bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kondisi masyarakat yang hidup bersama media seperti saat ini,
memungkinkan perkembangan arus informasi yang sangat pesat. Di satu sisi, hal
ini memperkaya masyarakat dengan wawasan dan informasi. Namun di sisi lain,
akses yang mudah terhadap media dapat menimbulkan efek negatif terhadap
pesan-pesan yang tak layak untuk dikonsumsi. Termasuk pada audiens anak,
media ini memberikan dampak yang negatif dan juga positif. Itulah sebabnya
media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan
dan karakteristiknya.
Segmentasi sasaran audiens merupakan salah satu komponen penting
dalam membangun suatu media. Penggolongan sasaran audiens berdasarkan usia
adalah bertujuan untuk membatasi konten dari segi bahasa dan topik. Media
sebagai penyaji konten informasi idealnya mampu memberikan sajian yang sesuai
dengan usia yang menjadi segmentasinya. Termasuk bagi media yang ditujukan
untuk anak, karena sasaran mereka disebut sebagai audiens spesial.
Menurut W. James Potter (2013: 55), anak-anak disebut sebagai audiens
spesial bagi media. Ada dua alasan mengapa anak-anak disebut sebagai audiens
spesial. Pertama, kondisi yang lack of maturation. Tolak ukur kedewasaan bisa
dilihat dari kemampuan kognitif, emosional, dan moral anak-anak yang berbeda
dari orang dewasa. Hal ini menjadikan anak-anak tidak cukup mampu
menginterpretasi dengan baik pesan yang disampaikan oleh media. Selain itu,
anak-anak juga belum mampu memahami apa yang terjadi dan apa yang
disampaikan oleh media, ini dapat menimbulkan pemaknaan ganda. Misalnya
pada anak yang menyaksikan tayangan di televisi tanpa bimbingan orang tua, ia
akan memahami tayangan tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya, tanpa
2
ada yang mengajari baik-buruk dari suatu peristiwa atau pesan yang disampaikan
dalam tayangan tersebut.
Alasan kedua mengapa anak-anak disebut sebagai audiens spesial adalah,
kurangnya pengalaman mereka terhada dunia nyata. Hal ini menyebabkan mereka
tidak mampu memahami pesan yang tidak benar dari suatu media, karena
kurangnya pengalaman yang mampu membuatnya paham bahwa sesuatu itu benar
atau salah. Mereka cenderung menerima semua pesan tanpa adanya filter secara
mandiri. Dorr (dalam Potter, 2013: 61) mengatakan anak-anak dalam memproses
suatu pesan media, akan menganggap semua informasi yang disampaikan adalah
akurat.
Kondisi anak yang sangat berbeda dengan orang dewasa itulah,
menyebabkan mereka seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari media.
Anak-anak cenderung rentan terhadap berbagai informasi. Sehingga beberapa
pesan yang disajikan oleh media bisa jadi justru membawa pengaruh buruk. Hal
ini seharusnya menjadi perhatian bagi media dalam menyajikan konten anak, agar
tidak memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang.
Anne Haas Dyson1 dalam hal ini berargumen bahwa proses pendidikan
dan pengalaman yang dialami dan dilihat, anak akan membentuk karakter
pribadinya. Identitas dan ‘sejarah’ menjadi komponen yang membangun karakter
dari dirinya. Inilah yang saat ini, menurut Dyson, menjadi poin yang perlu
diperhatikan bagi mereka yang bertujuan untuk mendidik anak-anak. Tidak hanya
orang tua ataupun guru, media pun ikut andil dalam proses pendidikan. Mereka
menyajikan informasi yang ditujukan untuk anak, dengan mentargetkan anak-anak
sebagai audiens dari media. Menurut Dyson, anak-anak memiliki karakteristik
yang unik dalam memaknai sebuah pesan. Dari hasil risetnya, ditemukan bahwa
masing-masing anak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan pengalaman pribadi
yang menyebabkan interpretasi terhadap satu pesan yang sama dapat berbeda satu
sama lain.
1 Dyson, Anne Haas. 2001. Journal Of Early Chilhood Literacy. California: Sage Publication.hal.
8.
3
Tahapan belajar anak terjadi melalui pendidikan dan pengajaran, baik
formal dan non-formal, serta keseharian dari anak. Teori Belajar Sosial (Social
Learning Theory) yang digagas oleh Albert Bandura (1971) mengungkapkan
bahwa individu melakukan pembelajaran salah satunya dengan meniru apa yang
ada di lingkungannya, terutama perilaku-perilaku orang lain. Perilaku orang lain
yang ditiru disebut sebagai perilaku model atau perilaku contoh. Proses yang
disebut imitasi ini dialami oleh setiap individu, terutama pada usia kanak-kanak.
Dengan adanya media dalam keseharian, maka apa yang ada di media bisa
menjadi materi imitasi bagi anak-anak.
Dalam lingkungan masyarakat seperti saat ini, mustahil memisahkan anak
dari media. Media telah menjadi bagian dari masyarakat secara umum, dengan
berbagai jenis platform yang ada. Media menjadi salah satu penyedia informasi
dimana anak-anak berhak untuk mengaksesnya. Mengenai hak anak atas
informasi ini telah disebutkan di Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA)
nomor 10 dan Pasal 17 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Konvensi Hak Anak.
Legalisasi akses anak terhadap media ini merupakan indikasi bahwa media
memberikan pengaruh yang besar terhadap karakter dan identitas anak seperti
disebutkan oleh Dyson.2 Diantaranya adalah dengan proses imitasi terhadap
perilaku tokoh yang disaksikannya melalui media. Imitasi dari tokoh ini adalah
suatu bentuk role modeling yang lazim dilakukan oleh anak-anak. American
Academy of Child and Adolescent Psychiatry dalam terbitan information
sheetsnya menyebutkan setiap anak selalu membutuhkan sosok yang bisa
dijadikan panutan bagaimana ia bersikap sehari-hari, bahkan ketika menghadapi
masalah. Di lingkungan masyarakat seperti saat ini, adalah suatu hal yang wajar
jika anak-anak mulai mencari role model dari media yang dikonsumsinya.
Dengan kondisi tersebut, idealnya media hanya menyampaikan informasi
yang tidak menimbulkan pemaknaan negatif pada anak-anak, sehingga mereka
bisa memilih role model dengan tepat. Hal ini dapat dicapai dengan meletakkan
sudut pandang dari kebutuhan anak terhadap informasi yang sesuai dengan
2 Ibid.
4
usianya. Namun, kondisi saat ini sangat jauh berbeda dengan yang seharusnya
terjadi. Dari ranah dunia hiburan misalnya. Pada era 1990-an, lagu-lagu anak
masih banyak menghiasi etalase hiburan anak di Indonesia. Namun, sejak tahun
20003, mereka mulai menghilang. Disamping karena artis cilik kala itu telah
beranjak dewasa, penerusnya pun tidak ada. Terakhir adalah Tasya pada tahun
2005 yang merilis album anak-anak. Lambat laun, jejak artis cilik dan lagu-lagu
anak mulai menghilang. Diperparah dengan kontes penyanyi anak yang justru
lebih sering menyanyikan lagu-lagu berlirik percintaan saja. Pada tahun 2009,
muncul penyanyi cilik Umay, namun tidak diikuti dengan bertambahnya jumlah
penyanyi anak yang ada seperti pada era akhir abad 20.
Inilah yang menjadi alasan mengapa etalase lagu anak kini hampir tidak
ada. Bukan hanya lagu anak, tayangan anak pun mulai berkurang secara drastis.
Kiblat hiburan anak kini perlahan mulai berubah. Mereka menjadi penikmat lagu
dewasa dengan lirik percintaan. Pada saat booming lagu ‘Keong Racun’ yang
liriknya memiliki makna tidak senonoh, lagu ini popular pula di kalangan anak-
anak. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada 30 November 2012 pada dua
anak usia Sekolah Dasar yang menjadi presenter Radio Anak Jogja, menunjukkan
mereka lebih hafal lagu-lagu dewasa ketimbang lagu anak. Tidak adanya media
yang memfasilitasi, menjadi salah satu alasan semakin hilangnya hiburan untuk
anak-anak. Akibatnya, ekspos media anak terhadap dunia hiburan pun beralih ke
selebritas yang seharusnya menjadi konsumsi remaja dan dewasa. Hal ini
berdampak pada sosok panutan atau role model yang dipilih oleh anak-anak.
Dalam kasus media cetak, untuk anak biasanya ditampilkan dalam format
majalah yang terbit mingguan atau bulanan. Majalah memiliki segmentasi sasaran
lebih jelas dibandingkan media lain, ditampilkannya penyanyi yang tenar dengan
lagu-lagu berlirik percintaan, serta aktor dan aktris yang membintangi sinetron
untuk usia dewasa merupakan indikasi bahwa media tidak menyajikan informasi
yang sesuai dan aman untuk dikonsumsi oleh anak. Kondisi ini dialami oleh
banyak majalah anak di Indonesia. Jika dulu penyanyi cilik Maissy menghiasi
3 Berdasarkan wawancara dengan Djito Kasillo, founder www.marinyanyi.com, Pada 13
November 2012 di Hotel Melia Purosani, Yogyakarta.
5
konten di dalamnya, kini dengan mudah kita temukan One Direction sebagai
penggantinya.
Salah satu media cetak anak dalam bentuk majalah yang terbilang paling
terkenal adalah Majalah Bobo. Terbit sejak April 1973 (Junaedhie, 1995:121),
majalah Bobo merupakan majalah anak yang terbilang cukup legendaris di
Indonesia. Menurut segmentasi usia, majalah ini ditujukan untuk anak usia 6-12
tahun. Namun konten yang ada di dalamnya memuat hal-hal yang seharusnya
menjadi konsumsi usia diatas segmentasi yang telah ditentukan majalah Bobo.
Mengusung slogan ‘Teman Bermain dan Belajar’ diharapkan majalah ini memiliki
unsur edukasi dan entertainment yang sesuai untuk anak.
Sejak tahun 2008 Majalah Bobo telah meraih penghargaan Top Brand
Award sebanyak lima kali4 dalam kategori majalah anak. Meskipun tidak
mendapat predikat sebagai majalah anak pertama, namun Bobo terbilang cukup
tua.
Pada era 90-an, Majalah Bobo banyak menampilkan idola yang
menyanyikan lagu anak, atlet olahraga, peneliti, atau orang dengan prestasi sains
dan sosial sebagai pengisi di rubrik Profil. Rubrik Profil di Majalah Bobo
disajikan dalam dua halaman, dengan format teks berupa paragraf narasi dan
tanya jawab kepada tokoh yang berkaitan. Biasanya ditampilkan masih di bagian
depan dari majalah.
Rubrik Profil merupakan rubrik biografi singkat yang menampilkan hasil
wawancara redaksi Majalah Bobo dengan tokoh yang sedang diulas. Hasil
wawancara dikemas seolah sang penanya adalah tokoh Bobo si Kelinci Biru.
Rubrik ini mendapatkan cukup banyak penggemar, bisa dilihat dari banyaknya
surat pembaca yang meminta agar Bobo mengulas profil dari masing-masing idola
mereka.
Awalnya, rubrik Profil diisi oleh anak-anak berprestasi dan orang-orang
dewasa yang berprofesi di bidang tertentu. Mulai tahun 1996, rubrik ini mulai
4 Informasi diakses melalui situs www.topbrand-award.com, diakses pada 24 Maret 2014.
6
menampilkan profil artis cilik.5 Pada tahun-tahun berikutnya, Bobo juga mulai
menampilkan sosok selebritas dewasa. Kondisi ini terus berlanjut sampai dengan
sekarang dengan frekuensi yang semakin tinggi.
Ditampilkannya selebritas dewasa ini memang merupakan hal yang perlu
menjadi perhatian. Majalah Bobo, yang notabene adalah media untuk anak,
memiliki fungsi menyampaikan informasi baik berupa hiburan maupun
pengetahuan bagi pembacanya. Jika yang ditampilkan adalah sosok selebritas
dewasa, dikhawatirkan hal ini akan mendatangkan akibat yang buruk. Anak-anak
akan merasa mendapat legalitas dan pembenaran atas konsumsinya terhadap
hiburan yang dibawakan oleh selebritas dewasa tersebut. Anak-anak akan berpikir
bahwa jika majalah anak mengulas tentang sosok-sosok tersebut, artinya mereka
memang merupakan konsumsi yang layak bagi anak-anak.
