bab i pendahuluan a. kata pengantar...bab i pendahuluan a. kata pengantar kedudukan konselor sebagai...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
a. Kata Pengantar
Kedudukan konselor sebagai salah satu komponen pelayanan pendukung peserta
didik yaitu dengan mendukung perkembangan aspek-aspek pribadi, sosial, belajar dan
karier peserta didik. Selain itu, melalui pengembangan menu program bimbingan dan
konseling, konselor memberikan layanan kepada peserta didik dalam perencanaan
individual, pemberian pelayanan responsive dan pengembangan dukungan system.
Semua fungsi tersebut harus dilandasi oleh pelaksanaan asesmen terhadap kondisi peserta
didik maupun lingkungannya. Kompetensi asesmen yang harus dikuasi oleh konselor
tertuang dalam Permen Diknas No. 27 Tahun 2008, sejalan dengan kompetensi evaluasi
dalam American School Counselor Association. Konselor akan membutuhkan berbagai
teknik dan metode dalam mencari informasi terkait dengan pengembangan program
permasalahan peserta didik.
Karena asumsi dasar demikian, maka kemampuan pengembangan instrumen
merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh konselor dalam memberikan
layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Pengembangan instrumen dapat dilakukan
untuk memperoleh data atau informasi yang dibutuhkan karena tidak ada atau belum ada
instrumen yang dapat mengukur aspek tersebut, atau, kalaupun sudah ada, dapat
diadaptasi sesuai karakteristik responden dan wilayah administrative. Kemampuan ini
diperlukan dalam proses pengumpulan data peserta didik maupun lingkungan. Informasi
yang diperoleh ditujukan sebagai dasar dalam merencanakan program, dan menentukan
layanan yang tepat bagi peserta didik.
Dalam bimbingan konseling teknik pengumpulan data dapat berupa tes maupun
nontes. Instrumen tes sangat terbatas pada penggunaannya. Dimana tes hanya bisa
disusun oleh orang-orang ahli yang telah mempunyai kewenangan dan sertifikat pelatihan
tes psikologi. Berbeda dengan nontes, yang lebih fleksibel terhadap siapa saja yang dapat
membuatnya. Namun demikian, meski dirasa mudah tetapi ada banyak kekeliruan dalam
pembuatan instrumen nontes. Jika kesalahan ini dibiarkan pastinya akan mempengaruhi
pada proses analisa hasil datanya dan juga pada kesimpulan. Sebab itu, makalah ini akan
menjelaskan secara mendetail terkait pengembangannya meliputi angket, observasi, dan
interviu.
b. Rumusan Masalah
Makalah ini disusun berdasarkan kerangka:
a. Apa itu pengembangan instrumen non tes dalam bimbingan dan konseling?
b. Bagaimana konsep dasar, teknik dan pengolahan hasil data dari kuesioner, interviu,
dan observasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Langkah-langkah Pengembangan Instrumen
Dalam proses pengembangan instrumen, terdapat beberapa langkah yang harus dilalui, yaitu
sebagai berikut (Djaali dan Muljono, 2008):
1. Mengidentifikasi tujuan utama penggunaan instrumen.
Proses pengembangan instrumen yang sistematis seharusnya berdasarkan pertimbangan
tujuan penggunaan instrument yang mendasar. Tujuan utama pengembangan instrumen
tersebut ditentukan oleh konselor sebagai pengembang instrumen, antara lain untuk
diagnostic, penempatan, identifikasi, dan sebagainya. Missal, ingin mengetahui tingkat
kematangan karir siswa.
2. Mengidentifikasi tingkah laku yang mewakili konstruk tertentu.
Untuk mengembangkan instrumen, perlu ditentukan konsep sampel tingkah laku yang
dipercaya dapat mewakili konstruk teori yang akan diukur. Oleh karena itu, langkah
pertama dari penyusunan instrumen adalah perumusan sampel tingkah laku secara
operasional, sehingga tampak apa sebenarnya yang akan diukur oleh instrumen yang akan
disusun itu. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan sintesis dari teori-teori yang dikaji
tentang suatu konsep dari variabel yang hendak diukur, kemudian dirumuskan konstruk
dari variabel tersebut. Konstruk pada dasarnya adalah bangun pengertian dari suatu
konsep yang dirumuskan oleh pengembang instrumen.
Untuk melalukan verifikasi konstruk yang akan diukur, pengembang instrumen perlu
melakukan aktivitas sebagai berikut:
a. Content analysis, yaitu melakukan anlisis terhadap isi konstruk dengan mengajukan
pertanyaan terbuka terhadap konstruk.
b. Review of Research, merupakam telaah terhadap penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya mengenai konstruk teori yang akan diukur.
c. Critical Incidents, mengidentifikasi tingkah laku yang mengkarakteristikkan hal yang
ekstrem dalam suatu kontinum dari konstruk teori.
d. Direct observation, pengemang instrumen mengidentifikasi tingkah laku yang akan
diukur melalui pengamatan langsung.
e. Expert judgment, meminta penilaian dan masukan dari orang yang ahli dibidang yang
akan diukur.
f. Instruction objectives, adalah meminta pertimbangan ahli mengenai spesifik konten
yang menjadi fokus.
3. Berdasarkan konstruk tersebut dikembangkan dimensi dan indikator variabel yang
sesungguhnya secara eksplisit telah tertuang pada rumusan konstruk variabel.
4. Mempersiapkan spesifikasi instrumen dan proporsi item yang menjadi fokus atau
membuat kisi-kisi.
Setelah mengidentifikasi sampel tingkah laku yang mewakili variabel, langkah
selanjutnya adalah menyusun kisi-kisi instrumen setiap variabel yang dimaksud. Kisi-kisi
adalah rangkuman rancangan penyusunan butir-butir instrumen sesuai dengan bangun
konstruk teoritis setiap variabel yang akan diukur. Pengembangan instrumen
mempersiapkan spesifikasi instrumen dan proporsi item dari masing-masing indikator.
Proporsi item sebaiknya seimbang sehingga dapat menggambarkan proporsi konstruk
yang sesuai.
5. Menetapkan besaran atau parameter yang bergerak dalam suatu rentangan kontinum dari
satu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya, tidak setuju ke setuju, negative ke
positif, tidak pernah ke selalu, dan sebagainya.
6. Mengkonstruksi sejumlah draf item.
Setelah mengetahui hal-hal khusus apa yang akan diukur, yaitu melalui kisi-kisi, maka
langkah selanjutnya adalah menulis butir-butir instrumen yang diperlukan. Butir
instrumen tersebut diusahakan sebanyak-banyaknya karena pada tahap selanjutnya butir-
butir tersebut akan diseleksi, mana yang paling baik. Kegiatan yang akan dilakukan untuk
mengkonstruksi sejumlah draft item adalah sebagai berikut:
a. Menyeleksi format item yang sesuai
b. Membuktikan bahwa format yang diajukan dapat dikerjakan dengan mudah
c. Menyeleksi dan melatih penulis item jika tidak dikerjakan sendiri oleh konselor
d. Menulis item
e. Memonitor perkembangan penulisan item dan kualitas item
Pengembangan instrumen juga perlu menentukan format atau bentuk instrumen yang
akan dikembangkan, apakah bentuk benar-salah, pilihan ganda, skala penilaian, dan
sebagainya.
Formula kalimat dalam sebuah instrumen harus memperhatikan beberapa hal berikut:
a. Jangan menggunakan pernyataan yang factual
b. Hindari pernyataan yang memiliki dua atau lebih interpretasi
c. Buat item positif dan negative secara seimbang
d. Pernyataan singkat dan padat
e. Hindari pemakaian kata yang menunjukkan keseluruhan, seperti semua, selalu, tidak
ada, tidak pernah dan sebagainya karena akan menimbulkan ambiguitas
f. Hindari penggunaan kata hanya, masih, benar-benar, sedikit, kadang-kadang
g. Gunakan kalimat sederhana, hindari kalimat pengandaian
7. Mereview item dengan memperhatikan: akurasi, kesesuaian dan relevansi spesifikasi
instrumen, kekurangan konstruksi item yang bersifat teknis, tata bahasa, bias, dan
keterbacaan.
Butir-butir yang telah disusun itu kemudian dikaji ulang agar mutunya lebih baik. Kaji
ulang mula-mula dilakukan oleh pengembang instrumen. Setelah itu, sebaiknya diberikan
kepada beberapa orang yang merupakan ahli dalam bidang yang berkaitan dengan
variabel itu untuk dikaji ulang. Dengan demikian kaji ulang akan lebih objektif.
8. Melakukan uji coba awal.
Uji coba dilakukan untuk mengetahui validitas dan ketepatan ukur (reliabilitas)
instrumen. Dalam hal ini diuji apakah instrumen itu mempunyai ketepatan atau
kemantapan jawaban apabila instrumen tersebut dikerjakan oleh orang yang sama dalam
waktu yang berlainan. Berdasarkan hasil uji coba, maka dilakukan perbaikan. Perbaikan
ini dilakukan terhadap petunjuk pengerjaan dan butir-butir yang ternyata tidak baik. Ada
kalanya butir-butir tertentu berdasarkan hasil uji coba memang tidak dapat digunakan.
