTAH, padahal PERATURAN PEMERINTAH mengenai kewajiban menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% dari total luas rumah susun komersil yang dibangun, hingga saat ini belum ada (catatan: Pasal 119 UU ini menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan yang diamanatkan UU ini diselesaikan paling lambat 1 tahun setelah diundangkan). Sehingga Pasal 97 ini menjadi tidak berdaya guna, kecuali pada pasal ini diberikan jangka waktu penyesuaian bagi pelaksanaan pembangunan 20% rumah susun umum dari total luas rumah susun komersil yang telah dibangun.
Ubah
7. Pasal 107 dan 108 Kejelasan Rumusan
Didalam Pasal 107 dan 108 yang mengatur mengenai sanksi administratif seharusnya diatur secara terintegrasi dengan pasal yang dikenai sanksi. Sesuai dengan apa yang ada di Lampiran II Nomor 64 dan Nomor 65 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa:
“Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi
Ubah
164
NOMOR BAGIAN YANG DIANALLISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab”
8. Pasal 117 Kejelasan Rumusan
Didalam pasal tersebut adanya penggabungan dua pasal namun tidak memiliki kesamaan unsur pasal yang satu dengan pasal yang lainnya. Di dalam sebuah Peraturan Perundang-undangan harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar. Sebaiknya adanya pemisahan didalam dua pasal yang digabungkan tersebut. hal yang paling penting bahwa setiap pembentuk Peraturan Perundang-undangan harus berhati-hati dalam merumuskan ketentuan pidana itu sendiri. Pidana adalah jalan terakhir dalam upaya penegakan hukum setelah sanksi-sanksi yang lain dirasa tidak dapat memenuhi hukum. Sifat ultimum remidium pidana hendaknya dijadikan landasan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ubah
9. Pasal 119 Kejelasan Rumusan
Penyimpangan dapat saja terjadi saat/sebelum mulai berlakunya peraturan perundang-undangan, hendaknya dinyatakan secara tegas dengan peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Ubah
165
14. UU Nomor UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 1 Tahun 2014 (telah dilakukan pada tahun 2016)
- Terdiri dari 80 pasal, dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, maka jumlah pasal menjadi bertambah 7 pasal sisipan.
Status Pasal:
- Pasal 1 angka 17, 18, 19, 23, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 38, 44, Pasal 14 Ayat (1) dan (7), Pasal 16, Pasal17, Pasal 18. Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 30, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60, Pasal 63 Ayat (2), Pasal 71 dan Pasal 75 diubah oleh UU Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007 (sebagai tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010).
- Rekomendasi : UU ini direkomendasikan di ubah dengan hanya memfokuskan pada materi hukum pengelolaan asaja, tanpa mengatur
perencanaan
dan pengendalian terkait penataam ruangnya.
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. - Politik hukum UU;
D1 - Materi pengaturan yang terkait penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil hendaknya diatur secara integral ke dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, karena pada hakekatnya ruang pesisir dan pulau-pulau kecil adalah juga daratan, karena di bawahnya masih terdapat dasar/ tanah yang dapat diukur. Sehingga, materi pengaturan UU Nomor 27 Tahun 2007 hanya terbatas yang berkenaan dengan pengeloalaan WP3K, dengan memperhatikan penataan ruangnya. Jika ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikecualikan dari UU Nomor 26 Tahun 2007 akan berpotensi terjadi konflik kewenangan antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian KKP.
- Ditinjau dari politik hukum (arah pengaturan) dari UU ini,
UU ini sebaiknya diubah dengan hanya memfokuskan diri pada pengelolaan, tanpa mengatur perencanaan dan pengendalian penataan ruangnya.
166
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
seperti yang diuraikan pada Penjelasan Umum UU Nomor 27 Tahun 2007, bahwa UU ini ingin mengatur pemanfaatan atau pengelolaan WP3K yang tidak hanya berorientasi pada eksploitasi, akan tetapi juga memperhatikan kelestarian sumber daya, kesadaran nilai strategi WP3K secara berkelanjutan, terpadu dan berbasis pemberdayaan masyarakat lokal, terintegrasi dengan pembangunan daerah. Disebutkann pula bahwa norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Sedangkan UU 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU 27 Tahun 2007, merupapkan penyempurnaan dari makna penguasaan Negara terhadap sumber daya WP3K yang semula diatur dengan HP-3 menjadi Izin.
- Ditegaskan pula dalam penjelasan Pasal 9 UU 27/2007 menyebutkan bahwa RZWP3K merupakan bagian dari tata ruang wilayah, namun terjadi penafsiran yang bervariasi, ada yang menganggap RZWP3K diatur dengan perda tersendiri, ada pula yang menganggap terintegrasi dengan Perda RTRW.
- Oleh karenanya, seharusnya UU PWP3K tidak mengatur masalah perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang menjadi ranah UU 26/2007, melainkan hanya mengatur masalah pengelolaan yang harus memperhatikan kelestarian
167
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
ekosistem, nilai strategis, berkelanjutan, terpadu dan berbasis masyarakat lokal.
- Oleh karenanya, UU ini sebaiknya diubah dengan hanya memfokuskan diri pada pengelolaan, tanpa mengatur perencanaan dan pengendalian penafaatan ruangnya.
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
3. Pasal 4 Kejelasan Rumusan
Tujuan UU pada dasarnya telah tercermin dalam konsiderans menimbang dan lebih rinci tercantum dalam dalam penjelasan umum pada lampiran undang-undang dan lebih rinci lagi terdapat dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan maka dirumuskan dalam salah satu butir pasal tentang ketentuan umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Ubah
4. Pasal 7 Kesesuaian Norma dengan Asas
Perencanaan pengelolaan WP3K yang cukup terperinci mencerminkan asas keberlanjutan, dengan indikator kewajiban perencanaan pengelolaan didasarkan prinsip kehati-hatian.
Catatan:
Ubah
168
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Namun pada Ayat (2), (3), (4), (5), berpotensi konflik karena tidak harmonis dengan UU 23/2014 tentang Pemda, khususnya pada Lampiran UU 23/2014 mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil (huruf Y Nomor 1) , pada lampiran ini tidak memberikan tugas perencanaan WP3K kepada Pemda. Untuk itu, pasal 7 Ayat (2), (3), (4) dan (5) direkomendasikan dilakukan revisi, jika memang perencanaan WP3K oleh Pemda masih dibutuhkan.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keseimbangan, keserasian dan keselarasan
INDIKATOR: Mengedepankjan prinsip kehati-hatian
5. Pasal 48 Kesesuaian Norma dengan Asas
Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pihak asing. Namun tidak mengatur pembatasan keikutsertaan asing dalam pemberian pendidikan, pelatihan dan penyuluhan di WP3K. Maka direkomendasikan ditambahakan mengenai pembatasan keikutsertaan asing tersebut, berupa persyaratan dan perizinan.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan
INDIKATOR: Tidak ditemukannya ketentuan yang dapat menyebabkan tidak terbatasnya keikutsertaan pihak asing
Ubah
6. Pasal 71 - pasal 72 Kejelasan Sanksi adminsitratif seharusnya diatur secara terintegrasi dengan Ubah
169
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Rumusan pasal yang dikenai sanksi.
