bab i pendahuluan a. latar belakang · 2017. 7. 25. · 1 bab i pendahuluan a. latar belakang isu...

19
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama dan penganut kepercayaan di Indonesia. Studi ini berangkat dari tesis “penganut kepercayaan memiliki hak yang sama dengan penganut agama”. Karena itu peraturan perundang-undangan harus melindungi hak-hak dasar penganut kepercayaan. Hak asasi penganut kepercayaan harus dilindungi sebagaimana negara melindungi penganut agama. Isu tersebut sesuai asas perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan salah satu ciri penting negara hukum (baik rechtsstaat mapun rule of law). Menurut Philipus M. Hadjon 1 ciri-ciri rechtsstaat adalah; 1) adanya Undang-undang Dasar (selanjutnya akan ditulis: UUD) atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat, 2) adanya pembagian kekuasaan negara, dan 3) diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. 2 Menurut Julius Stahl konsep negara hukum, yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat, mencakup empat elemen penting, yaitu; 1) perlindungan hak asasi manusia, 2) pembagian kekuasaan, 3) pemerintahan berdasarkan undang- undang, 4) peradilan tata usaha negara. 3 1 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya; Bina Ilmu,1987), hal.72. 2 Ni‟matul Huda, Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta; UII Press, 2005), hal.9. 3 Sayuti, Konsep Rechtsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia, Kajian Terhadap Pendapat Azhari, dalam jurnal kajian ekonomi Islam dan kemasyarakatan volume 4 nomor 2 2001.

Upload: others

Post on 25-Oct-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara

penganut agama dan penganut kepercayaan di Indonesia. Studi ini berangkat dari

tesis “penganut kepercayaan memiliki hak yang sama dengan penganut agama”.

Karena itu peraturan perundang-undangan harus melindungi hak-hak dasar

penganut kepercayaan. Hak asasi penganut kepercayaan harus dilindungi

sebagaimana negara melindungi penganut agama. Isu tersebut sesuai asas

perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan salah satu ciri

penting negara hukum (baik rechtsstaat mapun rule of law).

Menurut Philipus M. Hadjon1 ciri-ciri rechtsstaat adalah; 1) adanya

Undang-undang Dasar (selanjutnya akan ditulis: UUD) atau konstitusi yang

memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat, 2) adanya

pembagian kekuasaan negara, dan 3) diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan

rakyat.2 Menurut Julius Stahl konsep negara hukum, yang disebutnya dengan

istilah rechtsstaat, mencakup empat elemen penting, yaitu; 1) perlindungan hak

asasi manusia, 2) pembagian kekuasaan, 3) pemerintahan berdasarkan undang-

undang, 4) peradilan tata usaha negara.3

1 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya; Bina

Ilmu,1987), hal.72. 2 Ni‟matul Huda, Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta; UII Press,

2005), hal.9. 3 Sayuti, Konsep Rechtsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia, Kajian Terhadap Pendapat

Azhari, dalam jurnal kajian ekonomi Islam dan kemasyarakatan volume 4 nomor 2 2001.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

2

Kedua pendapat di atas menunjukkan bahwa prinsip utama negara hukum

adalah pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada

prinsip kebebasan dan persamaan (liberty dan equality). Hak asasi sejatinya adalah

kebebasan dasar setiap individu manusia. Atas dasar itu, hak asasi setiap warga

negara di Indonesia yang beragam budaya, etnis, ras dan agama ini harus

terlindungi melalui peraturan perundang-undangan.4

Jaminan kebebasan menganut agama atau menganut kepercayaan di

Indonesia dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia (selanjutnya akan

ditulis: NRI) 1945.5 Pasal 28E ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak memeluk

agama dan beribadat menurut agamanya, .....”. Ayat (2) menyatakan “setiap orang

berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, ....., sesuai dengan hati nuraninya”.

Selanjutnya pasal 29 ayat (1) menyatakan ”negara berdasar atas Ketuhanan Yang

Maha Esa”. Ayat (2) menyatakan ”negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu”.

Muatan materi yang tertuang dalam konstitusi di atas koheren dengan

penduduk Indonesia yang plural, multi agama dan kepercayaan. Sayangnya, cita-

cita ideal UUD NRI 1945 untuk melindungi hak-hak dasar setiap warga negara

yang beragam itu, belum terealisir secara penuh. Peraturan perundang-undangan

yang merinci gagasan mulia UUD NRI 1945 belum mampu memenuhi hak-hak

dasar kelompok minoritas (minority right). Salah satunya adalah pengaturan

4 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia....., hlm. 71.

