bab i. pendahuluan a. latar belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/bambang_prayitno_pendahuluan... ·...

103
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Selatan mempunyai kawasan bergambut seluas 1,4 juta ha atau 16,3 % dari luas wilayah, dan kondisi tersebut merupakan salah satu sumberdaya alam yang potensial untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Pengambilan kayu di lahan gambut di era 1970 yang dikenal dengan kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Sumatera Selatan, seperti Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, mempunyai dampak yang sangat nyata, baik terhadap kondisi fisik lahan dan sosio ekonomi masyarakat sekitarnya. Ekploitasi hutan secara besar besar pada era 1970 an menghasilkan perubahan yang cukup nyata terhadap kondisi hutan di Sumatera Selatan. Kondisi degradasi lahan gambut saat ini ditemukan tersebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muara Enim pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Keterbatasan informasi dan data tentang hutan rawa gambut di Sumatera Selatan merupakan salah satu indikasi rendahnya perhatian dari seluruh pihak dan rendahnya kegiatan penelitian yang dilakukan, disisi lain database merupakan kebutuhan dasar untuk kegiatan di lahan gambut dalam mendukung pelestarian sumberdaya alam hutan rawa gambut. Potensi sumberdaya alam hutan gambut perlu dipertahankan kelestariannya, sehingga peranan hutan gambut tetap mampu mendukung kehidupan dan lingkungan. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan pada setiap kondisi dan lokasi secara tepat, terukur, terkendali, dan berkelanjutan pada suatu kondisi lahan adalah sangat berperan penting dalam proses konservasi gambut. Adanya konsep Clean Development Mechanism (CDM) yang memungkinkan dilakukannya perdagangan karbon (carbon trade) juga membuka peluang untuk memanfaatkan lahan gambut di Propinsi Sumatera Selatan yang bersifat konservasi.

Upload: volien

Post on 07-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumatera Selatan mempunyai kawasan bergambut seluas 1,4 juta ha atau

16,3 % dari luas wilayah, dan kondisi tersebut merupakan salah satu sumberdaya

alam yang potensial untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan dan

kesejahteraan seluruh masyarakat.

Pengambilan kayu di lahan gambut di era 1970 yang dikenal dengan

kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Sumatera Selatan, seperti Kabupaten

Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, mempunyai dampak yang sangat nyata,

baik terhadap kondisi fisik lahan dan sosio ekonomi masyarakat sekitarnya.

Ekploitasi hutan secara besar besar pada era 1970 an menghasilkan

perubahan yang cukup nyata terhadap kondisi hutan di Sumatera Selatan. Kondisi

degradasi lahan gambut saat ini ditemukan tersebar di Kabupaten Ogan Komering

Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muara Enim pada tingkat yang sangat

memprihatinkan.

Keterbatasan informasi dan data tentang hutan rawa gambut di Sumatera

Selatan merupakan salah satu indikasi rendahnya perhatian dari seluruh pihak dan

rendahnya kegiatan penelitian yang dilakukan, disisi lain database merupakan

kebutuhan dasar untuk kegiatan di lahan gambut dalam mendukung pelestarian

sumberdaya alam hutan rawa gambut. Potensi sumberdaya alam hutan gambut

perlu dipertahankan kelestariannya, sehingga peranan hutan gambut tetap mampu

mendukung kehidupan dan lingkungan.

Pengelolaan dan pemanfaatan lahan pada setiap kondisi dan lokasi secara

tepat, terukur, terkendali, dan berkelanjutan pada suatu kondisi lahan adalah

sangat berperan penting dalam proses konservasi gambut. Adanya konsep Clean

Development Mechanism (CDM) yang memungkinkan dilakukannya perdagangan

karbon (carbon trade) juga membuka peluang untuk memanfaatkan lahan gambut

di Propinsi Sumatera Selatan yang bersifat konservasi.

Page 2: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

2

Potensi sumberdaya alam hutan gambut dan potensi kandungan karbon di

lahan gambut Kayuagung setiap tahun terus berkurang akibat dari proses

kebakaran, sehingga kondisi tersebut memacu proses degradasi lahan. Oleh

karena itu dampak kebakaran lahan terhadap karakteristik tanah dan gambut perlu

dilakukan.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik lahan gambut setelah terjadi

kebakaran di dalam kawasan hutan.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaman hayati pada lahan gambut

setelah terjadi kebakaran yang berada di sekitar pemukiman dan di dalam

Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung.

3. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sosioekonomi masyarakat di sekitar

kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung.

4. Mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman untuk

kegiatan pertanian dan perkebunan.

5. Mengidentifikasi potensi rehabilitasi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman

yang telah rusak untuk kegiatan penghijauan.

C. Keutamaan Penelitian

Perubahan kondisi lahan dari hutan primer menjadi hutan tersier atau tidak

ada tumbuhan hutan lagi dan tumbuh menjadi tumbuhan pioner generasi baru

merupakan salah satu kondisi yang saat ini banyak dijumpai di kawasan hutan

Sumatera Selatan, terutama di Hutan Rawa Gambut. Kondisi ini merupakan salah

satu dampak dari pemanfaatan hutan secara berlebihan pada era 1970an dan

diteruskan oleh penebangan liar hingga saat ini.

Dampak perubahan hutan alami menjadi hutan tersier atau tidak

bervegetasi mempunyai konsekuensi akan hilangnya keanekaragaman hayati di

kawasan tersebut, baik vegetasi dan biota perairannya. Kondisi lebih parah lagi

adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak

mampu menahan panas matahari, sehingga lahan mudah terbakar. Aktivitas

Page 3: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

3

manusia terkadang mempercepat terciptanya degradasi lahan gambut baik secara

langsung maupun tidak langsung.

Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dampak kebakaran hutan

dan aktivitas masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap karakteristik gambut dan

keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan

Komering Ilir. Data dan informasi dasar tentang kawasan ini tidak tersedia, disisi

lain potensi sumberdaya kawasan ini cukup besar untuk mendukung kehidupan

dan lingkungan, meskipun kondisi kawasan tersebut telah terdegradasi akibat

kebakaran lahan setiap tahunnya dan adanya pembukaan lahan oleh masyarakat

untuk kegiatan pertanian dan perkebunan.

Data dan informasi yang didapatkan diharapkan mampu menghasilkan

suatu pikiran sebagai upaya untuk meningkatkan kondisi lingkungan baik

disekitar kawasan dan dalam kawasan hutan produksi terbatas Kayuagung, serta

mencarika solusi terbaik untuk masyarakat sekitar kawasan untuk kegiatan

pertanian dan perkebunan secara baik, dan tidak melakukan kegiatan yang

merusak di kawasan hutan.

Page 4: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

4

BAB II. STUDI PUSTAKA

A. Hutan di Propinsi Sumatera Selatan

Kawasan hutan Provinsi Sumatera Selatan yang ditetapkan berdasarkan

Keputusan Menteri Kehutanan No: 75/Kpts-II/2001, Tanggal 15 Maret 2001

seluas ± 4.416.837 ha. Luas kawasan hutan ini mencakup ± 40.43% dari luas

Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan hutan ini terdiri dari Kawasan Hutan

Konservasi (16.17%), Hutan Lindung (17.22%) dan Hutan Produksi (66.61%)

seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kawasan Hutan di Propinsi Sumatera Selatan

Fungsi Kawasan Luas

Hektar Persen

Kawasan Hutan Konservasi

Daratan 714.416 16.17

Perairan 0 0

Kawasan Hutan Lindung 760.523 17.22

Kawasan Hutan Produksi

Hutan Produksi Terbatas 217.370 4.92

Hutan Produksi Tetap 2.293.083 51.92

Hutan Produksi yang dapat Dikonversi 431.445 9.77

Total 4.416.837 100

Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002).

Luas kawasan hutan dalam perkembangannya telah banyak mengalami

perubahan. Berdasarkan hasil tata batas pengukuhan hutan yang telah

dilaksanakan sampai dengan tahun 2003, diketahui bahwa kawasan hutan di

Propinsi Sumatera Selatan seluas 3.774.457 ha yang sesuai fungsinya terdiri dari

kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan

produksi konservasi (HPK)) dan kawasan non budidaya (hutan lindung dan hutan

konservasi).

Ditinjau dari vegetasi yang menutupi kawasan hutan menunjukkan

kecenderungan kerusakan hutan semakin meningkat. Menurut penafsiran citra

landsat, luas kawasan yang berhutan saat ini tinggal 1.429.521 ha (37.87%),

sedangkan sisanya seluas 2.344.936 ha (62.13%) kawasan yang tidak berhutan

(non hutan).

Page 5: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

5

Laju pengurangan hutan (deforestasi) di Propinsi Sumatera Selatan

berdasarkan hasil perbandingan Peta Penutupan lahan RePProT tahun 1985

dengan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra Tahun 1998 oleh Pusat Data

dan Perpetaan Badan Planologi Kehutanan diperoleh hasil bahwa selama periode

waktu 12 tahun telah terjadi perubahan penutupan lahan hutan disajikan pada

Tabel 2. Rata-rata laju deforestasi selama periode 1985 sampai 1998 di Sumatera

Selatan ialah 192.824 ha per tahun.

Tabel 2. Deforestasi di Propinsi Sumatera Selatan

Penutupan Lahan RePPProT (1985) Dephut (1991) Dephut (1998)

Ha

Luas areal yang

ditafsir 10.226.300 10.236.090 10.149.068

Hutan 3.562.100 3.438.140 1.248.209

% hutan 34.8 33.6 12.3

Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002).

Data diatas mencerminkan adanya perubahan luasan kawasan hutan di

Sumatera Selatan yang signifikan. Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di

Sumatera Selatan saat ini disajikan dalam Tabel 3. Luasan hutan primer dapat

ditemukan di sekitar Pegunungan Bukit Barisan, hutan sekunder di Sumatera

Selatan terlihat hanya pada beberapa lokasi dataran rendah di Kabupaten Musi

Banyuasin, dan hutan lainnya berupa semak belukar.

Page 6: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

6

Tabel 3. Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan Di Propinsi Sumatera Selatan.

No. Fungsi

Hutan

Luas Kawasan Hutan tiap Kab/Kota per Kondisi Penutupan Vegetasi (ha)

TOTAL Muba dan

Banyuasin OKI dan OI

OKU,

OKUT,

OKUS

M. Enim,

Prabumulih

Lahat,

Pagaralam

Mura,

Linggau

1. Luas yang Berhutan (ha)

HSA 211.089 645 724 6.777 29.770 216.875 465.880

HL 58.771 8.289 8.656 51.372 63.596 - 190.648

HPT 81.295 2.817 2.888 18.985 2.882 9.202 118.069

HP 344.742 138.988 9.742 46.413 767 87.893 628.545

Jumlah (1) 696.897 150.739 22.010 123.547 97.015 313.970 1.403.142

2. Luas Non Hutan (ha)

HSA 131.390 4.183 50.226 2.663 23.059 34.377 245.898

HL 10.052 96.870 142.365 20.328 77.504 1.842 348.961

HPT 8.101 7.069 43.043 11.120 8.999 17.278 95.610

HP 222.179 506.112 55.940 142.702 40.980 213.565 1.181.478

Jumlah (2) 371.722 614.234 291.574 176.813 150.542 267.062 1.871.947

Luas Hutan Tetap

(1+2) 1.067.619 764.973 313.584 300.842 247.557 581.032 3.275.607

3 HPK (ha) 192.460 188.913 - 67.887 - 50.072 499.332

Total Luas Hutan

(1+2+3) (ha) 1.260.079 953.886 313.584 368.729 247.557 631.104 3.774.939

Sumber: Pengolahan Data Dishut Prop. Sumsel (2005) berdasarkan data dari Biphut Wil. II (2001).

Page 7: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

7

B. Karakteristik Tanah Gambut

1. Definisi

Definisi tanah gambut oleh Subagyo et al., (2000) tanah gambut terbentuk

dari bahan organik, selanjutnya Wahyunto et al., (2005) menyatakan bahwa tanah

gambut adalah tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisa-

sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50

cm.

Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik

dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral

pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik

>50 cm. Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 12-

18% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih

segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut

pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).

2. Sebaran Gambut Di Sumatera Selatan

Cadangan gambut di Indonesia sebagian besar terletak di Pantai timur

Sumatera (Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan), Kalimantan Barat, Kalimantan

Tengah dan Irian Jaya. Di Sumatera Selatan sebaran gambut berada di Kabupaten

OKI (500.000 ha), Muba (250.000 ha), Banyuasin (200.000 ha), Muara Enim

(45.000 ha) dan Musi Rawas (35.000 ha) (Gambar 1).

Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli

penutupan vegetasinya (virgin forest) adalah identik dengan luas hutan rawa

gambut, karena pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama

bahan organik sebagai bahan utama gambut.

Luasan hutan gambut pada saat ini cenderung semakin menurun akibat

perubahan peruntukan, yakni dari hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan

peruntuka lainnya. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena sebagian besar

lahan gambut yang digunakan untuk kegiatan tersebut merupakan gambut dalam

yakni mempunyai kedalaman lebih 3 meter.

Page 8: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

8

Gambar 1. Peta Sebaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan

3. Pembentukan Tanah Gambut

Pembentukan tanah gambut secara umum dimulai dengan adanya

cekungan lahan berdrainase jelek dan genangan air, sehingga memungkinkan

terjadinya penumpukkan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang

roboh akan diganti oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin dipengaruhi

ketebalan bahan organik. Penumpukan bahan organik dapat berjalan terus karena

sifat permeabilitas ke bawah yang rendah dari tanah-tanah jelek dan air tetap

tergenang.

Gambut terbentuk di daerah rawa-rawa pada zaman Holosen sebagai

akibat dari peristiwa transgesi dan regresi laut karena mencairnya es di kutub.

Pada zaman Pleistosen, permukaan laut kira-kira 60 m di bawah permukaan

sekarang. Kenaikan air laut pada zaman berikutnya menyebabkan terbentuknya

rawa-rawa sehingga vegetasi mati, kemudian mengalami dekomposisi lambat.

Proses pembentukan gambut adalah sangat lama dan mencapai ribuan

tahun, artinya seharusnya semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, peneliti dan

lainnya perlu mengetahui dan menghargai, serta menyelamatkan gambut dari

Page 9: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

9

kepunahan. Disisi lain, proses kebakaran gambut yang berakibat kehilangan

gambut hanya memerlukan waktu yang relatif singkat.

4. Karakteristik Tanah Gambut

Karakteristik tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kondisi biologinya.

Vegetasi alami yang tumbuh di lahan ini sangat dipengaruhi oleh salinitas,

kemasaman, dan tekstur tanah. Perbedaan vegetasi sangat dipengaruhi oleh waktu

dan frekuensi genangan.

Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan

bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada dibawahnya,

faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan

tanahnya. Di daerah tinggi atau dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus

atau mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai.

5. Vegetasi di Lahan Gambut

Wilayah lahan rawa dapat dibagi atas empat mintakat, yaitu: 1). Tepian

sungai yang dirajai oleh asosiasi jenis prepat atau pedada (Sonnertia sp) dan api-

api (Avicennia sp), 2). Pesisir pantai yang ditempati bakau (Rhizopora sp), 3).

Wilayah kubah gambut (peat dome) yang ditempati vegetasi hutan gambut seperti

ramin (Gonystylus sp), meranti (Shorea albida), terantang (Camriosperma

auricurata), pulai (Alastonia sp) dan lainnya., 4). Pinggir sungai yang bersifat

payau ditempati oleh vegetasi nipah (Nipa fructicans), dan 5). Wilayah yang telah

dibuka kemudian ditinggalkan dan ditumbuhi vegetasi gelam (Samingan, 1979

dalam Noor, 2004)

Tumbuhan di lahan gambut ini memperlihatkan komposisi dan struktur

yang jelas. Komposisi hutan gambut yang spesifik di Kalimantan terdiri dari

asosiasi kayu ramin. Asosiasi dalam tumbuhan dapat menghasilkan tiga lapisan

tajuk yaitu:

a. Tajuk atas terdiri dari kayu ramin, Shorea albida, Tetramerista gabra, Durio

sp, Ctelophon sp, Dyrea sp, Palaquim sp, Kompasia malacensis, dan kayu

besi (Eusideroxlon zwageri).

Page 10: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

10

b. Tajuk tengah terdiri dari pepohonan kel;uarga Lauraceae, seperti Alseodaphhe

sp, Endriandra rubescens, litsea sp, Myristica inner, Horsfeldia sp, Garcinia

sp, dan keluarga Euphorbiaceae, Myristiceae, dan Ebennaceae.

c. Tajuk bawah terdiri dari keluarga Annonaceae, anakan dari pohon-pohon dan

semak jenis Crinus sp. (Noor, 2004).

6. Peranan Gambut

Lahan gambut mempunyai peran dalam ekosistem lahan rawa gambut baik

secara hidrologi, pelestarian satwa dan vegetasi. Lahan gambut memegang

peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa, dimana salah satu sifat

gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah daya menahan air yang

dimilikinya.

Gambut memiliki daya menahan air sangat besar yaitu 300 hingga 800

persen dari bobotnya (Wahyunto et al., 2005). Selain kemampuannya dalam daya

menahan air, gambut juga mempunyai daya melepas air yakni sejumlah air akan

dilepaskan bila permukaan air diturunkan per satuan kedalaman. Semakin dalam

permukaan air diturunkan akan semakin besar pula air yang akan dilepas.

Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia mulai menonjol sejalan dengan

program transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai

atau pasang surut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut: 1).

Keadaan lingkungan tanah gambut, 2). Ketebalan gambut dan keadaan morfologi,

3). Sifat fisik dan kimiawi, dan 4). Perkembangan tanah akibat reklamasi dan

pemilihan teknologi yang tepat.

7. Kebakaran Gambut

Kebakaran hutan dan lahan akibat peningkatan suhu udara baik akibat

perubahan iklim dan aktivitas masusia adalah salah satu faktor penyebab

kerusakan hutan dan lahan. Kebakaran merupakan permasalahan paling besar di

lahan gambut pada saat ini dan mempunyai dampak sangat besar terhadap

kerusakan ekosistem dan keberadaan lahan gambut di Sumatera Selatan.

Page 11: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

11

Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut adalah sangat luas yakni

terhadap sifat fisik, kimia, biologi, hidrologi lahan dan lingkungan seperti asap,

kesehatan, dan lainnya.

Gambar 2. Sebaran Kebakaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan

C. Karakteristik Lahan Kering

Lahan adalah bentang alam yang terdiri dari faktor tanah, iklim dan

topografi. Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting

untuk pengembangan usaha pertanian terutama untuk memenuhi kebutuhan

sandang dan pangan. Masalah pokok yang sering dihadapi dalam pemanfaatan

lahan adalah terbatasnya kemampuan lahan untuk digunakan secara terus-menerus

bersamaan dengan menurunnya produktivitas lahan.

Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air.

Lahan kering memiliki tingkat kesuburan yang rendah karena kandungan unsur

hara dan bahan organik yang sedikit sehingga menjadi kurang produktif.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2000), sekitar 58,5 % dari seluruh

daratan Indonesia merupakan lahan kering. Luas lahan kering di Indonesia lebih

kurang 70 juta hektar sehingga memberi peluang cukup besar untuk perluasan

pengembangannya (Abdulrachman et al.,1988 dalam Suprapto, 2001), sedangkan

di Sumatera Selatan luas lahan kering yang potensial untuk pengembangan

Page 12: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

12

pertanian dan perkebunan mencapai 4,47 juta hektar sehingga memberi peluang

cukup besar untuk perluasan pengembangannya (Pusat Penelitian dan

Pegembangan Tanah dan Agroklimat, 2001 dalam Kurnia, 2004).

1. Sifat Fisik Lahan Kering

Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air,

dengan demikian penggunaanya untuk usaha pertanian yang membutuhkan air

dalam jumlah yang sedikit, karena sebagian besar lahan kering di Indonesia

bergantung pada hujan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman.

Tanah di kawasan tropika basah pada umumnya memperoleh energi

matahari dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Kondisi tersebut

menyebabkan tanah menjadi reaktif (peka) dan mempunyai tingkat erosi serta

pencucian (leaching) yang tinggi. Temperatur dan kelembaban udara yang juga

tinggi mengakibatkan dekomposisi bahan organik dan pelepasan hara berlangsung

cepat (Safuan, 2002).

2. Sifat Kimia Lahan Kering

Sebagian besar lahan kering terdapat pada tanah Ultisols, Inceptisols, dan

Oxisols, yang umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah. Berdasarkan hasil

analisis contoh tanah pada beberapa lahan alang-alang menunjukkan bahwa

tingkat kesuburan tanah umumnya rendah, dicirikan dengan kandungan hara yang

rendah terutama fosfat dan kation-kation dapat tukar seperti Ca, Mg, dan K. Tanah

bersifat masam sampai agak masam, dan sebagian mempunyai kadar aluminium

yang tinggi sampai sangat tinggi pada lapisan bawah sehingga dapat bersifat racun

bagi tanaman.

Kadar bahan organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah serta

kejenuhan basa rendah dan sangat rendah (Mulyani et al., 2001). Pemanfaatan

lahan kering akan sangat penting untuk pengembangan pertanian bila lahan subur

telah beralih fungsi atau berkurang karena dipergunakan untuk keperluan di luar

sektor pertanian.

Page 13: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

13

D. Survai dan Evaluasi Lahan

Survai merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari

lingkungan alam dan potensi sumber daya yang dimiliki. Survai tanah memiliki

dua tujuan, yaitu memberi informasi kepada pemakai tanah tentang karakteristik

tanah, bentuk wilayah dan keadaan lainnya; dan menyediakan informasi yang

akan membantu dalam pengambilan keputusan tentang tanah dan rencana

pengembangan wilayah yang di survai. (Hakim et al., 1986).

Menurut Hakim et al., (1986), berdasarkan ketelitian, survai dibagi atas

lima yaitu :

1. Survai eksplorasi, adalah survai pada tingkat lebih kasar yang membuat uraian

singkat mengenai informasi daerah yang belum diketahui. Survai ini

digunakan untuk tujuan survai yang bersifat sangat umum dengan skala

1:500.000-1:2.000.000. Beberapa survai eksplorasi digunakan untuk

menyediakan informasi bagi peta dunia FAO – UNESCO.

2. Survai tinjau, digunakan untuk survai pada wilayah yang luas seperti: negara,

profinsi, atau wilayah pada tingkat skala yang kecil. Umumnya menggunakan

skala 1:250.000. survai pada tingkat ini sering digunakan untuk membuat

interpretasi photo udara, pemetaan yang bervariasi pada kelas-kelas tanah

kebentuk wilayah, asosiasi dan segi-segia tanah tertentu.

