bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keamanan makanan di Indonesia terkait dengan kehalalan, kebersihan,
dan kesehatan makanan memperoleh perhatian khusus. Hal tersebut dikarenakan
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam (BPS, 2010). Masalah yang
banyak mendapat perhatian saat ini terutama adanya kekhawatiran tercemarnya
produk makanan oleh daging yang bersifat haram, salah satunya daging tikus. Hal
tersebut dilakukan agar para pedagang mendapatkan keuntungan yang lebih
banyak dari makanan yang dijualnya. Padahal dalam agama Islam, dalam Hadits
Riwayat Muslim nomor 1198 dan Bukhari nomor 1829 tertera dengan jelas
tentang larangan mengkonsumsi daging tikus dan semua komponen dari tikus.
Bakso merupakan salah satu makanan favorit di Indonesia (Rohman dkk.,
2014). Komponen utama bakso merupakan daging yang digerus halus yang
biasanya disiapkan dari daging sapi, ayam, ikan, atau babi, dan yang paling
populer di Indonesia adalah bakso sapi (Purnomo dan Rahardiyan, 2008). Harga
daging sapi di pasaran yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan daging lain
membuat beberapa pedagang berusaha memutar otak untuk menyiasati harga
produksi pembuatan bakso sapi. Pencampuran daging sapi dengan daging lain
dalam pembuatan bakso dirasa menjadi solusi yang efektif untuk menurunkan
harga produksi pembuatan bakso. Daging tikus menjadi salah satu opsi karena
tikus sangat mudah diperoleh. Kenyataan ini mendorong para pedagang nakal
2
untuk mencampur daging sapi dengan daging tikus dan melabelkannya dengan
“bakso sapi”. Hal ini tentunya akan merugikan konsumen karena konsumen
tertipu. Ada ketidakadilan kompetensi harga akibat terjadinya pemalsuan tersebut.
Di samping itu terdapat masalah agama tentang hukum kehalalan, karena agama
Islam melarang konsumsi daging tikus dalam bentuk olahan apapun.
Permasalahan lain adalah banyaknya penyakit yang disebabkan oleh tikus seperti
salmonelosis, trichinosis, ataupun leptospirosis yang akan merugikan kesehatan
konsumen (Depkes RI, 2008). Berdasarkan hal inilah maka penjaminan keaslian
bakso melalui analisis kualitatif ada atau tidaknya daging tikus sangat penting,
untuk menjamin bahwa bakso yang diperdagangkan sesuai dengan label yang
tertera.
Sejauh ini belum banyak pengembangan metode khusus untuk
mengidentifikasi adanya cemaran daging tikus dalam makanan. Namun, sudah
banyak metode untuk identifikasi daging babi atau lemak babi dalam makanan
yang dapat diadopsi untuk mengidentifikasi adanya cemaran daging tikus dalam
makanan. Beberapa metode analisis tersebut, antara lain kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT) (Rashood dkk., 1996); kromatografi gas (Marikkar dkk., 2005);
pembau elektronik (electronic nose) (Che Man dkk., 2005); differential scanning
calometry (Marikkar, 2001); serta metode-metode berdasarkan pada DNA
(Himawati, 2013). Beberapa metode ini memerlukan waktu yang lama, serta
dilakukan dengan cara melakukan analisis komponen tertentu yang terdapat dalam
daging babi seperti analisis fragmen DNA tertentu, dibandingkan menganalisisnya
sebagai satu kesatuan materi (Rohman dkk., 2010). Karenanya, spektroskopi
3
inframerah Fourier Transform (FTIR) dikembangkan untuk analisis sampel
sebagai suatu kesatuan.
