bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Halal adalah sebuah konsep aturan prinsip agama Islam, yang digunakan
untuk menyatakan bahwa sesuatu hal diijinkan atau dilarang untuk dikonsumsi
oleh Muslim dengan dasar dari Al-Qur’an, hadist, atau ijtihad (kesepakatan
ulama) (Salehudin, 2010). Konsep halal diberikan apresiasi yang tinggi karena
produk halal dianggap sebagai produk yang lebih sehat, lebih bersih, dan lebih
lezat (Burgmann, 2007). Konsep halal ini tidak hanya populer di antara
Muslim, tetapi juga di masyarakat dunia secara umum dan mulai diterapkan
pada berbagai jenis produk seperti pada makanan, minuman, obat-obatan,
toiletries, kosmetika, dan bahkan pada penerapan ilmu keuangan (Lada dkk.,
2009).
Perintah untuk menggunakan hanya yang halal dan tidak menyentuh
barang yang haram bagi umat Muslim telah tertuang jelas dalam kitab suci Al-
Qur’an. Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.” (Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah, 2:168). Hal ini dikuatkan
dengan sabda Rasululloh SAW, “Perkara yang halal itu jelas dan yang haram
2
itu jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang tersamar
(meragukan) dan banyak orang tidak mengetahuinya. Maka siapa yang
menghindari perkara-perkara yang meragukan, iapun telah membersihkan
kehormatan dan agamanya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara-perkara
yang meragukan, iapun bisa terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti
penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang dan nyaris
terjerumus di dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Thayyarah (2013)
mengemukakan bahwa terdapat lebih banyak lagi ayat dalam Al-Qur’an yang
berisi larangan memakan bahan makanan tertentu, yang secara luas diterapkan
dalam konsumsi makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetika.
Masyarakat Muslim terbagi dalam tiga jenis segmen konsumen
berdasarkan kecenderungannya terhadap produk syariah yaitu syariah loyalist,
floating mass, dan conventional loyalist (Karim dan Affif, 2005). Masyarakat
syariah loyalist memiliki kesetiaan (loyalitas) terhadap produk halal, bahkan
dapat membatalkan pembelian apabila produk yang dipilihnya ternyata terbukti
tidak halal. Floating mass membuat keputusan pembelian setelah
mempertimbangkan banyak hal dari banyak sudut pandang dan memilih
produk dengan hasil evaluasi terbaik. Masyarakat dalam golongan floating
mass memiliki kemungkinan untuk memakai produk halal dan produk
konvensional secara bersamaan. Produk konvensional yang dimaksud di sini
adalah produk-produk yang belum jelas kehalalannya ataupun yang sudah jelas
haram. Sedangkan pada conventional loyalist, kehalalan produk sama sekali
3
tidak menjadi bahan pertimbangan pembelian produk. Mereka dimungkinkan
memilih produk halal hanya apabila produk tersebut terbukti memiliki kualitas
yang lebih baik dibandingkan produk konvensional. Walaupun pengelompokan
semacam ini dikembangkan dalam ruang lingkup keuangan syariah, tetapi
dapat juga diaplikasikan ke industri syariah yang lain (Karim dan Affif, 2005).
Salehudin dan Mukhlis (2012) menemukan bahwa seorang konsumen
dapat saja masuk dalam kelompok segmen tertentu pada pembelian suatu
produk, kemudian menjadi kelompok yang lain pada pembelian produk yang
lain. Hal ini membuktikan bahwa seorang konsumen bisa memiliki respon yang
bermacam-macam terhadap pembelian produk yang berbeda.
Pada pemilihan kosmetika, perbedaan ini semakin terasa karena terkadang
konsumen tidak terlalu memperhatikan kehalalan dari kosmetika yang
digunakannya. Hal ini sejalan juga dengan penelitian dan fokus pembahasan
produk halal selama ini lebih terkonsentrasi pada makanan dan minuman halal
(Zarif dkk., 2013). Konsumen kosmetika menjadi tidak terlalu peduli tentang
status kehalalan produk kosmetika yang digunakannya. Dengan pola pikir
demikian, konsumen pada umumnya menjadi tidak peduli terhadap kehalalan
produk kosmetika yang digunakan, walaupun pada pembelian produk lain
seperti makanan, minuman, atau obat-obatan konsumen tersebut bisa saja lebih
selektif. Padahal, menurut pendapat dari beberapa imam besar yang diakui
dalam Islam, penggunaan bahan haram dalam suatu produk hanya diijinkan
apabila ada dalam kondisi darurah. Kondisi darurah di sini mengandung
4
pengertian situasi dimana seseorang tidak memiliki makanan atau minuman
halal apapun yang bisa dikonsumsi, dan yang tersedia hanya yang telah difatwa
haram oleh hukum Islam. Tidak dikonsumsinya barang haram tersebut
dikhawatirkan akan melemahkan atau membahayakan orang tersebut (Zarif
dkk., 2013), atau kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan akan dapat
mengancam keselamatan jiwa manusia (MUI, 2000). Pengertian seperti ini
didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah,
2:173).