Pelaksanaan uji coba instrumen dimaksudkan untuk:
a. Mengetahui apakah instrumen tersebut dapat diadministrasikan dengan mudah, hal ini
dilakukan dengan pengamatan.
b. Mengetahui apakah setiap butir dapat dibaca dan dipahami oleh responden.
c. Mengetahui ketepatan ukur instrumen yang dimaksud (validitas). Validitas merujuk
kepada pengertian apakah hasil tes sesuai dengan kriteria yang telah dirumuskan, dan
hingga dimana hasil tes itu mengukurnya. Terdapat tiga kategori validitas, yaitu
validitas konten, validitas kriteria, dan validitas konstruk (Sukardi, 1997:193-194).
Untuk menguji validitas, dilakukan dua langkah, yaitu uji ketepatan ukur (validitas
butir, dengan jalan menganalisis butir), dan uji ketepatan ukur seluruh perangkat
instrument.
d. Mengetahui keajegan alat ukur atau reliabilitas, yaitu konsisten dari skor tes. Secara
praktis, reliabilitas adalah derajat kearah mana deviasi atau sebaran skor individu atas
z skor, apakah relative konsisten setelah dites berulang kali dengan menggunakan
instrumen yang sama (Crocker dan Algina, 1986)
9. Melakukan uji coba kepada sampel yang lebih besar.
Setelah melakukan uji coba awal, instrumen dapat diuji coba kembali kepada responden
yang lebih besar dan lebih bervariasi sesuai keluasan tujuan pengembangan instrument.
10. Melakukan analisis statistik yang sesuai dan mengeliminasi item yang tidak sesuai
dengan kriteria.
11. Mendesain dan melakukan penghitungan validitas dan reliabilitas instrumen.
12. Mengembangkan panduan untuk pengadministrasian, pemberian skor, dan interpretasi.
Perangkat akhir tersebut meliputi bagian-bagian pokok, yaitu (Crocker dan Algina:1986):
a. Petunjuk pengerjaan
b. Perangkat butir soal yang berupa daftar pertanyaan atau pernyataan
c. Cara penafsiran
Kuesioner
Merupakan salah satu alat pengumpul data non tes, yang berupa serangkaian pertanyaan atau
pernyataan yang diajukan pada responden. Winkel mendefinisikan angket sebagai suatu daftar
atau kumpulan pertanyaan tertulis yang harus dijawab secara tertulis juga (Winkel, 1987:271).
Secara garis besar instrument ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) Judul angket, (2) Pengantar
yang berisi tujuan dan petunjuk pengisian angket, dan (3) Item-item pertanyaan, bisa juga opini
atau pendapat, dan fakta.
Kuesioner disusun dengan tujuan untuk menghimpun sejumlah informasi yang relevan dengan
keperluan bimbingan dan konseling. Data yang diperoleh, berfungsi untuk: (1) mengumpulkan
informasi sebagai bahan dasar dalam rangka penyusunan program, (2) untuk menjamin validitas
informasi yang diperoleh dengan metode lain, (3) evaluasi program BK, dan (4) untuk
mengambil sampling sikap atau pendapat dari responden.
Dilihat dari bentuknya kuesioner dan skala psikologis yang sama-sama tertulis, memang hampir
tidak ada perbedaan. Tetapi, jika dilihat dari segi aspek yang diungkap, atribut yang diukur, sifat
jawaban dan skoringnya bisa dipahami bahwa terdapa perbedaan yang mendasar antara
kuesioner dan skala psikologi. Secara lebih detail dijabarkan oleh Saifudin Azwar (2005:5)
sebagai berikut:
a. Data yang diungkap kuesioner berupa data factual atau yang dianggap fakta dan
kebenaran yang diketahui oleh subyek. Sedangkan data yang diungkap oleh skala
psikologis berupa konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek
kepribadian individu .
b. Pertanyaan dalam kuesioner berupa pertanyaan langsung yang terarah kepada informasi
mengenai data yang hendak diungkap, yaitu mengenai data atau opini berkenaan dengan
diri responden. Hal ini didasarkan asumsi bahwa, “responden adalah orang yang paling
mengetahui tentang dirinya sendiri”. Sedang pada skala, pertanyaan tertuju pada indikator
perilaku guna memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subyek
yang biasanya tidak disadari diri responden.
c. Responden pada kuesioner biasanya tahu persis apa yang ditanyakan dalam kuesioner
dan informasi apa yang dikehendaki. Sedang responden skala, meskipun ia memahami isi
pertanyaannya, biasanya mereka tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan
simpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan itu.
d. Jawaban terhadap kuesioner tidak bisa diberi skor melainkan diberi angka atau coding
sebagai identifikasi atau klarifikasi jawaban. Respon terhadap skala diberi skor melalui
proses penskalaan.
e. Satu kuesioner dapat menyimpan informasi mengenai banyak hal, sedang satu skala
hanya diperuntukkan guna mengungkap suatu atribut tunggal.
f. Data dari hasil kuesioner tidak perlu diuji lagi reliabilitasnya, hal ini mendasarkan pada
realitas bahwa pertanyaan kuesioner adalah pertanyaan langsung mengenai data yang
hendak diungkap dan jawabannya tidak bisa diberi skor, reliabilitas angket terletak pada
terpenuhinya asumsi bahwa responden akan menjawab dengan jujur apa adanya. Di sisi
lain, hasil ukur skala teruji secara psikolometris, karena relevansi isi dan konteks kalimat
yang digunakan sebgai stimulus.
g. Validitas kuesioner lebih ditentukan oleh kejelasan dan lingkup informasi yang hendak
diungkap, sedang validias skala psikologi lebih ditentukan oleh kejalasan konsep yang
hendak diukur oleh operasionalisasinya
Macam atau Jenis Kuesioner
Kuesioner dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: 1) berdasarkan bentuk pertanyaan atau
pernyataan, 2) berdasarkan respondennya, dan 3) berdasarkan strukturnya.
1. Berdasarkan bentuk pertanyaan atau pernyataan:
a. Kuesioner terbuka (open questionaire), merupakan bentuk kuesioner yang pertanyaan
atau pernyataannya memberi kebebasan kepada responden untuk memberi jawaban
dan pendpatnya sesuai dengan keinginan mereka.
Contoh: Apakah anda memiliki kebiasaan belajar setiap hari di rumah? Jelaskan
alasannya!
b. Kuesioner tertutup (closed questionaire), adalah kuesioner yang pertanyaan atau
pernyataannya tidak memberi kebebasan kepada responden untuk menjawabnya
sesuai pendapat dan keinginan mereka.
Contoh: Apakah anda memiliki kebiasaan belajar setiap hari di rumah?
a. Ya b. Tidak
c. Kuesioner semi terbuka (semi open questionaire), yaitu bentuk kuesioner yang
pertanyaan atau pernyataannya berbentuk tertutup tetapi diikuti pertanyaan terbuka.
Contoh: Apakah anda memiliki kebiasaan belajar setiap hari di rumah?
a. Ya b. Tidak
Jika ya atau tidak berikan alasan anda
2. Dilihat dari sumber datanya, kuesioner dapat dibedakan:
a. Kuesioner langsung, yaitu bila kuesioner itu langsung diberikan kepada responden
yang ingin diselidiki. Jawaban diperoleh dari sumber pertama tanpa menggunakan
perantara.
b. Kuesioner tidak langsung, yaitu bila kuesioner disampaikan kepada orang lain yang
diminta pendapat tentang kondisi orang lain. Jawaban tersebut diperoleh dengan
melalui perantara, sehingga jawabannya tidak dari sumber pertama.
Contoh: Apakah putra Ibu/Bapak memiliki kebiasaan belajar setiap hari di rumah?
a. Ya b. Tidak
3. Dilihat dari strukturnya, kuesioner dapat dibedakan menjadi:
a. Kuesioner berstruktur, yaitu angket yang bersifat tegas, konkret dengan pertanyaan
atau pernyataan yang terbatas dan menghendaki jawaban yang tegas dan terbatas
pula.
b. Kuesioner tidak berstruktur, dipergunakan apabila konselor menginginkan uraian
lengkap dari subjek tentang suatu hal, dimana diminta uraian terbuka dan panjang
lebar. Disampaikan dengan mengajuka pertanyaan bebas.
Tahap-tahap Penyusunan Item
Mc Millan (2001:258) menunjukkan tahap-tahap penyusunan kuesioner dalam diagram berikut:
1. Justification
Sebelum melangkah lebih jauh, peneliti perlu mempertimbangkan kelebihan dan
kelemahan teknik yang hendak digunakan, sebab tidak ada teknik pengumpulan data
yang paling sempurna, yang ada hanyalah sesuai atau tidak sesuai dengan variabel,
subjek, dan kondisi lingkungannya. Dalam keadaan tertentu bisa jadi peneliti
menggunakan instrumen yang telah ada. Namun demikian, perlu melakukan adaptasi,
karena bisa jadi seperangkat instrumen cocok untuk subjek tertentu ditempat tertentu, tapi
tidak cocok untuk subjek tertentu ditempat lain.