Disamping itu, dikhawatirkan anak-anak dalam menerima informasi
mengenai selebritas dewasa di Majalah Bobo, tidak berhenti sampai disitu.
Mereka akan mengakses dan mencari tahu tentang selebritas tersebut melalui
platform media lain. Hal ini disebabkan anak-anak, terutama ketika sudah
menginjak usia Sekolah Dasar, bukanlah audiens pasif yang tidak bertindak apa
pun setelah menerima informasi. Perlu diingat bahwa dewasa ini, dengan keluasan
akses media yang semakin tinggi, anak-anak juga memliki kesempatan dan
kemampuan untuk mengakses informasi bukan hanya dari satu platform media
saja.
Croteau & Hoynes (2003: 266-269) menjelaskan bahwa audiens yang aktif
padas dasarnya merupakan sikap manusia yang memiliki intelejensi dan otonomi
dalam mengambil sikap maupun pemikiran setelah menerima informasi.
Sehingga, sudah selayaknya audiens memiliki kekuasaan (power) dalam
menggunakan media. Keaktivan audiens ini bukan sebatas pada bagaimana
mereka menginterpretasi pesan media, namun juga dalam memanfaatkan pesan
tersebut secara sosial serta menindaklanjuti dan menggunakannya.
5 Dede Lilis Ch Subandy. 2009. Idealisasi Anak Dalam Wacana Rubrik Nonfiksi Majalah Bobo.
Universitas Islam Bandung: Mimbar. hal. 2.
7
Apabila media anak, salah satunya adalah majalah, memberikan informasi
mengenai selebritas dewasa, bukan tidak mungkin anak-anak akan mengakses
informasi tentang selebritas itu dengan lebih banyak melalui media lain. Padahal,
seperti kita pahami bersama, selebritas dewasa memiliki kecenderungan
kehidupan yang penuh dengan skandal. Jika anak-anak mengikuti berita selebritas
tersebut diluar apa yang disajikan dalam media anak, maka ia pun akan
menyaksikan informasi yang tidak sesuai dengan usianya. Belum lagi, gaya hidup,
attitude, dan penampilan yang ditunjukkan oleh selebritas dewasa yang jauh dari
kata ideal. Dikhawatirkan anak-anak akan meniru dan menganggap benar semua
hal yang dilakukan dan ditunjukkan selebritas tersebut melalui kehidupan
pribadinya.
Semakin menyusutnya jumlah artis cilik di dunia musik sejak memasuki
abad 21, memang cukup membawa perubahan pula pada konten rubrik Profil di
Majalah Bobo. Porsi penyanyi cilik ditampilkan di Majalah Bobo pada tahun 90-
an memang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya ekspos media pada
dekade tersebut terhadap industri musik anak dan juga acara untuk anak yang
banyak ditampilkan di televisi. Pada saat itu, Majalah Bobo pun berusaha
mengikti selera masayarakat. Namun, kondisi tersebut mulai banyak berubah
sejak memasuki era abad 21. Perbandingan acara televisi pada era 90-an dan tahun
2000-an, menunjukkan perubahan yang sangat drastis terhadap komposisi
tayangan anak. Awal abad 21 tersebut menjadi tonggak dimana tayangan anak
telah banyak terkikis. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh pula pada anak
bagaimana mereka mulai menjadikan selebritas dewasa sebagai role model.
Rubrik Profil memiliki kaitan yang erat terhadap bagaimana role model
yang tepat digambarkan untuk anak-anak. Nafas rubrik ini adalah memberitakan
kehidupan tokoh, lengkap dengan prestasi dan anjuran agar anak-anak
mencontohnya. Menurut Donald E. Gibson6, role model memberikan pengaruh
pada perilaku, kebiasaan, dan cita-cita. Role model ini cenderung memberikan
pengaruh terhadap konsep diri, dibandingkan kemampuan individu. Artinya,
6 Gibson, D. E. 2006. Encyclopedia Of Career Development: Role Models. California: Sage
Publications. hal. 702.
8
peranan role model ada pada taraf kognitif dari individu. Sehingga yang dicontoh
cenderung kepada hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan karakter dan
identitas.
Menjadikan selebritas dewasa menjadi role model memang bukanlah hal
yang keliru. Namun perlu diingat, bahwa selebritas memiliki kehidupan yang
tidak selamanya baik-baik. Bisa jadi pada suatu hari, ia akan terlibat skandal, atau
melakukan hal-hal yang tidak baik untuk dicontoh anak. Dengan kata lain,
mengajarkan anak untuk meniru selebritas tidak bisa semata-mata dinilai positif.
Perlu diwaspadai bagaimana selebritas dan kehidupan pribadinya yang rentan
akan hal-hal negatif bisa berpengaruh kepada anak.
Penelitian yang akan difokuskan pada rubrik Profil di Majalah Bobo ini
terinpirasi dari jurnal karya Dede Lilis CH. Subandy yang diterbitkan oleh
Mimbar, jurnal akademik Universitas Islam Bandung. Jurnal penelitian tersebut
berjudul Idealisasi Anak dalam Wacana Rubrik Nonfiksi Majalah Bobo, dengan
mengambil dua rubrik sebagai objek penelitian. Namun demikian, penelitian yang
akan dilakukan memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Penelitian milik Dede
mengambil rubrik Profil dan Reportase sebagai objek penelitian yang mengangkat
wacana standarisasi kehidupan ideal bagi anak yang ditampilkan dalam kedua
rubrik tersebut. Sedangkan pada penelitian ini, akan difokuskan pada bagaimana
strategi Majalah Bobo dalam menanamkan konsep wacana role model, yang
berfokus pada bagaimana para tokoh diwacanakan dalam rubrik Profil sehingga
memengaruhi anak-anak menjadikan sosok tersebut sebagai panutan.
Penanaman konsep role model, dengan menggunakan selebritas dewasa di
tengah gegap gempita dunia hiburan saat ini sebagai tokohnya, memberikan
pemahaman bagi anak bahwa mereka pantas untuk dijadikan panutan. Dalam hal
ini, penelitian dilakukan terhadap bagaimana media menyajikan selebritas dewasa
sebagai sosok role model pada majalah anak. Dimana pesan dan peran yang
dibawakan oleh mereka dalam keseharian sebagai bagian dari profesi maupun
kehidupan pribadinya, tidak semuanya sesuai dengan dunia anak.
Analisis kritis terhadap fenomena rubrik Profil pada majalah anak ini perlu
ditelisik lebih dalam. Dengan menggunakan metode analisis wacana, akan
9
diketahui motif dari diproduksinya suatu konten media. Idealnya, sebagai majalah
anak, Bobo hanya memuat konten yang benar-benar sesuai dengan usia anak.
Bukan menampilkan selebritas yang tampil di tayangan dewasa atau
membawakan lagu bertema percintaan. Analisis wacana akan mempelajari
bagaimana kekuasaan disalahgunakan atau bagaimana dominasi serta
ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks pada suatu media.
Termasuk di dalamnya akan dipelajari pula bagaimana produksi wacana
berlangsung dan relasi kuasa apa saja yang ada di belakangnya. Dalam penelitian
ini, wacana yang dibahas adalah mengenai konseptualisasi role model pada anak;
bagaimana ia disajikan oleh Majalah Bobo.
Analisis wacana kritis meneliti bahasa yang digunakan dalam sebuah teks
dan menggali bagaimana kekuasaan berperan dalam teks tersebut. Bahasa
dipercaya memiliki pesan-pesan tersembunyi yang melatarbelakangi produksi
suatu teks. Tujuan dari analisis wacana adalah mengkritisi ideologi yang
melatarbelakangi sebuah wacana dengan jalan menilik kembali asumsi-asumsi
kebenaran yang seringkali sudah menjadi common sense di masyarakat. Dalam hal
ini, penyajian artikel pada rubrik Profil di Majalah Bobo, akan diteliti dengan
menganalisis bahasa serta pesan yang disampaikan di dalamnya. Dengan
demikian akan ditemukan hal-hal diluar apa yang tersampaikan secara eksplisit
dalam teks tersebut.
Implementasi pada penelitian ini adalah meletakkan pihak Majalah Bobo
sebagai objek penelitian. Dengan mengambil rubrik Profil Majalah Bobo terbitan
tahun 2005 dan 2013 yang memuat profil dari selebritas dewasa di dunia hiburan
Indonesia sebagai teks yang digunakan untuk meneliti wacana role model.
Penelitian akan dilakukan kepada pihak redaksi, analisis dokumen, dan
penelusuran.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana wacana role model disajikan dalam rubrik Profil di Majalah Bobo?
C. Tujuan penelitian
10
1. Untuk mengetahui bagaimana wacana role model disajikan dalam rubrik
Profil di Majalah Bobo.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang memengaruhi pembentukan konten rubrik
Profil di Majalah Bobo.
3. Untuk memberikan gambaran kondisi media anak dalam fungsinya
sebagai sarana hiburan dan edukasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan gambaran nyata kepada masyarakat bagaimana kondisi media
untuk anak saat ini.
2. Menjadi masukan bagi majalah anak secara umum untuk lebih
memerhatikan konten media untuk untuk anak.
3. Memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu komunikasi dan
studi media.
E. Kerangka Pemikiran
1. Anak-anak dan Media
a. Anak sebagai Target Audiens Media
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Institute of Indonesia7 anak-
anak merupakan target market yang potensial. Penelitian itu menyebutkan, anak-
anak bisa menjadi pembeli dengan menggunakan uang saku mereka. Untuk harga
barang yang diluar jangkauannya, mereka akan memengaruhi orang tua untuk
membeli produk tertentu yang dia inginkan. Fakta ini membuat media berlomba-
lomba menjadikan anak sebagai pasar yang potensial dengan menyajikan konten
untuk usia dibawah 12 tahun. Meletakkan anak-anak sebagai sasaran audiens,
media harus mampu menyajikan konten yang dapat dikonsumsi oleh anak tanpa
menimbulkan efek negatif.
7 Kompas. 24 Februari 2011.
Http://Female.Kompas.Com/Read/2011/02/24/0947472/Mau.Buka.Usaha.Coba.Lirik.Target.Mark
et.Ini diakses pada 20 Februari 2014
11
Media sebenarnya memiliki peran penting dalam tumbuh kembang anak.
Dari hasil riset, Center of Media and Kids Health mengungkapkan bahwa anak-
anak menghabiskan lebih banyak waktu dengan media, dibandingkan aktivitas
lain kecuali tidur. Media yang digunakan pun beragam, televisi, video game, film,
majalah, ponsel dan lain sebagainya. Frekuensi interaksi anak dengan media yang
sangat sering ini memberikan pengaruh yang cukup besar. Media memengaruhi
bagaimana seorang anak membentuk karakter pribadi, melihat dunia, dan
bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Karakter dan kepribadian anak dipengaruhi oleh media dengan adanya
proses interpretasi dan imitasi dari pesan yang disampaikan. Jenkins (dalam
Alper: 2013) berpendapat bahwa anak-anak tidak mendengarkan atau membaca
cerita yang disampaikan begitu saja. Mereka melakukan reenact sesuai dengan
pemahaman terhadap narasi yang disampaikan. Ini berarti media dituntut untuk
menyediakan konten yang benar-benar aman untuk dikonsumsi.
Rentannya anak terhadap media bukan berarti mereka tidak membutuhkan.
Media sebenarnya memiliki manfaat yang besar sehingga dapat dikatakan bahwa
anak-anak perlu mengkonsumsi media dalam proses pertumbuhannya. Media
menyediakan sarana pendidikan serta hiburan sekaligus, mengijinkan anak-anak
untuk melihat keluar dari dunianya, tahu lebih banyak mengenai hal-hal yang
terjadi di luar sana. Ini baik untuk perkembangannya, dimana ia akan memelajari
kultur dan lingkungan sosial bukan hanya melalui pengalaman secara langsung
saja. Media sebagai sarana penyedia informasi membantu anak-anak memperluas
wawasan.
Era dimana media menjadi sarana penyedia informasi serta hiburan yang
dibutuhkan masyarakat, membuat konsumsi terhadap media semakin besar.
