bab i pendahuluan a. latar belakang masalahdigilib.uinsgd.ac.id/19621/4/4_bab 1.pdf · 3 fatchur...

16
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan kesepakatan ummat hadits merupakan sumber syari’at yang kedua setelah al-Qur’an dan hujjah dalam menetapkan hukum. Ia merupakan sebuah narasi yang memberikan informasi tentang perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik dari segi akhlaq maupun individu. Secara harfiyah hadits dapat dikatakan sesuatu yang baru atau sebuah berita yang disampaikan, jadi hadits dapat dikatakan sebagai sebuah berita yang datang dari Rasulullah SAW. Sedangkan secara istilah hadits adalah : ما أضيفوها أو تقريرا أو أو فع سلم قو عليه و صلىلن ل“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya. 1 Sebagai landasan ditetapkannya Hadits sebagai sumber syari’at atau hukum ialah firman Allah SWT. 1 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung : PT. Al-Ma’rif, 1974), 20

Upload: others

Post on 24-Oct-2020

69 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Berdasarkan kesepakatan ummat hadits merupakan sumber syari’at yang

    kedua setelah al-Qur’an dan hujjah dalam menetapkan hukum. Ia merupakan

    sebuah narasi yang memberikan informasi tentang perkataan, perbuatan, ketetapan,

    dan sifat-sifat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik dari segi akhlaq

    maupun individu.

    Secara harfiyah hadits dapat dikatakan sesuatu yang baru atau sebuah berita

    yang disampaikan, jadi hadits dapat dikatakan sebagai sebuah berita yang datang

    dari Rasulullah SAW. Sedangkan secara istilah hadits adalah :

    للنيب صلى هللا عليه وسلم قوال أو فعال أو تقريرا أو حنوهاما أضيف

    “Ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa

    perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.1

    Sebagai landasan ditetapkannya Hadits sebagai sumber syari’at atau hukum

    ialah firman Allah SWT.

    1Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung : PT. Al-Ma’rif, 1974), 20

  • 2

    اي َٰٓ نُو ََٰٰٓٓلَِّذين َٰٓٱَٰٓأ يُّه ام أ ِطيعُوا ََّٰٰٓٓللَّ َٰٓٱَٰٓأ ِطيعُوا ََٰٰٓٓا َٰٓء ُسول َٰٓٱَٰٓو ِليَٰٓلرَّ أُو عَٰٓۡت ن ََٰٰٓٓف إِنَِٰٓمنُكۡم ََٰٰٓٓرَِٰٓمَٰٓۡۡل َٰٓٱَٰٓو َِٰٓٱَٰٓإِل ىَٰٓف ُردُّوهََُٰٰٓٓء َٰٓش يََٰٰٓۡٓفِيَٰٓتُمَٰٓۡز ُسولَِٰٓٱو ََّٰٰٓٓللَّ َٰٓلرَّ

    َِٰٓٱبََِِٰٰٓٓمنُون َٰٓتُؤََُٰٰٓۡٓكنتُمََٰٰٓۡٓإِن ََِٰٰٓٓخِر َٰٓۡل َٰٓٱَٰٓمَِٰٓي ۡوَٰٓلَٰٓۡٱو ََّٰٰٓٓللَّيََِٰٰٓۡٓلك َٰٓذ أ حََٰٰٓۡٓر َٰٓخ ٥٩ََِٰٰٓٓويًلَٰٓت أََٰٰٓۡٓس نَُٰٓو

    “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.

    Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-

    Qur’an) dan Rasul (sunnah). Jika kalian beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian

    itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (Qs. An-Nisa : 59)

    Tapi, tidak semua hadits bisa dijadikan sebagai sumber syari’at dan sebagai hujah, hanya

    hadits-hadits yang telah disepakati keotentikannya dan telah jelas kualitasnya yang dapat dijadikan

    hujjah dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu, para muhadditsin mengklasifikasikan hadits

    berdasarkan kualitasnya menjadi tiga yaitu, shahih, hasan, dan dha’if.