Saat ini spektroskopi FTIR yang digabungkan dengan “kemometrika”
merupakan teknik yang sangat baik untuk analisis suatu komponen dalam
campuran. Rohman dkk. (2011) telah melakukan analisis daging babi dalam
campuran sederhana dengan daging sapi. Meskipun demikian, adanya daging
tikus dalam sediaan bakso dalam campuran biner yang komponen utamanya
adalah daging sapi (bakso sapi) belum pernah dilaporkan/dipublikasikan. Oleh
karena itu penelitian ini diarahkan untuk mengembangkan metode spektroskopi
FTIR digabungkan dengan teknik kemometrika untuk analisis daging tikus dalam
bakso sebagai campuran biner dengan daging sapi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana optimasi spektra FTIR untuk analisis daging tikus dalam bakso
sapi dengan menggunakan kalibrasi multivariat partial least square (PLS)?
2. Apakah penggunaan analisis multivariat principal component analysis (PCA)
mampu digunakan untuk klasifikasi lemak sapi dan lemak tikus pada bakso?
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan
Pemalsuan bahan makanan banyak merugikan berbagai pihak, khususnya
konsumen. Adanya pengembangan metode spektroskopi FTIR yang
4
dikombinasikan dengan kemometrika diharapkan mampu untuk menganalisis
adanya cemaran daging tikus dalam bakso sapi secara cepat dan reliabel. Hal
tersebut dapat digunakan untuk menjamin hak-hak konsumen dan menjamin
kehalalan suatu produk.
Hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak, seperti Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) ataupun Majelis Ulama Indonesia
untuk menganalisis cemaran daging tikus untuk membantu penentuan kehalalan
suatu produk makanan (dalam penelitian ini produk makanan terkait dengan
bakso sapi). Hasil penelitian juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain sebagai
dasar acuan untuk analisis hal yang sama di masa yang akan datang.
D. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menggunakan
spektrofotometri FTIR yang dikombinasikan dengan kemometrika untuk analisis
daging tikus dalam bakso sapi. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan penggunaan metode spektrofotometri FTIR yang
dikombinasikan dengan kemometrika partial least square (PLS) untuk
analisis kuantitatif daging tikus dalam bakso sapi.
2. Mengaplikasikan penggunaan metode spektrofotometri FTIR yang
dikombinasikan dengan kemometrika principal component analysis (PCA)
untuk mengklasifikasikan lemak sapi dan tikus pada bakso.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Tikus
Tikus merupakan salah satu hewan rondensia yang dikenal sebagai hama
tanaman pertanian, perusak barang, dan hewan pengganggu di perumahan.
Berikut adalah taksonomi hewan tikus :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Murdae
Genus : Rattus
Spesies : Tikus rumah (Rattus rattus diardi)
Tikus sawah (Rattus argentiventer)
(Baker dkk., 1976)
Gambar 1. Tikus (Rattus argentiventer) (Anonim, 2010)
Tikus sawah (Rattus argentiventer) (Gambar 1) mempunyai ciri morfologis
yaitu tekstur rambut yang agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan
6
silindris, warna badan dorsal coklat kelabu kehitaman, warna badan ventral kelabu
pucat atau putih kotor, warna ekor ventral coklat gelap, bobot badan antara 70-300
gram, panjang badan 130-210 mm, panjang ekor diantara 110-160 mm, panjang
secara keseluruhan dari kepala sampai dengan ekor 240-370 mm, lebar daun
telinga 19-22 mm, panjang telapak kaki 32-39 mm, lebar sepasang gigi seri yang
sering digunakan untuk mengerat 3mm, dan formula puting susu 3 + 3 pasang
(Priyambodo, 2003). Tikus sawah mudah ditemukan di sebagian besar Asia
Tenggara. Tikus sawah biasa hidup di lubang-lubang tanah pada sawah dan
ladang (Payne dkk., 1985).
Tikus rumah (Rattus rattus) mempunyai tekstur rambut agak kasar, bentuk
badan silindris, bentuk hidung kerucut, telinga berukuran besar tidak berambut
pada bagian dalam dan dapat menutupi mata jika ditekuk ke depan, warna badan
bagian perut dan punggung coklat hitam kelabu, warna ekor coklat hitam, bobot
tubuh berkisar antara 60-300 gram, ukuran ekor terhadap kepala, dan badan
bervariasi (lebih pendek, sama, atau panjang). Tikus rumah memiliki kemampuan
memanjat yang baik. Tikus rumah memiliki kemampuan indera yang sangat
menunjang aktivitasnya kecuali penglihatan (Priyambodo, 2003). Tikus rumah
lebih sering ditemukan di semak-semak ataupun di atap bangunan (Meehan,
1984).
