bab i pendahuluan a. latar belakang...1 bab i pendahuluan a. latar belakang indonesia adalah negara...
TRANSCRIPT
-
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan apa yang disebutkan dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan ke-4 bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan Pasal tersebut
merupakan landasan konstitusional yang menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya
aturan main dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (supremacy of law).
Oleh sebab itu apa yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat harus sesuai
dengan hukum, jikalau tidak sesuai atau dengan kata lain melakukan suatu
perbuatan yang menyalahi apa yang sudah diatur oleh hukum warga dalam
masyarakat yang melakukan hal tersebut harus berhadapan dengan aparat penegak
hukum.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum juga harus
sesuai dengan hukum acaranya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). KUHAP adalah hukum acara yang dimaksudkan untuk menegakan
hukum pidana materill, pembentukan KUHAP dimaksudkan agar sistem peradilan
pidana dapat berjalan sesuai dengan hukum acara berdasarkan tahapan-tahapan
yang telah ditentukan agar tercipta keadilan dan kepastian serta dapat memberikan
manfaat hukum berdasarkan proses peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
yang juga termasuk salah satu asas hukum acara pidana.
Adapun yang menjadi tujuan Hukum Acara Pidana, yang dirumuskan dalam
pedoman pelaksanaan KUHAP bahwa:
-
2
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materill, ialah kebenaran yang
selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” 1
Bahwa untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materill, dalam proses yang dilakukan oleh sub-sistem peradilan pidana,
khususnya sub-sistem penyidikan dan sub-sistem penuntutan dalam melakukan
upaya paksa dapat terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka. Oleh karena itu
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
mengintroduksikan lembaga Praperadilan, yang berdasarkan Pasal 1 butir 10 Jo
Pasal 77 KUHAP (Sebelum adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014) adalah
merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.2
Dalam Pasal 78 ayat KUHAP dikatakan bahwa :
1. Yang melaksanakan wewenang Pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 adalah praperadilan.
2. Praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang Panitera.
1 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hal. 3. 2 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta,
1986, hal. 74-75.
-
3
Dalam Pasal 79. 80, 81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal
pokok, yaitu sebagai berikut:
a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan
atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut
umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri
dengan menyebutkan alasannya.
c. Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan
atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan
alasannya.
Berdasarkan uraian diatas, tujuan diadakannya praperadilan adalah sesuai
dengan Penjelasan Pasal 80 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana yaitu menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana
pengawasan secara horizontal.3
Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan dalam Bab X, Bagian Kesatu,
sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan
Negeri, yang ciri dan eksistensinya:
1. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan
Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri,
3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 189-190.
-
4
2. Dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi
dari Pengadilan Negeri,
3. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan
pembinaan Ketua Pengadilan Negeri,
4. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.4
Segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan tugas
Praperadilan, berada di bawah ruang lingkup kebijaksanaan dan tata laksana Ketua
Pengadilan Negeri. Semua permintaan yang diajukan kepada Praperadilan, melalui
Ketua Pengadilan Negeri. Sehubungan dengan hal tersebut, mekanisme pengajuan
permintaan pemeriksaan Praperadilan, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
2. Permohonan Diregister dalam Perkara Praperadilan
3. Ketua Pengadilan Negeri Segera Menunjuk Hakim dan Panitera
4. Pemeriksaan dilakukan dengan Hakim Tunggal.5
Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tentang
Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah selaku Pemohon yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal
dalam KUHAP yang diuji dalam permohonan ini, karena dalam pemberlakuan
pasal-pasal yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional
Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.
1. 5 Ibid., hal. 12-13
-
5
dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dirugikan.
Adapun yang menjadi pokok permohonan adalah Pasal 1 angka (2), Pasal 1
angka (14) juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat
(2), Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP melanggar Pasal 1 ayat
(3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto
Pasal 21 ayat (1) KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I
ayat (5) UUD 1945, Pasal 77 huruf a KUHAP melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan asas
legalitas dan asas peradilan cepat. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
menyatakan Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Terkait dengan perihal pengujian tersebut dalam Amar Putusannya
Mahkamah Konstitusi menyatakan :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat
bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.2 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak
-
6
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa
“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.3 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan;
1.4 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 6
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berarti menambahkan ketentuan Pasal
77 KUHAP, sehingga objek praperadilan diperluas, yaitu termasuk sah atau
tidaknya penetapan tersangka, sah atau tidaknya penggeledahan dan sah atau
tidaknya penyitaan.
Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah dengan adanya perluasan objek
praperadilan tersebut apakah mencerminkan keadilan, kepastian serta kemanfaatan
atau malah sebaliknya mencermikan ketidakadilan, ketidakpastian serta tidak
bermanfaat. Ternyata terjadi pro dan kontra terhadap putusan tersebut.
Terhadap putusan tersebut dari sisi yang pro terhadap putusan tersebut adalah
dapat tercapainya penyelenggaraan sistem peradilan pidana yang berjalan secara
baik dimana fungsi kontrol akan lebih nampak terhadap setiap tindakan yang
menyimpang dari ketentuan undang-undang tersebut dapat segera dicegah atau
dilakukan tindakan-tindakan guna meluruskan kembali sesuai dengan ketentuan-
6 Amar Putusan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
-
7
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, memberikan tekanan bagi para aparat
penegak hukum agar supaya bekerja secara professional dan berhati-hati dalam
menetapkan status tersangka bagi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Demi tegaknya hukum yang adil, pasti serta memberikan kemanfaatan.
Memberikan tekanan bagi para aparat penegak hukum agar supaya bekerja secara
professional dan berhati-hati dalam menetapkan status tersangka bagi seseorang
yang diduga melakukan tindak pidana.
R. Soeparmono mengatakan bahwa :
“fungsi kontrol yang menjadi bagian wewenang Pengadilan Negeri tersebut
melalui praperadilan, akan mengkaji ulang, apakah tindakan yang telah
dilakukan oleh penegak hukum itu telah sesuai dan proposional, dalam kaitan
tindakan hukum yang telah ditempuh oleh Penyidik atau Penuntut umum
yang telah sesuai dengan prosedur menurut ketentuan perundang-undangan
ataukah tidak.”7
Sedangkan disisi yang kontra mengganggap dengan memasukan penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan berarti akan menguji sah atau tidaknya
penyidikan, dikarenakan jikalau seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka jika
sudah melalui prosedur yang benar yaitu dengan ditemukan alat bukti, membuat
suatu tindak pidana menjadi terang terlebih dahulu baru ditetapkan sebagai
tersangka, jika mengajukan praperadilan seharusnya ditolak, dikarenakan itu berarti
praperadilan yang diajukan akan menguji hasil penyidikan, yang dimana hal
tersebut sudah masuk dalam pokok perkara. Hal ini dapat dilihat dalam praktek
berhukum di Indonesia dengan maraknya pengajuan praperadilan yang beralasan
sah atau tidaknya penetapan tersangka dikarenakan para pelaku kejahatan merasa
mempunyai senjata yang dapat digunakan untuk membebaskan dirinya dari jeratan
7 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam
KUHAP, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2015, hal. 16.
-
8
hukuman, padahal proses penegakan hukum yang di lakukan oleh aparat penegak
hukum sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Akan tetapi jika proses yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang diatur,
seperti seseorang ditetapkan sebagai tersangka kemudian baru di cari alat bukti
barulah penetapan seseorang sebagai tersangka, dapat diajukan ke praperadilan,
dari sisi kontra juga menganggap penetapan tersangka bukan merupakan bentuk
upaya paksa.
Penetapan tersangka adalah bagian dari penyidikan yang dalam ketentuan
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
jo Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 14
Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkannya”.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 14 KUHAP menyatakan bahwa: “tersangka
adalah seorang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Proses penetapan terjadinya tindak
pidana dan tersangka didasarkan dua alat bukti dan keyakinan penyidik bahwa telah
terjadi tindak pidana atau perbuatan pidana.
Dalam Pasal 21 dan Pasal 22 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (PERKAPOLRI) No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Tindak Pidana, menyatakan:
1. Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah
-
9
melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan
penangkapan.
2. Bukti yang cukup adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 2 (dua) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah
melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penahanan.