5 Penulis sengaja menulis „UUD NRI 1945‟ untuk menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah

UUD 1945 revisi keempat.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

3

tentang kepercayaan yang mengandung berbagai permasalahan.6 Semangat untuk

mengakui, melindungi dan memenuhi tanpa ada diskriminasi belum diterjemahkan

dengan baik kedalam peraturan perundang-undangan tentang kepercayaan.

Mengenai eksistensi kepercayaan di Indonesia diatur dalam beberapa

peraturan perundang-undangan. Mengenai agama dan kepercayaan pertama-tama

diatur UU No. 1/PNPS Tahun 1965 yang utamanya melarang menceritakan,

menganjurkan untuk melakukan penafsiran atau melakukan kegiatan keagamaan

yang menyerupai kegiatan keagamaan „agama resmi‟ negara.7 Persoalan

selanjutnya mengenai pelayanan Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang

diatur UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 26 Tahun 20068 khususnya

pasal yang mengatur pencantuman identitas agama di Kartu Tanda Pendudukan

(KTP).9

Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU

No. 34 Tahun 2013 yang mengatur pencatatan perkawinan penganut kepercayaan

mengandung persoalan.10

Selain soal Adminduk, penganut kepercayaan juga

mengalami persoalan pendidikan agama kepercayaan di sekolah umum karena UU

6 Halili dan Bonar Tigo Naipospos, Stagnasi Kebebasan Beragama; Laporan Kondisi

Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2013, (Jakarta: Pusat Masyarakat Setara,

2014), hlm. 119. 7 Lihat lebih lengkap mengenai muatan materinya dalam UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 8 Lihat UU Nomor 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 26 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan.

9 UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 26 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan. 10

Lihat, Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU No. 34 Tahun

2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

4

No. 20 Tahun 2003 tidak mengatur hak „pendidikan kepercayaan‟ bagi siswa

penganut kepercayaan.11

Pengaturan yang spesifik mengatur kepercayaan Peraturan Bersama

(Perber) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Kebudayaan dan

Pariwisata (Menbudpar) No. 43 Tahun 2009 dan No. 41 Tahun 2009 yang muatan

materinya mengandung persoalan secara formil dan materiil.12

Keputusan Presiden

(Keppres) No. 40 Tahun 1978 yang memindahkan kepercayaan ke Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan (Direktorat Bin Hayat Kepercayaan) dari

Departemen Agama juga bermasalah. Atas dasar Perpres di atas, dibuatlah

beberapa peraturan yakni Perpres No. 14 Tahun 2015,13

Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 73 Tahun 201214

yang secara

substansi bermasalah dalam mendefinisikan kepercayaan.

Persoalan berikutnya terdapat dalam UU No. 16 Tahun 2004 khususnya

pasal tentang pengawasan terhadap aliran-aliran kepercayaan.15

Atas UU di atas,

Jaksa Agung RI membuat keputusan No. KEP004/J.A/01/1994 tentang

pemembuatan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakor Pakem).

11

Lihat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam undang-undang ini

sama sekali tidak merumuskan pendidikan agama bagi siswa yang menganut kepercayaan. 12

Lihat, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan

Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Peraturan bersama ini merupakan aturan pokok untuk melakukan

pelayanan bagi penganut kepercayaan di Indonesia. 13

Lihat, Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. Peraturan ini dimungkinkan akan terus berubah-ubah karena setiap tahun akan selalu

ada perubahan sesuai dengan keputusan menteri. 14

Selengkapnya lihat, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 73 Tahun 2012

tentang Bantuan Sosial Untuk Komunitas Budaya. 15

Lihat, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Undang-undang ini merupakan landasan

bagi pembentukan Pakem yang selama ini menjadi persoalan bagi penganut kepercayaan.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

5

Peraturan perundang-undangan di atas, hanya sebagian persoalan yang

dialami penganut kepercayaan.16

Apabila dikomulasikan, setidaknya ada tujuh

persoalan yang menyangkut hak dasar penganut kepercyaan, yakni; pemakaman,

pembuatan sanggar, pendidikan agama, pelayanan Adminduk seperti pembuatan

KTP, KK, Akta Nikah, Akta Kelahiran, dan pengawasan yang berlebihan.