Tikus memiliki siklus reproduksi yang sangat tinggi. Rattus rattus diardi
mencapai umur dewasa pada 68 hari dengan masa bunting selama 21-22 hari
(Ewer, 1971). Hal ini menyebabkan tikus sangat mudah berkembang biak dalam
waktu yang singkat. Populasi tikus yang tidak terkontrol justru akan mengganggu
7
aktivitas manusia, salah satunya dalam hal pertanian (Hadi dkk., 2005). Tikus
rumah dan tikus sawah sering kali merugikan manusia.
Karakteristik daging tikus berwarna merah dan memiliki serat lebih
banyak. Pengolahan daging tikus dalam bentuk olahan makanan seperti bakso,
tidak akan dikenali dengan mudah secara kasat mata. Hal ini yang memicu adanya
kemungkinan pemalsuan makanan dengan menggunakan daging tikus. Biasanya
pemalsuan makanan olahan daging menggunakan tikus rumah ataupun tikus
sawah. Beberapa media juga mengabarkan adanya pemalsuan pembuatan bakso
sapi dengan daging tikus (Reportase Investigasi, 2012). Hal ini merugikan banyak
pihak, baik dari penjual bakso sapi asli maupun konsumen.
2. Sapi
Sapi (Gambar 2) adalah hewan ternak anggota suku bovidae dan anak suku
bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai
pangan manusia. Sebagian besar peternakan sapi domestik di Indonesia
didominasi oleh Bos taurus atau Bos indicus (zebu), yang keduanya merupakan
keturunan dari Bos primigenius (Mohamad dkk., 2012). Sistem taksonomi sapi
adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
8
Upafamili : Bovinae
Genus : Bos
Spesies : Bos taurus / Bos indicus (Zebu).
(Integrated Taxonomic Information System, 2014)
Gambar 2. Bos taurus (ADW, 2002)
Budidaya sapi di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu untuk diambil
susunya dan untuk dimanfaatkan dagingnya (sapi potong). Daging sapi
mengandung air (75%), protein (22,3%), lemak (1,8%), abu (1,2%), dan energi
sebesar 116 kilojoule (per 100 gram daging) (FAO, 2014). Daging sapi
merupakan salah satu bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan
gizi manusia. Selain mutu protein hewaninya yang tinggi, pada daging sapi
terdapat kandungan asam amino esensial yang seimbang. Keunggulan protein
daging dibandingkan protein nabati adalah protein hewani lebih mudah dicerna
oleh tubuh (Astawan, 2004).
Karakteristik daging sapi adalah daging berwarna merah agak pucat,
9
berserabut halus, dan terdapat sedikit lemak. Daging sapi banyak dimanfaatkan
masyarakat Indonesia untuk diolah menjadi bahan makanan, salah satunya adalah
bakso. Daging sapi (maupun daging lainnya) yang digunakan dalam pembuatan
bakso hendaknya masih segar, yaitu dari ternak yang baru dipotong. Tidak
dianjurkan menggunakan daging sapi yang telah dilayukan, yaitu daging yang
telah mengalami proses penuaan. Bila menggunakan daging yang telah layu,
tekstur bakso yang dihasilkan kurang kenyal (Widyaningsih dan Murtini, 2006)
Harga daging sapi yang tergolong mahal memicu adanya substitusi daging
sapi dengan daging lain pada olahan makanan. Hal inilah yang mendasari perlu
adanya analisis makanan untuk menghindari pemalsuan makanan. Hermanto dkk.
