bab i pendahuluan a. latar belakang...

45
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi masyarakat yang hidup bersama media seperti saat ini, memungkinkan perkembangan arus informasi yang sangat pesat. Di satu sisi, hal ini memperkaya masyarakat dengan wawasan dan informasi. Namun di sisi lain, akses yang mudah terhadap media dapat menimbulkan efek negatif terhadap pesan-pesan yang tak layak untuk dikonsumsi. Termasuk pada audiens anak, media ini memberikan dampak yang negatif dan juga positif. Itulah sebabnya media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Segmentasi sasaran audiens merupakan salah satu komponen penting dalam membangun suatu media. Penggolongan sasaran audiens berdasarkan usia adalah bertujuan untuk membatasi konten dari segi bahasa dan topik. Media sebagai penyaji konten informasi idealnya mampu memberikan sajian yang sesuai dengan usia yang menjadi segmentasinya. Termasuk bagi media yang ditujukan untuk anak, karena sasaran mereka disebut sebagai audiens spesial. Menurut W. James Potter (2013: 55), anak-anak disebut sebagai audiens spesial bagi media. Ada dua alasan mengapa anak-anak disebut sebagai audiens spesial. Pertama, kondisi yang lack of maturation. Tolak ukur kedewasaan bisa dilihat dari kemampuan kognitif, emosional, dan moral anak-anak yang berbeda dari orang dewasa. Hal ini menjadikan anak-anak tidak cukup mampu menginterpretasi dengan baik pesan yang disampaikan oleh media. Selain itu, anak-anak juga belum mampu memahami apa yang terjadi dan apa yang disampaikan oleh media, ini dapat menimbulkan pemaknaan ganda. Misalnya pada anak yang menyaksikan tayangan di televisi tanpa bimbingan orang tua, ia akan memahami tayangan tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya, tanpa

Upload: lamnga

Post on 27-Apr-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kondisi masyarakat yang hidup bersama media seperti saat ini,

memungkinkan perkembangan arus informasi yang sangat pesat. Di satu sisi, hal

ini memperkaya masyarakat dengan wawasan dan informasi. Namun di sisi lain,

akses yang mudah terhadap media dapat menimbulkan efek negatif terhadap

pesan-pesan yang tak layak untuk dikonsumsi. Termasuk pada audiens anak,

media ini memberikan dampak yang negatif dan juga positif. Itulah sebabnya

media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

dan karakteristiknya.

Segmentasi sasaran audiens merupakan salah satu komponen penting

dalam membangun suatu media. Penggolongan sasaran audiens berdasarkan usia

adalah bertujuan untuk membatasi konten dari segi bahasa dan topik. Media

sebagai penyaji konten informasi idealnya mampu memberikan sajian yang sesuai

dengan usia yang menjadi segmentasinya. Termasuk bagi media yang ditujukan

untuk anak, karena sasaran mereka disebut sebagai audiens spesial.

Menurut W. James Potter (2013: 55), anak-anak disebut sebagai audiens

spesial bagi media. Ada dua alasan mengapa anak-anak disebut sebagai audiens

spesial. Pertama, kondisi yang lack of maturation. Tolak ukur kedewasaan bisa

dilihat dari kemampuan kognitif, emosional, dan moral anak-anak yang berbeda

dari orang dewasa. Hal ini menjadikan anak-anak tidak cukup mampu

menginterpretasi dengan baik pesan yang disampaikan oleh media. Selain itu,

anak-anak juga belum mampu memahami apa yang terjadi dan apa yang

disampaikan oleh media, ini dapat menimbulkan pemaknaan ganda. Misalnya

pada anak yang menyaksikan tayangan di televisi tanpa bimbingan orang tua, ia

akan memahami tayangan tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya, tanpa

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

2

ada yang mengajari baik-buruk dari suatu peristiwa atau pesan yang disampaikan

dalam tayangan tersebut.

Alasan kedua mengapa anak-anak disebut sebagai audiens spesial adalah,

kurangnya pengalaman mereka terhada dunia nyata. Hal ini menyebabkan mereka

tidak mampu memahami pesan yang tidak benar dari suatu media, karena

kurangnya pengalaman yang mampu membuatnya paham bahwa sesuatu itu benar

atau salah. Mereka cenderung menerima semua pesan tanpa adanya filter secara

mandiri. Dorr (dalam Potter, 2013: 61) mengatakan anak-anak dalam memproses

suatu pesan media, akan menganggap semua informasi yang disampaikan adalah

akurat.

Kondisi anak yang sangat berbeda dengan orang dewasa itulah,

menyebabkan mereka seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari media.

Anak-anak cenderung rentan terhadap berbagai informasi. Sehingga beberapa

pesan yang disajikan oleh media bisa jadi justru membawa pengaruh buruk. Hal

ini seharusnya menjadi perhatian bagi media dalam menyajikan konten anak, agar

tidak memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang.

Anne Haas Dyson1 dalam hal ini berargumen bahwa proses pendidikan

dan pengalaman yang dialami dan dilihat, anak akan membentuk karakter

pribadinya. Identitas dan ‘sejarah’ menjadi komponen yang membangun karakter

dari dirinya. Inilah yang saat ini, menurut Dyson, menjadi poin yang perlu

diperhatikan bagi mereka yang bertujuan untuk mendidik anak-anak. Tidak hanya

orang tua ataupun guru, media pun ikut andil dalam proses pendidikan. Mereka

menyajikan informasi yang ditujukan untuk anak, dengan mentargetkan anak-anak

sebagai audiens dari media. Menurut Dyson, anak-anak memiliki karakteristik

yang unik dalam memaknai sebuah pesan. Dari hasil risetnya, ditemukan bahwa

masing-masing anak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan pengalaman pribadi

yang menyebabkan interpretasi terhadap satu pesan yang sama dapat berbeda satu

sama lain.

1 Dyson, Anne Haas. 2001. Journal Of Early Chilhood Literacy. California: Sage Publication.hal.

8.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

3

Tahapan belajar anak terjadi melalui pendidikan dan pengajaran, baik

formal dan non-formal, serta keseharian dari anak. Teori Belajar Sosial (Social

Learning Theory) yang digagas oleh Albert Bandura (1971) mengungkapkan

bahwa individu melakukan pembelajaran salah satunya dengan meniru apa yang

ada di lingkungannya, terutama perilaku-perilaku orang lain. Perilaku orang lain

yang ditiru disebut sebagai perilaku model atau perilaku contoh. Proses yang

disebut imitasi ini dialami oleh setiap individu, terutama pada usia kanak-kanak.

Dengan adanya media dalam keseharian, maka apa yang ada di media bisa

menjadi materi imitasi bagi anak-anak.

Dalam lingkungan masyarakat seperti saat ini, mustahil memisahkan anak

dari media. Media telah menjadi bagian dari masyarakat secara umum, dengan

berbagai jenis platform yang ada. Media menjadi salah satu penyedia informasi

dimana anak-anak berhak untuk mengaksesnya. Mengenai hak anak atas

informasi ini telah disebutkan di Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA)

nomor 10 dan Pasal 17 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang

Konvensi Hak Anak.

Legalisasi akses anak terhadap media ini merupakan indikasi bahwa media

memberikan pengaruh yang besar terhadap karakter dan identitas anak seperti

disebutkan oleh Dyson.2 Diantaranya adalah dengan proses imitasi terhadap

perilaku tokoh yang disaksikannya melalui media. Imitasi dari tokoh ini adalah

suatu bentuk role modeling yang lazim dilakukan oleh anak-anak. American

Academy of Child and Adolescent Psychiatry dalam terbitan information

sheetsnya menyebutkan setiap anak selalu membutuhkan sosok yang bisa

dijadikan panutan bagaimana ia bersikap sehari-hari, bahkan ketika menghadapi

masalah. Di lingkungan masyarakat seperti saat ini, adalah suatu hal yang wajar

jika anak-anak mulai mencari role model dari media yang dikonsumsinya.

Dengan kondisi tersebut, idealnya media hanya menyampaikan informasi

yang tidak menimbulkan pemaknaan negatif pada anak-anak, sehingga mereka

bisa memilih role model dengan tepat. Hal ini dapat dicapai dengan meletakkan

sudut pandang dari kebutuhan anak terhadap informasi yang sesuai dengan

2 Ibid.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

4

usianya. Namun, kondisi saat ini sangat jauh berbeda dengan yang seharusnya

terjadi. Dari ranah dunia hiburan misalnya. Pada era 1990-an, lagu-lagu anak

masih banyak menghiasi etalase hiburan anak di Indonesia. Namun, sejak tahun

20003, mereka mulai menghilang. Disamping karena artis cilik kala itu telah

beranjak dewasa, penerusnya pun tidak ada. Terakhir adalah Tasya pada tahun

2005 yang merilis album anak-anak. Lambat laun, jejak artis cilik dan lagu-lagu

anak mulai menghilang. Diperparah dengan kontes penyanyi anak yang justru

lebih sering menyanyikan lagu-lagu berlirik percintaan saja. Pada tahun 2009,

muncul penyanyi cilik Umay, namun tidak diikuti dengan bertambahnya jumlah

penyanyi anak yang ada seperti pada era akhir abad 20.

Inilah yang menjadi alasan mengapa etalase lagu anak kini hampir tidak

ada. Bukan hanya lagu anak, tayangan anak pun mulai berkurang secara drastis.

Kiblat hiburan anak kini perlahan mulai berubah. Mereka menjadi penikmat lagu

dewasa dengan lirik percintaan. Pada saat booming lagu ‘Keong Racun’ yang

liriknya memiliki makna tidak senonoh, lagu ini popular pula di kalangan anak-

anak. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada 30 November 2012 pada dua

anak usia Sekolah Dasar yang menjadi presenter Radio Anak Jogja, menunjukkan

mereka lebih hafal lagu-lagu dewasa ketimbang lagu anak. Tidak adanya media

yang memfasilitasi, menjadi salah satu alasan semakin hilangnya hiburan untuk

anak-anak. Akibatnya, ekspos media anak terhadap dunia hiburan pun beralih ke

selebritas yang seharusnya menjadi konsumsi remaja dan dewasa. Hal ini

berdampak pada sosok panutan atau role model yang dipilih oleh anak-anak.

Dalam kasus media cetak, untuk anak biasanya ditampilkan dalam format

majalah yang terbit mingguan atau bulanan. Majalah memiliki segmentasi sasaran

lebih jelas dibandingkan media lain, ditampilkannya penyanyi yang tenar dengan

lagu-lagu berlirik percintaan, serta aktor dan aktris yang membintangi sinetron

untuk usia dewasa merupakan indikasi bahwa media tidak menyajikan informasi

yang sesuai dan aman untuk dikonsumsi oleh anak. Kondisi ini dialami oleh

banyak majalah anak di Indonesia. Jika dulu penyanyi cilik Maissy menghiasi

3 Berdasarkan wawancara dengan Djito Kasillo, founder www.marinyanyi.com, Pada 13

November 2012 di Hotel Melia Purosani, Yogyakarta.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

5

konten di dalamnya, kini dengan mudah kita temukan One Direction sebagai

penggantinya.

Salah satu media cetak anak dalam bentuk majalah yang terbilang paling

terkenal adalah Majalah Bobo. Terbit sejak April 1973 (Junaedhie, 1995:121),

majalah Bobo merupakan majalah anak yang terbilang cukup legendaris di

Indonesia. Menurut segmentasi usia, majalah ini ditujukan untuk anak usia 6-12

tahun. Namun konten yang ada di dalamnya memuat hal-hal yang seharusnya

menjadi konsumsi usia diatas segmentasi yang telah ditentukan majalah Bobo.

Mengusung slogan ‘Teman Bermain dan Belajar’ diharapkan majalah ini memiliki

unsur edukasi dan entertainment yang sesuai untuk anak.

Sejak tahun 2008 Majalah Bobo telah meraih penghargaan Top Brand

Award sebanyak lima kali4 dalam kategori majalah anak. Meskipun tidak

mendapat predikat sebagai majalah anak pertama, namun Bobo terbilang cukup

tua.

Pada era 90-an, Majalah Bobo banyak menampilkan idola yang

menyanyikan lagu anak, atlet olahraga, peneliti, atau orang dengan prestasi sains

dan sosial sebagai pengisi di rubrik Profil. Rubrik Profil di Majalah Bobo

disajikan dalam dua halaman, dengan format teks berupa paragraf narasi dan

tanya jawab kepada tokoh yang berkaitan. Biasanya ditampilkan masih di bagian

depan dari majalah.

Rubrik Profil merupakan rubrik biografi singkat yang menampilkan hasil

wawancara redaksi Majalah Bobo dengan tokoh yang sedang diulas. Hasil

wawancara dikemas seolah sang penanya adalah tokoh Bobo si Kelinci Biru.

