bab i pendahuluan a. latar belakang masalahdigilib.uinsgd.ac.id/19621/4/4_bab 1.pdf · 3 fatchur...
TRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan kesepakatan ummat hadits merupakan sumber syari’at yang
kedua setelah al-Qur’an dan hujjah dalam menetapkan hukum. Ia merupakan
sebuah narasi yang memberikan informasi tentang perkataan, perbuatan, ketetapan,
dan sifat-sifat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik dari segi akhlaq
maupun individu.
Secara harfiyah hadits dapat dikatakan sesuatu yang baru atau sebuah berita
yang disampaikan, jadi hadits dapat dikatakan sebagai sebuah berita yang datang
dari Rasulullah SAW. Sedangkan secara istilah hadits adalah :
للنيب صلى هللا عليه وسلم قوال أو فعال أو تقريرا أو حنوهاما أضيف
“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.1
Sebagai landasan ditetapkannya Hadits sebagai sumber syari’at atau hukum
ialah firman Allah SWT.
1Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung : PT. Al-Ma’rif, 1974), 20
-
2
اي َٰٓ نُو ََٰٰٓٓلَِّذين َٰٓٱَٰٓأ يُّه ام أ ِطيعُوا ََّٰٰٓٓللَّ َٰٓٱَٰٓأ ِطيعُوا ََٰٰٓٓا َٰٓء ُسول َٰٓٱَٰٓو ِليَٰٓلرَّ أُو عَٰٓۡت ن ََٰٰٓٓف إِنَِٰٓمنُكۡم ََٰٰٓٓرَِٰٓمَٰٓۡۡل َٰٓٱَٰٓو َِٰٓٱَٰٓإِل ىَٰٓف ُردُّوهََُٰٰٓٓء َٰٓش يََٰٰٓۡٓفِيَٰٓتُمَٰٓۡز ُسولَِٰٓٱو ََّٰٰٓٓللَّ َٰٓلرَّ
َِٰٓٱبََِِٰٰٓٓمنُون َٰٓتُؤََُٰٰٓۡٓكنتُمََٰٰٓۡٓإِن ََِٰٰٓٓخِر َٰٓۡل َٰٓٱَٰٓمَِٰٓي ۡوَٰٓلَٰٓۡٱو ََّٰٰٓٓللَّيََِٰٰٓۡٓلك َٰٓذ أ حََٰٰٓۡٓر َٰٓخ ٥٩ََِٰٰٓٓويًلَٰٓت أََٰٰٓۡٓس نَُٰٓو
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-
Qur’an) dan Rasul (sunnah). Jika kalian beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (Qs. An-Nisa : 59)
Tapi, tidak semua hadits bisa dijadikan sebagai sumber syari’at dan sebagai hujah, hanya
hadits-hadits yang telah disepakati keotentikannya dan telah jelas kualitasnya yang dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu, para muhadditsin mengklasifikasikan hadits
berdasarkan kualitasnya menjadi tiga yaitu, shahih, hasan, dan dha’if.
Hadits memuat serangkaian nama periwayat, diikuti masalah sesungguhnya yang
bersangkut kepada Nabi SAW. Bagian pertama disebut Isnad, sedangkan bagian kedua disebut
Matn.2 Isnad atau sanad ialah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l hadits (matn) kepada Nabi
Muhammad SAW. Sebagai sumber beritanya. Kualitas keshahihan sanad ditentukan dari keadilan
perawi, kedhabitan dan ketersambungan sanad.
Matnu’l hadits ialah pembicaraan atau materi berita yang di over oleh sanad yang terakhir.
Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah SAW. Sahabat ataupun Tabiin. Baik isi pembicaraan itu
tentang perbuatan nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak di sanggah oleh Nabi. Matnu’l hadits
harus terhindar dari illat dan syadz. Apabila didalamnya terdapat illat atau syadz maka matnu’l
hadits tersebut cacat.3
2 M.M Azami, Memahami Ilmu Hdits Telaah Metodologi dan literatur Hadits, Terj. Studies in Hadith Methodology
and Literature, oleh Meth Kieraha, (Jakarta : Lenter,1997), 57 3 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 39-40
-
3
Untuk menjaga autentisitas dan validitas suatu hadits, ulama ahli hadits semata-mata tidak
hanya mengandalkan akurasi daya ingat yang kuat dan dokumentasi catatan yang terpuji (ad-
dhabth). Integritas individu penyampai berita (al-adalah/keadilan), dan ketersambungan sanad
(ittishālu as-sanad), tetapi juga memandang signifikasi terbebasnya bangunan riwayat hadits itu
dari syadz dan illat. Hadis dengan kualifikasi seperti inilah yang bisa dijadikan sumber syari’at
atau hukum kedua setelah al-Qur’an.4
Seluruh riyawat hadits pada realitasnya tidak tertulis pada masa Rasulullah SAW. dan
proses kodifikasinya menyita waktu yang cukup panjang. Di samping itu, ternyata tidak sedikit
hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan hanya dengan mempertimbangkan dimensi substansinya saja
(riwāyah bi al-ma’na). Kondisi ini menimbulkan titik lemah tertentu, dan pada gillirannya
bangunan hadits itu mesti dikaji lewat mekanisme kritik.
Mengkaji konstruksi bangunan hadits, pada dasarnya meneliti sanad dan matannya
sekaligus untuk menetapkan kualitasnya. Menurut kesepakatan ulama, keshahihan matan tidak
sepenuhnya menjamin validitas sanad. Begitu juga sebaliknya, keshahihan sanad bukan garansi
validitas matan.5
Dalam sejarah perkembangan hadits, kaum muslimin memberikan perhatian yang sangat
besar terhadap hadits Nabawy. Mereka sangat bersemangat untuk menghafal, memindahkan dan
menyampaikannya sejak masa-masa awal islam. Disamping itu juga mereka bersemangat untuk
menghimpun dan mengkodifikasikannya.6
4 Nasaruddin Umar. Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta : PT Alex Media Komputindo,
2014),18-19 5 Mufsir Azmullah ad-Dāminī, Maqāyīs Naqd Mutūn as-Sunnah, (Beirut : Dār Al-Fikrī,1990), 30 6 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits (terjemah), Gaya Media Pratama, Jakarta, 1998, hlm. 199
-
4
Selanjutnya implementasi dari kesungguhan kaum muslimin itulah maka muncul dua
obyek kajian pokok dalam ilmu hadits yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
Berbicara ilmu hadits riwayah maka berbicara mengenai sabda, perbuatan taqrir dan sifat
Rasulullah SAW. sebagai obyeknya yang dipandang dari sudut pengutipannya secara cermat dan
akurat.7 Adapun sabda, perbuatan taqrir, dan sifat rasul tidak terlepas dari system periwayatan (al-
riwayah).
Periwayatan hadits nabi oleh rawi dilakukan dengan dua cara, yaitu diriwayatkan dengan
lafadz yang diterima dari syekh tanpa ada perubahan, pengurangan, dan penambahan (riwayat bil
lafdzi ). dan ada yang diriwayatkan hanya dengan mengungkapkan ma’nanya saja (riwayat bi al-
ma’na).
Riwayah bi al-ma’na bisa disebabkan rawi lupa, atau misi konsepsi terhadap riwayat yang
diterima dari gurunya,8 atau kepentingan-kepentingan lain yang mengharuskan menggunakan
riwayat bi al-ma’na, karena banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dalam hal
periwayatan. Oleh sebab itu periwayatan hadits bi al-ma’na menjadi kajian yang termasuk kedalam
ilmu riwayat hadits yang paling penting karena padanya terjadi perbedaan pendapat dan ketidak
jelasan serta banyak problemnya.9
Riwayat bil ma’na terjadi pada hadits-hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah), ketetapan
(taqrir) dan sifat Nabi SAW. Karena tidak ada redaksi matan hadits dari Nabi secara langsung
kemungkinannya pada hadits ini hanya dapat diriwayatkan dengan ma’nanya dengan redaksi dari
rawi sendiri. Tetapi tidak jarang juga riwayat bil ma’na terjadi pada hadits yang berupa sabda Nabi
7 Ajaj al-Khatib, 1998, xi 8 Nasaruddin Umar. Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadits, 21 9 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, Terj. Manhaj An-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadits, oleh Mujiyo, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), 223
-
5
(Qauliyah), hal ini disebabkan dengan berbagai kondisi, seperti akurasi daya ingat para sahabat
yang berbeda-beda atau mereka tidak menyaksikan secara langsung ketika nabi menyampaikan
hadits, atau kondisi tertentu yang mengharuskan periwayatan dengan ma’na saja.