(2008) berhasil melakukan analisis perbedaan profil dan karakteristik lemak
hewani (ayam, sapi, dan babi) secara spektrofotometri inframerah Fourier
transform (FTIR). Tabel I menunjukkan komposisi asam lemak yang terkandung
pada lemak sapi. Dengan pengembangan dari metode yang sama diharapkan
analisis daging tikus yang digunakan untuk memalsukan daging sapi pada olahan
makanan bakso dapat dilakukan.
10
Tabel I. Komposisi asam lemak pada lemak sapi (Hermanto dkk., 2008)
Asam lemak Persentase asam lemak (%)
Asam Kaprilat C8:0 td
Asam Kaprat C10:0 td
Asam Laurat C12:0 0.34
Asam Miristat C14:0 4.36
Asam Palmitoleat C16:1 1.40
Asam Palmitat C16:0 29.40
Asam Margarat C17:0 1.74
Asam Linoleat C18:2 1.17
Asam Oleat C18:1 20.53
Asam Stearat C18:0 31.26
Asam Arakidonat C20:4 td
Asam Eikosenat C20:1 td
Asam Arakat C20:0 0.33
*td : tidak terdeteksi
3. Lemak
Lemak termasuk dalam golongan lipid, yaitu senyawa organik yang
terdapat dalam alam serta tidak larut dalam air, namun larut dalam pelarut organik
(misalnya eter, heksan, kloroform, benzen) (Sudarmadji dkk., 1989). Perbedaan
lemak dan minyak adalah sumber perolehannya, asam lemak penyusunnya, dan
keadaanya pada suhu kamar. Lemak umumnya bersumber dari hewan, sedangkan
minyak bersumber dari tumbuhan. Kebanyakan lemak tersusun dari asam lemak
jenuh, sedangkan minyak tersusun dari asam lemak tak jenuh. Lemak berwujud
padat pada kondisi suhu kamar, sedangkan minyak berada pada wujud cair
(Sudjadi dan Rohman, 2004).
Lipid terdiri dari berbagai senyawa kimia, termasuk monogliserida,
digliserida, trigliserida, fosfatida, serebrosid, sterol, terpen, alkohol lemak, dan
asam lemak, namun komponen penyusun terbesarnya adalah trigliserida, yaitu
11
mencapai 95% (Gunstone, 2004; Lobb dan Chow, 2007). Ditinjau dari segi
nutrisi, komponen lemak yang penting adalah trigliserida, fosfolipid, kolesterol,
dan vitamin yang terlarut dalam lemak (Soeparno, 1989). Trigliserida atau
triasilgliserol merupakan gugus triester dari gliserol. Trigliserida terbentuk dari
proses kondensasi gliserol dan tiga molekul asam lemak yang nantinya akan
membentuk satu molekul trigliserida dan tiga molekul air (Sudarmadji dkk.,
1989). Proses kondensasi tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Reaksi Pembentukan Trigliserida (diadaptasi dari CNX Anatomy and
Physiology, 2013)
Perbedaan antara lemak satu dengan yang lainnya terdapat pada komponen
asam lemak penyusunnya, urutan asam lemak, serta tingkat kejenuhan dari asam
lemak (Rohman, 2012). Hal inilah yang mendasari penelitian untuk mendeteksi
adanya daging tikus dalam bakso sapi, karena profil spektra FTIR akan bersifat
spesifik pada suatu sampel (Guillen dan Cabo, 1997). Asam lemak terdiri dari
unsur-unsur, seperti karbon, hidrogen, dan oksigen, yang diatur sebagai rantai
karbon kerangka linear dari panjang variabel dengan gugus karboksil di salah satu
ujung. Asam lemak yang pada rantai hidrokarbonnya terdapat ikatan rangkap
disebut asam lemak tidak jenuh, dan apabila tidak terdapat ikatan rangkap pada
rantai hidrokarbonnya disebut dengan asam lemak jenuh (Lobb dan Chow, 2007).
12
Gambar 4 menunjukkan perbedaan struktur asam lemak jenuh dan asam lemak
yang tidak jenuh.