Persoalan inilah yang utamanya bertentangan dengan konstitusi UUD NRI 1945.

Demikianlah beberapa persoalan sementara yang menjadi titik tolak penulis

melakukan studi tentang “persamaan hak penganut agama dan kepercayaan di

Indonesia”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menggambarkan berbagai

persoalan pengaturan tentang kepercayaan, maka yang menjadi isu sentral dalam

penelitian ini adalah kondisi peraturan perundang-undangan yang ada jauh dari

semangat memberikan perlindungan secara sama atau setara kepada penganut

kepercayaan dan penganut agama. Atas dasar isu sentral tersebut maka selanjutnya

dirumuskan isu-isu spesifik penelitian ini sebagai berikut:

A. Konsep Agama dan Kepercayaan, Penganut Agama dan Penganut

Kepercayaan di Indonesia.

B. Konsep Hukum Persamaan Hak Penganut Agama dan Penganut

Kepercayaan di Indonesia.

16

Untuk lebih detail perundang-undangan apa saja yang bermasalah, akan diuraikan dalam bab

empat.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

6

C. Pengaturan tentang Kepercayaan yang Sesuai dengan Hakikat Kesamaan

Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan serta Konsep Hukum

Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menjustifikasi keharusan

bagi negara untuk memberikan perlindungan yang setara kepada penganut agama

dan penganut kepercayaan. Sementara tujuan khusus penelitian ini adalah:

A. Menjustifikasi kesamaan hakikat kepercayan dan agama serta penganut

agama dan penganut kepercayaan di Indonesia.

B. Menjustifikasi hukum persamaan hak penganut agama dan penganut

kepercayaan di Indonesia.

B. Menjustifikasi bahwa negara gagal dalam merumuskan peraturan

perundang-undangan yang menjamin kesetaraan antara penganut agama

dan kepercayaan. Sehingga peraturan perundang-undangan tersebut

seyogyanya ditinjau sesuai dengan preskripsi penelitian ini.

D. MANFAAT PENELITIAN

Setelah ada pemetaan mengenai tujuan penelitian diharapkan ada

kegunaannya. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan kegunaan baik secara

teoritis maupun praktis:

1. Dari sisi teoritis, penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu

hukum tata negara di Indonesia, terkhusus dalam kajian tentang hak asasi

manusia penganut kelompok minoritas agama/kepercayaan.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

7

2. Dari sisi praksis-implementasi, penelitian ini sangat diharapkan bisa

memberikan sumbangsih bagi pengambil kebijakan (eksekutif dan

legislatif) dalam menyusun perangkat peraturan perundang-undangan

tentang kepercayaan.

3. Hasil penelitian ini juga diharapan memberikan kontribusi signifikan sebagai

rujukan para praktisi yang mengadvokasi korban-korban pelanggaran HAM

karena memeluk kepercayaan.

E. KERANGKA TEORI

1. Perlindungan Terhadap Martabat Manusia

Perlindungan atau pemeliharaan (hifdz) terhadap martabat manusia (human

dignity) adalah kewajiban negara. Theo Huijbers mendefiniskan hak asasi dengan

istilah „martabat‟. Dengan menyebut manusia menurut martabatnya, dimaksudkan

bahwa manusia merupakan suatu makhluk yang istimewa, yang tidak ada

bandinganya di dunia ini.17

Dalam arti universal, tiap-tiap pribadi manusia itu

masing-masing bernilai. Sesuai dengan nilainya itu semua manusia (tanpa ada

pembedaan) harus dihormati. Keistimewaan manusia (sebagai dasar hak-hak)

terletak dalam wujud manusia itu sendiri, sebagaimana didapati melalui

pikiranya.18

17

Soetandyo Wignjosoebroto, Modul Pelatihan untuk Menjadi Pelati Hak Atas Kebebasan

Beragama atau Berkeyakinan, diterbitikan kejasama antara Yayasan Tifa, YLBHI, ICLRS, dan The

Delo Coalition, hlm. 110. 18

Martabat manusia merupakan hak asasi dalam setiap individu manusia. Hak-hak manusia

disebut sebagai hak asasi karena dianggap fundamental yang diatasnya seluruh organisasi hidup

bersama harus dibangun. Hak-hak semacam itu merupakan asas-asas semua perundang-undangan.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius. 1995), hlm. 97

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

8

Theo Huijbers secara tradisional membedakan dua macam hak dan

kewajiban, yakni; Pertama, adalah hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap

manusia sebagai manusia, sebab berkaitan dengan realitas manusia sendiri.

