bab i pendahuluan a. latar belakang...

25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dewasa ini telah mengalami perubahan pola penyakit yaitu dari penyakit infeksi ke penyakit tidak menular (PTM) termasuk penyakit degeneratif yang merupakan fakor utama masalah morbiditas dan mortalitas. Transisi epidemiologi ini disebabkan perubahan sosial ekonomi, lingkungan, dan gaya hidup yang tidak sehat. WHO memperkirakan pada tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Diperkirakan negara yang paling merasakan dampaknya adalah negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu PTM yang menjadi masalah kesehatan yang sangat serius saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent killer (Rahajeng, 2009). Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Sesuai dengan hasil Riskesdas tahun 2013, hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi yaitu sebesar 25,8%, dan sebagian besar (63,2%) kasus hipertensi di masyarakat tidak terdiagnosis. Disamping itu pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak tersedia (Riskesdas, 2013). Hipertensi yang tidak terkendali akan menyerang organ target sehingga dapat

Upload: doandiep

Post on 17-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dewasa ini telah mengalami perubahan pola penyakit yaitu dari

penyakit infeksi ke penyakit tidak menular (PTM) termasuk penyakit degeneratif

yang merupakan fakor utama masalah morbiditas dan mortalitas. Transisi

epidemiologi ini disebabkan perubahan sosial ekonomi, lingkungan, dan gaya

hidup yang tidak sehat. WHO memperkirakan pada tahun 2020 PTM akan

menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Diperkirakan

negara yang paling merasakan dampaknya adalah negara berkembang termasuk

Indonesia. Salah satu PTM yang menjadi masalah kesehatan yang sangat serius

saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent killer (Rahajeng, 2009).

Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Sesuai dengan hasil

Riskesdas tahun 2013, hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi

yang tinggi yaitu sebesar 25,8%, dan sebagian besar (63,2%) kasus hipertensi di

masyarakat tidak terdiagnosis. Disamping itu pengontrolan hipertensi belum

adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak tersedia (Riskesdas, 2013).

Hipertensi yang tidak terkendali akan menyerang organ target sehingga dapat

55

menyebabkan serangan jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Penyakit

hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 6 kali lebih besar

terkena Congestive Heart Failure (CHF) (Rahajeng, 2009).

Provinsi DIY termasuk dalam 5 provinsi dengan kasus hipertensi terbanyak

(35,8%) dan berada diatas prevalensi nasional (29,8%). Selain itu, hipertensi

merupakan penyebab kematian ke-3 setelah stroke dan tuberkulosis dengan

proporsi kematian 6,8% (Riskesdas, 2007).

Di Indonesia, prevalensi penyakit sistem sirkulasi darah, termasuk penyakit

jantung terus meningkat dan menjadi peringkat pertama penyebab kematian pada

tahun 2000. Prevalensi penyakit jantung di Indonesia yaitu sebesar 9,2% yang

meningkat seiring dengan peningkatan umur dan mempunyai angka yang lebih

tinggi pada perempuan, status ekonomi yang rendah, perilaku merokok, pasien

dengan diabetes melitus, hipertensi, dan obesitas (Delima dkk., 2009).

Gagal jantung adalah sindrom klinis kompleks yang progresif yang

disebabkan oleh adanya gangguan sehingga mengganggu kemampuan ventrikel

untuk menerima dan mengeluarkan darah, sehingga jantung tidak bisa memompa

darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Parker dkk.,

2008).

Menurut Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal jantung meningkat seiring

bertambahnya umur. Prevalensi terbesar adalah pada umur ≥ 75 tahun yaitu 1,1%,

dan pada umur 65-74 tahun sebesar 0,5%, sedangkan pada laki-laki dan

perempuan sama yaitu sebesar 0,3% (Riskesdas, 2013).

56

Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang

mempunyai peranan penting dalam upaya peningkatan derajat kesehatan

masyarakat. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan yang

optimal di rumah sakit, diantaranya adalah peran farmasi rumah sakit.

Hipertensi merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia, sedangkan

penyakit jantung di tahun 2000 merupakan penyebab kematian pertama

(Riskesdas, 2007, dan Delima dkk., 2009). Pengobatan pada pasien hipertensi

dengan komplikasi CHF hendaknya dilakukan secara tepat dan cepat, sehingga

diharapkan dapat memberikan hasil terapi optimal dan dapat meningkatkan

kualitas hidup pasien.

Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan

pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dipisahkan dari tindakan terapi dengan

obat atau farmakoterapi. Obat yang tersedia saat ini sangat beragam, sehingga

diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk

suatu penyakit, sehingga obat yang nantinya akan digunakan dapat memberikan

manfaat klinik yang optimal. Dalam pemilihan obat untuk pasien, praktisi medis

ada kalanya mengalami kesulitan karena tidak semua sediaan mempunyai manfaat

dan resiko yang setara. Keanekaragaman obat yang dipilih memungkinkan

terjadinya pemilihan yang tidak sesuai dengan drug of choice dalam pedoman

pengobatan yang ada. Dokter dalam meresepkan obat hendaknya

mempertimbangkan keamanan, efikasi, dan cost effectiveness untuk pasien.

57

Formularium rumah sakit pada hakekatnya merupakan daftar produk obat

yang telah disepakati untuk digunakan di rumah sakit yang bersangkutan, beserta

informasi yang relevan mengenai indikasi, cara penggunaan, dan informasi lain

mengenai tiap produk (Pionas, 2015). Penggunaan obat di rumah sakit diatur

dalam formularium rumah sakit untuk tiap penyakit. Namun kadang terjadi

ketidaksesuaian peresepan obat dengan formularium rumah sakit untuk penyakit

tertentu. Oleh karena itu, peneliti perlu mengkaji seberapa besar kesesuaian

peresepan yang dilakukan dokter untuk pasien hipertensi komplikasi CHF

terhadap formularium rumah sakit dan standar pelayanan mutu rumah sakit.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kesesuaian penggunaan obat-obat antihipertensi dengan

formularium rumah sakit dan standar pelayanan medik untuk terapi

hipertensi dengan komplikasi CHF?

2. Berapa persentase pasien hipertensi komplikasi CHF yang tekanan

darahnya mencapai target selama menjalani rawat inap di Rumah Sakit

PKU Muhammadiyah Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat-obat antihipertensi dengan

formularium Rumah Sakit, dan standar pelayanan medis untuk terapi

hipertensi dengan komplikasi CHF.

58

2. Mengetahui persentase pasien hipertensi komplikasi CHF yang tekanan

darahnya mencapai target selama menjalani rawat inap di Rumah Sakit

PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai salah satu sumber informasi terhadap kesesuaian pengobatan

pasien hipertensi komplikasi CHF di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah

Yogyakarta.

2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pengobatan hipertensi

dengan komplikasi CHF untuk perkembangan profesionalisme dan

penelitian di masa yang akan datang.

E. Tinjauan Pustaka

1. Hipertensi

a. Definisi dan Klasifikasi

Hipertensi adalah suatu penyakit kardiovaskuler yang ditandai dengan

meningkatnya tekanan darah seseorang, yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg

dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada pemeriksaan yang berulang.

Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar

penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi

pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi

(PERKI, 2015a).

Klasifikasi tekanan darah menurut The Seventh Report of The Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

59

Pressure (JNC 7) mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah

sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg.

Perhipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi

pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi

hipertensi di di masa yang akan datang. Ada dua kelas hipertensi yang dapat

dilihat pada tabel I, dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat.

Tabel I. Klasifikasi tekanan darah dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC 7

Klsaifikasi tekanan

darah

Tekanan darah sistolik

(mmHg)

Tekanan darah diastolik

(mmHg)

Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89

Hipertensi kelas 1 140 – 159 Atau 90 – 99

Hipertensi kelas 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

(Chobanian dkk., 2004)

b. Etiologi hipertensi

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah dan

etiologinya. Berikut adalah klasifikasi hipertensi berdasar etiologi :

1) Hipertensi primer (esensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi

essensial (hipertensi primer). Beberapa mekanisme yang mungkin

berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun

belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi

primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga,

hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peran

penting pada patogenesis hipertensi primer. Stress, kegemukan,

60

merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam

jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi

(DEPKES RI, 2006a).

2) Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita, hipertensi merupakan penyakit

sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat

meningkatkan tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung

ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat

hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab

sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang

bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang

menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan

hipertensi sekunder (DEPKES RI, 2006a). Beberapa penyebab

hipertensi sekunder menurut DEPKES dapat di lihat pada tabel II.