Petunjuk Nomor 64 Lampiran II UU Nomor 12/2011:
“Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan”.
Petunjuk Nomor 65:
“Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.”
7. Pasal 7
Pasal 9 Ayat (4)
Potensi disharmoni (aspek perlindungan)
- UU Nomor 32 Tahun 2014 menggaris bawahi bahwa perencanaan ruang laut merupakan bagian dari konteks pengelolaan ruang laut. Lebih lanjut, dalam Pasal 43 UU Nomor 32 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Perencanaan Ruang Laut meliputi: a.perencanaan tata ruang Laut nasional; b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan c. perencanaan zonasi kawasan Laut.
direkomendasikan segera disesuaikan antara ketentuan-ketentuan tersebut:
a. Dalam hal tata ruang laut nasional seyogyanya diintegrasikan ke
170
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
- Perencanaan tata ruang laut nasional akan mengarah kepada suatu rencana tata ruang laut nasional. Sementara dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 rencana tata ruang wilayah nasional juga meliputi wilayah darat, laut, udara, dan dalam bumi.
- Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan menghasilkan suatu rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), dimana RZWP3K tersebut diatur lebih lanjut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dimana dalam hal ini diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 dalam rangka pengelolaan WP3K.
- Perencanaan zonasi kawasan laut merupakan perencanaan untuk menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antar wilayah, dimana untuk memberikan arahan pemanfaatan ruang di KSN, KSNT, dan kawasan antarwilayah. Permasalahan yang muncul kemudian adalah adanya banyak irisan antara rencana zonasi kawasan laut dengan RZWP3K. Mengingat tidak dikenal hieratki antara rencana zonasi kawasan laut dengan RZWP3K, kecuali terkait kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi. Hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi.
dalam rencana tata ruang wilayah nasional yang juga mencakup ruang udara, ruang laut, dan ruang dalam bumi.
b. Sementara itu, untuk Rencana Zonasi antarwilayah seyogyanya diatur sesuai kewenangan masing-masing, untuk jarak sampai dengan 12 mil diatur dengan RZWP3K Provinsi, sementara untuk yang di atas 12 mil diatur dengan RZ kawasan laut.
171
15. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
Terdiri dari 125 pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya.
Rekomendasi Khusus : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Jika ketetentuan mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka dirumuskan dalam salah satu butir pasal tentang ketentuan umum yang terdapat dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Ubah
3. Pasal 4 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada pasal 1 tentang ketentuan umum.
Ubah
4. Pasal 22 Kesesuaian Norma dengan Asas
Pasal ini menyebutkan bahwa pembina industri dapat bermitra dengan asosiasi industri dalam melakukan pembinaan dan pengembangan industri. Yang dimaksud pembina adalah aparatur pemerintah baik pusat maupun daerah, sehingga sebagai pembina industri ini seharusnya tidak bermitra kepada asosiasi industri tapi lebih tepatnya melakukan pengawasan dan pembinaan kepada
Ubah
172
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
asosiasi industri. Ketentuan ini direkomendasikan diubah .
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan
INDIKATOR: Pengutamaan kepemilikan dan peranan nasional
5. Pasal 23 Kesesuaian Norma dengan Asas
Dalam hal konsultan asing yang dipekerjakan di Indonesia harus benar-benar di batasi jangan sampai konsultan industri dalam negeri menjadi tersisih, dalam hal ini direkomendasikan ada pengaturan yang benar-benar ketat mengenai penggunaan konsultan asing ini.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan
INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing
Ubah
6. Pasal 24 Kesesuaian Norma dengan Asas
Dalam pasal 24 Ayat (1) ada penyebutan kata keadaan tertentu pasal ini ambigu, dan dapat disalah gunakan pasal ini direkomendasikan diubah dan diperjelas pengertian dari keadaan tertentu.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum
INDIKATOR: Transparansi/keterbukaan
Ubah
7. Pasal 26 Kesesuaian Norma dengan
Dalam pasal ini menteri memfasilitasi pembentukan lembaga sertifikasi profesi dan tempat uji kompetensi, seharusnya tidak cuma memfasilitasi saja tetapi juga bagaimana mengembangkan
Ubah
173
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Asas tenaga sertifikasi dan uji kompetensi ini .
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum
INDIKATOR: Kejelasan aturan mengenai koordinasi
8. Pasal 27 Kesesuaian Norma dengan Asas
Ayat (2) penulisan kata kondisi tertentu ini dapat dimaknai beragam dan bersifat ambigu sehingga dapat dijadikan alasan pihak industri untuk menggunakan tenaga kerja asing dan/atau konsultan asing. Ketentuan dalam pasal ini direkomendasikan diubah.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan
INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing
Ubah
9. Pasal 28 Kesesuaian Norma dengan Asas
Untuk pasal ini dalam hal penggunaan standar kompetensi kerja nasional untuk tenaga asing direkomendasikan ada pembedaan antara TKA dengan TKI. Sehingga ketentuan dalam pasal ini direkomendasikan diubah.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan
INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing
Ubah
10. Pasal 29 Kesesuaian Norma dengan
Seharusnya kata “dapat“ diganti dengan kata harus karena kata dapat bermakna bisa dilakukan bisa juga tidak.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan
Ubah
174
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Asas INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing
11. Pasal 32 Kesesuaian Norma dengan Asas
Dalam pasal 32 Ayat (1) kata “dapat” sebaiknya diubah dengan kata “harus” sehingga memang ada pelarangan yang serius dalam hal pembatasana ekspor sumber daya alam.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Pengayoman
INDIKATOR: Jaminan terhadap keberlajutan generasi kini dan generasi yang akan datang
Ubah
12. Pasal 51 Kesesuaian Norma dengan Asas
Pasal 51 Ayat (1) kata “sukarela” sebainya diganti dengan “harus” sehinggga perusahaan industri menerapkan SNI terhdap semua produksinya.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keseimbangan, Keserasian dan Keselarasan
INDIKATOR: Mengedepankan prinsip kehati-hatian
Ubah
13. Pasal 91 Kesesuaian Norma dengan
Kerjasama internasional ini jangan sampai mematikan produksi dalam negeri sehingga dalam pasal ini direkomendasikan dibuat aturan-aturan yang mempersulit pelaksanaan kerjasama
Ubah
175
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Asas internasional.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan
INDIKATOR: Peningkatan kemandirian bangsa
14. Pasal 92 Kesesuaian Norma dengan Asas
Pemberian fasilitas kerja sama internasional ini jangan sampai menghancurkan industri kecil sehingga direkomendasikan adanya aturan yang lebih diperketat.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Kebangsaan
INDIKATOR: Pembatasan keikutsertaan pihak asing
Ubah
15. Pasal 107 D2 Sanksi administratif seharusnya diatur secara terintegrasi dengan pasal yang dikenai sanksi.
Petunjuk Nomor 64 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011:
“Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan”.