Inilah yang menjadi permasalahan dalam riwayat bi al-Ma’na. Setelah terkodifikasi dalam
sebuah kitab seperti pada masa sekarang kemudian implikasinya adalah terhadap keotentikan dan
kualitas dari hadits tersebut.
Sebagai contoh salah satu hadits riwayat bi al-ma’na :
Hadits pertama : HR. Abu Dawud
فيها شيئ من كالم الناس هذا امناهواالتسبيح والتكبريوقراءة القران الحيلان هذه الصالة
Hadits kedua : HR. Al-Darimi
اءة القرانامناهواالتسبيح والتكبريوقر فيها شيئ من كالم الناس هذا اليصلحان هذه الصالة
Kedua hadits di atas memiliki redaksi matan yang yang berbeda namun tidak merubah substansi
ma’nanya, perbedaan yang terjadi pada hadits tersebut adalah adanya ibdal (pergantian) lafadz
seperti yang di garis bawahi.
Kendati dalam kenyataannya hadits tersebut tidak keluar dari substansi ma’nanya, namun
jika dicermati, sekilas adanya keraguan dari seorang perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut
sehingga dia mengganti salah satu kata atau lafadznya. Hal ini tentu menjadi persoalan dalam
periwayatan hadits mengingat hadits adalah sumber hukum kedua bagi umat Islam, tentu untuk
menetapkan sebuah hukum haruslah dengan hadits-hadits jelas kualitasnya.
-
6
Rangkaian mata rantai sanad hadits riwayat bi al-ma’na berbeda beda para perawinya, serta
hukum dalam meriwayatkannya pun sempat menjadi perdebatan dikalangan para ulama ahli hadits
(muhadditsin).
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, penulis akan mencoba menggali pandangan para
ulama dalam menyikapi permasalahan di atas, dengan membuat tulisan karya ilmiah yang berjudul
“Kualitas Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na”.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk lebih menspesifikasikan pembahasan yang akan dipaparkan dan lebih mengarah
pada penilitian yang dimaksud, penulis menurunkan permasalahan di atas dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa syarat-syarat seorang rawi yang boleh meriwayatkan hadits bi al-ma’na?
2. Apakah seluruh hadits boleh diriwayatkan dengan bi al-ma’na ?
3. Bagaimana kualitas hadits riwayat bi al-ma’na ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Dari perumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui syarat-syarat rawi yang boleh meriwayatkan hadits bi al-ma’na.
2. Mengetahui hadits yang boleh diriwayatkan dengan bil al-ma’na.
3. Mengetahui Kualitas Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na.
D. KEGUNAAN PENELELITIAN
Adapun kegunaan penelitian ini diantaranya :
-
7
1. Secara akademis. Penelitian hadits pada dasarnya dilakukan untuk mencari keotentikan dan
kualitas dari sebuah hadits serta menjaganya dari kekeliruan. Hadits Nabi yang telah
diriwayatankan secara ma’na mengandung banyak problem didalamnya. Periwayatan
hadits dengan ma’na ini bisa mempengaruhi autentisitas dan derajat hadits itu. Dengan
mengetahui kualitas sebuah hadits tersebut, maka hadits itu layak untuk dijadikan hujjah,
dan juga tepat tanpa terjadi kekeliruan dalam menetapkan sebuah hukum. Kemudian
dengan penelitian terhadap hadits riwayat bi al-ma’na ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi terhadap keilmuan terlebih dalam bidang hadits.
2. Secara praktis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran dalam mengetahui
kualitas hadits riwayat bi al-ma’na.