Tabel II. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi

Penyakit Obat

Penyakit gagal ginjal kronis

Hiperaldosteronisme primer

Penyakit renovaskular

Sindrom Cushing

Pheochromocytoma

Koarktasi aorta

Penyakit tiroid atau paratiroid

Kortikosteroid, ACTH

Estrogen (biasanya pil KB dengan kadar

estrogen tinggi)

NSAID, cox-2 inhibitor

Fenilpropanolamin dan analog

Cyclosporine

Tacrolimus

Eritropoetin

Sibutramin

Antidepresan (terutama venlafaxine)

61

c. Gejala klinis

Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Ada

kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada masyarakat bahwa penderita

hipertensi selalu merasakan gejala penyakit. Kenyataannya justru sebagian besar

penderita hipertens tidak merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi terkadang

menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri dada,

palpitasi, dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi

bukan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013).

d. Patofisiologi

Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh interaksi

berbagai faktor seperti faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua

variable hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi perifer total. Curah

jantung merupakan faktor yang menentukan nilai tekanan darah sistolik. Kenaikan

tekanan darah dapat terjadi akibat kenaikan curah jantung dan/atau kenaikan

resistesi perifer total (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Banyak faktor yang

menentukan tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya

hipertensi. Faktor tersebut adalah :

1) Meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik, mungkin berhubungan

dengan meningkatnya respon terhadap stress psikososial

2) Produksi hormon berlebihan yang menahan natrium dan vasokontriktor

3) Asupan natrium berlebih

4) Tidakcukupnya asupan kalium dan kalsium

62

5) Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya

produksi angiotensin II dan aldosterone

6) Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin nitrit oksida (NO), dan peptide

natiriuretik

7) Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi

tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal

8) Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada

pembuluh darah kecil di ginjal

9) Diabetes Mellitus

10) Resistensi insulin

11) Obesitas

12) Meningkatnya aktivitas vascular growth factors

13) Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,

karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular

14) Berubahnya transfer ion dalam sel (DEPKES RI, 2006c)

e. Pengobatan

Pengobatan hipertensi dapat dikategorikan menjadi terapi non farmakologi

dan terapi farmakologi. Target tekanan darah untuk pasien secara umum menurut

JNC 7 adalah 140/90 mmHg; untuk pasien dengan Diabetes Mellitus dan gagal

ginjal adalah 130/80 mmHg. Beberapa prinsip pengobatan hipetensi yaitu

63

menghilangkan penyebab hipertensi, menurunkan tekanan darah dengan atau

tanpa obat antihipertensi, dan pengobatan dilakukan jangka panjang (DEPKES RI,

2006b). Sedangkan tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan

mortalitas dan morbiditas dengan pengontrolan tekanan darah hingga tidak

mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup (DEPKES RI,

2006a).

Pasien hipertensi dengan penyakit penyerta memiliki resiko atau kondisi

penyakit kardiovaskuler yang lebih besar dan harus ditangani secara cepat. Selain

pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta

lainnya juga harus dilakukan sampai mencapai target terapi masing-masing

kondisi (Chobanian dkk., 2004).

Tabel III. Target nilai tekanan darah berdasarkan AHA 2007

No Pasien Target penurunan

tekanan darah

1 kondisi hipertensi umum <140/90 mmHg

2 STEMI, nonSTEMI, resiko tinggi CAD, stable angina <130/80 mmHg

3 Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (gagal jantung) <120/80 mmHg

(AHA, 2007)

Adapun terapi yang dapat diakukan pada pasien hipertensi dapat dibagi menjadi 2,

yaitu:

1) Terapi nonfarmakologi

Terapi non farmakologi merupakan terapi tanpa obat. Terapi ini bisa

diterapkan untuk pasien prehipertensi agar tidak terjadi perburukan kondisi

dengan cara mengubah gaya hidup seperti yang dijelaskan pada JNC 7

dengan tabel sebagai berikut.

64

Tabel IV. Modifikas gaya hidup untuk mengontrol hipertensi menurut JNC 7

MODIFIKASI REKOMENDASI

PENURUNAN

TEKANAN

DARAH

SISTOLIK

Penurunan berat

badan

Mengatur berat badan normal

(body mass index 18,5-24,9 kg/m2)

5-20 mmHg / 10kg

penurunan berat

badan

Diet makan

menurut DASH

Mengkonsumsi buah, sayuran, makanan

rendah lemak dengan cara mengurangi lemak

jemuh dan lemak total

8-14 mmHg

Pengurangan

konsumsi natrium

Mengurangi konsumsi natrium, tidak lebih

dari 100 mmol/hari

(2,4g natrium atau 6g natrium klorida)