Artinya, jika media memberikan efek yang signifikan terhadap kehidupan sehari-
hari adalah sesuatu hal yang wajar. Dari segi kultural, media juga memberikan
pengaruh yang cukup besar. Ragam informasi yang diberikan bersifat konstruktif,
membangun wawasan dari seseorang sehingga mempengaruhi bagaimana ia
melihat dunia. Gergen (1999, dalam Orbe) mengatakan bahwa media adalah suatu
sistem kultural yang sangat kuat. Ia memiliki peran penting dalam membentuk
12
sense of reality dari seseorang. Pada anak, media dipercaya mampu
menumbuhkan kepercayaan diri dan minat terhadap hal-hal yang relevan dengan
yang disampaikan melalui pesan yang diproduksi. Shelly Goldman, Meghan
McDermott dan Angela Booker (dalam Buckingham: 2008) percaya bahwa anak-
anak membutuhkan sebagai sarana dalam mengakses informasi dan isu sosial.
Selain itu, media membantu anak dalam menyuarakan pendapatnya agar dapat
didengar oleh khalayak yang lebih luas.
Kebutuhan akan informasi ini disadari betul oleh media. Media
menyediakan konten yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sebagai timbal baliknya, media selaku institusi komersil mengolah penyajian
informasi tersebut menjadi suatu bentuk bisnis. Tingkat kebutuhan masyarakat
akan informasi membuat media tidak mudah ditinggalkan. Mereka membidik
pasar-pasar tertentu yang dinilai memiliki potensi untuk mengembangkan bisnis
media. Salah satu sasarannya adalah anak-anak.
Dari sudut pandang bisnis, anak-anak merupakan ranah yang potensial
dalam mengembangkan bisnis media. Berdasarkan penelitian Institute of
Indonesia8, peningkatan besar uang saku anak selama satu dekade terakhir
menjadi alasan mengapa anak-anak dibidik menjadi target pasar. Dari hasil
penelitian tersebut, uang saku dari 95 persen responden diberikan secara harian,
hal ini erat korelasinya dengan meningkatnya potensi anak-anak sebagai target
market, karena jumlah waktu penggunaan uang saku cukup singkat.
Disamping itu, anak-anak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
pola pembelian produk yang dilakukan oleh orang tua. Dikarenakan orang tua
cenderung menuruti permintaan anak atas konsumsi suatu produk, terlebih untuk
produk yang dinilai tidak memberikan efek negatif.
Alasan lain yang membuat pelaku bisnis gencar membangun pasar untuk
anak adalah adanya prinsip brand loyality. Brand loyality merupakan kesetiaan
pelanggan terhadap suatu produk, yang mana media melihat anak sebagai target
pelanggan untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Artinya, bisnis media
8 Ibid.
13
melihat jauh kedepan bagaimana anak-anak yang semakin tumbuh dewasa akan
tetap setia terhadap produk tertentu.
Menjadikan anak-anak sebagai target pasar semakin memperbesar
pengaruh media pada anak. Anak seolah mendapatkan legalitas mengakses media
dengan disediakannya konten dengan klaim ‘untuk anak-anak,’ lepas dari apakah
konten tersebut memenuhi kebutuhan dan kesesuaian dengan usia anak.
disamping itu, anak-anak cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar.
Sehingga kebutuhannya akan informasi tidak cukup hanya dipenuhi melalui
pendidikan formal maupun non-formal di lingkungan sekitarnya.
Pengaruh media pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang sangat
besar berimbas pada kehidupan sosial dan kultural. Anak-anak dinilai sebagai
tumpuan masa depan, dimana ia akan tumbuh menjadi dewasa dengan pengaruh-
pengaruh dari apa yang didengar dan dilihatnya melalui media. Ini secara perlahan
akan membentuk bagaimana seorang anak melihat dunia. Alasan inilah yang
membuat James W. Potter berpendapat bahwa media perlu melakukan special
treatment pada audiens anak. Spesialisasi ini disajikan dalam bentuk konten yang
sesuai, tidak multitafsir, tidak ambigu, tidak memberikan interpretasi negatif, serta
tidak memengaruhi anak untuk melakukan hal-hal yang belum waktunya.
b. Pembaca Anak dan Literasi Media
Kepungan digitalisasi media yang menerpa masyarakat modern dialami
oleh hampir seluruh masyarakat dunia. Namun demikian, eksistensi media cetak
tetap diakui dan diprediksi masih memiliki masa depan cerah selama beberapa
tahun kedepan. Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Arif Budi Susilo9 mengatakan
kekhasan yang dimiliki oleh media cetak membuat bisnis ini tetap tumbuh subur.
Media cetak memiliki karakteristik yang sejauh ini tidak dapat digantikan oleh
platform media manapun. Inilah yang membuat media tetap dan akan terus
bertahan, asalkan menerapkan strategi bisnis dan pemasaran yang baik.
9 Republika. 2014. Tantangan Media Cetak pada Era Digital. Dirilis 9 Februari 2014. Diarsipkan
di http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/14/02/09/n0ovb4-tantangan-media-cetak-
pada-era-digital diakses pada 24 April 2014
14
Desmond10
mengatakan, minat baca anak saat ini jika dibandingkan
dengan frekuensi menonton televisi, memang tidak cukup tinggi. Diantaranya
dikarenakan anak-anak tidak diberi dorongan untuk membaca diluar buku
pelajaran, dari pihak orang tua dan guru. Minat baca anak perempuan pun lebih
tinggi dibandingkan anak laki-laki.
Kara Lynn Anderson (2005: 3) mengatakan, dalam memahami fenomena
audiens anak sebagai pembaca dan penonton buku serta film Harry Potter
menunjukkan bahwa di setiap kultur masyarakat, membaca dan menonton adalah
dua aktivitas dengan tipe tindakan yang berbeda. Aktivitas menonton
dikategorikan sebagai tindakan pasif. Hal ini disebabkan karena pada aktivitas
menonton film atau televisi, anak hanya menyaksikan tayangan secara audio
visual. Berbeda dengan membaca, yang dikategorikan sebagai tindakan aktif.
Membaca membuat anak berimajinasi dan memahami pesan melalui teks yang
disampaikan. Membaca bukan sekedar menyaksikan yang ada dihadapannya,
namun juga membantu otak untuk tetap aktif dan mengasah daya imajinasi.
Membaca memengaruhi audiensnya untuk menjadi meaning maker atas pesan
yang disampaikan.
Pemahaman anak terhadap sebuah bacaan bersifat homogen dalam satu
kultur yang sama.11
Ini terlihat dari penikmat novel dan film legendaries Harry
Potter. J.K Rowling, penulisnya mengungkapkan bahwa anak-anak di Amerika
Serikat mampu memahami sebagian besar humor yang dilontarkan, semua anak
menunjukkan sikap bahwa mereka memang paham. Sedangkan di UK, anak-anak
tidak menunjukkan reaksi yang sama seperti anak-anak di Amerika Serikat.
Dalam sebuah kultur masyarakat yang sama, tingkat pemahaman terhadap pesan
yang implisit semacam itu akan dipahami secara sama pula.
Homogenitas reaksi yang ditunjukkan oleh anak ini membuktikan bahwa
dalam menyajikan suatu konten, media harus memerhatikan berbagai aspek.
10
Dalam Dorothy G Singer & Jerome L. Singer. 2001. Handbook Of Children And The Media.
California: Sage. hal. 31. 11
Kara Lynn Anderson. 2005. Harry Potter And The Susceptible Child Audience.
http://docs.lib.purdue.edu/clcweb/vol7/iss2/ diakses Pada 1 Mei 2014.
15
Diantaranya adalah psikologis anak dan kultur dari masyarakat yang
memengaruhi.
Proses meaning maker yang dilakukan oleh anak ini perlu menerima
bimbingan, bagaimana agar mereka dapat memahami konten suatu media dengan
benar. Menurut Baran (2009) media memberikan pengaruh terhadap budaya
masyarakat dengan berbagai cara. Kini media tidak sebatas hanya memberikan
informasi, pengetahuan, dan hiburan, tetapi juga memungkinkan audiensnya
berinteraksi secara langsung. Pada saat yang sama media menanamkan nilai
ideologi baru berupa gaya hidup, budaya konsumerime dan model peniruan sikap
dan perilaku para selebritas tertentu yang dipopulerkan media. Mengingat kondisi
anak yang cenderung rentan terhadap berbagai macam pengaruh, sudah waktunya
penetrasi media yang semakin gencar dan bebas harus diimbangi dengan literasi
media sebagai cara untuk menangkal dampak negatif media. Literasi media juga
bertujuan untuk melindungi khalayak yang rentan dan lemah terhadap dampak
media penetrasi budaya media, salah satunya adalah anak-anak.
Menurut Katz (dalam Vural: 2010) literasi media membantu audiens untuk
memiliki benteng terhadap pengaruh buruk dalam mengakses informasi, analisis,
kemampuan komunikasi dan memahami pentingnya melihat dunia melalui media.
Dengan kata lain, literasi media membuat khalayak mampu menggunakan media
dengan tepat berikut memahami fungsi serta peran media dalam kehidupan.
Kemampuan literasi media memang perlu diasah untuk semua orang yang
mengakses media. Seringkali, audiens anak dilupakan karena dianggap belum
memiliki keahlian yang cukup dalam memahami isi pesan dan fungsi media.
Anggapan ini tidak benar, justru anak-anak sebagai audiens yang rentan harus
diajarkan bagaimana mereka harus menyikapi media. Dengan demikian, meskipun
mereka telah bersinggungan dengan media sejak usia dini, mereka memiliki bekal
dalam menangkal pengaruh negatif pesan media.
Perlu diingat bahwa tidak bisa mengharapkan anak-anak akan memiliki
kemampuan literasi yang tinggi. Dengan daya pikir dan kedewasaan yang belum
matang, anak memiliki kemampuan yang terbatas dalam memelajari literasi
16
media. Disinilah tugas media selaku penyedia informasi harus benar-benar
memerhatikan konten yang disampaikan pada anak.
2. Anak-anak dalam Majalah
Sebagai salah satu target pasar bagi media, anak-anak menjadi komoditas
yang penting bagi media dalam mengembangkan konten yang akan disajikannya.
Hal ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, sejak Majalah Anak Garuda
dan Kunang-kunang diterbitkan Balai Pustaka pada awal 1950-an. Anak-anak
selalu menjadi inspirasi perwujudan media cetak untuk anak.12
Majalah anak yang cukup populer pada dekade 1950-an saat itu adalah Si
Kuncung, yang menjadi inspirasi munculnya banyak majalah anak di Indonesia.
Salah satunya adalah Kawanku, terbit tahun 1970, yang ditujukan untuk anak usia
9-14 tahun kala itu. Pada saat itu, penerbitan majalah anak didasari oleh idealisme
menerbitkan bacaan anak yang baik13
. Bukan dengan alasan-alasan komersial.
Pada tahun 1973, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden
(Inpres) tentang bacaan anak14
. Disebutkan dalam Inpres tersebut bahwa untuk
memenuhi prasarana pendidikan anak-anak sekolah dasar di seluruh Indonesia,
pemerintah wajib membeli sejumlah buku bacaan dengan tiras yang telah
ditentukan dari penerbit yang memproduksi buku bacaan anak-anak. Pada tahun
pertama peraturan tersebut telah melahirkan 7 juta buku bacaan anak-anak, juga
berhasil meningkatkan minat baca di kalangan anak-anak dan kesadaran akan
kebutuhan terhadap bacaan yang baik.
Proyek tersebut mulai banyak menginspirasi penerbit untuk menerbitkan
terbitan anak secara berkala. Di akhir dekade itu, hampir semua koran maupun
majalah memiliki kapling sendiri untuk halaman anak-anak. Majalah anak pun
mulai banyak bermuculan dibarengi dengan semakin meningkatnya minat baca
anak. Hingga saat ini majalah anak-anak tetap tumbuh. Banyak mengalami gulung
tikar, namun beberapa judul baru bermunculan. Alasan gulung tikar kebanyakan
12
Kurniawan Junaedhie. 1995. Rahasia Dapur Majalah Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.hal. 122. 13
Ibid.hal. 124. 14
Ibid.hal. 122.
17
adalah menurunnya tiras majalah tersebut dari waktu ke waktu. Pasca proyek
Inpres, beberapa penerbit buku anak yang sukses mencoba peruntungan dengan
menerbitkan majalah anak, namun ternyata kesuksesannya tak sesuai rencana.
Meski memiliki ideologi komersial dalam menerbitkan majalah anak pada
era itu, namun pada mulanya kebanyakan majalah anak memang dijiwai dengan
kepentingan untuk memberikan informasi dan rekreasi kepada anak melalui media
cetak. PK Ojong, pendiri Majalah Bobo, mewanti-wanti kepada staf redaksinya
agar majalah itu murni hanya sebagai rekreasi untuk anak15
. Tanpa dijejali dengan
materi pelajaran karena ia berpendapat bahwa anak-anak telah mendapat
pendidikan yang cukup dari sekolah dan tugas untuk dirumah.