3. Survai semi detail, merupakan kelanjutan dari survai tinjau dengan skala peta

1:100.000-1:30.000. survai ini menggunakan kombinasi antara photo udara

dan penjajakan lapangan survai.

4. Survai detail, merupakan survai pada tingkat detail dengan intensitas tinggi

dengan skala 1:25.000-1:10.000. Survai ini, kegiatan dan pelaksanaan survai

sebagian besar dilakukan sebagai pekerjaan lapangan. Survai ini ditujukan

untuk persiapan pelaksanaan suatu proyek melalui penilaian kesesuaian lahan

dari suatu daerah yang terbatas untuk suatu pengembangan tertentu.

5. Survai intensif, digunakan untuk luasan yang relatif kecil (beberapa hektar)

dengan menggunakan intensitas yang sangat tinggi sehingga peta yang

dihasilkan berskala lebih besar dari 1:10.000. survai ini digunakan untuk

penelitian tertentu, dalam survai ini dilakukan penjelajahan keseluruh wilayah

yang memungkinkan penggambaran parameter dan sifat-sifat tanah yang lebih

jelas.

Tujuan dari kegiatan survai adalah mengklasifikasikan dan memetakan

tanah dengan mengelompokkan tanah yang sama atau hampir sama sifatnya dalam

satuan peta tanah yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian tanah atau

melakukan evaluasi lahan dari masing-masing satuan peta tanah tersebut untuk

penggunaan-penggunaan tertentu.

Page 14: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

14

Evaluasi lahan pada hakekatnya merupakan proses menduga potensi-

potensi lahan untuk berbagai penggunaannya. Evaluasi lahan pada prinsipnya

adalah mencocokkan (matching) antara kualitas atau karakteristik lahan dengan

kebutuhan penggunan lahan tersebut (Rahman, 1990). Secara umum dikemukakan

oleh Sitorus (1985), bahwa kerangka dasar evaluasi lahan adalah membandingkan

persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan

sumber daya yang ada pada lahan tersebut. Dasar pemikirannya adalah

kenyataannya bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang

berbeda-beda.

Didalam pelaksanaan evaluasi lahan sering terbentur oleh faktor-faktor

pembatas seperti iklim (suhu dan curah hujan), topografi (kecuraman lereng),

kondisi perakaran (kedalaman efektif) dan sifat tanah (retensi unsur hara dan

ketersediaan unsur hara). Iklim dan kedalaman efektif tanah merupakan faktor

pembatas yang tidak dapat diubah tingkat kesesuaiannya, sedangkan sifat tanah

yang menyangkut kesuburan dan beberapa sifat fisik tanah masih dapat ditolerir

dengan cara pemupukan dan pengolahan tanah. Karena itu dibutuhkan data

mengenai lahan tersebut yang menyangkut berbagai aspek sesuai dengan rencana

yang sedang dipertimbangkan (FAO, 1976 dan Sitorus, 1985).

Evaluasi lahan merupakan proses perencanan tata guna lahan. Maksud dari

evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe

penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan

yang dimiliki oleh lahan tersebut (Hardjowigeno, 2001).

Dalam evaluasi kesesuaian lahan dapat dibuat beberapa asumsi jenis usaha

perbaikan yang dapat dilaksanakan pada tingkat pengelolaan tertentu antara lain :

a. Rezim suhu, tidak dapat diperbaiki, sehingga tingkat kesesuaian lahannya

adalah kesesuaian lahan aktual.

b. Ketersediaan air, jenis perbaikan yang dilakukan adalah irigasi atau

pengairan. Secara umum ketersediaan air merupakan faktor pembatas yang

relatif tidak dapat diatasi untuk tingkat petani lokal karena memerlukan baiya

yang relatif besar.

c. Drainase, dengan perbaikan sistem drainase seperti pembuatan saluran

drainase pada daerah yang tergenang yaitu dengan pembuatan saluran

primer, sekunder dan tersier pada lahan tersebut. Pengelolaan pada tingkat ini

memerlukan biaya yang relatif besar.

Page 15: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

15

d. Tekstur, tidak dapat dilakukan perbaikan sehingga kesesuaian lahannya

adalah kesesuaian lahan aktual.

e. Kedalaman efektif, umumnya tidak dapat dilakukan perbaikan kecuali pada

lapisan padas lunak dan tipis dengan membongkarnya waktu pengolahan

tanah. Pengelolaan hanya dapat dilakuakn dengan modal dan biaya yang

relatif besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar dan

menengah.

f. KTK, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran atau

penambahan bahan organik sesuai kebutuhan tanah.

g. pH, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran sesuai

kebutuhan tanah.

h. N-total, dengan melakukan pemupukan pupuk N, sesuai dosis yang

dibutuhkan oleh tanaman.

i. P2O5, dengan melakukan pemupukan pupuk P, sesuai dosis yang dibutuhkan

oleh tanaman.

j. K2O, dengan melakukan pemupukan pupuk K, sesuai dosis yang dibutuhkan

oleh tanaman.

1. Kesesuaian Lahan dan Klasifikasinya

Lahan terdiri dari lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief,

tanah, hidrologi dan vegetasi yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan

lahan secara potensial (FAO, 1976).

Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan (jenis

tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (Hardjowigeno, 2001). Adapun jenis-

jenis kesesuaian lahan antara lain: 1). Kesesuaian lahan aktual dan 2). Kesesuaian

lahan potensial.

Menurut Hadjowigeno (2001), kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian

lahan saat ini dalam keadaan alami pada lahan tanpa mempertimbangkan usaha

perbaikan dan tingkat perngelolaan yang tepat. Untuk menentukan kelas

kesesuaian lahan aktual, mula-mula dilakukan penilaian terhadap masing-masing

kualitas lahan berdasarkan atas karakteristik lahan terjelek atau yang memiliki

kelas kesesuaian lahan tidak sesuai (N).

Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang telah

mempertimbangkan perbaikan pengelolaan yang dibutuhkan, upaya untuk

menentukan jenis usaha perbaikan yang dapat dilakukan, maka perlu diperhatikan

karakteristik lahan yang tergabung dalam masing-masing kualitas lahan.

Page 16: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

16

Karakteristik lahan dapat dibedakan menjadi karakteristik lahan yang

dapat diperbaiki dengan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan (teknologi)

yang akan diterapkan, dan karakteristik lahan yang tidak dapat diperbaiki

sehingga tidak akan mengalami perubahan kelas kesesuaian lahan. Sedangkan

lahan yang karakteristik lahannya dapat diperbaiki kelas kesesuaian lahannya,

dapat berubah menjadi satu atau dua tingkat lebih baik.

Tujuan utama klasifikasi kesesuaian lahan adalah untuk memetakan lahan

dengan mengelompokkan lahan-lahan yang sama atau hampir sama sifatnya ke

dalam satuan peta lahan yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian untuk

penggunaan-penggunan tertentu.

Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan

kesesuaiannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Konsep terpenting dalam

klasifikasi kesesuaian lahan adalah kesesuaian lahan aktual dan potensial (Sitorus,

1985). Kelas kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan terhadap

penggunaan lahan yang ditentukan tanpa ada perbaikan yang berarti. Sedangkan

kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian lahan yang ditentukan setelah

dilakukan perbaikan utama yang diperlukan. Acuan evaluasi lahan menurut

CSR/FAO (1983), terdapat 15 karakteristik lahan yang dikelompokkan menjadi 7

kualitas lahan yang biasa digunakan (Tabel 4).

Tabel 4. Faktor Penentu Kualitas Lahan

Simbol Kualitas lahan Karakteristik lahan

t

w

r

f

n

x

s

Regim temperatur

Ketersediaan air

Kondisi perakaran

Rotensi unsur hara

Ketersediaan unsur hara

Tingkat keracunan

Kondisi fisik lingkungan

1. Suhu rata-rata tahunan (°C)

1. Bulan kering (<75 mm)

2. Curah hujan rata-rata tahunan (mm)

1. Kelas drainase tanah

2. Kelas tekstur tanah

3. Kedalaman perakaran (cm)

1. KTK tanah

2. pH tanah

1. Nitrogen total (%)

2. P2O5 tersedia

3. K2O tersedia

1. Salinitas (mmhos/cm)

1. Kecuraman lereng (%)

2. Batuan di permukaan

3. Singkapan batuan

Page 17: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

17

Penilaian kelas kesesuaian lahan ditujukan terhadap setiap Satuan Peta

Tanah (SPT) pada suatu areal. Untuk keperluan evaluasi lahan maka sifat fisik

lingkungan suatu wilayah dirinci ke dalam suatu kualitas lahan (land qualities)

dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri dari satu atau lebih karakteristik (land

characteristic).

Data karakteristik fisik lahan dideskripsi pada saat survai tanah dengan

tingkat pemetaan tanah tertentu (tinjau, semi detil atau detil). Karakteristik lahan

yang diperlukan dalam penilaian lahan untuk tanaman karet meliputi: curah hujan,

jumlah bulan kering, lereng, kandungan batuan atau bahan kasar di dalam dan

dipermukaan tanah, kedalaman efektif atau kedalaman gambut, tekstur tanah,

kelas drainase, kemasaman tanah dan tingkat pelapukan gambut.

Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan suatu lahan yang

cocok untuk penggunaan tertentu, dengan menggunakan hukum minimum yaitu

mencocokkan (matching) antara kualitas dan karakter lahan sebagai parameter

dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan

penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman yang akan dievaluasi (Pusat

Peneltian Tanah dan Agroklimat, 1993).

Sistem klsifikasi kesesuaian lahan menurut (CSR/FAO, 1983) ada tiga,

yang merupakan tingkat generarilasi yang bersifat menurun yaitu:

1.1. Kesesuaian Lahan Tingkat Ordo

Kesesuaian lahan tingkat ordo, menunjukkan jenis atau macam kesesuaian

lahan atau keadaan secara umum. Kesesuaian lahan tingkat ordo dibagi menjadi

dua, yaitu:

1. Ordo S (sesuai atau suitable), lahan dapat digunakan secara lestari tanpa atau

sedikit kerusakan terhadap sumber daya lahannya.

2. Ordo N (tidak sesuai atau not suitable), lahan yang mempunyai faktor pembatas

sedemikian rupa sehingga harus dicegah penggunaannya secara alami.

Page 18: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

18

1.2. Kesesuaian Lahan Tingkat Kelas

Kesesuaian lahan tingkat kelas terdiri dari empat kelas, yaitu :

a. Kelas S1 (sangat sesuai atau highly suitable), lahan ini tidak memiliki pembatas

yang berarti untuk suatu penggunaan secara lestari.

b. Kelas S2 (cukup sesuai atau moderately suitable), lahan yang mempunyai

pembatas cukup berarti untuk suatu penggunaan lahan secara lestari, sehingga

dibutuhkan masukan.

c. Kelas S3 (sesuai marginal atau marginally suitable), lahan ini memiliki

pembatas yang berat untuk suatu penggunaan yang lestari sehingga diperlukan

pengetahuan pengelolaan.

d. Kelas N (tidak sesuai atau not suitable), jenis lahan ini memiliki pembatas

yang sangat berat tapi masih mungkin untuk diatasi, tetapi membutuhkan

perbaikan yang intensif dengan biaya yang cukup tinggi bila ingin mencapai

kesesuaian potensial yang tinggi.

1.3. Kesesuaian Lahan Tingkat Sub Kelas

Kesesuaian lahan tingkat sub kelas, menunjukkan jenis pembatas atau

macam pembatas yang diperlukan dalam suatu kelas. Kesesuaian lahan tingkat

sub kelas terdiri dari beberapa faktor pembatas, yaitu:

s : Topografi (slope steepness)

n : Ketersediaan unsur hara (nutrient availability)

f : Retensi hara (nutrient retention)

w : Ketersediaan air oleh curah hujan dalam bulan kering dalam setahun (water

availability)

t : Temperatur rata-rata suatu daerah

2. Kriteria Kesesuaian Lahan

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, ada beberapa faktor yang

dipertimbangkan dalam menentukan kelas kesesuaian lahan, antara lain: topografi

(s), kondisi perakaran (r), ketersediaan air (w), retensi unsur hara (f),

ketersediaan unsur hara (n), rezim temperatur (t), CSR/FAO (1983).

2.1. Topografi

Faktor topografi yang dinilai adalah faktor kecuraman lereng. Pengelolaan

tanah pada lereng yang curam membutuhkan tenaga dan biaya yang besar. Pada

daerah yang persen kecuraman lerengnya besar, sering terjadi erosi sehingga akan

muncul lapisan sub soil kepermukaan tanah, akibatnya tanah tersebut memiliki

lapisan olah tanah (top soil) yang tipis, kandungan bahan organik rendah bila

Page 19: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

19

dibandingkan dengan tanah-tanah yang memiliki topografi bergelombang dan

datar (Hakim, 1986).

2.2. Kondisi Media Perakaran

Media perakaran merupakan area perkembangan akar. Media perakaran

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar. Faktor yang menjadi

pembatas pada media perakaran adalah drainase, tekstur dan kedalaman efektif.

a. Drainase Tanah

Drainase tanah adalah suatu tanda dari kondisi basah dan kering suatu

tanah. Drainase tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, topografi, tekstur,

struktur, permeabilitas dan ketersediaan air yang berasal dari curah hujan,

rembesan atau aliran permukaan yang berasal dari daerah yang lebih tinggi

(CSR/FAO, 1983). Drainase tanah bertujuan untuk menurunkan muka air tanah

sehingga dapat meningkatkan kedalaman efektif daerah perakaran (Hakim, 1983).

b. Tekstur

Tekstur tanah adalah perbandingan relative (dalam persen) kandungan

pertikel tanah berupa fraksi pasir, debu dan liat dalam satuan massa tanah (Seta,

1991).

Menurut Foth (1984), tekstur merupakan ciri tanah yang penting untuk

diketahui, karena tekstur dapat menetukan kecepatan resapan air, serta dapat

menentukan sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Kartasapoetra (1991), tekstur

tanah adalah suatu berbandingan relatif dari berbagai golongan besar partikel di

dalam tanah, terutama perbandingan fraksi pasir, debu dan liat.

Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dan berdasarkan atas

perbandingan banyaknya butir-butir pasir, debu dan liat maka tanah

dikelompokkan dalam beberapa tekstur (Hardjowigeno, 1995).

c. Kedalaman Efektif Tanah

Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang masih dapat

ditembus oleh akar tanaman (Hardjowigeno, 1995). Pengamatan kedalaman

efektif tanah dilakukan dengan mengamati penyebaran akar tanaman, banyaknya

akar tanaman besar maupun halus serta dalamnya akar tersebut dapat menembus

Page 20: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

20

tanah,selain itu kedalaman efektif tanah juga dibatasi oleh lapisan padas atau

lapisan krokos.

Jenis tanaman pangan kedalaman efektif tanahnya hanya 25 cm,

sedangkan pada jenis tanaman tahunan kedalaman efektif tanahnya mencapai 120

cm.

2.3. Ketersediaan Air

Ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman ditentukan oleh faktor iklim

(khususnya curah hujan), tanah dan tanaman (Hakim, 1986). Curah hujan

merupakan unsur yang berperan besar terhadap ketersediaan air di dalam tanah,

selain itu juga berpengaruh terhadap pola tanam. Tanaman karet menghendaki

daerah dengan curah hujan yang tinggi antara 1500 sampai 4000 mm per tahun

dan merata sepanjang tahun, yang terbaik antara 2500–4000 mm dengan 100–150

hari hujan (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).

2.4. Retensi Hara

Kemasaman tanah atau reaksi tanah merupakan perwujudan dari proses

hancuran iklim dan faktor kimiawi yang berpengaruh terhadap proses

pembentukan tanah. Nilai pH memiliki peran penting sebagai penduga jumlah

basa dan mikroba tanah (Hakim et al., 1989). Tanah yang derajat kemasamannya

mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat kemasaman yang paling

cocok untuk di tanami karet adalah 5-6.

Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan kapasitas suatu tanah untuk

menjerap atau memegang kation-kation dan mempertukarkan ion-ion di dalam

reaksi kimia tanah. Nilai KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur tanah,

mineral liat, bahan organik, dan penguapan serta pemupukan.

KTK berpengaruh dalam menentukan kadar dan konsentrasi unsur hara

pada fase padatan yang mampu menggantikan atau menurunkan unsur hara yang

hilang dalam larutan tanah.

Page 21: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

21

2.5. Ketersediaan Unsur Hara

Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman berjumlah 16, yang terbagi

menjadi 9 unsur hara makro dan 7 unsur hara mikro. Kedua unsur ini harus dalam

keadaan seimbang, sehingga tanah dapat menjadi suburdan tanaman dapat tumbuh

dengan baik (Soepardi, 1983). Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh

ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Keberadaan bahan organik di dalam tanah

akan menunjang aktvitas mikro organisme di dalam tanah sehingga tanah akan

menjadi subur dan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman menjadi tersedia.

Melalui proses dekomposisi bahan organik, akan dibebaskan unsur-unsur hara ke

dalam tanah. Secara fisik bahan organik dihancurkan oleh binatang tanah

kemudian diteruskan oleh mikroba tanah. Secara biokimia bahan organik

menghasilkan senyawa sederhana berupa CO2, air dan energi yang dibebaskan

oleh mikroba (Indranada, 1994).

Lapisan olah tanah pertanian mengandung 0,02–0,4 % N. Ketersedian N di

dalam tanah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain iklim dan jens

vegetasi. Faktor lingkungan tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi, bahan

induk, aktivitas manusia, dan waktu (Nyapka et al., 1988).

Tanaman karet memiliki toleran yang cukup tinggi terhadap tanah yang

kesuburannya rendah. Pada tanah-tanah yang kurang subur, seperti Podsolik

Merah Kuning, Latosol dan Aluvial dengan penambahan pupuk dapat

dikembangkan untuk perkebunan karet (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).

2.6. Rezim Temperatur

Perbedaan temperatur merupakan cerminan energi panas matahari yang

sampai ke suatu wilayah, sehingga berfungsi sebagai pemicu :

a. Proses fisik dalam pembentukan liat dari mineral-mineral bahan induk tanah

dengan mekanisme identik proses pelapukan bebatuan.

b. Keaneka ragaman hayati yang aktif, karena setiap kelompok terutama mikrobia

mempunyai temperatur yang optimum spesifik, sehingga perbedaan

temperatur akan menghasilkan jenis dan populasi yang berbeda pula.

c. Kesempurnaan proses dekomposisi biomass tanah hingga ke mineralisainya.

Page 22: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

22

Tanah yang terbentuk pada temperatur rendah (daerah kutub), akan

cenderung berkadar biomasa rendah dan mentah (fibrik), akibatnya tanaman yang

tumbuh umumnya berbatang kecil dan lambat berkembang, dan sedikitnya

populasi dan jenis mikrobia heterotrof yang aktif. Tanah yang terbentuk pada

temperatur tinggi (daerah arid), juga berkadar biomass rendah tapi matang

(saprik), karena cepatnya prosesmineralisasi kimiawi terhadap sisa tanaman.

Tanah yang terbentuk pada daerah humid (temperatur sedang), akan mempunyai

jenis dan populasi mikrobia yang ideal, maka aktivitas biologisnya dalam

dekomposisi biomas dan derajad kematanganya juga sedang atau hemik

(Hanafiah, 2005).

Temperatur berpengaruh terhadap jenis tanaman yang dapat tumbuh pada

daerah tersebut. Seperti halnya tanaman yang tumbuh di daerah dengan

temperatur rendah berbeda dengan jenis tanaman yang tumbuh dengan baik pada

daerah dengan temperatur sedang, walaupun ada beberapa jenis tanaman yang

dapat tumbuh pada kedua temperatur tersebut.

Berdasarkan penelitian Rahman (1993) di Cibodas Biosphere Reserve,

antara ketinggian lahan dari permukaan laut dengan suhu udara memiliki

hubungan erat. Dalam hal ini, setiap naik 200 m dpl maka suhu udara akan turun 1

º C.

E. Tanaman Karet

1. Syarat Tumbuh Tanaman Karet

Dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut

(Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992 ):

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Spesies : Hevea brasiliensis

Page 23: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

23

1.a. Iklim

a. Suhu dan Curah Hujan

Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik maka harus diperhatikan syarat-

syarat lingkungan yang diinginkan oleh tanaman ini, karena lingkungan yang

cocok akan menunjang pertumbuhan disamping perawatan. Apabila tanaman karet

ditanam pada lahan yang tidak sesuai dengan habitat yang diinginkannya, maka

pertumbuhan tanaman akan terhambat.

Tanaman karet cocok ditanam padadarh beriklim tropis dan suhu harian

yang diinginkan tanaman karet adalah rata-rata 25–30 oC. Sedangkan curah hujan,

tanaman karet menghendaki daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi yaitu

2000–2500 mm/tahun, dan akan lebih baik lagi apabila curah hujan itu merata

sepanjang tahun (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).

Menurut Setyamidjaja (1993), curah hujan tahunan yang cocok untuk

pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2000 mm. Optimal antara 2500–

4000 mm/tahun, yang terbagi dalam 100–150 hari hujan. Pembagian hujan dan

waktu jatuhnya hujan rata-rata setahunnya mempengaruhi produksi. Daerah yang

sering mengalami hujan pada pagi hari produksinya akan kurang. Keadaan iklim

di Indonesia yang cocok untuk tanaman karet ialah daerah-daerah Indonesia

bagian barat, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sebab iklimnya lebih basah.

b. Tinggi Tempat

Tanaman karet tumbuh optimal di daerah dataran rendah. Ketinggian yang

cocok bagi tanaman kartu adalah 0–600 mdpl (meter di atas permukaan laut), dan

yang paling baik berkkisar antara 0–200 mdpl (Syarif, 1986). Jika tanaman karet

ditanam di daerah yang memiliki ketinggian diatas 400 mdpl, maka

pertumbuhannya menjadi lambat (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992). Mulai

ketinggian 200 mdpl, matang sadap akan tertunda selama 6 bulan pada setiap

kenaikan 100 mdpl, karena ketinggian tempat berpengaruh terhadap temperatur.

Page 24: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

24

1.b. Tanah

Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-

tanah vulkanis muda ataupun Vulkanis Tua, Alluvial dan bahkan tanah gambut

(Setyamidjaja, 1993). Tanaman karet adalah tanaman yang paling toleran terhadap

tanah yang kesuburannya rendah dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan

yang lain. Dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang baik, tanah-tanah

yang kurang subur dapat dikembangkan menjadi lahan perkebunan karet (Tim

Penulis Penebar Swadaya, 1992). Topografi tanah sedikit banyak juga

mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Pada tanah datar, pemeliharaan

tanaman tanaman akan lebih mudah dari pada lahan yang berbukit.

Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan kisaran pH

4,0–7,0 (Syarif, 1986). Menurut Setyamidjaja (1993), reaksi tanah yang umumnya

ditanami karet mempunyai pH antara 3,0–8,0, pH tanah di bawah 3,0 atau di atas

8,0 menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Sifat-sifat tanah yang cocok

untuk tanaman karet adalah sebagai berikut :

- Solum cukup dalam, sampai 100 cm atau lebih, tidak terdapat batu-batuan,

- Aerasi dan drainase baik,

- Reah, porus dan dapat menahan air,

- Tekstur terdiri atas 35% liat dan 30% pasir,

- Tidak bergambut, dan jika ada tidak lebih dari 20 cm,

- Kandungan unsur hara N, P dan K cukup dan tidak kekurangan unsur mikro,

- pH 4,5 – 6,5,

- kemiringan tidak lebih dari 16%,

- permukaan air tanah tidak kurang dari 100 cm

Page 25: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah lahan gambut pada hamparan Hutan Produksi

Perbatas Kayuagung. Secara adminstrasi di sekitar lahan gambut terdapat empat

kecamatan, yakni Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran Timur dan

Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Peta Kabupaten Ogan Komering

Ilir disajikan pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Lokasi Penelitian di Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran

Timur dan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir

Page 26: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

26

Gambar 4. Citra landsat Lokasi Penelitian pada Bentang Lahan Gambut di Hutan

Produksi Terbatas Kayuagung.

Penelitian ini terdiri dari 4 aspek penelitian, yakni aspek karakteristik

lahan, keanekaragaman hayati dan aspek sosioekonomi, sehingga lokasi penelitian

untuk masing-masing aspek adalah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Lokasi Penelitian

No. Aspek Lokasi Keterangan

1 Karakteristik

Gambut

Hutan Gambut

Kayuagung

Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran;

Kec. Pedamaran Timur dan Kec.

Pampangan

2 Keanekaragaman

Hayati

Hutan Gambut

Kayuagung

Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran;

Kec. Pedamaran Timur dan Kec.

Pampangan

3 Karakteristik

Tanah

Desa Hutan Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran;

Kec. Pedamaran Timur dan Kec.

Pampangan

Sosioekonomi Desa di sekitar

Hutan Gambut

Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran;

Kec. Pedamaran Timur dan Kec.

Pampangan

Page 27: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

27

Hasil pengambilan sampel pada masing-masing aspek dilanjutkan dengan

kegiatan analisis laboratorium seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Lokasi Analisis Laboratorium

No. Aspek Sampel dan Data Laboratorium

1 Karakteristik

Gambut

Gambut Laboratorium Jurusan Tanah

Fakultas Pertanian, Unsri

2 Keanekaragaman

Hayati

Keanekaragaman

hayati

Analisis dilakukan di Jurusan

Biologi Fakultas MIPA, Unsri.

3 Karakteristik

Tanah

Tanah Laboratorium Jurusan Tanah

Fakultas Pertanian, Unsri.

4 Sosioekonomi Sosioekonomi Laboratorium Jurusan Sosek

Fakultas Pertanian, Unsri.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian pada setiap aspek

kegiatan seperti disajikan pada Tabel 7 dan 8.

Tabel 7. Bahan untuk Penelitian

No. Aspek Bahan

1 Karakteristik

Gambut

pH paper, baterai alkalin, bahan untuk analisis

laboratorium dan bahan lainnya.

2 Keanekaragaman

Hayati

pH paper, baterai alkalin, alkohol, bahan kimia untuk

analisis laboratorium dan bahan lainnya.

3 Karakteristik

Tanah

pH paper, baterai alkalin, bahan untuk analisis

laboratorium dan bahan lainnya.

4 Sosioekonomi Bahan untuk wawancara, dll

Tabel 8. Alat untuk Penelitian

No. Aspek Alat

1 Karakteristik

Lahan

GPS, Bor gambut dan belgi, meteran, peta lokasi, kamera

digital, plastik sampel, karet, kertas label, spidol permanen,

karung plastik, botol plastik, alat tulis dan alat untuk

analisis tanah di laboratorium.

2 Keanekaraga

man Hayati

GPS, kamera digital, ember, jaring, plastik sampel, karet,

kertas label, spidol permanen, karung plastik, botol, alat

tulis dan alat untuk analisis tanah di laboratorium.

3 Karakteristik

Lahan

GPS, Bor gambut dan belgi, meteran, peta lokasi, kamera

digital, plastik sampel, karet, kertas label, spidol permanen,

karung plastik, botol plastik, alat tulis dan alat untuk

analisis tanah di laboratorium.

4 Sosioekonomi Alat tulis dan analisis laboratorium

Page 28: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

28

C. Metodologi Penelitian

Penelitian 1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap

Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,

Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni:

1. Pra survai

Kegiatan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti

tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi

lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai,

merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan,

mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.

Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan

modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang

telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan

melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta

dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian.

Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan

menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai

pendahuluan adalah sebagai berikut: 1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan

gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan

penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan

mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama

Kegiatan survai utama merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan

untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan

pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan dengan pengeboran gambut,

mengambil dan mempersiapkan sampel tanah untuk analisis.

Kegiatan survai utama adalah dengan menggunakan gabungan metode

survai dan memanfaatkan peta dasar dan data penunjang yang telah tersedia,

sehingga data yang didapatkan sangat mewakili kondisi lokasi, akurat, dan efisien

waktu pengamatan di lapangan.

Page 29: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

29

Kegiatan dilakukan pada tingkat survai tinjau. Batas penyebaran

kebakaran lahan dan bentuk wilayah, tipe penutupan lahan dan informasi lainnya.

Sungai dan anak sungai adalah sangat membantu dalam mempercepat

penjelajahan dan pengamatan lapangan, sehingga akan mendapatkan data dan

gambaran lokasi lebih lengkap atau menyeluruh, serta menghasilkan analisis data

lebih baik.

3. Titik Pengamatan

Titik pengamatan gambut pada lahan bekas terbakar adalah sangat

ditentukan oleh lokasi kebakaran lahan gambut yang terjadi pada beberapa waktu

lalu, yang diharapkan titik pengamatan tersebut menyebar pada lokasi Hutan

Gambut Kayuagung.

2. Analisis Tanah dan Data

Analisis gambut adalah sifat fisik tanah (tingkat kematangan gambut,

warna gambut dan kandungan abu) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan hara N,

P, K, C-organik, Ca, Mg dan KTK).

Data hasil penelitian dilakukan analisis berdasarkan hasil pengamatan

seperti peta kesuburan tanah dan gambut, peta kebakaran dan peta lainnya dengan

menggunaan software Arc View 3.3. Data hasil pengamatan diharapkan akan

membantu perencanaan program pengelolaan lahan gambut Kayuagung.

Page 30: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

30

Penelitian 2. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap

Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas

Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni:

1. Pra survai

Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti

tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi

lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai,

merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, dan

mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.

Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan

modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang

telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan

melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta

dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian.

Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan

menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai

pendahuluan adalah sebagai berikut:1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan

gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan

penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan

mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama

Kegiatan survai utama keanekaragaman hayati merupakan kegiatan

peninjauan langsung lapangan untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang

dilakukan adalah melakukan pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan

dengan pengambilan contoh biota sungai, pengamatan jenis dan kerapatan

vegetasi, mengambil dan mempersiapkan sampel air untuk analisis.

Page 31: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

31

3. Titik Pengamatan

Titik pengamatan keanekaragaman hayati berdasarkan peta dasar rencana

kerja hasil interpretasi citra dan pengamatan pra-survai di lokasi hutan gambut

Kayuagung dipadukan dengan kondisi lapangan, yakni telah banyaknya

perubahan peruntukan lahan, yakni terdapat tanaman karet, kelapa sawit, tanaman

pangan dan lainnya. Titik pengamatan dilakukan pada setiap jenis tanaman yang

ada.

4. Analisis Sampel dan Data

Data yang dikumpulkan antara lain biota darat yakni keragaman dan

kerapatan vegetasi alami, Biota air. Analisis contoh untuk biota air dilakukan di

laboratorium. Analisis vegetasi menggunakan Nilai Penting (NP) dengan

menjumlahkan Kerapatan Relatif (KR), dan Frekuensi Relatif (FR) dan Dominasi

Relatif (DR), Indeks Keanekaragaman Plankton dan Benthos, Indeks Saprobik

Plankton. Hasil seluruh data dianalisis dan dibahas untuk pelaporan.

Page 32: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

32

Penelitian 3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan

Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten

Ogan Komering Ilir

Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni:

Pra survai

Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti

tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi

lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai,

merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan,

mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.

Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan

modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang

telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan

melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta

dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian.

Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan

menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai

pendahuluan adalah sebagai berikut: 1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan

gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan

penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan

mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama

Kegiatan survai utama merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan

untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan

pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan dengan pengeboran tanah,

pengamatan boring atau profil tanah, mengambil dan mempersiapkan sampel

tanah untuk analisis.

Kegiatan survai utama adalah dengan menggunakan gabungan metode

survai dan memanfaatkan peta dasar dan data penunjang yang telah tersedia,

sehingga data yang didapatkan sangat mewakili kondisi lokasi, akurat, dan efisien

waktu pengamatan di lapangan.

Page 33: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

33

Kegiatan dilakukan pada tingkat survai tinjau. Batas penyebaran

kebakaran lahan dan bentuk wilayah, tipe penutupan lahan dan informasi lainnya.

Sungai dan anak sungai adalah sangat membantu dalam mempercepat

penjelajahan dan pengamatan lapangan, sehingga akan mendapatkan data dan

gambaran lokasi lebih lengkap atau menyeluruh, serta menghasilkan analisis data

lebih baik.

3. Titik Pengamatan

Titik pengamatan boring atau profil tanah berdasarkan peta dasar rencana

kerja hasil interpretasi citra dan pengamatan pra-survai di desa yang mempunyai

potensi pengembangan pertanian di sekitar lokasi hutan gambut Kayuagung.

3. Analisis Tanah dan Data

Analisis tanah adalah sifat fisik tanah (struktur tanah, infiltrasi tanah,

warna tanah, dan tekstur tanah) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan hara N, P,

K, C-organik, Ca, Mg, dan KTK).

Data hasil penelitian dilakukan analisis berdasarkan hasil pengamatan

seperti peta kesuburan tanah dan gambut, peta kebakaran dan peta lainnya dengan

menggunaan software Arc View 3.3. Data hasil pengamatan diharapkan akan

membantu perencanaan program pengelolaan lahan gambut Kayuagung.

Page 34: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

34

Penelitian 4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan

Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan

Komering Ilir.

Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni:

1. Pra survai

Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti

tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi

lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai,

merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, dan

mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.

Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan

menggunakan data desa/kecamatan yang tersedia. Kegiatan survai pendahuluan

adalah meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang

kondisi masyarakat, dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama

Kegiatan survai utama kondisi sosioekonomi dan aktivitas masyarakat di

kawasan hutan merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan untuk

mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan

wawancara terhadap masyarakat (pemuka masyarakat, tokok agama dan petani

sebagai pelaku kegiatan di hutan) pada desa tertentu yang telah ditentukan.

3. Titik Pengamatan sampel masyarakat

Titik pengamatan masyarakat pewakil berdasarkan peta dasar rencana

kerja hasil pengamatan pra-survai di desa di sekitar lokasi hutan gambut

Kayuagung. Jumlah pengamatan adalah terdiri dari pemuka masyarakat, aparat

desa dan beberapa masyarakat sebagai pelaku kegiatan di hutan untuk setiap desa

pewakil pada setiap kecamatan.

Page 35: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

35

4. Analisis Tanah dan Data

Data yang dikumpulkan antara lain kepadatan penduduk, pendapatan, mata

pencaharian, sex ratio, pertumbuhan penduduk, adat istiadat dan kesehatan

masyarakat.

Page 36: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

36

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap

Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,

Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Pengamatan karakteristik lahan gambut dilakukan pada beberapa titik

pengamatan baik yang bersifat mengelompok dan individu sesuai dengan kondisi

lahan dan tata guna lahan yang ada. Pengamatan mengelompok dilakukan pada

lahan gambut Desa Cinta Jaya, sedangkan titik pengamatan lainnya yang bersifat

pewakil atau individu adalah tersebar di beberapa titik pengamatan pada lahan

yang pernah terbakar dan secara adminstratif tersebar pada Kecamatan

Kayuagung, Pedamaran Timur dan Pedamaran.

A.1. Karakteristik Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Lahan gambut di Desa Cinta Jaya terletak lebih kurang 5 km dari

pemukiman penduduk dan dapat ditempuh melalui jalan air melewati Sungai.

Masyarakat melakukan aktivitas di lahan gambut untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, yakni mencari kayu baikar, rumput purun (bahan baku tikar), rotan, dan

kayu-kayu besar yang banyak tertimbun di bawah gambut sebagai kayu olahan.

Upaya pengambilan kayu yang ada di bawah gambut dilakukan dengan menggali

gambut dengan sebelumnya membakar untuk menghilangkan semak-semak dan

memudahkan dalam penggalian, hal ini merupakan salah satu penyebab kerusakan

lahan gambut di Desa Cinta Jaya.

Hasil pengamatan boring gambut di Desa Cinta Jaya Kecamatan

Kayuagung disajikan pada Tabel 9 dan sebaran ketebalan gambut disajikan pada

Gambar 5. Ketebalan gambut pada lokasi penelitian berkisar antara 1,5 m

hingga lebih dari 5 m. Ketebalan gambut lokasi pengamatan tergolong dalam

kriteria gambut tengahan (1-2 m) sampai gambut sangat dalam (>3 m). Dari

sepuluh titik pengamatan, hampir seluruhnya tergolong gambut dalam.

Page 37: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

37

Tabel 9. Karakteristik Sifat Fisik Tanah Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Titik

Pengamatan

Ketebalan

(cm)

Kedalaman

Air (cm)

Tingkat

Kematangan

Warna Tanah

Gambut

1

0 – 100

100 – 200

200 - 300

300 - 400

-15

Hemik

Hemik

Hemik

Hemik

10YR 2/1

10YR 3/2

10YR 3/2

10YR 3/2

2

0 – 100

100 - 200

200 - 300

-20

Hemik

Hemik

Hemik

10YR 2/1

10YR 3/2

10YR 3/2

3 0 – 100

100 - 150 0

Hemik

Hemik

10YR 2/1

10YR 3/2

4

0 – 100

100 - 200

200 - 300

-30

Hemik

Hemik

Fibrik

10YR 2/1

10YR 3/2

10YR 3/2

5

0 – 100

100 – 200

200 – 300

300 - 400

400 - 500

-50

Hemik

Hemik

-

Fibrik

Hemik

10YR 2/2

10YR 3/2

-

10YR 3/3

10YR 3/2

6

0 – 100

100 – 200

200 – 300

300 - 400

400 - >500

-50

Hemik

Hemik

-

Fibrik

Hemik

10YR 3/1

10YR 3/2

-

10YR 3/3

10YR 3/3

7

0 – 100

100 – 200

200 – 300

300 - 400

400 - >500

-50

Hemik

Hemik

-

-

Hemik

10YR 2/2

10YR 3/2

-

-

10YR 3/3

8

0 – 100

100 – 200

200 – 300

300 - 400

400 - 500

-10

Hemik

Hemik

-

-

Hemik

10YR 2/1

10YR 3/2

-

-

10YR 3/2

9

0 – 100

100 – 200

200 – 300

300 - 400

400 - 500

-5

Hemik

Hemik

-

-

Fibrik

10YR 2/1

10YR 3/2

-

-

10YR 3/3

10

0 – 100

100 – 200

200 – 300

300 - 400

400 - 500

-5

Hemik

Hemik

Hemik

Fibrik

Hemik

10YR 2/1

10YR 3/2

10YR 3/2

10YR 3/3

10YR 3/2

Page 38: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

38

Dampak dari kebakaran hutan yang sering terjadi di lokasi penelitian

menyebabkan terjadinya kerusakan hutan, yakni terjadinya hilangnya tanaman asli

gambut dan munculnya tanaman jenis baru. Disisi lain kondisi fisik lahan juga

telah terjadi kemerosotan, yakni dengan hilangnya lapisan gambut hingga cukup

dalam dan menjadikan kerusakan lahan (Gambar 6).

Gambar 5. Peta Sebaran Ketebalan Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Hasil analisis kimia tanah gambut (Tabel 10) menunjukkan bahwa tanah

gambut mempunyai reaksi sangat masam (>4,5). Rendahnya nilai pH adalah

disebabkan oleh asam-asam organik, pirit, dan ion hidrogen dapat tukar (H-dd) yang

tinggi terkandung dalam tanah gambut. Dekomposisi bahan organik akan

menghasilkan asam-asam organik yang terakumulasi pada tubuh tanah sehingga

akan meningkatkan kemasaman pada tanah gambut.

Data reaksi tanah pada lapisan atas tergolong sangat masam dan relatif

tidak jauh berbeda dengan nilai pada lapisan bawahnya. Hal ini terjadi karena

daya sangga gambut terhadap perubahan kemasaman tanah. Kemasaman tanah

gambut berasal dari asam-asam organik yang berada dalam bentuk gugus

karboksilat (-COOH) dan gugus hidroksil dari fenolat (-OH). Gugus tersebut

merupakan asam lemah yang dapat terdissosiasi menghasilkan ion H+, dan

Page 39: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

39

mampu mempertahankan reaksi tanah terhadap perubahan kemasaman tanah

(Riwandi, 2001).

Gambar 6. Sebaran Kerusakan Hutan Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Tabel 10. Hasil Analisis Kimia Tanah Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Contoh

Tanah

Gambut

Kedalam

an

(cm)

Tingkat

Kematangan

Kemasa

man

(pH)

Karbon

Organik

(%)

N-total

(%)

Ratio

C/N

Kadar

Abu

(%)

1

0–100

300–400

Hemik

Hemik

3,67

3,61

35,59

31,48

0,73

0,69

49

46

5,86

5,43

4

0–100

200–300

Hemik

Fibrik

3,74

3,38

27,96

26,12

0,76

0,67

37

39

7,59

5,39

6

0–100

400–500

Hemik

Hemik

3,59

3,51

32,75

32,01

0,76

0,73

43

44

5,51

5,72

9 0–100

400–500

Hemik

Fibrik

3,75

3,43

36,06

30,91

0,79

0,58

46

53

6,22

4,09

Hasil analisis C organik, berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah

PPT (1983) menunjukkan kadar C-organik yang sangat tinggi berkisar antara

26,12 % sampai 35,59 %. Tingginya kandungan C-organik menunjukkan

akumulasi bahan organik tinggi yang merupakan ciri tanah gambut. Kandungan

Page 40: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

40

C-organik pada lokasi pengamatan cenderung lebih tinggi pada gambut atas

dibandingkan dengan gambut bawahnya. Perbedaan kandungan karbon ini dapat

disebabkan oleh perbedaan sisa jenis tumbuhan penyusun gambut atas dan gambut

bawah.

Hasil analisis kadar N-total (%) termasuk dalam kriteria tinggi hingga

sangat tinggi. Tingginya kandungan Nitrogen dikarenakan sumber Nitrogen yang

utama adalah bahan organik, Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik

tanah (Hardjowigeno, 1995). Meskipun kandungan Nitrogen dalam tanah gambut

lokasi penelitian tergolong tinggi, namun N pada tanah gambut ini sulit tersedia

untuk tanaman. Hal ini dikarenakan rasio C/N yang tergolong sangat tinggi (>25).

Nilai C/N rasio lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi N oleh mikrobia

tanah untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya (Barchia, 2006).

Nitrogen pada gambut atas relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

kandungan Nitrogen gambut bawahnya, hal ini dikarenakan pada gambut atas

terjadi proses dekomposisi yang lebih baik dibandingkan dengan gambut

bawahnya yang selalu dalam kondisi jenuh air, sehingga kandungan Nitrogen dari

hasil dekomposisi cenderung lebih rendah dari gambut atas.

Ratio C dan N dari hasil analisis menunjukkan kriteria sangat tinggi (>25).

Tingginya ratio C/N karena belum lanjutnya dekomposisi gambut pada lokasi

penelitian. Dekomposisi yang belum lanjut ini dapat disebabkan oleh kondisi yang

selalu jenuh dan pengaruh dari bahan penyusun tanah gambut yang berasal dari

vegetasi yang sulit lapuk.

Ratio C dan N pada gambut atasnya relatif lebih rendah bila dibandingkan

dengan C/N gambut di bawahnya. Ini disebabkan karena proses dekomposisi yang

menghasilkan nitrogen pada gambut atas berlangsung lebih baik dibandingkan

gambut di bawahnya, kemudian terjadi pencucian hara oleh air menuju

sungai/danau. Kehilangan hara yang terjadi terus menerus akan mengurangi

ketersediaan hara di lapisan permukaan tanah gambut.

Kadar abu tanah gambut dari lokasi penelitian berkisar antara 4,09 hingga

7,59 %. Berdasarkan kandungan kadar abunya gambut lokasi penelitian tergolong

gambut mesotrofik (tingkat kesuburan sedang). Kadar abu berhubungan dengan

tingkat kematangan dan kesuburan tanah gambut. Kadar abu gambut yang belum

Page 41: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

41

terganggu tergolong rendah, peningkatan intensitas pengunaan lahan dapat

meningkatkan kadar abu seiring dengan meningkatnya mineralisasi tanah.

Menurut Barchia (2006), kadar abu tanah gambut berkisar antara 5-65%, dan

makin tinggi kadar abu tanah gambut, makin tinggi mineral yang terkandung pada

tanah gambut.

Kadar abu tanah gambut atas relatif lebih tinggi dibandingkan kadar abu

pada bagian bawahnya. Hal ini karena proses dekomposisi gambut yang lebih baik

pada permukaan tanah gambut dibandingkan dengan bagian bawahnya. Kadar abu

pada titik pengamatan enam memiliki kadar abu lapisan atas yang lebih rendah,

diperkirakan lokasi gambut tersebut bmasih terjadi proses penimbunan bahan baru

yang berasal dari vegetasi yang tumbuh di atasnya.

Hasil analisis Natrium (Na) dari contoh tanah lokasi penelitian berkisar

antara rendah (0,1-0,3) hingga sedang (0,4-0,7) (Tabel 11). Kandungan Na yang

relatif rendah ini mamperjelas bahwa lokasi penelitian merupakan rawa lebak,

karena tidak memperoleh pengaruh dari pasang surut air laut. Hal ini diperkuat

dengan hasil uji DHL dari contoh tanah gambut lokasi penelitian yang termasuk

dalam kriteria sangat rendah (<1) hingga rendah (1-2). DHL bisa dikatakan

normal bila berkisar antara 0,02 - 1,500 mS cm-1 (Goldman dan Horne, 1983).