2-8 mmHg

Aktivitas fisik Regular aktivitas fisik aerobik seperti jalan

kaki 30 menit/hari, beberapa hari/minggu

4-9 mmHg

Membatasi

konsumsi alkohol

Mengkonsumsi alkohol tidak lebih dari 2

kali/hari (30 mL etanol, misal 720 mL beer;

300 mL wine) untuk laki-laki dan 1 kali/hari

untuk perempuan

2-4 mmHg

DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension (Chobanian dkk., 2004)

2) Terapi farmakologi

Obat-obat dalam farmakoterapi hipertensi dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu : first line drug dan second line drug. Untuk golongan

first line drug adalah diuretik, β-blocker, ACEI, ARB, CCB. Golongan

second line drug adalah α-1 receptor blocker, central α-2 agonist, reserpin,

dan vasodilator.

a) Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesi

simpanan natrium tubuh. Diuretik efektif untuk menurunkan tekana darah sampai

10-15 mmHg pada sebagian besar pasien, diuretik sebagai obat tunggal sering kali

memberikan efek yang memadahi untuk hipertensi esensial ringan dan sedang.

65

Pada hipertensi yang lebih berat, diuretik digunakan dalam kombinasi dengan

vasodilator dan simpatoplegik (Katzung, 2001). Empat subkelas diuretik yang

digunakan untuk mengobati hipertensi yaitu diuretik kuat (loop), tiazid, diuretik

hemat kalium, dan antagonis aldosteron (DEPKES RI, 2006c).

Diuretik kuat secara selektif menghambat reabsorbsi NaCl dengan cara

menghambat symport Na+-K+-2Cl- bagian membran luminal lengkung henle.

Diuretic ini mampu mengekskresikan natrium sebanyak 15-25% dan menjadi

salah satu agen diuretic yang paling efektifbekerja di lengkung henle. Contoh obat

dari subkelas ini adalah furosemide, bumetanid, dan azosemida (Katzung, 2001).

Tiazid digunakan untuk pasien dengan hipertensi ringan atau sedang serta

dengan fungsi jantung dan ginjal normal. Thiazide merupakan lini pertama pada

pasien hipertensi. Thiazide menghambat transport Na dan Cl di tubulus distal

ginjal. Contoh obat golongan ini adalah hidroklortiazid (HCT),

bendroflumethiazide, dan indapamid (Sukandar, 2008).

Diuretik hemat kalium bekerja pada duktus kolektivus, merupakan

antihipertensi yang lemah jika digunakan tunggal. Efek hipotensi terjadi bila

dikombinasi thiazide atau jerat henle. Diuretik hemat kalium dapat mengatasi

kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan diuretik lainnya. Contoh obat

yang termasuk dalam diuretika ini adalah amiloride hidroklorida dan triamterene

(Sukandar, 2008).

Antagonis aldosteron termasuk jenis diuretik hemat kalium, tetapi lebih

berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset yang lebih lama (hingga 6 minggu

66

dengan spironolakton). Contoh antagonis aldosteron adalah eplerenon dan

spironolakton (Sukandar, 2008).

b) ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)

ACEI memblok sistem renin-angiotensin dengan cara mencegah perubahan

angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor potensial dan stimulus

sekresi aldosteron). ACEI juga mencegah degradasi bradikinin dan menstimulasi

sintesis senyawa vasodilator termasuk prostaglandin dan prostasiklin (Sukandar,

2008). Obat ini dikontraindikasikan untuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga

karena dapat menyebabkan masalah neonatus yang serius, termasuk kematian dan

gagal ginjal kronis (Saseen dan Maclaughlin, 2008).

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan ACEI adalah batuk kering.

Efek samping lain adalah angioedema. Walaupun jarang terjadi namun memiliki

bahaya yang potensial terhadap fungsi saluran nafas Contoh ACEI adalah

captopril, lisinopril, elanapril (Sukandar, 2008).

c) β-Blocker

Mekanisme hipotensi β-blocker tidak diketahui, tetapi dapat melibatkan

menurunnya curah jantung dan inhibisi pelepasan renin dari ginjal. β-blocker

memiliki manfaat klinis pada pasien yang memiliki riwayat infark miokard dan

gagal jantung dan efektif untuk menangani angina pektoris (Weber, 2014).

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada

reseptor β1 dari pada reseptor β2, sehingga tidak merangsang bronkospasme dan

vasokonstriksi serta lebih aman dari nonselektif β-blocker pada penderita asma.