Dengan demikian sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka ada
tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini adalah penyidik untuk
melakukan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menemukan bukti yang cukup
untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Dalam penyelenggaraan sistem
peradilan pidana agar dapat terciptanya sestem peradilan pidana terpadu dan dapat
menghasilkan putusan pengadilan yang berkualitas oleh sebab itu
penyelenggaraannya haruslah sesuai dengan prosedur-prosedur yang sudah diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan alasan-alasan yang dikemukakan diatas maka penulis
terdorong untuk melakukan analisis yuridis yang dituangkan dalam bentuk tesis
dengan mengangkat judul “PERTIMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
TENTANG PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN
DALAM PUTUSAN MK NO. 21/PUU-XII/2014”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini
adalah :
Mengapa Mahkamah Konstitusi memutuskan penetapan tersangka
sebagai objek praperadilan?
-
10
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Mahkamah
Konstitusi menetapkan bahwa penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu :
1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam
kajian pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka cara
berpikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi para hakim
dalam memutus suatu perkara dan menjadi pertimbangan hakim
melalui putusannya.
E. Kerangka Pemikiran
Mengenai persoalan putusan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan,
akan penulis dekati dengan menggunakan Teori Penghormatan Terhadap Hak Asasi
Manusia dan Teori Sistem Peradilan Pidana Terpadu.
1. Teori Penghormatan Terhadap Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, biasa
dirumuskan sebagai hak kodratiah yang melekat dimiliki oleh manusia sebagai
karunia pemberian Tuhan kepada insan manusia dalam menopang dan
mempertahankan hidup dan prikedidupannya dimuka bumi.
-
11
Pasal 1 Butir 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, memberikan rumusan
tentang pengertian HAM sebagai: seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.8
Hukum memiliki supremasi (supreme) kedudukan tertinggi untuk dipatuhi,
kedudukan hukum demikian telah memosisikannya sebagai alat (tool) sarana untuk
mewujudkan ide, cita, dan harapan-harapan perwujudan nilai-nilai keadilan
kemanusiaan. Keadilan kemanusiaan hanya aka nada bilamana HAM dihormati.
Disinilah ditemukan korelasi antara hukum dan HAM.
Prof. Mansyur A. Effendy, mengatakan bahwa: Hukum dan HAM merupakan
satu kesatuan yang sulit dipisahkan, keduanya seperti dua sisi mata uang. Apabilan
suatu bangunan hukum dibangun tanpa Hak Asasi Manusia yang merupakan
pengawal bagi hukum dalam dalam merealisasi nilai-nilai keadilan kemanusiaan,
maka hukum tersebut menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan
kekuasaannya (abuse of power). Sebaliknya apabila HAM dibangun tanpa
didasarkan atas suatu komitmen hukum yang jelas, maka HAM tersebut hanya akan
menjadi bangunan rapuh dan mudah untuk disimpangi. Artinya hukum harus
berfungsi sebagai instrumentarium yuridis, sarana dan atau tool memperhatikan
penghormatan terhadap prinsip-prinsip HAM.9
Perlindungan HAM tidak saja bermakna sebagai jaminan pro aktif
memproteksi HAM dalam berbagai kebijakan regulasi, tetapi juga reaktif bereaksi
cepat dalam melakukan tindakan hukum apabila terjadi pelanggaran HAM, karena
hal tersebut merupakan indikator negara hukum. Jika dalam suatu negara, HAM
terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya
tidak dapat diatasi secara adil, negara tersebut tidak dapat disebut sebagai negara
hukum dan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Pemahaman HAM dalam
perspektif sistem peradilan pidana dan administrasi peradilan pidana harus
8Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Rights in
Democratiche Rechtsstaat), Sinar Grafika, Jakarta, Cet I, September 2013, hal. 17. 9 Ibid., hal. 19.
-
12
ditempatkan dalam kerangka supremasi hukum, yang keduanya merupakan bagian
integral dari demokrasi. HAM didalam administrasi peradilan pidana hanya dapat
dimonitor, dijalankan serta ditegakan apabila terdapat kesadaran dan kerjasama
sistemik antara pemerintah (khusunya penegak hukum).