Tabel 11. Hasil Analisis Na dan EC Gambut.

No. Contoh

Tanah Gambut

Kedalaman

(cm)

Na

(Cmol kg-1)

DHL

(mS cm-1)

1.

1

0 – 100

300 – 400

0,44

0,33

0,810

1,090

2.

4

0 – 100

200 – 300

0,33

0.44

0,890

1,710

3.

6

0 – 100

400 – > 500

0,33

0,55

1,350

1,260

4. 9 0 – 100

400 – 500

0,44

0,55

1,140

1.410

Page 42: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

42

B. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap

Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,

Kabupaten Ogan Komering Ilir.

B.1. Kondisi Vegetasi Lahan Gambut

Prayitno dan Bakri (2005) melaporkan bahwa tumbuhan penutup tanah

pada lintasan survai jalur pengamatan titik 1 hingga 42 adalah dari Desa Tanjung

Serang menuju Talang Serdang Tujuh yang dominan adalah perpat (Sonneratia

sp) dan pakis (Stenochama polushis), namun kondisi vegetasi hanya tumbuhan

sekunder yang mempunyai diameter batang kurang dari 20 cm. Berkurangnya

jumlah kerapatan pohon di sekitar jalur pengamatan disebabkan oleh aktivitas

masyarakat sekitar dengan menebang pohon untuk memenuhi keutuhan hidupnya.

Dampak langsung atau tidak langsung adalah sering terjadinya kebakaran

pepohonan dan gambut di musim kemarau.

Berdasarkan data pengamatan lapangan vegetasi dominan adalah gelam

(Melaleuca sp), perpat (Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis). Pada

lahan dengan kedalaman gambut dangkal akan memungkinkan tumbuhan gelam

mendoninasi lahan, namun pada lahan dengan kedalaman gambut dalam, maka

tanaman perpat akan mendominasi lahan.

Vegetasi gelam (Gambar 7) merupakan indikator lahan dengan gambut

dangkal atau pada umumnya dapat dijumpai di pinggir dataran Alluvial. Tanaman

pakis dan belidang (Gambar 7) dapat tumbuh dengan baik apabila kondisi lahan

telah terbuka atau tidak mempunyai kanopi rapat. Kedua tanaman tersebut

mampu tumbuh baik pada lahan dengan gambut dalam atau Tanah Alluvial.

Kondisi vegetasi lain adalah dominan gelam (Melaleuca sp), dan alang-

alang (Imperata cylindra) dimana lokasi adalah tanah mineral. Topografi lokasi

ini lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Pada lahan gambut dalam

didominasi oleh perpat (Sonneratia sp) (Gambar 8.) dan pakis (Stenochama

polushis), juga ditemukan sepongol dan gelam.

Page 43: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

43

Gambar 7. Vegetasi Gelam dan Vegetasi Rumput Belidang

Gambar 8. Vegetasi Perpat (Sonneratia sp)

Lintasan survai jalur pengamatan titik 43 hingga 100 adalah dari Desa

Pedamaran I menuju Desa Jungkal mempunyai kondisi lahan gambut dengan

vegetasi dominan perpat (Sonneratia sp), pakis (Stenochama polushis), dan

beriang.

Hingga tahun 1970-an hutan primer yang merupakan vegetasi klimaks

terdiri dari hutan rawa air tawar dan hutan gambut, masih dinyatakan

keberadaannya seperti dilaporkan oleh Soil Research Institute (1973) dalam

Rifani (1988). Kondisi vegetasi saat ini menunjukkan kecenderungan perubahan

dari hutan sekunder menjadi hutan tersier atau bahkan menjadi tanaman pioner.

Page 44: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

44

Berdasarkan data pengamatan lapangan vegetasi di titik 43-45 dominan

adalah belidang, hal ini mengindikasikan gambut didaerah ini relatif lebih

dangkal, ini dibuktikan dengan kedalaman gambut pada titik ini 2 m. Perpat

(Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis), gelam (Melaleuca sp), beriang

dan purun mendominasi titik pengamatan 47 sampai 98, kecenderung kondisi

daerah lebih rendah dan gambutnya lebih dalam (Prayitno dan Bakri, 2005).

Hasil analisis vegetasi jalan raya Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur

yang dilakukan pada areal yang didominasi oleh belukar seperti terlihat pada

Tabel 11, di atas, ternyata indeks keanekaragaman vegetasi adalah sebesar 2,04.

nilai indeks keanekaragaman ini, menunjukkan kondisi komunitas sedang dalam

proses suksesi yang demikian kuat untuk menjaga keseimbangan, yaitu menuju

nilai indeks keanekaragaman 3,0–4,0. Nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,00

adalah menunjukkan batas keseimbangan, jadi kondisi ini sangat rentan terhadap

terjadinya kerusakan, antara lain kebakaran areal gambut.

Vegetasi yang dominan pada hasil analisis vegetasi ini, dapat dilihat pada

indeks nilai pentingnya. Dalam hal ini ditunjukkan oleh jenis purun besar

(Lepironia mucronata), dengan nilai indeks nilai penting sebesar 79,75%, disusul

oleh pakis gambut (Blechnum orientale) dengan nilai indeks nilai pentingnya

sebesar 56,80 dan kemudian diikuti oleh jenis pandan gambut (Pandanus ornatus)

dengan indeks nilai pentingnya sebesar 44,83%. Berdasarkan harga Indeks Nilai

Pentingnya (INP) setiap jenis tersebut, menunjukkan ada tiga spesies yang

mendominasi vegetasi belukar di wilayah studi, berturut-turut yaitu: jenis purun

besar, pakis gambut dan pandan gambut.

Hasil analisis vegetasi, Jalan Raya Sepucuk Kecamatan Kayuagung, yang

dilakukan pada areal hutan perepat yang didominasi oleh strata atas berupa kayu

perepat dan strata bawah oleh rumput purun besar, dapat dilihat hasilnya seperti

pada Tabel 12. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat dilihat harga

Indeks Nilai Penting (INP) dari setiap spesies yang dijumpai. Berdasarkan harga

INP tiap spesies atau jenis, ternyata INP paling tinggi dijumpai pada jenis purun

besar (Lepironia mucronata), yaitu sebesar 152,5 % artinya jenis ini mendominasi

dari seluruh habitat di hutan perepat wilayah studi. Meskipun jenis ini merupakan

vegetasi strata bawah atau rumputan, namun kemampuannya hidup pada lahan

Page 45: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

45

bergambut yang luar biasa. Harga INP terbesar ke dua terdapat pada jenis kayu

perepat (Combretocarpus motleyi), yaitu dengan harga INP sebesar 46,12. Dan

harga INP terbesar ketiga terdapat pada pakis gambut (Blechnum orientale)

dengan INP sebesar 20,67. Hasil analisis dengan harga INP terbesar dapat

dinyatakan ada tiga spesies yang mendominasi vegetasi di wilayah studi ini, yaitu:

purun besar (Lepironia mucronata), kayu perepat (Combretocarpus motleyi) dan

pakis gambut (Blechnum orientale).

Kondisi adanya nilai INP yang tertinggi, dalam hal ini ada tiga spesies

seperti disebutkan di atas, menunjukkan bahwa ada spesies yang mendominasi

kehidupan vegetasi pada ekosistem hutan rawa gambut di wilayah studi. Dengan

adanya spesies yang mendominasi suatu komunitas dalam ekosistem,

menunjukkan telah adanya kerusakan yang demikian besar terjadi dalam habitat

wilayah studi, kemungkinan penebangan kayu secara illegal pada waktu lampau

dan pernah terjadi kebakaran hutan di wilayah studi. Pernyataan ini diperkuat oleh

harga Indeks Keanekaragaman komunitas vegetasi di wilayah studi (Tabel 13)

sebesar 1,75, menunjukkan kondisi komunitas tidak mantap yang diindikasi

dengan nilai Indeks Keanekaragaman <2,00. Jenis-jenis lainnya yang tidak

dominan dapat dilihat pada Tabel 12, merupakan jenis-jenis yang ikut dalam

proses suksesesi untuk menuju kepada proses keseimbangan alam. Proses

keseimbangan alam sangat didukung oleh pengawasan untuk tidak mengganggu

kehidupan vegetasi di wilayah studi.

Page 46: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

46

Tabel 12. Hasil Analisis Vegetasi Belukar di Rawa Gambut, Lokasi Jalan Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur

No. Nama Jenis Hasil Analisis

K KR F FR D DR INP HH

1 Blechnum orientale (pakis gambut) 565.000 38.948 1,00 17,54 4435 0,313 56,80 0,315

2 Lepironia mucronata (purun besar) 700.000 48.254 1,00 17,54 197.820 13.958 79,75 0,352

3 Melaluca leucadendra (gelam rawa) 5.000 0,345 0,20 3,51 361.728 25.522 29,38 0,228

4 Pandanus ornatus (pandan gambut) 135.000 9,306 0,32 5,61 423.900 29.909 44,83 0,283

5 Uncaria longiflora (kekait) 7.500 0,517 0,42 7,37 376.800 26.586 34,47 0,249

6 Fimbristylis annua (belidang) 3.500 2,413 0,64 11,23 275 0,019 13,66 0,141

7 Aporosa microcalyx (pelangas) 2.500 0,172 0,24 4,21 20 0,001 4,38 0,062

8 Melastoma malabathricum (seduduk) 75 0,005 0,18 3,16 2.885 0,203 3,37 0,050

9 Hevea brasiliensis (karet) 100 0,007 0,80 14,04 3.847 0,272 14,32 0,145

10 Paspalum conjugatum (kumpai) 300 0,021 0,34 5,96 5.887 0,415 6,40 0,082

11 Combretocarpus motleyi (perepat

gambut)

175 0,012 0,56 9,83 3.9701 2,801 12,64 0,133

Jumlah

1.450.650 100,0 5,70 100,0 1417298 100,0 300,0 2,04

Page 47: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

47

Tabel 13. Hasil Analisis Vegetasi pada Hutan Perepat di Rawa Gambut, Lokasi Jalan Sepucuk , Kecamatan Kayuagung

No. Nama Jenis Hasil Analisis

K KR F FR D DR INP HH

1. Combretocarpus motleyi (kayu perepat) 5.025 0,776 1,00 13,263 142.007 32,08 46,12 0,254

2. Melaleuca leucadendra (gelam rawa) 550 0,085 0,86 11,406 3.886 0,88 12,34 0,131

3. Eugenia variifolia (kayu samak) 200 0,031 0,42 5,570 1.413 0,32 5,92 0,077

4. Eugenia spicata (gelam tikus) 125 0,019 0,30 3,979 1.570 0,35 4,35 0,61

5. Vitex gamosepala (leban pacat) 100 0,015 0,12 1,592 1.256 0,28 1,89 0,032

6. Blechnum orientale (pakis gambut) 56.000 8,645 0,72 9,549 10.990 2,48 20,67 0,184

7. Lepironia mucronata (purun besar) 520.000 80,278 1,00 13,263 261.248 59,01 152,55 0,344

8. Axonopus compressus (rumput pait) 36.000 5,558 0,64 8,488 4.522 1,02 15,07 0,150

9. Fimbristylis annua (belidang) 24.000 3,705 0,56 7,427 6.782 1,53 12,66 0,134

10. Aporosa microcalyx (pelangas) 1.600 0,247 0,38 5,040 5.024 1,13 6,42 0,082

11. Melastoma malabathricum (seduduk) 350 0,054 0,44 5,836 275 0,06 5,95 0,078

12. Uncaria longiflora (kekait) 1.200 0,185 0,50 6,631 942 0,21 7,03 0,088

13. Paspalum conjugatum (kumpai) 200 0,031 0,20 2,653 25 0,01 2,69 0,042

14. Pandanus ornatus (pandan gambut) 600 0,093 0,16 2,122 1.884 0,43 2,65 0,042

15. Asplenium longissimum (pakis panjang) 1.800 0,278 0,24 3,183 904 0,20 3,66 0,054

Jumlah 647.750 100,0 7,54 100,0 442.728 100,0 300,0 1,75

Sumber: Data Primer, Agustus, 2009.

Page 48: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

48

B.2. Kondisi Biota Lahan Gambut

B.2.1. Danau Teloko, Kecamatan Kayuagung

B.2.1.1. Biota Darat

Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang

menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun

yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang

bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada. Pada masa lalu,

hutan alam yang terdapat di kaki pegunungan bukit barisan hingga ke daerah

pantai Pulau Sumatera adalah Hutan Primer dengan keanekaragaman yang tinggi.

Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, maka

berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan penggunaan lahan oleh

masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah degenerasi terhadap hutan

alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari gangguan atau degenerasi

ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme yang berkategori langka

dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan alam yang bersifat primer

semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan fauna semakin menjadi

persoalan yang sangat serius.

Wilayah Danau Teloko, merupakan danau rawa yang muka airnya

berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit

air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil

terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika

turun hujan.

Danau Teloko juga cukup luas, yaitu .. hektar (ratusan hektar) dengan

kedalaman 2–5 meter pada waktu musim hujan dan <2 meter pada waktu

kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan) permukaan danau

menjadi kering seperti yang terjadi pada tahun 1997. Namun demikian, kondisi

penghujan atau kondisi akuatik tampaknya lebih dominan dalam bulan-bulan

sepanjang tahun dibanding kondisi kering atau kemarau. Dengan kondisi seperti

itu, maka Danau Teloko merupakan ekosistem akuatik yang memiliki potensi

dalam pengembangan perikanan air tawar, terutama kelompok ikan berwarna

gelap (blackfishes). Hal ini berkaitan dengan luasnya Danau Teloko dan proses

Page 49: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

49

terjadinya secara alami, sehingga jenis-jenis ikan dan vegetasi yang ada dalam

perairan danau rawa tersebut sudah sangat beradaptasi dengan sifat fisik dan

khemis badan air danau rawa tersebut.

Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar danau teloko, maka

vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: eceng gondok (Eichhornia crassipes),

purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar

(Nelumbo nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), keladi (Colocasia

esculenta), genjer (Limnocharis flava), belidang (Fimbristylis annua), petai air

(Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang

(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung

antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus

compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi

tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.).

Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang

beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis

ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas

Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis

phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),

bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau

totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica), elang bondol

(Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra).

B.2.1.2. Biota Perairan

Biota akuatik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok umum, yaitu plankton,

benthos dan nekton. Penggolongan ini didasarkan pada prilaku serta sifat yang

mempengaruhi responnya terhadap habitat akuatik. Komunitas biotik baik

plankton, benthos maupun nekton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi

ekologis. Perubahan komunitas biotik tersebut merupakan indikator perubahan

ekosistem perairan (akuatik). Ketiga kelompok organisme tersebut saling terkait

dalam menopang rantai dan jaring makanan dalam ekosistem perairan seperti

Danau Teloko.

Page 50: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

50

Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu

fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat

produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari

bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan

kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh

fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung.

Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya,

sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar

kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi

blooming populasi.

Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 14 dan hasil

inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 15.

Tabel 14. Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di

Perairan Danau Teloko, Kabupaten Ogan Komering Ilir

No.

Nama Kelompok dan Spesies

Jumlah Individu/liter

P1 P2 P3 P4

I.

A.

B.

C.

D.

PHYTOPLANKTON:

Cyanophyceae:

1. Anabaena catenula

2. Gloeotrichia echinulata

3. Lyngbya birgei

4. Lyngbya limnetica

5. Nodularia spumigena

6. Oscillatoria splendida

Chlorophyceae:

1. Ankistrodesmus falcatus

2. Ankistrodesmus spiralis

3. Chaetophopra elegans

4. Chaetophora incrassata

5. Chlorella ellipsoidea

6. Chlorella vulgaris

7. Chodatella longiseta

8. Oedogonium longiarticulatum

9. Quadrigula recustris

10. Spirogyra varians

Desmidiaceae:

1. Closterium juncidum

2. Genicularia sp.

Diatomae:

1. Asterionella formosa

2. Asterionella gracillima

3. Diatoma elongatum

4. Diatoma vulgare

5. Eunotia arcus

-

-

-

-

-

-

1

-

4

1

4

9

-

1

-

1

1

1

-

-

3

2

-

-

2

2

-

-

1

4

1

1

-

2

2

-

-

-

-

-

-

-

1

2

5

-

1

1

-

3

-

1

-

1

-

-

3

5

1

-

-

-

-

-

1

3

7

3

-

-

-

-

1

1

-

-

-

-

-

10

19

-

-

1

-

-

-

3

3

1

2

1

Page 51: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

51

II.

A.

B.

6. Eunotia gracilis

7. Eunotia lunaris

8. Navicula minima

9. Navicula pupula

10. Navicula spicula

11. Nitzschia linearis

12. Synedra acus

13. Tabellaria fenestrata

ZOOPLANKTON:

Flagellata:

1. Anisonema ovale

2. Carteria crucifera

3. Carteria globosa

4. Chlamydomonas cingulata

5. Euglena acus

6. Lepocinclis ovum

7. Polytoma uvella

8. Phacus unguis

9. Oicomonas socialis

10. Trachelomonas abrupta

11. Trachelomonas cucurbitiformis

12. Trachelomonas curta

13. Trachelomonas cylindrica

14. Trachelomonas hexangulata

15. Trachelomonas oblonga

16. Trachelomonas pulcherrima

17. Trachelomonas schwiakoffii

18. Trachelomonas volvocina

Rhizopoda:

1. Astramoeba radiosa

2. Centropyxis aculeata

3. Nebela dentistoma

4. Nebela militaris

5. Thecamoeba verrucosa

3

3

-

-

-

1

-

-

4

11

6

8

-

2

2

-

-

-

-

1

1

-

4

-

-

1

-

-

1

-

-

3

2

-

-

-

-

7

-

-

4

-

3

-

-

-

-

-

2

-

2

-

1

3

-

-

-

-

1

-

-

-

3

4

1

1

2

-

1

-

2

4

3

-

-

2

1

1

1

-

1

4

-

-

4

1

-

-

1

-

1

1

-

-

3

-

-

-

3

-

2

5

2

3

11

1

4

2

-

1

-

1

1

-

-

2

-

4

5

-

-

-

-

1

1. Populasi plankton per liter:

2. Populasi phytoplankton per liter:

3. Populasi zooplankton per liter:

4. Keanekaan spesies plankton:

5. Keanekaan spesies fitoplankton:

6. Keanekaan spesies zooplankton:

7. Indeks Kemerataan (Shannon): E

8. Indeks Keanekaragaman Plankton (H):

76

35

41

25

14

11

2,07

2,89

51

35

16

21

14

7

2,18

2,88

69

42

27

32

18

14

2,16

3,24

93

50

43

27

13

14

2,00

2,86

Sumber: Data Primer, Juni 2009.

Keterangan: P1: Lebak Kecil Danau Teloko; P2. Lebak Besar Danau Teloko; P3: Lebak Sungai

Danau Teloko; P4: Lebak Mahang Danau Teloko.

Berdasarkan hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman

komunitas plankton pada 4 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata

cukup besar, yaitu jauh >2,00, yakni berkisar 2,86–3,24. Indeks keanekaragaman

plankton mendekati 3,00 hingga >3,00 menunjukkan kondisi komunitas plankton

adalah mendekati sangat stabil hingga sangat stabil. Indeks keanekaragaman

Page 52: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

52

sebesar 2,86–3,24, yakni jauh di atas 2,00 menunjukkan tidak terdapat

pencemaran dalam badan air Danau Teloko. Namun demikian, kelimpahan

komunitas plankton rata-rata <100 individu/liter air menunjukkan kelimpahan

sedang, yakni populasi masing-masing plankton tergolong tidak melimpah. Hal

ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya

diperlihatkan dari kandungan N rendah.

Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat

lumpur dasar Danau Teloko pada lokasi yang disampling ternyata tidak dijumpai

organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor fisik dan

khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya yang

sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan. Kedalaman air >1 meter,

namun penetrasi cahaya < 50 cm, sehingga bagian dasar badan air tidak mendapat

cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak optimal, sehingga pakan benthos

dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup untuk kebutuhan minimal

komunitas benthos. Faktor khemis antara lain, kandungan oksigen terlarut,

terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan sangat rendah. Hal ini sesuai

dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap sesuai dengan warna air yang

relatif keruh dan berwarna kecokelatan.

Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan

air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah

jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen

terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis

ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna

gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin,

sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen

udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya.

Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus),

selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata), lele (Clarias

batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan

tebakang (Helostoma temmincki). Pada kondisi air yang lebih baik pada waktu

musim hujan, maka jenis-jenis ikan lainnya akan bermigrasi ke dalam perairan

lebak Danau Teloko untuk memperluas jelajahnya dalam mencari pakan

Page 53: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

53

alaminya. Berdasarkan hasil survai dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan

yang mencari ikan di Danau Teloko, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang dijumpai

pada badan air di Lebak atau Danau Teloko disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Jenis Nekton di Perairan Danau Teloko, Tanjung Serang, Kayuagung

No. Nama lokal Nama Ilmiah Taksiran populasi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

Baung

Belut

Betok

Betutu

Bujuk

Gabus

Lais

Langli

Lele bintik

Lele kalang

Lele pendek

Selincah

Seluang

Sepat mata merah

Sepat siam

Sepatung

Serandang

Tapah

Tebakang

Tempalo lebak

Toman

Macrones nemurus

Monopterus albus

Anabas testudineus

Oxyeleotris marmorata

Ophiocephalus melanopterus

Ophiocephalus striatus

Crypropterus lais

Pangio semicincta

Clarias nieuwhofi

Clarias batrachus

Clarias melanoderma

Polyacanthus hasselti

Rasbora argyrotaenia

Trichogaster trichopterus

Trichogaster pectoralis

Pristolepis fasciatus

Ophiocephalus lucius

Wallago leeri

Helostoma temmincki

Betta taeniata

Ophiocephalus micropeltes

Jarang

Banyak

Banyak

Jarang

Sedikit

Banyak

Sedang

Sedikit

Sedikit

Banyak

Sedikit

Banyak

Sedang

Banyak

Banyak

Jarang

Jarang

Sangat jarang

Sedang

Banyak

Sedikit

Sumber: Data Primer, Juni, 2009.