67

Contoh β-blocker lainnya adalah propranolol, metoprolol dan atenolol (Sukandar,

2008). Efek samping utama yang ditemukan adalah penurunan fungsi seksual,

kelelahan dan menurunkan toleransi kerja (Weber, 2014).

d) ARB (Angiotensin Receptor Blocker)

Aksi ARB mirip dengan ACEI, bedanya ARB bekerja dengan cara

menghambat reseptor angiotensin II khususnya AT-1, yaitu reseptor yang

memperantarai efek angiotensin II (vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi

simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen

glomerulus). ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin,sehingga tidak memberi

efek samping batuk. ARB memiliki efek samping yang lebih rendah dari

antihipertensi lain. ARB tidak boleh digunakan untuk ibu hamil trimester kedua

atau trimester ketiga karena menghambat perkembangan fetus. Untuk penderita

dengan gagal jantung sistolik, terapi ARB juga telah ditujukkan untuk mengurangi

resiko kardiovaskuler saat ditambahkan pada regimen diuretik, ACEI dan β-bloker

atau terapi alternatif ACEI penderita intoleran. Contoh ARB adalah losartan dan

valsartan (Sukandar, 2008).

e) CCB (Calcium Channel Blocker)

CCB dapat menurunkan resistensi perifer (karena penurunan kontraksi otot

polos dan vasodilatasi) dan tekanan darah. Mekanisme aksi CCB pada hipertensi

adalah menghambat masuknya kalsium ke sel otot polos arteri dan otot jantung.

Penurunan kalsium intraseluler jantung menyebabkan penurunan kontraksi sel

otot jantung, sehingga curah jantung menurun (Katzung, 2001).

68

Terdapat dua jenis CCB yaitu dihidropiridin, seperti amlodipin dan nifedipin

yang memiliki efek dilatasi arteri; dan nondihidropiridin, seperti diltiazem dan

verapamil yang memiliki efek rendah untuk dilatasi arteri namun dapat

mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas (Weber, 2014). Nifedipine dan

dihidropiridin lainnya selektif sebagai vasodilator dan memiliki efek depresi

jantung lebih rendah dari pada verapamil dan diltiazem (Katzung, 2001). Efek

samping utama dari CCB adalah edema perifer yang terjadi pada pemberian dosis

tinggi, efek samping ini dapat dikurangi dengan mengkombinasikan CCB dengan

ACEI atau ARB (Weber, 2014).

CCB memiliki efek menurunkan tekanan darah yang besar jika dikombinasi

dengan ACEI atau ARB. CCB nondihidropiridin tidak direkomendasikan untuk

pasien gagal janting, tetapi lebih dipilih pada pasien dengan detak jantung yang

cepat dan untuk mengontrol detak jantung pada atrial fibrilasi yang tidak dapat

mentoleransi penyekat beta (Weber, 2014).

f) α1 receptor blocker

Prazosin, terazosin, dan doxazosin merupakan penghambat reseptor α1 yang

menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vascular perifer yang memberikan

efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas reseptor α2 sehingga

tidak menimbulkan efek takikardi. Retensi air dan natrium dapat terjadi sehingga

sering dikombinasi dengan diuretik untuk mempertahankan efikasi hipotensif dan

meminimalkan potensi edema (Sukandar, 2008).

69

g) Central α-2 agonist

Agonis α2 pusat menurunkan tekanan darah dengan cara menstimulasi reseptor

α2 adrenergik di otak, yang mengurangi aliran simpatetik dari pusat vasomotor

dan meningkatkan tonus vagal. Stimulasi reseptor α2 presinaptik secara perifer

menyebabkan penurunan tonus simpatetik. Oleh karena itu dapat terjadi

penurunan denyut jantung, resistensi perifer total, aktivitas renin plasma, dan

reflek baroreseptor. Penghentian menadak obat ini dapat mengakibatkan

hipertensi balik (peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba ke nilai sebelum

penanganan) atau overshoot hypertension (peningkatan tekanan darah ke nilai

yang lebih tinggi dari sebelum penanganan). Contoh obat agonis α2 sentral adalah

metildopa dan klonidin (Sukandar, 2008).

h) Vasodilator arteri langsung

Hidralazin dan minoxidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos arteriol.

Aktivitas reflek baroreseptor dapat meningkatkan aliran simpatetik dari pusat

vasomotor, meningkatnya denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin.