2. Menetapkan Tujuan
Pada tahap ini, peneliti menetapkan tujuan khusus yang ingin dicapai melalui kuesioner
tersebut. Tujuan tersebut hendaknya didasarkan pada problem riset atau pertanyaan-
pertanyaan yang hendak dijawab melalui penelitian. Dalam penetapan tujuan ini peneliti
seyogianya menentukan indikator-indikator yang lebih spesifik dari perilaku yang hendak
diukur.
3. Menulis Pertanyaan atau Pernyataan
Setelah peneliti menetapkan tujuan, hal yang segera dilakukan adalah menyusun
pertanyaan atau pernyataan. Agar peneliti bisa menyusun pertanyaan atau pernyataan
yang efektif, McMillan (2001:258) menunjukkan rambu-rambu yang perlu diperhatikan
berikut:
a. Tulislah item dengan jela; item dinilai jelas bila semua responden memiliki
interpretasi yang sama. Peneliti sebaiknya menghindari kalimat yang terlalu umum
Defining
Objective
Writer items Review item
Revision Pretest Construct
General Format
Justification
sehingga mengakibatkan responden kesulitan dalam menginterpretasikan isinya.
Misal “Apa pendapat anda tentang kurikulum baru”. Pertanyaan seperti ini akan
menimnulkan pertanyaan balik “kurikulum yang mana?”
b. Hindari penggunaan pertanyaan atau pernyataan yang memiliki makna ganda
(double-barreled question) yaitu pertanyaan atau pernyataan yang memiliku dua
makna lebih yang disusun dengan konsep tunggal.
c. Responden harus mengetahui jawaban dan memiliki kewenangan untuk menjawab;
hal ini dipandang penting agar responden memberikan jawaban yang benar-benar
sesuai kemampuannya.
d. Pertanyaan harus relevan. Jika responden harus memberi respon terhadap pertanyaan
atau pernyataan yang tidak penting bagi mereka, atau tentang suatu pemikiran yang
tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan atau tugas mereka, maka merekan akan
menjawab dengan sembarangan dan hasilnya bisa menyesatkan.
e. Item yang pendek dan simple adalah yang terbaik. Item yang terlalu panjang dan
kompleks harus dihindari, sebab lebih sulit dipahami atau bisa jadi responden tidak
ingin mencoba memahaminya.
f. Hendaknya penggunaan istilah yang maknanya bias.
4. Melihat kembali item-item yang telah disusun
Setelah menyusun item sebaiknya dilihat kembali apakah susunan kalimatnya sudah
benar, bisa dipahami responden, dan cetakannya sudah benar atau belum. Pada tahap ini,
Mc Millan (2001;260) menyarankan agar bertanya kepada teman, kolegadan orang-orang
ahli untuk melihat kembali item-item yang telah disusun dan problem yang mungkun
muncul.
5. Menyusun Format Keseluruhan
Secara umum kuesioner pada umumnya terdiri dari (1) pengantar, (2) identitas responden
(3) petunjuk cara memberikan respon terhadap item-item yang tersedia, (4) beberapa
petunjuk teknis yang lain. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Dalam menyusun pengantar sebaiknya dijelaskan tujuan kuesioner, respon yang
diharapkan, pemanfaatan data yang diperoleh, jaminan kerahasiaan dan tidak ada
pengaruh terhadap penilaian kinerja (bagi karyawan) dan nilai rapor (bagi siswa),
serta harapan agar responden memberikan respon sesuai keadaan sebenarnya.
b. Jika dipandang perlu, identitas responden seperti nama, alamat rumah, pendidikan
terakhir, jenis kelamin boleh ditanyakan. Tetapi, jika dalam proses analisis beberapa
identitas diri tidak diperlukan, maka lebih baik tidak ditanyakan. Cara ini dilakukan
hanya semata-mata untuk menjaga agar responden bisa memberikan jawaban
sewajarnya lantaran tidak harus menunjukkan identitas secara keseluruhan.
c. Petunjuk cara memberikan respon terhadap item-item yang tersedia agar responden
bisa memberikan jawaban dengan benar sesuai harapan. Sebab kesalahan dalam
meberikan respon bisa jadi kesalahan dalam memberikan jawaban.
d. Beberapa petunjuk teknis disarankan oleh Mc Millan (2001:266) yaitu (a) gunakan
tata bahasa, ejaan dan tanda baca yang benar, (b) jelas dan mudah, (c) singkat dan
mudah dipahami.
6. Setelah semuai bagian tersusun dengan baik, sebelum kuesioner diberikan kepada
responden yang sesungguhnya, sebaiknya peneliti melakukan pretest atau tryout
preliminer. Dimaksudkan untuk (1) menghindari pertanyaan-pertanyaan yang kurang
jelas maksudnya, (2) meniadakan kata-kata yang terlalu asing bagi responden, (3)
menghindari pertanyaan atau pernyataan yang biasa dilewati atau hanya menimbulkan
jawaban yang dangkal, (4) menambah item yang dipandang perlu atau menghilangkan
item yang kurang relevan dengan tujuan.
7. Atas hasil tryout kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan (revisi), dan jika masih
dipandang perlu tryout ulang hingga mencapai bentuk final.
Langkah Pengadministrasian
1. Persiapan
a. Menentukan kelompok responden yang akan diukur, apakah peserta didik, orang tua,
atau masyarakat umum.
b. Mempersiapkan kuesioner sesuai tujuan
c. Membuat satuan layanan asesmen
2. Pelaksanaan
a. Memberikan verbal setting (menjelaskan tujuan, manfaat, dan kerahasiaan data)
b. Membagikan angket
c. Menjelaskan kapan waktu pengisian angket
d. Mengumpulkan kembali angket setelah selesai diisi
3. Pengolahan dan Analisis Hasil
a. Memeriksa kelengkapan hasil kuesioner
b. Membuat tabulasi hasil dan melakukan analisis
Kelebihan dan kekurangan Kuesioner
Kuesioner memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan instrument non tes lainnya,
meliputi:
1. Angket merupakan metode yang prkatis karena dapat dipergunakan untuk mengumpulak
data kepada sejumalh responden dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat
2. Merupakan metode yang ekonomis, dari segi tenaga yang dibutuhkan, antara lain tidak
memerlukan kehadiran konselor
3. Setiap responden menerima sejumlah pertanyaan yang sama
4. Pada kuesioner tertutup, memudahkan tabulasi hasil bagi konselor
5. Pada angket terbuka, responden mempunyai kebebasan untuk memberikan keterangan
6. Responden mempunyai waktu cukup untuk menjawab pertanyaan
7. Pengaruh subjektif dapat dihindarkan
8. Pengisisan kuesioner dapat dibuat sinonim, sehingga responden jujur dan tidak malu-
malu menjawab.
Kelebihan kuesioner dapat diterangkan:
1. Responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada pertanyaan yang terlewati
tidak dijawab, padahal sukar diulangi untuk diberikan kepada responden
2. Sulit untuk mendapat jaminan bahwa responden akan memberikan jawaban yang tepat.
3. Penggunaannya terbatas hanya pada responden yang bisa membaca dan menulis
4. Pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner dapat saja ditafsirkan salah oleh responden
5. Sulit mendapat jaminan bahwa semua responden akan mengembalikan angket yang
diberikan.
Macam-macam penskalaan
Dengan skala pengukuran ini, maka nilai variabel yang diukur dengan instrumen tertentu
dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan lebih akurat, efisien dan komunikatif.
Berbagai skala yang dapat digunakan adalah:
1. Skala Likert
Digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok
orang tentang variabel penelitian. Jawaban dari skala Likert mempunyai gradasi dari
sangat positif sampai sangat negative, yang dapat berupa kata-kata seperti:
a. Sangat Setuju a. Selalu
b. Setuju b. Sering
c. Ragu-ragu c. Kadang-kadang
d. Tidak setuju d. Tidak pernah
e. Sangat tidak setuju
2. Skala Guttman
Skala pengukuran dengan tipe ini, akan didapat jawaban yang tegas yaitu: “ya-tidak”;
“benar-salah”; “setuju-tidak setuju”
3. Semantic Differensial
Tersusun dalam satu garis kontinum yang jawaban “sangat positif” terleta dibagian kanan
garis, dan jawaban yang “sangat negatif” terletak dibagian kiri garis ataupun sebaliknya.
Beri nilai gaya mengajar dosen X
Disiplin 5 4 3 2 1 Tidak disiplin
Menyenangkan 5 4 3 2 1 Membosankan
4. Rating Scale
Bila jawaban pada model ketiga skala di atas adalah kualitatif, dalam rating scale
jawaban yang tersedia bersifat kuantitatif. Alternatif jawaban pada setiap item telah diberi
penilaian dalam bentuk angka.
Contoh:
4 bila tata ruang sangat baik
3 bila tata ruang cukup baik
2 bila tata ruang kurang baik
1 bila tata ruang sangat tidak baik
Item pertanyaannya adalah tentang tata ruang kelas pascasarjana
Penataan meja dan kursi sesuai kebutuhan 4 3 2 1
Kebersihan ruangan 4 3 2 1
Fasilitas sarana dan prasana mendukung kegiatan kuliah 4 3 2 1
Pengujian Reliabilitas Instrumen
Merujuk pada konsistensi hasil perekaman data (pengukuran) kalau instrument itu
digunakan oleh orang atau sekelompok orang yang sama dalam waktu berlainan, atau
instrumen digunakan oleh orang yang berbeda dalam waktu sama. Karena hasilnya yang
konsisten itu maka instrumen dapat dipercaya (reliable) dan dapat diandalkan
(depandable).