Rubrik ini mendapatkan cukup banyak penggemar, bisa dilihat dari banyaknya

surat pembaca yang meminta agar Bobo mengulas profil dari masing-masing idola

mereka.

Awalnya, rubrik Profil diisi oleh anak-anak berprestasi dan orang-orang

dewasa yang berprofesi di bidang tertentu. Mulai tahun 1996, rubrik ini mulai

4 Informasi diakses melalui situs www.topbrand-award.com, diakses pada 24 Maret 2014.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

6

menampilkan profil artis cilik.5 Pada tahun-tahun berikutnya, Bobo juga mulai

menampilkan sosok selebritas dewasa. Kondisi ini terus berlanjut sampai dengan

sekarang dengan frekuensi yang semakin tinggi.

Ditampilkannya selebritas dewasa ini memang merupakan hal yang perlu

menjadi perhatian. Majalah Bobo, yang notabene adalah media untuk anak,

memiliki fungsi menyampaikan informasi baik berupa hiburan maupun

pengetahuan bagi pembacanya. Jika yang ditampilkan adalah sosok selebritas

dewasa, dikhawatirkan hal ini akan mendatangkan akibat yang buruk. Anak-anak

akan merasa mendapat legalitas dan pembenaran atas konsumsinya terhadap

hiburan yang dibawakan oleh selebritas dewasa tersebut. Anak-anak akan berpikir

bahwa jika majalah anak mengulas tentang sosok-sosok tersebut, artinya mereka

memang merupakan konsumsi yang layak bagi anak-anak.

Disamping itu, dikhawatirkan anak-anak dalam menerima informasi

mengenai selebritas dewasa di Majalah Bobo, tidak berhenti sampai disitu.

Mereka akan mengakses dan mencari tahu tentang selebritas tersebut melalui

platform media lain. Hal ini disebabkan anak-anak, terutama ketika sudah

menginjak usia Sekolah Dasar, bukanlah audiens pasif yang tidak bertindak apa

pun setelah menerima informasi. Perlu diingat bahwa dewasa ini, dengan keluasan

akses media yang semakin tinggi, anak-anak juga memliki kesempatan dan

kemampuan untuk mengakses informasi bukan hanya dari satu platform media

saja.

Croteau & Hoynes (2003: 266-269) menjelaskan bahwa audiens yang aktif

padas dasarnya merupakan sikap manusia yang memiliki intelejensi dan otonomi

dalam mengambil sikap maupun pemikiran setelah menerima informasi.

Sehingga, sudah selayaknya audiens memiliki kekuasaan (power) dalam

menggunakan media. Keaktivan audiens ini bukan sebatas pada bagaimana

mereka menginterpretasi pesan media, namun juga dalam memanfaatkan pesan

tersebut secara sosial serta menindaklanjuti dan menggunakannya.

5 Dede Lilis Ch Subandy. 2009. Idealisasi Anak Dalam Wacana Rubrik Nonfiksi Majalah Bobo.

Universitas Islam Bandung: Mimbar. hal. 2.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

7

Apabila media anak, salah satunya adalah majalah, memberikan informasi

mengenai selebritas dewasa, bukan tidak mungkin anak-anak akan mengakses

informasi tentang selebritas itu dengan lebih banyak melalui media lain. Padahal,

seperti kita pahami bersama, selebritas dewasa memiliki kecenderungan

kehidupan yang penuh dengan skandal. Jika anak-anak mengikuti berita selebritas

tersebut diluar apa yang disajikan dalam media anak, maka ia pun akan

menyaksikan informasi yang tidak sesuai dengan usianya. Belum lagi, gaya hidup,

attitude, dan penampilan yang ditunjukkan oleh selebritas dewasa yang jauh dari

kata ideal. Dikhawatirkan anak-anak akan meniru dan menganggap benar semua

hal yang dilakukan dan ditunjukkan selebritas tersebut melalui kehidupan

pribadinya.

Semakin menyusutnya jumlah artis cilik di dunia musik sejak memasuki

abad 21, memang cukup membawa perubahan pula pada konten rubrik Profil di

Majalah Bobo. Porsi penyanyi cilik ditampilkan di Majalah Bobo pada tahun 90-

an memang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya ekspos media pada

dekade tersebut terhadap industri musik anak dan juga acara untuk anak yang

banyak ditampilkan di televisi. Pada saat itu, Majalah Bobo pun berusaha

mengikti selera masayarakat. Namun, kondisi tersebut mulai banyak berubah

sejak memasuki era abad 21. Perbandingan acara televisi pada era 90-an dan tahun

2000-an, menunjukkan perubahan yang sangat drastis terhadap komposisi

tayangan anak. Awal abad 21 tersebut menjadi tonggak dimana tayangan anak

telah banyak terkikis. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh pula pada anak

bagaimana mereka mulai menjadikan selebritas dewasa sebagai role model.

Rubrik Profil memiliki kaitan yang erat terhadap bagaimana role model

yang tepat digambarkan untuk anak-anak. Nafas rubrik ini adalah memberitakan

kehidupan tokoh, lengkap dengan prestasi dan anjuran agar anak-anak

mencontohnya. Menurut Donald E. Gibson6, role model memberikan pengaruh

pada perilaku, kebiasaan, dan cita-cita. Role model ini cenderung memberikan

pengaruh terhadap konsep diri, dibandingkan kemampuan individu. Artinya,

6 Gibson, D. E. 2006. Encyclopedia Of Career Development: Role Models. California: Sage

Publications. hal. 702.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

8

peranan role model ada pada taraf kognitif dari individu. Sehingga yang dicontoh

cenderung kepada hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan karakter dan

identitas.

Menjadikan selebritas dewasa menjadi role model memang bukanlah hal

yang keliru. Namun perlu diingat, bahwa selebritas memiliki kehidupan yang

tidak selamanya baik-baik. Bisa jadi pada suatu hari, ia akan terlibat skandal, atau

melakukan hal-hal yang tidak baik untuk dicontoh anak. Dengan kata lain,

mengajarkan anak untuk meniru selebritas tidak bisa semata-mata dinilai positif.

Perlu diwaspadai bagaimana selebritas dan kehidupan pribadinya yang rentan

akan hal-hal negatif bisa berpengaruh kepada anak.

Penelitian yang akan difokuskan pada rubrik Profil di Majalah Bobo ini

terinpirasi dari jurnal karya Dede Lilis CH. Subandy yang diterbitkan oleh

Mimbar, jurnal akademik Universitas Islam Bandung. Jurnal penelitian tersebut

berjudul Idealisasi Anak dalam Wacana Rubrik Nonfiksi Majalah Bobo, dengan

mengambil dua rubrik sebagai objek penelitian. Namun demikian, penelitian yang

akan dilakukan memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Penelitian milik Dede

mengambil rubrik Profil dan Reportase sebagai objek penelitian yang mengangkat

wacana standarisasi kehidupan ideal bagi anak yang ditampilkan dalam kedua

rubrik tersebut. Sedangkan pada penelitian ini, akan difokuskan pada bagaimana

strategi Majalah Bobo dalam menanamkan konsep wacana role model, yang

berfokus pada bagaimana para tokoh diwacanakan dalam rubrik Profil sehingga

memengaruhi anak-anak menjadikan sosok tersebut sebagai panutan.

Penanaman konsep role model, dengan menggunakan selebritas dewasa di

tengah gegap gempita dunia hiburan saat ini sebagai tokohnya, memberikan

pemahaman bagi anak bahwa mereka pantas untuk dijadikan panutan. Dalam hal

ini, penelitian dilakukan terhadap bagaimana media menyajikan selebritas dewasa

sebagai sosok role model pada majalah anak. Dimana pesan dan peran yang

dibawakan oleh mereka dalam keseharian sebagai bagian dari profesi maupun

kehidupan pribadinya, tidak semuanya sesuai dengan dunia anak.

Analisis kritis terhadap fenomena rubrik Profil pada majalah anak ini perlu

ditelisik lebih dalam. Dengan menggunakan metode analisis wacana, akan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

9

diketahui motif dari diproduksinya suatu konten media. Idealnya, sebagai majalah

anak, Bobo hanya memuat konten yang benar-benar sesuai dengan usia anak.

Bukan menampilkan selebritas yang tampil di tayangan dewasa atau

membawakan lagu bertema percintaan. Analisis wacana akan mempelajari

bagaimana kekuasaan disalahgunakan atau bagaimana dominasi serta

ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks pada suatu media.

Termasuk di dalamnya akan dipelajari pula bagaimana produksi wacana

berlangsung dan relasi kuasa apa saja yang ada di belakangnya. Dalam penelitian

ini, wacana yang dibahas adalah mengenai konseptualisasi role model pada anak;

bagaimana ia disajikan oleh Majalah Bobo.

Analisis wacana kritis meneliti bahasa yang digunakan dalam sebuah teks

dan menggali bagaimana kekuasaan berperan dalam teks tersebut. Bahasa

dipercaya memiliki pesan-pesan tersembunyi yang melatarbelakangi produksi

suatu teks. Tujuan dari analisis wacana adalah mengkritisi ideologi yang

melatarbelakangi sebuah wacana dengan jalan menilik kembali asumsi-asumsi

kebenaran yang seringkali sudah menjadi common sense di masyarakat. Dalam hal

ini, penyajian artikel pada rubrik Profil di Majalah Bobo, akan diteliti dengan

menganalisis bahasa serta pesan yang disampaikan di dalamnya. Dengan

demikian akan ditemukan hal-hal diluar apa yang tersampaikan secara eksplisit

dalam teks tersebut.

Implementasi pada penelitian ini adalah meletakkan pihak Majalah Bobo

sebagai objek penelitian. Dengan mengambil rubrik Profil Majalah Bobo terbitan

tahun 2005 dan 2013 yang memuat profil dari selebritas dewasa di dunia hiburan

Indonesia sebagai teks yang digunakan untuk meneliti wacana role model.

Penelitian akan dilakukan kepada pihak redaksi, analisis dokumen, dan

penelusuran.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana wacana role model disajikan dalam rubrik Profil di Majalah Bobo?

C. Tujuan penelitian

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

10

1. Untuk mengetahui bagaimana wacana role model disajikan dalam rubrik

Profil di Majalah Bobo.

2. Untuk mengetahui hal-hal yang memengaruhi pembentukan konten rubrik

Profil di Majalah Bobo.

3. Untuk memberikan gambaran kondisi media anak dalam fungsinya

sebagai sarana hiburan dan edukasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran nyata kepada masyarakat bagaimana kondisi media

untuk anak saat ini.

2. Menjadi masukan bagi majalah anak secara umum untuk lebih

memerhatikan konten media untuk untuk anak.

3. Memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu komunikasi dan

studi media.

E. Kerangka Pemikiran

1. Anak-anak dan Media

a. Anak sebagai Target Audiens Media

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Institute of Indonesia7 anak-

anak merupakan target market yang potensial. Penelitian itu menyebutkan, anak-

anak bisa menjadi pembeli dengan menggunakan uang saku mereka. Untuk harga

barang yang diluar jangkauannya, mereka akan memengaruhi orang tua untuk

membeli produk tertentu yang dia inginkan. Fakta ini membuat media berlomba-

lomba menjadikan anak sebagai pasar yang potensial dengan menyajikan konten

untuk usia dibawah 12 tahun. Meletakkan anak-anak sebagai sasaran audiens,

media harus mampu menyajikan konten yang dapat dikonsumsi oleh anak tanpa

menimbulkan efek negatif.

7 Kompas. 24 Februari 2011.

Http://Female.Kompas.Com/Read/2011/02/24/0947472/Mau.Buka.Usaha.Coba.Lirik.Target.Mark

et.Ini diakses pada 20 Februari 2014

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

11

Media sebenarnya memiliki peran penting dalam tumbuh kembang anak.

Dari hasil riset, Center of Media and Kids Health mengungkapkan bahwa anak-

anak menghabiskan lebih banyak waktu dengan media, dibandingkan aktivitas

lain kecuali tidur. Media yang digunakan pun beragam, televisi, video game, film,

majalah, ponsel dan lain sebagainya. Frekuensi interaksi anak dengan media yang

sangat sering ini memberikan pengaruh yang cukup besar. Media memengaruhi

bagaimana seorang anak membentuk karakter pribadi, melihat dunia, dan

bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungannya.

Karakter dan kepribadian anak dipengaruhi oleh media dengan adanya

proses interpretasi dan imitasi dari pesan yang disampaikan. Jenkins (dalam

Alper: 2013) berpendapat bahwa anak-anak tidak mendengarkan atau membaca

cerita yang disampaikan begitu saja. Mereka melakukan reenact sesuai dengan

pemahaman terhadap narasi yang disampaikan. Ini berarti media dituntut untuk

menyediakan konten yang benar-benar aman untuk dikonsumsi.