Penggambaran kebutuhan dan dunia anak dalam majalah dimaknai oleh
media sebagai konten yang fun, penuh keceriaan, dengan kata-kata menarik bagi
anak-anak. Informasi yang disampaikan pun terbilang ringan dan dikemas dalam
bahasa yang santai serta mudah dimengerti. Konten untuk anak dipahami sebagai
konten yang menghilangkan unsur negatif, namun sarat akan pesan moral yang
bisa enjadi pelajaran bagi anak-anak. Majalah anak tidak menampilkan dunia
selebritas populer, meskipun itu tergolong ranah hiburan. Hal ini dibuktikan
dengan berubahnya majalah anak Kawanku menjadi Kawanku Stil di tahun 1989,
kependekan dari Saya Tidak Ingusan Lagi. Majalah anak tersebut berubah
menjadi majalah dengan segmentasi usia pra-akil balikh, istilah bagi mereka yang
hampir memasuki tahapan remaja. Pada versi baru Majalah Kawanku ini,
informasi yang disampaikan pun mulai berbeda. Selebritas populer seperti
Anggun C. Casmi, New Kids On The Block, Kura-kura Ninja, Madonna, dan lain
sebagainya mengambil bagian dalam kontennya.
Dalam majalah anak, penting untuk menonjolkan sisi yang cerah dan
berwarna-warni. Anak-anak tertarik pada desain yang ceria dan membuatnya
merasa fun dengan melihat dan membacanya. Majalah anak biasanya
mengandalkan konten fiksi untuk mengasah imajinasi melalui dongeng dan cerita
pendek, juga cerita yang dikemas dalam gambar-gambar serupa komik dengan
tokoh tertentu. Selain itu, ruang publik di majalah anak juga banyak menyedot
15
Ibid.
18
perhatian anak. Seperti mengirimkan karya puisi, gambar dan karya seni lain. Juga
mengirim jawaban untuk kuis berhadiah. Melalui konten tersebut, anak akan
belajar bersikap berani dan bangga terhadap hasil karyanya, apalagi jika dimuat.
Terakhir, adalah konten non fiksi berupa informasi dan pengetahuan. Meskipun
tidak memuat informasi yang sangat lengkap dan detail, rubrik non fiksi memiliki
keunggulan menambah wawasan bagi anak, terutama untuk hal-hal yang tidak ada
disekitarnya. Pengemasannya pun dengan bahasa yang ringan, sehingga anak-
anak tidak merasa berat meskipun informasi yang disampaikan terbilang cukup
berbobot.
Majalah anak adalah salah satu literasi wajib bagi anak-anak dan pra akil
balikh (Desmond dalam Singer, 2001: 34). Dalam majalah anak, terdapat hal-hal
eksperimental dan rekreatif yang dibutuhkan serta disukai oleh anak-anak, tanpa
batasan gender. Menurutnya, sampai dengan usia 12 tahun, barulah segmentasi
majalah dipisahkan berdasarkan gender karena kebutuhan mereka semakin
berbeda. Sehingga konten yang disajikan pun berbeda pula.
Namun demikian, majalah anak saat ini mulai mengenal gender. Meskipun
tidak semata-mata ditampilkan secara implisit bahwa majalah tersebut memiliki
segmentasi gender tertentu, tapi bisa dilihat dari konten yang ditampilkan.
Majalah-majalah tersebut memiliki konten yang difokuskan terhadap interest
masing-masing gender. Misalnya, Majalah Princess untuk anak perempuan, dan
Majalah Cars untuk anak laki-laki. Meskipun tidak disebutkan bahwa majalah itu
ditujukan untuk gender tertentu, namun audiens sudah dikotak-kotakkan
berdasarkan gender dari konten yang ditampilkan. Setting industri majalah saat ini
telah berkembang pesat bahkan juga pada majalah anak. Menciptakan konten
yang menarik dan sesuai dengan minat audiens terjadi pula di majalah anak.
Menyajikan konten yang menarik bagi anak adalah salah satu
mempertahankan perekonomian media. Tidak dapat dipungkiri, menjaga dapur
agar tetap mengepul sejak dulu menjadi salah satu tujuan utama bagi setiap media,
termasuk majalah anak. Jika medianya tidak diminati, tentu tidak akan menarik
pengiklan. Dengan demikian, memenuhi kebutuhan saja tidak cukup, namun juga
19
keinginan dari audiens. Keinginan dan kebutuhan audiens anak tidak berkutat
pada konten saja, namun juga pengemasan dan gaya bahasa yang mudah
dipahami. Semuanya bersinergi membentuk kesatuan konten media yang layak
untuk dikonsumsi anak, sesuai dengan segmentasi yang telah ditentukan.
3. Anak-anak dan Role Model
David Gauntlett (2002: 159) menjelaskan bahwa istilah role model telah
lama ada di masyarakat. Namun, belum ada definisi secara pasti siapakah yang
pantas disebut sebagai role model. Gauntlett melanjutkan, secara umum istilah ini
populer diartikan sebagai ‘seseorang yang dijadikan panutan’, ‘seseorang yang
mendasari karakter, pendapat, atau penilaian.’ Pendek kata, role model adalah
mereka yang dianggap sebagai sosok yang berpengaruh.
Secara harfiah, kata role model merupakan gabungan dari dua kata, yaitu
role dan model, yang kemudian membentuk makna baru. Role atau peran,
merupakan sebuah konsep yang menggolongkan seseorang dalam suatu struktur
masyarakat16
. Peran memberikan label kepada seseorang bagaimana posisinya
dalam masyarakat atau suatu lingkungan tertentu. Seseorang diakui memiliki
peran tertentu karena kemampuan yang ia miliki. Dalam masyarakat, peran
berguna untuk mengidentifikasi sesorang dalam mendapat suatu status tertentu.
Sedangkan model atau contoh memiliki kaitan erat dengan Social
Learning Theory yang digagas oleh Albert Bandura (1971). Bandura mengatakan
sebagian besar perilaku atau kebiasaan manusia diproduksi dari hasil modeling
atau mencontoh. Proses ini dimulai dari observasi individu terhadap suatu yang
lain, sehingga lama-kelamaan timbul keinginan dan ide untuk meniru apa yang
disaksikannya tersebut. Selanjutnya, ide itu diwujudkan menjadi suatu tindakan
dan menjadi kebiasaan.
Mengenai modeling ini, Bandura mengatakan bahwa seseorang cenderung
akan mencontoh sosok yang terlihat sukses dibandingkan. Penilaian terhadap
16
Claudio Masolo, dkk. 2001. Social Roles and Their Description. Roma: Laboratory of Applied
Ontology. hal. 2
20
kesuksesan ini bisa jadi sangat subjektif, tergantung bagaimana ia memandang
sosok tersebut dan bagaimana sosok tersebut dicitrakan.
Teori Bandura tersebut menegaskan bahwa modeling atau mencontoh
perilaku orang lain adalah hal yang dialami oleh sebagian besar manusia. Tidak
dapat dipungkiri, seseorang pasti melakukan tindakan tersebut dalam proses
kehidupannya. Tujuannya, untuk dapat mempelajari hal-hal tertentu dari sosok
yang dijadikan sebagai panutan.
Istilah role model ini mengacu pada dua hal; yaitu konsep dari peran,
dimana individu mengidentifikasi orang lain berdasarkan posisi sosialnya, serta
konsep dari modelling, dimana seseorang berusaha mencocokkan dirinya dengan
sosok yang memiliki perilaku dan kemampuan atau keahlian yang sesuai.17
kedua
hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa: pertama, pemilihan role model biasanya
dilakukan oleh seseorang dengan mengambil sosok yang memiliki kesamaan
dengannya. Kesamaan ini bisa berupa status, hobi, kebiasaan, dan lain sebagainya.
Kedua, memperkuat pernyataan dari Social Learning Theory, dimana proses
modelling dilakukan untuk memudahkan sesorang dalam memperoleh hal baru,
skill, dan juga norma.
Sejauh ini, tidak ada rumusan konsep konstruksi role model ini secara pasti.
Gibson (2006: 702) menyebutkan dalam bukunya mengenai 4 kunci dari salah
satu studi role model yang bisa dijadikan acuan dalam menunjukkan karakteristik
role model yang dicari:
1. Individu mencari sosok role model yang dapat membantu membantu
mengembangkan mereka. sosok yang dianggap ‘positif’ berarti memiliki
karakter yang ingin dicontoh. Sedangkan sosok yang ‘negatif’, berarti
memiliki karakter yang ingin dihindari oleh individu.
2. Individu juga mencari global role model, dimana sosok yang akan
dijadikan model tersebut mampu menjadi panutan secara umum bagi
semua kalangan.
3. Individu mencari role model dengan tujuan untuk mewujudkan dirinya
sebagai sosok ideal.
17
Gibson, Loc. Cit.
21
4. Semakin berkembangnya tingkatan kehidupan sesorang, role modelnya
pun akan berubah. Dari yang semula global, menjadi lebih spesifik lagi
sesuai dengan kebutuhannya.
Antara individu dan sosok yang dijadikan panutan ini tidak harus ada
interaksi secara langsung. Individu dapat memperoleh portopolio dari sosok
tersebut melalu observasi. Hasil dari observasi ini pada akhirnya adalah role
expectation dan self-concept definition terhadap sosok yang dijadikan model.18
Menurut American Academy of Child and Adolescent Psychiatry19
, role
model adalah konsep dimana seseorang memiliki peran sebagai contoh atau
memberikan pengaruh pada orang lain. Anak-anak akan mencari beberapa role
model untuk dijadikan panutan bagaimana ia harus bertingkah laku, membangun
hubungan, bahkan ketika mereka harus mengambil keputusan yang sulit. Role
model ini akan diambil anak-anak dari orang yang ada disekitarnya seperti orang
tua, guru, saudara dan lain sebagainya. Mereka juga dapat mengambil role model
selebritas, seperti artis, atlet, juga tokoh dalam buku. Pada prinsipnya, role model
adalah mereka yang dipercaya oleh anak-anak sebagai panutan yang bisa menjadi
contoh baginya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry20
juga
menyebutkan bahwa role model yang negatif bisa memberikan pengaruh yang
buruk pula. Idealnya, role model untuk anak-anak adalah tokoh yang memiliki
kesan yang baik. Tak harus datang dari kalangan selebritas, orang-orang yang
tinggal di lingkungannya pun berpotensi sebagai sosok role model.
Namun demikian, memiliki role model dianggap sebagai suatu hal yang
penting bagi anak-anak. Role model memberikan contoh dan memperkaya
pengalaman dari anak. Menurut Karen Stephens21
, anak-anak tumbuh dengan
dipengaruhi dua faktor, yaitu genetik dan lingkungan. Lingkungan memberikan
pengaruh pada anak dalam mengatur kontrol impuls. Lingkungan media yang
18
Ibid. 19
Information sheets Facts for Family ‘Children and Role Model’. 11 September 2011 no.99.
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. hal. 1 20
Ibid. 21
Dalam selebaran Encouraging World Build Children’s Confidence yang diterbitkan oleh
www.childcareexchange.com .
22
memberikan role model positif, adalah salah satu bentuk kesuksesan dalam
memperlakukan anak-anak sesuai dengan kebutuhannya.
4. Role Model dalam Rubrik Profil
Pengaruh media di dalam masyarakat memang sangat besar. Tidak hanya
dalam hal dinamika arus informasi semata, media memberikan pengaruh terhadap
kehidupan dan lingkungan masyarakat. Seluruh platform media memiliki peran
yang sangat penting pada masyarakat bagaimana mereka melihat dunia.22
Pada era
saat ini, dimana masyarakat lebih banyak menerima informasi dari media,
sedangkan media mampu membentuk pandangan seseorang terhadap realitas.23
Para peneliti sejak beberapa dekade lalu telah merumuskan berbagai teori
tentang bagaimana media mempengaruhi cara bertindak dan berpikir, serta
bagaimana ia mengkonstruksi realitas dari masyarakat.24
Social Learning Theory
yang digagas Albert Bandura mengungkapkan bagaimana invidu dalam
mengkonsumsi media akan mempelajari komponen kebiasaan yang ditampilkan.