Gambar 4. Struktur Asam Lemak Jenuh dan Asam Lemak Tak Jenuh (diadaptasi dari CNX
Anatomy and Physiology, 2013)
4. Bakso
Definisi bakso menurut SNI 01-3818-1995 adalah produk makanan
berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar
tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan
makanan yang diizinkan. Pembuatan bakso sendiri didominasi oleh daging
(Gambar 5), kemudian ditambah dengan berbagai bumbu-bumbuan seperti garam
dapur, dan tepung tapioka (Purnomo dan Rahardian, 2008). Terkadang, dalam
pembuatan bakso ditambahkan dengan natrium trifosfat dan monosodium
glutamat untuk meningkatkan kapasitas pengikatan air. Sebagian besar produsen
juga menambahkan cita rasa makanan tertentu, agar bakso semakin lezat (Huda
dkk., 2009).
13
Gambar 5. Bakso (Gambar diambil dari Hudaya, 2013)
Berbagai macam daging yang bisa digunakan dalam proses pembuatan
bakso adalah daging sapi, babi, ayam dan ikan. Tingkat harga patokan untuk
bakso biasanya didasarkan dari jenis daging yang digunakan. Harga bakso sapi
lebih mahal jika dibandingkan dengan harga bakso yang lain, karena harga daging
sapi tergolong tinggi (Julaikah, 2013). Beberapa pedagang nakal berusaha
menyiasati hal ini dengan mencampurkan daging sapi dengan daging yang
harganya lebih murah untuk menekan harga produksi. Segelintir pedagang
bertindak curang dengan mencampurkan daging tikus ke dalam bakso sapi.
Dalam produksi makanan, daging tikus sendiri dilihat dari 3 aspek, yaitu
aspek ekonomi, kesehatan dan aspek religi (agama). Dari aspek ekonomi, adanya
daging tikus dalam campuran bakso dapat menekan biaya produksi pembuatan
dan mendapatkan laba yang lebih banyak. Dari aspek kesehatan, tikus dikaitkan
dengan berbagai penyakit tertentu seperti kolera, leptospirosis, salmonelosis,
trichinosis, dan masih banyak lagi (Depkes RI, 2008). Sementara itu, dari aspek
agama, adanya komponen tikus dalam produk makanan merupakan masalah yang
14
serius karena beberapa agama seperti Islam melarang pemeluknya untuk
mengonsumsi produk makanan yang mengandung tikus, seperti hadist yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1829 & 3314, Muslim no. 1198, At-
Tirmidziy no. 837, An-Nasaa’iy no. 2829, dan yang lainnya.
5. Spektroskopi Inframerah Fourier Transform (FTIR)
Spektroskopi merupakan kajian tentang interaksi antara radiasi
eleoktromagnetik dengan materi (sampel). Spektroskopi inframerah merupakan
salah satu jenis spektroskopi vibrasional (Rohman, 2012). Spektra IR
memungkinkan untuk digunakan dalam deteksi suatu sampel karena spektra
tersebut dapat dimanfaatkan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif (Hof, 2003).
Saat ini dengan perkembangan transformasi Fourier, spektroskopi FTIR
digunakan secara luas dalam bidang farmasi, makanan, lingkungan dan
sebagainya (Che Man dkk., 2010).
Gambar 6. menjelaskan komponen dasar spektrofotometer inframerah
Fourier Transform (FTIR). Komponen dasar spektrofotometer FTIR adalah
sumber sinar, interferometer, sampel, detektor, penguat (amplifier), pengubah
analog ke digital, dan komputer. Radiasi muncul dari sumber sinar yang
dilewatkan melalui interferometer ke sampel yang akan dideteksi sebelum
mencapai detektor. Setelah terjadi amplifikasi sinyal, data dikonversi ke dalam
bentuk digitalnya, kemudian ditransfer ke komputer untuk transformasi Fourier
(Stuart, 2004).