Petunjuk Nomor 65:
Ubah
176
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
“Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan UU Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Terdiri dari 411 pasal.
Status pasal:
- Terdapat perubahan norma dalam semua pasal yang terkait pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota, Menjadi UU;
- Terdapat perubahan norma pada Pasal 63, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 88, Pasal 101, dan Pasal 154 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua UU 23 Tahun 2014;
- Terdapat perubahan norma dalam pasal Pasal 251 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4), Ayat (5), Ayat (7), Ayat (8) terkait Frasa
‘Perda Kabupaten/Kota’ , dan ‘Perda povinsi’ karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat oleh Putusan MK Nomor 137/ PUU-XII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016, tanggal 30 Mei 2017;
- Terdapat perubahan norma dalam Pasal 158 Ayat (1) huruf c, karena dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai
kekuatan mengikat oleh Putusan MK Nomor 7/PUU-XIII/2015.
- Rekomendasi : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah direkomendasikan di ubah
177
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 12 Direkomendasikan disesuaikan dengan nomenklatur lembaga yang ada, yaitu kementerian Agraria dan Tata Ruang. Sedangkan kedua bidang tersebut berbeda jenis urusan. Tata ruang merupakan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan digandengkan dengan urusan pekerjaan umum, sedangkan pertanahan (agraria) merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Sehingga kelembagaan yang mengurusai masalah pertanahan dan tata ruang di daerah tidak linier dengan urusan Kementerian di pusat.
Ubah
2. Pasal 249-251
(kecuali butir ketentuan /frasa yang tlh dibatalkan MK)
Kesesuaian Norma dengan Asas
Pasal 249 menyatakan bahwa Perkada yang sudah ditetapkan dalam waktu 7 hari harus diserahkan kepada Gubernur/Menteri untuk dinilai apakah bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Jika lebih dari 7 hari tidak menyerahkan dikenakan sanksi. Dalam hal hasil penilaian tersebut (menurut Pasal 251) Perda yang bertentangan dengan ketiga unsur dimaksud, maka Perda/Perkada tersebut akan dibatalkan. Namun tidak diatur berapa lama Gubernur/Menteri harus menyelesaikan penilaian Perda/Perkada tersebut, sehingga direkomendasikan dibatalkan.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan Kepastian Hukum
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas dan efisien
Ubah
178
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
3. Pasal 361 Ayat (3) Potensi disharmoni (aspek kewenangan)
Berpotensi disharmoni dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Ketentuan Pasal 361 Ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa Kewenangan Pemerintah Pusat di kawasan perbatasan meliputi seluruh kewenangan tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan perbatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai wilayah negara. Selain kewenangan tersebut, Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk
a. penetapan rencana detail tata ruang; b. pengendalian dan izin pemanfaatan ruang; dan c. pembangunan sarana dan prasarana kawasan.
Sementara itu, menurut UU Nomor 23 Tahun 2007 jo. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2010, tidak dikenal RDTR yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, namun diatur bahwa RDTR merupakan rencana rinci dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota, yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah.
- Direkomendasikan diiintegrasikan antara ketentuan Pasal 361 UU Nomor 23 Tahun 2014 dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 melalui Penetapan PERATURAN PEMERINTAH tersendiri sebagai pelaksanaan Pasal 361 UU Nomor 23 Tahun 2014, atau melakukan Perubahan PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2010.
- Dalam PERATURAN PEMERINTAH tersebut diatur terkait Norma, Standar, Prosedur, dan Ketentuan
179
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
terkait penetapan RDTR di Kawasan Perbatasan, serta diatur pula bentuk peraturan penetapan RDTR tersebut, apakah dengan Peraturan Presiden, Peraturan Menteri ATR, atau bentuk peraturan lain.
- Disamping itu, dalam rangka pembagian kewenangan izin pemanfaatan ruang, direkomendasikan pula dibentuk PERATURAN PEMERINTAH guna melaksanakan Pasal 361 UU Nomor 23 Tahun 2014 guna pembagian kewenangan tersebut, yang mana
180
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
menjadi kewenangan pemerintah pusat dan yang mana menjadi kewenangan pemerintah daerah.
4. Pasal 27 Ayat (2) huruf c
Potensi disharmoni (aspek kewenangan)
Berpotensi disharmoni dengan UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 26 Ayat (4).
Di dalam Pasal 26 Ayat (4) huruf a UU Nomor 29/2007 disebutkan bahwa kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meliputi penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang tata ruang. Namun, di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 27 Ayat (2) huruf c menyebutkan bahwa kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut meliputi pengaturan tata ruang.
Salah satu instrumen pengaturan tata ruang dan pelaksanaan kebijakan tata ruang adalah berupa perizinan.
Terdapat beberapa peraturan perundangan sektoral di tingkat pusat (PERATURAN PEMERINTAH, Perpres, Permen) yang ternyata juga mengatur perizinan pada ruang laut yang sama. Hal ini menyebabkan adanya konflik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Contohnya adalah kewenangan perizinan untuk reklamasi yang tumpang tindih antara Pemprov DKI Jakarta,
Direkomendasikan harmonisasi antara UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemprov DKI (Pasal 26 Ayat (4)) dengan UU 23 Tahun 2014 (Pasal 27 Ayat (2) huruf c.
181
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISIS
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perhubungan. Termasuk rencana Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN)/NCICD yang merupakan kebijakan Pemerintah Pusat namun berada pada ruang laut Provinsi DKI Jakarta.
17. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Terdiri dari 29 (dua puluh Sembilan) pasal
Status : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi Khusus : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan
Rumusan
Pasal ini memuat definisi yang seharusnya berada pada pasal 1 Ubah
2. Pasal 4
Kejelasan
Rumusan
Substansi pasal ini telah diatur dalam Ketentuan Umum sehingga
duplikat dengan substansi Pasal 1 angka 1
Ubah
3. Pasal 5 Kejelasan
Rumusan
substansi pasal ini seharusnya termuat dalam pasal 1 Ubah
4. Pasal 7 Kejelasan
Rumusan
UU ini hanya memberikan penjelasan terkait ancaman militer
namun tidak memberikan penjelasan mengenai ancaman non
militer
Ubah
182
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
5. Pasal 8
Kejelasan
Rumusan
UU ini tidak memberikan rumusan yang jelas mengenai perbedaan
sumber daya nasional yang tergolong sebagai komponen cadangan
dan sumber daya nasional yang tergolong komponen pendukung.
Ubah
6. Pasal 9
Kejelasan
Rumusan
UU ini tidak jelas merumuskan mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam hal pertahanan negara kaitannya dengan rezim pendidikan nasional, selain itu UU ini juga tidak menjelaskan apa yag dimaksud dengan pengabdian sesuai dengan profesi kaitannya dengan pertahanan negara.
Keberadaan pasal mengenai bela negara tidak tepat berada di dalam Pasal 9, substansi dalam pasal ini masih terlalu umum sehingga tidak selaras dengan keberadaan Pasal 8 dan Pasal 10 yang membahas mengenai komponen cadangan, komponen pendukung, dan TNI.
Ubah
7. Pasal 15
Kejelasan
Rumusan
UU ini tidak mengatur dalam bentuk hukum apa kebijakan umum
pertahanan negara ditetapkan. Dalam prakteknya kebijakan
pertahanan negara ditetapkan melalui Perpres
Ubah
8. Pasal 16
Kejelasan
Rumusan
UU ini tidak jelas dalam merumuskan perbedaan antara kebijakan umum yang ditetapkan oleh Presiden, kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), buku putih sebagamana dimaksud pada Ayat (4) serta kebijakan umum penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada Ayat (5).
Ayat (7) tidak sempurna perumusannya sehingga menimbulkan penafsiran ganda apakah penyusunan dan pelaksanaan
Ubah
183
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan hanya dilakukan oleh Menteri atau harus bekerja sama dengan pimpinan departemen dan instansi pemerintah lainnya.
9. Pasal 17
Kejelasan
Rumusan
Tata cara pengangkatan dan pemberhentian panglima menurut materi muatannya harus diatur melalui Peraturan Presiden sedangkan penetapan panglima dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden.
Ubah
10. Pasal 20
Kejelasan
Rumusan
- Ketentuan Ayat (2) tidak konsisten mengenai ruang lingkup sumber daya nasional yang seharusnya sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana nasional. Dalam pasal ini sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi, dan dana
- Materi muatan yang akan diatur lebih lanjut dalam delegasi Ayat (2) akan tumpang tindih dengan pengaturan mengenai komponen cadangan dan komponen pendukung yang juga merupakan delegasi dari pasal 8 Ayat (3). Tumpang tindih tersebut karena adanya kesamaan objek yang akan diatur yaitu sumber daya nasional berupa sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan.
- Materi yang akan didelegasikan pada Ayat (3) rumusannya tidak jelas, apakah akan mendelegasikan materi mengenai pembangunan di daerah atau materi mengenai pembinaan kemampuan pertahanan
Ubah
184
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
11. Pasal 22
Kejelasan
Rumusan
Penetapan wilayah sebagai instalasi militer seharusnya dilakukan melalui Perpres berikut kriteria wilayah seperti apa yang dapat dijadikan sebagai instalasi militer dan latihan militer.
Ubah
18. UU Nomor UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Terdiri dari 74 Pasal
Status pasal : berlaku seluruhnya
Kesimpulan analisis : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan direkomendasikan diubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sesuai petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Ubah
185
19. PERATURAN PEMERINTAH Nomor80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun Dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri
Terdiri dari 60 Pasal
Status Pasal : berlaku seluruhnya
Kesimpulan analisis : PERATURAN PEMERINTAH Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun
Yang Berdiri Sendiri direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Tujuan Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang dan dalam naskah akademiknya. Jika ketentuan mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka dirumuskan dalam salah satu butir pasa1 tentang ketentuan umum yang terdapat dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Ubah
2. Bab IX Ketentuan Lain
Kejelasan Rumusan
Bab Ketentuan Lain tidak didirekomendasikankan cukup dimasukkan kedalam satu pasal di dalam materi pokok yang diatur (lihat lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengenai teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.
Ubah
3. Pasal 15 Kesesuaian Norma dengan Asas
Kata “diupayakan” sebaiknya dihilangkan dan diganti dengan kata “jaminan” sehingga apabila ada pembuatan kasiba dan lisiba masyarakat akan tetap merasa aman tempat tingalnya tidak digusur.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keadilan
Ubah
186
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
INDIKATOR: Memperlakukan semua orang secara seimbang tanpa diskriminasi
4. Pasal 18 Ayat (3) Kesesuaian Norma dengan Asas
Tidak disebutkan secara jelas ketentuan PUU yang mana yang digunakan apakah Perpres, PERATURAN PEMERINTAH, atau Permen.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah
Ubah
2. Pasal 23, pasal 25, Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (5), pasal 33, pasal 36 Ayat (2), pasal 38 Ayat (2), pasal 44 Ayat (2), pasal 48 Ayat (1), pasal 51 Ayat (5)
Kesesuaian Norma dengan Asas
Tidak disebutkan secara jelas ketentuan PUU yang mana yang digunakan apakah Perpres, PERATURAN PEMERINTAH, atau Permen.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Aturan dan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah
Ubah
187
20. PERATURAN PEMERINTAH No 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota
Terdiri dari 40 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Kesimpulan analisis : Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Tujuan penyelenggaraan hutan kota dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang dan dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan, maka dirumuskan dalam salah satu butir Pasal 1 tentang Ketentuan Umum yang terdapat dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Ubah
2. Pasal 19 Kesesuaian Norma dengan Asas
Ketentuan Ayat (2) mengenai pemberian insentif tidak dijelaskan dengan lebih detil berapa besaran insentif yang akan diberikan. Pada Ayat (3) disebutkan diatur dengan Perda ini juga direkomendasikan di jelaskan mengenai besarannya, karena anggaran Pemda juga diperuntukan bagi pembiayaan masing-masing sektor. Pemda memperhitungkan ketersediaan anggaran, dalam hal ini insentif sebagaimana diatur dalam PERATURAN PEMERINTAH ini. Hal-hal seperti ini direkomendasikan untuk dipertimbangkan agar PUU dapat implementatif dengan baik.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin akuntabilitas pengelolaan .