Ada tiga cara untuk mengestimasi reliabilitas instrumen itu, yaitu:
1. Metode uji-ulang (test-retest method)
Pada metode uji-ulang seperangkat kuesioner diberikan kepada sekelompok subjek
dua kali, dengan selang waktu tertentu. Lalu skor pada perekaman data yang pertama
dan skor pada perekaman data yang kedua itu dikorelasikan. Angka korelasi itulah
yang merupakan koefisien reliabilitas rtt = rI II
2. Metode bentuk parallel (parallel-form method)
Pada metode ini disusun dua perangkat kuesioner yang paralel (kembar), akan tetapi
butir-butir indikatornya berbeda, misalnya kuesioner A dan kuesioner B. kedua
instrumen diberikan pada satu kelompok subjek dalam waktu berurutan. Skor pada
instrumen A dan B dikorelasikan. Koefisien korelasi itulah yang merupakan koefisien
reliabilitas rtt = rAB
3. Metode pengujian satu kali (single trial method)
Seperangkat kuesioner diberikan kepada sekelompok subjek satu kali, lalu dengan
cara tertentu diestimasi reliabilitas kuesioner tersebut. Dalam metode ini ada tujuh
macam cara, yaitu:
a. Metode belah dua (split-half method)
b. Metode Rulon
c. Flanangan
d. Metode KR20
e. Metode KR20
f. Metode analisis variansi
g. Metode alpha
Pengujian Validitas Instrumen
Validitas didefinisikan sejauh mana kuesioner mengukur atau merekam apa yang menjadi
tujuan. Ada tiga landasan untuk melihat, yaitu (1) didasarkan pada isinya, (2) disesuaikan
pada kesesuaiannya dengan konstruknya, (3) disesuaikan dengan kriteria.
a. Validitas Isi
Digunakan pada langkah telaah dan revisi butir pertanyaan atau pernyataan
berdasarkan pendapat professional atau orang ahli.
b. Validitas Konstruk
Ialah derajat dari kuesioner dalam mengukur konstruk yang diduga yaitu perilaku
yang tidak bisa diamati tetapi kita menduga ada. Validitas konstruk dibagi dengan
teknik (1) divergent and discriminant validation, dan (2) analisis faktor. Dalam
divergent and discriminant validation dengan menyiapkan lebih dari satu kuesioner
untuk merekam atau mengukur lebih dari satu sifat. Dasar pikiran metode ini adalah
hal-hal yang secara teoritis berdekatan harus tinggi korelasinya begitu juga yang jauh
korelasinya rendah.
Teknik analisis faktor didasarkan pada pemikiran bahwa perilaku individu sangat
beragam, tetapi perilaku yang sangat beragam itu diteorikan oleh sejumlah kecil
faktor saja. Faktor-faktor ini yang sering disebut dimensi atau komponen yang sudah
tercermin dalam spesifikasi instrumen pada awal pengembangan instrumen.
c. Validitas Kriteria
Observasi
Konsep Dasar
Seorang konselor, sebelum memberikan layanan bimbingan kepada konseli lazimnya melakukan
pengamatan terhadap individu yang hendak dibimbingnya. Mengenali secara baik dan tepat
terhadap individu adalah suatu tuntutan professional konselor. Dan salah satu cara untuk
memahami karakteristik individu adalah dengan observasi.
Hanna Djumahan (1983:202) memandang observasi sebagai metode ilmiah yang sampai saat ini
masih menduduki tempat utama dalam ilmu pengetahuan empiris. Demikian jua dalam psikologi,
Aiken (1997:279) memandang observasi sebagai salah satu metode pengukuran kepribadian dan
sekaligus metode riset. Khususnya bagi peneliti utamanya ilmuwan sosial. Termasuk didalamnya
adalah bimbingan dan konseling.
Gall dkk (2003:254) memandang observasi sebagai teknik pengumpulan data yang dilakukan
secara sistematis dan sengaja, melalui pengamatan dan gejala-gejala yang diselidiki. Sebagai
salah satu teknik nontes, pengamatan memiliki nilai: (a) memberikan infromasi yang tidak
mungkin didapatkan melalui teknik lain, (b) memberi tambahan informasi yang sudah didapat
melalui teknik lain, (c) dapat menjaring tingkah laku nyata bila sebelumnya tidak diketahui, (d)
pengamatan bersifat selektif, (e) pengamatan mendorong perkembangan subjek pengamatan.
Pengamatan untuk analisis individual, harus fokus pada satu orang. Bila kita secara intens
mengamati detail tingkah laku konseli mungkin agar berguna dalam konteks konseling. Dalam
melakukan pengamatan, konselor harus memiliki kriteria spesifik untuk melakukan observasi.
Kita melakukan observasi untuk suatu tujuan, oleh karena itu kita melihat karakteristik individu
untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini menjadi dasar untuk mengidentifikasi kriteria spesifik
yang akan mengarahkan pada kita apa yang akan diamati.
Selain itu, pengamatan harus dilakukan pada beberapa periode waktu. Walaupun tidak ada
ketepatan waktu khusus pada pelaksanaan observasi, akan tetapi semakin lama dan semakin
sering dilakukan, akan memantapkan reliabilitas hasil observasi. Selain itu, teknik ini perlu
dilakukan pada situasi berbeda dan natural karena tingkah laku yang alami atau apa adanya akan
tampil pada situasi alami. Pengamatan pada situasi berbeda, akan membantu kita mengetahui
bahwa beberapa tingkah laku akan terhambat atau terkondisi oleh situasi atau lingkungan
tertentu. Observasi juga harus dilakukan dalam konteks situasi keseluruhan. Saat observasi, tidak
boleh hanya fokus pada konseli dengan mengabaikan berbagai kondisi interkasi dan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi tingkah laku.
Data hasil observasi harus diintegrasikan dengan data lain. Hal yang penting saat menganalisis
adalah menyertakan semua data atau hal tentang konseli, karena kita harus melihat konselii
sebagai pribadi menyeluruh. Kegiatan observasi juga harus dilakukan pada kondisi baik.
Observer yang lelah, situasi yang tidak menguntungkan atau banyak gangguan akan
mempengaruhi hasil observasi. Termasuk perlu menghindari bias, karena jika individu
mengetahui bahwa ia sedang diamati, maka mungkin saja tingkah lakunya diatur.
Peran dan Fungsi Konselor
Pada saat proses pengamatan, konselor memiliki beberapa peran yang harus dilaksanakan,
sehingga proses observasi berlangsung lancara dalam suasana yang natural apa adanya sehingga
menghasilkan informasi yang lengkap, mendalam dan objektif. Beberapa peran diantaranya:
1. Persiapan, pada langkah ini konselor sebagai pengamat menetapkan tujuan observasi,
tingkah laku yang akan diamati, waktu dan tempat observasi, berapa kali observasi akan
dilakukan, dan mempersiapkan alat pencatat pengamatan yang akan digunakan. Pelibatan
beberapa pengamat dalam setiap pelaksanaan pengamatan dan banyaknya frekuensi
pelaksanaan observasi aka meningkatkan ketajaman, akurasi, dan objektifitas hasil
observasi. Untuk itu seluruh observer harus melakukan koordinasi dan diskusi agar setiap
observer memiliki kesamaan persepsi dan memperkecil bias hasil.
2. Pada saat pelaksanaan, perlu dipastikan kehadiran observer tidak diketahui subjek
pengamatan, agar natural, selain itu juga observer mampu memusatkan perhatian pada
selama proses pengamatan dan mampu mencatat dengan segera dan teliti pada saat
tingkah laku muncul.
3. Pencatatan hasil pengamatan, langkah ini dilakukan selama pengamatan berlangsung.
Untuk meudahkan observer, maka digunakan alat pencatat dan perekam gambar. Untuk
menjaga validitas hasil pengamatan, konselor tidak memasukkan pendapat, pandangan
dan penilaian apapun terhadap situasi dan tingkah laku yang diamati. Hasil pengamatan
perlu didokumentasikan untuk menjaga kerahasiaan dan data hanya akan digunakan
untuk kepentingan proses membantu peserta didik.
4. Penutup, pada tahap ini, konselor mengakhiri proses pengamatan, kemudian dilanjutkan
dengan diskusi untuk menyatukan dan menyimpulkan hasilnya. Hal ini untuk
menghindari lupa dan objektifitas. Selanjutnya menyususn laporan untuk
didokumentasikan.