Dalam pengertian darurah seperti di atas, produk kosmetika seperti
apapun tidak dapat dikategorikan dalam darurah, karena tidak memiliki aspek
yang sifatnya penting untuk penyelamatan jiwa manusia dan yang harus
digunakan tanpa ada pilihan lain. Dengan demikian, produk kosmetika
sebenarnya tidak boleh digunakan oleh umat Muslim tanpa kepastian status
halal (Zarif dkk., 2013).
Perbedaan respon terhadap obat halal dan obat konvensional sedikit-
banyak dipengaruhi oleh pengetahuan konsumen tentang ilmu syariah dan
seberapa usaha yang dikeluarkan seorang muslim untuk mempelajari hal
5
tersebut (Zarif dkk., 2013). Dalam bidang sosial, hal ini disebut dengan literasi
halal, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan yang halal dan yang
haram berdasarkan seberapa baik pemahamannya terhadap hukum Islam
(hukum syariah) (Salehudin, 2010). Perbedaan ilmu dan guideline dalam
mengkaji ilmu syariah nantinya akan dapat membuat perbedaan dalam sudut
pandang masing-masing konsumen hingga akhirnya akan ada perbedaan dalam
niatan dan perilakunya (Zarif dkk., 2013).
Pola perilaku seperti demikian dapat dijelaskan dengan Theory of Planned
Behaviour (Ajzen, 1991). Walaupun Theory of Planned Behaviour awalnya
dikembangkan dari ilmu psikologi, akan tetapi selanjutnya telah banyak
diterapkan dalam untuk menjelaskan pola perilaku manusia di berbagai bidang.
Sebagai contoh dalam bidang pendidikan (Martin dan Kullina, 2004; Okun dan
Sloanne, 2002), bidang pemasaran (Chiou, 1998), kesehatan dan olahraga
(Higgins dan Marcum, 2005; Kouthouris dan Spontis, 2005; Godin dkk., 2004).
Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai pengaruh literasi halal tersebut terhadap actual purchasing
kosmetika dipandang dari Theory of Planned Behaviour.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah attitude towards behaviour, subjective norms, dan perceived
behavioural control secara bersama-sama berpengaruh terhadap intention?
6
2. Apakah intention berpengaruh terhadap actual purchasing produk
kosmetika halal?
3. Apakah terdapat hubungan antara tingkat actual literacy dengan self-
efficacy literasi halal mahasiswi Muslim Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh attitude towards behaviour, subjective norms, dan
perceived behavioural control secara bersama-sama terhadap intention.
2. Mengetahui pengaruh intention terhadap actual purchasing produk
kosmetika halal.
3. Mengetahui hubungan antara tingkat actual literacy dengan self-efficacy
literasi halal mahasiswi Muslim Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka
1. Kosmetika
Kata kosmetika berasal dari bahasa Yunani “kosmetikos” yang
memiliki arti keterampilan menghias atau mengatur (Tranggono dan
Latifah, 2007). Pengertian kosmetika adalah suatu bahan atau campuran
bahan (sediaan) yang digunakan dengan cara digosokkan, dituangkan,
7
dipercikkan, dilekatkan di luar badan manusia atau bagian badan manusia
dengan tujuan membersihkan, memelihara, menambah daya tarik,
mewangikan, melindungi, atau memelihara tubuh dalam kondisi baik,
tanpa memiliki khasiat obat. Dengan demikian, menurut pengertian ini
kosmetika tidak dapat dipakai untuk fungsi diagnosis, pengobatan, maupun
pencegahan penyakit (Wasitaatmadja, 1997; BPOMRI, 2009). Selain itu,
kosmetika juga tidak boleh mempengaruhi struktur dan faal kulit
(Tranggono dan Latifah, 2007). Oleh Lubowe (1955), kosmetika yang
dicampur dengan obat-obatan dan memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi faal kulit disebut dengan cosmedics, sementara Faust
(1975) menyebutnya dengan istilah medicated cosmetics.
Kosmetik merupakan produk yang unik dan menjadi kebutuhan dasar
wanita untuk menunjang kecantikan dan memperjelas identitas sosialnya
di masyarakat (Fabricant dan Gould, 1993). Di masyarakat modern,
penggunaan produk kosmetika lebih ditujukan untuk menjaga kebersihan
pribadi, meningkatkan daya tarik, meningkatkan rasa percaya diri dan
ketenangan, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan, dan mencegah
penuaan. Pada umumnya, produk kosmetika digunakan agar seseorang
lebih menikmati dan menghargai hidup (Mitsui, 1993).