Ubah
188
21. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Terdiri dari 30 Pasal
Status Pasal berlaku seluruhnya
Kesimpulan Analisis : Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah direkomendasikan untuk di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Asas merupakan nilai-nilai yang harus menjiwai norma dalam suatu peraturan perundang-undangan. Asas tidak termasuk dalam kategori meta norma yang harus dituangkan dalam ketentuan pasal.
Hal ini juga ditegaskan dalam petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU, yang menyebutkan bahwa hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya, antara lain ketentuan yang mencerminkan ‘asas’, ‘maksud’ dan ‘tujuan’ tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab, maka termasuk dalam ketentuan umum.
Ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Hal ini juga ditegaskan dalam petunjuk Nomor 98 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PUU, yang menyebutkan bahwa hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya, antara lain ketentuan yang mencerminkan ‘asas’, ‘maksud’ dan ‘tujuan’ tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab, maka termasuk dalam ketentuan umum.
Ubah
189
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
3. Pasal 9 Ayat (1) Kejelasan Rumusan
Ayat (1) tidak didirekomendasikankan karena kalimatnya terulang pada Ayat (2) dengan tambahan keterangan yang lebih tegas dan jelas. Artinya ketiadaan Ayat (1) tidak mempengaruhi isi Pasal 9.
Ubah
4. Pasal 11 Kesesuaian Norma dengan Asas
Janis hak atas tanah sebagaimana disebutkan Pasal 16 Ayat (1) UU Nomor 5/1960 tentang UUPA adalah:
a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak sewa; f. hak membuka tanah; g. hak memungut hasil hutan; h. hak-hak lain.
Sedangkan kawasan lindung menurut Penjelasan Pasal 5 Ayat (2) UU 26 Tahun 2007 adalah:
- Kawasan yang memberi perlindungan bagi kawasan bawahannya (mis: kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air);
- Kawasan perindungan setempat (mis: sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air);
- Kawasan suaka alam dan cagar budaya (mis: hutan bakau, taman nasional, hutan raya, taman wisata alam, suaka margasatwa);
Ubah
190
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
- Kawasan rawan bencana alam; - Kaawasan lindung lain (mis: taman buru, cagar biosfer, kawasan
perlindungan plasma nutfah, terumbu karan). Oleh karenanya, dalam pasal ini lebih tepat jika ditegaskan ‘hak atas tanah’ jenis apa yang dapat diberikan pada tanah dalam kawasan lindung dan kawasan cagar budaya yang belum ada hak atas tanahnya. Karena jika diberikan hak milik pada kawasan lindung dan kawasan cagar budaya, sangat berpotensi merusak fungsi lindung dan fungsi cagar budayanya.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Keseimbangan, keserasian dan keselarasan
INDIKATOR:
- Mengedepankan kepentingan umum; - Mengedepankjan prinsip kehati-hatian.
191
22. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
Terdiri dari 95 Pasal
Status pasal :Berlaku seluruhnya
Rekomendasi Khusus : Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol direkomendasikan diubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Maksud, tujuan dan penyelenggaraan jalan tol dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang dan dalam naskah akademiknya. Jika ketentuan mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka dirumuskan dalam salah satu butir Pasal 1 tentang ketentuan umum yang terdapat dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan ruang lingkup cukup dimasukkan dalam ketentuan umum.
Ubah
23. PERATURAN PEMERINTAH 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung Terdiri dari 120 Pasal Status : pasal berlaku seluruhnya Rekomendasi : Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung direkomendasikan diubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada Pasal 1 Ubah
192
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Rumusan tentang ketentuan umum.
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
- Penyebutan tujuan pengaturan bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang tidak didirekomendasikankan karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma).
- Tujuan dapat dituangkan dalam ketentuan umum atau dalam Naskah Akademiknya.
- Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan penyelenggaraan penataan ruang. diubah dan dimasukkan dalam Bab I Ketentuan Umum atau tercermin dalam Naskah Akademik.
Ubah
24. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Terdiri dari 21 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : PERATURAN PEMERINTAH Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan direkomendasikan diubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Merujuk kepada Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Nomor 98. Maka disarankan didalam Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun untuk dapat diubah dikarenakan tidak operasional.
Ubah
193
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Tujuan dasar dari penyelenggaraan rumah susun sepatutnya termuat di dalam penjelasan umum undang-undang maupun naskah akademik. Kalaupun tetap disebutkan, seharusnya disebutkan di dalam salah satu butir Pasal 1 tentang Ketentuan Umum.
Ubah
3. Pasal 4 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup merupakan salah satu dasar yang tidak direkomendasikan menjadi satu pasal tersendiri, alangkah baiknya jika tergabung didalam Pasal 1 tentang ketentuan umum.
Ubah
25. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan sebagaimana telah diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH Nomor 3 Tahun 2008
Catatan : Terdiri dari 144 pasal, 1 pasal sisipan (Pasal 132A), 37 pasal diubah (diubah, ditambahkan, dihapus Ayat/hurufnya),
yaitu Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 13, Pasal 14, Pasal25, Pasal Pasal 26, Pasal 29, Pasal 33, Pasal 26, Pasal 28,
Pasal40, Pasal 44, Pasal 50, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 57, Pasal61, Pasal 62, Pasal 65, Pasal70,
Pasal 71, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 81, Pasal 96, Pasal 118, Pasal 120, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 130, Pasal 132,
Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 141.
Kesimpulan : Analisis PERATURAN PEMERINTAH Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 direkomendasikan di
ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Nama PERATURAN PEMERINTAH
Kejelasan Rumusan
Merujuk pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka berdasarkan fungsinya hutan di bagi dalam 3 kategori, yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Agar fokus dan tidak menimbulkan kerancuan, sebaiknya PERATURAN
Ubah
194
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
PEMERINTAH ini terfokus pada pengaturan masalah hutan produksi.
2. Pasal 33 Kejelasan Rumusan
Kata ‘dan’ hendaknya diganti dengan kata ‘atau’. Karena huruf a sampai huruf f tidak dimaksudkan secara kumulatif, melainkan alternatif.
Ubah
26. PERATURAN PEMERINTAH No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sebagaimana telah diubah dengan
PERATURAN PEMERINTAH Nomor 13 Tahun 2017
Terdiri dari 127 pasal.