    Hadits memuat serangkaian nama periwayat, diikuti masalah sesungguhnya yang

    bersangkut kepada Nabi SAW. Bagian pertama disebut Isnad, sedangkan bagian kedua disebut

    Matn.2 Isnad atau sanad ialah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l hadits (matn) kepada Nabi

    Muhammad SAW. Sebagai sumber beritanya. Kualitas keshahihan sanad ditentukan dari keadilan

    perawi, kedhabitan dan ketersambungan sanad.

    Matnu’l hadits ialah pembicaraan atau materi berita yang di over oleh sanad yang terakhir.

    Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah SAW. Sahabat ataupun Tabiin. Baik isi pembicaraan itu

    tentang perbuatan nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak di sanggah oleh Nabi. Matnu’l hadits

    harus terhindar dari illat dan syadz. Apabila didalamnya terdapat illat atau syadz maka matnu’l

    hadits tersebut cacat.3

    2 M.M Azami, Memahami Ilmu Hdits Telaah Metodologi dan literatur Hadits, Terj. Studies in Hadith Methodology

    and Literature, oleh Meth Kieraha, (Jakarta : Lenter,1997), 57 3 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 39-40

  • 3

    Untuk menjaga autentisitas dan validitas suatu hadits, ulama ahli hadits semata-mata tidak

    hanya mengandalkan akurasi daya ingat yang kuat dan dokumentasi catatan yang terpuji (ad-

    dhabth). Integritas individu penyampai berita (al-adalah/keadilan), dan ketersambungan sanad

    (ittishālu as-sanad), tetapi juga memandang signifikasi terbebasnya bangunan riwayat hadits itu

    dari syadz dan illat. Hadis dengan kualifikasi seperti inilah yang bisa dijadikan sumber syari’at

    atau hukum kedua setelah al-Qur’an.4

    Seluruh riyawat hadits pada realitasnya tidak tertulis pada masa Rasulullah SAW. dan

    proses kodifikasinya menyita waktu yang cukup panjang. Di samping itu, ternyata tidak sedikit

    hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan hanya dengan mempertimbangkan dimensi substansinya saja

    (riwāyah bi al-ma’na). Kondisi ini menimbulkan titik lemah tertentu, dan pada gillirannya

    bangunan hadits itu mesti dikaji lewat mekanisme kritik.

    Mengkaji konstruksi bangunan hadits, pada dasarnya meneliti sanad dan matannya

    sekaligus untuk menetapkan kualitasnya. Menurut kesepakatan ulama, keshahihan matan tidak

    sepenuhnya menjamin validitas sanad. Begitu juga sebaliknya, keshahihan sanad bukan garansi

    validitas matan.5

    Dalam sejarah perkembangan hadits, kaum muslimin memberikan perhatian yang sangat

    besar terhadap hadits Nabawy. Mereka sangat bersemangat untuk menghafal, memindahkan dan

    menyampaikannya sejak masa-masa awal islam. Disamping itu juga mereka bersemangat untuk

    menghimpun dan mengkodifikasikannya.6

    4 Nasaruddin Umar. Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta : PT Alex Media Komputindo,

    2014),18-19 5 Mufsir Azmullah ad-Dāminī, Maqāyīs Naqd Mutūn as-Sunnah, (Beirut : Dār Al-Fikrī,1990), 30 6 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits (terjemah), Gaya Media Pratama, Jakarta, 1998, hlm. 199

  • 4

    Selanjutnya implementasi dari kesungguhan kaum muslimin itulah maka muncul dua

    obyek kajian pokok dalam ilmu hadits yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.

    Berbicara ilmu hadits riwayah maka berbicara mengenai sabda, perbuatan taqrir dan sifat

    Rasulullah SAW. sebagai obyeknya yang dipandang dari sudut pengutipannya secara cermat dan

    akurat.7 Adapun sabda, perbuatan taqrir, dan sifat rasul tidak terlepas dari system periwayatan (al-

    riwayah).