Karenanya hak itu dinamakan hak manusia. Dikatakan juga bahwa hak itu ada

pada manusia, sebab manusia harus dinilai menurut martabatnya. Hak ini tidak

tergantung pada persetujuan orang dan tidak dapat dicabut oleh seorang pun di

dunia ini. Hak-hak tersebut timbul bukan karena pembentukan undang-undang,

karena hak manusia ada mendahului undang-undang.

Kedua, kategori hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan, yakni

hak timbul karena adanya peraturan perundang-undangan. Hak yang demikian

tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, tetapi menjadi hak, sebab

tertampung dalam peraturan perundang-undangan yang sah.19

Hak asasi yang

digolongkan dalam dua jenis, yakni hak individual dan sosial. Hak asasi yang

merupakan hak fundamental melekat pada pribadi manusia adalah hak atas hidup

dan perkembangan kehidupan.

Umpanya hak atas kebebasan batin, atas kebebasan agama, atas kebebasan

dalam hidup pribadi, hak atas nama baik, hak untuk mengadakan pernikahan,

untuk membentuk keluarga dan lain-lain. Itulah hak-hak yang melekat pada

individu manusia. Kemudian hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk

sosial dibagi dalam hak-hak ekonomi dan hak kultural. Hak-hak manusia di atas

19

Theo Huijbers, Filsafat Hukum......., hlm. 96.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

9

menyangkut hak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidup, yakni

pangan, sandang, kesehatan, pekerjaan, serta pendidikan.20

Perlindungan terhadap martabat manusia itu sejalan dengan konsep negara

hukum. Wiryono Projodikoro21

sebagaimana dikutif Bahder Johan Nasution,

mendefinisikan negara hukum, dimana para penguasa dalam melaksanakan tugas

kenegaraannya terikat dengan hukum.22

Perlindungan terhadap martabat manusia

ini sejalan dengan konsep negara hukum, dimana Indonesia merupakan negara

hukum (lihat; UUD NRI 1945).23

Sesuai pengertian di atas perlindungan HAM

sebagai prinsip esensial negara hukum, sejalan dengan sistem konstitusional

Indonesia yang dibangun berdasarkan atas negara hukum dan perlindungan

HAM.24

2. Relasi Agama dan Negara

Persoalan yang kerap mungundang perdebatan dalam sistem politik modern

adalah membangun relasi antara agama dan negara. Secara teoritis, relasi agama

dan negara didefinisikan secara beragam. Ran Hirschl mengategorikan relasi

agama dan negara kedalam delapan model yakni; model negara ateis, model

20

Secara ontologis, para filsuf Yunani, Skolastik, dan Arab, menyatakan manusia adalah

makhluk istimewa. Pada abad ini Max Scheler mengetengahkan bahwa manusia merupakan suatu

makhluk rohani yang melebihi makhluk-makhluk lainya karena akal budinya yang transenden.

Lihat, Theo Huijbers, Filsafat Hukum......., 97-98. 21

Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia (Jakarta; Dian Rakyat.

1971), hlm. 10 . 22

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung; Mandar Maju,

cet 3, 2014) hlm. 1. 23

Sayuti, Konsep Rechtsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia.........

24 Lihat, Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti , 2008) hlm. 36.

Lihat juga Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum

Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional di Indonesia (Disertasi Pada Universitas

Padjajaran Bandung, 2006), hlm. 6.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

10

sekuler tegas (assertive),25

model pemisahan netralitas negara terhadap agama,

model agama dalam posisi lemah,26

model pemisahan formal namun pengunggulan

satu agama, model pemisahan akomodatif multikultural,27

model wadah

keagamaan, dan terakhir model agama sebagai sumber hukum negara.28

Selain delapan model di atas, ada pendapat yang lebih sederhana. Tedi

Kholiludin mengutip J. Philip Wogaman, menyatakan empat bentuk relasi gereja

dan negara, yakni; model teokrasi,29

model erastianisme,30

model pemisahan

agama dan negara ‟secara ramah‟ (friendly),31

dan model pemisahan agama dan

negara tidak ramah (unfriendly).32

Musdah Mulia dan Luthfi Assyaukanie,

25

Cina merupakan negara yang termasuk dalam model pertama ini pada 1949 dan di Jamaica

melalui gerakan Rastavara. Sementara model kedua menetapkan bentuk sekularisme yang

melampaui netralitas terhadap agama. Ran Hirschl, Comparative Constitutional Law and Religion

dalam jurnal Research Handbooks In Comparative Law, (editor: Tom Ginsburg, Rosalind Dixon),