Dalam literaturnya, Iswari (2007) menggolongkan kosmetik
berdasarkan fungsinya, yaitu:
8
a. Kosmetika perawatan kulit
1) Kosmetika untuk membersihkan kulit (cleanser). Termasuk didalam
kosmetik jenis ini adalah sabun, pembersih wajah, dan lain-lain.
2) Kosmetika sebagai pelembab kulit (moisturizer). Contohnya
moisturizer cream, night cream, day cream.
3) Kosmetika untuk melindungi kulit. Contohnya krim sunscreen, sun
block lotion.
4) Kosmetika untuk menipiskan kulit (peeling). Contohnya krim scrub.
b. Kosmetika dekoratif (make-up)
Penggunaan kosmetik dekoratif lebih ditekankan untuk alasan
psikologis dibandingkan untuk kesehatan kulit. Utamanya kosmetika
dekoratif berfungsi untuk merias dan menutupi kekurangan pada kulit,
sehingga membuat penampilan menjadi lebih menarik. Oleh karena itu,
kosmetika dekoratif memiliki syarat khusus yaitu warna yang menarik,
bau yang harum, tidak lengket, tidak menyebabkan kulit terlihat
berkilau, dan tidak boleh merusak kulit, rambut, bibir, kuku, dan bagian
lainnya pada tubuh (Tranggono dan Latifah, 2007).
Kosmetika dekoratif dibagi dalam dua jenis yaitu:
1) Kosmetika dekoratif yang hanya berefek pada permukaan kulit dan
hanya dipakai dalam jangka waktu pendek. Contohnya, bedak,
lipstik, pemerah pipi, cat kuku, eye-shadow, eyeliner dan lain
sebagainya.
9
2) Kosmetika dekoratif yang efeknya lebih dalam dan butuh waktu
lebih lama hingga dapat luntur. Contohnya, pemutih kulit, cat
rambut, pengeriting rambut, dan lain sebagainya.
2. Halal
Halal adalah segala hal yang terbebas dari ikatan larangan dan telah
diizinkan oleh syariat Islam untuk melakukannya (Qaradhawi, 1993).
Sementara menurut Salehudin (2010), halal merupakan sebuah konsep
aturan prisip agama Islam, yang digunakan untuk menyatakan bahwa suatu
hal tersebut diijinkan (tidak dilarang) untuk dikonsumsi oleh Muslim
dengan dasar dari Al-Qur’an, hadist, atau ijtihad (kesepakatan ulama).
Kebalikan dari halal adalah haram, yaitu sesuatu yang telah dituntut oleh
syariah Islam untuk ditinggalkan, sehingga pelaku perbuatan tersebut akan
dicela (Dahlan, 1997).
Perintah untuk menggunakan hanya yang halal dan tidak menyentuh
barang yang haram bagi umat Muslim telah tertuang jelas dalam kitab suci
Al-Qur’an. Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.” (Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah, 2:168). Hal
ini dikuatkan dengan sabda Rasululloh SAW, “Perkara yang halal itu jelas
dan yang haram itu jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat perkara-
perkara yang tersamar (meragukan) dan banyak orang tidak
10
mengetahuinya. Maka siapa yang menghindari perkara-perkara yang
meragukan, iapun telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan
siapa yang terjerumus dalam perkara-perkara yang meragukan, iapun bisa
terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang
menggembala di sekitar tempat terlarang dan nyaris terjerumus di
dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ditambah lagi dengan sabda
Rasulullah SAW, “Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram,
api neraka lebih pantas baginya.” (HR. At-Tirmidzi).
Secara umum, kaidah halal menurut Alserhan (2011) dapat
diklasifikasikan menjadi berbagai tingkatan, yaitu:
1. Halal (permissible)
a. Wajib, atau perintah. Kegagalan melaksanakan suatu hal yang
wajib akan mendapat dosa. Wajib dapat disebut sebagai Core Halal
(inti dari halal). Dengan demikian, seseorang yang tidak
melaksanakan hal wajib tidak dapat digolongkan sebagai orang
yang patuh terhadap syariah.
b. Mandoob, atau disarankan, hal yang disukai, tetapi tidak harus
dilakukan. Orang yang tidak melaksanakan mandoob tidak
mendapat dosa. Mandoob dapat disebut sebagai Supplementary
Halal (pelengkap) dan lebih baik dilaksanakan jika memungkinkan.
c. Makrooh, atau dibenci, hal yang disarankan untuk tidak
dilaksanakan. Pelaksanaan hal makrooh tidak menyebabkan dosa,
11
kecuali apabila perbuatan makrooh tersebut memicu perbuatan
dosa lain. Oleh karena itu, perbuatan makrooh sebaiknya dihindari
sejauh mungkin.
2. Mushtabeh, atau diragukan. Hal mushtabeh sebaiknya dihindari oleh
Muslim karena dimungkinkan haram atau memicu kepada hal yang
haram.