    Periwayatan hadits nabi oleh rawi dilakukan dengan dua cara, yaitu diriwayatkan dengan

    lafadz yang diterima dari syekh tanpa ada perubahan, pengurangan, dan penambahan (riwayat bil

    lafdzi ). dan ada yang diriwayatkan hanya dengan mengungkapkan ma’nanya saja (riwayat bi al-

    ma’na).

    Riwayah bi al-ma’na bisa disebabkan rawi lupa, atau misi konsepsi terhadap riwayat yang

    diterima dari gurunya,8 atau kepentingan-kepentingan lain yang mengharuskan menggunakan

    riwayat bi al-ma’na, karena banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dalam hal

    periwayatan. Oleh sebab itu periwayatan hadits bi al-ma’na menjadi kajian yang termasuk kedalam

    ilmu riwayat hadits yang paling penting karena padanya terjadi perbedaan pendapat dan ketidak

    jelasan serta banyak problemnya.9

    Riwayat bil ma’na terjadi pada hadits-hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah), ketetapan

    (taqrir) dan sifat Nabi SAW. Karena tidak ada redaksi matan hadits dari Nabi secara langsung

    kemungkinannya pada hadits ini hanya dapat diriwayatkan dengan ma’nanya dengan redaksi dari

    rawi sendiri. Tetapi tidak jarang juga riwayat bil ma’na terjadi pada hadits yang berupa sabda Nabi

    7 Ajaj al-Khatib, 1998, xi 8 Nasaruddin Umar. Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadits, 21 9 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, Terj. Manhaj An-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadits, oleh Mujiyo, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), 223

  • 5

    (Qauliyah), hal ini disebabkan dengan berbagai kondisi, seperti akurasi daya ingat para sahabat

    yang berbeda-beda atau mereka tidak menyaksikan secara langsung ketika nabi menyampaikan

    hadits, atau kondisi tertentu yang mengharuskan periwayatan dengan ma’na saja.

    Inilah yang menjadi permasalahan dalam riwayat bi al-Ma’na. Setelah terkodifikasi dalam

    sebuah kitab seperti pada masa sekarang kemudian implikasinya adalah terhadap keotentikan dan

    kualitas dari hadits tersebut.

    Sebagai contoh salah satu hadits riwayat bi al-ma’na :

    Hadits pertama : HR. Abu Dawud

    فيها شيئ من كالم الناس هذا امناهواالتسبيح والتكبريوقراءة القران الحيلان هذه الصالة

    Hadits kedua : HR. Al-Darimi

    اءة القرانامناهواالتسبيح والتكبريوقر فيها شيئ من كالم الناس هذا اليصلحان هذه الصالة

    Kedua hadits di atas memiliki redaksi matan yang yang berbeda namun tidak merubah substansi

    ma’nanya, perbedaan yang terjadi pada hadits tersebut adalah adanya ibdal (pergantian) lafadz

    seperti yang di garis bawahi.

    Kendati dalam kenyataannya hadits tersebut tidak keluar dari substansi ma’nanya, namun

    jika dicermati, sekilas adanya keraguan dari seorang perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut

    sehingga dia mengganti salah satu kata atau lafadznya. Hal ini tentu menjadi persoalan dalam

    periwayatan hadits mengingat hadits adalah sumber hukum kedua bagi umat Islam, tentu untuk

    menetapkan sebuah hukum haruslah dengan hadits-hadits jelas kualitasnya.

  • 6

    Rangkaian mata rantai sanad hadits riwayat bi al-ma’na berbeda beda para perawinya, serta

    hukum dalam meriwayatkannya pun sempat menjadi perdebatan dikalangan para ulama ahli hadits

    (muhadditsin).

    Dari latar belakang yang telah dipaparkan, penulis akan mencoba menggali pandangan para

    ulama dalam menyikapi permasalahan di atas, dengan membuat tulisan karya ilmiah yang berjudul

    “Kualitas Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na”.

