bab i pendahuluan a. latar belakang...1 bab i pendahuluan a. latar belakang indonesia adalah negara...

17
1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan ke-4 bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan Pasal tersebut merupakan landasan konstitusional yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (supremacy of law). Oleh sebab itu apa yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat harus sesuai dengan hukum, jikalau tidak sesuai atau dengan kata lain melakukan suatu perbuatan yang menyalahi apa yang sudah diatur oleh hukum warga dalam masyarakat yang melakukan hal tersebut harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum juga harus sesuai dengan hukum acaranya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP adalah hukum acara yang dimaksudkan untuk menegakan hukum pidana materill, pembentukan KUHAP dimaksudkan agar sistem peradilan pidana dapat berjalan sesuai dengan hukum acara berdasarkan tahapan-tahapan yang telah ditentukan agar tercipta keadilan dan kepastian serta dapat memberikan manfaat hukum berdasarkan proses peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang juga termasuk salah satu asas hukum acara pidana. Adapun yang menjadi tujuan Hukum Acara Pidana, yang dirumuskan dalam pedoman pelaksanaan KUHAP bahwa:

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan apa yang disebutkan dalam

    Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    Perubahan ke-4 bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan Pasal tersebut

    merupakan landasan konstitusional yang menegaskan bahwa Indonesia adalah

    negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya

    aturan main dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (supremacy of law).

    Oleh sebab itu apa yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat harus sesuai

    dengan hukum, jikalau tidak sesuai atau dengan kata lain melakukan suatu

    perbuatan yang menyalahi apa yang sudah diatur oleh hukum warga dalam

    masyarakat yang melakukan hal tersebut harus berhadapan dengan aparat penegak

    hukum.

    Penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum juga harus

    sesuai dengan hukum acaranya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    (KUHAP). KUHAP adalah hukum acara yang dimaksudkan untuk menegakan

    hukum pidana materill, pembentukan KUHAP dimaksudkan agar sistem peradilan

    pidana dapat berjalan sesuai dengan hukum acara berdasarkan tahapan-tahapan

    yang telah ditentukan agar tercipta keadilan dan kepastian serta dapat memberikan

    manfaat hukum berdasarkan proses peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

    yang juga termasuk salah satu asas hukum acara pidana.

    Adapun yang menjadi tujuan Hukum Acara Pidana, yang dirumuskan dalam

    pedoman pelaksanaan KUHAP bahwa:

  • 2

    “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

    atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materill, ialah kebenaran yang

    selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan

    ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk

    mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu

    pelanggaran hukum, dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan

    dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

    telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” 1

    Bahwa untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati

    kebenaran materill, dalam proses yang dilakukan oleh sub-sistem peradilan pidana,

    khususnya sub-sistem penyidikan dan sub-sistem penuntutan dalam melakukan

    upaya paksa dapat terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka. Oleh karena itu

    Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

    mengintroduksikan lembaga Praperadilan, yang berdasarkan Pasal 1 butir 10 Jo

    Pasal 77 KUHAP (Sebelum adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014) adalah

    merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:

    a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

    b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

    c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan

    ke pengadilan.2

    Dalam Pasal 78 ayat KUHAP dikatakan bahwa :

    1. Yang melaksanakan wewenang Pengadilan negeri sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 77 adalah praperadilan.

    2. Praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh ketua

    pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang Panitera.

    1 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti,

    Bandung, 2007, hal. 3. 2 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta,

    1986, hal. 74-75.

  • 3

    Dalam Pasal 79. 80, 81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal

    pokok, yaitu sebagai berikut:

    a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan

    atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya

    kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

    b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian

    penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut

    umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri

    dengan menyebutkan alasannya.

    c. Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya

    penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan

    atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang

    berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan

    alasannya.

    Berdasarkan uraian diatas, tujuan diadakannya praperadilan adalah sesuai

    dengan Penjelasan Pasal 80 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana yaitu menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana

    pengawasan secara horizontal.3

    Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan dalam Bab X, Bagian Kesatu,

    sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan

    Negeri, yang ciri dan eksistensinya:

    1. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan

    Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri,

    3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 189-190.