3. Haram, atau dilarang dan tidak diijinkan. Pelaksanaan hal yang haram
akan mendapatkan dosa.
Dalam Islam, secara garis besar benda haram dikarenakan dua hal,
yaitu haram li-dhatih dan haram li-ghairih. Haram li-dhatih merupakan
kelompok benda yang diharamkan substansi bendanya oleh agama Islam.
Sementara haram li-ghairih, substansi bendanya sebenarnya tidak haram,
namun penanganannya tidak dibenarkan oleh Islam. Contoh yang
termasuk dalam haram li-ghairih adalah ternak yang dipotong secara tidak
syar’i, atau benda yang halal, tetapi didapatkan dengan mencuri
(Departemen Agama RI, 2003).
Namun, hukum halal-haram makanan ini tidaklah berlaku apabila
seseorang dihadapkan pada kondisi darurah. Yang dimaksud kondisi
darurah di sini adalah kondisi seseorang pada batas dimana apabila dia
tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau
nyaris binasa (Shiddiq, 2001). Sementara menurut MUI (2000), darurah
mengandung arti kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan akan
12
dapat mengancam keselamatan jiwa manusia. Pengertian seperti ini
didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Al-Qur’anul Karim, Al-Baqarah, 2:173).
3. Kosmetika halal
Kosmetika halal adalah kosmetika yang dalam metode pembuatan dan
alat-bahan yang digunakan tidak mengandung hal yang dilarang untuk
dikonsumsi oleh syariat Islam. Menurut Musyawarah Nasional VI Majelis
Ulama Indonesia No. 2/MUNAS VI/MUI/2000, diantara bahan-bahan
yang dilarang tersebut adalah yang mengandung bagian organ manusia
(misalnya lemak manusia, plasenta, darah, cairan amniotik, dan lain
sebagainya). Kosmetika yang mengandung alkohol dari industri
pembuatan khamr (minuman yang memabukkan) juga haram untuk
digunakan, namun apabila bahan yang digunakan adalah dari hasil industri
non-khamr (baik yang merupakan hasil sintesis kimiawi dari petrokimia
ataupun hasil industri fermentasi non-khamr) hukumnya adalah mubah,
apabila secara medis tidak membahayakan (MUI, 2009). Selain yang telah
13
disebutkan, yang diharamkan untuk digunakan sebagai bahan pembuatan
kosmetika antara lain:
1. Bahan yang berasal dari hewan yang haram menurut syariah Islam
(misalnya anjing, babi).
2. Bahan yang berasal dari bangkai atau hewan halal yang dipotong tidak
sesuai dengan hukum syariah.
3. Bahan GMO (Genetically Modified Organism) yang berasal atau telah
terkontaminasi dengan hewan yang haram sesuai hukum syariah.
4. Mengandung bahan yang berbahaya bagi pemakai.
Sementara bahan yang halal untuk digunakan menurut Rejab (2013)
antara lain:
1. Bahan yang berasal dari hewan darat yang halal dan dipotong sesuai
hukum syariah Islam.
2. Bahan yang berasal dari hewan perairan.
3. Bahan yang berasal dari hewan darat yang halal yang dipanen ketika
hewan tersebut masih hidup (kulit, bulu, dan lainnya).
4. Bahan yang berasal dari tanaman, kecuali apabila telah tercemar
dengan bahan haram dan/atau ekstraksi enzim.
5. Bahan yang berasal dari mikroorganisme kecuali apabila telah
tercemar dengan bahan haram dan/atau ekstraksi enzim.
6. Bahan yang berasal dari tanah dan air dan produk-produk yang
dihasilkannya, kecuali telah tercemar oleh bahan haram.
14
7. Bahan yang diproduksi secara sintetik, kecuali yang telah tercemar
oleh bahan haram.
Untuk memudahkan konsumen dalam membedakan produk kosmetika
yang halal dan yang haram, masing-masing negara pada umumnya
memiliki regulasi khusus untuk memberi labelisasi halal. Di Indonesia,
lembaga yang memiliki otoritas tersebut adalah Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia dengan
Sistem Jaminan Halal (SJH). Sistem Jaminan Halal adalah sistem
manajemen terintegrasi yang disusun, diterapkan, dan dipelihara untuk
mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia, dan
prosedur dalam rangka menjaga kesinambungan proses produksi halal
sesuai persyaratan LPPOM MUI dalam HAS 23000:1 Kriteria Sistem
Jaminan Halal. Nantinya implementasi SJH akan dinilai oleh LPPOM
MUI melalui proses audit dan hasilnya akan dinyatakan dalam status
implementasi SJH dan sertifikat SJH (Sertifikat Halal) (MUI, 2013).