E. KERANGKA PEMIKIRAN
Hadits Nabi apabila dilihat dari segi diterima dan ditolaknya terbagi menjadi dua, yaitu
hadits maqbul (diterima) dan hadits mardud (ditolak). Hadits maqbul adalah hadits yang
memenuhi syarat-syarat diterimanya riwayat. Sedangkan hadits mardud adalah yang tidak
memenuhi semua atau sebagian syarat diterimanya riwayat itu. Dan secara otomatis masing-
masing bagian itu memiliki jenis-jenis yang berbeda-beda dari segi kuat ataupun lemahnya karena
perbedaan kondisi para rawi dan riwayatnya.10
Kondisi para rawi hadits menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pengetahuan
akan derajat hadits, yakni shahih, hasan dan dhaif. Karena dengannya menjadi tolak ukur dalam
menentukan keshahihan sanad hadits. Kondisi para rawi dapat ditelusuri melalui satu disiplin ilmu
dalam bidang hadits yakni ilmu Rijal al-Hadits.
10 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 273
-
8
Ilmu Rijal al-Hadits adalah :
علم يبحث فيه عن أحوال الرواة وسريهم من الصحابة والتابعني واتباع التابعني
“ Ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya, membicarakan hal ihwal dan sejarah kehidupan
para rawi dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in.”11
Ilmu Rijal al-Hadits terbagi menjadi dua bagian penting, yaitu ilmu Tarikh ar-Ruwat dan Ilmu al-
Jarh wa at-Ta’dil.
Bagian pertama, Ilmu Tarikh ar-Ruwat adalah :
يث من الناحية اليت تتعلق بروايتهم للحديثالعلم الذي يعرف برواة احلد
“Ilmu yang mencoba mengenal para rawi hadits dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan
mereka terhadap hadits tersebut”.
Jadi ia mencakup penjelasan tentang keadaan perawi, sejarah kelahiran perawi, wafatnya, guru-
gurunya sejarah mendengarnya (belajarnya) dari mereka, perjalanan-perjalanan ilmiah yang
mereka lakukan, sejarah kedatangannya kenegri yang berbeda-beda, masa belajarnya sebelum
ataupun sesudah mengalami kekacauan pikiran dan penjelasan-penjelasan lain yang memiliki
kaitan erat dengan persoalan-persoalan hadits.12
Semua permasalahan dalam kehidupan seorang periwayat yang berkaitan dengan
periwayatan menjadi pertimbangan dalam menentukan benar atau tidaknya suatu hadits.
11 Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 280 12 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 227
-
9
Pertemuan antara murid dan guru apakah benar-benar terjadi atau tidak. Jika terjadi, kapan, di
mana, bersama siapa dan hadits mana saja yang diperoleh.13
Bagian kedua, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, kata al-Jarh merupakan mashdar dari kata jaraha-
yajrahu-jarhan-jarahan yang artinya melukai, terkena luka pada badan, atau menilai cacat
(kekurangan). Sementara itu al-Jarh menurut muhadditsin ialah :
اجلرح عند احملدثني الطعن ىف راوى احلديث مبا يسلب او خيل بعدالته او ضبطه
“al-Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau
mencacatkan ‘adalah atau ke dhabitannya.
Sedangkan at-Ta’dil berasal dari kata al-‘Adl (keadilan) akar kata al-‘Adl adalah ‘addala-
yu’addilu-ta’dilan. Artinya menilai adil kepada seorang periwayat atau membersihkan dari
kesalahan atau kecacatan. Menurut muhadditsin adalah :
التعديل عكسه وهو تز كيه الراوى واحلكم عليه أبنه عدل او ضابط
“At-Ta’dil adalah kebalikan dari al-jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan
menghukuminya bahwa ia ‘adil atau dhabith”.14
Jadi ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil adalah timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat
timbangannya, diterima riwayatnya, dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya.
Dengan demikian dapat diketahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan dapat
membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.