Bentuk-bentuk Obsevrasi
Ada beberapa bentuk observasi yang lazim dilakukan oleh konselor, yaitu:
1. Dilihat dari keterlibatan subjek terhadap objek yang sedang diobservasi. Dibedakan
menjadi tiga macam:
a. Observasi Partisipan, yaitu bila pihak yang melakukan observasi turut serta
berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang dilakukanoleh subyke yang sedang
diobservasi. Observasi partisipan ini memeliki kelebihan, yaitu observe bisa jadi
tidak mengetahui bahwa mereka sedang diobservasi, sehingga perilaku yang nampak
diharapkan wajar atau tidak dibuat-buat. Di sisi lain, kelemahan observasi partisipan
berkaitan dengan kecermatan dalam melakukan pengamatan dan pencatatan. Sebab
ketika observer terlibat langsung dalam aktifitas yang sedang dilakukan observee,
memungkinkan observer tidak bisa melakukan pengamatan secara detail.
b. Observasi non-partisipan, yaitu bila observer tidak terlibat secara langsung atau tidak
berpartisipasi dalam aktifitas yang sedang dilakukan oleh observe. Kelebihan
observasi non-partisipan bisa melakukan pengamatan secara mendetail dan cermat
terhadap segala aktifitas observee. Sedangkan kelemahannya bila observee
mengetahui mereka sedang diamati, maka perilaku yang nampak dibuat-buat atau
tidak natural. Akibatnya observer tidak mendapatkan data asli.
c. Observasi kuasi-partisipan, yaitu bila observasi terlibat pada sebagian kegiatan yang
sedang dilakukan observee, sementara pada sebagian kegiatan yang lain observer
tidak melibatkan diri. Bentuk ini merupakan jalan tengah untuk mengatasi kelemahan
dan sekaligus memanfaatkan kelebihan dari kedua jenis observasi di atas.
2. Berdasarkan cara pengamatan dibagi menjadi:
a. Obervasi terstruktur, penelitian dilakukan dengan menggunakan kerangka rencana
terlebih dahulu, dimana sudah ditetapkan tujuan pengamatan, frekuensi, beserta
metode pengamatan. Pada pengamatan ini perilaku, gejala atau sifat-sifat oberservee
yang akan diamati telah ditentukan kategorinya, sehigga observer tinggal melakukan
pengecekan.
b. Observasi non sistematis, pada pengamatan ini tetap dilakukan perencanaan, hanya
saja materi atau fokus apa yang akan diamati belum dibatasi atau dikategorikan.
Sehingga gejala yang diamati geraknya lebih luas tidak terbatas pada hal-hal yang
dikategorikan. Jika pada observasi terstruktur pengamat tinggal memberika cek, pada
non istematis pengamat bisa mencatat hal-hal yang dianggap penting dan menonjol
selama proses observasi.
3. Berdasarkan pada situasi saat obervasi, yaitu:
a. Free situation, dilakukan pada situasi bebas, tidak dibatasi pada bagaimana jalannya
pengamatan dan dalam situas yang tidak terkontrol. Misalnya melakukan pengamatan
terhadap berbagai aktifitas peserta didik selama berada di sekolah.
b. Manipulated situation, pangamatan yang situasinya sengaja diadakan, memasukkan
berbagai faktor atau variabel kondisi yang diperlukan untuk memunculkan perilaku
yang diharapkan. Biasanya pengamatan ini lebih banyak dilakukan pada format
eksperimen.
c. Partially controlled situation observation, merupakan pencampuran antara free
situation dan manipulated situation. Sebagian situasi sengaja dikondisikan sehingga
sifatnya terkontrol dan sebagian lagi tetap dalam situasi bebas.
Alat Pencatat Observasi
Pada metode observasi, seroang pengamat dalam hal ini konselor memerlukan alat untuk
mencatat berbagai informasi hasil pengamatannya dengan cara yang tepat dan sistematis,
sehingga hasil yang diperoleh merupakan gambaran apa adanya, objektif sesuai dengan situasi
dan kondisi saat dilakukan pengamatan. Pada observasi ada beberapa alat pencatatan yaitu:
1. Catatan Anekdot
Dapat digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan tingkah laku atau ucapan
yang didengar dari individu atau kelompok yang diamati pada suatu konteks kejadian
dalam situasi seperti apa adanya. Kelebihan dari anekdot ini adalah:
a. Diperoleh deskripsi tingkah laku observe dalam berbagai situasi akan membantu
konselor dalam memahami idividualitas dengan lebih baik
b. Deskripsi akurat tentang tingkah laku observe menghindari konselor untuk
melakukan justifikasi atau generalisasi tanpa fakta atau data
c. Dengan melakukan deskripsi hasil catatan anekdot membuat guru lebih memahami
karakteristik peribadi siswanya.
Oleh karena itu, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan catatan anekdot
adalah:
a. Hasil pengamatan harus secara jelas dideskripsikan sesuai konteks kejadiannya secara
objektif.
b. Saat mendeskripsikan kejadian, perhatian dipusatkan pada tingkah laku atau ucapan
individu yang diamati, reaksi orang lain disekitarnya, dan konteks kejadiannya lebih
dari sekedar mendeskripsikan situasi kejadian tersebut. Selain itu perlu hindarkan diri
dari prasangka dan pendapat subjektif pribadi.
c. Batasi deskripsi tingkah laku pada kejadian tertentu saja, dengan tetap
memperhatikan detail penting.
d. Lakukan interpretasi dengan memfokuskan pada hal yang mengandung arti
psikologis.
e. Rekomendasi dibuat sesuai dengan hasil pengamatan dan pengetahuan kita. Isi
rekomendasi mengenai bentuk tindak lanjut yang perlu dilakukan untuk melihat
perkembangan tingkah laku pesrta didik yang diamati.
f. Cantumkan identitas pengamat dan subjek pengamatan
g. Pencatatan perlu dilakukan beberapa kali atau dilakukan beberapa pengamat pada
berbagai situasi dalam jangka waktu tertentu. Hal ini berguna bagi konselor untuk
mendapatkan gambaran menyeluruh sebagai dasar membuat interpretasi yang valid
tentang tingkah laku yang diamati.
2. Daftar cek
Bentuk lain mencatat hasil observasi dengan menggunakan daftar cek. Daftar cek berisi
daftar aspek-aspek yang mungkin terdapat pada situasi, tingkah laku, maupun kegiatan
individu yang menjadi pusat perhatian. Penyusunan alat ini direncanakan dengan
sistematis, dan sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Bentuknya berupa format yang
efisien dan efektif, dapat diperiksa validitas dan reliabilitasnya, bersifat kuantitatif, dan
hasilnya diolah sesuai tujuan. Pengamat memberikan tanda cek (V) pada pilihan tertentu
diruang yang disediakan.
Sutrisno Hadi (2004:152-152) memandang penggunaan skala penilaian sangat popular
karena penggunaannya sangat mudah, disisi lain pencatatannya lebih menunjukkan
keseragaman antara pencatat satu dengan lainnya, dan sangat sederhana untuk dianalisis
secara statistic. Hal ini sangat berbeda jika pencatatan itu dilakukan dengan pernyataan-
pernyataan deskriptif yang panjang, yang oleh observer kerapkali menggunakan gaya
penulisan yang amat beragam.
3. Skala penilaian
Merupakan metode yang mengandung penilaian dari observasi terhadap observe. Nilai
skala ini terletak pada kebermaknaan karakteristik-karakteristik yang akan dinilai.
Karakteristik tersebut dapat berupa tingkah laku maupun sikap yang ditunjukkan oleh
individu yang diamati. Penilaian yang diberikan dituangkan dalam bentuk penentuan
gradasi dari titik ekstrim paling tinggi. Sebelum melakukan pengamatan, konselor perlu
membuat terlebih dahulu format skala penilaian berisi dengan karakteristik tingkah laku
maupun sifat-sifat yang akan dinilai.
Penggunaan skala penilaian memiliki keuntungan, yaitu hasil pengamatan dapat
dikuantifikasi, beberapa observer dapat memberikan penilaian terhadap observee (peserta
didik) sehingga diperoleh kumpulan penilaian yang dapat dijadikan dasar untuk membuat
interpretasi mengenai gambaran menyeluruh pribadi yang terandalkan.
Penggunaan skala penilaian juga memiliki beberapa kelemahan bila observer membuat
generalisasi mengenai tingkah laku maupun sifat individu yang diamati karena beberapa
kondisi yaitu: sering bergaul akrab, memiliki prsangka, memiliki hallo effect dimana
pengamat terpengaruh oleh kesan penampilan awal dari individu yang diamati,
ketidakpahaman observer terhadap butir pernyataan yang disediakan, ataupun karena
pengamat tidak berani memberikan penilaian secara tegas “sangat baik” atau “sangat
kurang” sehingga cenderung menilai “cukup”, beberapa kecenderungan ini akan
menyebabkan terjadinya bias pribadi.
Untuk menghindari bias, maka saat membuat dan menggunakan skala penilaian, perlu
memperhatikan beberapa hal berikut ini:
a. Karakteristik tingkah laku maupun sifat perlu ditetapkan secara jelas.
b. Karakteristik yang ditetapkan harus dapat diamati dan menggambarkan keseluruhan
karakteristik individu yang diamati.
c. Tingkat penilaian karakteristik harus ditetapkan dengan gradasi atau interval
kuantitatif maupun kualitatif yang jelas mulai dari yang paling rendah sampai yang
paling tinggi.
d. Mencantumkan pedoman pengisian dengan jelas
e. Penggunaan skala penilaian perlu bekerja sama dengan sejawat konselor maupun
guru mata pelajaran, agar hasil pengamatan dapat memiliki objektifitas dan
keterandalan yang baik.
f. Guru yang akan dilibatkan pada proses pengamatan perlu memiliki pemahaman yang
benar tentang tujuan, isi pernyataan, gradasi/interval penilaian dalam format skala dan
cara menggunakannya, serta memiliki keberanian untuk memberikan penilaian secara
tegas.