Individu dipercaya mampu mengekstrak informasi dari sajian verbal dan non-
verbal media dan merepresentasikannya dalam memori.25
Secara umum, televisi
memiliki tingkat yang lebih rendah dalam invested mental effort26
(Harris, 2009:
46) dari individu. Namun demikian, media cetak memiliki keunggulan sebagai
media pertama yang beredar di masyarakat terbukti telah memiliki efektivitas
yang tinggi dalam memberikan pengaruh terhadap psikologis individu.
Meniru dan mengubah pandangan merupakan salah satu efek dari
konsumsi media. Besarnya pengaruh media ini tergantung pada tingkatan usia
seseorang karena berkaitan dengan kemampuan literasi (Harris, 2009:46). Ini
22
Richard West. 2010. Introducing Communication Theory. New York: McGraw Hill. hal. 379. 23
Ibid. 24
Richard Jackson Harris. 2009. A Cognitive Psychology of Mass Communication. New York:
Routledge. hal. 63 25
Ibid, hal 46. 26
Amount of Invested Mental Effort (AIME) digagas oleh Salomon (1983) didefinikan sebagai
‘the number of non-automatic elaborations (Elaboration) applied to a unit of material.’ Elaborasi
membantu pemindahan informasi dari jarak memori jangka pendek ke memori jangka panjang
dengan menciptakan gabungan dan hubungan antara informasi baru dengan apa yang telah
diketahui. (http://www.springerreference.com/docs/html/chapterdbid/319738.html)
23
adalah fakta yang cukup mengerikan dimana saat ini anak-anak telah menjadi
konsumen media pula. Sedangkan media dikendalikan oleh profit yang membuat
mereka bertindak ‘anything goes’ demi menghasilkan keuntungan.27
Menarik
audiens anak adalah cara mudah, mengingat anak-anak cenderung mudah pula
untuk dipikat perhatiannya. Media bertindak seolah menjadi role model bagi anak-
anak dan berusaha mempengaruhi pikiran, kebiasaan, serta nilai-nilai anak. Hal ini
disajikan seluruh platform media dalam berbagai bentuk konten.
Personel media seperti aktor, pemusik, karakter kartun dan lain sebagainya
adalah komponen dalam membentuk mindset dari audiens, terutama dalam hal ini
adalah anak-anak.28
Tokoh-tokoh ditampilkan dalam berbagai jenis konten,
memungkinkan anak-anak untuk mengkonsumsi sebebas-bebasnya. Ekspos media
terhadap tokoh-tokoh yang dianggap mampu memikat dan memiliki daya tarik
bagi audiens akan ditampilkan. Tidak lepas dari keinginan untuk menarik semakin
banyak audiens agar menikmatinya medianya.
Salah satu konten yang ada pada media cetak dan memiliki tujuan untuk
mengekspos tokoh-tokoh tertentu adalah Profil. Profil adalah sebuah artikel
pendek yang memberikan deskripsi mengenai seseorang. Profil memiliki arti yang
kurang lebih sama dengan biografi dan daftar riwayat hidup.29
Namun
penggunaan dari ketiga kata tersebut berbeda. makna kata profil dipersempit
sehingga lazim ditemui dalam konten media. Disamping itu, untuk biografi
biasanya memiliki struktur yang lebih lengkap, dan panjang yang menceritakan
secara keseluruhan. Sedangkan profil hanya sebagian kecil saja dari kehidupan
tokoh.
Setiap terbitan cetak yang diluncurkan mingguan atau bahkan bulanan,
banyak yang dilengkapi dengan rubrik profil. Nama rubrik pun beragam, namun
pada intinya yang dibahas adalah tokoh yang sesuai dengan visi dari terbitan
27
StudyMode.com. Media Role Models and the Effect on Children. Diarsipkan di
http://www.studymode.com/essays/Media-Role-Models-And-The-Effect-87393.html. Diakses
pada 19 Agustus 2014. 28
Ibid. 29
Tesaurus Indonesia. 2008. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. hal. 387.
24
tersebut. Majalah karir misalnya, tentu akan mengulas mereka yang sukses atau
berprestasi di bidang pekerjaan tertentu.
Rubrik Profil merupakan rubrik yang membahas mengenai biografi singkat
dari tokoh yang diulas. Model pengemasannya pun beragam, dalam format narasi
atau paragraf yang terdiri dari tanya-jawab reporter dengan tokoh. Sedikit berbeda
dengan biografi, profil disajikan dengan lebih singkat dan cenderung hanya
membahas pokok kejadian tertentu, bukan secara keseluruhan dari kehidupan
tokoh. Tujuan dari rubrik ini biasanya adalah untuk memotivasi pembaca agar
mampu meraih kesuksesan seperti tokoh yang sedang dibicarakan.
Eksistensi rubrik profil ini juga bisa ditemukan di majalah anak. Setiap
terbitan dari produk cetak untuk anak-anak ini selalu dilengkapi dengan rubrik
profil. Tentu saja, dengan tujuan yang sama yaitu menginformasikan pada
pembaca mengenai prestasi dan kesuksesan yang telah diraih oleh tokoh.
Pemilihan tokoh pun disesuaikan dengan pembaca anak. dengan format penyajian
yang ringan dan disisipi kalimat motivasi. Pada majalah anak, rubrik profil ini
tidak sekedar menjadi sarana informasi semata. Namun tokoh juga menjadi
panutan dan cerminan bagi pembaca.
Membaca profil atau biografi membantu anak memelajari hal-hal yang
berharga dari pengalaman orang lain30
. Bagaimana tokoh mencapai kesuksesan,
atau bahkan berusaha menghadapi kesulitan. Anak akan mencontoh dan
menjadikan tokoh yang dinilai sukses tersebut sebagai role model dalam meraih
kesuksesan yang sama.
Bagian pemilihan role model bagi anak, di era serba media ini menjadi
suatu tantangan bagaimana media menyediakan konten yang positif, sehingga jika
anak-anak menjadikan tokoh dalam media sebagai role model, tidak akan
menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif ini bisa muncul apabila anak-anak
mengambil role model yang salah, dikarenakan ketidakmampuannya dalam
melakukan seleksi antara yang baik dan yang buruk.
30
Sam Blumenfed. 2006. The Benefit of Reading Biographies. Diarsipkan di http://www.home-
school.com/articles/the-benefits-of-reading-biographies.php. Diakses pada 10 Mei 2014.
25
Rubrik profil sebagai salah satu konten media yang membawa misi untuk
memberikan informasi pada anak siapa saja yang pantas dijadikan contoh, harus
sangat berhati-hati. Pada tahun 1999, Eminem yang awalnya di blow up oleh
media sebagai salah satu role model, mulai mendapat kecaman (Gauntlett: 2008).
Kecaman ini datang dari jurnalis, politisi, dan orang tua di United Kingdom
dikarenakan perilaku menyimpang dari rapper yang terlibat dengan kasus obat-
obatan terlarang tersebut. Eminem yang semula dianggap sebagai role model,
karena dikatakan berani melawan kultur yang mainstream, mulai dianggap
sebagai pembawa pengaruh buruk bagi anak-anak. Pada Juli 2001, House of
Congress Telecomunications Subcommittee di Amerika Serikat menetapkan
bahwa lirik dari lagu-lagu Eminem memiliki makna yang buruk dan tidak pantas
dinikmati oleh anak-anak dan remaja. Kasus tersebut menjelaskan bahwa role
model memiliki peran yang sangat penting, sehingga segala hal yang
dilakukannya sebisa mungkin tidak akan menimbulkan efek negatif, bahkan dari
lirik lagu yang dibawakan.
Mengidolakan public figure yang banyak di ekspos media membuat anak
menganggap bahwa perilaku dari role model yang negatif tersebut adalah suatu
yang wajar, boleh dilakukan, dan tidak yang dilarang oleh siapa pun. Disinilah
media selaku pembentuk dari para public figure, memiliki peran penting tentang
bagaimana anak memilih panutan dalam kehidupannya.
Pelarangan kepada media menampilkan public figure yang negatif ini erat
kaitannya dengan daya imitasi anak terhadap sosok yang diidolakan. Media
membentuk pola pikir dan tindakan yang membangun identitas serta karakter
anak. dikarenakan anak cenderung menganggap semua yang ditampilkan media
adalah benar, menampilkan sosok yang memiliki identitas negatif akan
membangun identitas negatif pula pada anak.
Konstruksi identitas pada anak yang dipengaruhi oleh media, diperkuat
dengan adanya konsep role model. David Gauntlett (2008) dari hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa media memberikan pandangan pada masyarakat mengenai
gender, hubungan, dan ways of living. Ketika seorang individu tumbuh dan
berkembang, mereka yang semula hanya melihat dari pandangan tradisional
26
disekitarnya, mulai mencari panutan baru. Gagasan ini dicetuskan pertama kali
oleh Antony Giddens yang dikenal sebagai teori strukturasi.
Teori strukturasi mencoba mencari pertautan setelah terjadi pertentangan
tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens
percaya bahwa identitas individu terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang
dipengaruhi oleh lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Pada masayarakat
modern, lingkungan berkembang bukan sekedar tempat dimana ia hidup, media
pun merupakan bagian dari lingkungan. Ketika seseorang tumbuh, ia akan
mengalami perubahan dalam perilaku dan pemikirannya untuk membentuk self
identity.
Istilah identity atau identitas banyak digunakan oleh masyarakat dalam
keseharian. Huntemann dan Morgan (dalam Calvert, 2001: 67) menyebutkan
identitas adalah sesuatu yang melekat pada individu. Identitas ini lahir dari
interaksi sosial dengan orang tua, teman, pemerintah, media, lingkungan dan lain
sebagainya. Semuanya memengaruhi konstruksi identitas pada seseorang.
Pada media, konstruksi identitas ini memang tidak secara langsung
memengaruhi individu. Namun, dari konsumsi yang terus menerus lama kelamaan
media memberikan efek yang signifikan terhadap identitas dari seseorang. Pada
beberapa tahun awal pertumbuhan, anak-anak akan mengenal orang tua mereka
sebagai role model atau panutan. Selanjutnya, perkembangan identitas membuat
mereka mulai melihat orang lain diluar keluarga. Perkembangan identitas ini tidak
berlangsung secara konstan. Pengalaman dan informasi yang diterima individu
menjadi faktor pembentukan identitas.
Disinilah letak urgensi penyajian rubrik profil pada media-media anak.
Media sebagai penyedia informasi menyajikan sosok melalui konten medianya.
Role model adalah salah satu komponen dalam pembentukan identitas. Dimana
seseorang memiliki sosok panutan yang menjadi contoh bagi dirinya dalam
bertingkah laku. Setting media dalam menjadikan seseorang sebagai public figure
dan role model, mengambil peran penting dalam pembentukan identitas dan
karakter dari anak. Idealnya, media hanya menampilkan tokoh yang benar-benar
sesuai, tidak hanya mengikuti tren tanpa mengindahkan efek kedepannya, seperti
27
pada kasus Eminem. Karena, media mengkonstruksi identitas audiensnya menjadi
sesuai dengan apa yang disajikan melalui konten-konten yang diberikan.
Penyajian role model dalam media cetak ini memang memiliki sifat yang
cenderung persuasif, dimana audiens diberi terpaan informasi ‘kehebatan’ tokoh
yang diulas. Meskipun sifatnya hanya sebatas informasi, namun dapat
memberikan impact yang cukup besar terhadap pola pikir dan perilaku individu.
F. Kerangka Konsep
1. Majalah Anak
Definisi majalah menurut Djafar Assegaf (1983: 127) adalah sebuah
publikasi atau terbitan secara berkala yang memuat artikel-artikel dari berbagai
penulis. Terbitan yang kemudian dikenal sebagai majalah ini diklasifikasikan
menurut jenis dan sasaran audiensnya yang beragam. Salah satunya adalah
majalah anak.
Majalah anak merupakan bentuk majalah khusus untuk dunia anak-anak
(Assegaf, 1983: 127). Jenis majalah ini memang spesifik hanya ditujukan untuk
anak-anak yang berada di usia pra akil-balikh (Junaedhie, 1995: 120) atau
dibawah usia 13 tahun sebelum menginjak masa pubertas.
Majalah anak pun masih digolongkan dalam berbagai usia, menurut
konten yang disampaikan. Disamping itu, saat ini bermunculan majalah anak yang
ditujukan untuk gender tertentu. Seperti Majalah Anak Cars untuk anak laki-laki,
dan Princess untuk anak perempuan. Selain itu, majalah anak yang memang
ditujukan untuk semua gender pun ada. Dimana konten yang disajikan tidak
terbatas hanya bisa dinikmati oleh gender tertentu karena sifatnya yang general.