(Northampton, MA, USA, Edward Elgar Publishing Limited, 2011), hlm. 423. 26

Model ketiga ini menekankan pada keberimbangan negara terhadap agama. Sementara model

keempat merupakan penunjukan suatu agama sebagai ‟agama negara‟. Sebagai contoh, kepala

negara Norwegia, seorang pemimpin gereja, Ran Hirschl, hlm. 424-427. 27

Model kelima ini menggambarkan sebuah negara yang memisahkan secara formal antara

gereja dan negara tetapi secara politik ada hegemoni gereja atas Negara. Sementara model kelima

diterapkan umumnya pada masyarakat imigran terutama Kanada dengan merefleksikan komitmen

terhadap multikulturalisme dan keragaman, Ran Hirschl, hlm. 430-431. 28

Model ketujuh ini, mengakui otonomi hukum adat untuk mengikuti tradisi mereka dalam

wilayah hukum terutama dalam masalah hukum keluarga. Sementara model kedelapan ini

merupakan negara teokrasi yang tergambar pada masyarakat primitip seperti Tibet, sekte Mormon

awal di Utah serta Iran, Lihat Ran Hirschl, hlm. 433-435 29

J. Philip Wogaman, Christian Persfectives on Politics, (Kentucky; Westminster. John Knox

Press. 2000), hlm. 250. Lihat juga, Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil

di Indonesia, (Salatiga; Fakultas Teologi UKSW. 2014), hlm. 114. 30

Bentuk ini menggambarkan bahwa negara memiliki ‟agama resmi‟, agama yang mapan

dipenuhi hak-haknya sementara agama yang inferior haknya tidak dipenuhi. Lihat, Tedi Kholiludin,

Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia…… hlm. 115. 31

Menurut Tedi, model ini merupakan prinsip yang dipraktikan di Amerika Serikat. Prinsip

tidak memapankan agama dalam konstitusi Amerika tidak harus dipahami sebagai suatu yang

negatif. Tedi Kholiludin, hlm. 116. 32

Model ini memisahkan secara legal antara agama dan negara dalam posisi yang antagonistik.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

11

mengategorikan tiga kecenderungan relasi agama dan negara, yakni; model negara

agama, model agama sebagai spirit bernegara, dan model negara sekuler.33

Nasaruddin Umar menyatakan, Indonesia bukan negara agama. Indonesia

bukan pula negara yang mengakui adanya salah satu agama resmi.34

Indonesia

adalah negara Pancasila dimana semua agama dan masing-masing pemeluknya

diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia.35

Ada pendapat menarik dari

Sumanto Al-Qurtuby dengan mengutip pernyataan Rais Aam PBNU (alm) K.H

M.A Sahal Mahfudz yang mengatakan, meskipun negara dan agama tidak dapat

dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-produknya harus

berlabelkan Islam. Agama cukup menjadi spirit dalam bernegara sehingga tujuan

syariat untuk memelihara agama (din), akal (aql), jiwa (nafs), harta (mal) dan

keturunan (nasl) terlaksana.36

Bahkan negara tidak boleh intervensi terhadap keyakinan keagamaan.

Negara tidak berhak turut campur terhadap internal keagamaan, negara hanya

dibolehkan melakukan intervensi terhadap agama dalam masalah ekspresi

keagamaan. Jazim Hamidi dan M Husnu Abadi berpendapat bahwa campur tangan

33

Sarjana Indonesia sejatinya banyak yang merumuskan model relasi agama dan negara.