Format skala penilaian memiliki beberapa tipe, antara lain:
a. Skala penilaian numeric, menggunakan gradasi skor angka mulai dari paling rendah
sampai yang paling tinggi. Skala angket yang digunakan dapat memiliki rentang lima
sampai tujuh, yang diikuti dengan penjelasan singkat tentang tingkatan penilaian
tingkah laku atau sifat yang akan diamati.
b. Skala penilaian grafis, merupakan format skala yang menggunakan suatu garis
kontinum. Dimana titik gradasi ditunjukkan pada garis dengan menyajikan rangkaian
deskripsi singkat di bawah garisnya. Observer memberi tanda silang (X) pada garis
yang sesuai dengan gradasi/interval yang dipilih.
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum dan selama melakukan observasi
Meng-observasi aktifitas manusia tidak sederhana mengobservasi benda-benda mati atau
binatang yang tidak memiliki pikiran dan perasaan. Hal ini sangat berbeda observasi
dengan manusia, sebab kondisi internal dan eksternal sangat berpengaruh terhadap
gejala-gejala (perilaku) yang muncul. Hanna Djumhana (1983:202) mengingatkan bahwa
mengadakan observasi yang cermat dan kemudian mengambil kesimpulan yang tepat
bukanlah hal yang mudah, sebab observer hanya mampu membaca perilaku yang
teramati, sedang apa yang dihayati dan dipikirkan seorang ketika melakukan aktivitas
tertentu tidak bisa diduga dan disimpulkan.
Mc.Millan dan Schumacher (2001:274) mengatakan agar sebelum dan selama observasi,
observer selalu memperhatikan hal-hal yang selanjutnya dikelompokkan menjadi:
1. Hal-hal yang berkaitan dengan tujuan dan variabel penelitian
a. Tujuan observasi, pahami lebih dahulu tujuan umum maupun tujuan khusus
observasi. Dengan memahami dan memperhatikan tujuan observasi diharapkan
observer tidak mudah tertarik kepada gejala-gejala yang sebenarnya tidak ada
kaitanyya dengan tujuan observasi.
b. Fokus (materi) observasi, apa sebenarnya yang hendak diobservasisebaiknya
sudah dikuasai dengan baik oleh observer sebelum melakukan observasi.
c. Variabel-variabel observasi, variabel-variabel yang akan disusun adalah yang
merupakan bagian-bagian penting dan pasti ada pada hal-hal yang akan
diobservasi.
d. Sub variabel, terkadang suatu objek bukan hanya terdiri dari satu variabel saja,
tetapi terdiri dari sub-sub variabel. Oleh karena itu seorang observer yang baik
tentu tidak cukup bila hanya mengobservasi salah satu sub variabel kemudian
hasilnya disimpulkan seolah-olah seluruh variabel.
e. Indikator, dimaknai sebagai ciri-ciri atau karakteristik yang ada pada variabel atau
sub variabel.
2. Hal-hal yang berkaitan dengan teknik pelaksanaan
a. Penggunaan metode pelengkap, perlu diingat bahwa perilaku manusia bukan
sekedar apa yang bisa diamati, tetapi lebih dari itu adalah motiv-motiv yang
mendorong munculnya tingkah laku, sebab bisa jadi perilaku yang muncul sama
tetapi perilaku yang mendasarinya berbeda. Oleh karena itu, sebaiknya observasi
dilengkapi dengan teknik lain seperti wawancara, studi documenter dll.
b. Pengklasifikasian gejala, mengingat data yang diperoleh dari kegiatan observasi
sangat banyak, observer sebaiknya melakukan pengklasifikasian gejala guna
memudahkan analisis. Pengklasifikasian akan lebih baik jika mendasarkan pada
variabel dan atau sub variabel yang telah disusun.
c. Pemanfaat alat pencatat data
d. Menjaga hubungan baik dengan observee
e. Libatkan beberapa orang observer, untuk menjaga objektifitas hasil pengamatan
lebih baik pengamatan tidak hanya dilakukan satu orang.
Menyusun Pedoman Observasi
Agar observasi dilakukan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan sesuai aspek-aspek
yang hendak diungkap, maka observer seyogianya menyusun pedoman observasi yang dijadikan
pegangan.
Dilihat dari prosedurnya, penyusunan pedoman observasi bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu
(1) bertolak dari pemikiran rasional atau mendasarkan pengalaman, yaitu penyusunan pedoman
observasi yang dilakukan dengan melihat aspek yang hendak diobservasi mendasarkan
pemikiran rasional, dan (2) bertolak dari konsep atau konstruk yang dipandang telah mapan.
Contoh penyusunan pedoman panduan observasi
Kelebihan dan kelemahan Observasi
PROSEDUR PENYUSUNAN PANDUAN OBSERVASI BERDASARKAN KONSEP
PENYUSUNAN KISI-KISI PANDUAN OBSERVASI BERDASARKAN PEMIKIRAN RASIONAL
ATAU PENGALAMAN
1. Tujuan Observasi : Mengetahui apa sebenarnya yang dilakukan oleh konselor sekolah dalam
melaksanakan tugas sehari-hari
2. Rasional-nya : Melaksanakan tugas sehari-hari berarti melaksanakan tugas sebagai
konselor sekolah sejak pukul 07.00 (bahkan sebelumnya) hingga pelajaran
usai (mungkin pukul 13.00 atau bahkan ada yang pukul 16.00)
3. Aplikasinya dalam observasi kurang lebih mencakup:
a. Kehadiran di sekolah (waktu dan tampilan)
b. Hal-hal yang dilakukan konselor pada waktu:
1. Sebelum pukul 07.00
2. Selama pelajaran berlangsung
3. Pada saat istirahat
4. Setelah pelajaran berakhir
c. Hal-hal yang dilakukan konselor ketika menghadapi:
1. Ketika ada siswa yang bermasalah guru
2. Ketika ada siswa yang melanggar tata tertib sekolah
3. Ketika ada siswa yang bermasalah sosial
4. Ketika ada siswa yang bermasalah dengan pelajaran
Pastikan pada
aspek yang hendak
diobservasi
Manfaatkan
pemahaman budaya &
nilai-nilai responden utk
anaiisis
Jabarkan menjadi
item-item
observasi
Cari penjelasan konsep,
variabel & sub variabel
atau indikator
Tentukan tujuan
observasi
Baca Literatur
Kelebihan
Pedoman untuk analisis selama dan setelah observasi
Gibson (1995:263) menyarankan agar dalam melakukan analisis selama dan setelah observasi
memperhatika pada hal-hal berikut ini:
1. Mengamati satu klien dalam satu waktu. Observasi untuk analisis individu sebaiknya
difokuskan pada individu tersebut. Utamanya terhadap perilaku klien secara detail yang
mungkin berguna dalam konseling.
2. Ada kriteria yang spesifik untuk melakukan observasi. Konselor hendaknya selalu ingat
observasi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh sebab itu, ketika
melakukan analisis hendaknya difokuskan pada elemen-elemen yang berkaitan dengan
tujuan.
3. Observasi seharusnya dilakukan tanpa batas waktu. Terlebih dalam bidang pendidikan,
observasi dalam rangka konseling sebaiknya tidak hanya dibatasi pada waktu tertentu
saja, tetapi dilakukan setiap saat selama masih bisa. Hal ini dapat memberikan manfaat
untuk validasi dan evaluasi.
4. Konseli seharusnya diamati dalam situasi yang natural dan berbeda. Sangat membantu
dalam penyimpulan apakah karakteristik tersebut konsisten atau tidak.
5. Mengamati konseli dalam konteks semua situasi atau situasi total. Sangatlah penting
menghindari pendekatan “tunnel vision”, dimana kita hany bermaksud mengamati klien
secara visual atau sebatas yang tampak mata. Tetapi observasi sebaiknya dengan melihat
faktor-faktor yang mendorong munculnya tingkah laku tersebut, sehingga bisa memberi
makna lebih.
6. Data dari observasi seharusnya digabungkan dengan data lain. Semua kesan yang
didapatkan dari observasi harus dipadukan dengan informasi dari pengumpalan data yang
lain.
7. Pbesrvasi seharusnya dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan.
Kelebihan
1. Dapat memberikan informasi lebih tentang berbagai macam gejala atau tingkah laku
observee yang tidak didapatkan melalui teknik lain
2. Pengamatan bersifat selektif
3. Bagi observer, teknik pengmatan lebih sedikit tuntutannya.
Kelemahan
1. Pengamatan tidak dapat dilakukan terhadap beberapa situasi atau beberapa peserta didik
secara sekaligus.
2. Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dan ketepatan hasil, pengamatan perlu
dilakukan beberapa kali sehingga memerlukan waktu yang panjang
3. Observee bisa memunculkn respon yang dibuat-buat jika mengetahui bahwa dirinya
sedang diamati.
4. Ada kecenderungan pada manusia dalam menilai sesuatu hanya mendasarkan ciri-ciri
yang menonjol.