Secara umum, informasi dalam majalah anak memiliki dua sifat, yaitu
edukatif dan menghibur. Informasi edukasi disampaikan melalui wawasan dan
pengetahuan, sampai dengan latihan soal dan prakarya. Sedangkan informasi
hiburan disampaikan dalam berbagai ragam yang bertujuan untuk memberikan
nilai rekreasi bagi anak-anak melalui bahan bacaan.
28
Kendati demikian, majalah anak hendaknya tetap memenuhi kriteria
sebagai media untuk anak. Menyimpulkan dari istilah anak sebagai ‘audiens
spesial’ milik James Potter (2013: 55), setidaknya media anak termasuk majalah,
mampu memenuhi aspek kebutuhan anak.
Berdasarkan kriteria yang disebutkan Potter mengenai alasan kondisi anak
yang menjadikan mereka sebagai audiens spesial, majalah anak seharusnya
memiliki beberapa kriteria penting dalam menyajikan informasi. Pertama, bersifat
edukatif. Media anak harus mampu menjadi sarana pembelajaran yang sesuai
dengan kurikulum dan didaktik metode. Dengan memerhatikan prinsip pedagogis
dalam memberikan pendidikan yang tepat untuk anak. Pendidikan ini tidak harus
dikemas dalam bentuk pelajaran. Informasi wawasan umum, pelatihan skill, dan
lain sebagainya bisa dikatakan sebagai edukasi.
Kedua, dari segi teknis. Sarana pendidikan dan pembelajaran yang
disampaikan harus memiliki dampak positif dan sesuai dengan kebutuhan anak.
Hal ini dikarenakan anak cenderung menerima semua isi media dan
menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Dengan demikian, tugas media lah yang
menyaring konten agar memang layak dikonsumsi oleh anak. Totalitas,
menyajikan media anak berarti juga harus menerima konsekuensi tanggung jawab
sebagai penyedia informasi yang sesuai.
Ketiga yaitu estetika. Sarana pembelajaran harus memiliki syarat estetis.
Estetis disini berarti konten yang disampaikan dengan memerhatikan moral dan
kondisi sosial dari berlaku di lingkungan sekitar. Pesan yang disampaikan harus
tertata dengan baik, sehingga tidak menimbulkan multitafsir yang bisa berdampak
negatif bagi pertumbuhan anak.
2. Role Model
Merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh David Gauntlett
(2002:159), istilah role model diartikan sebagai ‘someone to look up to’ atau
seseorang yang dijadikan panutan . Tak hanya terjadi pada usia tertentu, role
modelling dilakukan oleh berbagai jenis usia. Panutan disini merupakan
29
bagaimana sesorang menjadikan seseorang sebagai contoh dan kecenderungan
untuk mengikuti jejak dari orang tersebut.
Menurut Gibson (2006: 701), role model membantu seseorang dalam
membentuk identitas dengan cara menjadikan orang lain sebagai panutan bagi
dirinya dalam berperilaku dan menghadapi sesuatu. Dengan kata lain, role model
menjadi salah satu faktor individu dalam memperoleh identitasnya. Identitas
merupakan ciri yang melekat pada individu yang dapat selalu berubah dan
dimodifikasi secara mandiri dari waktu ke waktu (Gauntlett, 2002:176). Sama
halnya dengan role model. Pada tahap awal pertumbuhan seorang individu akan
menjadikan orang tua atau orang lain dalam anggota keluar sebagai panutan.
Selanjutnya, ia akan semakin mengenal lingkungan sehingga sosok role model
berkembang tidak hanya dari lingkup keluarga saja.
Bagaimana penggunaan media bisa membentuk identitas seseorang pada
masyarakat modern seperti saat ini, dijelaskan oleh David Gauntlett dalam
bukunya Media Gender and Identity (2002). Ia menggambarkan bagaimana media
merepresentasikan sesorang dalam media sebagai sosok ideal, sehingga
pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai identitas akan berkaca pada sosok
tersebut. Fenomena menjadikan contoh sebagai sosok ideal yang pantas dicontoh
adalah salah satu bentuk media dalam mengkonstruksi identitas melalui sajian
role model.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Gauntlett, ia mengklasifikasikan
role model ke dalam enam bagian. Berikut adalah tipe karakteristik yang
dirumuskan oleh Gauntlett (2002: 161-162):
1. The ‘straightforrward success; role model. Yaitu role model yang memiliki
kesuksesan di bidang yang ditekuninya, seperti misalnya aktor populer.
Contohnya Brad Pitt, Tony Blair, Mary Robinson.
2. The ‘triumph over difficult circumtances’ role model. Adalah mereka yang
meraih suatu prestasi setelah menghadapi berbagai kesulitan. Contohnya
Tiger Woods yang menjadi pemenang termuda setelah menghadapi
rasisme di dunia golf.
30
3. The ‘challenging stereotypes’ role model. Misalnya seorang difabel yang
sukses di suatu pekerjaan dimana orang-orang bahkan tidak menyangka
posisi tersebut bisa diisi oleh orang yang tidak normal secara fisik. Tipe ini
memiliki hubungan dengan tipe yang kedua karena bagian melawan
stereotipe tergolong halangan atau kesulitan.
4. The ‘wholesome’ role model. Tipe ini adalah tipe role model yang membuat
orang tua merasa aman untuk menunjukkan pada anak-anak. Yaitu sosok
yang memiliki citra baik dalam setiap aspek sehingga layak dijadikan role
model.
5. The ‘outsider’ role model. Adalah mereka ditolak oleh kultur mainstream
dan menolak untuk takluk kepada ekspektasi sosial yang konvensional.
Seperti Eminem, yang melawan kultur mainstream citra rapper berkulit
hitam.
6. The family role model. Yaitu role model yang berasal dari keluarga sendiri,
atau selebritas atau tokoh yang memiliki figur orang tua. Seperti misalnya
David Beckham dan Victoria Adams.
Penyajian informasi media yang menyajikan sosok berdasarkan kriteria
diatas, akan memengaruhi audiens, khususnya anak-anak yang masih belum
memasuki tahap kedewasaan. Media menyajikan informasi mengenai tokoh
tertentu yang merepresentasikan sosok ideal untuk dijadikan panutan dalam
memperoleh identitas. Dimana anak-anak cenderung mempercayai semua yang
dikatakan oleh media adalah benar karena ketidakmampuannya dalam memilah.
Penyampaian role model melalui media ini memiliki sifat persuasif, yang
pada awalnya menumbuhkan kekaguman audiens kepada tokoh yang diulas.
Selanjutnya, kekaguman ini berlanjut kepada keinginan untuk mencontoh tokoh
dari berbagai segi, baik sikap maupun prestasinya. Disinilah praktek role
modelling pada anak melalui media bermula.
31
3. Selebritas Dewasa
Menurut KBBI, selebritas diartikan sebagai pesohor atau orang yang
terkenal31
. Makna sebenarnya dari kata ini menggolongkan semua orang yang
terkenal sebagai selebritas, tanpa terbatas profesi yang ditekuni. Dengan logika
demikian, maka politikus terkenal pun akan tergolong sebagai selebritas.
Dalam perkembangannya, kata ini mengalami penyempitan makna di
masyarakat. Publik memahami selebritas sebagai aktris, aktor, penyanyi, atau
siapapun yang sering tampil di depan layar kaca atau di berbagai media lain.
Sebagai contoh, maraknya orang yang mengatasnamakan diri sebagai ahli agama
dan muncul di layar televisi kemudian disebut sebagai Ustadz, juga digolongkan
sebagai selebritas.
Makna kata selebritas memang sangat luas, maka perlu diperjelas dengan
keterangan tertentu untuk menunjuk pada suatu profesi. Misalnya selebritas
olahraga, maka merujuk pada atlet pesohor yang biasanya dikenal karena meraih
banyak penghargaan. Demikian pula pada dunia hiburan. Sekalipun selama ini
banyak yang memahami selebritas sebagai mereka yang berkecimpung di dunia
hiburan, namun imbuhan keterangan berfungsi untuk memperjelas istilah yang
dimaksud. Yaitu mereka yang berkecimpung aktivitas yang sifatnya menghibur
dan sangat beragam, baik dari segi jenis hiburannya maupun jenis media yang
dijadikan sarana sehingga dikenal oleh masyarakat.
Istilah selebritas ini tidak terbatas pada usia tertentu. Semakin
berkembangnya waktu, bukan hanya orang dewasa saja yang memiliki potensi
untuk menjadi dikenal secara luas, namun juga anak-anak. Merujuk pada Undang-
Undang Perlindungan Anak no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1
ayat (1), anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Artinya, usia dewasa adalah mereka
yang berusia diatas 18 tahun.
31
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
hal. 1366.
32
Dewasa atau adult berasal dari Bahasa Latin adolescere, yang juga
merupakan asal kata dari adolescence atau remaja.32
Masa dewasa ini ditandai
dengan kematangan dari cara berpikir dan kepribadian. Pada penelitian ini istilah
dewasa difokuskan pada mereka yang sudah tidak lagi berada di usia kanak-
kanak. Merujuk pada aturan hukum mengenai pengadilan anak, dimana anak bisa
dimintai pertanggungjawaban hukum sejak usia 12-18 tahun. Dengan alasan, usia
12 tahun dinilai secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan
intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia.33
Artinya, selepas dari usia anak, kematangan dari segi psikis mulai terbentuk,
meskipun masih dalam masa transisi yang disebut remaja. Namun dalam
penelitian ini pemaknaan ‘selebritas dewasa’ dipersempit menjadi mereka yang
meramaikan dunia hiburan dewasa namun yang sudah tidak lagi tergolong usia
anak-anak yakni 0-12 tahun. Selain itu, selama beberapa tahun terakhir, media
banyak menampilkan selebritas remaja yang memiliki peran sama dengan
selebritas yang sudah berada di usia dewasa.
Platform media yang melambungkan nama mereka pun beragam. Dengan
tingginya tingkat penggunaan internet seperti pada era saat ini, media sosial kini
bisa menjadi sarana dalam mengorbitkan nama seseorang. Dunia hiburan tidak
lagi terbatas pada mereka yang bermula dari layar kaca, namun juga dari media
lain yang kemudian di blow up oleh seluruh platform media.
4. Wacana
Teori wacana Michel Foucault menyatakan bahwa wacana adalah suatu
bentuk praktek sosial yang merupakan ‘sesuatu yang memproduksi yang lain’
(Eriyanto, 2012: 65). Wacana dibentuk oleh ideologi yang terkandung dalam
suatu tindakan komunikasi, seperti dalam tutur kata, teks, pidato, lagu dan lain
sebagainya. Wacana ini dapat dideteksi karena secara sistematis merupakan
32
John Santrock, dalam Psikologi Zone. 2009. Fase-fase Perkembangan Manusia. Dirilis 22
Desember 2009. Diarsipkan di http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-
manusia/06511465. Diakses pada 20 September 2014. 33
Hukum Online. 2011. Batas Usia Anak Dipidana Naik. Dirilis pada 25 Februari 2011.
Diarsipkan di http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d669dccee142/batas-usia-anak-dapat-
dipidana-naik. Diakses pada 20 September 2014.
33
gagasan, konsep, pandangan yang dibentuk pada suatu konteks tertentu sehingga
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.
Menggambarkan wacana sebagai suatu bentuk praktek sosial
menyebabkan adanya keterkaitan dengan kekuasaan, situasi, dan kondisi
lingkungan tertentu yang mendasari wacana tersebut lahir. Michael Kalberg34
mengatakan wacana tidak lepas dari apa yang disebut sebagai power, atau
kekuatan. Kekuatan ini dimaknai sebagai pengendali bagaimana wacana tersebut
ditampilkan.
Wacana tidak tersirat secara ekplisit dalam pesan yang disampaikan
melalui lisan maupun tulisan. Namun ia bisa dipelajari melalui pemahaman
terhadap bahasa yang disampaikan. Wacana memiliki kekuatan untuk
menganggap berbagai fenomena terdengar seperti suatu hal yang lumrah. Praktek
wacana ini tanpa disadari telah membentuk pola pikir masyarakat agar sesuai
dengan kehendak kekuatan tertentu.