Meskipun dalam jumlah model yang berbeda namun substansinya hampir sama. Namun pada

prinsipnya adalah “agama adalah agama”. Lihat, Hasyim Asy’ari, Relasi Negara dan Agama di

Indonesia, jurnal RechtsVinding Online, hlm.2. 34

Karena tidak tegas apakah menganut sistem sekuler atau teokrasi ini Indonesia mengalami

banyak persoalan dalam merumuskan peraturan perundang-undangan. 35

Nasaruddin Umar, Antara Negara dan Agama Negara, diambil dari situs resmi depag.go.id,

Senin, 4 April 2015. 36

Sumanto Al-Qurthubi. Era Baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta; Cermin: 2002), hlm. 86.

Buku ini merupakan skripsi di IAIN Walisongo tahun 1999. Lihat juga Neneng Yani Yuningsih,

Pola Interaksi (hubungan) Antara Agama, Politik dan Negara (pemerintah) Dalam Kajian

Pemikiran Politik (Islam), hlm. 14-15.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

12

negara terhadap agama hannya sebatas pada fasilitas, sarana, dan prasarana,37

bukan menentukan sebuah kelompok keyakinan masuk pada kategori agama atau

kepercayaan.

3. Perlindungan dari Intervensi Negara terhadap Kebebasan Menganut

Kepercayaan

3.1. Toleransi Beragama

Kedudukan agama dan kepercayaan sama, tidak ada yang istimewa di mata

negara. Atas dasar itu, negara harus mendorong susana toleransi supaya

perlindungan terhadap martabat manusia terlaksana. Presiden keempat,

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpandangan, untuk menciptakan iklim toleransi,

negara harus mengarahkan pada pemikiran dan sikap inklusif dalam kehidupan

keberagamaan.38

Sikap tegasnya dalam mendorong toleransi antar umat beragama

dengan dicabutnya TAP MPRS XXV/1966 menunjukkan bahwa Gus Dur betul-

betul bertekad menyejajarkan penganut Kong Hu Chu dengan penganut agama

lima agama lainnya. Mengenai toleransi beragama, Jimly Asshiddiqie mengatakan,

penganut agama selain Islam di Indonesia sangat besar sehingga tidak boleh

diabaikan hak-haknya.39

Semua peraturan perundang-undangan harus mendorong kondisi beragama

yang toleran. Hal ini penting, karena tak jarang peraturan perundang-undangan

37

Negara tidak boleh intervensi terlalu jauh dalam masalah agama. Negara tidak boleh ikut

campur dalam masalah keyakinan atau materi agamanya, mareka keyakinan itu hak yang tidak bisa

dikurangi. Jazim Hamidi dan M Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, (Yogyakarta;

UII Pres. 2001), hlm. 13 38

Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta; Lappenas, 1981), hlm. 173. 39

Jimly Asshiddiqie, Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca Reformasi,

makalah dalam dialog Kebangsaan tentang “Toleransi Beragama”, Ormas Gerakan Masyarakat

Penerus Bung Karno, di Hotel Borobudur Jakarta, 13 Februari, 2014.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

13

justru menjadi pemicu kasus intoleran di masyarakat. Sebagai contoh, Perber

Menteri Agama (Menag) dan Mendagri No. 9/8 Tahun 2006 tentang Pendirian

Rumah Ibadah yang mewajibkan adanya syarat persetujuan 90 jamaah 60

penduduk sekitar. Aturan ini menjadi ganjalan bagi penganut agama minoritas

termasuk penganut kepercayaan untuk membuat tempat ibadah atau sanggar serta

memicu tindakan intoleransi.

John Locke, pernah membuat surat yang terkenal tentang toleransi pada

tahun 1689 yang isinya sebagai berikut:

“...... Apabila berkumpul secara hidmat, menjalankan perayaan agama, beribadah

di tempat umum diijinkan kepada kelompok agama tertentu, maka hal ini juga harus

diijinkan terhadap kelompok agama yang lain...”40

Berdasarkan uraian di atas, maka negara dalam membuat peraturan

perundang-undangan harus mendorong pada suasana toleransi. Negara harus

mengakomodir kebebasan penganut kepercayaan selaku kelompok minoritas.

Negara dalam membuat kebijakan harus bersifat netral, tidak memicu konflik atas

dasar agama/kepercayaan.

3.2. Prinsip Non-Intervensi dan Diskriminasi Negara terhadap Penganut

Kepercayaan

Adanya UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta

diratifikasinya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

menjadi UU No. 12 Tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai itikad

40

Locke memaknai toleransi sebagai persamaan perlakuan diantara kelompok-kelompok

keagamaan/kepercayaan. Dengan kata lain toleransi mengandung makna memberikan kesempatan

kepada kelompok agama lain untuk melaksanakan/menjalankan peribadatannya. Archot

Krishnaswami, Study of Discrimination In the Matter of Religious Rights & Practices 3 (1983).