Untuk produk yang telah memiliki sertifikat halal, dalam kemasan
produknya harus dicantumkan logo halal dari MUI.
15
Gambar 1. Logo Sertifikat Halal MUI (MUI, 2007)
4. Literasi halal
Literasi halal merujuk kepada kemampuan seseorang untuk
membedakan barang halal dan haram sesuai dengan seberapa tinggi
pengetahuan dan pemahamannya terhadap hukum Islam (hukum syariah)
(Salehudin, 2010). Konsep literasi sendiri sebenarnya telah sering
digunakan dalam banyak penelitian untuk menjelaskan berbagai perilaku
konsumen dalam berbagai sudut pandang. Dalam bidang Literasi
Finansial, literasi digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku investor
sebagai konsumen jasa finansial seperti yang dilakukan oleh Koonce dkk.
(2008); Hu, Malevergne, dan Sornette (2009); serta dalam Glaser dan
Weber (2007). Selain itu, dalam bidang Literasi Media, telah ada
penelitian sebelumnya dari Yamamiya dkk. (2005) tentang literasi yang
dapat digunakan untuk mengurangi efek negatif dari pemberitaan tentang
16
badan kurus yang ideal, yang akhirnya dapat memicu munculnya kelainan
pola makan (eating disorders) (Salehudin, 2010).
Dijelaskan dalam literatur yang sama, bahwa literasi mengandung arti
lebih dari mengetahui suatu konsep atau motivasi untuk mencari informasi
lebih lanjut, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk mengubah
perilaku dirinya berkat pengetahuan dan pemahamannya tentang konsep
tersebut. Literasi memiliki 2 komponen yaitu Potential dan Enactment.
Potential literacy dibentuk dari kumpulan pengetahuan tentang suatu
situasi, kaitan antara personal dan situasi, serta hubungan sosial di
masyarakat. Sementara Enactment lebih kepada suatu kumpulan
kompetensi aksi yang ikut membentuk situasi, merumuskan kebutuhan,
masalah, proses, dan pada akhirnya akan dapat digunakan untuk
menganalisis konsekuensi yang mungkin terjadi. Dengan menggunakan
kedua pengertian ini, konsep literasi akan cocok digunakan untuk
menganalisis konsumsi halal oleh konsumen.
Terkait dengan istilahnya, literasi halal lebih memiliki peran yang
besar di kalangan umat Muslim, walaupun umat non-Muslim juga tertarik
untuk menggunakan produk halal tersebut (Ahmad dkk., 2013). Dalam
Islam, mencari pengetahuan tentang ilmu agama Islam merupakan suatu
kewajiban dan sangat dihargai oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur’anul Karim Surah Az-Zumar, 39:9, “(Apakah kamu hai
orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat
17
diwaktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan Rahmat Tuhan-nya? Katakanlah,
‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.”, serta dalam Surah Al-Mujadilah; 58:11, “Hai orang-
orang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah dalam
majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa di antara kamu
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dua ayat di atas merupakan dua di antara banyak dasar hukum bagi
umat Islam untuk terus menambah pengetahuannya tentang Islam dan
hukum syariah, termasuk hukum halal. Dengan adanya pengetahuan dan
keinginan untuk mencari pengetahuan tersebut, seorang Muslim menjadi
memahami apa yang sedang dilakukannya, sehingga dengan sendirinya
akan patuh karena percaya dan yakin akan kebenaran hal yang
dilakukannya (Katsir, 2000 dan Al-Hilali, 2005). Dengan adanya
kewajiban tersebut dan eratnya kaitan literasi halal dengan niat dan
keputusan akhir dari perilaku seorang Muslim, maka literasi halal dapat
digunakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
konsumsi konsumen Muslim.
18
5. Pengaruh literasi terhadap behaviour
Konsep literasi telah sering digunakan untuk menjelaskan berbagai
macam consumer behaviour dalam berbagai penelitian. Sebagai contoh
adalah pada literasi finansial, dimana konsep literasi dipakai untuk
menjelaskan berbagai perilaku investor sebagai konsumen dari industri
jasa keuangan (Glaser dan Weber, 2007). Pada penelitian selanjutnya oleh
Muller dan Weber (2010), menyatakan bahwa terdapat korelasi positif
antara literasi finansial dengan kecenderungan investor untuk
menginvestasikan dananya dengan biaya rendah (low-cost fund
alternative). Pada literatur lain disebutkan bahwa untuk masyarakat umum
yang memiliki literasi finansial rendah akan lebih kecil kemungkinannya
untuk berinvestasi di bidang saham (Van Rooij dkk., 2011). Pada remaja,
literasi finansial juga bisa diterapkan untuk mengetahui tendensi
menabung dan perencanaan finansial jangka panjang. Remaja dengan
akses informasi dan pengetahuan yang lebih baik mempunyai tendensi
untuk menabung dan membuat rencana finansial jangka panjang (Koonce
dkk., 2008).