  • 4

    2. Dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi

    dari Pengadilan Negeri,

    3. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan

    pembinaan Ketua Pengadilan Negeri,

    4. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.4

    Segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan tugas

    Praperadilan, berada di bawah ruang lingkup kebijaksanaan dan tata laksana Ketua

    Pengadilan Negeri. Semua permintaan yang diajukan kepada Praperadilan, melalui

    Ketua Pengadilan Negeri. Sehubungan dengan hal tersebut, mekanisme pengajuan

    permintaan pemeriksaan Praperadilan, dapat diuraikan sebagai berikut:

    1. Permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri

    2. Permohonan Diregister dalam Perkara Praperadilan

    3. Ketua Pengadilan Negeri Segera Menunjuk Hakim dan Panitera

    4. Pemeriksaan dilakukan dengan Hakim Tunggal.5

    Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tentang

    Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang

    diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah selaku Pemohon yang menganggap hak

    dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal

    dalam KUHAP yang diuji dalam permohonan ini, karena dalam pemberlakuan

    pasal-pasal yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional

    Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

    4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

    Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.

    1. 5 Ibid., hal. 12-13

  • 5

    dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal

    28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dirugikan.

    Adapun yang menjadi pokok permohonan adalah Pasal 1 angka (2), Pasal 1

    angka (14) juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat

    (2), Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP melanggar Pasal 1 ayat

    (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto

    Pasal 21 ayat (1) KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I

    ayat (5) UUD 1945, Pasal 77 huruf a KUHAP melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal

    28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan asas

    legalitas dan asas peradilan cepat. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

    menyatakan Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

    Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945.

    Terkait dengan perihal pengujian tersebut dalam Amar Putusannya

    Mahkamah Konstitusi menyatakan :

    1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang

    cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan

    Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor

    76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)

    bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti

    permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat

    bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

    1981 tentang Hukum Acara Pidana;

    1.2 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang

    cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan

    Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor

    76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak

  • 6

    mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa

    “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang

    cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

    1.3 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor

    76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)

    bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,

    penggeledahan, dan penyitaan;

    1.4 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor

    76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak

    mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

    termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

    2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

    3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 6

    Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berarti menambahkan ketentuan Pasal

    77 KUHAP, sehingga objek praperadilan diperluas, yaitu termasuk sah atau

    tidaknya penetapan tersangka, sah atau tidaknya penggeledahan dan sah atau

    tidaknya penyitaan.

    Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah dengan adanya perluasan objek

    praperadilan tersebut apakah mencerminkan keadilan, kepastian serta kemanfaatan

    atau malah sebaliknya mencermikan ketidakadilan, ketidakpastian serta tidak

    bermanfaat. Ternyata terjadi pro dan kontra terhadap putusan tersebut.

    Terhadap putusan tersebut dari sisi yang pro terhadap putusan tersebut adalah

    dapat tercapainya penyelenggaraan sistem peradilan pidana yang berjalan secara

    baik dimana fungsi kontrol akan lebih nampak terhadap setiap tindakan yang

    menyimpang dari ketentuan undang-undang tersebut dapat segera dicegah atau

    dilakukan tindakan-tindakan guna meluruskan kembali sesuai dengan ketentuan-

    6 Amar Putusan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

  • 7

    ketentuan perundang-undangan yang berlaku, memberikan tekanan bagi para aparat

    penegak hukum agar supaya bekerja secara professional dan berhati-hati dalam

    menetapkan status tersangka bagi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

    Demi tegaknya hukum yang adil, pasti serta memberikan kemanfaatan.

    Memberikan tekanan bagi para aparat penegak hukum agar supaya bekerja secara

    professional dan berhati-hati dalam menetapkan status tersangka bagi seseorang

    yang diduga melakukan tindak pidana.