Lihat juga, Uli Parulian Sihombing, Hak Atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Dalam

Perspektif HAM: Teori Dan Praktek, makalah dalam kursus HAM untuk Pengacara Angkatan

XVII, ELsam, 28 November 2013.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

14

baik dalam pemenuhan HAM. Dalam konsep pemenuhan hak asasi manusia,

pelaku pelanggarannya selalu dilakukan negara dengan cara aktif (commision) dan

dengan cara pasif (ommision).

Untuk mengetahui pelanggaran kebebasan beragama atau kepercayaan

dapat dilihat dari tiga kewajiban negara, yakni; Pertama, kewajiban untuk

menghormati (to respect). Negara tidak perlu ikut campur dalam hak kebebasan

memilih agama juga pindah agama atau kepercayaan. Kedua, kewajiban

melindungi (to protect). Negara harus melindungi semua warga negara, semua

agama termasuk melindungi hak dari intervensi pelaku non-negara (private

interference). Ketiga, kewajiban memenuhi atau memfasilitasi (to ful fill). Terkait

kewajiban ini negara harus memenuhi hak ekonomi sosial dan budaya seperti hak

pendidikan, pekerjaan, dan pangan.41

Merujuk uraian di atas, kunci pemenuhan hak dasar penganut kepercayaan

adalah tindakan non-intervensi dan diskriminasi dari pemerintah. UU No. 12 tahun

2005 mendefinisikan diskriminasi sebagai pembedaan (distinction), eksklusi

(exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan (preference) yang mempunyai

maksud untuk meniadakan atau mengurangi setiap orang untuk menikmati dan

melaksanakan hak-haknya. Prinsip non-diskriminasi mencakup wilayah

persamaan didepan hukum dan persamaan perlindungan hukum dimana setiap

41

Tedi Kholiludin (edit), Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, di Jawa

Tengah, (Semarang; eLSA Pers, 2014), hlm. 6-7. Lihat juga, Hesti Armiwulan (penanggungjaab

penelitian), Laporan Pemetaan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Kepercayaan di Enam Daerah:

Kotamadya Tangerang (Prov. Banten), Kab. Lebak (Prov. Banten), Kab. Sukabumi (Prov.Jawa

Barat) , Kab. Tasikmalaya, Kab. Blora (Prov. Jateng), Kotamadya Solo (Prov. Jateng), (Jakarta;

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2009), hlm. 16.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

15

orang dijamin dan dilindungi secara efektif dan setara terhadap paktik-praktik

diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi ini erat kaitanya dengan prinsip toleransi

yang telah dijabarkan di atas.

Berdasarkan penjelasan di atas, negara harus mampu merumuskan

perundang-undangan yang sesuai dengan prinsip non-intervensi dan diskriminasi.

Umpamanya persoalan pembangunan rumah ibadah, negara tidak boleh membeda-

bedakan antara penganut agama dan penganut kepercayaan. Jika agama diberikan

aturan yang mapan untuk menjalankan ibadah, maka penganut kepercayaan juga

harus diperlakukan sama.

F. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian hukum.42

Untuk menjawab isu hukum

tersebut di atas peneliti akan menggunakan tiga pendekatan, yakni;

Pertama, pendekatan perundang-undangan (statute approach).43

Pendekatan peraturan perundang-undangan ini untuk menjawab persoalan dalam

peraturan perundang-undanan yang berkaitan dengan kepercayaan dengan

mengacu kepada UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 12/2005, UU

42

Mengenai istilah ”penelitian hukum normatif”, menurut Peter Mahmud Marzuki tidak perlu.

Istilah legal research, dalam bahasa Belanda rechtsonderzoek yang artinya selalu normatif

Mengikuti pendapat Marzuki, penulis menamakan penelitian ini dengan ”penelitian hukum”.

bersifat normatif. Lihat, Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

(Malang; Banyumedia Publishing. 2006), hlm. 45. 42

. Lihat juga Titon Slamet Krunia, Sri Harini

Dwiyatmi, dan Dyah Hapsari P, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelitian Huku di Indonesia

(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 129. 43

Peter Mahmud Marzuki mengatakan, pendekatan perundang-undangan adalah penelitian

yang dilakukan dengan mengkaji semua perundang-undang dan pengaturan yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang diteliti. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta;

Prenada Media. Cet-6.2010), hlm. 139.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

16

No. 11 Tahun 2005, UU No. 12 Tahun 2011 dan Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (DUHAM).