13 Abdul Majid Khon. Takhrīj dan Metode Memahami Hadits, (Jakarta : Amzah, 2014), 81 14 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 84
-
10
Ajaj al-Khatib mengatakan al-Jarh wa at-Ta’dil adalah :
لذي يبحث يف أحوال الرواة من حيث قبول رواايهتم أوردهاالعلم ا
“Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.”15
Hadits yang dicatat oleh para periwayat dan penghimpun hadits bukan hanya sabda,
perbuatan, taqrir dan atau hal ihwal Nabi semata, melainkan juga rangkaian nama-nama
periwayatnya yang biasa disebut sanad. Hubungan yang terjadi antara periwayat dengan periwayat
lain yang terdekat dalam suatu sanad adalah hubungan kegiatan penerimaan dan penyampaian
riwayat hadits. Kedua kegiatan ini dalam ilmu hadits lazim disebut dengan istilah tahammul wa
ada hadits.16
Para ulama menentukan sejumlah syarat-syarat kelayakan seorang rawi yang harus
dipenuhi dalam kegiatan tahammul wa ada hadits. Yang dimaksud kelayakan (ahliyah) adalah
kepatutan seseorang untuk mendengar dan menerima hadits serta kepatutannya meriwayatkan dan
menyampaikan hadits.17 Hal ini dilakukan agar periwayatan hadits benar-benar terjaga dari
kesalahan sekecil apapun, sehingga menunjukan kualitas hadits yang benar-benar valid.
Dalam kegiatan periwayatan hadits terdapat tata cara atau metode yang telah disepakati
oleh para ulama hadits ketika menerima, dan ungkapan-ungkapan ketika menyampaikan hadits.
Metode-metode ketika menerima memiliki tingkat akurasi yang berbeda-beda, oleh karena itu
penggunaan salah satu ungkapan penyampaian hadits itu hendaknya disesuaikan dengan cara
penerimaannya. Para ulama telah menetapkan ungkapan penyampaian khusus untuk setiap cara
15 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 233 16 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta :Bulan Bintang, 2005), 58 17 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 200
-
11
penerimaan.18 Dengan demikian sebuah periwayatan benar-benar terukur kuat atau lemahnya, di
terima dan di tolaknya.
Dalam masa periwayatan hadits, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadits oleh sebagian
kelompok, individu dan sebagainya untuk kepentingannya masing-masing. Terjadinya gejolak
politik pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi salah satu penyebab awal mula terjadinya
pemalsuan hadits. Untuk menguatkan perkataannya, seseorang dengan mudah menyandarkannya
kepada Nabi SAW. Sehingga para ulama khusunya muhadditsin mengadakan penelitian hadits
untuk menyaring dan menemukan hadits-hadits yang terhindar dari pemalsuan. Kemudian
membaginya kedalam dua kategori yakni maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Hadits yang
termasuk dalam kategori maqbul adalah hadits dengan kualitas shahih dan hasan, sedangkan yang
termasuk kategori mardud adalah hadits dhaif.
Hadits shahih adalah :
العدل الضابط عن العدل الضابط ااىل منتهاه وال يكون شاذا والمعلالاحلديث الذى اتصل سنده بنقل
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil dan dhabith dari rawi lain
yang juga ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak
mengandung cacat (illat).19
Hadits hasan adalah :
خف ضبطه غري شاذوالمعلل احلديث الذى اتصل سنده بنقل عدل
18 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 219 19 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 240
-
12
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, yang rendah tingkat
kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat.20
Seadangkan hadits dhaif adalah :
ما فقد شرطا من شروط احلديث املقبول
“Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima)”.21Atau
hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan.22
Periwayatan hadits bi al-ma’na adalah implikasi dari adanya periwayatan hadits, yakni
meriwayatkan hadits hanya dengan mengungkapkan ma’nanya, baik sebagian lafadz atau seluruh
redaksi matan hadits itu dari periwayat sendiri. Dimulai sejak zaman Nabi SAW sampai pada masa
pentadwinan (pengkodifikasian) hadits secara resmi.
F. KAJIAN PUSTAKA
Untuk mengetahui sejauh mana objek penelitian dan kajian terhadap periwayatan hadits bi
al-Ma’na, penulis telah melakukan pra-penelitian terhadap sejumlah literature. Hal ini dilakukan
untuk memastikan apakah ada penelitian dengan tema kajian yang sama atau belum sehingga kelak
tidak terjadi pengulangan yang mirip dengan penelitian sebelumnya.
Sepengetahuan penulis, tidak banyak para sarjana yang membuat karya-karya ilmiah
tentang periwayatan hadits bi al-ma’na. Dari hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan,
20 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 266 21 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, 291 22 Ajaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, 304
-
13
khususnya di perpustakaan UIN sunan Gunung Djati Bandung dan perpustakaan Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, penulis menemukan satu tulisan karya ilmiah
(skripsi) di perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang berkenaan dengan hadits riwayat bi al-ma’na
yaitu dengan judul “Faktor-Faktor Penyebab Kemunculan Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na”.