Konsep literasi pada remaja juga diterapkan untuk literasi media
dimana pemberian pemahaman literasi media yang baik dapat mengurangi
efek negatif media tentang konsep remaja cantik dan langsing. Hal ini
dapat selanjutnya berpengaruh positif untuk mengurangi kelainan pola
makan remaja (Yamamiya dkk., 2005). Pada literatur lain, disebutkan
19
bahwa literasi media dapat disisipkan pada kurikulum belajar-mengajar di
sekolah untuk mengurangi angka kejadian bullying di sekolah (Fingar dan
Jolls, 2013). Literasi media juga telah dibuktikan memiliki pengaruh
positif terhadap kampanye antialkohol dan antitembakau di sekolah-
sekolah (Kupersmidt dkk., 2010; Primack dkk., 2008).
Dalam literasi kesehatan, penelitian dilakukan pada pasien diabetes
tipe 2 dimana ditemukan bahwa pasien dengan literasi kesehatan yang
kurang memadai secara independen berkaitan dengan kontrol glikemik
yang buruk dan probabilitas terkena retinopati yang lebih besar. Hal ini
salah satunya disebabkan oleh tekanan yang dirasakan oleh pasien dengan
literasi kesehatan yang kurang memadai (Schillinger dkk., 2002).
Kurangnya literasi kesehatan pasien juga merupakan halangan yang besar
untuk mengedukasi pasien dengan penyakit kronis, seperti misalnya
hipertensi dan diabetes dan usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal ini
umumnya kurang berhasil (Williams dkk., 1998). Bagi para perawat di
fasilitas panti jompo, literasi kesehatan juga terbukti sangat penting karena
literasi kesehatan para perawat yang rendah akan mempengaruhi
kemampuan pasien untuk memahami saran-saran untuk kesehatan mereka.
Selain itu, rendahnya literasi kesehatan para perawat akan membatasi
kemampuan mereka untuk merawat pasien, terutama yang berkaitan
dengan kesehatan mereka (Gazmararian dkk., 1999).
20
6. Theory of Planned Behaviour
Theory of Planned Behaviour merupakan pengembangan dari Theory
of Reasoned Action. Theory of Reasoned Action merupakan teori
pendahulu yang awalnya didesain untuk memprediksi suatu kehendak aksi
dan membantu menjelaskan alasan psikologis di balik aksi tersebut, atau
faktor apa saja yang menentukan dilakukan atau tidak dilakukannya aksi
tersebut. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia biasanya
bertindak dengan perasaan. Maksudnya adalah bahwa manusia selalu
mempertimbangkan segala hal baik dari luar maupun dalam, konsekuensi
dan segala hal yang mempengaruhi atau dipengaruhi tindakan/aksi
tersebut. Segala pertimbangan yang dilakukan manusia tersebut akhirnya
akan membawa pada suatu bentuk niat (intention). Intention dapat
menentukan dilakukannya atau tidak dilakukannya suatu aksi (Ajzen,
1985).
Dalam Theory of Reasoned Action, intention ditentukan oleh 2 faktor
dasar yaitu attitude towards behaviour dan subjective norms. Attitude
towards behaviour merujuk kepada evaluasi dari individu tersebut untuk
melakukan suatu tindakan, sehingga faktor ini lebih menekankan pada
faktor dari dalam diri individu itu sendiri. Sementara subjective norms
adalah faktor persepsi individu tersebut terhadap tekanan sosial dari
masyarakat dan orang-orang terdekat dengan dirinya untuk
melakukan/tidak melakukan sesuatu. Dengan menggabungkan kedua
21
faktor ini, dapat disimpulkan bahwa seseorang akan melakukan suatu
tindakan tertentu apabila mereka menganggap tindakan tersebut baik
dilakukan dan mereka percaya bahwa orang-orang di sekitar mereka
merasa mereka sebaiknya melakukan tindakan tersebut (Ajzen, 1985).
Secara konsep, Theory of Planned Behaviour sangat mirip dengan
Theory of Reasoned Action, hanya saja Theory of Planned Behaviour
merupakan hasil pengembangan lebih lanjut dari Theory of Reasoned
Action dimana ditambahkan perceived behavioural control sebagai faktor
ketiga yang mempengaruhi intention. Theory of Planned Behaviour
pertama kali dipublikasikan pada tahun 1980 oleh penyusun Theory of
Reasoned Action, yaitu Icek Ajzen dan mulai banyak digunakan sebagai
dasar untuk menjelaskan berbagai faktor pemicu perilaku manusia
(Setyorini, 2013).