Rentannya anak terhadap media bukan berarti mereka tidak membutuhkan.

Media sebenarnya memiliki manfaat yang besar sehingga dapat dikatakan bahwa

anak-anak perlu mengkonsumsi media dalam proses pertumbuhannya. Media

menyediakan sarana pendidikan serta hiburan sekaligus, mengijinkan anak-anak

untuk melihat keluar dari dunianya, tahu lebih banyak mengenai hal-hal yang

terjadi di luar sana. Ini baik untuk perkembangannya, dimana ia akan memelajari

kultur dan lingkungan sosial bukan hanya melalui pengalaman secara langsung

saja. Media sebagai sarana penyedia informasi membantu anak-anak memperluas

wawasan.

Era dimana media menjadi sarana penyedia informasi serta hiburan yang

dibutuhkan masyarakat, membuat konsumsi terhadap media semakin besar.

Artinya, jika media memberikan efek yang signifikan terhadap kehidupan sehari-

hari adalah sesuatu hal yang wajar. Dari segi kultural, media juga memberikan

pengaruh yang cukup besar. Ragam informasi yang diberikan bersifat konstruktif,

membangun wawasan dari seseorang sehingga mempengaruhi bagaimana ia

melihat dunia. Gergen (1999, dalam Orbe) mengatakan bahwa media adalah suatu

sistem kultural yang sangat kuat. Ia memiliki peran penting dalam membentuk

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

12

sense of reality dari seseorang. Pada anak, media dipercaya mampu

menumbuhkan kepercayaan diri dan minat terhadap hal-hal yang relevan dengan

yang disampaikan melalui pesan yang diproduksi. Shelly Goldman, Meghan

McDermott dan Angela Booker (dalam Buckingham: 2008) percaya bahwa anak-

anak membutuhkan sebagai sarana dalam mengakses informasi dan isu sosial.

Selain itu, media membantu anak dalam menyuarakan pendapatnya agar dapat

didengar oleh khalayak yang lebih luas.

Kebutuhan akan informasi ini disadari betul oleh media. Media

menyediakan konten yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sebagai timbal baliknya, media selaku institusi komersil mengolah penyajian

informasi tersebut menjadi suatu bentuk bisnis. Tingkat kebutuhan masyarakat

akan informasi membuat media tidak mudah ditinggalkan. Mereka membidik

pasar-pasar tertentu yang dinilai memiliki potensi untuk mengembangkan bisnis

media. Salah satu sasarannya adalah anak-anak.

Dari sudut pandang bisnis, anak-anak merupakan ranah yang potensial

dalam mengembangkan bisnis media. Berdasarkan penelitian Institute of

Indonesia8, peningkatan besar uang saku anak selama satu dekade terakhir

menjadi alasan mengapa anak-anak dibidik menjadi target pasar. Dari hasil

penelitian tersebut, uang saku dari 95 persen responden diberikan secara harian,

hal ini erat korelasinya dengan meningkatnya potensi anak-anak sebagai target

market, karena jumlah waktu penggunaan uang saku cukup singkat.

Disamping itu, anak-anak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap

pola pembelian produk yang dilakukan oleh orang tua. Dikarenakan orang tua

cenderung menuruti permintaan anak atas konsumsi suatu produk, terlebih untuk

produk yang dinilai tidak memberikan efek negatif.

Alasan lain yang membuat pelaku bisnis gencar membangun pasar untuk

anak adalah adanya prinsip brand loyality. Brand loyality merupakan kesetiaan

pelanggan terhadap suatu produk, yang mana media melihat anak sebagai target

pelanggan untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Artinya, bisnis media

8 Ibid.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

13

melihat jauh kedepan bagaimana anak-anak yang semakin tumbuh dewasa akan

tetap setia terhadap produk tertentu.

Menjadikan anak-anak sebagai target pasar semakin memperbesar

pengaruh media pada anak. Anak seolah mendapatkan legalitas mengakses media

dengan disediakannya konten dengan klaim ‘untuk anak-anak,’ lepas dari apakah

konten tersebut memenuhi kebutuhan dan kesesuaian dengan usia anak.

disamping itu, anak-anak cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar.

Sehingga kebutuhannya akan informasi tidak cukup hanya dipenuhi melalui

pendidikan formal maupun non-formal di lingkungan sekitarnya.

Pengaruh media pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang sangat

besar berimbas pada kehidupan sosial dan kultural. Anak-anak dinilai sebagai

tumpuan masa depan, dimana ia akan tumbuh menjadi dewasa dengan pengaruh-

pengaruh dari apa yang didengar dan dilihatnya melalui media. Ini secara perlahan

akan membentuk bagaimana seorang anak melihat dunia. Alasan inilah yang

membuat James W. Potter berpendapat bahwa media perlu melakukan special

treatment pada audiens anak. Spesialisasi ini disajikan dalam bentuk konten yang

sesuai, tidak multitafsir, tidak ambigu, tidak memberikan interpretasi negatif, serta

tidak memengaruhi anak untuk melakukan hal-hal yang belum waktunya.

b. Pembaca Anak dan Literasi Media

Kepungan digitalisasi media yang menerpa masyarakat modern dialami

oleh hampir seluruh masyarakat dunia. Namun demikian, eksistensi media cetak

tetap diakui dan diprediksi masih memiliki masa depan cerah selama beberapa

tahun kedepan. Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Arif Budi Susilo9 mengatakan

kekhasan yang dimiliki oleh media cetak membuat bisnis ini tetap tumbuh subur.

Media cetak memiliki karakteristik yang sejauh ini tidak dapat digantikan oleh

platform media manapun. Inilah yang membuat media tetap dan akan terus

bertahan, asalkan menerapkan strategi bisnis dan pemasaran yang baik.

9 Republika. 2014. Tantangan Media Cetak pada Era Digital. Dirilis 9 Februari 2014. Diarsipkan

di http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/14/02/09/n0ovb4-tantangan-media-cetak-

pada-era-digital diakses pada 24 April 2014

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

14

Desmond10

mengatakan, minat baca anak saat ini jika dibandingkan

dengan frekuensi menonton televisi, memang tidak cukup tinggi. Diantaranya

dikarenakan anak-anak tidak diberi dorongan untuk membaca diluar buku

pelajaran, dari pihak orang tua dan guru. Minat baca anak perempuan pun lebih

tinggi dibandingkan anak laki-laki.

Kara Lynn Anderson (2005: 3) mengatakan, dalam memahami fenomena

audiens anak sebagai pembaca dan penonton buku serta film Harry Potter

menunjukkan bahwa di setiap kultur masyarakat, membaca dan menonton adalah

dua aktivitas dengan tipe tindakan yang berbeda. Aktivitas menonton

dikategorikan sebagai tindakan pasif. Hal ini disebabkan karena pada aktivitas

menonton film atau televisi, anak hanya menyaksikan tayangan secara audio

visual. Berbeda dengan membaca, yang dikategorikan sebagai tindakan aktif.

Membaca membuat anak berimajinasi dan memahami pesan melalui teks yang

disampaikan. Membaca bukan sekedar menyaksikan yang ada dihadapannya,

namun juga membantu otak untuk tetap aktif dan mengasah daya imajinasi.

Membaca memengaruhi audiensnya untuk menjadi meaning maker atas pesan

yang disampaikan.

Pemahaman anak terhadap sebuah bacaan bersifat homogen dalam satu

kultur yang sama.11

Ini terlihat dari penikmat novel dan film legendaries Harry

Potter. J.K Rowling, penulisnya mengungkapkan bahwa anak-anak di Amerika

Serikat mampu memahami sebagian besar humor yang dilontarkan, semua anak

menunjukkan sikap bahwa mereka memang paham. Sedangkan di UK, anak-anak

tidak menunjukkan reaksi yang sama seperti anak-anak di Amerika Serikat.

Dalam sebuah kultur masyarakat yang sama, tingkat pemahaman terhadap pesan

yang implisit semacam itu akan dipahami secara sama pula.

Homogenitas reaksi yang ditunjukkan oleh anak ini membuktikan bahwa

dalam menyajikan suatu konten, media harus memerhatikan berbagai aspek.

10

Dalam Dorothy G Singer & Jerome L. Singer. 2001. Handbook Of Children And The Media.

California: Sage. hal. 31. 11

Kara Lynn Anderson. 2005. Harry Potter And The Susceptible Child Audience.

http://docs.lib.purdue.edu/clcweb/vol7/iss2/ diakses Pada 1 Mei 2014.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

15

Diantaranya adalah psikologis anak dan kultur dari masyarakat yang

memengaruhi.

Proses meaning maker yang dilakukan oleh anak ini perlu menerima

bimbingan, bagaimana agar mereka dapat memahami konten suatu media dengan

benar. Menurut Baran (2009) media memberikan pengaruh terhadap budaya

masyarakat dengan berbagai cara. Kini media tidak sebatas hanya memberikan

informasi, pengetahuan, dan hiburan, tetapi juga memungkinkan audiensnya

berinteraksi secara langsung. Pada saat yang sama media menanamkan nilai

ideologi baru berupa gaya hidup, budaya konsumerime dan model peniruan sikap

dan perilaku para selebritas tertentu yang dipopulerkan media. Mengingat kondisi

anak yang cenderung rentan terhadap berbagai macam pengaruh, sudah waktunya

penetrasi media yang semakin gencar dan bebas harus diimbangi dengan literasi

media sebagai cara untuk menangkal dampak negatif media. Literasi media juga

bertujuan untuk melindungi khalayak yang rentan dan lemah terhadap dampak

media penetrasi budaya media, salah satunya adalah anak-anak.

Menurut Katz (dalam Vural: 2010) literasi media membantu audiens untuk

memiliki benteng terhadap pengaruh buruk dalam mengakses informasi, analisis,

kemampuan komunikasi dan memahami pentingnya melihat dunia melalui media.

Dengan kata lain, literasi media membuat khalayak mampu menggunakan media

dengan tepat berikut memahami fungsi serta peran media dalam kehidupan.

Kemampuan literasi media memang perlu diasah untuk semua orang yang

mengakses media. Seringkali, audiens anak dilupakan karena dianggap belum

memiliki keahlian yang cukup dalam memahami isi pesan dan fungsi media.

Anggapan ini tidak benar, justru anak-anak sebagai audiens yang rentan harus

diajarkan bagaimana mereka harus menyikapi media. Dengan demikian, meskipun

mereka telah bersinggungan dengan media sejak usia dini, mereka memiliki bekal

dalam menangkal pengaruh negatif pesan media.

Perlu diingat bahwa tidak bisa mengharapkan anak-anak akan memiliki

kemampuan literasi yang tinggi. Dengan daya pikir dan kedewasaan yang belum

matang, anak memiliki kemampuan yang terbatas dalam memelajari literasi

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

16

media. Disinilah tugas media selaku penyedia informasi harus benar-benar

memerhatikan konten yang disampaikan pada anak.

2. Anak-anak dalam Majalah

Sebagai salah satu target pasar bagi media, anak-anak menjadi komoditas

yang penting bagi media dalam mengembangkan konten yang akan disajikannya.

Hal ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, sejak Majalah Anak Garuda

dan Kunang-kunang diterbitkan Balai Pustaka pada awal 1950-an. Anak-anak

selalu menjadi inspirasi perwujudan media cetak untuk anak.12

Majalah anak yang cukup populer pada dekade 1950-an saat itu adalah Si

Kuncung, yang menjadi inspirasi munculnya banyak majalah anak di Indonesia.

Salah satunya adalah Kawanku, terbit tahun 1970, yang ditujukan untuk anak usia

9-14 tahun kala itu. Pada saat itu, penerbitan majalah anak didasari oleh idealisme

menerbitkan bacaan anak yang baik13

. Bukan dengan alasan-alasan komersial.

Pada tahun 1973, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden

(Inpres) tentang bacaan anak14

. Disebutkan dalam Inpres tersebut bahwa untuk

memenuhi prasarana pendidikan anak-anak sekolah dasar di seluruh Indonesia,

pemerintah wajib membeli sejumlah buku bacaan dengan tiras yang telah

ditentukan dari penerbit yang memproduksi buku bacaan anak-anak. Pada tahun

pertama peraturan tersebut telah melahirkan 7 juta buku bacaan anak-anak, juga

berhasil meningkatkan minat baca di kalangan anak-anak dan kesadaran akan

kebutuhan terhadap bacaan yang baik.