Kemudian dari luar, penulis juga menemukan tulisan dalam bentuk jurnal yang berkaitan dengan
Riwayat bi Al-Ma’na dengan judul “Pengaruh Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na Dalam Pelaksanaan
Hukum Islam” dan “Periwayatan Hadits Bi Al-Ma’na Implikasi dan Penerapannya Sebagai Uji
Kritik Matan Di Era Modern”
Adapun penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah menitik beratkan kepada
kualitasnya yakni “Kualitas Hadits Riwayat Bi Al-Ma’na”.
G. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Berhubung penelitian yang penulis lakukan ini bersifat kualitatif, maka metode yang
penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan analisis
isi/contentanalysis. Metode deskriptif ialah metode yang bertujuan untuk melukis jelaskan secara
sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan
cermat.23
Adapun terkait dengan pendekatan, yaitu contentanalysis, ialah metode yang digunakan
dalam jenis penelitian yang bersifat normatif, dengan menganalisis sumber-sumber tertentu, dan
datanya dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan (library research).
23 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, 2012, hlm. 43-44
-
14
2. Jenis Data
jenis data yang digunakan ialah data kualitatif, yaitu data yang terdiri dari tindakan, kata-
kata, atau data tertulis dalam sejumlah literatur seperti kitab, buku-buku dan lain-lain yang relevan
dengan pokok permasalahan yang dibahas.
3. Sumber Data
Karena jenis data yang dipilih adalah kualitatif, maka sumber pun tidak lepas dari sejumlah
literatur tersebut. Sumber data dibagi menjadi dua :
4. Sumber Data Primer
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber primernya adalah buku-buku atau kitab ulumul
hadits yang di dalamnya membahas tentang riwayat hadits bi al-ma’na seperti :
- Al-Kifayah Fi ‘Ilmi ar-Riwayat karya al-Khatib al-Bagdadi
- Al-‘Ilma ila Ma’rifati Ushul al-Riwayat wa Taqyid al-Sama’ karya Qadhi Iyadh bin
Musa al-Yahsubi
- Maqayis Naqd Mutun as-Sunah karya Mufsir Azmullah ad-Damini
- Ushul al-Hadits karya Muhammad Ajaj al-Khatib
- As-Sunnah Qabla Tadwin karya Muhammad Ajaj al-Khatib
- At-Taqyid wa al-Idhoh Syarh Moqoddimah Ibn Shalah karya Zainuddin Abdr al-
Rahman al-Husaini al-iraqi
a. Sumber Data Sekunder
-
15
Yang menjadi sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan periwayatan hadits bi al-ma’na ataupun yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas.
H. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis data dan sumber data yang digunakan yaitu literatur, maka tekhnik yang
akan diambil untuk mengumpulkan data tersebut adalah dengan cara Studi Kepustakaan atau Book
Surver (Liblary Research).
I. Tekhnik Analisis Data
Dengan penelitian kualitatif seperti yang penulis lakukan ini, teknik analisis data ialah
suatu proses pengolahan data dengan cara mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam
suatu pola, mengategorikannya, dan menguraikannya.
Terkait dengan penelitian ini, dalam analisis data, secara praktis penulis akan menempuh
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data-data terkait dengan pemikiran para ulama mengenai periwayatan
hadits bi al-ma’na
2. Mendeskripsikan teori-teori yang telah dikumpulkan.
3. Menganalisis pemikiran para ulama tentang periwayatan hadits bi al-ma’na
4. Memberikan kesimpulan
5. Menyusun laporan hasil penelitian dan laporan tersebut dalam bentuk skripsi.
J. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penelitian ini akan di bagi menjadi IV bab
-
16
Bab I Pendahuluan yang terdiri dari, Latar belakang masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
penelitian, Kegunaan penelitian, Kerangka pemikiran, langkah-langkah penelitian, sistematika
penulisan
Bab II Kajian teori tentang periwayatan hadits bi al-Man’na
Bab III membahas kualitas hadits yang diriwayatkan secara bi al-ma’na
Bab IV penutup terdiri dari kesimpulan dan saran