Kekuatan bahasa dalam praktik wacana ini dijelaskan Norman Fairclough
dalam bukunya Language and Power (1996). Ia melihat bagaimana penempatan
dan fungsi bahasa berperan dalam kekuatan dominan dan ideologi. Bahasa mampu
menjadi gambaran proses perubahan sosial masyarakat pada masa kini. Ia
berpendapat bahwa wacana merupakan suatu bentuk praktik sosial yang ada si
masyarakat.
Dalam kaitannya dengan media, media adalah medium penyampai
informasi yang erat hubungannya dengan praktik kebahasaan. Dimana
didalamnya, tersimpan wacana yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu.
G. Metodologi Penelitian
34
Dalam The Power Of Discourse And The Discourse Of Power: Pursuing Peace Through
Discourse Intervention. Volume 10, No.1, Spring/Summer 2005. International Journal Of Peace
Studies. hal. 1.
34
1. Objek Penelitian
Objek pada penelitian ini adalah salah satu majalah anak yang dikenal oleh
masyarakat Indonesia sejak puluhan tahun lalu bernama Bobo. Majalah Bobo
merupakan majalah anak yang awalnya hanyalah pengisi rubrik anak-anak di
Harian Kompas. Rubrik itu pertama kali terbit pada 14 April 1973. Oleh pendiri
Kompas, PK Ojong bersama Jakob Utama, rubrik tersebut mulai dikembangkan
menjadi majalah anak-anak. Para pengasuh halaman anak-anak Kompas, bekerja
sama dengan Majalah Bobo Belanda kemudian membuat Majalah Bobo
Indonesia. Majalah ini bernaung dibawah perusahaan Kompas Gramedia dan
menjadi satu dari sekian banyak produksi majalah yang dilakukan oleh
perusahaan ini.
Alasan dipilihnya Majalah Bobo sebagai objek penelitian dikarenakan
majalah ini terbilang cukup tua, dan sangat dikenal oleh masyarakat. Terbukti
dengan diraihnya penghargaan Brand Award sebanyak lima kali35
sejak tahun
2008 dalam kategori majalah anak oleh Majalah Bobo. Majalah ini juga memiliki
tiras dengan capaian tertinggi 385.000 eksemplar. Setiap kali terbit, 90 persennya
habis terjual.36
Artinya, popularitas majalah anak ini masih tinggi, sehingga layak
untuk dijadikan sebagai objek penelitian karena banyak dikonsumsi oleh
masyarakat.
Roy Watimena37
, penanggung jawab distribusi Majalah Bobo sejak awal
terbit, mengatakan bahwa sejak awal Bobo sudah mendulang sukses. Permintaan
dari agen terus meningkat. Agaknya, hingga saat ini kesuksesan masih tetap
bertahan. Bobo juga menyandang predikat sebagai Majalah Anak pertama yang
berwarna serta perintis bonus sisipan berupa mainan dan stiker. Inilah yang
menjadikan Bobo menarik dan layak untuk diteliti, mengingat posisinya sebagai
majalah anak legendaris yang masih bertahan hingga saat ini.
Konten di majalah Bobo terdiri dari fiksi dan non fiksi. Rubrik fiksi
disajikan dalam bentuk dongeng, cerita pendek, dan cerita bergambar. Sedangkan
35
Informasi diakses melalui situs www.topbrand-award.com, pada tanggal 24 Maret 2014. 36
Subandy, Op. Cit., hal. 3. 37
Junaedhie, Op. Cit., hal. 124.
35
rubrik-rubrik non fiksi cenderung informatif dan edukatif. Dengan konten yang
berisi pengetahuan umum, teknologi, sosial, sains, dan lain sebagainya.
Rubrik yang menjadi fokus penelitian adalah rubrik Profil. Rubrik yang
disajikan dalam dua atau satu halaman dan dilengkapi gambar ini menampilkan
biografi serta kisah hidup seseorang yang memiliki prestasi tertentu. Bobo
menampilkan profil anak-anak dengan prestasi tertentu, atau selebritas anak yang
menjadi presenter acara anak, atau penyanyi lagu anak. Profil tokoh dewasa juga
ditampilkan, seperti pencipta lagu, ilmuwan, atau orang dengan profesi tertentu
yang menarik untuk diulas.
Sejak dunia hiburan anak gaungnya semakin jarang terdengar pada tahun
2000-an, frekuensi Bobo dalam menampilkan profil artis cilik yang diadakan
sejak tahun 1996, mulai berkurang drastis. Tahun 2000 adalah tahun dimana artis
cilik semakin jarang terlihat di media, terutama penyanyi cilik. Terakhir adalah
Tasya yang merilis album anak terakhir pada tahun 2005. Setelah itu, dunia musik
anak terdapat vakum yang cukup lama terjadi sampai dengan tahun 2009. Antara
tahun 2005-2009 sempat muncul beberapa penyanyi cilik, namun mereka
menghilang begitu saja tanpa sempat muncul di media, sehingga eksistensinya
tidak dikenal masyarakat. Kondisi ini tentu sangat jauh berbeda dibandingkan
pada dekade sebelumnya, dimana media ramai mengangkat selebritas cilik,
terutama dari dunia musik.
Bobo pun, semakin lama semakin sering menampilkan profil selebritas
yang meramaikan dunia hiburan dewasa, seperti Irwansyah, Gita Gutawa dan lain
sebagainya yang mulai booming di tahun 2007. Memasuki tahun 2010, Bobo
mulai menampilkan artis mancanegara dari Korea Selatan yang sedang banyak
dibicarakan di berbagai media. Kemudian di tahun 2011, mulai ditampilkan
pendatang baru di dunia mulai bermunculan mengikuti hallyu wave yang juga
merambah ke Indonesia. Beberapa nama mulai sering terdengar di berbagai
media, seperti Smash, Cherry Belle, Seven Icon, Coboy Junior, grup penyanyi
Korea Selatan, dan masih banyak lagi. Nama-nama penyanyi yang tergabung
dalam grup tersebut merupakan penyanyi yang membawakan lagu-lagu berlirik
dewasa. Sekalipun Coboy Junior yang pada awal kemunculannya salah satu
36
anggotanya masih dalam usia anak, 11 tahun. Namun lagu-lagu yang dibawakan
mengandung lirik dewasa, menceritakan tentang dunia percintaan. Hal ini
menimbulkan tanda tanya besar bagaimana Bobo berusaha mengemas informasi
dalam rubrik Profilnya tentang selebritas dewasa, yang sebenarnya tidak sesuai
dengan usia anak.
Penelitian akan difokuskan pada bagaimana role model disampaikan di
rubrik Profil pada edisi tahun 2005 dan 2013. Edisi yang diambil adalah edisi
yang memuat selebritas dewasa di dunia hiburan dalam rubrik Profil.
2. Teknik Analisis Data Model Fairclough
Analisis wacana kritis memiliki beberapa pendekatan yang digagas oleh
para ahli. Salah satu pendekatan yang bertujuan mengkaji maksud-maksud yang
ada dalam bahasa digagas oleh Teun Van Dijk. Analisis wacana dengan
menggunakan pendekatan tersebut dikenal sebagai kognisi sosial. Pendekatan ini
menilai bahwa wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata,
karena teks hanya hasil dari praktik produksi suatu pesan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok tertentu.
Pendekatan yang dilakukan oleh Van Dijk tersebut kemudian
dikembangkan oleh Norman Fairclough. Fairclough mengkombinasikan tradisi
analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Bahasa dianggap
sebagai perwujudan dari teks dilihat sebagai proses dialektika dengan struktur
sosial masyarakat. Analisis akan dipusatkan pada bagaimana bahasa terbentuk dan
dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu yang memengaruhinya.
Perbedaan yang paling mendasar antara analisis wacana model Van Dijk
dengan Fairclough terletak pada penekanan pada analisisnya. Van Dijk lebih
menekankan pada kognisi sosial individu yang memproduksi pesan tersebut.
Sedangkan Fairclough menekankan pada proses produksi teks, pola kerja dan
rutinitas yang biasa dilakukan oleh individu yang menghasilkan pesan tersebut.
Namun pada dasarnya, keduanya menekankan analisis wacana berdasarkan
konteks sosial.
37
Pendekatan yang dilakukan oleh Van Dijk tersebut diteruskan serta
dikembangkan oleh Fairclough. Fairclough melihat praktik wacana bisa jadi
menampilkan efek ideologis. Wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan
yang tidak imbang. Disinilah ideologi dari kekuasaan tersebut dicerminkan dalam
produksi suatu wacana yang biasanya dilakukan oleh media. Fairclough
berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan
kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing,
disebabkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Penerapan dari pendekatan Fairclough ini dilakukan dalam tiga tahapan
dalam menganilis rubrik Profil Majalah Bobo. Pertama, setiap teks memiliki tiga
fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Berkaitan dengan bagaimana
Majalah Bobo menyajikan kembali fakta yang ada di lapangan melalui pesan
dalam rubrik Profil. Kedua, cara redaksi Majalah Bobo memproduksi suatu teks.
Bagaimana sikap kerjanya, karakter individunya, serta pengaruh pola kerja yang
diterapkan oleh Kompas Gramedia bagian Divisi Majalah. Hal-hal tersebut
berpengaruh pada bagaimana suatu teks dapat dihasilkan. Ketiga, menganalisis
tiga hal yaitu ekonomi, politik dan budaya. Dalam hal ini, analisis berfokus pada
kekuasaan, ideologi, nilai dan identitas yang memengaruhi produksi pesan di
rubrik Profil Majalah bobo.
Penerapan analisis wacana kritis model Fairclough pada rubrik Profil di
Majalah Bobo ini akan dilakukan dengan meneliti melalui tiga aspek:
a. Teks
Mengkaji dari sisi teks, dengan memahami konten secara keseluruhan.
Dari perkembangan, hingga tone rubrik Profil di Majalah Bobo.
b. Ruang Redaksi
Mengkaji perspektif media, yaitu pihak Majalah Bobo, sebagai pelaku
dalam proses produksi pesan. Alasan mengapa rubrik Profil disajikan
dalam bentuk seperti saat ini.
c. Sosial, Politik, dan Budaya
Bagaimana sosial, politik, budaya yang ada memberikan pengaruh
terhadap proses produksi pesan pada rubrik Profil di Majalah Bobo.
38
Teks dalam rubrik Profil disajikan dalam dua jenis. Pertama, terdiri dari
paragraf tanya-jawab. Kedua, berupa ulasan berbentu paragraf yang
dikelompokkan dengan dengan sub-bab tertentu. Kedua jenis tersebut merupakan
penulisan ulang dari data yang didapatkan selama reportase. Reportase ini dapat
berupa penelusuran melalui berbagai situs, seperti pada profil selebritas
mancangera, atau melalui wawancara dengan narasumber terkait secara langsung.
Untuk memahami suatu teks atau wacana kita tak dapat melepaskan dari
konteksnya. Menemukan realitas di balik teks perlu dilakukan penelusuran atas
konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang
mempengaruhi pembuatan teks.
Dalam penelitian ini langkah yang perlu diambil adalah dengan meneliti
dari segi teks, intertekstualitas, discourse practice, dan sociocultural practice.
Penelitian dilakukan dengan analisis terhadap teks, penelusuran, indepth interview
kepada pihak Majalah Bobo, audiens dan pemerhati media, serta studi pustaka.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan
beberapa metode. Pertama, analisis dokumen. Dokumen yang akan diteliti adalah
edisi yang diterbitkan pada tahun 2005 dan 2013. Alasan diambilnya sampel dari
terbitan pada tahun 2005 adalah dikarenakan pada tahun tersebut musik anak,
yang sebelumnya mengambil porsi cukup besar di dunia hiburan anak, terakhir
ada sebelum mengalami vakum selama kurang lebih 4 tahun. Kendati beberapa
penyanyi anak muncul dan merilis album, namun tidak ada media yang
mengeksposnya. Pada tahun tersebut adalah Tasya yang terakhir merilis album
anak, yang kemudian tidak ada lagi penerusnya sampai dengan tahun 2009.
Padahal musik anak ini memiliki andil yang besar dalam menyemarakkan hiburan
anak. Yang tentu memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap media anak
khususnya Bobo. Nama-nama seperti Gitarani, Kevin Susanto, dan Melson Vityn
memang sempat merilis album dalam rentang tahun 2005-2009, namun tidak
banyak media yang mengeksposnya. Sehingga, masyarakat pun menjadi tidak
mengenal mereka. Disamping itu, Majalah Bobo juga memiliki kecenderungan
hanya menampilkan sosok selebritas yang sudah banyak dikenal, sehingga mereka
39
tidak banyak mengekspos nama-nama tidak terkenal untuk dimasukkan dalam
kontennya.