Tabel 15 tersebut di atas, terlihat paling sedikit terdapat 21 spesies nekton

yang semuanya tergolong ke dalam Superkelas Piseces atau ikan. Kelimpahan dari

masing-masing spesies berkisar sangat jarang hingga banyak. Jenis-jnis yang

tergolong kategori banyak adalah: ikan belut, betok, gabus, lele kalang, selincah,

sepat mata merah, sepat siam dan tempalo lebak. Jenis-jenis yang disebutkan ini

sering dipancing atau ditangkap dengan alat tradisional untuk dijual. Sedangkan

jenis lainnya meskipun dipancing atau dengan menggunakan cara penangkap ikan

lainnya, ternyata jarang didapat.

Page 54: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

54

Kondisi Danau Teloko, Desa Tanjung Serang Kecamatan Kayuagung

disajikan pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 9. Danau Teloko, cukup luas tampak air

bergelombang, Juni 2009.

Gambar 10. Nelayan sedang mencari ikan di Danau

Teloko, dengan latar belakang vegetasi

rumput kumpai, purun dan kayu gabus,

Juni 2009.

Page 55: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

55

B.2.2. Danau Air Hitam, Kecamatan Pedamaran.

B.2.2.1. Biota Darat

Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang

menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun

yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang

bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada. Pada masa lalu,

hutan alam yang terdapat di kaki pegunungan bukit barisan hingga ke daerah

pantai Pulau Sumatera adalah Hutan Primer dengan keanekaragaman yang tinggi.

Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, maka

berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan penggunaan lahan oleh

masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah degenerasi terhadap hutan

alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari gangguan atau degenerasi

ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme yang berkategori langka

dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan alam yang bersifat primer

semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan fauna semakin menjadi

persoalan yang sangat serius.

Danau Air Itam merupakan danau rawa yang muka airnya juga

berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit

air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil

terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika

terun hujan. Danau Air Itam juga cukup luas dengan kedalaman 3–6 meter pada

waktu musim hujan dan <3 meter pada waktu kemarau, bahkan pada waktu

kemarau panjang (>5 bulan) permukaan danau menjadi kering seperti yang terjadi

pada tahun 1997. Namun demikian, kondisi penghujan atau kondisi akuatik

tampaknya lebih dominan dalam bulan-bulan sepanjang tahun dibanding kondisi

kering atau kemarau. Dengan kondisi seperti itu, maka Danau Air Itam merupakan

ekosistem akuatik yang memiliki potensi dalam pengembangan perikanan air

tawar, terutama kelompok ikan berwarna gelap (blackfishes).

Hal ini berkaitan dengan luasnya Danau Air Itam dan proses terjadinya

secara alami, sehingga jenis-jenis ikan dan vegetasi yang ada dalam perairan

danau rawa tersebut sudah sangat beradaptasi dengan sifat fisik dan khemis badan

air danau rawa tersebut. Sungai yang langsung berhubungan dengan Danau Air

Page 56: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

56

Itam ini adalah Sungai Lempuing. Dengan kontak langsung aliran Sungai

Lempuing dengan Danau Air Itam ini, maka ikan-ikan sungai dapat bermigrasi ke

danau rawa tersebut dan sebaliknya. Dengan demikian, keanekaragaman jenis

ikan di Danau Air Itam semakin beragam, demikian halnya terjadi pada Sungai

Lempuing. Disebut dengan nama Danau atau Lebak Air Itam, karena warna airnya

hitam kecokelatan oleh pengaruh air yang melalui wilayah gambut yang tebal,

sehingga warna hitam tersebut merupakan kolloid.

Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar danau Air Itam,

maka vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: rumput jae-jae (Panicum repens),

rumput kusut (Paspalum distichum), eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun

(Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar (Nelumbo

nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air

(Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang

(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung

antara lain: rumput pait (Axonopus compressus). Sementara itu jenis kayu yang

masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.)

dan kayu gelam rawa (Melaleuca leucadendra).

Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang

beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis

ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas

Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis

phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),

bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau

totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica) dan elang bondol

(Heliastur indus).

Page 57: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

57

B.2.2.2. Biota Perairan

Biota akuatik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok umum, yaitu plankton,

benthos dan nekton. Penggolongan ini didasarkan pada prilaku serta sifat yang

mempengaruhi responnya terhadap habitat akuatik. Komunitas biotik baik

plankton, benthos maupun nekton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi

ekologis. Perubahan komunitas biotik tersebut merupakan indikator perubahan

ekosistem perairan (akuatik). Ke tiga kelompok organisme tersebut saling terkait

dalam menopang rantai dan jaring makanan dalam ekosistem perairan seperti

Danau Air Itam.

Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu

fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat

produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari

bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan

kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh

fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung.

Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya,

sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar

kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi

blooming populasi.

Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 16 dan

inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 17.

Page 58: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

58

Tabel 16. Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di

Perairan Danau atau Lebak Air Itam, Kecamatan Pedamaran

Kabupaten Ogan Komering Ilir

No.

Nama Kelompok dan Spesies

Jumlah Individu/liter

P1 P2 P3

I.

A.

B.

C.

D.

II.

A.

PHYTOPLANKTON:

Cyanophyceae:

7. Anabaena catenula

8. Gloeotrichia echinulata

9. Lyngbya limnetica

10. Nodularia spumigena

11. Nostoc paludosum

12. Oscillatoria amphibia

13. Oscillatoria chalybea

14. Oscillatoria kawamurae

15. Oscillatoria splendida

Chlorophyceae:

11. Ankistrodesmus falcatus

12. Ankistrodesmus spiralis

13. Chaetophopra elegans

14. Chaetophora incrassata

15. Chlorella ellipsoidea

16. Chlorella vulgaris

17. Oedogonium angustum

18. Platymonas elliptica

19. Quadrigula chodatii

20. Quadrigula recustris

21. Sphaeroplea annulina

22. Spirogyra varians

23. Zygnemopsis quadrata

Desmidiaceae:

3. Arthrodesmus convergens

4. Closterium acerosum

Diatomae:

14. Amphipleura pellucida

15. Asterionella formosa

16. Asterionella gracillima

17. Diatoma elongatum

18. Diatoma vulgare

19. Eunotia arcus

20. Eunotia gracilis

21. Eunotia lunaris

22. Navicula hasta

23. Navicula minima

24. Synedra acus

ZOOPLANKTON:

Flagellata:

19. Anisonema ovale

20. Carteria crucifera

21. Chlamydomonas cingulata

22. Cyanomastix morgani

23. Euglena acus

24. Gloeomonas ovalis

25. Lepocinclis butchlii

26. Lepocinclis ovum

27. Polytoma uvella

28. Phacus unguis

29. Oicomonas socialis

30. Trachelomonas abrupta

31. Trachelomonas cervicula

32. Trachelomonas curta

-

2

2

-

3

-

-

-

-

1

2

2

2

-

1

-

-

-

4

5

6

-

-

-

1

-

2

3

3

2

5

2

-

1

4

1

3

1

-

-

-

-

-

-

-

-

2

1

3

-

1

5

4

-

2

-

-

-

-

-

-

3

3

3

3

1

1

2

5

-

-

-

-

-

8

1

12

9

1

6

6

2

-

6

2

3

-

-

1

-

1

-

1

-

1

1

-

3

1

-

-

1

4

2

5

1

1

1

-

2

-

3

8

-

-

1

-

-

-

3

2

1

-

1

1

1

-

-

-

4

-

-

15

5

5

4

-

-

2

-

1

-

1

1

4

1

6

Page 59: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

59

B.

C.

D.

E.

33. Trachelomonas oblonga

34. Trachelomonas volvocina

Rhizopoda:

6. Centropyxis aculeata

7. Nebela dentistoma

8. Thecamoeba verrucosa

Rotifera:

1. Ploeosoma triacanthum

Copepoda:

1. Cyclops strenuus

2. Diaptomus sp.

Ostracoda:

1. Cypridopsis sp.

2

-

2

1

1

-

1

-

1

2

-

-

-

3

1

1

1

-

2

6

-

-

-

-

-

-

-

9. Populasi plankton per liter:

10. Populasi phytoplankton per liter:

11. Populasi zooplankton per liter:

12. Keanekaan spesies plankton:

13. Keanekaan spesies fitoplankton:

14. Keanekaan spesies zooplankton:

15. Indeks Kemerataan (Shannon): E

16. Indeks Keanekaragaman Plankton (H):

72

53

19

32

20

12

2,20

3,31

105

84

21

34

21

13

2,10

3,21

96

58

38

32

20

12

2,08

3,13

Sumber: Data Primer, Juni 2009.

Keterangan: P1: Pangkal Lebak Itam; P2. Tengah Lebak Itam; P3: Ujung Lebak Itam

Berdasarkan hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman

komunitas plankton pada 3 stasiun (titik) pengambilan sample (musim kemarau)

ternyata cukup besar, yaitu rata-rata >3,00, yakni berkisar 3,13–3,31. Indeks

keanekaragaman plankton melebihi 3,00 menunjukkan kondisi komunitas

plankton adalah tergolong sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar 3,13–

3,31 yakni >3,00 menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau

atau Lebak Air Itam. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton (Tabel

16) rata-rata adalah <100 individu/liter air hingga sedikit >100 individu/liter air

kelimpahan sedang, yakni populasi masing-masing plankton tergolong tidak

melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan

nutrisinya dari kandungan N total dan kandungan fosfor dalam air.

Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat

lumpur dasar Danau atau Lebak Air Itam pada lokasi yang disampling ternyata

tidak dijumpai organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor

fisik dan khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya

yang sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan. Kedalaman air >1

meter, namun penetrasi cahaya <50 cm, sehingga bagian dasar badan air tidak

mendapat cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak optimal, sehingga

pakan benthos dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup untuk kebutuhan

Page 60: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

60

minimal komunitas benthos. Faktor khemis antara lain, kandungan oksigen

terlarut, terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan sangat rendah. Hal ini

sesuai dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap sesuai dengan warna air

yang relatif keruh dan berwarna kecokelatan.

Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan

air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah

jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen

terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis

ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna

gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin,

sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen

udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya. Jenis-jenis yang

banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus

hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus striatus), lele (Clarias

batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan

tebakang (Helostoma temmincki). Pada kondisi air yang lebih baik pada waktu

musim hujan, maka jenis-jenis ikan lainnya akan bermigrasi dari Sungai

Lempuing ke dalam perairan Danau atau Lebak Air Itam untuk memperluas

jelajahnya dalam mencari pakan alaminya. Demikian sebaliknya pada waktu

musim kemarau dimana debit air turun, maka ikan-ikan rawa lebak bermigrasi ke

badan air Sungai Lempuing dengan tujuan mendapatkan kebutuhan oksigen

terlarut (DO, Dissolved Oxygen) yang cocok dengan kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan hasil survei dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan yang

mencari ikan di sekitarnya, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang dijumpai pada

badan air di Lebak atau Danau Air Itam disajikan pada Tabel 17.

Page 61: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

61

Tabel 17. Jenis-jenis nekton yang dapat dijumpai di perairan Lebak atau Danau

Air Itam, Juni 2009. No. Nama lokal Nama Ilmiah Taksiran populasi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

Baung

Belido

Belut

Betok

Betutu

Bujuk

Buntal

Gabus

Lais

Langli

Lele bintik

Lele kalang

Lele pendek

Mentilan

Putak

Selincah

Seluang

Sepat mata merah

Sepat siam

Sepatung

Serandang

Sihitam

Tapah

Tebakang

Tempalo lebak

Toman

Udang satang

Labi-labi

Kura-kura

Macrones nemurus

Notopterus chitala

Monopterus albus

Anabas testudineus

Oxyeleotris marmorata

Ophiocephalus melanopterus

Tetraodon palembangensis

Ophiocephalus striatus

Crypropterus lais

Pangio semicincta

Clarias nieuwhofi

Clarias batrachus

Clarias melanoderma

Mastacembelus unicolor

Notopterus notopterus

Polyacanthus hasselti

Rasbora argyrotaenia

Trichogaster trichopterus

Trichogaster pectoralis

Pristolepis fasciatus

Ophiocephalus lucius

Labeo chrysopekadion

Wallago leeri

Helostoma temmincki

Betta taeniata

Ophiocephalus micropeltes

Macrobrachium rosenbergii

Trionyx cartilageneus

Testudo elegans

Jarang

Sedikit

Banyak

Banyak

Jarang

Sedikit

Banyak

Banyak

Sedang

Sedikit

Sedikit

Banyak

Sedikit

Sedikit

Sedikit

Banyak

Sedang

Banyak

Banyak

Jarang

Jarang

Sedikit

Sangat jarang

Sedang

Banyak

Banyak

Sedikit

Jarang

Sedikit

Sumber: Data Primer, Juni, 2009.

Tabel 16 tersebut di atas, terlihat paling sedikit terdapat 29 spesies nekton

yang terbagi menjadi 26 jenis atau spesies tergolong ke dalam kelompok

Superkelas Piseces atau ikan (No. Urut 1–26); 1 jenis tergolong Kelas Crustacea

atau udang (No. Urut 27) dan 2 jenis tergolong ke dalam Kelas Reptilia atau

binatang melata (No. Urut 28 dan 29). Kelimpahan dari masing-masing spesies

berkisar jarang hingga banyak. Jenis-jnis yang tergolong kategori banyak adalah

ikan belut, betok, buntal, gabus, lele kalang, selincah, sepat mata merah, sepat

siam, tempalo lebak dan toman. Jenis-jenis yang disebutkan ini sering dipancing

atau ditangkap dengan alat tradisional untuk dijual. Sedang jenis lainnya

meskipun dipancing jarang didapat atau kadang-kadang.

Page 62: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

62

Kondisi Danau Air Itam, Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan

Komering Ilir disajikan pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 11. Danau Danau atau Lebak Air Itam, cukup

luas tampak air bergelombang, Juni 2009.

Gambar 12. Nelayan sedang mencari ikan di Danau Air

Itam, dengan latar belakang vegetasi

vegetasi hutan sekunder (didominasi kayu

tembesu, Fagr.

Page 63: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

63

B.2.3. Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan

B.2.3.1. Biota Darat

Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang

menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun

yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang

bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada.

Pada masa lalu, hutan alam yang terdapat di dataran rendah, termasuk

rawa-rawa di Pantai Timur Sumatera adalah Hutan Primer dengan

keanekaragaman yang tinggi. Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan

kehidupan manusia, maka berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan

penggunaan lahan oleh masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah

degenerasi terhadap hutan alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari

gangguan atau degenerasi ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme

yang berkategori langka dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan

alam yang bersifat primer semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan

fauna semakin menjadi persoalan yang sangat serius.

Wilayah Lebak Jungkal, merupakan lebak rawa yang sangat luas (ratusan

hektar) yang muka airnya berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau.

Sebagai danau rawa, debit air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang

berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang

topografinya lebih tinggi ketika turun hujan. Lokasi Lebak Jungkal adalah cukup

luas dengan kedalaman 1–4 meter pada waktu musim hujan dan <2 meter pada

waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan) permukaan

danau menjadi kering seperti yang terjadi pada tahun 1997. Namun demikian,

kondisi penghujan atau kondisi akuatik tampaknya lebih dominan dalam bulan-

bulan sepanjang tahun dibanding kondisi kering atau kemarau. Dengan kondisi

seperti itu, maka Lebak Jungkal merupakan ekosistem akuatik rawa lebak yang

memiliki potensi dalam pengembangan perikanan air tawar, terutama kelompok

ikan berwarna gelap (blackfishes). Hal ini berkaitan dengan luasnya Lebak

Jungkal dan proses terjadi lebak ini juga secara alami, sehingga jenis-jenis ikan

dan vegetasi yang ada dalam perairan rawa lebak tersebut sudah sangat

beradaptasi dengan sifat fisik dan khemis badan air danau rawa tersebut.

Page 64: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

64

Lebak Jungkal pada saat dilakukan studi memiliki debit yang rendah, yaitu

dengan kedalaman rata-rata <1 meter. Dengan kondisi cukup dangkal seperti itu,

maka terdapat vegetasi di permukaan air yang tumbuh merata, terlihat seperti pada

rumput. Jenis vegetasi yang mendominasi keluarga Gramineae yang sering

disebut dengan bahasa lokal rumput kumpai dengan spesies: Panicum stagninum,

Panicum colonum dan Panicum reptans. Kondisi lahan di Lebak Jungkal ini juga

tergolong lahan gambut. Dengan kondisi seperti itu pada waktu kemarau bagian

yang kering terlihat sengaja dibakar oleh penduduk ketika dilakukan pembukaan

lahan untuk kegiatan pertanian oleh penduduk lokal.

Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar Lebak Jungkal,

maka vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: pandan rawa (Pandanus ornatus)

Panicum stagninum, Panicum colonum, Panicum reptans, eceng gondok

(Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata), telipuk (Nymphoides

indica), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air

(Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang

(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung

antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus

compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi

tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.).

Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang

beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis

ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas

Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis

phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),

bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul besar (Egretta alba), kuntul kecil

(Egretta garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna

javanica), elang bondol (Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra).

Page 65: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

65

B.2.3.2. Biota Perairan

Biota akuatik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok umum, yaitu plankton,

benthos dan nekton. Penggolongan ini didasarkan pada prilaku serta sifat yang

mempengaruhi responnya terhadap habitat akuatik. Komunitas biotik baik

plankton, benthos maupun nekton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi

ekologis. Perubahan komunitas biotik tersebut merupakan indikator perubahan

ekosistem perairan (akuatik). Ke tiga kelompok organisme tersebut saling terkait

dalam menopang rantai dan jaring makanan dalam ekosistem perairan seperti

Lebak Jungkal.

Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu

fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat

produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari

bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan

kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh

fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung.

Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya,

sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar

kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi

blooming populasi.

Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 17 dan hasil

inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 18.

Hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas

plankton pada 2 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar,

yaitu jauh >3,00. Indeks keanekaragaman plankton >3,00 tersebut menunjukkan

kondisi komunitas plankton adalah sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar

>3,00, menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Lebak Jungkal.

Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton pada Lebak Bahanan tergolong

rendah, yaitu 49 individu/liter (<50 individu/liter air), sementara itu pada lokasi

Lebak Betung kelimpahan komunitas planktonnya sebesar 79 individu/liter air,

menunjukkan kelimpahan sedang. Dengan demikian, populasi masing-masing

Page 66: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

66

plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air

yang rendah kandungan nutrisinya N total dan fosfor (PO4.

Tabel 18. Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di

Perairan Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan

Komering Ilir No. Nama Kelompok dan Spesies Jumlah Individu/liter

P1 P2

I.

A.

B.

C.

D.

II.

A.

B.

PHYTOPLANKTON:

Cyanophyceae:

16. Lyngbya birgei

17. Lyngbya limnetica

18. Nodularia spumigena

19. Oscillatoria splendida

Chlorophyceae:

24. Ankistrodesmus spiralis

25. Chaetophopra elegans

26. Chaetophora incrassata

27. Chlorella ellipsoidea

28. Chlorella vulgaris

29. Cladophora glomerata

30. Oedogonium varians

31. Quadrigula chodatii

32. Quadrigula recustris

33. Scenedesmus bijuga

34. Scenedesmus ellipsoideus

Desmidiaceae:

5. Pleurotaenium trabecula

Diatomae:

25. Asterionella gracillima

26. Diatoma elongatum

27. Diatoma vulgare

28. Eunotia arcus

29. Eunotia gracilis

30. Eunotia lunaris

31. Navicula hasta

32. Navicula minima

33. Navicula spicula

34. Nitzschia linearis

ZOOPLANKTON:

Flagellata:

35. Anisonema ovale

36. Carteria crucifera

37. Carteria globosa

38. Chlamydomonas cingulata

39. Lepocinclis ovum

40. Trachelomonas abrupta

41. Trachelomonas cervicula

42. Trachelomonas curta

43. Trachelomonas oblonga

44. Trachelomonas volvocina

Rhizopoda:

9. Astramoeba radiosa

1

2

-

-

-

1

-

-

4

1

-

-

-

1

2

2

2

3

3

1

4

2

-

-

1

1

-

2

3

3

2

3

1

3

-

-

1

2

-

1

2

2

2

12

2

2

-

1

1

1

8

-

-

2

3

5

1

5

3

1

1

-

1

1

6

7

1

-

-

-

2

1

2

-

Page 67: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

67

C. Rotifera:

1. Philodina roseola

-

1

17. Populasi plankton per liter:

18. Populasi phytoplankton per liter:

19. Populasi zooplankton per liter:

20. Keanekaan spesies plankton:

21. Keanekaan spesies fitoplankton:

22. Keanekaan spesies zooplankton:

23. Indeks Kemerataan (Shannon): E

24. Indeks Keanekaragaman Plankton (H):

49

31

18

24

16

8

2,22

3,06

79

58

21

28

21

7

2,09

3,02

Sumber: Data Primer, Juni 2009.

Keterangan: P1: Lebak Bahanan, Jungkal; P2. Lebak Betung, Jungkal.

Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat

lumpur dasar Lebak Jungkal pada lokasi yang disampling ternyata tidak dijumpai

organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor fisik dan

khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya yang

sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan.

Kedalaman air >1 meter, namun penetrasi cahaya <50 cm, sehingga bagian

dasar badan air tidak mendapat cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak

optimal, sehingga pakan benthos dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup

untuk kebutuhan minimal komunitas benthos. Faktor khemis antara lain,

kandungan oksigen terlarut, terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan

sangat rendah. Hal ini sesuai dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap

sesuai dengan warna air yang relatif keruh dan berwarna kecokelatan.

Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan

air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah

jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen

terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis

ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna

gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin,

sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen

udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya. Jenis-jenis yang

banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus

hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus striata), lele (Clarias

batrachus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat mata merah (Trichogaster

trichopterus) , tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma

Page 68: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

68

temmincki). Berdasarkan hasil survei dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan

yang mencari ikan di Lebak Jungkal, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang

dijumpai pada badan air di Lebak Jungkal disajikan pada Tabel 19 berikut ini.

Tabel 19. Jenis-jenis nekton yang dapat dijumpai di perairan Lebak Jungkal

No. Nama lokal Nama Ilmiah Taksiran populasi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

Baung

Belut

Betok

Betutu

Bujuk

Gabus

Lais kecik

Lais tunggul

Langli

Lele bintik

Lele kalang

Lele pendek

Selincah

Seluang

Sepat mata merah

Sepat siam

Sepatung

Serandang

Tapah

Tebakang

Tempalo lebak

Tilan

Toman

Macrones nemurus

Monopterus albus

Anabas testudineus

Oxyeleotris marmorata

Ophiocephalus melanopterus

Ophiocephalus striatus

Cryptopterus limpok

Cryptopterus cryptopterus

Pangio semicincta

Clarias nieuwhofi

Clarias batrachus

Clarias melanoderma

Polyacanthus hasselti

Rasbora argyrotaenia

Trichogaster trichopterus

Trichogaster pectoralis

Pristolepis fasciatus

Ophiocephalus lucius

Wallago leeri

Helostoma temmincki

Betta taeniata

Mastacembelus unicolor

Ophiocephalus micropeltes

Jarang

Sedikit

Sedikit

Jarang

Sedikit

Banyak

Banyak

Banyak

Sedikit

Sedikit

Banyak

Sedikit

Banyak

Sedang

Sedang

Sedang

Jarang

Jarang

Banyak

Sedang

Banyak

Sedikit

Sedikit

Sumber: Data Primer, Juni, 2009.