Wawancara
Konsep Dasar
Pemahaman konsep dasar wawancara meliputi pengertian, fungsi dan manfaat penggunaan
wawancara dalam bimbingan dan konseling. Pada pelayanan bimbingan dan konseling salah satu
metode yang paling banyak digunakan adalah wawancara, yang merupakan teknik pengumpulan
data dengan cara berkomunikasi, bertatap muka yang disengaja, terencana dan sistematis antara
pewawancara (interviewer) dengan individu yang diwawancarai (interviewee). Proses
wawancara pada awalnya hanya dapat dilakukan melalui tatap muka, tetapi sejalan dengan
perkembangan teknologi komunikasi, proses wawancara dapat dilakukan melalui jarak jauh,
seperti melalui tele-conference, telepon atau menggunakan telepon seluler. Proses wawancara
dalam pelayanan bimbingan dan konseling memiliki fungsi untuk memahmi berbagai potensi,
sikap, pikiran, perasaan, pengalaman, harapan dan masalah peserta didik, serta memahami
potensi dan kondisi lingkungannya baik lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan
kerjanya secara mendalam.
Penggunaan asesmen wawancara dalam pelayanan bimbingan dan konseling memiliki beberapa
manfaat, selain mampu memperoleh informasi secara mendalam, sekaligu dapat menciptakan
rapport yang baik, meningkatkan intensitas hubungan antara konselor dan peserta didik,
mendorong pengembangan kemampuan peserta didik untuk membuka diri, meningkatkan
pemahaman antara konselor-peserta didik, mengembangkan kemampuan konselor dalam
menerima peserta didik, mengembangkan kepercayaan pada relasi konselor-peserta didik.
Melalui wawancara, konselor juga dapat melakukan asesmen lingkungan. Antara lain dapat
digunakan untuk mengidentifikasi struktur program bimbingan dan konseling, meliputi siapa saja
yang melaksanakan program; apakah konselor yang berserfitikat, guru mata pelajaran, orang tua
dan stake holder lainnya; apa kompetensi yang diharapkan dimiliki peserta didik setelah
mendapat layanan bimbingan dan konseling; siapa saja target dari program; bagaimana program
tersebut diorganisasi.
Fungsi dan Peran Konselor
Pada saat proses wawancara mulai dari pembukaan, kegiatan inti wawancara sampai dengan
penutupan wawancara, konselor memiliki beberapa peran yang harus dilaksanakan,sehingga
proses wawancara berlangsung lancar dalam suasana yang berlangsung akrab, terbuka, penuh
kepercayaan, dan menyenangkan sehingga menghasilkan infromasi yang lengkap, mendalan, dan
objektif. Beberapa peran yang harus dimainkan konselor dapat dilihat pada paparan berikut:
1. Pembukaan, pada langkah ini konselor sebagai pewawancara menciptakan hubungan
yang baik dan menjelaskan tujuan dari kegiatan wawancara, berapa lama waktu
wawancara agar peserta didik sebagai interviewee bersedia bekerjasama.
2. Inti wawancara, pada bagian ini merupakan saat pewawancara mendapatkan informasi
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Untuk itu, waktu wawancara berlangsung
sebaiknya konselor sebagai pewawancara menunjukkan sikap yang ramah, dan perhatian
yang cukup besar terhadap interviewee, serta menghindari ada waktu diam terlalu lama,
karena akan mematikan suasana wawancara. Dengan demikian, peserta didik sebagai
interviewee akan dengan bebas dan terbuka memberikan berbagai informasi. Pertanyaan
diajukan dengan hati-hati, teliti dan menggunakan kalimat yang jelas dengan
menggunakan bahasa yang dipahami interviewee. Selain itu, agar pembicaraan tetap
terarah pada tujuan yang ingin dicapai, maka pedoman wawancara harus telah disiapkan
sebelumnya, walaupun demikian konselor harus tetap mampu memperluas dan
memperdalam pertanyaan yang saling berhubungan.
3. Pencatatan hasil wawancara, langkah ini dilakukan setelah wawancara berlangsung.
Untuk memudahkan pewawancara, maka dapat digunakan alat bantu perekam. Apabila
dicatat, maka pencatatan hasil wawancara harus lengkap dan detail. Sebaliknya sebelum
dilakukan perekaman atau pencatatan dikomunikasikan terlebih dahulu kepada peserta
didik bahwa seluruh hasil wawancara perlu didokumentasikan untuk menjaga validitas
informasi dan data hanya akan digunakan untuk kepentingan proses membantu peserta
didik.
4. Penutup, pada tahap ini, konselor sebagai pewawancara mengakhiri proses wawancara,
menyimpulkan hasil wawancar untuk kemudian dibuat laporan. Apabila masih diperlukan
wawancara berikutnya, konselor bersama peserta didik membuat kesepakatan tentang
waktu dan tempat wawancara yang akan datang.
Konselor apabila ingin menjadi pewawancara yang baik perlu menunjukkan beberapa
perilaku sebagai representasi memiliki ketrampilan komunikasi yang memadai, yaitu
memiliki pengetahuan yang luas tentang apa yang akan diwawancara, menunjukkan minat
sungguh-sungguh pada orang lain;berupaya untuk menunjukkan pengertian, simpati, dan
empati terhadap interviewee; melakukan kontak mata saat wawancara, bersikap terbuka,
ramah, penuh perhatian, tidak menghakimi, tidak menggurui; mampu menggali informasi
sesuai tujuan; mampu melakukan klarifikasi, mampu mengarahkan wawancara sesuai tujuan,
memiliki pengalaman hidup luas dan pengamatan yang tajam; cepat beradaptasi dengan
situasi atau lingkungan; serta mampu menciptakan situasi menyenangkan pada saar
wawancara berlangsung dan saat mengakhiri wawancara.
Kategori-Kategori Pernyataan
Dalam interviu, reaksi-reaksi interviewer baik berupa pernyataan, pertanyaan atau jawaban
interviewer digolongkan kedalam beberapa kategori berikut.
1. E-ex : eksplorasi di luar kader referensi subyek, yaitu interviewer menanyakan hal-hal
baru yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan apa yang dikatakan interviewee.
Interviewer bertanya tanpa memperhitungkan jalan pikiran interviewee.
Contoh : Interviewee : “Saya sangat senang melihat film-film Kungfu”
Interviewee : “Siapa teman akrab anda di sekolah?”
2. E-in : Eksplorasi di dalam kader referensi subyek Interviewer menanyakan lebih lanjut
atau meminta interviewee untuk memberikan penjelasan tentang hal-hal yang kurang
jelas atau membingungkan.
Contoh : Interviewee : “Saya senang menonton film-film detektif”
Interviewer : “Bisa anda terangkan lebih lanjut?”
3. Ev (Evaluasi dan Penilaian)
Pernyataan interviewer bersifat menilai pendapat interviewee. Interviewer memberikan
penilaian terhadap tingkah laku, pernyataan atau situasi dari interviewee. Sikap penilaian
ini tampak dari keraguan terhadap kebenaran pendapat atau tingkah laku interviewee.
Contoh : Interviewee : “Film-film TV yang bagus hanya diputar pada malam hari”
Interviewer : “Benar begitu? Sore hari juga banyak yang bagus.”
4. A (Asumsi)
Pra anggapan atau pra duga dan pernyataan yang mendahului (antisipasi). Interviewer
menyimpulkan sesuatu tanpa membuktikan kebenarannya terlebih dahulu, dengan kata
lain interviewer terlalu cepat menarik kesimpulan.
Contoh : Interviewee : “Saya senang makan buah-buahan yang lunak”
Interviewer : “Jadi, papaya yang paling sering anda makan”
5. O (Ordering)
Perangkuman atau pengaturan bahan-bahan yang dikemukakan dalam wawancara.
Interviewer mengatur atau menyimpulkan bahan-bahan yang dikemukakan oleh
interviewee. Ada 3 macam respon interviewer yang bisa diskor dengan 0:
a. Echo Response
Interviewer mengulang apa yang dikatakan oleh interviewee dengan kata-kata yang
kurang lebih sama, dengan demikian tidak ditambahkan aksen baru.
b. Content Response
Interviewer menerangkan atau menyimpulkan dengan kata-kata baru apa yang
dikemukakan oleh interviewee. Disini terdapat aksen baru tetapi tidak mencakup
unsur perasaan di balik perkataan-perkataan interviewee. Content-response lebih
menyangkut unsur inti pernyataan.
c. Feeling Response
Interviewer mengekspresikan perasaan-perasaan interviewee yang tidak disebut
secara eksplisit tetapi tercermin dalam kata-kata atau kelakuan klien.
Contoh:
Intverviewee : “Di toko-toko serba ada barang-barang ditempatkan begitu
menarik sehingga mau tak mau saya harus membelinya”
Interviewer1 : “Menurut anda toko-toko serba ada menempatkan barang-
barangnya begitu menarik sehingga mau tak mau anda harus
membelinya” (Echo response)
Interviewer 2 : “Toko serba ada mengatur barang-barangnya secara baik”
(Content-response)
Interviewer 3 : Anda mempunyai perasaan seolah-olah terpaksa membeli barang
di toko serba ada” (Feeling response)
Supaya ordering dapat berfungsi sebagai penguat (reinforser) maka sebaiknya perangkuman
diberikan dengan menggunakan kata-kata baru (fresh words) dan pada akhir perangkuman suara
harus naik ke atas (evokatif).