Proyek tersebut mulai banyak menginspirasi penerbit untuk menerbitkan

terbitan anak secara berkala. Di akhir dekade itu, hampir semua koran maupun

majalah memiliki kapling sendiri untuk halaman anak-anak. Majalah anak pun

mulai banyak bermuculan dibarengi dengan semakin meningkatnya minat baca

anak. Hingga saat ini majalah anak-anak tetap tumbuh. Banyak mengalami gulung

tikar, namun beberapa judul baru bermunculan. Alasan gulung tikar kebanyakan

12

Kurniawan Junaedhie. 1995. Rahasia Dapur Majalah Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.hal. 122. 13

Ibid.hal. 124. 14

Ibid.hal. 122.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

17

adalah menurunnya tiras majalah tersebut dari waktu ke waktu. Pasca proyek

Inpres, beberapa penerbit buku anak yang sukses mencoba peruntungan dengan

menerbitkan majalah anak, namun ternyata kesuksesannya tak sesuai rencana.

Meski memiliki ideologi komersial dalam menerbitkan majalah anak pada

era itu, namun pada mulanya kebanyakan majalah anak memang dijiwai dengan

kepentingan untuk memberikan informasi dan rekreasi kepada anak melalui media

cetak. PK Ojong, pendiri Majalah Bobo, mewanti-wanti kepada staf redaksinya

agar majalah itu murni hanya sebagai rekreasi untuk anak15

. Tanpa dijejali dengan

materi pelajaran karena ia berpendapat bahwa anak-anak telah mendapat

pendidikan yang cukup dari sekolah dan tugas untuk dirumah.

Penggambaran kebutuhan dan dunia anak dalam majalah dimaknai oleh

media sebagai konten yang fun, penuh keceriaan, dengan kata-kata menarik bagi

anak-anak. Informasi yang disampaikan pun terbilang ringan dan dikemas dalam

bahasa yang santai serta mudah dimengerti. Konten untuk anak dipahami sebagai

konten yang menghilangkan unsur negatif, namun sarat akan pesan moral yang

bisa enjadi pelajaran bagi anak-anak. Majalah anak tidak menampilkan dunia

selebritas populer, meskipun itu tergolong ranah hiburan. Hal ini dibuktikan

dengan berubahnya majalah anak Kawanku menjadi Kawanku Stil di tahun 1989,

kependekan dari Saya Tidak Ingusan Lagi. Majalah anak tersebut berubah

menjadi majalah dengan segmentasi usia pra-akil balikh, istilah bagi mereka yang

hampir memasuki tahapan remaja. Pada versi baru Majalah Kawanku ini,

informasi yang disampaikan pun mulai berbeda. Selebritas populer seperti

Anggun C. Casmi, New Kids On The Block, Kura-kura Ninja, Madonna, dan lain

sebagainya mengambil bagian dalam kontennya.

Dalam majalah anak, penting untuk menonjolkan sisi yang cerah dan

berwarna-warni. Anak-anak tertarik pada desain yang ceria dan membuatnya

merasa fun dengan melihat dan membacanya. Majalah anak biasanya

mengandalkan konten fiksi untuk mengasah imajinasi melalui dongeng dan cerita

pendek, juga cerita yang dikemas dalam gambar-gambar serupa komik dengan

tokoh tertentu. Selain itu, ruang publik di majalah anak juga banyak menyedot

15

Ibid.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

18

perhatian anak. Seperti mengirimkan karya puisi, gambar dan karya seni lain. Juga

mengirim jawaban untuk kuis berhadiah. Melalui konten tersebut, anak akan

belajar bersikap berani dan bangga terhadap hasil karyanya, apalagi jika dimuat.

Terakhir, adalah konten non fiksi berupa informasi dan pengetahuan. Meskipun

tidak memuat informasi yang sangat lengkap dan detail, rubrik non fiksi memiliki

keunggulan menambah wawasan bagi anak, terutama untuk hal-hal yang tidak ada

disekitarnya. Pengemasannya pun dengan bahasa yang ringan, sehingga anak-

anak tidak merasa berat meskipun informasi yang disampaikan terbilang cukup

berbobot.

Majalah anak adalah salah satu literasi wajib bagi anak-anak dan pra akil

balikh (Desmond dalam Singer, 2001: 34). Dalam majalah anak, terdapat hal-hal

eksperimental dan rekreatif yang dibutuhkan serta disukai oleh anak-anak, tanpa

batasan gender. Menurutnya, sampai dengan usia 12 tahun, barulah segmentasi

majalah dipisahkan berdasarkan gender karena kebutuhan mereka semakin

berbeda. Sehingga konten yang disajikan pun berbeda pula.

Namun demikian, majalah anak saat ini mulai mengenal gender. Meskipun

tidak semata-mata ditampilkan secara implisit bahwa majalah tersebut memiliki

segmentasi gender tertentu, tapi bisa dilihat dari konten yang ditampilkan.

Majalah-majalah tersebut memiliki konten yang difokuskan terhadap interest

masing-masing gender. Misalnya, Majalah Princess untuk anak perempuan, dan

Majalah Cars untuk anak laki-laki. Meskipun tidak disebutkan bahwa majalah itu

ditujukan untuk gender tertentu, namun audiens sudah dikotak-kotakkan

berdasarkan gender dari konten yang ditampilkan. Setting industri majalah saat ini

telah berkembang pesat bahkan juga pada majalah anak. Menciptakan konten

yang menarik dan sesuai dengan minat audiens terjadi pula di majalah anak.

Menyajikan konten yang menarik bagi anak adalah salah satu

mempertahankan perekonomian media. Tidak dapat dipungkiri, menjaga dapur

agar tetap mengepul sejak dulu menjadi salah satu tujuan utama bagi setiap media,

termasuk majalah anak. Jika medianya tidak diminati, tentu tidak akan menarik

pengiklan. Dengan demikian, memenuhi kebutuhan saja tidak cukup, namun juga

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

19

keinginan dari audiens. Keinginan dan kebutuhan audiens anak tidak berkutat

pada konten saja, namun juga pengemasan dan gaya bahasa yang mudah

dipahami. Semuanya bersinergi membentuk kesatuan konten media yang layak

untuk dikonsumsi anak, sesuai dengan segmentasi yang telah ditentukan.

3. Anak-anak dan Role Model

David Gauntlett (2002: 159) menjelaskan bahwa istilah role model telah

lama ada di masyarakat. Namun, belum ada definisi secara pasti siapakah yang

pantas disebut sebagai role model. Gauntlett melanjutkan, secara umum istilah ini

populer diartikan sebagai ‘seseorang yang dijadikan panutan’, ‘seseorang yang

mendasari karakter, pendapat, atau penilaian.’ Pendek kata, role model adalah

mereka yang dianggap sebagai sosok yang berpengaruh.

Secara harfiah, kata role model merupakan gabungan dari dua kata, yaitu

role dan model, yang kemudian membentuk makna baru. Role atau peran,

merupakan sebuah konsep yang menggolongkan seseorang dalam suatu struktur

masyarakat16

. Peran memberikan label kepada seseorang bagaimana posisinya

dalam masyarakat atau suatu lingkungan tertentu. Seseorang diakui memiliki

peran tertentu karena kemampuan yang ia miliki. Dalam masyarakat, peran

berguna untuk mengidentifikasi sesorang dalam mendapat suatu status tertentu.

Sedangkan model atau contoh memiliki kaitan erat dengan Social

Learning Theory yang digagas oleh Albert Bandura (1971). Bandura mengatakan

sebagian besar perilaku atau kebiasaan manusia diproduksi dari hasil modeling

atau mencontoh. Proses ini dimulai dari observasi individu terhadap suatu yang

lain, sehingga lama-kelamaan timbul keinginan dan ide untuk meniru apa yang

disaksikannya tersebut. Selanjutnya, ide itu diwujudkan menjadi suatu tindakan

dan menjadi kebiasaan.

Mengenai modeling ini, Bandura mengatakan bahwa seseorang cenderung

akan mencontoh sosok yang terlihat sukses dibandingkan. Penilaian terhadap

16

Claudio Masolo, dkk. 2001. Social Roles and Their Description. Roma: Laboratory of Applied

Ontology. hal. 2

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

20

kesuksesan ini bisa jadi sangat subjektif, tergantung bagaimana ia memandang

sosok tersebut dan bagaimana sosok tersebut dicitrakan.

Teori Bandura tersebut menegaskan bahwa modeling atau mencontoh

perilaku orang lain adalah hal yang dialami oleh sebagian besar manusia. Tidak

dapat dipungkiri, seseorang pasti melakukan tindakan tersebut dalam proses

kehidupannya. Tujuannya, untuk dapat mempelajari hal-hal tertentu dari sosok

yang dijadikan sebagai panutan.

Istilah role model ini mengacu pada dua hal; yaitu konsep dari peran,

dimana individu mengidentifikasi orang lain berdasarkan posisi sosialnya, serta

konsep dari modelling, dimana seseorang berusaha mencocokkan dirinya dengan

sosok yang memiliki perilaku dan kemampuan atau keahlian yang sesuai.17

kedua

hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa: pertama, pemilihan role model biasanya

dilakukan oleh seseorang dengan mengambil sosok yang memiliki kesamaan

dengannya. Kesamaan ini bisa berupa status, hobi, kebiasaan, dan lain sebagainya.

Kedua, memperkuat pernyataan dari Social Learning Theory, dimana proses

modelling dilakukan untuk memudahkan sesorang dalam memperoleh hal baru,

skill, dan juga norma.

Sejauh ini, tidak ada rumusan konsep konstruksi role model ini secara pasti.

Gibson (2006: 702) menyebutkan dalam bukunya mengenai 4 kunci dari salah

satu studi role model yang bisa dijadikan acuan dalam menunjukkan karakteristik

role model yang dicari:

1. Individu mencari sosok role model yang dapat membantu membantu

mengembangkan mereka. sosok yang dianggap ‘positif’ berarti memiliki

karakter yang ingin dicontoh. Sedangkan sosok yang ‘negatif’, berarti

memiliki karakter yang ingin dihindari oleh individu.

2. Individu juga mencari global role model, dimana sosok yang akan

dijadikan model tersebut mampu menjadi panutan secara umum bagi

semua kalangan.

3. Individu mencari role model dengan tujuan untuk mewujudkan dirinya

sebagai sosok ideal.

17

Gibson, Loc. Cit.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

21

4. Semakin berkembangnya tingkatan kehidupan sesorang, role modelnya

pun akan berubah. Dari yang semula global, menjadi lebih spesifik lagi

sesuai dengan kebutuhannya.

Antara individu dan sosok yang dijadikan panutan ini tidak harus ada

interaksi secara langsung. Individu dapat memperoleh portopolio dari sosok

tersebut melalu observasi. Hasil dari observasi ini pada akhirnya adalah role

expectation dan self-concept definition terhadap sosok yang dijadikan model.18

Menurut American Academy of Child and Adolescent Psychiatry19

, role

model adalah konsep dimana seseorang memiliki peran sebagai contoh atau

memberikan pengaruh pada orang lain. Anak-anak akan mencari beberapa role

model untuk dijadikan panutan bagaimana ia harus bertingkah laku, membangun

hubungan, bahkan ketika mereka harus mengambil keputusan yang sulit. Role

model ini akan diambil anak-anak dari orang yang ada disekitarnya seperti orang

tua, guru, saudara dan lain sebagainya. Mereka juga dapat mengambil role model

selebritas, seperti artis, atlet, juga tokoh dalam buku. Pada prinsipnya, role model

adalah mereka yang dipercaya oleh anak-anak sebagai panutan yang bisa menjadi

contoh baginya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

American Academy of Child and Adolescent Psychiatry20

juga

menyebutkan bahwa role model yang negatif bisa memberikan pengaruh yang

buruk pula. Idealnya, role model untuk anak-anak adalah tokoh yang memiliki

kesan yang baik. Tak harus datang dari kalangan selebritas, orang-orang yang

tinggal di lingkungannya pun berpotensi sebagai sosok role model.

Namun demikian, memiliki role model dianggap sebagai suatu hal yang

penting bagi anak-anak. Role model memberikan contoh dan memperkaya

pengalaman dari anak. Menurut Karen Stephens21

, anak-anak tumbuh dengan

dipengaruhi dua faktor, yaitu genetik dan lingkungan. Lingkungan memberikan

pengaruh pada anak dalam mengatur kontrol impuls. Lingkungan media yang

18

Ibid. 19

Information sheets Facts for Family ‘Children and Role Model’. 11 September 2011 no.99.

American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. hal. 1 20

Ibid. 21

Dalam selebaran Encouraging World Build Children’s Confidence yang diterbitkan oleh

www.childcareexchange.com .

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

22

memberikan role model positif, adalah salah satu bentuk kesuksesan dalam

memperlakukan anak-anak sesuai dengan kebutuhannya.