    R. Soeparmono mengatakan bahwa :

    “fungsi kontrol yang menjadi bagian wewenang Pengadilan Negeri tersebut

    melalui praperadilan, akan mengkaji ulang, apakah tindakan yang telah

    dilakukan oleh penegak hukum itu telah sesuai dan proposional, dalam kaitan

    tindakan hukum yang telah ditempuh oleh Penyidik atau Penuntut umum

    yang telah sesuai dengan prosedur menurut ketentuan perundang-undangan

    ataukah tidak.”7

    Sedangkan disisi yang kontra mengganggap dengan memasukan penetapan

    tersangka sebagai objek praperadilan berarti akan menguji sah atau tidaknya

    penyidikan, dikarenakan jikalau seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka jika

    sudah melalui prosedur yang benar yaitu dengan ditemukan alat bukti, membuat

    suatu tindak pidana menjadi terang terlebih dahulu baru ditetapkan sebagai

    tersangka, jika mengajukan praperadilan seharusnya ditolak, dikarenakan itu berarti

    praperadilan yang diajukan akan menguji hasil penyidikan, yang dimana hal

    tersebut sudah masuk dalam pokok perkara. Hal ini dapat dilihat dalam praktek

    berhukum di Indonesia dengan maraknya pengajuan praperadilan yang beralasan

    sah atau tidaknya penetapan tersangka dikarenakan para pelaku kejahatan merasa

    mempunyai senjata yang dapat digunakan untuk membebaskan dirinya dari jeratan

    7 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam

    KUHAP, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2015, hal. 16.

  • 8

    hukuman, padahal proses penegakan hukum yang di lakukan oleh aparat penegak

    hukum sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-

    undangan. Akan tetapi jika proses yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang diatur,

    seperti seseorang ditetapkan sebagai tersangka kemudian baru di cari alat bukti

    barulah penetapan seseorang sebagai tersangka, dapat diajukan ke praperadilan,

    dari sisi kontra juga menganggap penetapan tersangka bukan merupakan bentuk

    upaya paksa.

    Penetapan tersangka adalah bagian dari penyidikan yang dalam ketentuan

    Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

    jo Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 14

    Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa:

    “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

    yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

    yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna

    menemukan tersangkannya”.

    Berdasarkan Pasal 1 Angka 14 KUHAP menyatakan bahwa: “tersangka

    adalah seorang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan

    patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Proses penetapan terjadinya tindak

    pidana dan tersangka didasarkan dua alat bukti dan keyakinan penyidik bahwa telah

    terjadi tindak pidana atau perbuatan pidana.

    Dalam Pasal 21 dan Pasal 22 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

    Indonesia (PERKAPOLRI) No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan

    Tindak Pidana, menyatakan:

    1. Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah

  • 9

    melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan

    penangkapan.

    2. Bukti yang cukup adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 2 (dua) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah

    melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penahanan.

    Dengan demikian sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka ada

    tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini adalah penyidik untuk

    melakukan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menemukan bukti yang cukup

    untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Dalam penyelenggaraan sistem

    peradilan pidana agar dapat terciptanya sestem peradilan pidana terpadu dan dapat

    menghasilkan putusan pengadilan yang berkualitas oleh sebab itu

    penyelenggaraannya haruslah sesuai dengan prosedur-prosedur yang sudah diatur

    dalam peraturan perundang-undangan.

    Berkaitan dengan alasan-alasan yang dikemukakan diatas maka penulis

    terdorong untuk melakukan analisis yuridis yang dituangkan dalam bentuk tesis

    dengan mengangkat judul “PERTIMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

    TENTANG PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN

    DALAM PUTUSAN MK NO. 21/PUU-XII/2014”

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini

    adalah :

    Mengapa Mahkamah Konstitusi memutuskan penetapan tersangka

    sebagai objek praperadilan?

  • 10

    C. Tujuan Penelitian

    Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Mahkamah

    Konstitusi menetapkan bahwa penetapan tersangka sebagai objek

    praperadilan.

    D. Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

    secara praktis, yaitu :

    1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam

    kajian pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana

    2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka cara

    berpikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi para hakim

    dalam memutus suatu perkara dan menjadi pertimbangan hakim

    melalui putusannya.

    E. Kerangka Pemikiran

    Mengenai persoalan putusan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan,

    akan penulis dekati dengan menggunakan Teori Penghormatan Terhadap Hak Asasi

    Manusia dan Teori Sistem Peradilan Pidana Terpadu.