Oleh karena itu, efek hipotensif dari vasodilator langsung berkurang pada

penderita yang juga mendapatkan pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretik

(Sukandar, 2008).

i) Reserpin

Reserpin mengosongkan norepinefrin dari saraf akhir simpatik dan memblok

transpor norepinefrin ke dalam granul penyimpanan. Pada saat saraf terstimulasi,

sejumlah norepinefrin (kurang dari jumlah biasanya) dilepaskan ke dalam sinaps.

70

Pengurangan tonus simpatetik menurunkan resistensi perifer dan tekanan darah.

Reserpin dapat mengakibatkan retensi air dan natrium dengan signifikan sehingga

perlu diberikan bersama diuretik tiazid. Kekuatan reserpin terhadap inhibisi

simpatetik dapat meningkatkan aktivitas parasimpatik, sehingga menyebabkan

hidung tersumbat, meningkatnya sekresi asam lambung, diare, dan bradikardi

(Sukandar, 2008).

Tabel V merupakan golongan obat yang direkomendasikan oleh JNC 7 untuk

penanganan hipertensi dengan indikasi penyakit khusus.

Tabel V. Terapi hipertensi dengan indikasi khusus yang direkomendasikan oleh JNC 7

Indikasi Khusus

Obat

Diuretik BB ACEI ARB CCB Aldosteron

antagonis

Gagal Jantung * * * * *

Infark postmiokard * * *

Risiko penyakit jantung

koroner tinggi * * * *

Diabetes * * * * *

Penyakit ginjal Kronik * *

Stroke * *

(Chobanian dkk., 2004)

2. Congestive Heart Failure

a. Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan gejala klinik yang kompleks yang disebabkan

karena adanya gangguan baik fungsional maupun struktural jantung yang dapat

mengurangi kemampuan ventrikel untuk menerima dan memompa darah (Yancy

dkk., 2013). Gagal jantung merupakan ketidakmampuan jantung untuk memompa

darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh karena perburukan otot jantung atau

71

terdapat kerusakan pada jantung yang menghalangi darah untuk keluar menuju

sirkulasi. Ketika jantung tidak dapat memompa darah dengan normal menuju

sirkulasi, ginjal hanya sedikit menerima dan memfiltrasi darah untuk

diekskresikan dalam bentuk urin. Kelebihan cairan di sirkulasi akan tertahan di

paru-paru, liver, sekitar mata, dan kaki. Hal ini disebut dengan kongesti, sehingga

penyakit ini disebut sebagai gagal jantug kongesti (Congestive Heart Failure)

(AHA, 2011).

b. Etiologi

Gagal jantung adalah hasil dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi

kemampuan jantung untuk kontraksi dan/atau relaksasi. Gagal jantung dapat

diklasifikasikan berdasarkan etiologinya sebagai iskemi dan noniskemi dengan

70% dari gagal jantung berhubungan dengan iskemi. Penyebab terbesar gagal

jantung adalah coronary arterial disease, hipertensi, dan kardiomiopati. Penyakit

arteri coroner menyebabkan infark miokard akut dan penurunan fungsi ventrikel.

Etiologi noniskemi meliputi hipertensi, virus, penyakit tiroid, penggunaan alkohol

berlebih, penyalahgunaan obat, pregnancy-related heart disease, penyakit bawaan

keluarga, dan gangguan valvula seperti regurgitasi mitral atau trikuspidalis, atau

stenosis (Chisholm-burns, 2008).

Abnormalitas pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) dan/atau kontraksi

ventrikel (disfungsi sistolik) dapat mengakibatkan penurunan cardiac output

sehingga menimbulkan gejala gagal jantung. Kebanyakan gagal jantung berkaitan

dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri (penurunan ejeksi fraksi) dengan atau

72

tanpa disfungsi diastolik pada 2/3 pasien. Disfungsi diastolik terisolasi terjadi

pada 1/3 pasien gagal jantung, terdiagnosis ketika pasien menunjukkan gangguan

pengisian ventrikel dengan atau tanpa disertai gejala gagal jantung tetapi fungsi

sistoliknya normal. Hipertensi kronis adalah penyebab utama disfungsi diastolik.

Disfungsi ventrikel juga terlibat, baik ventrikel kiri maupun kanan atau keduanya.

Hal ini berimplikasi gejala sebagai manifestasi right-sided failure kongesti

sistemik, sedangkan left-sided failure menyebabkan gejala pada paru-paru

(Chisholm-burns dkk., 2008).

c. Klasifikasi gagal jantung

Tabel VI. Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA

Kelas Definisi

I (asimtomatik) Kelainan jantung, tanpa batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik tidak

menyebabkan kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri dada.