Penemuan Theory of Planned Behaviour didasari pada fakta di
lapangan dimana ternyata intention yang didapat dari Theory of Reasoned
Action (attitude dan subjective norms saja) hanya dapat memprediksi dan
menjelaskan tentang niatan awal dari seseorang untuk melakukan sesuatu
(attempt to perform a behaviour). Sementara, perilakunya yang sebenarnya
dilakukan masih tidak dapat diprediksi dengan Theory of Reasoned Action.
Ini karena dalam melakukan suatu tindakan ada banyak hal dari luar yang
mempengaruhi individu tersebut, yang seringkali tidak dapat dikendalikan.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa semakin besar usaha seorang
22
individu dan semakin besar kontrol individu tersebut terhadap faktor
penghalang dari dirinya maupun lingkungannya, maka semakin besar pula
kemungkinan suatu tindakan dapat sukses dilakukan (Ajzen, 1985).
Apabila dalam suatu tindakan, kemungkinan untuk sukses, perceived
control, dan kontrol perilaku terhadap tindakan yang dituju semua tinggi
(dalam skala 0-1 ada di titik 1), maka faktor yang tadinya hanya mengarah
ke niatan awal, menjadi lebih dekat ke prediksi tindakan yang sebenarnya.
Dalam kondisi seperti ini, Theory of Reasoned Action akan sangat cocok
diterapkan. Hanya saja perlu diingat bahwa dalam setiap tindakan ada
kemungkinan untuk sukses dan juga ada kemungkinan untuk gagal. Pada
kondisi dimana kemungkinan gagalnya suatu tindakan tinggi sementara
kontrolnya hanya terbatas, teori Theory of Planned Behaviour akan lebih
cocok untuk diaplikasikan, sebab penjelasan atas faktor terjadi atau tidak
terjadinya tindakan ini jauh lebih rumit dari yang bisa dijelaskan oleh
Theory of Reasoned Action (Ajzen, 2013).
23
Gambar 2. Skema Theory of Planned Behaviour (Ajzen, 1985)
a. Attitude towards the behaviour
Maksudnya adalah evaluasi personal dari individu, baik yang
negatif maupun yang positif tentang tindakan tersebut.
b. Subjective norm
Persepsi individu tentang tekanan sosial dari orang-orang
terdekatnya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Subjective norms bersama dengan attitude towards behaviour
merupakan faktor beliefs atau kepercayaan dimana jika seorang
individu memiliki kepercayaan yang positif terhadap suatu tindakan,
maka akan mempengaruhi behaviour yang dilakukan ke arah yang
positif juga.
Attitude
towards
behaviour
Perceived
behavioural
control
Subjective
norms Behaviour Intention
24
c. Perceived behavioural control
Fasilitas yang ada di sekitar individu tersebut yang dapat
mendorong dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu tindakan.
Faktor yang ketiga ini merupakan faktor yang membedakan Theory
of Reasoned Action dengan Theory of Planned Behaviour, untuk
meningkatkan kemampuan teori tersebut untuk menjelaskan berbagai
jenis perilaku.
d. Intention
Intention merupakan niatan/kehendak yang dibentuk dengan
mempertimbangkan attitude towards behaviour, subjective norms,
dan perceived behavioural control. Apabila salah satu faktor
mengalami perubahan, akan dapat mempengaruhi sukses tidaknya
tindakan tersebut. Maka dari itu, intention dapat digunakan untuk
memprediksi terjadinya usaha atau percobaan untuk melakukan suatu
behaviour, akan tetapi tidak dapat memastikan terjadinya behaviour
yang sebenarnya.
e. Behaviour
Tindakan atau titik akhir yang dituju setelah mempertimbangkan
berbagai faktor untuk mengambil keputusan.
(Ajzen dan Fishbein, 1980; Ajzen, 1985).
25
7. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada didirikan pada tanggal 27
September 1946 oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pada
awalnya, Fakultas Farmasi diberi nama Perguruan Tinggi Ahli Obat
(PTAO). PTAO bergabung dalam gabungan perguruan tinggi yang lain
yaitu Perguruan Tinggi Kedokteran, Perguruan Tinggi Tinggi Kedokteran
Gigi, Perguruan Tinggi Pertanian dan Perguruan Tinggi Kedokteran
Hewan yang semuanya diketuai oleh Prof. Dr. Sardjito dan menempati
Kompleks RSU Tegalyoso, Klaten.
Karena kondisi politik yang tidak menentu, gabungan perguruan
tinggi ini sempat mati suri dan akhirnya dibuka kembali pada tanggal 1
November 1949 di Mangkubumi, Yogyakarta. Atas kemurahan hati Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, kegiatan belajar-mengajar masih menempati
beberapa bangunan milik Kraton Yogyakarta. Pada saat itu, di Yogyakarta
telah didirikan Sekolah Tinggi Teknik dan Sekolah Hukum milik Yayasan
Balai Perguruan Tinggi Yogyakarta. Muncul gagasan untuk
menggabungkan sekolah Tinggi dan Perguruan Tinggi tersebut menjadi
satu Universitas di bawah Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan, sehingga akhirnya berdirilah Universitas Negeri Gadjah
Mada pada tanggal 19 Desember 1949.