    B. RUMUSAN MASALAH

    Untuk lebih menspesifikasikan pembahasan yang akan dipaparkan dan lebih mengarah

    pada penilitian yang dimaksud, penulis menurunkan permasalahan di atas dalam bentuk

    pertanyaan sebagai berikut :

    1. Apa syarat-syarat seorang rawi yang boleh meriwayatkan hadits bi al-ma’na?

    2. Apakah seluruh hadits boleh diriwayatkan dengan bi al-ma’na ?

    3. Bagaimana kualitas hadits riwayat bi al-ma’na ?

    C. TUJUAN PENELITIAN

    Dari perumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan untuk :

    1. Mengetahui syarat-syarat rawi yang boleh meriwayatkan hadits bi al-ma’na.

    2. Mengetahui hadits yang boleh diriwayatkan dengan bil al-ma’na.

    3. Mengetahui Kualitas Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na.

    D. KEGUNAAN PENELELITIAN

    Adapun kegunaan penelitian ini diantaranya :

  • 7

    1. Secara akademis. Penelitian hadits pada dasarnya dilakukan untuk mencari keotentikan dan

    kualitas dari sebuah hadits serta menjaganya dari kekeliruan. Hadits Nabi yang telah

    diriwayatankan secara ma’na mengandung banyak problem didalamnya. Periwayatan

    hadits dengan ma’na ini bisa mempengaruhi autentisitas dan derajat hadits itu. Dengan

    mengetahui kualitas sebuah hadits tersebut, maka hadits itu layak untuk dijadikan hujjah,

    dan juga tepat tanpa terjadi kekeliruan dalam menetapkan sebuah hukum. Kemudian

    dengan penelitian terhadap hadits riwayat bi al-ma’na ini diharapkan mampu memberikan

    kontribusi terhadap keilmuan terlebih dalam bidang hadits.

    2. Secara praktis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran dalam mengetahui

    kualitas hadits riwayat bi al-ma’na.

    E. KERANGKA PEMIKIRAN

    Hadits Nabi apabila dilihat dari segi diterima dan ditolaknya terbagi menjadi dua, yaitu

    hadits maqbul (diterima) dan hadits mardud (ditolak). Hadits maqbul adalah hadits yang

    memenuhi syarat-syarat diterimanya riwayat. Sedangkan hadits mardud adalah yang tidak

    memenuhi semua atau sebagian syarat diterimanya riwayat itu. Dan secara otomatis masing-

    masing bagian itu memiliki jenis-jenis yang berbeda-beda dari segi kuat ataupun lemahnya karena

    perbedaan kondisi para rawi dan riwayatnya.10

    Kondisi para rawi hadits menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pengetahuan

    akan derajat hadits, yakni shahih, hasan dan dhaif. Karena dengannya menjadi tolak ukur dalam

    menentukan keshahihan sanad hadits. Kondisi para rawi dapat ditelusuri melalui satu disiplin ilmu

    dalam bidang hadits yakni ilmu Rijal al-Hadits.

    10 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 273

  • 8

    Ilmu Rijal al-Hadits adalah :

    علم يبحث فيه عن أحوال الرواة وسريهم من الصحابة والتابعني واتباع التابعني

    “ Ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya, membicarakan hal ihwal dan sejarah kehidupan

    para rawi dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in.”11

    Ilmu Rijal al-Hadits terbagi menjadi dua bagian penting, yaitu ilmu Tarikh ar-Ruwat dan Ilmu al-

    Jarh wa at-Ta’dil.

    Bagian pertama, Ilmu Tarikh ar-Ruwat adalah :

    يث من الناحية اليت تتعلق بروايتهم للحديثالعلم الذي يعرف برواة احلد

    “Ilmu yang mencoba mengenal para rawi hadits dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan

    mereka terhadap hadits tersebut”.