4. Role Model dalam Rubrik Profil

Pengaruh media di dalam masyarakat memang sangat besar. Tidak hanya

dalam hal dinamika arus informasi semata, media memberikan pengaruh terhadap

kehidupan dan lingkungan masyarakat. Seluruh platform media memiliki peran

yang sangat penting pada masyarakat bagaimana mereka melihat dunia.22

Pada era

saat ini, dimana masyarakat lebih banyak menerima informasi dari media,

sedangkan media mampu membentuk pandangan seseorang terhadap realitas.23

Para peneliti sejak beberapa dekade lalu telah merumuskan berbagai teori

tentang bagaimana media mempengaruhi cara bertindak dan berpikir, serta

bagaimana ia mengkonstruksi realitas dari masyarakat.24

Social Learning Theory

yang digagas Albert Bandura mengungkapkan bagaimana invidu dalam

mengkonsumsi media akan mempelajari komponen kebiasaan yang ditampilkan.

Individu dipercaya mampu mengekstrak informasi dari sajian verbal dan non-

verbal media dan merepresentasikannya dalam memori.25

Secara umum, televisi

memiliki tingkat yang lebih rendah dalam invested mental effort26

(Harris, 2009:

46) dari individu. Namun demikian, media cetak memiliki keunggulan sebagai

media pertama yang beredar di masyarakat terbukti telah memiliki efektivitas

yang tinggi dalam memberikan pengaruh terhadap psikologis individu.

Meniru dan mengubah pandangan merupakan salah satu efek dari

konsumsi media. Besarnya pengaruh media ini tergantung pada tingkatan usia

seseorang karena berkaitan dengan kemampuan literasi (Harris, 2009:46). Ini

22

Richard West. 2010. Introducing Communication Theory. New York: McGraw Hill. hal. 379. 23

Ibid. 24

Richard Jackson Harris. 2009. A Cognitive Psychology of Mass Communication. New York:

Routledge. hal. 63 25

Ibid, hal 46. 26

Amount of Invested Mental Effort (AIME) digagas oleh Salomon (1983) didefinikan sebagai

‘the number of non-automatic elaborations (Elaboration) applied to a unit of material.’ Elaborasi

membantu pemindahan informasi dari jarak memori jangka pendek ke memori jangka panjang

dengan menciptakan gabungan dan hubungan antara informasi baru dengan apa yang telah

diketahui. (http://www.springerreference.com/docs/html/chapterdbid/319738.html)

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

23

adalah fakta yang cukup mengerikan dimana saat ini anak-anak telah menjadi

konsumen media pula. Sedangkan media dikendalikan oleh profit yang membuat

mereka bertindak ‘anything goes’ demi menghasilkan keuntungan.27

Menarik

audiens anak adalah cara mudah, mengingat anak-anak cenderung mudah pula

untuk dipikat perhatiannya. Media bertindak seolah menjadi role model bagi anak-

anak dan berusaha mempengaruhi pikiran, kebiasaan, serta nilai-nilai anak. Hal ini

disajikan seluruh platform media dalam berbagai bentuk konten.

Personel media seperti aktor, pemusik, karakter kartun dan lain sebagainya

adalah komponen dalam membentuk mindset dari audiens, terutama dalam hal ini

adalah anak-anak.28

Tokoh-tokoh ditampilkan dalam berbagai jenis konten,

memungkinkan anak-anak untuk mengkonsumsi sebebas-bebasnya. Ekspos media

terhadap tokoh-tokoh yang dianggap mampu memikat dan memiliki daya tarik

bagi audiens akan ditampilkan. Tidak lepas dari keinginan untuk menarik semakin

banyak audiens agar menikmatinya medianya.

Salah satu konten yang ada pada media cetak dan memiliki tujuan untuk

mengekspos tokoh-tokoh tertentu adalah Profil. Profil adalah sebuah artikel

pendek yang memberikan deskripsi mengenai seseorang. Profil memiliki arti yang

kurang lebih sama dengan biografi dan daftar riwayat hidup.29

Namun

penggunaan dari ketiga kata tersebut berbeda. makna kata profil dipersempit

sehingga lazim ditemui dalam konten media. Disamping itu, untuk biografi

biasanya memiliki struktur yang lebih lengkap, dan panjang yang menceritakan

secara keseluruhan. Sedangkan profil hanya sebagian kecil saja dari kehidupan

tokoh.

Setiap terbitan cetak yang diluncurkan mingguan atau bahkan bulanan,

banyak yang dilengkapi dengan rubrik profil. Nama rubrik pun beragam, namun

pada intinya yang dibahas adalah tokoh yang sesuai dengan visi dari terbitan

27

StudyMode.com. Media Role Models and the Effect on Children. Diarsipkan di

http://www.studymode.com/essays/Media-Role-Models-And-The-Effect-87393.html. Diakses

pada 19 Agustus 2014. 28

Ibid. 29

Tesaurus Indonesia. 2008. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. hal. 387.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

24

tersebut. Majalah karir misalnya, tentu akan mengulas mereka yang sukses atau

berprestasi di bidang pekerjaan tertentu.

Rubrik Profil merupakan rubrik yang membahas mengenai biografi singkat

dari tokoh yang diulas. Model pengemasannya pun beragam, dalam format narasi

atau paragraf yang terdiri dari tanya-jawab reporter dengan tokoh. Sedikit berbeda

dengan biografi, profil disajikan dengan lebih singkat dan cenderung hanya

membahas pokok kejadian tertentu, bukan secara keseluruhan dari kehidupan

tokoh. Tujuan dari rubrik ini biasanya adalah untuk memotivasi pembaca agar

mampu meraih kesuksesan seperti tokoh yang sedang dibicarakan.

Eksistensi rubrik profil ini juga bisa ditemukan di majalah anak. Setiap

terbitan dari produk cetak untuk anak-anak ini selalu dilengkapi dengan rubrik

profil. Tentu saja, dengan tujuan yang sama yaitu menginformasikan pada

pembaca mengenai prestasi dan kesuksesan yang telah diraih oleh tokoh.

Pemilihan tokoh pun disesuaikan dengan pembaca anak. dengan format penyajian

yang ringan dan disisipi kalimat motivasi. Pada majalah anak, rubrik profil ini

tidak sekedar menjadi sarana informasi semata. Namun tokoh juga menjadi

panutan dan cerminan bagi pembaca.

Membaca profil atau biografi membantu anak memelajari hal-hal yang

berharga dari pengalaman orang lain30

. Bagaimana tokoh mencapai kesuksesan,

atau bahkan berusaha menghadapi kesulitan. Anak akan mencontoh dan

menjadikan tokoh yang dinilai sukses tersebut sebagai role model dalam meraih

kesuksesan yang sama.

Bagian pemilihan role model bagi anak, di era serba media ini menjadi

suatu tantangan bagaimana media menyediakan konten yang positif, sehingga jika

anak-anak menjadikan tokoh dalam media sebagai role model, tidak akan

menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif ini bisa muncul apabila anak-anak

mengambil role model yang salah, dikarenakan ketidakmampuannya dalam

melakukan seleksi antara yang baik dan yang buruk.

30

Sam Blumenfed. 2006. The Benefit of Reading Biographies. Diarsipkan di http://www.home-

school.com/articles/the-benefits-of-reading-biographies.php. Diakses pada 10 Mei 2014.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

25

Rubrik profil sebagai salah satu konten media yang membawa misi untuk

memberikan informasi pada anak siapa saja yang pantas dijadikan contoh, harus

sangat berhati-hati. Pada tahun 1999, Eminem yang awalnya di blow up oleh

media sebagai salah satu role model, mulai mendapat kecaman (Gauntlett: 2008).

Kecaman ini datang dari jurnalis, politisi, dan orang tua di United Kingdom

dikarenakan perilaku menyimpang dari rapper yang terlibat dengan kasus obat-

obatan terlarang tersebut. Eminem yang semula dianggap sebagai role model,

karena dikatakan berani melawan kultur yang mainstream, mulai dianggap

sebagai pembawa pengaruh buruk bagi anak-anak. Pada Juli 2001, House of

Congress Telecomunications Subcommittee di Amerika Serikat menetapkan

bahwa lirik dari lagu-lagu Eminem memiliki makna yang buruk dan tidak pantas

dinikmati oleh anak-anak dan remaja. Kasus tersebut menjelaskan bahwa role

model memiliki peran yang sangat penting, sehingga segala hal yang

dilakukannya sebisa mungkin tidak akan menimbulkan efek negatif, bahkan dari

lirik lagu yang dibawakan.

Mengidolakan public figure yang banyak di ekspos media membuat anak

menganggap bahwa perilaku dari role model yang negatif tersebut adalah suatu

yang wajar, boleh dilakukan, dan tidak yang dilarang oleh siapa pun. Disinilah

media selaku pembentuk dari para public figure, memiliki peran penting tentang

bagaimana anak memilih panutan dalam kehidupannya.

Pelarangan kepada media menampilkan public figure yang negatif ini erat

kaitannya dengan daya imitasi anak terhadap sosok yang diidolakan. Media

membentuk pola pikir dan tindakan yang membangun identitas serta karakter

anak. dikarenakan anak cenderung menganggap semua yang ditampilkan media

adalah benar, menampilkan sosok yang memiliki identitas negatif akan

membangun identitas negatif pula pada anak.

Konstruksi identitas pada anak yang dipengaruhi oleh media, diperkuat

dengan adanya konsep role model. David Gauntlett (2008) dari hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa media memberikan pandangan pada masyarakat mengenai

gender, hubungan, dan ways of living. Ketika seorang individu tumbuh dan

berkembang, mereka yang semula hanya melihat dari pandangan tradisional

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

26

disekitarnya, mulai mencari panutan baru. Gagasan ini dicetuskan pertama kali

oleh Antony Giddens yang dikenal sebagai teori strukturasi.

Teori strukturasi mencoba mencari pertautan setelah terjadi pertentangan

tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens

percaya bahwa identitas individu terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang

dipengaruhi oleh lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Pada masayarakat

modern, lingkungan berkembang bukan sekedar tempat dimana ia hidup, media

pun merupakan bagian dari lingkungan. Ketika seseorang tumbuh, ia akan

mengalami perubahan dalam perilaku dan pemikirannya untuk membentuk self

identity.

Istilah identity atau identitas banyak digunakan oleh masyarakat dalam

keseharian. Huntemann dan Morgan (dalam Calvert, 2001: 67) menyebutkan

identitas adalah sesuatu yang melekat pada individu. Identitas ini lahir dari

interaksi sosial dengan orang tua, teman, pemerintah, media, lingkungan dan lain

sebagainya. Semuanya memengaruhi konstruksi identitas pada seseorang.

Pada media, konstruksi identitas ini memang tidak secara langsung

memengaruhi individu. Namun, dari konsumsi yang terus menerus lama kelamaan

media memberikan efek yang signifikan terhadap identitas dari seseorang. Pada

beberapa tahun awal pertumbuhan, anak-anak akan mengenal orang tua mereka

sebagai role model atau panutan. Selanjutnya, perkembangan identitas membuat

mereka mulai melihat orang lain diluar keluarga. Perkembangan identitas ini tidak

berlangsung secara konstan. Pengalaman dan informasi yang diterima individu

menjadi faktor pembentukan identitas.

Disinilah letak urgensi penyajian rubrik profil pada media-media anak.

Media sebagai penyedia informasi menyajikan sosok melalui konten medianya.

Role model adalah salah satu komponen dalam pembentukan identitas. Dimana

seseorang memiliki sosok panutan yang menjadi contoh bagi dirinya dalam

bertingkah laku. Setting media dalam menjadikan seseorang sebagai public figure

dan role model, mengambil peran penting dalam pembentukan identitas dan

karakter dari anak. Idealnya, media hanya menampilkan tokoh yang benar-benar

sesuai, tidak hanya mengikuti tren tanpa mengindahkan efek kedepannya, seperti

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

27

pada kasus Eminem. Karena, media mengkonstruksi identitas audiensnya menjadi

sesuai dengan apa yang disajikan melalui konten-konten yang diberikan.

Penyajian role model dalam media cetak ini memang memiliki sifat yang

cenderung persuasif, dimana audiens diberi terpaan informasi ‘kehebatan’ tokoh

yang diulas. Meskipun sifatnya hanya sebatas informasi, namun dapat

memberikan impact yang cukup besar terhadap pola pikir dan perilaku individu.

F. Kerangka Konsep

1. Majalah Anak

Definisi majalah menurut Djafar Assegaf (1983: 127) adalah sebuah

publikasi atau terbitan secara berkala yang memuat artikel-artikel dari berbagai

penulis. Terbitan yang kemudian dikenal sebagai majalah ini diklasifikasikan

menurut jenis dan sasaran audiensnya yang beragam. Salah satunya adalah

majalah anak.