Untuk PT Kedokteran, PT Kedokteran Gigi, dan PT Farmasi yang
masih berada di bawah Kementrian Kesehatan, dilimpahkan kepada
26
Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan sesuai PP No.37
tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Mr. Assat
sebagai Presiden RI Sementara, Ki Mangun Sarkoro sebagai Menteri
PP&K dan KRT. E. Pringgodigdo sebagai Menteri Kehakiman.
Perguruan Tinggi Farmasi sendiri baru pada tahun 1954 diganti
namanya menjadi Fakultas Farmasi dan dipisah menjadi satu Fakultas
yang berdiri sendiri melalui SP Menteri PP&K No. 53759/-Kab pada
tanggal 19 Desember 1955. Lokasinya yang sekarang yaitu di Sekip Utara
baru mulai ditempati pada tahun 1973, namun karena kesulitan staf
pengajar yang Apoteker, maka tingkat doktoral (tingkat akhir program S1)
dan tingkat apoteker masih diselenggarakan di Semarang karena pada
waktu itu di Semarang tersedia tenaga Apoteker sebagai staf pengajar.
Baru pada tahun 1977 seluruh proses perkuliahan bisa diselenggarakan
dalam satu lokasi kampus di Sekip Utara Yogyakarta hingga sekarang.
Saat ini, penyelenggaraan Program Studi Ilmu Farmasi untuk S1
(ditambah Program Profesi Apoteker), S2, dan S3 didasarkan atas SK
Dirjen Dikti No. 153/DIKTI/Kep/2007 tanggal 21 September 2007. Untuk
Prodi S1 hanya terdapat satu program studi yaitu Program Studi Ilmu
Farmasi yang dibagi menjadi 4 minat. Keempat minat ini adalah Farmasi
Sains dan Teknologi, Farmasi Industri, Farmasi Komunitas dan Klinik, dan
Farmasi Bahan Alam. Peminatan baru dimulai saat mahasiswa berada pada
27
semester 6 dan sebelum itu mata kuliah yang ditawarkan adalah mata
kuliah farmasi umum (Fakultas Farmasi UGM, 2013).
E. Landasan Teori
Produk kosmetika merupakan produk sehari-hari yang harus dipastikan
status kehalalannya bagi umat Islam karena sifat pemakaiannya yang tidak
mendesak (tidak darurah) (Zarif dkk., 2013). Namun, pada pelaksanaannya di
masyarakat hal ini akhirnya bergantung pada konsep pemahaman masing-
masing konsumen terhadap hukum Islam (Karim dan Affif, 2005). Literasi
halal merupakan kemampuan seorang individu untuk membedakan halal dan
haram berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya terhadap hukum Islam
(Salehudin, 2010). Dengan demikian, dimungkinkan literasi halal akan
mempengaruhi actual purchasing produk kosmetika halal oleh konsumen.
Literasi halal dapat diukur dengan 2 metode yaitu self-efficacy literasi halal
yaitu kemampuan literasi halal menurut individu itu sendiri, dan actual
literacy, yaitu kemampuan literasi halal yang sebenarnya (Salehudin, 2010).
Theory of Planned Behaviour dapat digunakan untuk menganalisis hubungan
antara literasi halal dan actual purchasing karena dalam metode ini digunakan
3 pendekatan self-efficacy yaitu penilaian individu tersebut tentang keuntungan
dan kerugian suatu perilaku (attitude towards behaviour), tekanan sosial yang
dirasakan individu terhadap dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku
28
(subjective norms), dan fasilitas yang mendukung dan yang menghambat
dilakukannya suatu perilaku, atau dapat juga diartikan sebagai kemampuan
individu dalam mengendalikan perilaku tersebut (perceived behaviour control).
Evaluasi pribadi semacam ini memiliki tempat yang penting dalam penelitian
sosial dan perilaku (Ajzen, 1991). Namun, pengukuran literasi halal secara self-
efficacy kemungkinan akan melibatkan banyak bias, sehingga untuk menguji
adanya bias tersebut perlu dibandingkan pengukuran literasi halal secara self-
efficacy dan actual literacy (Salehudin, 2010).
F. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
H1. Attitude towards behaviour, subjective norms, dan perceived behavioural
control secara bersama-sama berpengaruh positif terhadap intention.
H2. Intention berpengaruh positif terhadap actual purchasing.
H3. Terdapat hubungan signifikan antara self-efficacy literasi halal dengan
actual literacy mahasiswi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.
Berdasarkan tinjauan pustaka dan hipotesis yang diajukan, penelitian ini
memiliki kerangka pemikiran teoritis seperti yang digambarkan dalam gambar
3.