Kedua, pendekatan konseptual (conseptualical approach).44

Pendekatan ini

digunakan untuk menganalisis permasalahan peraturan perundang-undangan

tentang kepercayaan dengan mengacu pada asas/prinsip secara teoritis. Prinsip-

prinsip yang digunakan dalam penelitian ini, yakni; prinsip non-intervensi, prinsip

non-diskriminasi, dan prinsip toleransi negara terhadap penganut kepercayaan.

Ketiga, pendekatan kasus (case approach).45

Pendakatan kasus, akan

digunakan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan dengan pendapat

hakim yang pernah memutus kasus yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan.

Pendapat hakim dalam kasus-kasus tersebut utamanya pendapat hakim Mahkamah

Konstitusi (MK) Maria Farida Indrati dalam putusan Putusan MK No. 84/PUU-

X/2012.

Bahan-bahan hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini dibedakan

menjadi dua. Pertama, peraturan perundang-undangan yang dipermasalahkan

karena tidak kondusif dalam melakukan perlindunan terhadap penganut

kepercayaan,46

yaitu;

1. UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama.

2. UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan.

44

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hlm. 177 45

Peter Mahmud Marzuki, hlm. 158 46

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Sinar Grafika. 2010), hlm. 47

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

17

3. PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2013

tentang Administrasi Kependudukan.

4. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

5. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

6. Keppres No. 40 Tahun 1978 tentang Pemindahan Kepercayaan dari

Kementerian Agama ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

7. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan

Pariwisata No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan

Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

8. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 73 Tahun 2012

tentang Bantuan Sosial Untuk Komunitas Budaya.

9. Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun

2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat

Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan

Pendirian Rumah Ibadat.

10. Keputusan Jaksa Agung RI No. : KEP004/J.A/ 01/1994 tentang

Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan.

Kedua, peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam merumuskan

asas atau prinsip perlindungan hak penganut kepercayaan, yaitu;

1. UUD NRI 1945

2. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi Manusia

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

18

3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik

4. UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Kovenan Hak Ekonomo Sosial dan

Budaya

5. UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan

6. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Hasil penelitian ini disajikan dalam suatu karya ilmiah berupa tesis yang

terdiri dari 5 (lima) bab dan tiap-tiap bab akan dirinci menjadi beberapa sub bab:

Bab I : Pendahuluan

Pendahuluan ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

mantaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Konsep Agama dan Kepercayan, Penganut Agama dan Penganut

Kepercayaan di Indonesia

Bab ini berisi; pertama, konseps agama dan penganut agama. Kedua,

konsep kepercayaan dan penganut kepercayaan. Ketiga, konsep kesamaan

kedudukan antara penganut agama dan penganut kepercayaan.

Bab III : Konsep Hukum Persamaan Hak Penganut Agama dan Penganut

Kepercayaan di Indonesia

Bab ini berisi; Pertama, membahas prinsip universalitas hak asasi manusia.

Kedua, membahas prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ketiga,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG · 2017. 7. 25. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara penganut agama

19

membahas kesamaan hak antara penganut agama dan penganut kepercayaan di

Indonesia.

Bab IV : Peraturan Kepercayaan dan Penganut Kepercayaan serta Agama

dan Penganut Agama di Indonesia

Bab ini akan dibagi dalam tiga sub bab, yakni; Pertama, membahas

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang agama dan kepercayaan di

Indonesia. Kedua, membahas semua peraturan perundang-undangan tersebut

bertentangan dengan asas atau prinsip kesamaan hak penganut agama dan

kepercayaan. Ketiga, membahas preskripsi peraturan perundang-undangan tentang

kepercayaan yang sesuai dengan asas atau prinsip kesamaan hak antara penganut

agama dan kepercayaan di Indonesia

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini terdiri dari kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran-

saran yang dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak yang berkepentingan. Bab

ini boleh dibilang bab ini pungkas dari penelitian yang dilakukan.