Tabel 18 tersebut di atas, terlihat paling sedikit terdapat 23 spesies nekton

yang semuanya tergolong ke dalam Superkelas Piseces atau ikan. Kelimpahan dari

masing-masing spesies berkisar jarang hingga banyak. Jenis-jnis yang tergolong

kategori banyak adalah: gabus, gabus, lais kecik, lais tunggul, tapah, selincah dan

tempalo lebak. Jenis-jenis yang disebutkan ini sering dipancing atau ditangkap

dengan alat tradisional untuk dijual. Sedangkan jenis lainnya meskipun dipancing

atau dengan menggunakan cara penangkap ikan lainnya, ternyata jarang didapat.

Page 69: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

69

Kondisi Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan

Komering Ilir disajikan pada Gambar 13 dan 14 serta ikan sebagai hasil tangkapan

nelayan disajikan pada Gambar 15.

Gambar 13. Lebak Jungkal, cukup luas tampak air

tenang oleh air dangkal, sehingga

vegetasi kumpai (Panicum sp) tampak

dominan dipermukaan air, Juni 2009.

Gambar 14. Perkampungan Nelayan di Lebak Jungkal,

berada di tengah Rawa Lebak Jungkal,

tepatnya di Lebak Bahanan, Juni 2009.

Page 70: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

70

Gambar 15. Sebagian dari produksi tangkapan nelayan

di Lebak Jungkal, Juni 2009.

Page 71: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

71

C. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa

Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir

Kegiatan penelitian Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada

Lahan Hutan Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan

Komering Ilir terdiri dari beberapa desa yang secara admistratif dalam wilayah

Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran Timur, Pampangan.

C.1. Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran

Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran mempunyai batas sebelah utara

berbatasan dengan Kelurahan Kedaton Kecamatan Kayuagung; sebelah selatan

berbatasan dengan Desa Tanjung Sari Kecamatan Lempuing; sebelah timur

berbatasan dengan Desa Pulau Geronggang Kecamatan Pedamaran Timur; dan

sebelah barat berbatasan dengan Desa Pedamaran I Kecamatan Pedamaran. Desa

Cinta Jaya luas wilayahnya adalah 25.000 hektar.

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan kering di Desa Cinta Jaya

Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir. Lahan Desa Cinta Jaya

terdiri dari lahan kering dengan luas areal 1,4 % dari 25 ribu hektar, lahan rawa

lebak dengan luas areal 4 % dari 25 ribu hektar dan lahan gambut dengan luas

areal 94,6 % dari 25 ribu hektar. Kondisi lahan tersebut akan berpengaruh

terhadap bentuk kegiatan masyarakat yakni pertanian atau perkebunan.

Lahan kering di Desa Cinta Jaya sebagian telah dimanfaatkan oleh

masyarakat untuk tanaman karet dan berladang, dan sebagian masih berupa semak

belukar. Kondisi tanaman karet yang ditanam oleh masyarakat belum memenuhi

standar penanaman karet, yakni menggunakan sistem tradisional dan tidak

dirawat. Kondisi tersebut pelu upaya pengelolaan lahan agar tanaman dapat hidup

dengan baik dan mampu berproduksi dengan baik pula, maka perlu dilakukan

penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman karet. Kondisi lahan kering dan

vegetasinya dapat dilihat pada Gambar 16dan 17

Page 72: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

72

Gambar 16. Tanaman Kerat Di Desa Cinta Jaya

Kecamatan Pedamaran

Gambar 17. Semak Belukar di Desa Cinta Jaya

Kecamatan Pedamaran.

Page 73: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

73

C.1.1. Sifat Fisik Tanah Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran

Menurut CSR/FAO Staff (1983), sifat fisik tanah yang dinilai adalah kelas

drainase, kedalaman efektif tanah, dan tekstur tanah. Sifat fisik tanah ini

berpengaruh terhadap kondisi perakaran.

Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi penelitian semuanya memiliki kelas

draenase tanah yang tergolong baik, hal ini ditentukan dengan tidak ditemukannya

bercak atau karat pada tanah dan tidak terdapat lahan yang tergenang pada lapisa

permukaan (Hardjowigeno, 2001). Drainase yang baik merupakan kondisi yang

dikehendaki oleh jenis tanaman perkebunan seperti tanaman karet.

Kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian adalah 150cm, dengan

ditemukannya lapisan krokos pada kedalaman 150 cm. Lapisan krokos merupakan

salah satu faktor pembatas kedalaman efektif tanah. Lapisan krokos akan

mempenaruhi perkembangan akar tanaman. Kedalaman efektif tanah merupakan

faktor pembatas yang tidak dapat diperbaiki dan sangat berpengaruh pada

pertumbuhan tanaman, karena menyangkut kemampuan akar dalam berkembang.

Tekstur tanah pada lokasi penelitian adalah lempung berpasir dan lempung

liat berpasir, tetapi didominasi oleh lempung berpasir. Hasil analisis laboratorium,

diketahui bahwa di lokasi penelitian terbagi 2 (dua) kelas tekstur tanah yaitu

tekstur tanah lempung berpasir dengan luas 83,3 % dari 30 hektar yang diwakili

oleh titik sampel T1, T5, T8, T13, T21, T23, T26 dan T29 dan tekstur tanah lempung

liat berpasir dengan luas 16,7 % dari 30 hektar yang diwakili titik sampel T11 dan

T15.

C.1.2. Sifat Kimia Tanah Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran

Sifat kimia tanah yang dinilai meliputi retensi hara (pH dan KTK) dan

ketersediaan hara (N, P2O5, dan K2O). Tabel N-total, P2O5, K2O, KTK dan pH

dapat dilihat pada Tabel 20.

Hasil analisis di laboratorium menunjukkan bahwa, pH tanah pada lokasi

penelitian adalah berkisar antara 4,34 – 5,44. kisaran pH tanah pada lokasi

penelitian tergolong masam sampai agak masam. Penyebab utama tanah bereaksi

Page 74: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

74

masam adalah karena curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan basa-basa

mudah tercuci (Nyakpa., et al, 1988).

Nilai KTK pada lokasi penelitian tergolong dalam kategori rendah sampai

sedang yaitu antara 13,05–16, 31 cmol(+)kg-1. Nilai KTK tanah tertinggi pada

lokasi penelitian ditemukan pada areal yang diwakili titik sampel T11 dengan

tekstur tanah lempung liat berpasir dan nilai KTK terendah adalah pada areal yang

diwakili titik sampel T26. Rendahnya nilai KTK pada lokasi penelitian, diduga

karena rendahnya kadar liat pada tanah, hal ini dapat dilihat pada lahan yang

memiliki tekstur tanah lempung berpasir nilai KTKnya relatif lebih rendah

dibanding lahan yang memiliki tekstur tanah lempung liat berpasir.

Berdasarkan hasil analisis N-total tergolong rendah sampai sedang, yaitu

berkisar antara 0,15–0,29 %. Nilai N-total sedang mempunyai luasan sekitar 43,3

% dari 30 hektar (T1, T5, T8, T13, T23, dan T26), dan lahan dengan kandungan N-

total rendah seluas 56,7 % (T11, T15, T21 dan T29). Nitrogen yang tersedia di dalam

tanah yang dapat diserap akar tanaman adalah dalam bentuk ion-ion nitrat dan

amonium. Kedua bentuk N ini diperoleh dari hasil dekomposisi bahan organik,

baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang.

Kandungan P2O5 pada lokasi penelitian berkisar antara 3,67 sampai 93,04

µg g-1 (sangat rendah sampai sangat tinggi). Areal T1,T5, T8, T26 dan T29 memiliki

kandungan P-tersedia sangat rendah (50 % dari 30 hektar), dan areal T13 dan T21

memiliki kandungan P-tersedia rendah seluas 20 %, areal T11 memiliki kandungan

P-tersedia sedang seluas 10 %, sedangkan untuk areal T15 dan T23 memiliki

kandungan P-tersedia sangat tinggi seluas 20% dari 30 hektar. Unsur hara P

diserap tanaman terutama dalam bentuk ortofosfat primer (H2PO4-). Menyusul

kemudian dalam bentuk HPO42-. Penyerapan kedua bentuk ion ini oleh tanaman

dipengaruhi oleh pH di sekitar perakaran. Pada pH yang lebih rendah, ion H2PO4-

lebih banyak diserap oleh tanaman dari pada ion HPO42-, sedangkan pada pH yang

lebih tinggi sebaliknya (Nyakpa,.et al, 1988).

Kandungan K2O dilokasi penelitian tergolong rendah sampai tinggi,

dengan kisasaran 0,29 sampai 0,99 cmol(+)kg-1. Pada lokasi penelitian yang

diwakili areal T5 dan T26 memiliki kandungan kalium rendah dengan luas 26,6 %

dari 30 hektar, areal T1, T8, T13, dan T23 memiliki kandungan kalium sedang

Page 75: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

75

seluas 36,7 % dari 30 hektar sedangkan areal T11, T15, T21 dan T29, memiliki

kandungan kalium tinggi seluas 36,7 % dari 30 hektar.

Ketersediaan kalium di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu: tipe koloid tanah, temperatur, keadaan basah dan kering, pH tanah, dan

pelapukan. Kandungan kalium tersedia akan meningkat bila keadaan tanah yang

lembab dikeringkan, terutama pada tanah-tanah dengan kadar kalium yang rendah

hingga sedang (Nyakpa., et al, 1988).

Tabel 20. Analisis Sifat Kimia pada Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Titik sampel

pengamatan

N-Total

( % )

P2O5- Bray

(µg g-1)

K2O

(Cmol(+) Kg-1)

KTK

(Cmol(+) Kg-1)

pH

T1

T5

T8

T11

T13

T15

T21

T23

T26

T29

0,24 (S)

0,29 (S)

0,27 (S)

0,16 (R)

0,23 (S)

0,18 (R)

0,19 (R)

0,21 (S)

0,21 (S)

0,15 (R)

5,15 (SR)

9,62 (SR)

3,67 (SR)

16,03 (S)

14,42 (R)

61,83 (ST)

11,34 (R)

93,09 (ST)

8,93 (SR)

9,62 (SR)

0,42 (S)

0,29 (R)

0,42 (S)

0,57 (T)

0,42 (S)

0,99 (T)

0,57 (T)

0,42 (S)

0,29 (R)

0,57 (T)

15,23 (R)

13,05 (R)

14,14 (R)

16,31 (S)

14,14 (R)

15,23 (R)

15,23 (R)

12,18 (R)

11,31 (R)

14,14 (R)

4,99 (M)

4,94 (M)

4,93 (M)

4,34 (SM)

4,77 (M)

5,44 (M)

4,96 (M)

5,03 (M)

5,10 (M)

4,87 (M)

Keterangan : SM = Sangat masam, M = Masam

T = Tinggi, S = Sedang, R= Rendah, SR= Sangat rendah

C.1.3. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Karet

1. Kesesuaian Lahan Aktual

Berdasarkan hasil pencocokan (matching) di atas maka kelas kesesuaian

lahan aktual secara umum yang diperoleh pada areal yang diwakili titik sampel

pengamatan T1, T5, T8, T26 dan T29 adalah tidak sesuai (N) dengan faktor

pembatas ketersediaan unsur hara Fospor (P) (N-n). Pada titik sampel T11 kelas

kesesuaian lahannya adalah cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas

ketersediaan air (curah hujan dan bulan kering), kedalaman efektif tanah,

ketersediaan unsur hara Nitrogen (N) dan ketersediaan unsur hara Fospor (P) (S2-

wrn). Pada titik sampel T13 dan T21 adalah kurang sesuai (S3) dengan faktor

pembatas ketersediaan unsur hara Fospor (P) (S3-n).

Page 76: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

76

Pada titik sampel T15 memiliki kesesuaian lahan aktual S2-wrnf yaitu

cukup sesuai yang masih sibatasi oleh ketersediaan air (curah hujan dan bulan

kering), kedalaman efektif tanah, KTK dan ketersediaan unsur hara Nitrogen (N).

Pada titik sampel T23 sama dengan T15 (S2) tetapi tidak dibatasi oleh Nitrogen.

Kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman karet dapat dilihat pada Tabel 21

dan Gambar 18.

Tabel 21. Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Tanaman Karet

Kesesuaian

Aktual

Faktor Pembatas

Luas

S2-wrn

S2-wrnf

S2-wrf

S3-n

N-n

Ketersediaan air, unsur hara N, P, kedalaman

efektif

Ketersediaan air, unsur hara N, KTK rendah,

kedalaman efektif

Ketersediaan air, KTK rendah, kedalaman efektif

Ketersediaan unsur hara P

Ketersediaan unsur hara P

13,3%

3,4%

13,3%

20%

50%

2. Kesesuaian Lahan Potensial

Kesesuaian lahan potensial merupakan kondisi yang diharapkan sesudah

diberikan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan, sehingga dapat diduga

tigkat produksi dari suatu lahan serta hasil produksi per satuan luasnya

(Hardjowigeno, 2001).

Upaya mengatasi faktor pembatas, diperlukan perbaikan pengelolaan guna

meningkatkan tingkat kesesuaian lahan pada lokasi penelitian agar dapat lebih

sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet. Pada lokasi penelitian, faktor

pembatas kesesuaian lahan aktual seperti KTK rendah, ketersediaan unsur hara N

dan P dapat diatasi dengan pemberian input/masukan berupa penambahan bahan

organik dan pemberian pupuk sehingga secara potensial menjadi S1 (sangat

sesuai); tetapi pada semua lokasi pemgamatan masih dibatasi oleh ketersediaan air

(curah hujan) serta kedalaman efektif yang merupakan faktor pembatas yang

sifatnya tidak dapat diperbaiki, sehingga kesesuaian potensial semua areal lokasi

penelitian adalah S2-wr. Kelas kesesuaian lahan potensial untuk tanaman karet

dapat dilihat pada Gambar 19.

Page 77: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

77

3. Rekomendasi Pengelolaan Lahan

Pemupukan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kondisi

kemampuan lahan dalam suatu kegiatan pengelolaan lahan untuk tanaman karet

berdasarkan analisis hara tanah. Hasil analisis tanah dan rekomendasi pemupukan

adalah sebagai dasar rekomendasi pengelolaan untuk mengurangi faktor pembatas

lahan. Faktor pembatas yang dijumpai adalah ketersediaan air (curah hujan dan

bulan kering), kedalaman efektif, KTK dan kesuburan tanah.

Upaya untuk mengurangi atau menghilangkan faktor pembatas adalah

dengan penambahan bahan organik pada lahan yang mempunyai KTK rendah dan

pemupukan pada lahan dengan kesuburan tanah rendah. Sedangkan untuk faktor

pembatas berupa kedalaman efektif dan ketersediaan air merupakan faktor

pembatas yang relatif tidak dapat diatasi untuk tingkat petani lokal secara umum.

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi faktor pembatas, akan mampu

meningkatkan kemampuan tanah menjadi lebih baik untuk pertumbuhan dan

perkembangan tanaman karet. Khusus untuk pemupukan pada titik pengamatan

dapat dilihat pada Tabel 21.

Gambar 18. Peta Kesesuaian Lahan Aktual

Page 78: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

78

Gambar 19. Peta Kesesuaian Lahan Potensial

Tabel 22. Kelas Kesesuaian Lahan potensial untuk Tanaman Karet

No Titik sampel

pengamatan

Kesesuaian

potensial

Input

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

T1

T5

T8

T11

T13

T15

T21

T23

T26

T29

S2-wr

S2-wr

S2-wr

S2-wr

S2-wr

S2-wr

S2-wr

S2-wr

S2-wr

S2-wr

Bahan Organik dan Pupuk

Bahan Organik dan Pupuk

Bahan Organik dan Pupuk

Pupuk

Bahan Organik dan Pupuk

Bahan Organik dan Pupuk

Bahan Organik dan Pupuk

Bahan Organik

Bahan Organik dan Pupuk

Bahan Organik dan Pupuk

Page 79: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

79

D. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan

Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Secara administratif wilayah kajian penelitian berada dalam wilayah

Kecamatan Kota Kayu Agung, Pedamaran, Pedamaran Timur, SP Padang, dan

Pampangan. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan

bahwa wilayah tersebut masih banyak terdapat lahan gambut yang diperkirakan

telah berumur puluhan hingga ratusan tahun. Lahan gambut tersebut berada dalam

kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan berdekatan dengan area pemukiman

penduduk yang berasal dari lokal maupun penduduk pendatang. Keberadaan lahan

gambut dan hutan produksi terbatas tentunya tidak luput dari campur tangan baik

pemerintah setempat maupun peran serta masyarakat yang berada di sekitarnya.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini maka paling tidak akan

memberikan sumbangsih berupa gambaran/potret sedikit tentang keberadaan

lahan gambut dan hutan produksi terbatas diusia pada saat ini. Lahan gambut

merupakan sesuatu anugrah yang diberikan Allah SWT sebagai berkah yang

diberikan untuk makluk hidup ciptaannya yang ada di muka bumi. Pada

hakikatnya ciptaan Tuhan yang satu ini berfungsi sebagai penyetabil kehidupan

ekosistem di dalamnya. Salah satu fungsinya adalah untuk menahan debit air pada

saat terjadi limpahan air diakibatkan oleh hujan atau pasang permukaan air laut,

sehingga dengan adanya daya kapilaritas maka gambut ini dapat menyerap air

sehingga tidak menyebabkan banjir, sedangkan pada saat terjadi musim kering

maka daerah yang terdapat gambut akan mengeluarkan cadangan air sehingga

dapat membantu makluk hidup untuk mendapatkan cadangan air. Selain itu lahan

gambut dapat berfungsi sebagai media penyerap karbon yang efektif sehingga

keberadaan cukup memberikan andil besar dalam mengantisipasi pemanasan

global atau perubahan iklim yang pada saat ini terus dibicarakan orang.

Oleh sebab itu sudah seharusnya manusia yang telah dikaruniai nikmat

sebesar itu dapat menjaganya dengan baik. Namun sepertinya manusia masih

banyak yang belum menyadari akan aset tersebut, malah sebaliknya kondisi lahan

gambut sekarang ini banyak yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi

tanpa memikirkan dampak/resiko yang akan terjadi dikemudian hari.

Page 80: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

80

Fokus studi di arahkan pada kehidupan masyarakat yang bermukim di

sekitar lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), dengan desa yang

masuk dalam kajian penelitian antara lain Desa Kedaton dan Desa Teloko

Kecamatan Kota Kayu Agung, Desa Cinta Jaya dan Desa Suka Damai Kecamatan

Pedamaran, Desa SP Padang dan Desa Penyandingan Kecamatan SP Padang,

Desa Jungkal dan Desa Bangsal Kecamatan Pampangan.

Penelitian di desain dengan metode survai dan dilaksanakan di pemukiman

desa yang berada di sekitar lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas

(HPT) pada bulan Juni 2009 terhadap 40 orang warga yang bermukim di sekitar

lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Pengambilan sampel

dilakukan secara acak dengan asumsi sampel telah memenuhi syarat homogenitas.

Desa-desa yang dipilih dalam penelitian ini mencakup Desa Kedaton dan

Desa Teloko Kecamatan Kota Kayu Agung, Desa Cinta Jaya dan Desa Suka

Damai Kecamatan Pedamaran, Desa SP Padang dan Desa Penyandingan

Kecamatan SP Padang, Desa Jungkal dan Desa Bangsal Kecamatan Pampangan.

Untuk mendapatkan data primer maupun sekunder, dilakukan wawancara dengan

berpedoman pada kuisioner yang telah disusun serta pengamatan langsung

terhadap aktivitas warga di sekitar kawasan hutan produsi terbatas.

Peubah yang diteliti meliputi prilaku masyarakat yang bermukim di

sekitar kawasan HPT, Persepsi masyarakat terhadap kelestarian hutan dan

Manfaat hutan produksi terbatas di Kayu Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir,

masing-masing ditetapkan sebanyak dua indikator dan setiap indikator dianalisis

dengan menggunakan tabulasi frekuensi. Data yang dikumpulkan dianalisis secara

deskriptif sesuai dengan distribusi frekuensi setiap indikator yang diamati.

1. Data Responden

Keberadaan lahan gambut di hutan produksi terbatas di Kayu Agung

merupakan salah satu wujud aset alam yang sangat dibutuhkan bagi makluk hidup

yang tinggal di kawasan tersebut. Fungsinya sebagai penyeimbang kehidupan

ekologi dan sekaligus sebagai penyerap/penyimpan karbon mempertegas bahwa

lahan gambut tidak ada kata lain harus tetap dijaga dan dikelola dengan baik.

Page 81: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

81

Data menunjukkan bahwa sebagian besar responden (77.5%) adalah laki-

laki dan 22,5% perempuan. Sebagian besar (60%) berusia antara 33-50 tahun,

27,5% berusia kurang dari 35 tahun, dan sebagian kecil (7,5%) di atas 50 tahun.

Pada jenjang usia tersebut kodisi fisik responden cukup prima, dan mampu

mengambil keputusan secara cepat apalagi mereka telah memiliki pengalaman,

kemampuan teknis dan manajerial tentang tugas dan fungsinya yang harus

dilaksanakan serta ditunjang dengan pendidikan yang dimiliki baik formal,

maupun non formal.

Sebaran data pendidikan formal responden adalah 15% Tidak Tamat SD

(TTSD), 60% Tamat SD (TSD), 20% tamat SMP, dan 5% Tamat SMA.

Berdasarkan tingkat pendidikan formal, responden yang tergolong usia muda

cenderung memiliki pendidikan lebih tinggi dibanding dengan responden yang

berusia tua. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa belum pernah ada semacam

pembinaan khusus yang ditujukkan ke masyarakat yang bermukim di seputar

lokasi gambut tentang bagaimana memberikan kesadaran kepada warga untuk

turut menjaga kelesatarian hutan dan lahan gambut di kawasan hutan produksi

terbatas. Hanya kurang dari 15% masyarakat yang memahami betul akan

kelestarian hutan dan lahan gambut yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.