    1. Teori Penghormatan Terhadap Hak Asasi Manusia

    Hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, biasa

    dirumuskan sebagai hak kodratiah yang melekat dimiliki oleh manusia sebagai

    karunia pemberian Tuhan kepada insan manusia dalam menopang dan

    mempertahankan hidup dan prikedidupannya dimuka bumi.

  • 11

    Pasal 1 Butir 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, memberikan rumusan

    tentang pengertian HAM sebagai: seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

    keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

    anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

    hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

    dan martabat manusia.8

    Hukum memiliki supremasi (supreme) kedudukan tertinggi untuk dipatuhi,

    kedudukan hukum demikian telah memosisikannya sebagai alat (tool) sarana untuk

    mewujudkan ide, cita, dan harapan-harapan perwujudan nilai-nilai keadilan

    kemanusiaan. Keadilan kemanusiaan hanya aka nada bilamana HAM dihormati.

    Disinilah ditemukan korelasi antara hukum dan HAM.

    Prof. Mansyur A. Effendy, mengatakan bahwa: Hukum dan HAM merupakan

    satu kesatuan yang sulit dipisahkan, keduanya seperti dua sisi mata uang. Apabilan

    suatu bangunan hukum dibangun tanpa Hak Asasi Manusia yang merupakan

    pengawal bagi hukum dalam dalam merealisasi nilai-nilai keadilan kemanusiaan,

    maka hukum tersebut menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan

    kekuasaannya (abuse of power). Sebaliknya apabila HAM dibangun tanpa

    didasarkan atas suatu komitmen hukum yang jelas, maka HAM tersebut hanya akan

    menjadi bangunan rapuh dan mudah untuk disimpangi. Artinya hukum harus

    berfungsi sebagai instrumentarium yuridis, sarana dan atau tool memperhatikan

    penghormatan terhadap prinsip-prinsip HAM.9

    Perlindungan HAM tidak saja bermakna sebagai jaminan pro aktif

    memproteksi HAM dalam berbagai kebijakan regulasi, tetapi juga reaktif bereaksi

    cepat dalam melakukan tindakan hukum apabila terjadi pelanggaran HAM, karena

    hal tersebut merupakan indikator negara hukum. Jika dalam suatu negara, HAM

    terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya

    tidak dapat diatasi secara adil, negara tersebut tidak dapat disebut sebagai negara

    hukum dan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Pemahaman HAM dalam

    perspektif sistem peradilan pidana dan administrasi peradilan pidana harus

    8Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Rights in

    Democratiche Rechtsstaat), Sinar Grafika, Jakarta, Cet I, September 2013, hal. 17. 9 Ibid., hal. 19.

  • 12

    ditempatkan dalam kerangka supremasi hukum, yang keduanya merupakan bagian

    integral dari demokrasi. HAM didalam administrasi peradilan pidana hanya dapat

    dimonitor, dijalankan serta ditegakan apabila terdapat kesadaran dan kerjasama

    sistemik antara pemerintah (khusunya penegak hukum).

    Dalam sejarah tercatat beberapa pernyataan hak asasi manusia dimulai dengan :

    1. Magna Charta tahun 1615 (Inggris).

    2. Bill of Rights tahun 1688 (Inggris).

    3. Declaration of the Rights of Man and of the Citizen, 1789 (Perancis).

    4. Bill of Rights, 1791 (Amerika Serikat).10

    Kemudian berkembang terus dan dipakai oleh banyak negara serta dimuat

    dalam konstitusinya. Sifat umum Hak Asasi Manusia tersebut akhirnya diangkat

    Perserikatan Bangsa-Bangsa kedalam deklarasi Hak Asasi Manusia secara

    universal pada 10 desember 1948. Pengaturan tentang HAM di Indonesia sendiri

    telah mendapat tempat dalam konstitusi, yakni pada Bab X.A, Undang-Undang

    Dasar NKRI Tahun 1945, mulai dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.