15
Sumber sinar
Interferometer Sampel
DetektorPenguat(Amplifier)
Pengubah analogke digital
Komputer
Gambar 6. Komponen Dasar Spektrofotometer FTIR (Stuart, 2004)
Sebagaimana jenis absorbsi energi yang lain, pada spektroskopi inframerah,
molekul-molekul dieksitasikan ke energi yang lebih tinggi ketika molekul-
molekul ini menyerap radiasi inframerah (IR). Absorbsi radiasi IR merupakan
suatu proses kuantifikasi, yang berarti bahwa hanya frekuensi (energi) tertentu
dari radiasi IR yang dapat diserap oleh suatu molekul. Absorbsi radiasi IR
bersesuaian dengan perubahan energi yang berkisar antara 2-10 kkal/mol. Radiasi
kisaran energi ini dapat menyebabkan regangan dan uluran suatu ikatan dalam
kebanyakan ikatan kovalen molekul (Pavia dkk., 2001).
Daerah inframerah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu daerah inframerah (IR)
jauh (400-50 cm-1
), daerah IR tengah (4000-400 cm-1
), dan daerah IR dekat
(14000-4000 cm-1
) (Watson, 1999). Pada daerah IR dekat umumnya digunakan
untuk konfirmasi struktur kimia, sedangkan daerah IR tengah biasa digunakan
untuk analisis struktur sistem organik. Informasi tersebut banyak dimanfaatkan
untuk analisis kualitatif (Reid dkk., 2006).
Spektrum IR merupakan spektrum yang bersifat : (1) spesifik terhadap
suatu molekul; akan memberikan informasi yang menyatu tentang interaksi dan
jenis interaksi molekul yang terlibat; (2) sidik jari; (3) kuantitatif, yang mana
16
intensitas puncak berkorelasi dengan konsentrasi; (4) non destruktif, sehingga
masih memungkinkan untuk dilakukan analisis lebih lanjut; (5) bersifat universal
dalam pengambilan sampelnya (Rohman, 2014).
Secara garis besar, ada 2 cara memperoleh spektrum IR, yaitu dengan
teknik transmisi dan teknik pantulan (Sasic dan Ozaki, 2010). Metode pantulan
digunakan untuk sampel yang susah dianalisis dengan teknik transmitan. Salah
satu pengukurannya menggunakan pantulan internal dengan menggunakan
attenuated total reflectance (ATR) yang bersinggungan dengan sampel. ATR
(Gambar 7) menggunakan fenomena pemantulan internal total. Berkas radiasi
yang memasuki kristal akan mengalami pemantulan internal total ketika sudut
datang pada permukaan antara sampel dan kristal lebih besar daripada sudut
kritisnya. Sudut kritis merupakan fungsi indeks bias dua permukaan. Berkas sinar
akan memasukkan sebagian panjang gelombangnya di luar permukaan yang
memantul, dan ketika suatu bahan yang secara selektif mampu menyerap radiasi
berada di atas permukaan kristal ATR, maka berkas sinar akan kehilangan energi
pada panjang gelombang yang sesuai dengan panjang gelombang yang diserap
oleh bahan tersebut. Radiasi yang diperkuat yang dihasilkan diukur dan
dirajahkan sebagai fungsi panjang gelombang dengan spektrometer IR dan
memberikan peningkatan karakteristik spektra serapan sampel (Stuart, 2004).
17
Gambar 7. Skema dari Attenuated Total Reflectance (ATR) (Stuart, 2004)
Selain itu, spektroskopi IR juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif
karena intesitas (absorbansi) dalam spektrum IR berbanding lurus dengan gugus
fungsional yang bersesuaian sebagaimana ditunjukkan dalam hukum Lambert-
Beer (Guillen dan Cabo, 1997).
Keuntungan utama spektofotometer FTIR dibandingkan dengan
spektrofotometer dispersif adalah bahwa spektrofotometer FTIR mampu
menawarkan sensitivitas yang tinggi, mampu memberikan energi yang lebih
tinggi serta mampu meningkatkan kecepatan pembacaan spektra IR secara drastis
(Stuart, 2004). Digabungkan dengan kemajuan komputer dan perangkat lunak
“kemometrika”, spektroskopi IR mampu dengan mudah memanipulasi spektrum
IR (Rohman, 2012).