    Jadi ia mencakup penjelasan tentang keadaan perawi, sejarah kelahiran perawi, wafatnya, guru-

    gurunya sejarah mendengarnya (belajarnya) dari mereka, perjalanan-perjalanan ilmiah yang

    mereka lakukan, sejarah kedatangannya kenegri yang berbeda-beda, masa belajarnya sebelum

    ataupun sesudah mengalami kekacauan pikiran dan penjelasan-penjelasan lain yang memiliki

    kaitan erat dengan persoalan-persoalan hadits.12

    Semua permasalahan dalam kehidupan seorang periwayat yang berkaitan dengan

    periwayatan menjadi pertimbangan dalam menentukan benar atau tidaknya suatu hadits.

    11 Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 280 12 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 227

  • 9

    Pertemuan antara murid dan guru apakah benar-benar terjadi atau tidak. Jika terjadi, kapan, di

    mana, bersama siapa dan hadits mana saja yang diperoleh.13

    Bagian kedua, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, kata al-Jarh merupakan mashdar dari kata jaraha-

    yajrahu-jarhan-jarahan yang artinya melukai, terkena luka pada badan, atau menilai cacat

    (kekurangan). Sementara itu al-Jarh menurut muhadditsin ialah :

    اجلرح عند احملدثني الطعن ىف راوى احلديث مبا يسلب او خيل بعدالته او ضبطه

    “al-Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau

    mencacatkan ‘adalah atau ke dhabitannya.

    Sedangkan at-Ta’dil berasal dari kata al-‘Adl (keadilan) akar kata al-‘Adl adalah ‘addala-

    yu’addilu-ta’dilan. Artinya menilai adil kepada seorang periwayat atau membersihkan dari

    kesalahan atau kecacatan. Menurut muhadditsin adalah :

    التعديل عكسه وهو تز كيه الراوى واحلكم عليه أبنه عدل او ضابط

    “At-Ta’dil adalah kebalikan dari al-jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan

    menghukuminya bahwa ia ‘adil atau dhabith”.14

    Jadi ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil adalah timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat

    timbangannya, diterima riwayatnya, dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya.

    Dengan demikian dapat diketahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan dapat

    membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.

    13 Abdul Majid Khon. Takhrīj dan Metode Memahami Hadits, (Jakarta : Amzah, 2014), 81 14 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 84

  • 10

    Ajaj al-Khatib mengatakan al-Jarh wa at-Ta’dil adalah :

    لذي يبحث يف أحوال الرواة من حيث قبول رواايهتم أوردهاالعلم ا

    “Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.”15

    Hadits yang dicatat oleh para periwayat dan penghimpun hadits bukan hanya sabda,

    perbuatan, taqrir dan atau hal ihwal Nabi semata, melainkan juga rangkaian nama-nama

    periwayatnya yang biasa disebut sanad. Hubungan yang terjadi antara periwayat dengan periwayat

    lain yang terdekat dalam suatu sanad adalah hubungan kegiatan penerimaan dan penyampaian

    riwayat hadits. Kedua kegiatan ini dalam ilmu hadits lazim disebut dengan istilah tahammul wa

    ada hadits.16

    Para ulama menentukan sejumlah syarat-syarat kelayakan seorang rawi yang harus

    dipenuhi dalam kegiatan tahammul wa ada hadits. Yang dimaksud kelayakan (ahliyah) adalah

    kepatutan seseorang untuk mendengar dan menerima hadits serta kepatutannya meriwayatkan dan

    menyampaikan hadits.17 Hal ini dilakukan agar periwayatan hadits benar-benar terjaga dari

    kesalahan sekecil apapun, sehingga menunjukan kualitas hadits yang benar-benar valid.

    Dalam kegiatan periwayatan hadits terdapat tata cara atau metode yang telah disepakati

    oleh para ulama hadits ketika menerima, dan ungkapan-ungkapan ketika menyampaikan hadits.