    Hormat terhadap hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral dalam

    pelaksanaan yang benar dari setiap sistem peradilan kejahatan. Prinsip ini

    termanifestasi dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang disahkan

    dalam siding umum pada tahun 1948, yang pada kalimat pertama mukadimahnya

    menyatakan: “sedang pengakuan terhadap martabat yang melekat dan terhadap hak-

    hak yang sepadan dan tidak dapat diganggu gugat dari semua manusia adalah dasar

    untuk kebebasan, keadilan, dan kedamaian dunia”. Pasal-pasal Deklarasi itu

    menyatakan bahwa semua orang adalah sederajat di hadapan hukum; penangkapan,

    penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang dilarang; mempromosikan

    bahwa hak setiap orang yang dituntut dengan hukuman harus dianggap tidak

    bersalah sampai ia terbukti bersalah dalam suatu pengadilan yang adil dan terbuka

    dimana tertuduh mempunyai kesempatan untuk membela diri; dan menolak

    penyiksaan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan melecehkan martabat

    kemanusiaan.11

    10A. Masyhur Effendi, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum

    Internasional/Nasional, Alumni, Bandung 1980, hal. 21. 11Kunarto, Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Penegakan Hukum, PT Cipta

    Manunggal, Jakarta 1996, hal. 41.

  • 13

    2. Teori Sistem Peradilan Pidana Terpadu

    Barda Nawawi Arief mengemukakan “Dalam perspektif Sistem Peradilan

    Pidana (SPP) kekuasaan kehakiman itu diwujudkan atau di implementasikan dalam

    empat tahap yaitu kekuasaan penyidikan (dilakukan oleh badan atau lembaga

    penyidik), kekuasaan penuntutan (dilakukan oleh badan atau lembaga penuntut

    umum), kekuasaan mengadili (dilakukan oleh badan pengadilan), dan kekuasaan

    pelaksana putusan atau pidana (dilakukan oleh badan atau lembaga eksekusi).

    Keempat tahap itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana atau

    Sistem Peradilan Pidana (SPP) integral”.12

    Gambar 1.1

    Subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu13

    Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu)

    menurut Black’s Law Dictionary dapat diartikan sebagai “… the collective

    institutions through which an accused offender passes until the accusations have

    been disposed of or the assessed punishment conculed…”. Pemahaman terhadap

    Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) yang sesungguhnnya, bukan saja

    pemahaman dalam konsep “integrasi” itu sendiri, tetapi sistem peradilan pidana

    yang terpadu juga mencakup makna substansial dari urgensitas simbolis prosedur

    yang terintegrasi tetapi juga menyentuh aspek filosofis mengenai makna keadilan

    dan kemanfaatan secara terintegrasi. Sehingga dengan demikian penegakan hukum

    12 H. Edi Setiadi & Kristian, Sistem Peradilan Pidan Terpadu dan Sistem Penegakan Hukum

    di Indonesia, Penerbit Prenadamedia Group, Jakarta, Cet ke-1, April 2017, hal. 28-29 & 31. 13 Ibid., hal. 31.

    Kekuasaan kehakiman

    Bid. Hukum Pidana (SPP)

    b

    Kekuasaan Penuntutan

    Badan Penuntutan

    Kekuasaan Penyidikan

    Badan Penyidikan

    Kekuasaan Mengadili

    Badan Pengadilan

    Kekuasaan Pelaksanaan Pidana

    Badan Eksekusi

  • 14

    pidana materill yang dikawal dan dibingkai oleh norma peraturan perundang-

    undangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural, dapat lebih didekatkan

    pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus menegakan keadilan

    dan penegakan hukum yang bermanfaat.

    Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu

    jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materill, hukum

    pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian, kelembagaan

    ini harus dilihat dalam konteks sosial. Menurut Muladi, sifat yang terlalu formal

    jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa

    bencana berupa ketidakadilan. Ditegaskan pula oleh Muladi bahwa makna sistem

    peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) adalah sinkronisasi

    atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam beberapa hal

    berikut ini:

    a. Sinkronisasi struktural (structural syncronization) Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam

    rangka hubungan antar lembaga-lembaga penegak hukum. Dengan

    demikian, sinkrnisasi struktural berbicara mengenai adanya keselarasan

    mekanisme administrasi peradilan pidana. Dengan demikian, menurut

    hemat penulis, dalam hal ini tampak bahwa harus ada sinkronisasi antara

    lembaga-lembag penegak hukum yakni, Kepolisian, Kejaksaan,

    Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.