6. Kemometrika
Kemometrika merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mengaplikasikan
ilmu statistika dan matematika untuk mengolah data kimia (dalam spektroskopi,
data tersebut adalah spektra) (Otto, 2007). Kemometrika termasuk pada bidang
18
interdislipiner yang melibatkan analisis statistik multivariat, pemodelan
matematika, dan kimia analisis. Kemometrika biasa diaplikasikan untuk : (1)
kalibrasi, validasi, dan uji signifikansi; (2) optimasi pengukuran kimia dan
prosedur eksperimental; dan (3) mengekstraksi informasi kimia dari data analisis
(Gemperline, 2006)
Saat ini kemometrika memungkinkan untuk menganalisis data multivariat.
Data multivariat merupakan suatu data yang memiliki banyak variabel dan dari
setiap variabel tersebut dapat saling berkorelasi. Keuntungan dari analisis
multivariat adalah informasi yang didapat akan lebih banyak karena analisis
multivariat mempertimbangkan banyak variabel secara bersamaan, dibandingkan
jika hanya mempertimbangkan masing-masing variabel secara individual. Selain
itu, keuntungan lainnya adalah bahwa analisis multivariat dapat mereduksi noise,
lebih selektif dalam suatu pengukuran, dan bisa mendeteksi adanya sampel palsu
(Bro, 2003).
Fungsi kemometrika dalam spektroskopi digunakan untuk meningkatkan
kualitas data. Kemometrika memungkinkan adanya pengukuran data multivariat,
yang mana beberapa variabel (absorbansi dalam banyak bilangan gelombang)
diukur untuk suatu sampel yang dituju (Miller dan Miller, 2000).
Ada beberapa jenis kemometrik yang sering digunakan, salah satunya
adalah metode kemometrika yang terkait dengan pengelompokan. Ada dua
macam pengelompokan dalam kemometrika, yaitu : (1) Pengelompokan yang
disupervisi, seperti analisis diskriminan; dan (2) pengelompokan yang tidak
19
disupervisi, seperti analisis komponen utama (principal component analysis,
PCA).
a) Principal Component Analysis (PCA)
Principal component analysis, atau biasa disebut dengan PCA, adalah
metode analisis untuk membangun model multivariat linier pada data yang
kompleks. Pengembangan metode PCA dilakukan dengan menggunakan
vektor basis ortogonal, atau biasa disebut dengan komponen utama (principal
component, PC). Tujuan utama dari PCA adalah untuk mengeliminasi
komponen utama yang terkait dengan noise, sehingga dapat meminimalkan
efek dari kesalahan pengukuran (Thielemans dan Massart, 1985).
PCA pada dasarnya adalah teknik reduksi data multivariat, ketika
antar variabel terjadi korelasi (Miller dan Miller, 2005). Objek (sampel)
dengan komponen utama (principal component, PC) yang hampir sama
mempunyai sifat fisika kimia yang hampir sama, sehingga PCA dapat
digunakan untuk pengelompokan (Adams, 1995). PCA akan menemukan
berbagai macam komponen utama yang merupakan suatu kombinasi linier
variabel asal. Komponen utama pertama diharapkan akan memberikan variasi
terbesar terhadap data dibandingkan dengan komponen utama selanjutnya
(Widyaninggar dkk., 2012). Karenanya, ketika terjadi korelasi yang
signifikan, jumlah komponen utama yang digunakan akan lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah variabel asli (Miller dan Miller, 2010). Che Man
dkk. (2011) membuktikan bahwa dengan menggunakan teknik PCA, dapat
dibedakan dan diklasifikasikan antara lemak babi (lard) dengan lemak lain.