Status pasal:
Diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH 13/2017: 45 pasal (Pasal: 5, 6, 7, 8, 14, 15, 18, 21, 26, 28, 30, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40,
41, 42, 42, 43, 51, 52, 53, 55, 57, 59, 63, 64, 66, 68, 78, 82, 95, 99, 100, 101, 103, 107, 108 110, 114)
Dihapus dengan PERATURAN PEMERINTAH 13/2017: 1 pasal (Pasal 58)
Ditambahkan pasal sisipan dengan PERATURAN PEMERINTAH 13/2017: 4 pasal (Pasal 40A, 68A, 107A dan 114A)
Rekomendasi: PERATURAN PEMERINTAH Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sebagaimana telah
diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH Nomor 13 Tahun 2017 direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ketentuan Umum Ubah
195
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Peran, fungsi juga seharusnya masuk dalam Bab I Ketentuan Umum. Ubah
27. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
Terdiri dari 209 Pasal
Status Pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 1 Kejelasan Rumusan
- Definisi penyelenggaraan menurut KBBI, proses menyelenggarakan dalam berbagai arti (seperti pelaksanaan, penuaian);
- Merujuk pada Pasal 1 angka 7, penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang;
- Dalam Lapiran II UU Pembentukan PUU, petunjuk No. 103 mengatakan bahwa apabila rumusan definisi dari suatu PUU dirumuskan kembali dalam PUU yang akan dibentuk, maka rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam PUU yang telah berlaku;
- Dalam UU 26/2007, diatur dalam Pasal 1 angka 6 bahwa penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang;
Ubah
196
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
- Dengan demikian, definisi penyelenggaraan penataan ruang antara PERATURAN PEMERINTAH sudah sesuai dengan UU;
2. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Sebagaimana petunjuk dalam Lampiran UU 12/2011, sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan penyelenggaraan penataan ruang diubah dan dimasukkan dalam Bab I Ketentuan Umum atau tercermin dalam Naskah Akademik.
Ubah
3. Pasal 51 Kejelasan Rumusan
- Pada Pasal 51, kriteria kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi:
- Kalimat meliputi menunjukkan kumulatif dari semua alternatif yang ada, sehingga pada huruf f, seharusnya kata ‘dan’, bukan ‘atau’.
Ubah
4. Pasal 3, Pasal 4, Pasal 39, Pasal 40 (5), Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 156, Pasal 158 dan Pasal 165.
Potensi disharmoni
Ketentuan Pasal 361 Ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa Kewenangan Pemerintah Pusat di kawasan perbatasan meliputi seluruh kewenangan tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan perbatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai wilayah negara. Selain kewenangan tersebut, Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk a. penetapan rencana detail tata ruang; b. pengendalian dan izin pemanfaatan ruang; dan c. pembangunan sarana dan prasarana kawasan.
Direkomendasikan harmonisasi terhadap pasal2 terkait RDTR dengan Pasal 361 Ayat (3) UU 23/2014 tentang Pemda.
197
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Sementara itu, menurut UU Nomor 23 Tahun 2007 jo. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 15 Tahun 2010, tidak dikenal RDTR yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, namun diatur bahwa RDTR merupakan rencana rinci dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota, yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah.
28. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
Terdiri dari 29 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 4 Kejelasan Rumusan
- Ketentuan yang mencerminkan tujuan seharusnya tertuang dalam ketentuan umum, dan secara rinci dapat dilihat dalam Naskah Akademiknya.
- Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan penyelenggaraan penataan ruang diubah dan dimasukkan dalam Bab I Ketentuan Umum atau tercermin dalam Naskah Akademik.
Ubah
198
29. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara
Terdiri dari 49 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Tujuan pembangunan bandar udara beserta penempatan lokasi pembangunannya merupakan hal yang mendasar yang sepatutnya cukup terdapat di penjelasan umum saja.
Ubah
30. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman
Terdiri dari 19 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan
Permukiman direkomendasikan untuk di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 12 Ayat (2) Kejelasan Rumusan
Dalam merumuskan ketentuan peraturan perundang-undangan, digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat dan mudah dimengerti (lihat ketentuan Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 244), sehingga ketentuan pasal 12 Ayat (2) menjadi: materi pendidikan
Ubah
199
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:
a. Teknis manajerial; b. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
dan/atau Keahlian perencanaan dan perancangan rumah serta perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
2. Pasal 15- pasal 16 Kesesuaian Norma dengan Asas
Tidak dijelaskan siapa yang ditunjuk untuk melakukan pendampingan dan pemberdayaan ini, sehingga direkomendasikan diperjelas lagi lembaga yang memang berhak melakukan pendampingan dan pemberdayaan.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum
Ubah
3. Pasal 17-pasal 18 Kesesuaian Norma dengan Asas
Tidak dijelaskan secara jelas bagaimana proses pengembangan sistem informasi dan komunikasi yang dilakukan dan siapa yang bertanggung jawab untuk menyusun dan mengembangkannya.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum
Ubah
200
31. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
Terdiri dari 74 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Peraturan pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Indsutri direkomendasikan untuk di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Ayat (2) Kejelasan Rumusan
Ketentuan yang mencerminkan tujuan sebaiknya dituangkan dalam ketentuan umum, dan lebih rinci dapat dituangkan dalam penjelasan umum dalam lampiran undang-undang, lebih detail lagi dapat dilihat naskah akademiknya. Jika ketentuan mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab tentang ketentuan umum yang terdapat dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Ubah
2. Pasal 41 Kesesuaian Norma dengan Asas
Pemberian insentif perpajakan ini direkomendasikan di koordinasikan lagi dengan kementerian keuangan, karena kementerian keuangan tidak mengenai pengaturan pemberian insentif ini, karena dengan pemberina insentif pajak kepada indutstri otomatis tidak ada pemasukan bagi kasa negera terkait penerimaan pajak.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang jelas mengnai pihak yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum
Ubah
201
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
3. Pasal 43 Kesesuaian Norma dengan Asas
Tidak ada kejelasan bagaimana proses pemebwrian insentif yang diberikan oleh daerah dan bagaimana pengaturannya mengenai isentif itu diatur sehingga ada pasal ini direkomendasikan dijelaskan dengan lebih rinci mengenai pemberia insentif ini.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastan hukum
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin transparansi (keterbukaan)
Ubah
4. Pasal 44 Kesesuaian Norma dengan Asas
Apakah direkomendasikan dibuat lagi komite akreditasi kawasan industri, mengapa tidak disatukan saja dengan komite kawasan industri
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas dan efisien
Ubah
5. Pasal 46 Kesesuaian Norma dengan Asas
Apakah direkomendasikan Badan Layanan Umum, mengapa tidak memberdayakan ditjen pengembangan perwilayahan industri (PERATURAN PEMERINTAH), karena pembangunan kawasan industri ini memang sudah menjadi tugasnya pemerintah, korelasi antara antara membentuk BLU akan dengan berkembangnya pertumbuhan industri sebaiknya terlebih dahulu dikaji cost and benefitnya.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
Ubah
202
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang menjamin prosedur yang jelas dan efisien
6. Pasal 51-pasal 52 Kesesuaian Norma dengan Asas
Saat ini komite kawasan industri belum dibentuk, sebaiknya harus segera dibentuk mengingat PERATURAN PEMERINTAH ini sudah diterbitkan sejak tahun 2015.