Majalah anak merupakan bentuk majalah khusus untuk dunia anak-anak

(Assegaf, 1983: 127). Jenis majalah ini memang spesifik hanya ditujukan untuk

anak-anak yang berada di usia pra akil-balikh (Junaedhie, 1995: 120) atau

dibawah usia 13 tahun sebelum menginjak masa pubertas.

Majalah anak pun masih digolongkan dalam berbagai usia, menurut

konten yang disampaikan. Disamping itu, saat ini bermunculan majalah anak yang

ditujukan untuk gender tertentu. Seperti Majalah Anak Cars untuk anak laki-laki,

dan Princess untuk anak perempuan. Selain itu, majalah anak yang memang

ditujukan untuk semua gender pun ada. Dimana konten yang disajikan tidak

terbatas hanya bisa dinikmati oleh gender tertentu karena sifatnya yang general.

Secara umum, informasi dalam majalah anak memiliki dua sifat, yaitu

edukatif dan menghibur. Informasi edukasi disampaikan melalui wawasan dan

pengetahuan, sampai dengan latihan soal dan prakarya. Sedangkan informasi

hiburan disampaikan dalam berbagai ragam yang bertujuan untuk memberikan

nilai rekreasi bagi anak-anak melalui bahan bacaan.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

28

Kendati demikian, majalah anak hendaknya tetap memenuhi kriteria

sebagai media untuk anak. Menyimpulkan dari istilah anak sebagai ‘audiens

spesial’ milik James Potter (2013: 55), setidaknya media anak termasuk majalah,

mampu memenuhi aspek kebutuhan anak.

Berdasarkan kriteria yang disebutkan Potter mengenai alasan kondisi anak

yang menjadikan mereka sebagai audiens spesial, majalah anak seharusnya

memiliki beberapa kriteria penting dalam menyajikan informasi. Pertama, bersifat

edukatif. Media anak harus mampu menjadi sarana pembelajaran yang sesuai

dengan kurikulum dan didaktik metode. Dengan memerhatikan prinsip pedagogis

dalam memberikan pendidikan yang tepat untuk anak. Pendidikan ini tidak harus

dikemas dalam bentuk pelajaran. Informasi wawasan umum, pelatihan skill, dan

lain sebagainya bisa dikatakan sebagai edukasi.

Kedua, dari segi teknis. Sarana pendidikan dan pembelajaran yang

disampaikan harus memiliki dampak positif dan sesuai dengan kebutuhan anak.

Hal ini dikarenakan anak cenderung menerima semua isi media dan

menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Dengan demikian, tugas media lah yang

menyaring konten agar memang layak dikonsumsi oleh anak. Totalitas,

menyajikan media anak berarti juga harus menerima konsekuensi tanggung jawab

sebagai penyedia informasi yang sesuai.

Ketiga yaitu estetika. Sarana pembelajaran harus memiliki syarat estetis.

Estetis disini berarti konten yang disampaikan dengan memerhatikan moral dan

kondisi sosial dari berlaku di lingkungan sekitar. Pesan yang disampaikan harus

tertata dengan baik, sehingga tidak menimbulkan multitafsir yang bisa berdampak

negatif bagi pertumbuhan anak.

2. Role Model

Merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh David Gauntlett

(2002:159), istilah role model diartikan sebagai ‘someone to look up to’ atau

seseorang yang dijadikan panutan . Tak hanya terjadi pada usia tertentu, role

modelling dilakukan oleh berbagai jenis usia. Panutan disini merupakan

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

29

bagaimana sesorang menjadikan seseorang sebagai contoh dan kecenderungan

untuk mengikuti jejak dari orang tersebut.

Menurut Gibson (2006: 701), role model membantu seseorang dalam

membentuk identitas dengan cara menjadikan orang lain sebagai panutan bagi

dirinya dalam berperilaku dan menghadapi sesuatu. Dengan kata lain, role model

menjadi salah satu faktor individu dalam memperoleh identitasnya. Identitas

merupakan ciri yang melekat pada individu yang dapat selalu berubah dan

dimodifikasi secara mandiri dari waktu ke waktu (Gauntlett, 2002:176). Sama

halnya dengan role model. Pada tahap awal pertumbuhan seorang individu akan

menjadikan orang tua atau orang lain dalam anggota keluar sebagai panutan.

Selanjutnya, ia akan semakin mengenal lingkungan sehingga sosok role model

berkembang tidak hanya dari lingkup keluarga saja.

Bagaimana penggunaan media bisa membentuk identitas seseorang pada

masyarakat modern seperti saat ini, dijelaskan oleh David Gauntlett dalam

bukunya Media Gender and Identity (2002). Ia menggambarkan bagaimana media

merepresentasikan sesorang dalam media sebagai sosok ideal, sehingga

pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai identitas akan berkaca pada sosok

tersebut. Fenomena menjadikan contoh sebagai sosok ideal yang pantas dicontoh

adalah salah satu bentuk media dalam mengkonstruksi identitas melalui sajian

role model.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Gauntlett, ia mengklasifikasikan

role model ke dalam enam bagian. Berikut adalah tipe karakteristik yang

dirumuskan oleh Gauntlett (2002: 161-162):

1. The ‘straightforrward success; role model. Yaitu role model yang memiliki

kesuksesan di bidang yang ditekuninya, seperti misalnya aktor populer.

Contohnya Brad Pitt, Tony Blair, Mary Robinson.

2. The ‘triumph over difficult circumtances’ role model. Adalah mereka yang

meraih suatu prestasi setelah menghadapi berbagai kesulitan. Contohnya

Tiger Woods yang menjadi pemenang termuda setelah menghadapi

rasisme di dunia golf.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

30

3. The ‘challenging stereotypes’ role model. Misalnya seorang difabel yang

sukses di suatu pekerjaan dimana orang-orang bahkan tidak menyangka

posisi tersebut bisa diisi oleh orang yang tidak normal secara fisik. Tipe ini

memiliki hubungan dengan tipe yang kedua karena bagian melawan

stereotipe tergolong halangan atau kesulitan.

4. The ‘wholesome’ role model. Tipe ini adalah tipe role model yang membuat

orang tua merasa aman untuk menunjukkan pada anak-anak. Yaitu sosok

yang memiliki citra baik dalam setiap aspek sehingga layak dijadikan role

model.

5. The ‘outsider’ role model. Adalah mereka ditolak oleh kultur mainstream

dan menolak untuk takluk kepada ekspektasi sosial yang konvensional.

Seperti Eminem, yang melawan kultur mainstream citra rapper berkulit

hitam.

6. The family role model. Yaitu role model yang berasal dari keluarga sendiri,

atau selebritas atau tokoh yang memiliki figur orang tua. Seperti misalnya

David Beckham dan Victoria Adams.

Penyajian informasi media yang menyajikan sosok berdasarkan kriteria

diatas, akan memengaruhi audiens, khususnya anak-anak yang masih belum

memasuki tahap kedewasaan. Media menyajikan informasi mengenai tokoh

tertentu yang merepresentasikan sosok ideal untuk dijadikan panutan dalam

memperoleh identitas. Dimana anak-anak cenderung mempercayai semua yang

dikatakan oleh media adalah benar karena ketidakmampuannya dalam memilah.

Penyampaian role model melalui media ini memiliki sifat persuasif, yang

pada awalnya menumbuhkan kekaguman audiens kepada tokoh yang diulas.

Selanjutnya, kekaguman ini berlanjut kepada keinginan untuk mencontoh tokoh

dari berbagai segi, baik sikap maupun prestasinya. Disinilah praktek role

modelling pada anak melalui media bermula.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

31

3. Selebritas Dewasa

Menurut KBBI, selebritas diartikan sebagai pesohor atau orang yang

terkenal31

. Makna sebenarnya dari kata ini menggolongkan semua orang yang

terkenal sebagai selebritas, tanpa terbatas profesi yang ditekuni. Dengan logika

demikian, maka politikus terkenal pun akan tergolong sebagai selebritas.

Dalam perkembangannya, kata ini mengalami penyempitan makna di

masyarakat. Publik memahami selebritas sebagai aktris, aktor, penyanyi, atau

siapapun yang sering tampil di depan layar kaca atau di berbagai media lain.

Sebagai contoh, maraknya orang yang mengatasnamakan diri sebagai ahli agama

dan muncul di layar televisi kemudian disebut sebagai Ustadz, juga digolongkan

sebagai selebritas.

Makna kata selebritas memang sangat luas, maka perlu diperjelas dengan

keterangan tertentu untuk menunjuk pada suatu profesi. Misalnya selebritas

olahraga, maka merujuk pada atlet pesohor yang biasanya dikenal karena meraih

banyak penghargaan. Demikian pula pada dunia hiburan. Sekalipun selama ini

banyak yang memahami selebritas sebagai mereka yang berkecimpung di dunia

hiburan, namun imbuhan keterangan berfungsi untuk memperjelas istilah yang

dimaksud. Yaitu mereka yang berkecimpung aktivitas yang sifatnya menghibur

dan sangat beragam, baik dari segi jenis hiburannya maupun jenis media yang

dijadikan sarana sehingga dikenal oleh masyarakat.

Istilah selebritas ini tidak terbatas pada usia tertentu. Semakin

berkembangnya waktu, bukan hanya orang dewasa saja yang memiliki potensi

untuk menjadi dikenal secara luas, namun juga anak-anak. Merujuk pada Undang-

Undang Perlindungan Anak no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1

ayat (1), anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Artinya, usia dewasa adalah mereka

yang berusia diatas 18 tahun.

31

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

hal. 1366.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

32

Dewasa atau adult berasal dari Bahasa Latin adolescere, yang juga

merupakan asal kata dari adolescence atau remaja.32

Masa dewasa ini ditandai

dengan kematangan dari cara berpikir dan kepribadian. Pada penelitian ini istilah

dewasa difokuskan pada mereka yang sudah tidak lagi berada di usia kanak-

kanak. Merujuk pada aturan hukum mengenai pengadilan anak, dimana anak bisa

dimintai pertanggungjawaban hukum sejak usia 12-18 tahun. Dengan alasan, usia

12 tahun dinilai secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan

intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia.33

Artinya, selepas dari usia anak, kematangan dari segi psikis mulai terbentuk,

meskipun masih dalam masa transisi yang disebut remaja. Namun dalam

penelitian ini pemaknaan ‘selebritas dewasa’ dipersempit menjadi mereka yang

meramaikan dunia hiburan dewasa namun yang sudah tidak lagi tergolong usia

anak-anak yakni 0-12 tahun. Selain itu, selama beberapa tahun terakhir, media

banyak menampilkan selebritas remaja yang memiliki peran sama dengan

selebritas yang sudah berada di usia dewasa.

Platform media yang melambungkan nama mereka pun beragam. Dengan

tingginya tingkat penggunaan internet seperti pada era saat ini, media sosial kini

bisa menjadi sarana dalam mengorbitkan nama seseorang. Dunia hiburan tidak

lagi terbatas pada mereka yang bermula dari layar kaca, namun juga dari media

lain yang kemudian di blow up oleh seluruh platform media.

4. Wacana

Teori wacana Michel Foucault menyatakan bahwa wacana adalah suatu

bentuk praktek sosial yang merupakan ‘sesuatu yang memproduksi yang lain’

(Eriyanto, 2012: 65). Wacana dibentuk oleh ideologi yang terkandung dalam

suatu tindakan komunikasi, seperti dalam tutur kata, teks, pidato, lagu dan lain

sebagainya. Wacana ini dapat dideteksi karena secara sistematis merupakan

32

John Santrock, dalam Psikologi Zone. 2009. Fase-fase Perkembangan Manusia. Dirilis 22

Desember 2009. Diarsipkan di http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-

manusia/06511465. Diakses pada 20 September 2014. 33

Hukum Online. 2011. Batas Usia Anak Dipidana Naik. Dirilis pada 25 Februari 2011.

Diarsipkan di http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d669dccee142/batas-usia-anak-dapat-

dipidana-naik. Diakses pada 20 September 2014.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

33

gagasan, konsep, pandangan yang dibentuk pada suatu konteks tertentu sehingga

mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.

Menggambarkan wacana sebagai suatu bentuk praktek sosial

menyebabkan adanya keterkaitan dengan kekuasaan, situasi, dan kondisi

lingkungan tertentu yang mendasari wacana tersebut lahir. Michael Kalberg34

mengatakan wacana tidak lepas dari apa yang disebut sebagai power, atau

kekuatan. Kekuatan ini dimaknai sebagai pengendali bagaimana wacana tersebut

ditampilkan.