20
Penelitian tersebut diharapkan menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi
lemak tikus dan lemak sapi.
b) Partial Least Square (PLS)
Partial least square (PLS), atau regresi kuadrat terkecil sebagian,
merupakan salah satu cabang dari metode kemometrika yang menggunakan
regresi. Metode regresi digunakan untuk kuantifikasi. Konsentrasi analit berada
pada variabel respon, dan absorbansi pada bilangan gelombang yang berbeda
berada pada variabel prediksi (Miller dan Miller, 2005). Oleh karena itu, PLS
termasuk jenis kalibrasi terbalik.
Kemometrika PLS pertama kali dikembangkan oleh H. Wold di bidang
ekonometri pada akhir tahun 1960. Pada akhir tahun 1970, Wold dan Martens
mulai memopulerkan metode ini untuk diaplikasikan pada bidang kimia
(Gemperline, 2006). Regresi kuadrat terkecil sebagian (partial least square atau
PLS) menghitung regresi dengan alogaritma kuadrat terkecil yang
menghubungkan antara kedua matriks, data spektra pada matriks X, dan nilai
referens pada matrik Y. PLS sering digunakan dalam spektroskopi FTIR untuk
mengektrak informasi dari spektra yang kompleks yang mengandung puncak-
puncak yang tumpang tindih, adanya pengotor serta adanya noise dari instrumen
yang digunakan untuk mengumpulkan data (Syahariza dkk., 2005).
Pada metode kemometrika PLS, variabel yang dipilih merupakan variabel
yang memiliki korelasi yang baik dengan respon, sehingga variabel tersebut akan
memberikan prediksi yang lebih efektif (Adams, 1995). Kombinasi linier dibuat
dengan memilih variabel prediksi yang memiliki korelasi tertinggi dengan
21
variabel respon dan juga bisa menjelaskan variasi dari variabel prediksi (Miller
dan Miller, 2005). Rohman dan Che Man (2011) membuktikan bahwa
kemometrika PLS dapat digunakan untuk kuantifikasi adanya pemalsuan pada
virgin coconut oil. Dengan metode yang sama, diharapkan kemometrika PLS juga
dapat digunakan untuk analisis kuantitatif daging tikus pada bakso sapi.
F. Landasan Teori
Berbagai praktek kecurangan terhadap makanan terkadang dilakukan oleh
beberapa pedagang nakal, salah satu contohnya dengan cara mengganti bahan
dasar pembuatan bakso dengan sesuatu yang lebih murah. Beberapa diantaranya
mencampurkan daging tikus ke dalam campuran daging sapi pada pembuatan
bakso. Deteksi cepat adanya daging tikus dalam bakso sapi mutlak dilakukan.
Salah satu metode deteksi cepat yang ditawarkan adalah dengan metode
spektrofotometri FTIR yang dikombinasikan dengan kemometrika.
Spektrofotometri inframerah Fourier Transform (FTIR) merupakan metode cepat
yang memiliki sensitivitas tinggi. Adanya campuran daging tikus dalam bakso
sapi, daging sapi, dan daging tikus dapat dibedakan pada profil spektra FTIR
karena metode spektrofotometri FTIR akan menunjukkan profil spektra yang
berbeda dari setiap sampel yang berbeda.
Dengan adanya perbedaan yang spesifik antar setiap spektra, FTIR dapat
mengidentifikasi adanya campuran daging tikus dalam bakso sapi. Optimasi
spektroskopi FTIR dengan digabungkan dalam teknik “kemometrika” tertentu
seperti analisis multivariat (partial least square, PLS dan principal component
22
analysis, PCA) dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif daging
tikus dalam bakso sapi.
G. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan landasan teori di atas, maka dapat
dibuat suatu hipotesis sebagai berikut:
1. Metode spektrofotometri inframerah Fourier transform (FTIR) yang
dikombinasikan dengan kemometrika partial least square (PLS) dapat
digunakan untuk analisis kuantitatif daging tikus dalam bakso sapi.
2. Metode spektrofotometri FTIR yang dikombinasikan dengan kemometrika
principal component analysis (PCA) mampu melakukan klasifikasi lemak
sapi dan lemak tikus pada bakso.