TIDAK SESUAI DENGAN ASAS: Ketertiban dan kepastian hukum
INDIKATOR: Adanya ketentuan yang jelas mengenai pihak yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum
Ubah
32. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut UU Informasi Geospasial Terdiri dari 126 (seratus dua puluh enam) pasal Berlaku seluruhnya Rekomendasi: Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tindak Lanjut UU Informasi Geospasial direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada Pasal 1 tentang Ketentuan Umum.
Ubah
203
33. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025 Terdiri dari 80 (delapan puluh) pasal Berlaku seluruhnya Rekomendasi : PERATURAN PEMERINTAH Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025 tetap
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Sudah sesuai dengan parameter 5 dimensi penilaian Analisis dan Evaluasi Hukum.
Tetap
34. PERATURAN PEMERINTAH Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Terdiri dari 34 (tiga puluh empat) pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 14, 15, 17, 20. 27, 29
Potensi disharmoni
Ketentuan ini dan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 16/MEN/2008 tentang Perencanaan WP3K (Pasal 18 dan 19), berpotensi disharmoni dalam pelaksanaannya. Karena terdapat perbedaan skala peta yang diatur oleh kedua PUU tersebut. Berikut perbedaan skala peta dimaksud:
Skala Peta Dasar RTRW menurut PERATURAN PEMERINTAH 8/2013 dan RZWP3K menurut Permen KP Nomor 16/MEN/2008:
Direkomendasikan harmonisasi kembali mengenai pengaturan skala peta, agar seragam dan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
204
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Wilayah RTRW RZWP3K
Provinsi 1: 250.000 (Pasal 14)
1:250.000 (Pasal 18)
Kabupaten 1: 50.000 (Pasal 15)
1:50.000 (Pasal 19)
Kota 1: 25.000 (Pasal 17)
1:50.000 (Pasal 19)
Kawasan perkotaan
1:10.000 1:50.000 (kwsn mencakup 2 wil. ab/kota) (Pasal 27)
-
Kawasan perdesaan
1:10.000 1:50.000 (kwsn mencakup 2 wil.kab/kota) (Pasal 29)
-
Wilayah pulau/kepulauan
1:500.000 (Pasal 20)
-
Rencana rinci - 1:10.000
205
35. Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakart, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur Terdiri dari 73 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakart, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak,
Cianjur direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
- Tujuan UU pada dasarnya telah tercermin dalam konsiderans menimbang dan lebih rincci tercantum dalam dalam penjelasan umum pada lampiran undang-undang dan lebih rinci lagi terdapat dalam naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini dibtuhkan dalam suaut peraturan perundang-undangan maka dirumuskan dalam salah satu butir Pasal 1 tentang Ketentuan Umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
- Tujuan dapat dituangkan dalam ketentuan umum atau dalam Naskah Akademiknya.
- Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan tujuan penataan ruang di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangeran, Bekasi, Puncak dan Cianjur diubah dan dimasukkan dalam Bab I Ketentuan Umum atau tercermin dalam Naskah Akademik.
Ubah
2. Pasal 5 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada pasal 1 tentang Ketentuan Umum.
Ubah
206
36. Perpres Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan Terdiri dari 123 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Perpres Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan
Tabanan direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Ruang lingkup cukup dimasukan dalam salah satu butir pada Pasal 1 tentang Ketentuan Umum.
Ubah
2. Pasal 6 Kejelasan Rumusan
Tujuan penataan ruang kawasan sepatutnya termuat didalam penjelasan umum undang-undang maupun naskah akademik. Kalaupun tetap disebutkan, seharusnya disebutkan di dalam salah satu butir Pasal 1 tentang Ketentuan Umum.
Ubah
37. Perpres Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar
Terdiri darin 153 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan
Takalar direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 6 Kejelasan Rumusan
Tujuan UU pada dasarnya telah tercermin dalam konsiderans menimbang dan lebih rinci tercantum dalam dalam penjelasan umum pada lampiran undang-undang dan lebih rinci lagi terdapat dalam
Ubah
207
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
naskah akademiknya. Jika ketetentuan mengenai tujuan ini dibtuhkan dalam suaut peraturan perundang-undangan maka dirumuskan dalam salah satu butir Pasal 1 tentang Ketentuan Umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam petunjuk Nomor 98 huruf c, Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
2. Pasal 26 Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan dijelaskan “ketentuan peraturan perundang-undangan” yang dimaksud. Sehingga jelas apa yang menjadi acuan penetapan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan jalan, karena mengingat PUU ini berjenis Peraturan Presiden yang seharusnya sifatnya melaksanakan peraturan yang mendelegasikannya sehingga harus lebih konkret.
Ubah
38. Perpres Nomor 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo
Terdiri dari 148 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Perpres Nomor 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan “berperan” sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ....”
Ubah
208
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan” sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk dilaksanakan (memiliki operator norma).
39. Perpres Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun
Terdiri dari 147 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Perpres Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan BBK “berperan” sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ....”
Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan” sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk dilaksanakan (memiliki operator norma).
Ubah
2. Pasal 6 Kejelasan Rumusan
- Penyebutan tujuan penataan ruang kawasan BBK tidak didirekomendasikankan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). Jika sangat didirekomendasikankan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkan.
- Direkomendasikan ditambahkan kata “harus” sebagai operator
Ubah
209
norma tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi jika tidak tercapai tujuannya.
40. Perpres Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya
Terdiri dari 50 Pasal
Status pasal : Berlaku seluruhnya
Rekomendasi : Perpres Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya direkomendasikan di
ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur “berperan” sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ....”
Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan” sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk dilaksanakan (memiliki operator norma).
Ubah
2. Pasal 21 Ayat (7) Kejelasan Rumusan
Pasal berbunyi: “... sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dijelaskan agar perpres ini sebagai aturan pelaksana dapat lebih konkret dan operasional.
Ubah
210
41. Perpres Nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Terdiri dari 88 Pasal Status pasal berlaku seluruhnya Rekomendasi : Perpres Nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Berapi “berperan” sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ....”
Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan” sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk dilaksanakan (memiliki operator norma).
Ubah
42. Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya
Terdiri dari 140 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Pasal berbunyi: “Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba “berperan” sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ....”
Ubah
211
Kata “berperan” sebaiknya diganti menjadi “harus digunakan” sehingga memiliki nilai ketegasan dalam normanya dan wajib untuk dilaksanakan (memiliki operator norma).
2. Pasal 6 Kejelasan Rumusan
- Penyebutan tujuan penataan ruang kawasan Danau Toba tidak didirekomendasikankan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). Jika sangat didirekomendasikankan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkan.
- Direkomendasikan ditambahkan kata “harus” sebagai operator norma tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi jika tidak tercapai tujuannya.
Ubah
43. Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara Di Kalimantan
Terdiri dari 118 pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara Di Kalimantan
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.
Ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ketentuan Umum.
Ubah
3. Pasal 17 Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan
Ubah
212
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
jalan.
4. Pasal 21 Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan terkait pengaturan alur pelayaran.
Ubah
5. Pasal 45 Ayat (3)
Pasal 47 Ayat (3)
Pasal 64
Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan terkait pengaturan tersebut.
Ubah
6. Pasal 83 Ayat (3) Kejelasan Rumusan
Keterangan mengenai PLTU, PLTM, PLTGB, PLTMG, PLTB, PLTS sebaiknya tidak disingkat mengingat di ketentuan umum juga tidak memberi singkatan
Ubah
44. Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Terdiri dari 137 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2
Kejelasan Rumusan
Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.
Ubah
2. Pasal 3
Kejelasan Rumusan
Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ketentuan Umum.
Ubah
213
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
3. Pasal 9 Ayat (1)
Kejelasan Rumusan
Pemberian singkatan NKRI seharusnya sudah diberikan sejak Bab I Pasal 1 Ketentuan Umum atau apabila tidak dicantumkan berulang-ulang dalam pasal lain maka tak direkomendasikan diberikan singkatan.
Ubah
4. Pasal 17 Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan jalan.
Ubah
5. Pasal 21 Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan terkait pengaturan alur pelayaran.
Ubah
6. Pasal 46 Ayat (3)
Pasal 49 Ayat (3)
Pasal 50 Ayat (3)
Pasal 52 Ayat (3)
Pasal 81
Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan terkait pengaturan tersebut.
Ubah
7. Pasal 89 Ayat (3) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas bagaimana kriteria kegiatan yang dapat menganggu fungsi pusat pelayanan pintu gerbang.
Ubah
214
45. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua Terdiri dari 134 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi Khusus : Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi
Papua direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2
Kejelasan Rumusan
Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.
Ubah
2. Pasal 3 Kejelasan Rumusan
Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ketentuan Umum.
Ubah
3. Pasal 17 Ayat (7)
Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan jalan.
Ubah
4. Pasal 18 Ayat (5)
Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan untuk menetapkan fasilitas operasi kereta api.
Ubah
5. Pasal 22 Ayat (5) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan terkait pengaturan alur pelayaran.
Ubah
6. Pasal 33 Ayat (7) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
7. Pasal 34 Ayat (4) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
8. Pasal 35 Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
9. Pasal 51 Ayat (3)
Pasal 52 Ayat (3)
Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan terkait pengaturan tersebut.
Ubah
215
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Pasal 64 Ayat (3)
Pasal 77
10. Pasal 110 huruf c Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas kegiatan seperti apa yang dapat menggangu fungsi kawasan zona B6.
Ubah
11. Pasal 129 Kejelasan Rumusan
“masyarakat” harus diawali dengan huruf kapital. Ubah
46. Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku
Terdiri dari 128 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi Khusus : Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi
Maluku direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIATUR
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2
Kejelasan Rumusan
Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu Peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.
Ubah
2. Pasal 3
Kejelasan Rumusan
Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ketentuan Umum.
Ubah
3. Pasal 9 Ayat (1) Kejelasan Rumusan
Seharusnya singkatan NKRI diberikan pada Ketentuan Umum Pasal 1 atau tidak direkomendasikan diberikan singkatan.
Ubah
4. Pasal 17 Ayat (7) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan jalan.
Ubah
216
NOMOR BAGIAN YANG DIATUR
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
5. Pasal 22 Ayat (5) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan terkait pengaturan alur pelayaran.
Ubah
6. Pasal 32 Ayat (7) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
7. Pasal 33 Ayat (4) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
8. Pasal 35 Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
9. Pasal 42 (1)
Pasal 46 (3)
Pasal 49 (4)
Pasal 50 (3)
Pasal 61 (3)
Pasal 73
Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan terkait pengaturan tersebut .
Ubah
217
47. Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara Dan Provinsi Papua Barat
Terdiri dari 129 Pasal Status pasal : Berlaku seluruhnya Rekomendasi : Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara Dan Provinsi Papua Barat direkomendasikan di ubah
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
1. Pasal 2 Kejelasan Rumusan
Berdasarkan teknik penyusunan PUU, suatu peraturan tidak memerlukan pasal tersendiri yang mengatur tentang ruang lingkup.
Ubah
2. Pasal 3
Kejelasan Rumusan
Peran, fungsi dan tujuan seharusnya masuk ke dalam BAB I Ketentuan Umum.
Ubah
3. Pasal 17 Ayat (7)
Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan untuk menetapkan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan jalan.
Ubah
4. Pasal 21 Ayat (5) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan terkait pengaturan alur pelayaran.
Ubah
5. Pasal 23 Ayat (4)
Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
6. Pasal 32 Ayat (7) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
7. Pasal 33 Ayat (4) Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
8. Pasal 34 Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan. Ubah
9. Pasal 45 Ayat (3) Kejelasan Direkomendasikan diperjelas instrumen hukum apa yang digunakan Ubah
218
NOMOR BAGIAN YANG DIANALISI
DIMENSI ANALISIS REKOMENDASI (TETAP/UBAH/CABUT)
Pasal 47 Ayat (3)
Pasal 48 Ayat (3)
Pasal 60 Ayat (3)
Pasal 73
Rumusan terkait pengaturan tersebut.
10. Pasal 81 Ayat (4) huruf c
Kejelasan Rumusan
Direkomendasikan diperjelas kegiatan seperti apa yang dapat menggangu fungsi pusat pelayanan.
Ubah
11. Pasal 89 Ayat (3) Kejelasan Rumusan
Keterangan mengenai PLTU, PLTM, PLTGB, PLTMG, PLTB, PLTS sebaiknya tidak disngkat mengingat di ketentuan umum juga tidak memberi singkatan.
Ubah