1.1. Pendidikan

Tingkat pendidikan sebagian besar Kepala Keluarga di wilayah studi

relatif masih rendah, yakni tamat SD. Namun sekarang ini, minat untuk

memberikan pendidikan yang lebih baik kepada anak umumnya cukup baik. Jenis

dan jumlah sarana pendidikan di wilayah studi pada saat dilakukan penelitian

dapat dilihat pada Tabel 23.

Page 82: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

82

Tabel 23. Banyaknya Sarana Pendidikan (Negeri & Swasta) di Wilayah Studi

Menurut Jenjang Pendidikan.

Desa SD SMP SMA MI

Kedaton 1 0 3 1

Teloko 2 0 0 0

Suka Damai 0 0 0 0

Cinta Jaya 1 0 0 0

SP Padang 1 0 0 0

Penyandingan 1 0 0 0

Jungkal 1 0 0 0

Bangsal 1 0 0 0

Sumber : Data Monografi Desa, Tahun 2008.

1.2. Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk

Berdasarkan data statistik di wilayah studi pada tahun 2008 (Tabel 24),

tingkat kepadatan penduduk rata-rata masih tergolong rendah (kurang dari 50

jiwa/ha), sedangkan di Desa Kedaton pendudukanya sudah cukup banyak namun

kondisi topografi yang menyebabkan masyarakat yang bermukim di sisni

cenderung mengumpul disatu daerah, misalnya di pinggir sungai, jalan, atau

daerah strategis lainnya. Sedangkan untuk dua desa lainnya yaitu Cinta Jaya dan

Desa Jungkal memang pada dasarnya penduduknya masih sedikit dan cenderung

untuk memencar untuk mencari tempat tinggal, biasanya berdomisili di dekat

kebun, atau sungai.

Tabel 24. Data Kepadatan Penduduk di Wilayah Studi tahun 2008.

Desa Jumlah Penduduk

(Jiwa) Luas Kepadatan Penduduk

Kedaton 5.046 900 Ha 5,61 jiwa/Ha

Teloko

Cinta Jaya 1.935 102,24 Km2 18,93 jiwa/km2

Suka Damai

SP Padang

Penyandingan

Jungkal 1.485 315 Ha 4,71 jiwa/Ha

Bangsal

Sumber : Data Monografi Desa di Wilayah Studi, 2008.

Page 83: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

83

Desa Kedaton merupakan desa yang lokasinya berdekatan dengan pusat

pemerintahan kecamatan sekaligus menyatu dengan pusat pemerintahan Kabupaten

Ogan Komering Ilir. Di samping itu daya tarik lain di Desa Kedaton terdapat banyak

industri-industri berskala rumah tangga seperti industi tikar purun dan industri

kerupuk/kelempang, bahkan hasil industri rumah tangga ini sudah terkenal dan

dipasarkan keluar daerah seperti jambi, medan, bangka, dan di wilayah Pulau Jawa.

Sehingga daerah ini menjadi pusat perkembangan ekonomi yang baru di Kecamatan

Kota Kayu Agung, khususnya perekonomian masyarakat sekitarnya.

Penyebaran penduduk di wilayah studi pada umumnya mempunyai pola

terpusat di desa yang mengikuti pola pinggiran jalan atau aliran sungai. Lahan

pertanian umumnya berada di luar area pemukiman.

1.3. Sosial Ekonomi dan Budaya

1.3.1. Ekonomi Rumah Tangga

Sumber pendapatan masyarakat di wilayah studi, khususnya di Kecamatan

Kota Kayu Agung beranekaragam. Pada umumnya sebagai petani dengan

mengusahakan sebagian di industri rumah tangga seperti usaha Tikar Purun,

kelempang, kerupuk, dan sebagainya. Mata pencaharian lainnya yaitu kebun karet

dan kelapa sawit. Usaha pertanian tersebut umumnya masih dilakukan secara

tradisional. Untuk menambah penghasilan, sebagian masyarakat juga berusaha di

bidang peternakan dan perikanan. Selain itu, sebagian penduduknya berusaha di

sektor perdagangan dan jasa seperti industri kecil, saw mill, mebel, perbengkelan,

jasa transportasi, toko dan rumah makan. Hal ini desa yang masuk di wilayah

Kecamatan Kayu Agung berdekatan dengan perlitasan jalan lintas timur. Tingkat

pendapatan masyarakat sangat bervariasi, umumnya berkisar antara Rp. 500.000,-

sampai Rp. 2.000.000,-. Ini terlihat dari beragamnya usaha di masyarakat, dengan

tingkat penghasilan yang berbeda. Jumlah penduduk miskin di Kecamatan Kota

Kayu Agung adalah 2.061 keluarga atau 10,9 % dari jumlah keluarga.

Page 84: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

84

1.3.1. Perekonomian Lokal dan Regional

Pola penggunaan lahan di wilayah studi cukup bervariasi. Meskipun masih

didominasi oleh wilayah perkebunan dengan kondisi tanah sebagian besar adalah

tanah gambut, maka lahan yang ada mulai diolah untuk tanaman yang cocok

dengan keadaan tanah tersebut. Secara umum perekonomian lokal di wilayah studi

tumbuh cukup pesat. PDRB per kapita juga menunjukkan kenaikan yang

signifikan dari tahun ke tahun. Menurut data statistik, PDRB Kecamatan di kota

Kayu Agung pada tahun 2005 secara umum tumbuh 22,54 %. Sektor industri,

perdagangan dan jasa juga tumbuh cukup pesat. Fasilitas umum yang terdapat di

wilayah studi berupa kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten Ogan

Komering Ilir. Disamping itu juga terdapat fasilitas ekonomi seperti sarana

perdagangan (kios/toko/ warung/ruko), SPBU, dan sarana kelembagaan ekonomi

yakni 1 buah KUD. Fasilitas sosial yang ada meliputi sarana kesehatan, sarana

olahraga berupa 1 buah lapangan sepak bola, dan 2 buah lapangan Bola Volley,

serta sarana keagamaan berupa 8 buah mesjid, 8 buah musholla dan majelis

taklim, remaja mesjid, kelompok kesenian Islam (kompangan/rebana). Adapun

sarana pendidikan yang ada di Desa Bukit Baling meliputi 2 buah TK, 3 buah SD,

1 buah SMP dan 2 buah MI.

1.3.2. Budaya/Adat Istiadat

Masyarakat di wilayah studi hampir semuanya beragama Islam, sehingga

corak budayanya dipengaruhi oleh agama yang dianut. Adat istiadat dominan

yang dianut oleh masyarakat tersebut adalah adat istiadat suku Ogan dan

Komering. Hal ini dikarenakan sebagai besar masyarakat adalah Suku Melayu

Komering. Suku bangsa lain juga banyak dijumpai terutama adalah Jawa. Di

samping itu dijumpai juga Suku Padang, Batak, dan Palembang. Sekarang desa-

desa yang masuk dalam Kecamatan Kayu Agung merupakan daerah yang

heterogen, Mengingat daerah ini adalah pusat pemerintahan, sekaligus akan

menjadi pusat perekonomian, maka keragaman penduduk tidak menimbulkan

permasalahan, karena masyarakat setempat juga mesti membuka diri terhadap

masyarakat pendatang.

Page 85: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

85

Proses akulturasi, asimilasi dan integrasi berlangsung secara wajar. Ini

terbukti dengan banyaknya pernikahan dengan orang yang berbeda suku. Apalagi

letak wilayah studi yang berada di jalur jalan lintas timur Sumatera dengan tingkat

keramaian yang semakin tinggi, semakin memudahkan proses sosial yang

berlangsung. Namun ada hal-hal tertentu yang bisa menimbulkan sentimen

emosional dari masyarakat, misalnya menyangkut masalah kecelakaan lalu lintas

atau masalah keagamaan. Tetapi dengan semakin membaiknya tingkat pendidikan

masyarakat, terbukanya wilayah, lancarnya transportasi dan komunikasi,

menyebabkan faktor-faktor yang bisa menyulut konflik sosial bisa dieliminir.

Warisan sosial budaya secara fisik di wilayah studi hampir tidak

ditemukan lagi, mengingat dulunya wilayah ini adalah wilayah pertanian murni

yang kemudian beralih menjadi desa perdagangan. Sebagian besar bentuk fisik

desa menyerupai bentuk fisik desa semi modern, dengan pola bangunan sudah ada

yang menyerupai pola bangunan umum sekarang yakni dengan rumah beton /

kayu dan atap seng / genteng, namun masih banyak juga terlihat bentuk rumah

panggung dan terlihat kurang memenuhi standar rumah sehat dengan corak kayu

dan atap dari daun purun, pemandangan tersebut banyak dijumpai disepanjang

pinggiran sungai dan di pinggiran kota.

Secara non fisik, warisan budaya yang masih ada berupa upacara

pernikahan yang masih menggunakan atribut daerah, meskipun dengan

penyesuaian-penyesuaian. Budaya yang lain seperti kehidupan sosial, misalnya

gotong royong, meskipun masih ada, tetapi berangsur-angsur mulai hilang sejalan

dengan globalisasi yang semakin individualis dan materialistis.

1.4 Prilaku Masyarakat terhadap Aktifitas Masyarakat di Lahan Gambut

Hutan Produksi Terbatas

Dalam penelitian ini, faktor prilaku masyarakat (Tabel 25) yang diamati

adalah Status pekerjaan (jenis pekerjaan), tujuan mendatangi lahan gambut, dan

Intensitas kunjungan ke lahan gambut. Hasil penelitian menunjukkan ada dua

kemungkinan masyarakat pergi ke hutan yaitu untuk mencari kayu bakar atau

untuk berladang. Sebagian besar (55 %) responden memanfaatkan waktunya ke

Page 86: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

86

hutan untuk mencari kayu bakar. Kayu bakar tersebut diperoleh dengan cara

menebang pohon baik yang berdiameter sedang atau kecil, atau hanya mengambil

ranting-ranting yang sudah jatuh ke tanah. Batang kayu yang masih basah

biasanya langsung di jemur di depan rumah atau di kebun. Setelah kering kayu

bakar tersebut di potong-potong hingga berdiameter kurang lebih 3 – 4 cm dan

dipotong sepanjang kurang lebih 40–50 cm. Satu ikat kayu bakar biasa di jual

dengan harga Rp 12.000,- hingga Rp 15.000,-. Selain mengambil kayu bakar

aktifitas masyarakat di kawasan hutan produksi terbatas adalah berladang (30 %).

Usahatani yang dilakukan adalah menanam sawit, padi, karet, dan sebagian kecil

ada yang mengusahakan umbi-umbian.

Sistem pembukaan lahan yang digunakan dengan cara membakar.

Sebagian lagi tujuannya adalah mencari sejenis daun purun (15%) yang digunakan

untuk industri rumah tangga. Mengingat salah satu lokasi studi yang sedang teliti

ini merupakan basis kerajinan Tikar Purun. Kerajinan tikar purun ini sudah ada

sejak nenek moyang mereka, dan produknya sampai sekarang sudah sangat

terkenal baik lokal maupun luar daerah. Tikar purun biasa digunakan penduduk

untuk alas tidur, membuat topi, kerajinan tangan, dan sebagainya. Namun di

tengah himpitan ekonomi dan kurangnya regenerasi muda untuk menekuni

kerajinan ini maka pengrajin tikar purun yang ada di Desa Kedaton saat ini tinggal

sedikit dan bisa dihitung dengan jari.

Tabel 25. Prilaku Masyarakat Terhadap Aktivitas Masyarakat di Lahan Gambut

Kawasan Hutan Produksi Terbatas.

Prilaku Masyarakat Kategori Jumlah %

Status pekerjaan Memiliki pekerjaan tetap 2 5

Tidak memiliki pekerjaan tetap 38 95

Tujuan ke hutan Mencari kayu bakar 22 55

Berladang 12 30

Mencari bahan baku membuat kerajinan

RT

6 15

Jalan – jalan 0 0

Intensitas kunjungan < 1 kali/minggu 22 55

2 – 3 kali/minggu 6 15

> 3 kali/minggu 12 30

Page 87: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

87

Status pekerjaan masyarakat yang bermukim di kawasan hutan produksi

terbatas berpengaruh terhadap prilaku masyarakat dalam beraktivitas di hutan

tersebut. Dari hasil penelitian ditemukan indikasi bahwa penduduk yang tidak

memiliki mata pencaharian tetap cenderung untuk sering beraktivitas

mengunjungi hutan dengan tujuan untuk mencari penghasilan tambahan yang

didapat dari mengumpulkan kayu, ranting, memancing, dan sebagainya. Aktivitas

tersebut didorong oleh kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dan tidak ada pilihan

lain. Sedangkan yang memiliki pekerjaan tetap cenderung untuk menyatakan

jarang ke hutan untuk beraktivitas. Alasannya karena mereka untuk mencukupi

kehidupan sehari-hari sudah ada. Disamping hasilnya lebih besar maka aktivitas

mencari kayu bakar di hutan sangat melelahkan dan proses untuk mendapatkan

hasil relatif lambat.

Intensitas responden mengunjungi lahan gambut hutan produksi terbatas

cukup bervareatif hal ini paling tidak bisa diketahui dari kasibukan dan waktu

luang warga masyarakat yang ada. Biasanya warga yang tidak memiliki pekerjaan

yang tetap/mapan biasanya bisa menghabiskan waktu seharian (>8 jam) sehari

(dari pagi sampai sore). Dengan frekuensi kunjungan rata-rata 2 kali setiap

minggu (Tabel 24). Hal tersebut dapat dipahami karena tidak setiap hari kayu

bakar bisa diperoleh di hutan, atau menunggu kayu yang sudah di peroleh laku

terjual.

1.5. Persepsi Masyarakat terhadap Kelestarian Lahan gambut di Kawasan

Hutan Produksi Terbatas (HPT)

Menurut Rachmat (2002), persepsi adalah proses mental yang

menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal suatu objek

dengan jalan assosiasi suatu ingatan tertentu, baik secara indera penglihatan,

perabaan maupun yang lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

manusia cenderung untuk melihat kondisi lingkungan terdekat potensi apa yang

bisa dimanfaatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam hal ini masyarakat yang bermukim di sekitar lahan gambut akan cenderung

untuk melakukan pekerjaan yang dapat menghasilkan sesuatu yang dapat

membantu mencukupi kebutuhan hidupnya. Kegiatan tersebut diantaranya

Page 88: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

88

mencari kayu bakar, mencari ikan, burung, mengelola lahan gambut untuk

ditanami, mencari daun purun untuk dijadikan barang kerajinan, dan sebagainya.

Tentunya aktivitas masyarakat semacam ini akan menimbulkan semacam

fenomena tersendiri yaitu antara kebutuhan hidup dan pelestarian alam.

Persepsi masyarakat terhadap keberadaan lahan gambut di kawasan hutan

produksi terbatas dapat dilihat dari penilaian responden terhadap keberadaan lahan

gambut di sekitar kawasan hutan produksi terbatas dapat dilihat pada Tabel 25.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagian masyarakat di wilayah

studi memang sebgaian hidupnya masih ada yang menggnatungkan dari

keanekaragaman yang dimiliki oleh hutan. Hutan sebagai kawasan yang memiliki

keanekaragaman hayati yang luar biasa, sebagian hasilnya dapat dimanfaatkan

oleh masyarakat sekitar untuk dijadikan sebagai mata pencaharian, baik utama

maupun sampingan

Keragaman hayati dapat menjadi alasan kenapa masyarkat di sekitar lokasi

penelitian sering melakukan aktivitas sehari-hari di kawasan hutan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa 70% responden menyatakan alasan sering

melakukan aktivitas di hutan karena hutan memiliki banyak keragaman hayati

yang menjanjikan sesuatu untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber mata

pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan responden tidak

memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebanyak 30%

responden menyatakan saat ini hutan sudah sedikit sekali memiliki keragaman

hayati yang dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan rumah tangga, oleh

sebab itu maka mereka banyak mencari mata pencaharian alternatif dalam

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa

pada dasarnya masyarakat di kawasan hutan produksi terbatas dalam beraktivitas

di lahan gambut hutan produksi terbatas semata-mata hanya untuk membantu

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Maka dari itu hal ini dapat menjadi

perhatian pemerintah setempat dalam upaya menanggulangi kemiskinan terutama

di seputar wilayah penduduk yang bermukim di dekat kawasan hutan (Tabel 26).

Page 89: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

89

Tabel 26. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Lahan Gambut di Kawasan

Hutan Produksi Terbatas

Penilaian responden tehadap lahan gambut Jumlah

(orang)

%

Keragaman hayati yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat

- mempunyai banyak keragaman yang dihasilkan untuk

dapat membantu manambah kebutuhan hidup sehari-

hari karena tidak ada alternatif pilihan untuk mencari

pekerjaan lainnya

- tidak memiliki banyak keragaman yang dapat

dihasilkan dari lahan gambut namun memiliki usaha

lain dalam memenuhi kebutuhan hidup

Kemampuan mengelola lahan gambut untuk dapat

diusahakan

- responden mengetahui jenis tanaman yang dapat

hidup dilahan gambut

- responden memahami cara mengelola tanah di lahan

gambut

- responden mengetahui cara menanggulangi hama &

penyakit tanaman di lahan gambut

- responden dapat memabandingkan biaya yang

dibutuhkan untuk mengelola tanaman di lahan

gambut

Pemanfaatan teknologi dalam mengelola lahan gambut

- menggunakan teknologi modern dalam mengelola

lahan gambut

- hanya menggunakan teknologi sederhana

(tradisional)

- tidak menggunakan teklogi dalam mengelola lahan

gambut

28

12

23

10

5

2

2

17

21

70

30

57.5

25

12.5

5

5

42.5

52.5

Selain keragaman hayati, kemampuan responden dalam mengelola lahan

gambut juga dapat mempengaruhi aktivitas di lahan gambut di kawasan hutan

produksi terbatas. Berkaitan dengan kemampuan responden dalam mengelola

lahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (57,5 %) responden

sangat memahami tanaman-tanaman apa yang dapat hidup dilahan gambut,

sehingga dalam mengelola lahan gambut petani tidak sembarangan memilih jenis

tanaman yang akan dibudidayakan. Tentu saja lahan gambut sangat selektif sekali

dalam memilih tanaman yang dapat hidup di lingkungannya. Separuh lebih (25 %)

responden menyatakan memahami cara mengelola tanah di lahan gambut.

Page 90: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

90

Pengelolaan tanah biasanya dengan cara diberi perlakukan seperti membuat

gundukan yang tinggi agar akar tanaman muda yang baru tumbuh tidak

menyentuh tanah gambut, karena jika tidak diberi perlakuan seperti itu tanaman

akan mudah mati karena tidak memiliki cadangan bahan organik, mengingat di

dalam lahan gambut banyak terdapat zat-zat yang dapat meracuni/merusak akar

tanaman tertentu. Selain kandungan zat-zat yang dapat merusak tanaman, maka di

area lahan gambut juga sangat rentan terhadap bahaya serangan hama dan

penyakit tanaman. Hama yang sering merusak tanaman adalah babi, tikus, ulat,

dan sebagainya. Data penelitain menunjukkan sebanyak 12.5 % responden

menyatakan mengetahui cara menanggulangi masalah hama dan penyakit tanaman

yang ada di area lahan gambut.

Pemanfaatan teknologi dalam mengelola lahan gambut tergolong cukup

bervareatif, hal ini logis karena penggunaan teknologi dalam beraktivitas akan

berimbas pada penambahan biaya yang dikeluarkan dalam suatu kegiatan. Dalam

penelitian ini penggunaan teknologi digolongkan kedalam dua kategori yaitu

penggunaan dan penguasaan teknologi modern, penggunaan teknologi semi

modern (sederhana), dan secara tradisional/naluri.dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa sebanyak 5% masyarakat yang beraktivitas di lahan gambut

sudah ada yang menggunakan teknologi modern, seperti menggunakan mesin

pertanian (hand Traktor, bolduser, dsb) dalam mengelola usahatani di lahan

gambut. Sedangkan sebagian besar (52.5%) responden hanya mengandalakan

peralatan yang sederhana, seperti ; cangkul, arit, parang, gergaji, dan sebagainya.

Kendala yang dihadapi oleh responden pada umumnya adalah masalah

keterbatasan biaya/dana. Dengan biaya yang terbatas mereka hanya mampu

mengandalkan tenaga dan peralatan yang sederhana.

1.6. Manfaat Lahan Gambut di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)

Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik

dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral

pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik

>50 cm. Pembentukan tanah gambut secara umum dimulai dengan adanya

cekungan lahan berdrainase jelek dan genangan air, sehingga memungkinkan

Page 91: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

91

terjadinya penumpukkan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang

roboh akan digantikan oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin

dipengaruhi ketebalan bahan organik. Lahan gambut memiliki peran dalam

ekosistem lahan rawa gambut baik secara hidrologi, pelestarian satwa dan

vegetasi. Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu

lahan rawa, dimana salah satu sifat gambut berperan dalam sistem hidrologi

adalah menahan air yang dimilikinya. Gambut memiliki daya menahan air sangat

besar yaitu 300 hingga 800 persen dari bobotnya (Wahyunto et al., 2005). Selain

itu gambut juga mempunyai daya melepas air pada saat permukaan air turun.

Pemanfaatan lahan gambut mulai menonjol sejalan dengan program

transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai atau

pasang surut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut antara lain;

keadaaan lingkungan tanah gambut, ketebalan gambut, sifat fisik dan kimiawi,

dan perkembangan tanah akibat reklamasi dan pemilihan teknologi yang tepat.

Lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas keberadaanya sangat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat yang bermukim di sekitarnya, terbukti dari 85%

responden yang menyatakan bahwa lahan gambut memberi andil dalam siklus

hidrologi di kawasan tersebut, selain itu keanekaragaman hayati yang terkandung

di dalam hutan membantu masyarakat untuk menambah pendapatan rumah

tangga. Hal ini selain disebabkan oleh faktor kemiskinan maka masyarakat yang

bermukim di kawasan hutan produksi terbatas pada umumnya tidak memiliki

mata pencaharian yang mapan/tetap. Keadaan ini menunjukkan bahwa lahan

gambut sebagai penyeimbang siklus kehidupan, selain berperan dalam siklus

hidrologi dan penyerapan karbon, juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan

hidup manusia yang tinggal di sekitarnya.

Sehubungan dengan peran dan manfaat lahan gambut di kawasan hutan

produksi terbatas di lihat dari persepsi masyarakat, menunjukkan bahwa 85%

responden menyatakan bahwa lahan gambut sangat bermanfaat bagi kelestarian

lingkungan dan dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk mendapatkan tambahan

penghasilan rumah tangga bagi penduduk yang bermukim di sekitarnya. Sebanyak

10% responden menyatakan lahan gambut sangat bermanfaat dalam kelestarian

dan siklus hidrologi namun keberadaannya kurang dapat dimanfaatkan sebagai

Page 92: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

92

lahan untuk berusaha tani dalam rangaka menambah pendapatan rumah tangga.