Wacana tidak tersirat secara ekplisit dalam pesan yang disampaikan

melalui lisan maupun tulisan. Namun ia bisa dipelajari melalui pemahaman

terhadap bahasa yang disampaikan. Wacana memiliki kekuatan untuk

menganggap berbagai fenomena terdengar seperti suatu hal yang lumrah. Praktek

wacana ini tanpa disadari telah membentuk pola pikir masyarakat agar sesuai

dengan kehendak kekuatan tertentu.

Kekuatan bahasa dalam praktik wacana ini dijelaskan Norman Fairclough

dalam bukunya Language and Power (1996). Ia melihat bagaimana penempatan

dan fungsi bahasa berperan dalam kekuatan dominan dan ideologi. Bahasa mampu

menjadi gambaran proses perubahan sosial masyarakat pada masa kini. Ia

berpendapat bahwa wacana merupakan suatu bentuk praktik sosial yang ada si

masyarakat.

Dalam kaitannya dengan media, media adalah medium penyampai

informasi yang erat hubungannya dengan praktik kebahasaan. Dimana

didalamnya, tersimpan wacana yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu.

G. Metodologi Penelitian

34

Dalam The Power Of Discourse And The Discourse Of Power: Pursuing Peace Through

Discourse Intervention. Volume 10, No.1, Spring/Summer 2005. International Journal Of Peace

Studies. hal. 1.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

34

1. Objek Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah salah satu majalah anak yang dikenal oleh

masyarakat Indonesia sejak puluhan tahun lalu bernama Bobo. Majalah Bobo

merupakan majalah anak yang awalnya hanyalah pengisi rubrik anak-anak di

Harian Kompas. Rubrik itu pertama kali terbit pada 14 April 1973. Oleh pendiri

Kompas, PK Ojong bersama Jakob Utama, rubrik tersebut mulai dikembangkan

menjadi majalah anak-anak. Para pengasuh halaman anak-anak Kompas, bekerja

sama dengan Majalah Bobo Belanda kemudian membuat Majalah Bobo

Indonesia. Majalah ini bernaung dibawah perusahaan Kompas Gramedia dan

menjadi satu dari sekian banyak produksi majalah yang dilakukan oleh

perusahaan ini.

Alasan dipilihnya Majalah Bobo sebagai objek penelitian dikarenakan

majalah ini terbilang cukup tua, dan sangat dikenal oleh masyarakat. Terbukti

dengan diraihnya penghargaan Brand Award sebanyak lima kali35

sejak tahun

2008 dalam kategori majalah anak oleh Majalah Bobo. Majalah ini juga memiliki

tiras dengan capaian tertinggi 385.000 eksemplar. Setiap kali terbit, 90 persennya

habis terjual.36

Artinya, popularitas majalah anak ini masih tinggi, sehingga layak

untuk dijadikan sebagai objek penelitian karena banyak dikonsumsi oleh

masyarakat.

Roy Watimena37

, penanggung jawab distribusi Majalah Bobo sejak awal

terbit, mengatakan bahwa sejak awal Bobo sudah mendulang sukses. Permintaan

dari agen terus meningkat. Agaknya, hingga saat ini kesuksesan masih tetap

bertahan. Bobo juga menyandang predikat sebagai Majalah Anak pertama yang

berwarna serta perintis bonus sisipan berupa mainan dan stiker. Inilah yang

menjadikan Bobo menarik dan layak untuk diteliti, mengingat posisinya sebagai

majalah anak legendaris yang masih bertahan hingga saat ini.

Konten di majalah Bobo terdiri dari fiksi dan non fiksi. Rubrik fiksi

disajikan dalam bentuk dongeng, cerita pendek, dan cerita bergambar. Sedangkan

35

Informasi diakses melalui situs www.topbrand-award.com, pada tanggal 24 Maret 2014. 36

Subandy, Op. Cit., hal. 3. 37

Junaedhie, Op. Cit., hal. 124.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

35

rubrik-rubrik non fiksi cenderung informatif dan edukatif. Dengan konten yang

berisi pengetahuan umum, teknologi, sosial, sains, dan lain sebagainya.

Rubrik yang menjadi fokus penelitian adalah rubrik Profil. Rubrik yang

disajikan dalam dua atau satu halaman dan dilengkapi gambar ini menampilkan

biografi serta kisah hidup seseorang yang memiliki prestasi tertentu. Bobo

menampilkan profil anak-anak dengan prestasi tertentu, atau selebritas anak yang

menjadi presenter acara anak, atau penyanyi lagu anak. Profil tokoh dewasa juga

ditampilkan, seperti pencipta lagu, ilmuwan, atau orang dengan profesi tertentu

yang menarik untuk diulas.

Sejak dunia hiburan anak gaungnya semakin jarang terdengar pada tahun

2000-an, frekuensi Bobo dalam menampilkan profil artis cilik yang diadakan

sejak tahun 1996, mulai berkurang drastis. Tahun 2000 adalah tahun dimana artis

cilik semakin jarang terlihat di media, terutama penyanyi cilik. Terakhir adalah

Tasya yang merilis album anak terakhir pada tahun 2005. Setelah itu, dunia musik

anak terdapat vakum yang cukup lama terjadi sampai dengan tahun 2009. Antara

tahun 2005-2009 sempat muncul beberapa penyanyi cilik, namun mereka

menghilang begitu saja tanpa sempat muncul di media, sehingga eksistensinya

tidak dikenal masyarakat. Kondisi ini tentu sangat jauh berbeda dibandingkan

pada dekade sebelumnya, dimana media ramai mengangkat selebritas cilik,

terutama dari dunia musik.

Bobo pun, semakin lama semakin sering menampilkan profil selebritas

yang meramaikan dunia hiburan dewasa, seperti Irwansyah, Gita Gutawa dan lain

sebagainya yang mulai booming di tahun 2007. Memasuki tahun 2010, Bobo

mulai menampilkan artis mancanegara dari Korea Selatan yang sedang banyak

dibicarakan di berbagai media. Kemudian di tahun 2011, mulai ditampilkan

pendatang baru di dunia mulai bermunculan mengikuti hallyu wave yang juga

merambah ke Indonesia. Beberapa nama mulai sering terdengar di berbagai

media, seperti Smash, Cherry Belle, Seven Icon, Coboy Junior, grup penyanyi

Korea Selatan, dan masih banyak lagi. Nama-nama penyanyi yang tergabung

dalam grup tersebut merupakan penyanyi yang membawakan lagu-lagu berlirik

dewasa. Sekalipun Coboy Junior yang pada awal kemunculannya salah satu

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

36

anggotanya masih dalam usia anak, 11 tahun. Namun lagu-lagu yang dibawakan

mengandung lirik dewasa, menceritakan tentang dunia percintaan. Hal ini

menimbulkan tanda tanya besar bagaimana Bobo berusaha mengemas informasi

dalam rubrik Profilnya tentang selebritas dewasa, yang sebenarnya tidak sesuai

dengan usia anak.

Penelitian akan difokuskan pada bagaimana role model disampaikan di

rubrik Profil pada edisi tahun 2005 dan 2013. Edisi yang diambil adalah edisi

yang memuat selebritas dewasa di dunia hiburan dalam rubrik Profil.

2. Teknik Analisis Data Model Fairclough

Analisis wacana kritis memiliki beberapa pendekatan yang digagas oleh

para ahli. Salah satu pendekatan yang bertujuan mengkaji maksud-maksud yang

ada dalam bahasa digagas oleh Teun Van Dijk. Analisis wacana dengan

menggunakan pendekatan tersebut dikenal sebagai kognisi sosial. Pendekatan ini

menilai bahwa wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata,

karena teks hanya hasil dari praktik produksi suatu pesan yang dilakukan oleh

seseorang atau kelompok tertentu.

Pendekatan yang dilakukan oleh Van Dijk tersebut kemudian

dikembangkan oleh Norman Fairclough. Fairclough mengkombinasikan tradisi

analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Bahasa dianggap

sebagai perwujudan dari teks dilihat sebagai proses dialektika dengan struktur

sosial masyarakat. Analisis akan dipusatkan pada bagaimana bahasa terbentuk dan

dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu yang memengaruhinya.

Perbedaan yang paling mendasar antara analisis wacana model Van Dijk

dengan Fairclough terletak pada penekanan pada analisisnya. Van Dijk lebih

menekankan pada kognisi sosial individu yang memproduksi pesan tersebut.

Sedangkan Fairclough menekankan pada proses produksi teks, pola kerja dan

rutinitas yang biasa dilakukan oleh individu yang menghasilkan pesan tersebut.

Namun pada dasarnya, keduanya menekankan analisis wacana berdasarkan

konteks sosial.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

37

Pendekatan yang dilakukan oleh Van Dijk tersebut diteruskan serta

dikembangkan oleh Fairclough. Fairclough melihat praktik wacana bisa jadi

menampilkan efek ideologis. Wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan

yang tidak imbang. Disinilah ideologi dari kekuasaan tersebut dicerminkan dalam

produksi suatu wacana yang biasanya dilakukan oleh media. Fairclough

berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan

kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing,

disebabkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu.

Penerapan dari pendekatan Fairclough ini dilakukan dalam tiga tahapan

dalam menganilis rubrik Profil Majalah Bobo. Pertama, setiap teks memiliki tiga

fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Berkaitan dengan bagaimana

Majalah Bobo menyajikan kembali fakta yang ada di lapangan melalui pesan

dalam rubrik Profil. Kedua, cara redaksi Majalah Bobo memproduksi suatu teks.

Bagaimana sikap kerjanya, karakter individunya, serta pengaruh pola kerja yang

diterapkan oleh Kompas Gramedia bagian Divisi Majalah. Hal-hal tersebut

berpengaruh pada bagaimana suatu teks dapat dihasilkan. Ketiga, menganalisis

tiga hal yaitu ekonomi, politik dan budaya. Dalam hal ini, analisis berfokus pada

kekuasaan, ideologi, nilai dan identitas yang memengaruhi produksi pesan di

rubrik Profil Majalah bobo.

Penerapan analisis wacana kritis model Fairclough pada rubrik Profil di

Majalah Bobo ini akan dilakukan dengan meneliti melalui tiga aspek:

a. Teks

Mengkaji dari sisi teks, dengan memahami konten secara keseluruhan.

Dari perkembangan, hingga tone rubrik Profil di Majalah Bobo.

b. Ruang Redaksi

Mengkaji perspektif media, yaitu pihak Majalah Bobo, sebagai pelaku

dalam proses produksi pesan. Alasan mengapa rubrik Profil disajikan

dalam bentuk seperti saat ini.

c. Sosial, Politik, dan Budaya

Bagaimana sosial, politik, budaya yang ada memberikan pengaruh

terhadap proses produksi pesan pada rubrik Profil di Majalah Bobo.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

38

Teks dalam rubrik Profil disajikan dalam dua jenis. Pertama, terdiri dari

paragraf tanya-jawab. Kedua, berupa ulasan berbentu paragraf yang

dikelompokkan dengan dengan sub-bab tertentu. Kedua jenis tersebut merupakan

penulisan ulang dari data yang didapatkan selama reportase. Reportase ini dapat

berupa penelusuran melalui berbagai situs, seperti pada profil selebritas

mancangera, atau melalui wawancara dengan narasumber terkait secara langsung.

Untuk memahami suatu teks atau wacana kita tak dapat melepaskan dari

konteksnya. Menemukan realitas di balik teks perlu dilakukan penelusuran atas

konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang

mempengaruhi pembuatan teks.

Dalam penelitian ini langkah yang perlu diambil adalah dengan meneliti

dari segi teks, intertekstualitas, discourse practice, dan sociocultural practice.

Penelitian dilakukan dengan analisis terhadap teks, penelusuran, indepth interview

kepada pihak Majalah Bobo, audiens dan pemerhati media, serta studi pustaka.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan

beberapa metode. Pertama, analisis dokumen. Dokumen yang akan diteliti adalah

edisi yang diterbitkan pada tahun 2005 dan 2013. Alasan diambilnya sampel dari

terbitan pada tahun 2005 adalah dikarenakan pada tahun tersebut musik anak,

yang sebelumnya mengambil porsi cukup besar di dunia hiburan anak, terakhir

ada sebelum mengalami vakum selama kurang lebih 4 tahun. Kendati beberapa

penyanyi anak muncul dan merilis album, namun tidak ada media yang

mengeksposnya. Pada tahun tersebut adalah Tasya yang terakhir merilis album

anak, yang kemudian tidak ada lagi penerusnya sampai dengan tahun 2009.