    Metode-metode ketika menerima memiliki tingkat akurasi yang berbeda-beda, oleh karena itu

    penggunaan salah satu ungkapan penyampaian hadits itu hendaknya disesuaikan dengan cara

    penerimaannya. Para ulama telah menetapkan ungkapan penyampaian khusus untuk setiap cara

    15 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 233 16 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta :Bulan Bintang, 2005), 58 17 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 200

  • 11

    penerimaan.18 Dengan demikian sebuah periwayatan benar-benar terukur kuat atau lemahnya, di

    terima dan di tolaknya.

    Dalam masa periwayatan hadits, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadits oleh sebagian

    kelompok, individu dan sebagainya untuk kepentingannya masing-masing. Terjadinya gejolak

    politik pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi salah satu penyebab awal mula terjadinya

    pemalsuan hadits. Untuk menguatkan perkataannya, seseorang dengan mudah menyandarkannya

    kepada Nabi SAW. Sehingga para ulama khusunya muhadditsin mengadakan penelitian hadits

    untuk menyaring dan menemukan hadits-hadits yang terhindar dari pemalsuan. Kemudian

    membaginya kedalam dua kategori yakni maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Hadits yang

    termasuk dalam kategori maqbul adalah hadits dengan kualitas shahih dan hasan, sedangkan yang

    termasuk kategori mardud adalah hadits dhaif.

    Hadits shahih adalah :

    العدل الضابط عن العدل الضابط ااىل منتهاه وال يكون شاذا والمعلالاحلديث الذى اتصل سنده بنقل

    “Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil dan dhabith dari rawi lain

    yang juga ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak

    mengandung cacat (illat).19

    Hadits hasan adalah :

    خف ضبطه غري شاذوالمعلل احلديث الذى اتصل سنده بنقل عدل

    18 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 219 19 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 240

  • 12

    “Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, yang rendah tingkat

    kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat.20

    Seadangkan hadits dhaif adalah :

    ما فقد شرطا من شروط احلديث املقبول

    “Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima)”.21Atau

    hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan.22

    Periwayatan hadits bi al-ma’na adalah implikasi dari adanya periwayatan hadits, yakni

    meriwayatkan hadits hanya dengan mengungkapkan ma’nanya, baik sebagian lafadz atau seluruh

    redaksi matan hadits itu dari periwayat sendiri. Dimulai sejak zaman Nabi SAW sampai pada masa

    pentadwinan (pengkodifikasian) hadits secara resmi.

    F. KAJIAN PUSTAKA

    Untuk mengetahui sejauh mana objek penelitian dan kajian terhadap periwayatan hadits bi

    al-Ma’na, penulis telah melakukan pra-penelitian terhadap sejumlah literature. Hal ini dilakukan

    untuk memastikan apakah ada penelitian dengan tema kajian yang sama atau belum sehingga kelak

    tidak terjadi pengulangan yang mirip dengan penelitian sebelumnya.

    Sepengetahuan penulis, tidak banyak para sarjana yang membuat karya-karya ilmiah

    tentang periwayatan hadits bi al-ma’na. Dari hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan,

    20 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 266 21 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 291 22 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 304

  • 13

    khususnya di perpustakaan UIN sunan Gunung Djati Bandung dan perpustakaan Fakultas

    Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, penulis menemukan satu tulisan karya ilmiah

    (skripsi) di perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang berkenaan dengan hadits riwayat bi al-ma’na

    yaitu dengan judul “Faktor-Faktor Penyebab Kemunculan Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na”.

    Kemudian dari luar, penulis juga menemukan tulisan dalam bentuk jurnal yang berkaitan dengan

    Riwayat bi Al-Ma’na dengan judul “Pengaruh Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na Dalam Pelaksanaan

    Hukum Islam” dan “Periwayatan Hadits Bi Al-Ma’na Implikasi dan Penerapannya Sebagai Uji

    Kritik Matan Di Era Modern”

    Adapun penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah menitik beratkan kepada

    kualitasnya yakni “Kualitas Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na”.