Sedangkan edisi tahun 2013 dipilih untuk mengamati perkembangan serta
perubahan pada Rubrik Profil di Majalah Bobo selama satu tahun terakhir. Tahun
2013 dinilai tepat karena merupakan perkembangan terakhir sebelum penelitian
ini dilaksanakan tahun 2014. Dalam kedua tahun tersebut, akan diambil edisi yang
memuat profil selebritas dewasa di dunia hiburan. Hal ini dikarenakan penelitian
ini berangkat dari kepedulian terhadap figur dalam dunia hiburan anak yang mulai
terkikis sejak memasuki era 2000, dan ditandai dengan tahun 2005 yang menjadi
akhir dari gaung musik anak sebelum mengalami vakum selama beberapa tahun.
Yang mana kemunculan mereka kemudian digantikan oleh selebritas dewasa.
Maka penelitian akan difokuskan pada bagaimana Majalah Bobo membangun
wacana role model melalui sosok selebritas dewasa dari dunia hiburan Indonesia.
Selebritas dewasa yang diambil adalah yang berada diatas usia 12 tahun,
dimana mereka mulai memasuki usia puberitas ataupun remaja. Usia tersebut
biasanya memasuki fase dimana kehidupan layaknya orang dewasa mulai terjadi,
yang mana hal tersebut akan diindetikkan dengan skandal selebritas.
Disamping itu dilakukan pula analisis data dari sumber-sumber yang
relevan terhadap penelitian. Menurut Deddy Mulyana (2010), dokumen dapat
mengungkapkan bagaimana objek penelitian mendefinisikan dan mendeskripsikan
kondisinya sendiri.
Kedua, dengan wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara
dilakukan kepada narasumber yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan,
yaitu pihak media, pemerhati media, dan audiens. Ketiga, adalah penelusuran dan
studi pustaka. Akan dipelajari mengenai media, sejarah institusi yang melingkupi
media, serta faktor-faktor lain yang mendukung dihasilkannya teks dalam rubrik
profil.
Berikut adalah rincian pengambilan data melalui analisis dokumen,
indepth interview, penelusuran dan studi pustaka yang akan dilakukan:
Analisis dokumen : Rubrik Profil Majalah Bobo 2005 dan
2013 tentang selebritas dewasa
40
Indepth Interview : Kepala Penerbitan Media Anak Kompas
Gramedia (Deputy General Manager (GM)
of Children Media)
Kepala Redaksi Majalah Bobo
Editor Majalah Bobo
Reporter Majalah Bobo
Penelusuran : Artikel relevan terkait tren selebritas
Indonesia.
Teknik analisis data yang digunakan untuk meneliti wacana dalam rubrik
Profil di Majalah Bobo berdasarkan model analisis Norman Faiclough yang telah
dijelaskan oleh Eriyanto akan dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama adalah
teks. Pada tahap ini, penelitian difokuskan kepada analisis teks rubrik Profil di
Majalah Bobo dengan meliputi berbagai unsur.
Unsur pertama adalah representasi. Representasi berkaitan dengan
ditampilkannya objek pada suatu konten disajikan dalam teks, dalam hal ini
bahasa yang dipakai. Unsur ini ingin melihat bagaimana konsep role model
digambarkan dan ditampilkan dalam teks rubrik Profil Majalah Bobo, seperti
digambarkan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 1.1
Penelitian Teks dengan Unsur Representasi
No. Cara Melihat Keterangan dan Implikasi
1. Dalam anak
kalimat.
1. Pemilihan kosakata (vocab)
Melihat dari diksi yang digunakan dalam menyajikan
teks ulasan hasil wawancara dengan pihak
narasumber yang diprofilkan.
2. Tata bahasa (grammar)
Melihat bagaimana gaya bahasa yang digunakan oleh
pihak redaksi dalam menyajikan rubrik Profil dan
mewacanakan role model.
Kombinasi anak Melihat dari kalimat yang merupakan gabungan dua
41
kalimat atau lebih fakta. Sehingga jika digabungkan
memunculkan pemahaman baru bahwa kedua fakta
tersebut saling berkaitan.
Rangkaian anak
kalimat
Melihat penggabungan dari kalimat-kalimat. Bagian
yang menjadi sorotan, misalnya prestasi narasumber,
prestasi yang dianggap penting dan patut dicontoh
akan lebih ditonjolkan dalam rangkaian teks.
Melihat masing-
masing dari
komponen yang
menjadi dasar
terbentuknya
teks.
Melihat cara membangun relasi dengan pihak diluar
ruang redaksi yang ditampilkan dalam teks, seperti
bagaimana narasumber dicitrakan, dan bagaimana
komunikasi kepada audiens dijalin melalui teks.
Melihat
dimanakah posisi
redaksi Majalah
Bobo
menempatkan
diri.
Mengidentifikasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam
teks, sehingga ditemukan identitas media, dalam hal
ini pihak Kompas Gramedia dan Majalah Bobo,
apakah membela kelompok tertentu atau menampilkan
identitas mandiri.
Tahapan kedua adalah Intertektualitas. Suatu teks dibentuk oleh teks yang
datang sebelumnya, saling menanggapi dan mengantisipasi yang lain. Seperti pada
novel, penulis tidak hanya merepresentasikan idenya saja. Namun juga konteks
lain yang memengaruhi terbentuknya suatu teks. Pada tahap ini penelitian
dilakukan dengan menggunakan metode analisis dokumen. Dengan menggali
bagaimana Majalah Bobo melalui redaksi atau reporter mengidentifikasi dirinya
dan bagaimana narasumber diidentifikasi oleh Majalah Bobo yang tertuang dalam
Rubrik Profil.
Tabel 1.2
Penelitian Teks dengan Unsur Intertektualitas
42
No. Cara Melihat Keterangan dan Implikasi
1. Pertanyaan yang
diajukan media
narasumber
Melihat secara keseluruhan teks yang disajikan
dalam rubrik Profil dan menganalisis apakah
pernyataan yang sifatnya asumtif berasal dari
narasumber atau dari pihak reporter. Dari sini bisa
ditarik kesimpulan bagaimana identifikasi media
terhadap narasumber. Identifikasi ini mewakili
wacana yang diwujudkan dalam teks.
Dalam setiap edisi yang diteliti, tahapan analisis data akan merujuk pada
tipe karakteristik role model sebagai indikator dalam menentukan wacana yang
disajikan dalam rubrik Profil.
Ketiga, adalah Discourse Practice, dengan meneliti produksi dan
konsumsi dari teks. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah indepth
interview. Unsur ini ingin melihat bagaimana teks diproduksi oleh redaksi
Majalah Bobo, dan bagaimana konsumsi audiens anak terhadap teks tersebut.
Tabel 1.3
Penelitian Discourse Practice
No. Cara Melihat Keterangan dan Implikasi
1. Individu redaksi
(reporter rubrik
Profil)
Wawancara kepada pihak reporter dan editor
Majalah Bobo mengenai latar belakang pendidikan,
orientasi ekonomi, orientasi politik, dan
ketrampilan.
Relasi antara
redaksi dan struktur
media (Majalah
Bobo & Penerbit
Kompas Group)
Wawancara kepada:
Deputy GM, Kepala Redaksi, dan staff redaksi
Majalah Bobo mengenai hal-hal diluar rutinitas
sehari-hari seperti proses pengambilan keputusan.
Praktek kerja atau
rutinitas kerja
Wawancara kepada:
Deputy GM, Kepala Redaksi, dan staff redaksi
seputar rutinitas yang dilakukan sehari-hari oleh
43
karyawan.
Tahapan terakhir adalah Sociocultural Practice, penelitian berkaitan
dengan hal-hal yang terjadi diluar rutinitas ruang redaksi yang relevan terhadap
produksi teks. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah indepth
interview dan penelusuran. Yang ingin dilihat adalah dari segi situasional,
institusional, dan sosial.
Tabel 1.4
Penelitian Sociocultural Practice
No. Yang Ingin Dilihat Keterangan dan Implikasi
1. Situasional Teks diproduksi dalam situasi tertentu: alasan apa
yang melandasi dipilihnya tokoh tertentu untuk
ditampilkan dalam rubrik Profil.
Indepth Interview: Kepala redaksi dan staff redaksi
Majalah Bobo.
Studi Pustaka: Meninjau tren media lain terhadap
peliputan selebritas yang bersangkutan.
Institusional Pengaruh institusi terhadap produksi teks baik
internal maupun eksternal. Faktor eksternal adalah:
Ekonomi: pengiklan, kepemilikan modal,
persaingan antar media.
Politik: regulasi yang mengatur diluar pihak
Majalah Bobo dan Kompas Gramedia.
Penelusuran: Perbandingan jumlah iklan pada
setiap dekade untuk melihat perkembangan dari
segi perekonomian yang terkait dengan iklan.
Indepth Interview: Deputy GM, Kepala Redaksi,
dan staff redaksi Majalah Bobo seputar regulasi.
Sosial Pengaruh sistem makro dalam masyarakat: sosial,
ekonomi dan budaya yang menjadi pertimbangan
sebelum teks dalam rubrik Profil diproduksi.
44
3. Analisis Data
Setelah seluruh data terkumpul akan dilakukan pengecekan ulang terhadap
data-data. Melalui proses tersebut, akan ditemukan data-data yang tidak relevan.
Makan, dilakukan reduksi terhadap data-data yang tidak mendukung dalam
penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi berdasarkan jenis data. Data-
data yang serupa akan dikelompokkan untuk menghindari terjadi kesalahan.
Klasifikasi ini dapat berupa kategori, pola, maupun tema yang sama. Selanjutnya
akan dilakukan tafsiran atau interpretasi, yaitu memberikan makna kepada
analisis, menjelaskan pola atau kategori, serta mencari hubungan antar konsep.
Interpretasi ini merupakan perspektif atau pandangan, bukan suatu kebenaran.
Dalam interpretasi data, pertama akan dilakukan pengamatan terhadap
pola-pola yang menonjol. Hubungan antar data akan diselidiki apakah ditemukan
persamaan atau justru pertentangan data yang bersumber dari berbagai informan.
Pada tahap ini dilakukan analisis data-data secara kritis, dan mengkaji ulang
sesuai dengan rumusan masalah.
Analisis data berdasarkan pendekatan Fairclough diklasifikasikan menjadi
empat tahap. Pertama, translation. Yaitu dengan pemaknaan wacana sesuai
dengan subtansi yang ada pada teks di rubrik tersebut. Pada tahap ini, akan
dianalisis data-data yang bersumber dari teks rubrik Profil. Kedua, interpretation.
Berfokus kepada konteks dan latar belakang dari diproduksi teks pada rubrik
Profil, sehingga dapat dirumuskan konsep rumusan masalah untuk membedah
bagaimana strategi pemaparan konsep role model oleh Majalah Bobo, yang telah
ditentukan sebelumnya.
Ketiga, ekstrapolasi. Artinya, harus ada teori subtantif yang menjadi
pedoman dalam penelitian. Teori berfungsi sebagai pondasi dalam menganalisis
wacana dalam teks. Terakhir, meaning. Wacana dalam rubrik Profil dibedah
dengan menggabungkan hasil pemikiran dari interpretasi teks serta teori subtantif
yang telah ada.
Setelah analisis data, tahap kedua adalah menyelidiki tata bahasa atau
istilah yang digunakan oleh narasumber. Dalam tahap ini diharapkan dapat
45
melahirkan konsep yang bersumber dari data berbagai informan. Pengkajian
terhadap makna yang tersirat maupun tersurat tersebut akan diteliti lebih
mendalam mengenai makna yang dikandungnya.
Terakhir, dilakukan penarikan kesimpulan. Kegiatan ini bertujuan untuk
mencari makna data yang dikumpulkan dengan mencari hubungan, persamaan,
atau perbedaan yang terdapat pada komponen-komponen yang diteliti.
Secara garis besar, analisis berlangsung dari penguasaan data yang telah
dikumpulkan. Kemudian berlanjut ke pembentukan konsep dan mencari hubungan
antara konsep-konsep. Terakhir, adalah melakukan hipotesis serta verifikasi
terhadap hasil dan data-data. Sehingga dari penelitian rubrik di Majalah Bobo ini,
akan ditemukan hasil yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu kajian media.