Dalam sejarah tercatat beberapa pernyataan hak asasi manusia dimulai dengan :
1. Magna Charta tahun 1615 (Inggris).
2. Bill of Rights tahun 1688 (Inggris).
3. Declaration of the Rights of Man and of the Citizen, 1789 (Perancis).
4. Bill of Rights, 1791 (Amerika Serikat).10
Kemudian berkembang terus dan dipakai oleh banyak negara serta dimuat
dalam konstitusinya. Sifat umum Hak Asasi Manusia tersebut akhirnya diangkat
Perserikatan Bangsa-Bangsa kedalam deklarasi Hak Asasi Manusia secara
universal pada 10 desember 1948. Pengaturan tentang HAM di Indonesia sendiri
telah mendapat tempat dalam konstitusi, yakni pada Bab X.A, Undang-Undang
Dasar NKRI Tahun 1945, mulai dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.
Hormat terhadap hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral dalam
pelaksanaan yang benar dari setiap sistem peradilan kejahatan. Prinsip ini
termanifestasi dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang disahkan
dalam siding umum pada tahun 1948, yang pada kalimat pertama mukadimahnya
menyatakan: “sedang pengakuan terhadap martabat yang melekat dan terhadap hak-
hak yang sepadan dan tidak dapat diganggu gugat dari semua manusia adalah dasar
untuk kebebasan, keadilan, dan kedamaian dunia”. Pasal-pasal Deklarasi itu
menyatakan bahwa semua orang adalah sederajat di hadapan hukum; penangkapan,
penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang dilarang; mempromosikan
bahwa hak setiap orang yang dituntut dengan hukuman harus dianggap tidak
bersalah sampai ia terbukti bersalah dalam suatu pengadilan yang adil dan terbuka
dimana tertuduh mempunyai kesempatan untuk membela diri; dan menolak
penyiksaan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan melecehkan martabat
kemanusiaan.11
10A. Masyhur Effendi, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Internasional/Nasional, Alumni, Bandung 1980, hal. 21. 11Kunarto, Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Penegakan Hukum, PT Cipta
Manunggal, Jakarta 1996, hal. 41.
-
13
2. Teori Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Barda Nawawi Arief mengemukakan “Dalam perspektif Sistem Peradilan
Pidana (SPP) kekuasaan kehakiman itu diwujudkan atau di implementasikan dalam
empat tahap yaitu kekuasaan penyidikan (dilakukan oleh badan atau lembaga
penyidik), kekuasaan penuntutan (dilakukan oleh badan atau lembaga penuntut
umum), kekuasaan mengadili (dilakukan oleh badan pengadilan), dan kekuasaan
pelaksana putusan atau pidana (dilakukan oleh badan atau lembaga eksekusi).
Keempat tahap itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana atau
Sistem Peradilan Pidana (SPP) integral”.12
Gambar 1.1
Subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu13
Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu)
menurut Black’s Law Dictionary dapat diartikan sebagai “… the collective
institutions through which an accused offender passes until the accusations have
been disposed of or the assessed punishment conculed…”. Pemahaman terhadap
Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) yang sesungguhnnya, bukan saja
pemahaman dalam konsep “integrasi” itu sendiri, tetapi sistem peradilan pidana
yang terpadu juga mencakup makna substansial dari urgensitas simbolis prosedur
yang terintegrasi tetapi juga menyentuh aspek filosofis mengenai makna keadilan
dan kemanfaatan secara terintegrasi. Sehingga dengan demikian penegakan hukum
12 H. Edi Setiadi & Kristian, Sistem Peradilan Pidan Terpadu dan Sistem Penegakan Hukum
di Indonesia, Penerbit Prenadamedia Group, Jakarta, Cet ke-1, April 2017, hal. 28-29 & 31. 13 Ibid., hal. 31.
Kekuasaan kehakiman
Bid. Hukum Pidana (SPP)
b
Kekuasaan Penuntutan
Badan Penuntutan
Kekuasaan Penyidikan
Badan Penyidikan
Kekuasaan Mengadili
Badan Pengadilan
Kekuasaan Pelaksanaan Pidana
Badan Eksekusi
-
14
pidana materill yang dikawal dan dibingkai oleh norma peraturan perundang-
undangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural, dapat lebih didekatkan
pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus menegakan keadilan
dan penegakan hukum yang bermanfaat.
Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materill, hukum
pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian, kelembagaan
ini harus dilihat dalam konteks sosial. Menurut Muladi, sifat yang terlalu formal
jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa
bencana berupa ketidakadilan. Ditegaskan pula oleh Muladi bahwa makna sistem
peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) adalah sinkronisasi
atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam beberapa hal
berikut ini:
a. Sinkronisasi struktural (structural syncronization) Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam
rangka hubungan antar lembaga-lembaga penegak hukum. Dengan
demikian, sinkrnisasi struktural berbicara mengenai adanya keselarasan
mekanisme administrasi peradilan pidana. Dengan demikian, menurut
hemat penulis, dalam hal ini tampak bahwa harus ada sinkronisasi antara
lembaga-lembag penegak hukum yakni, Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.
b. Sinkronisasi substansial (substansial synchronization) Sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan, baik yang
bersifat vertical maupun yang bersifat horizontal dalam kaitannya dengan
hukum positif yang berlaku.
c. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) Sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam
menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, falsafah yang secara
menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.14
Sistem peradilan pidana erat hubungannya dengan istilah “Sistem
Penyelenggaraan Peradilan Pidana” atau System of administration of a criminal
justice. Kata “Penyelenggaraan” menunjukan adanya kegiatan atau aktivitas
lembaga-lembaga tertentu untuk menjalankan atau menggerakan apa yang menjadi
tugas dan kewajiban (fungsi) lembaga tersebut, menurut suatu tata cara atau
14 Ibid., hal. 35.
-
15
prosedur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dalam mencapai tujuan
tertentu.
Penggunaan kata “Sistem” dalam hal ini walaupun setiap lembaga
menjalankan sendiri apa yang menjadi tugas dan wewenangnya secara terpisah
karena terdapat pembagian kekuasaan (division of power), tetapi mempunyai
hubungan yang erat satu sama lainnya. Pembagian kekuasaan yang terkandung
didalamnya terdiri dari pembagian kerja dari masing-masing lembaga (job
description), apa yang dilakukan dan bagaimana dilakukan oleh suatu lembaga
memberikan pengaruh langsung pada pekerjaan lembaga lainnya. Dengan kata lain,
dalam menyelenggarakan tugas dan wewenang tersebut terdapat satu kesatuan yang
tidak terpisah dalam mencapai tujuan.15
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum
normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum
normatif meliputi inventarisasi terhadap asas-asas hukum, sistematika
hukum, penelitian terhadap penegakan hukum baik yang berjalan secara
operasional oleh institusi maupun dalam hal proses penyelesaian hukum
dalam praktik, kemudian dilakukan penelitian terhadap taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum16
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.
Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau
hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas, oleh karena itu, sebagai sumber
datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier17
Dengan demikian penelitian ini hendak meneliti dan menganalisis
Putusan MK NO. 21/PUU-XII/2014, untuk menemukan pertimbangan atau
15 Kadri husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Cet.1, Jakarta:
Sinar Grafika, 2016, hal. 9-10. 16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 14. 17Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed. 1-6, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012, hal. 118.
-
16
prinsisp-prinsip terkait dengan dikeluarkanya putusan tersebut oleh hakim
yang menyatakan bahwa penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
2. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini yaitu
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan Pendekatan
Konseptual (conceptual approach).
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Menurut Johnny Ibrahim penelitian normatif harus menggunakan
pendekatan peraturan perundang-undangan, karena yang akan diteliti
adalah berbagai aturan hukum yang menajdi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian.18 Pendekatan ini digunakan oleh penulis untuk
mengamati dan menganalis semua undang-undang dan regulasi yang ada
sangkut pautnya dengan apa yang hendak diteliti oleh penulis.
b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
Dalam menggunakan pendekatan konseptual perlu merujuk prinsip-
prinsip hukum.19 Pendekatan ini dilakukan penulis dengan beranjak dari
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum
untuk menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu
yang dihadapi.
18Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang,
2010, hal. 302. 19 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenanda Media
Grup, Jakarta, 2013, hal. 178.
-
17
3. Bahan Hukum
yakni bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdapat dalam unit amatan
dan unit analisis, yaitu:
1) Putusan MK NO. 21/PUU-XII/2014.
2) Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.
G. Unit Amatan dan Unit Analisis
1. Unit Amatan
Yang menjadi unit amatan dalam penulisan ini adalah:
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
2. Unit Analisis
Yang menjadi unit analisis dalam penulisan ini adalah pertimbangan
hakim dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, terkait dengan
penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.