    G. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN

    1. Metode Penelitian

    Berhubung penelitian yang penulis lakukan ini bersifat kualitatif, maka metode yang

    penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan analisis

    isi/contentanalysis. Metode deskriptif ialah metode yang bertujuan untuk melukis jelaskan secara

    sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan

    cermat.23

    Adapun terkait dengan pendekatan, yaitu contentanalysis, ialah metode yang digunakan

    dalam jenis penelitian yang bersifat normatif, dengan menganalisis sumber-sumber tertentu, dan

    datanya dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan (library research).

    23 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, 2012, hlm. 43-44

  • 14

    2. Jenis Data

    jenis data yang digunakan ialah data kualitatif, yaitu data yang terdiri dari tindakan, kata-

    kata, atau data tertulis dalam sejumlah literatur seperti kitab, buku-buku dan lain-lain yang relevan

    dengan pokok permasalahan yang dibahas.

    3. Sumber Data

    Karena jenis data yang dipilih adalah kualitatif, maka sumber pun tidak lepas dari sejumlah

    literatur tersebut. Sumber data dibagi menjadi dua :

    4. Sumber Data Primer

    Dalam penelitian ini yang menjadi sumber primernya adalah buku-buku atau kitab ulumul

    hadits yang di dalamnya membahas tentang riwayat hadits bi al-ma’na seperti :

    - Al-Kifayah Fi ‘Ilmi ar-Riwayat karya al-Khatib al-Bagdadi

    - Al-‘Ilma ila Ma’rifati Ushul al-Riwayat wa Taqyid al-Sama’ karya Qadhi Iyadh bin

    Musa al-Yahsubi

    - Maqayis Naqd Mutun as-Sunah karya Mufsir Azmullah ad-Damini

    - Ushul al-Hadits karya Muhammad Ajaj al-Khatib

    - As-Sunnah Qabla Tadwin karya Muhammad Ajaj al-Khatib

    - At-Taqyid wa al-Idhoh Syarh Moqoddimah Ibn Shalah karya Zainuddin Abdr al-

    Rahman al-Husaini al-iraqi

    a. Sumber Data Sekunder

  • 15

    Yang menjadi sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan yang

    berkaitan dengan periwayatan hadits bi al-ma’na ataupun yang berkaitan dengan permasalahan

    yang dibahas.

    H. Teknik Pengumpulan Data

    Berdasarkan jenis data dan sumber data yang digunakan yaitu literatur, maka tekhnik yang

    akan diambil untuk mengumpulkan data tersebut adalah dengan cara Studi Kepustakaan atau Book

    Surver (Liblary Research).

    I. Tekhnik Analisis Data

    Dengan penelitian kualitatif seperti yang penulis lakukan ini, teknik analisis data ialah

    suatu proses pengolahan data dengan cara mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam

    suatu pola, mengategorikannya, dan menguraikannya.

    Terkait dengan penelitian ini, dalam analisis data, secara praktis penulis akan menempuh

    langkah-langkah sebagai berikut:

    1. Mengumpulkan data-data terkait dengan pemikiran para ulama mengenai periwayatan

    hadits bi al-ma’na

    2. Mendeskripsikan teori-teori yang telah dikumpulkan.

    3. Menganalisis pemikiran para ulama tentang periwayatan hadits bi al-ma’na

    4. Memberikan kesimpulan

    5. Menyusun laporan hasil penelitian dan laporan tersebut dalam bentuk skripsi.

    J. SISTEMATIKA PENULISAN

    Dalam penelitian ini akan di bagi menjadi IV bab

  • 16

    Bab I Pendahuluan yang terdiri dari, Latar belakang masalah, Rumusan Masalah, Tujuan

    penelitian, Kegunaan penelitian, Kerangka pemikiran, langkah-langkah penelitian, sistematika

    penulisan

    Bab II Kajian teori tentang periwayatan hadits bi al-Man’na

    Bab III membahas kualitas hadits yang diriwayatkan secara bi al-ma’na

    Bab IV penutup terdiri dari kesimpulan dan saran