Sedangkan sebanyak 5% responden menyatakan lahan gambut kurang

memberikan manfaat bagi kelangsungan hidupnya.

Page 93: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

93

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

A. 1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap

Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,

Kabupaten Ogan Komering Ilir.

1. Lahan gambut merupakan ekosistem yang marjinal dan rapuh sehingga mudah

rusak. Lahan gambut yang telah mengalami kerusakan akan sulit untuk

diperbaharui. Kecamatan Pedamaran adalah salah satu kecamatan di

Kabupaten OKI yang memiliki lahan gambut yang sebagian besar terdapat di

Desa Cinta Jaya. Oleh karena itu pengelolaanya memerlukan perencanaan

yang matang.

2. Hasil penelitian, gambut Desa Cinta Jaya hampir seluruhnya tergolong gambut

sangat dalam (> 3 m). Tanah mineral yang berada di bawah lapisan gambut

bertekstur liat dan mengandung pirit. Nilai pH tanah gambut berkisar antara

3,38 hingga 3,75 dan tergolong sangat masam. Nitrogen total sangat tinggi

berkisar antara 0,58% hingga 0,79%. Rasio C/N sangat tinggi berkisar antara

37 hingga 53.

3. Berdasarkan kadar abu tanah gambutnya, gambut lokasi penelitian tergolong

gambut dengan tingkat kesuburan mesotrofik. Tingkat dekomposisi hemik,

namun dibeberapa bagian tergolong fibrik dengan bahan asal penyusun

gambut berupa rumput dan kayu-kayuan.

Page 94: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

94

A.2. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap

Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,

Kabupaten Ogan Komering Ilir

A.2.1. Danau Teloko, Kecamatan Kayuagung

Wilayah Danau Teloko, merupakan danau rawa yang muka airnya

berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit

air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil

terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika

turun hujan. Danau Teloko juga cukup luas, yaitu .. hektar (ratusan hektar) dengan

kedalaman 2–5 meter pada waktu musim hujan dan < 2 meter pada waktu

kemarau.

Vegetasi dominan di danau teloko, eceng gondok (Eichhornia crassipes),

purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar

(Nelumbo nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), keladi (Colocasia

esculenta), genjer (Limnocharis flava), belidang (Fimbristylis annua), petai air

(Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang

(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung

antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus

compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi

tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.).

Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang

beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis

ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas

Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis

phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),

bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau

totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica), elang bondol

(Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra). hasil analisis komunitas

plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton pada 4 titik pengambilan

sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu jauh >2,00, yakni berkisar

2,86–3,24. Indeks keanekaragaman plankton mendekati 3,00 hingga >3,00

menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah mendekati sangat stabil hingga

sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar 2,86–3,24, yakni jauh di atas 2,00

menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau Teloko. Namun

demikian, kelimpahan komunitas plankton rata-rata <100 individu/liter air

menunjukkan kelimpahan sedang, yakni populasi masing-masing plankton

tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah

kandungan nutrisinya diperlihatkan dari kandungan N rendah.

Jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah

ikan-ikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan

semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan

mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya.

Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus),

selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata), lele (Clarias

batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan

tebakang (Helostoma temmincki).

Page 95: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

95

A.2.2. Danau Air Hitam, Kecamatan Pedamaran

1. Danau Air Itam merupakan danau rawa yang muka airnya juga berfluktuasi

menurut musim penghujan atau kemarau. Debit air sangat tergantung pada

pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air

dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika terun hujan. Danau

Air Itam juga cukup luas dengan kedalaman 3–6 meter pada waktu musim

hujan dan <3 meter pada waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau

panjang (>5 bulan) permukaan danau menjadi kering seperti yang terjadi pada

tahun 1997.

2. Vegetasi danau Air Itam dominan yakni rumput jae-jae (Panicum repens),

rumput kusut (Paspalum distichum), eceng gondok (Eichhornia crassipes),

purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar

(Nelumbo nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis

annua), petai air (Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan

rumput ganggang (Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada

tanah mengapung antara lain: rumput pait (Axonopus compressus). Sementara

itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah

kayu gabus (Alstonia spp.) dan kayu gelam rawa (Melaleuca leucadendra).

3. Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi

dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan

kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas

Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis

phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),

bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta),

bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica) dan

elang bondol (Heliastur indus).

4. Hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton

pada 3 stasiun (titik) pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup

besar, yaitu rata-rata >3,00, yakni berkisar 3,13–3,31. Indeks keanekaragaman

plankton melebihi 3,00 menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah

tergolong sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar 3,13–3,31 yakni >

3,00 menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau atau

Lebak Air Itam.

5. Jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-

ikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan

semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan

mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang

dimilikinya. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas

testudineus), selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata atau

Ophiocephalus striatus), lele (Clarias batrachus), sepat siam, sepat mata

merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma temmincki).

6. Kelimpahan dari masing-masing spesies berkisar jarang hingga banyak. Jenis-

jnis yang tergolong kategori banyak adalah ikan belut, betok, buntal, gabus,

lele kalang, selincah, sepat mata merah, sepat siam, tempalo lebak dan toman.

Page 96: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

96

A.2.3. Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan

1. Lebak Jungkal merupakan lebak rawa yang sangat luas, muka airnya

berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau, dan debit air sangat

tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil

terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi

ketika turun hujan. Lebak Jungkal juga cukup luas, yaitu .. hektar (ratusan

hektar) dengan kedalaman 1–4 meter pada waktu musim hujan dan <2 meter

pada waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan)

permukaan danau menjadi kering.

2. Jenis vegetasi yang mendominasi keluarga Gramineae yang sering disebut

dengan bahasa lokal rumput kumpai dengan spesies: Panicum stagninum,

Panicum colonum dan Panicum reptans.

3. Vegetasi Lebak Jungkal adalah pandan rawa (Pandanus ornatus) Panicum

stagninum, Panicum colonum, Panicum reptans, eceng gondok (Eichhornia

crassipes), purun (Lepironia mucronata), telipuk (Nymphoides indica),

ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air

(Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang

(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung

antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus

compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada

kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.).

4. Jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi dengan

lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan kecil dan

berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas Annelida. Jenis

unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis phoenicurus),

ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis), bambangan

(Ixobrychus cinnamomeus), kuntul besar (Egretta alba), kuntul kecil (Egretta

garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna

javanica), elang bondol (Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra).

5. Hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton

pada 2 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu

jauh >3,00. Indeks keanekaragaman plankton >3,00 tersebut menunjukkan

kondisi komunitas plankton adalah sangat stabil. Indeks keanekaragaman

sebesar >3,00, menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air

Lebak Jungkal. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton pada Lebak

Bahanan tergolong rendah, yaitu 49 individu/liter (<50 individu/liter air),

sementara itu pada lokasi Lebak Betung kelimpahan komunitas planktonnya

sebesar 79 individu/liter air, menunjukkan kelimpahan sedang. Dengan

demikian, populasi masing-masing plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini

berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya N total

dan fosfor (PO4).

6. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus),

selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus

striata), lele (Clarias batrachus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat

mata merah (Trichogaster trichopterus) , tempalo lebak (Betta taeniata) dan

tebakang (Helostoma temmincki).

Page 97: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

97

A.3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa

Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering

Ilir

1. Faktor pembatas pertumbuhan tanaman pada lokasi penelitian curah hujan dan

kedalaman efektif yang tidak dapat diperbaiki dan tergolong dalam kelas

kesesuaian S2 (cukup sesuai),

2. Secara aktual, pada lokasi penelitian terdapat 3 kelas kesesuaian untuk

tanaman karet, yaitu kelas kesesuaian N (tidak sesuai) pada areal titik

pengamatan T1, T5, T8, T26, dan T29 yang dibatasi ketersediaan unsur hara P,

kelas kesesuaian S3 (kurang sesuai) pada areal T13 dan T21 yang dibatasi oleh

ketersediaan unsur hara P, dan S2 (cukup sesuai) pada titik T11 yang dibatasi

oleh ketersediaan air, ketersediaan hara N dan P serta kedalaman efektif, S2

pada areal T15 yang dibatasi oleh ketersediaan air, ketersediaan hara N, KTK

rendah dan kedalaman efektif; dan S2 pada T23 yang dibatasi oleh ketersediaan

air, KTK rendah dan kedalaman efektif.

3. Secara potensial, seluruh areal penelitian tergolong dalam kelas kesesuaian S2

(cukup sesuai) yang dibatasi oleh ketersediaan air (curah hujan) serta

kedalaman efektif.

4. Pengelolaan yang diperlukan untuk mengurangi faktor pembatas adalah dengan

melakukan pemupukan, misalnya pupuk urea pada areal T29 dengan dosis

43,47 kg/ha dan pupuk SP36 pada titik T8 dengan dosis 201,23 kg/ha.

Page 98: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

98

A.4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan

Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir

1. Prilaku masyarakat di sekitar lahan gambut kawasan hutan produksi terbatas

tergolong cukup positif. Sebagian besar responden ke hutan untuk mencari

kayu bakar (55 %), berladang (30 %), dan mengambil daun purun untuk

dijadikan bahan pembuat kerajinan tikar purun (15 %), walaupun intensitas

kunjungan tergolong terbatas.

2. Persepsi masyarakat terhadap kelestarian lahan gambut di kawasan hutan

produksi terbatasi tergolong positif, walaupun dari segi kemampuan dalam

mengelola sumber daya di lahan gambut masih perlu ditingkatkan lagi.

3. Sebagai pemegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa,

dimana salah satu sifat gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah

menahan air yang dimilikinya maka sebagian besar masyarakat menyadari hal

tersebut dengan cara memelihara/menjaga dari kerusakan dengan tidak

merusak vegetasi yang ada.

4. Saat ini masyarakat lebih banyak beraktifitas di luar hutan dibandingkan

dengan menebang kayu di hutan, seperti mencari ikan, buka warung, membuat

industri rumah tangga, buruh bangunan, jasa ojek, dan sebagainya. Hal ini

tidak terlepas dari dukungan dan partisipasi pemerintah untuk lebih

memperhatikan tingkat kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar lahan

gambut hutan produksi terbatas dengan cara membimbing dan memberikan

pengarahan secara intensif.

Page 99: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

99

B. Saran

B.1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap

Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,

Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Lahan gambut pada lokasi pengamatan termasuk dalam kawasan non

budidaya, sehingga diperlukan sosialisasi tentang fungsi dan manfaat lahan

gambut kepada penduduk sekitar lahan gambut oleh Pemerintah Daerah dan

menjadi tanggung jawab semua pihak.

Pada lahan yang termasuk kawasan budidaya dapat dilakukan pengelolaan

yang melibatkan peran serta masyarakat desa sekitar lahan gambut, sehingga

peningkatan potensi sumberdaya lahan yang berwawasan lingkungan dan berbasis

kemasyarakatan dapat tercapai.

B.2. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap

Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,

Kabupaten Ogan Komering Ilir

Perlu dikaji bagaimana sistem pengembangan dan peningkatan kelimpahan

komunitas plankton di Danau Lebak Jungkal untuk memacu produksi optimal

perikanan rawa lebak gambut.

Perlu dilakukan aplikasi pengembangan perikanan rawa lebak dengan

pengembangan kultur plankton dari jenis-jenis yang diidentifikasi dalam

penelitian ini.

B.3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa

Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering

Ilir

Upaya yang diperluka untuk mendapatkan hasil yang optimal, perlu di

adakannya perbaikan kondisi lahan dengan memberikan masukan/input berupa

pemupukan dan penambahan bahan organik pada areal dengan titik pengamatan

tertentu.

B.4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan

Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir

Pemberian bantuan berupa pinjaman modal atau pengadaan semacam

pelatihan kewirausahaan dapat membantu masyarakat memiliki sumber mata

pencaharian alternatif selain memilih beraktifitas di dalam hutan untuk memenuhi

kebutuhan sehari hari. Pemberian rambu-rambu atau tanda larangan akan depat

meningkatkan kesadaran warga untuk dapat ikut berpartisipasi dalam menjaga

kelestarian lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas.

Page 100: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

100

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, W.C., IN. N. Suryadiputra., Bambang Hero Saharjo dan Labueni

Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

Gambut. Proyek Cliate, Forests and Peatlads in Indonesia. Wetlands

International – Indonesia Programe dan wildlife Habitat Canada. Bogor.

Indonesia.

APHA. 1980. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater,

15 th Edition. APHA Inc., New York. 1134 p.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Barchia, M.F. 2006. Gambut, Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah

Mada University Press.

Barnes R.S.K. and K.H. Mann. Fundamentals of Aquatic Ecosystems. Blackwell

Scientific Publications. Oxford London Edinburgh Boston Melbourne. 229

p.

Budianta D. 2003. Strategi Pemanfataan Hutan Gambut Yang Berwawasan

Lingkungan. Makalah dalam: Lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut

Secara Bijaksana dan berkelanjutan di Indonesia. Bogor

CCFPI. 2005. Pemanfaatan Lahan Gambut secara Bijaksana untuk Manfaat

Berkelanjutan. Seri Prosiding 08. Ditjen Bina Bangda – Depdagri,

Ditjen PHKA – Dephut, Pemprop. Kalimantan Tengah, Pemprop. Riau,

Wetlands International – Indonesia Programme, Wildlife Habitat Canada,

Global Environment Centre, WWF – Indonesia, Care International –

Indonesia, Yayasan BOS – Mawas, LP3LH. Bogor

CSR/FAO Staf. 1983. Reconnainssance Land Resourch Survey 1 : 2500 Scale

Atlas Format Procedurs. Center for Soil Resourch. Bogor.

Darmawijaya, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah : Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah

dan Pelaksanaan Pertanian di Indonesia. Universitas Gajah Mada Press.

Yogyakarta.

Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh-Water Plankton. Michig-an State

University. 562 p.

Dent, D. 1986. Acid Sulphat Soils: a baseline for reserch and development. ILRI.

Wagenigen. Publ. No. 39 The Netherlands.

Direktorat Jendral Perkebunan. 1984. Pedoman Bercocok Tanam dan

Pengolahan Karet. Departemen Pertanian Jakarta. Jakarta.

Dresscher, TGN and H. van der Mark (1976). A Simplified method for the

assessment of quality of fresh & Slightly Brakish Water. Hydrobiologia,

Vol. 48, 3 pp. 199-201.

Edmondson, W.T. 1959. Fresh-Water Biology. University of Washington, Seattle.

Printed in the University States of America. 1248 p.

Effendi H.M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. 163 hal.

FAO. 1976. A Famework for Land Evaluation. FAO Soil Bull. No. 32, Romer,

72 pp: and ILRI Publication No. 22 Wageninge, 87 pp.

Foth, H.D. 1984. Fundamentals of Soil Science. 7th Edition. Jhon Wiley and Son

Inc. USA.

Page 101: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

101

Go, B.H. 1978. Tanah Rawa Lebak dalam Simposium Pemanfaatan Potensi

Daerah Lebak. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang.

Goldman, C.R., and A.J. Horne, 1983. Limnologi. McGraw-Hill International

Book Company, Singapore.

Goldman, C.R., and A.J. Horne, 1983. Limnologi. McGraw-Hill International

Book Company, Singapore.

Gouyon, A. H. de Foresta dan P. Levang. 1993. Kebun Karet Campuran Di

Jambi Dan Sumatera Selatan. “Does "jungle rubber" deserve its name? An

analysis of rubber agroforestry systems in southeast Sumatra.”

Agroforestry Systems Volume 22: 181-206.

Hakim, N., Nyapka, M.Y., Lubis. A.M., Nugroho, S.G., Diha, M.A., Saul, M.R.,

Go Ban Hong., Bailey, H.H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas

Lampung. Lampung.

Hanafiah, A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta.

Hansen, V.E., Israelsen, O.W., Stringham, G.E., Tachen, E.P, Dalam Soetjipto.

1986. Dasar-Dasar dan Praktek Irigasi. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan :

Histosol. Fakultas Pertanian Bogor.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata

Guna Lahan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Kartasapoetra, G.A.G dan M.M. Sutedjo. 1991. Teknologi Konservasi Tanah dan

Air. PT. Bina Aksara. Jakarta.

Kerkut, G.A. 1963. The Invertebrata – A Manual For The Use Of Students. Fourth

Edition Revised. Cambridge At The University Press. 419 p.

Kurnia, U. 2004. Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering.

Balai Penelitian Tanah. Jalan Ir H. Djuanda No 93. Bogor.

Global Resources. IPS-GSF.

Lappalainen. E. 1996. Gemeral Riew on World Peatland and Peat Resources.

Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) LPTP Koya Barat. 1995. Usaha

Konservasi Pada Lahan Kering. loka Pengkajian Teknologi Pertanian

Koya Barat. Irian Jaya. No. 03/95. Media Indonesia. 2007. Sidang ke-62 Majelis Umum PBB tentang Perubahan

Iklim (IPCC). No.9758. Jakarta.

Mulyani, A., Sukarman., A. Hidayat dan A. Abdurachman. 2001. Peluang

Pemanfaatan Lahan Tidur untuk Meningkatkan ProduksiTanaman Pangan

di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 20(1). Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jl. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor.

Najiyati, S., M. Lili., N. S. I Nyoman. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan

Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International

Indonesia Programme. Bogor.

Noor, M. 2000. Rawa Lebak, Ekologi, Pemanfaatan dan Pengembangannya.

Rajawali Pers. Jakarta.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut dan Kendala. Konisius. Yogyakarta.

Noor, M. 2004. Lahan Rawa, Sulfat dan Pengelolaan Tanah Bersifat Sulfat

Masam. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Page 102: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

102

Notohadikusumo, T. 2000. Seminar Nasional Pengembangan Ilmu Tanah

Berwawasan Lingkungan. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM,

Yogyakarta.

Nyakpa, M. Y, A. M. Lubis, M. A. Pulung, A. Ghaffar Amrah, Ali Munawar, Go

Ban Hong, N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Penerbit Universitas

Lampung. Lampung.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Sounders

Company. Philadelphia, London, Toronto. Toppan Company, Ltd. Tokyo,

Japan. 574 p.

Marschner. 1986. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press. Harcourt

Brace Javanovic, Publishers, London.

McConnaughey and R. Zottoli. 1983. Pengantar Biologi Laut. The C.V. Mosby

Company. St. Louis. Toronto. London. 860 p.

Mizuno, T. 1979. Illustrations of The Freshwater Plankton of Japan. Hoikusha

Publishing Co., Ltd. 353 p.

Needham, J.G. and D. R. Needham. 1963. A guide to study of freshwater biology,

15th Edition. Holden Day Inc., Inc. San Fransisco. 108 p.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta. 442 hal.

Pennak, R.W. 1978. Freshwater invertebrates of the united states. Jhon Wiley and

Sons. New York. 803 p.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Edisi Revisi. 2000. Kriteria Keadaan

Lahan dan Komoditas Pertanian Badan Penelitian dan Pembangunan

Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.

Rahman, Dj. 1993. Land Evaluation for tea plantation on sloping Areas (CS in

the bufer zone of CBR); Thesis. Rural & Land Ecologi Survey, ITC,

Ensc, The Netherlands.

Rahman, Dj. 1999. Penilaian Kesesuaian Lahan Untuk Arahan Pengembangan

Pertanian di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Disampaikan Pada

Seminar dan Kongres Nasional VII HITI. Bandung.

Rahman, Dj. 2000. Evaluasi Sumber Daya Lahan untuk Arahan Pengembangan

Karret di Sumatera Selatan. Seminar Pengkajian Teknologi Pertanian

Spesifik Lokasi Sumatera Selatan, tgl 1 – 2 maret 2000 di Palembang.

Riwandi. 2001. Kajian Stabilitas Gambut Tropika Indonesia Berdasarkan Analisis

Kehilangan Karbon Organik, Sifat Fisiko Kimia dan Komposisi Bahan

Gambut. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Sachez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan TANAH Tropika. Penerbit ITB.

Bandung.

Safuan, L.O. 2002. Kendala Pertanian Lahan Kering Masam Daerah Tropoika

dan Pengelolaannya : Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sachlan, M.

1980. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. UNDIP

Semarang. 103 hal.

Sachlan, M. 1980. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. UNDIP

Semarang. 103 hal.

Page 103: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.unsri.ac.id/1505/2/Bambang_Prayitno_Pendahuluan... · adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu

103

Seta, A.K. 1991. Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pengendalian Erosi

Tanah. Universitas Sriwijaya. Indralaya.

Setiawan, H.K. 1991. Akibat Pemampatan atas Sifat-sifat Gambut Sehubungan

dengan Tingkat Perombakan. Tesis Sarjana. Dep. Ilmu Tanah. FP. UGM.

Setyamidjaja, D. 1993. Karet. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sitorus, S.R.P. 1985. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Taristo. Bandung.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soil Survey Staff. 1990. Keys to soil taxonomy. 4th ed. Soil Management

Support. Virginia Polytech. Inst. And State Univ. Blacksburg.

Suprapto. 2001. Pengkajian System Usahatani di Lahan Kering Di Kecamatan

Gerogak Kabupaten Buleleng, Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Bali. Denpasar, Bali.

Syarief, S.E. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit C.V. Pustaka Buana.

Bandung.

Tim Penulis Penebar Swadaya. 1992. Karet. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Triana. 2003. Warta Konservasi Lahan Basah : Mengapa Alam/Lingkungan

Selalu Menjadi ”Korban”. Wetlands International, Vol XI :3. Bogor.

Tjahjono, J.A. Eko. 2006, Kajian Potensi Endapan Gambut Indonesia Berdasarkan

Aspek Lingkungan. Prociding Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan Lapangan

dan Non Lapangan. Pusat Sumber Daya Geologi. Google. Diakses

Tanggal 7 Juni 2009.

Wahyunto., Sofyan Ritung., Suparto., H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan

Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Watlands International.

Bogor.

Welch, P.S. 1962. Limnologcal Methods. Mc. Graw-Hill Book Company Ltd.,

New York. 381 p.

Wijaya Adhi, IPG., IGM Subiska PH dan B. Radjguguk. 1989. Pengelolaan

Tanah dan Air Lahan Pasang Surut, Studi Kasus Karang Agung. Sumatera

Selatan. Dalam Usaha Tani di Lahan Pasang Surut dan Rawa. Risalah

Seminar Proyek-proyek Swamps II. Bogor.