II (ringan) Kelainan jantug, ada keterbatasan ringan pada aktivitas fisik. Menghilang pada

saat istirahat. Aktivitas fisik yang berat menyebabkan kelelahan, palpitasi,

sesak, atau nyeri dada.

III (sedang) Keterbatasan pada saat aktivitas fisik. Menghilang pada saat istirahat. Aktivitas

yang lebih ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi, sesak, atau nyeri dada.

IV (berat) Penyakit jantung menyebabkan ketidaknyamanan dalam melakukan aktivitas

fisik. Gejala penyakit jantung atau sindroma angina mungkin ditemukan pada

keadaan istirahat.

NYHA: New York Heart Association (PERKI, 2015b)

d. Gejala dan tanda

Tanda dan gejala utama dari semua tipe CHF meliputi takikardi, penurunan

toleransi latihan (pembebanan) dan pemendekan nafas, edem perifer dan paru, dan

kardiomegali. Penurunan toleransi latihan dengan kelelahan otot yang terjadi

secara cepat adalah konsekuensi lansung utama dari penurunan curah jantung.

73

Manifestasi lain yang terjadi karena usaha tubuh untuk melakukan kompensasi

terhadap kekurangan intrinsik jantung (Katzung, 2001).

e. Patofisiologi

Cogestive Heart Failure adalah suatu sindroma dengan penyebab ganda yang

diduga melibatkan ventrikel kanan, ventrikel kiri, atau keduanya (Katzung, 2001).

CHF merupakan suatu kondisi dimana jantung tidak dapat memompa darah yang

mencukupi kebutuhan tubuh. CHF dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan

otot jantung berkontraksi atau meningkatnya beban kerja jantung. CHF diikuti

oleh peningkatan volume darah yang abnormal dan cairan interstinal jantung.

Karena itu, pembuluh vena dan kapiler melebar diisi darah (Mycek dkk., 2001)

Mekanisme kompensasi pada gagal jantung ketika jantung mulai melemah:

1) Meningkatkan aktivitas simpatik

Baroreseptor merasakan penurunan tekanan darah, dan memacu

aktivitas reseptor β-adrenergik dalam jantung. Hal ini menimbulkan

kecepatan jantung dan peningkatan kontraksi dari otot-otot jantung yang

lebih besar. Selain itu vasokonstriksi memacu venous return dan

meningkatkan preload jantung. Respon kompensasi ini meningkatkan

kerja jantung dan karena itu, dapat menyebabkan penurunan selanjutnya

dalam fungsi jantung.

74

2) Retensi cairan

Penurunan curah jantung akan memperlambat aliran darah ke ginjal,

menyebabkan lepasnya renin, dengan hasil peningkatan sintesis

angiotensin II dan aldosteron. Hal ini meningkatkan resistensi perifer dan

retensi natrium dan air. Volume darah meningkat dan semakin banyak

darah kembali ke jantung. Jika jantung tidak dapat memompa volume

ekstra ini, tekanan vena meningkat, dan edema perifer dan paru-paru

terjadi. Respon kompensasi ini meningkatkan kerja jantung sehingga

menyebabkan penurunan fungsi jantung.

3) Hipertrofi miokard

Jantung membesar dan ruangannya melebar. Pertama peregangan otot

jantung menyebabkan kontraksi jantung lebih kuat, tetapi perpanjangan

serat tersebut menyebabkan kontraksi semakin lemah. Jenis kegagalan ini

disebut gagal sistoik dan diakibatkan oleh ventrikel yang tidak dapat

memompa secara efektif. Jarang, pasien yang gagal jantung kongestif

dapat mempunyai disfungsi diastolik (suatu istilah yang diberikan jika

kemampuan ventrikel relaksasi dan menerima darah terganggu karena

perubahan struktural, seperti hipertrofi). Penebalan dinding ventrikel dan

selanjutnya penurunan volume ventrikel menurunkan kemampuan otot

jantung untuk relaksasi. Dalam hal ini, ventrikel tidak terisi cukup, dan

curah jantung yang tidak cukup disebut sebagai gagal jantung diastolik

(Mycek dkk., 2001).