    b. Sinkronisasi substansial (substansial synchronization) Sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan, baik yang

    bersifat vertical maupun yang bersifat horizontal dalam kaitannya dengan

    hukum positif yang berlaku.

    c. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) Sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam

    menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, falsafah yang secara

    menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.14

    Sistem peradilan pidana erat hubungannya dengan istilah “Sistem

    Penyelenggaraan Peradilan Pidana” atau System of administration of a criminal

    justice. Kata “Penyelenggaraan” menunjukan adanya kegiatan atau aktivitas

    lembaga-lembaga tertentu untuk menjalankan atau menggerakan apa yang menjadi

    tugas dan kewajiban (fungsi) lembaga tersebut, menurut suatu tata cara atau

    14 Ibid., hal. 35.

  • 15

    prosedur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dalam mencapai tujuan

    tertentu.

    Penggunaan kata “Sistem” dalam hal ini walaupun setiap lembaga

    menjalankan sendiri apa yang menjadi tugas dan wewenangnya secara terpisah

    karena terdapat pembagian kekuasaan (division of power), tetapi mempunyai

    hubungan yang erat satu sama lainnya. Pembagian kekuasaan yang terkandung

    didalamnya terdiri dari pembagian kerja dari masing-masing lembaga (job

    description), apa yang dilakukan dan bagaimana dilakukan oleh suatu lembaga

    memberikan pengaruh langsung pada pekerjaan lembaga lainnya. Dengan kata lain,

    dalam menyelenggarakan tugas dan wewenang tersebut terdapat satu kesatuan yang

    tidak terpisah dalam mencapai tujuan.15

    F. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum

    normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum

    normatif meliputi inventarisasi terhadap asas-asas hukum, sistematika

    hukum, penelitian terhadap penegakan hukum baik yang berjalan secara

    operasional oleh institusi maupun dalam hal proses penyelesaian hukum

    dalam praktik, kemudian dilakukan penelitian terhadap taraf sinkronisasi

    vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum16

    Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.

    Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa

    yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau

    hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

    berperilaku manusia yang dianggap pantas, oleh karena itu, sebagai sumber

    datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer,

    bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier17

    Dengan demikian penelitian ini hendak meneliti dan menganalisis

    Putusan MK NO. 21/PUU-XII/2014, untuk menemukan pertimbangan atau

    15 Kadri husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Cet.1, Jakarta:

    Sinar Grafika, 2016, hal. 9-10. 16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

    Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 14. 17Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed. 1-6, Jakarta:

    Rajawali Pers, 2012, hal. 118.

  • 16

    prinsisp-prinsip terkait dengan dikeluarkanya putusan tersebut oleh hakim

    yang menyatakan bahwa penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.

    2. Jenis Pendekatan

    Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini yaitu

    Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan Pendekatan

    Konseptual (conceptual approach).

    a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

    Menurut Johnny Ibrahim penelitian normatif harus menggunakan

    pendekatan peraturan perundang-undangan, karena yang akan diteliti

    adalah berbagai aturan hukum yang menajdi fokus sekaligus tema sentral

    suatu penelitian.18 Pendekatan ini digunakan oleh penulis untuk

    mengamati dan menganalis semua undang-undang dan regulasi yang ada

    sangkut pautnya dengan apa yang hendak diteliti oleh penulis.

    b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)

    Dalam menggunakan pendekatan konseptual perlu merujuk prinsip-

    prinsip hukum.19 Pendekatan ini dilakukan penulis dengan beranjak dari

    pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum

    untuk menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian,

    konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu

    yang dihadapi.

    18Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang,

    2010, hal. 302. 19 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenanda Media

    Grup, Jakarta, 2013, hal. 178.

  • 17

    3. Bahan Hukum

    yakni bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdapat dalam unit amatan

    dan unit analisis, yaitu:

    1) Putusan MK NO. 21/PUU-XII/2014.

    2) Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.

    G. Unit Amatan dan Unit Analisis

    1. Unit Amatan

    Yang menjadi unit amatan dalam penulisan ini adalah:

    Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.

    2. Unit Analisis

    Yang menjadi unit analisis dalam penulisan ini adalah pertimbangan

    hakim dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, terkait dengan

    penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.