Padahal musik anak ini memiliki andil yang besar dalam menyemarakkan hiburan

anak. Yang tentu memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap media anak

khususnya Bobo. Nama-nama seperti Gitarani, Kevin Susanto, dan Melson Vityn

memang sempat merilis album dalam rentang tahun 2005-2009, namun tidak

banyak media yang mengeksposnya. Sehingga, masyarakat pun menjadi tidak

mengenal mereka. Disamping itu, Majalah Bobo juga memiliki kecenderungan

hanya menampilkan sosok selebritas yang sudah banyak dikenal, sehingga mereka

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

39

tidak banyak mengekspos nama-nama tidak terkenal untuk dimasukkan dalam

kontennya.

Sedangkan edisi tahun 2013 dipilih untuk mengamati perkembangan serta

perubahan pada Rubrik Profil di Majalah Bobo selama satu tahun terakhir. Tahun

2013 dinilai tepat karena merupakan perkembangan terakhir sebelum penelitian

ini dilaksanakan tahun 2014. Dalam kedua tahun tersebut, akan diambil edisi yang

memuat profil selebritas dewasa di dunia hiburan. Hal ini dikarenakan penelitian

ini berangkat dari kepedulian terhadap figur dalam dunia hiburan anak yang mulai

terkikis sejak memasuki era 2000, dan ditandai dengan tahun 2005 yang menjadi

akhir dari gaung musik anak sebelum mengalami vakum selama beberapa tahun.

Yang mana kemunculan mereka kemudian digantikan oleh selebritas dewasa.

Maka penelitian akan difokuskan pada bagaimana Majalah Bobo membangun

wacana role model melalui sosok selebritas dewasa dari dunia hiburan Indonesia.

Selebritas dewasa yang diambil adalah yang berada diatas usia 12 tahun,

dimana mereka mulai memasuki usia puberitas ataupun remaja. Usia tersebut

biasanya memasuki fase dimana kehidupan layaknya orang dewasa mulai terjadi,

yang mana hal tersebut akan diindetikkan dengan skandal selebritas.

Disamping itu dilakukan pula analisis data dari sumber-sumber yang

relevan terhadap penelitian. Menurut Deddy Mulyana (2010), dokumen dapat

mengungkapkan bagaimana objek penelitian mendefinisikan dan mendeskripsikan

kondisinya sendiri.

Kedua, dengan wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara

dilakukan kepada narasumber yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan,

yaitu pihak media, pemerhati media, dan audiens. Ketiga, adalah penelusuran dan

studi pustaka. Akan dipelajari mengenai media, sejarah institusi yang melingkupi

media, serta faktor-faktor lain yang mendukung dihasilkannya teks dalam rubrik

profil.

Berikut adalah rincian pengambilan data melalui analisis dokumen,

indepth interview, penelusuran dan studi pustaka yang akan dilakukan:

Analisis dokumen : Rubrik Profil Majalah Bobo 2005 dan

2013 tentang selebritas dewasa

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

40

Indepth Interview : Kepala Penerbitan Media Anak Kompas

Gramedia (Deputy General Manager (GM)

of Children Media)

Kepala Redaksi Majalah Bobo

Editor Majalah Bobo

Reporter Majalah Bobo

Penelusuran : Artikel relevan terkait tren selebritas

Indonesia.

Teknik analisis data yang digunakan untuk meneliti wacana dalam rubrik

Profil di Majalah Bobo berdasarkan model analisis Norman Faiclough yang telah

dijelaskan oleh Eriyanto akan dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama adalah

teks. Pada tahap ini, penelitian difokuskan kepada analisis teks rubrik Profil di

Majalah Bobo dengan meliputi berbagai unsur.

Unsur pertama adalah representasi. Representasi berkaitan dengan

ditampilkannya objek pada suatu konten disajikan dalam teks, dalam hal ini

bahasa yang dipakai. Unsur ini ingin melihat bagaimana konsep role model

digambarkan dan ditampilkan dalam teks rubrik Profil Majalah Bobo, seperti

digambarkan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 1.1

Penelitian Teks dengan Unsur Representasi

No. Cara Melihat Keterangan dan Implikasi

1. Dalam anak

kalimat.

1. Pemilihan kosakata (vocab)

Melihat dari diksi yang digunakan dalam menyajikan

teks ulasan hasil wawancara dengan pihak

narasumber yang diprofilkan.

2. Tata bahasa (grammar)

Melihat bagaimana gaya bahasa yang digunakan oleh

pihak redaksi dalam menyajikan rubrik Profil dan

mewacanakan role model.

Kombinasi anak Melihat dari kalimat yang merupakan gabungan dua

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

41

kalimat atau lebih fakta. Sehingga jika digabungkan

memunculkan pemahaman baru bahwa kedua fakta

tersebut saling berkaitan.

Rangkaian anak

kalimat

Melihat penggabungan dari kalimat-kalimat. Bagian

yang menjadi sorotan, misalnya prestasi narasumber,

prestasi yang dianggap penting dan patut dicontoh

akan lebih ditonjolkan dalam rangkaian teks.

Melihat masing-

masing dari

komponen yang

menjadi dasar

terbentuknya

teks.

Melihat cara membangun relasi dengan pihak diluar

ruang redaksi yang ditampilkan dalam teks, seperti

bagaimana narasumber dicitrakan, dan bagaimana

komunikasi kepada audiens dijalin melalui teks.

Melihat

dimanakah posisi

redaksi Majalah

Bobo

menempatkan

diri.

Mengidentifikasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam

teks, sehingga ditemukan identitas media, dalam hal

ini pihak Kompas Gramedia dan Majalah Bobo,

apakah membela kelompok tertentu atau menampilkan

identitas mandiri.

Tahapan kedua adalah Intertektualitas. Suatu teks dibentuk oleh teks yang

datang sebelumnya, saling menanggapi dan mengantisipasi yang lain. Seperti pada

novel, penulis tidak hanya merepresentasikan idenya saja. Namun juga konteks

lain yang memengaruhi terbentuknya suatu teks. Pada tahap ini penelitian

dilakukan dengan menggunakan metode analisis dokumen. Dengan menggali

bagaimana Majalah Bobo melalui redaksi atau reporter mengidentifikasi dirinya

dan bagaimana narasumber diidentifikasi oleh Majalah Bobo yang tertuang dalam

Rubrik Profil.

Tabel 1.2

Penelitian Teks dengan Unsur Intertektualitas

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

42

No. Cara Melihat Keterangan dan Implikasi

1. Pertanyaan yang

diajukan media

narasumber

Melihat secara keseluruhan teks yang disajikan

dalam rubrik Profil dan menganalisis apakah

pernyataan yang sifatnya asumtif berasal dari

narasumber atau dari pihak reporter. Dari sini bisa

ditarik kesimpulan bagaimana identifikasi media

terhadap narasumber. Identifikasi ini mewakili

wacana yang diwujudkan dalam teks.

Dalam setiap edisi yang diteliti, tahapan analisis data akan merujuk pada

tipe karakteristik role model sebagai indikator dalam menentukan wacana yang

disajikan dalam rubrik Profil.

Ketiga, adalah Discourse Practice, dengan meneliti produksi dan

konsumsi dari teks. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah indepth

interview. Unsur ini ingin melihat bagaimana teks diproduksi oleh redaksi

Majalah Bobo, dan bagaimana konsumsi audiens anak terhadap teks tersebut.

Tabel 1.3

Penelitian Discourse Practice

No. Cara Melihat Keterangan dan Implikasi

1. Individu redaksi

(reporter rubrik

Profil)

Wawancara kepada pihak reporter dan editor

Majalah Bobo mengenai latar belakang pendidikan,

orientasi ekonomi, orientasi politik, dan

ketrampilan.

Relasi antara

redaksi dan struktur

media (Majalah

Bobo & Penerbit

Kompas Group)

Wawancara kepada:

Deputy GM, Kepala Redaksi, dan staff redaksi

Majalah Bobo mengenai hal-hal diluar rutinitas

sehari-hari seperti proses pengambilan keputusan.

Praktek kerja atau

rutinitas kerja

Wawancara kepada:

Deputy GM, Kepala Redaksi, dan staff redaksi

seputar rutinitas yang dilakukan sehari-hari oleh

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

43

karyawan.

Tahapan terakhir adalah Sociocultural Practice, penelitian berkaitan

dengan hal-hal yang terjadi diluar rutinitas ruang redaksi yang relevan terhadap

produksi teks. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah indepth

interview dan penelusuran. Yang ingin dilihat adalah dari segi situasional,

institusional, dan sosial.

Tabel 1.4

Penelitian Sociocultural Practice

No. Yang Ingin Dilihat Keterangan dan Implikasi

1. Situasional Teks diproduksi dalam situasi tertentu: alasan apa

yang melandasi dipilihnya tokoh tertentu untuk

ditampilkan dalam rubrik Profil.

Indepth Interview: Kepala redaksi dan staff redaksi

Majalah Bobo.

Studi Pustaka: Meninjau tren media lain terhadap

peliputan selebritas yang bersangkutan.

Institusional Pengaruh institusi terhadap produksi teks baik

internal maupun eksternal. Faktor eksternal adalah:

Ekonomi: pengiklan, kepemilikan modal,

persaingan antar media.

Politik: regulasi yang mengatur diluar pihak

Majalah Bobo dan Kompas Gramedia.

Penelusuran: Perbandingan jumlah iklan pada

setiap dekade untuk melihat perkembangan dari

segi perekonomian yang terkait dengan iklan.

Indepth Interview: Deputy GM, Kepala Redaksi,

dan staff redaksi Majalah Bobo seputar regulasi.

Sosial Pengaruh sistem makro dalam masyarakat: sosial,

ekonomi dan budaya yang menjadi pertimbangan

sebelum teks dalam rubrik Profil diproduksi.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

44

3. Analisis Data

Setelah seluruh data terkumpul akan dilakukan pengecekan ulang terhadap

data-data. Melalui proses tersebut, akan ditemukan data-data yang tidak relevan.

Makan, dilakukan reduksi terhadap data-data yang tidak mendukung dalam

penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi berdasarkan jenis data. Data-

data yang serupa akan dikelompokkan untuk menghindari terjadi kesalahan.

Klasifikasi ini dapat berupa kategori, pola, maupun tema yang sama. Selanjutnya

akan dilakukan tafsiran atau interpretasi, yaitu memberikan makna kepada

analisis, menjelaskan pola atau kategori, serta mencari hubungan antar konsep.

Interpretasi ini merupakan perspektif atau pandangan, bukan suatu kebenaran.

Dalam interpretasi data, pertama akan dilakukan pengamatan terhadap

pola-pola yang menonjol. Hubungan antar data akan diselidiki apakah ditemukan

persamaan atau justru pertentangan data yang bersumber dari berbagai informan.

Pada tahap ini dilakukan analisis data-data secara kritis, dan mengkaji ulang

sesuai dengan rumusan masalah.

Analisis data berdasarkan pendekatan Fairclough diklasifikasikan menjadi

empat tahap. Pertama, translation. Yaitu dengan pemaknaan wacana sesuai

dengan subtansi yang ada pada teks di rubrik tersebut. Pada tahap ini, akan

dianalisis data-data yang bersumber dari teks rubrik Profil. Kedua, interpretation.

Berfokus kepada konteks dan latar belakang dari diproduksi teks pada rubrik

Profil, sehingga dapat dirumuskan konsep rumusan masalah untuk membedah

bagaimana strategi pemaparan konsep role model oleh Majalah Bobo, yang telah

ditentukan sebelumnya.

Ketiga, ekstrapolasi. Artinya, harus ada teori subtantif yang menjadi

pedoman dalam penelitian. Teori berfungsi sebagai pondasi dalam menganalisis

wacana dalam teks. Terakhir, meaning. Wacana dalam rubrik Profil dibedah

dengan menggabungkan hasil pemikiran dari interpretasi teks serta teori subtantif

yang telah ada.

Setelah analisis data, tahap kedua adalah menyelidiki tata bahasa atau

istilah yang digunakan oleh narasumber. Dalam tahap ini diharapkan dapat

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78979/potongan/S1-2014...media harus memilah usia sasarannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

45

melahirkan konsep yang bersumber dari data berbagai informan. Pengkajian

terhadap makna yang tersirat maupun tersurat tersebut akan diteliti lebih

mendalam mengenai makna yang dikandungnya.

Terakhir, dilakukan penarikan kesimpulan. Kegiatan ini bertujuan untuk

mencari makna data yang dikumpulkan dengan mencari hubungan, persamaan,

atau perbedaan yang terdapat pada komponen-komponen yang diteliti.

Secara garis besar, analisis berlangsung dari penguasaan data yang telah

dikumpulkan. Kemudian berlanjut ke pembentukan konsep dan mencari hubungan

antara konsep-konsep. Terakhir, adalah melakukan hipotesis serta verifikasi

terhadap hasil dan data-data. Sehingga dari penelitian rubrik di Majalah Bobo ini,

akan ditemukan hasil yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu kajian media.