75

4) Remodeling

Remodeling terjadi sebagai proses adaptasi kompensasi terhadap

perubahan tekanan dinding dan diatur terutama oleh aktivasi

neurohormonal, yaitu angiotensin II dan aldosteron. Proses tersebut

mengakibatkan perubahan miokard dan komposisi matriks ekstraseluler

dan fungsional. Pada gagal jantung, perubahan ukuran jantung, bentuk,

dan komposisi dapat merugikan fungsi jantung. Selain ukuran miosit dan

perubahan matriks ekstraseluler, perubahan geometri jantung dari elips

menjadi bulat juga menjadikan jantung kurang efisien. Setelah terjadi

remodeling, jantung masih dapat mempertahankan cardiac output selama

bertahun-tahun. Namun, fungsi jantung akan terus memburuk hingga

menjadi gagal jantung (Chisholm-burns, 2008).

Jika memperbaiki curah jantung, maka gagal jantung dikatakan terkompensasi.

Namun, kompensasi ini meningkatkan kerja jantung dan selanjutnya

menyebabkan penurunan kemampuan jantung. Jika mekanisme adaptif gagal

mempertahankan curah jantung, gagal jantung disebut dekompensasi (Mycek

dkk., 2001).

3. Hipertensi dengan komplikasi CHF

Pria dan wanita penderita hipertensi memiliki resiko jauh lebih besar untuk

menderita gagal jantung dibandingkan pria dan wanita dengan tekanan darah

normal. Peningkatan tekanan darah diastolik dan terutama sistolik adalah faktor

76

resiko utama untuk terjadinya gagal jantung. Kejadian gagal jantung lebih besar

terjadi pada pasien dengan tekanan darah yang lebih tinggi, usia yang lebih tua,

dan durasi menderita hipertensi yang lebih lama. Pengobatan jangka panjang

hipertensi sistolik dan diastolik dapat mengurangi resiko gagal jantung sebesar

sekitar 50% (Yancy dkk., 2013).

Hipertensi merupakan penyebab dan/atau kontributor utama pada gagal

jantung (PERKI, 2015a). Hipertensi menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan

remodeling. Hipertensi harus ditangani pada semua kondisi gagal jantung. Kontrol

tekanan darah yang baik dapat mengurangi progresivitas hipertrofi ventrikel kiri

dan remodeling dan meningkatkan kondisi klinis. ACEI, ARB, dan β-blocker

adalah pilihan lini pertama untuk terapi hipertensi pada gagal jantung (Lee dan

Vasan, 2006).

4. Formularium Rumah Sakit

Formularium rumah sakit adalah himpunan obat yang disetujui oleh Panitia

Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit pada batas waktu tertentu.

Obat yang terdaftar dalam formularium merupakan obat pilihan utama dan obat

alternatifnya. Formularium yang digunakan dalam penelitian adalah formularium

rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta edisi pertama tahun 2015.

Formularium ini berisi bermacam-macam nama sediaan obat yang digunakan,

dosis, indikasi, kontraindikasi, interaksi obat, keamanan, efek samping, dan cara

pemberian obat.

77

5. Standar Pelayanan Medis (SPM)

Standar pelayanan medis rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

digunakan sebagai acuan dalam memberikan layanan medis pada pasien, termasuk

di dalamnya pedoman pemilihan terapi obat maupun nonobat. Penelitian ini

menggunakan SPM tahun 2012 untuk hipertensi dan penyakit penyertanya, yang

berisi golongan obat yang digunakan untuk terapi hipertensi, termasuk

didalamnya terapi untuk hipertensi dengan komplikasi CHF.

Tabel VII merupakan daftar golongan obat yang digunakan untuk terapi

hipertensi dengan indikasi penyakit khusus yang tercantum dalam SPM Rumah

Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Tabel VII. Pemilihan obat hipertensi dengan indikasi khusus berdasarkan SPM rumah sakit

tahun 2012

Kondisi resiko tinggi

dengan compelling

indication

Obat-obat yang direkomendasikan

Diuretik β Blocker ACEI ARB CCB Antagonis

Aldosteron

Gagal jantung √ √

Pasca infark miokard √ √ √

Resiko tinggi penyakit

coroner √ √ √ √

Diabetes Mellitus √ √ √

Penyakit ginjal kronis √ √ √

Pencegahan stroke berulang √ √ √ √

78

F. Keterangan Empiris

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat diketahui ketepatan

pola pengobatan dan pencapaian tekanan darah setelah rawat inap pada pasien

hipertensi dengan komplikasi Congestive Heart Failure di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari 2014 – Desember 2014