O (perangkuman) yang baik akan sangat memberikan hasil karena ini merupakan bukti bahwa
interviewer memberikan informasi yang dikemukakan interviewee dan bahwa interviewer
menaruh perhatian pada interviewee. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya produksi verbal
pada interviewee.
6. I (informasi)
Interviewer memberikan informasi kepada interviewee, hal ini bisa terjadi karena
interviewer ingin supaya subyek memperhatikan suatu hal tertentu, atau mungkin sebagai
jawaban atas pertanyaan interviewee. Informasi hanya adekuat bila diberikan dalam
introduksi.
7. S (sisipan)
Reaksi interviewer berupa “sisipan” dalam pembicaraan interviewee. Misalnya: “Hmm”
“Ya”
8. F (formal)
Pernyataan-pernyataan formal yang diucapkan oleh interviewer. Misalnya: “Selamat
pagi” “Terima kasih”
9. Adv (Advis)
Interviewer memberikan nasihat kepada interviewee, dengan kata lain interviewer
bersikap direktif dan menentukan apa yang harus dilakukan interviewee.
Contoh :
Interviewer: “Anda harus pindah dari rumah anda, tidak mungkin anda lebih lama tinggal
disitu”
10. M (menenteramkan) G (Geruststellen)
Ucapan-ucapan interviewer yang dimaksudkan untuk menenteramkan interviewee.
Contoh :
Interviewer : “Mempunyai perasaan erotic semacam itu memang sangat normal. Anda
tak
usah malu karena anda tertarik dengan lawan jenis”
Model-model Interviu
Murad, J (1983:81) menunjukkan ada beberapa model interviu, yaitu:
1. Interviu sikap bebas adalah suatu cara untuk mendapatkan infromasi mengenai
pendapat seseorang dengan cara non-direktif. Dalam penggunaan model ini
interviewer membatasi diri hanya pada memberikan perangkuman (samenatting) dan
kata-kata sisipan, ia hanya menanyakan lebih lanjut bila ada informasi yang
dipandang kurang jelas.
Dalam model ini, interviewee yang memilih topic pembicaraan dan menentukan
jalannya interviu. Dalam interviu sikap (attitude interview), yang ingin diketahui
adalah pendapat / sikap interviewee. Interviewee mempunyai kebebasan untuk
menentukan jalannya interviu. Reaksi-reaksi interviewer sesudah pertanyaan mula
hanya berupa perangkuman, menanyakan lebih jauh, atau mengucapkan kata-kata
sisipan.
Murad (1983:80) mencatat bahwa interviu bebas ini muncul tahun 1929 di
lingkungan psikologi perusahaan ketika Hawthorne menggunakan metode ini dalam
penelitiannya. Karena sifat pertanyaannya yang seringkali sugestif, tidak banyak
informasi yang didapatkan dengan cara ini. Meskipun demikian, pada tahun 1941
Rogers mengangkat kembali metode ini, menurut Rogers perasaan yang ada dibalik
pernyataan responden (interviewee) itu perlu diverbalisir.
Cara Memulai Interviu Sikap Bebas
Interviu dimulai dengan cara “Mengenalkan jati diri interviewer, darimana dia
berasal, dan informasi apa yang diharapkan dari interviewee” misal:
“Saya datang dari lembaga….., kami sedang melakukan penelitian berkenaan dengan
pendapat guru…., tentang sertifikasi guru yang akhir-akhir ini digalakkan oleh
pemerintah. Bagaimana pendapt saudara tentang masalah tersebut”
Pembukaan seperti yang dicontohkan di atas, diharapkan bisa mencegah terjadinya
bias. Pertanyaan pertama haruslah mempunyai satu arti (mono-interpretation), tidak
ada interpretasi lain. Di bawah ini adalah contoh pertanyaan yang bisa mengundang
banyak interpretasi:
“Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang….”
2. Interviu (Percakapan) konseling
Interviu konseling lazim digunakan manakala seorang konseli minta bantuan kepada
konselor dalam pemecahan masalah yang sedang dihadapinya. Secara garis besar
terdapat dua bentuk interviu konseling, yaitu model direktif (diagnosis-resep) dan
model non-direktif. Kedua model tersebut dijelaskan berikut:
a. Model Direktif (Diagnosis-Resep)
Pada model ini, interviewer menanyakan segala sesuatu yang diduga menjadi
sumber masalah yang dihadapi konseli. Berdasarkan hasil wawancara itu
kemudian konselor membuat diagnosis yaitu berupa penetapan penyebab masalah
yang dihadapi konseli. Mendasarkan diagnosis itu kemudian konselor memberi
resep berupa nasihat yang perlu dilakukan konseli agar masalah yang dihadapinya
bisa terselesaikan dengan baik. Pada model ini, intervewer bersifat aktif
memimpin percakapan atau lebih bersifat direktif. Karean konselor yang justru
lebih aktif sementara konseli pasif, akibatnya konseli justru menjadi lebih
tergantung pada konselor. Padahal seharusnya konseli sendiri yang seharusnya
lebih banyak mengambil inisiatif, sedang konselor lebih banyak memberikan
alternative-alternatif, dukungan dan atau penguatan terhadap langkah-langkah
positif yang dipilih konseli.
Meskipun terdapat kelemahan pada interviu model ini yaitu konseli menjadi
tergantung, dan kadang nasihat konselor tidak dilaksanakan; tetapi bagi konseli
usia anak-anak atau individu yang kurang cerdas, interviu konseling model ini
masih bisa digunakan.
b. Model non-direktif
Interviu model ini didasarkan pada asumsi bahwa individu memiliki potensi untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri, dan ia sendiri yang harus menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapi. Fungsi interviewer, sekedar membantu
interviewee mengeksplorasikan perasaan-perasaan dan motiv-motiv yang
sementara masih terpendam, kemudian membantu interviewee menemukan jalan
keluar dari persolan yang sedang dihadapinya.
Dalam model non-direktif ini, kategori pernyataan yang banyak digunakan adalah
oredering dalam bentuk refleksi perasaan dan evaluasi. Refeleksi bukanlah
pernyataan absolut, tetapi merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa
interviewer memahami interviewee.
Syarat-syarat Interviewer yang baik
Murad (1983) dan Gall, M.D (2003:245) menunjukkan beberapa syarat interviewer yang baik,
dijelaskan sebagai berikut:
1. Mampu menjaga hubungan baik dengan interviewee
2. Hendaknya ia mempunyai minat yang sungguh-sungguh terhadap orang lain.
3. Mempunyai pengertian, simpati dan empati terhadap interviewee.
4. Mempunyai pengalaman hidup dan daya observasi yang taja, seyogianya ia tidak
terkurung hanya dalam satu lingkungan saja.
5. Mudah menyesuaikan diri dengan situasi sosial.
6. Memahami dan mampu menggunakan pedoman wawancara dengan baik.
7. Memahami tujuan akhir yang hendak dicapai melalui interviu.
8. Mampu memanfaatkan alat-alat bantu (tape recorder dan alat-alat pencatat data dengan
baik)
Sumber-sumber kesalahan dalam melaporkan hasil Interviu
Sutrisno Hadi (2004, II:212) menunjukkan beberapa sumber kesalahan dalam melaporkan hasil
interviu, yaitu:
1. Eror of recognition, yaitu kesalahan yang bersumber dari ingatan interviewer yang tidak
dapat bekerja sebagaimana mestinya. Akibatnya, interviewer tidak mampu mengingat
kembali informasi yang disampaikan oleh interviewee. Hal ini bisa terjadi karena (a)
jangka waktu antara pelaksanaan interviewee dengan pencatatan terlalu lama, (b)
interviewer memandang kurang penting terhadap informasi-informasi yang semestinya
penting, dan (c) terlalu dikuasi oleh keinginan. Untuk mengatasi masalah ini, disarankan
interviewer memanfaatkan alat-alat bantu seperti tape recorder, camera video, atau
memanfaatkan handphone.
2. Error of omission, yaitu kesalahan yang bersumber dari kelalaian tidak mencantumkan
atau melaporkan sesuatu yang seharusnya dilaporkan. Sutrisno Hadi (2004, II:212)
menunjukkan bahwa hampir semua laporan interviu mengalami error ini, paling sedikit
terjadi pada interviu yang dicatat dengan alat-alat elektronik, lebih banyak kesalahan
terjadi pada pencatatan dengan kode-kode, lebih banyak lagi pada interviu yang dicatat
manual.
3. Error of addition, yaitu kesalahan yang terjadi karena penulisan laporan melebih-lebihkan
jawaban interviewee.
4. Error of substitution, yaitu kesalahan yang bersumber dari penggantian, kesalahan ini
terjadi karena pelapor tidak bisa mengingat-ingat dengan benar apa yang dikatakanoleh
interviewee kemudian dia mengganti dengan kata-kata lain yang maknanya berbeda
dengan apa yang dimaksud oleh interviewee.
5. Error of transpotition, yaitu kesalahan yang terjadi karena interviewer tidak mampu
memproduksi sistematika atau urutan kejadian menurut waktu dan atau hubungan antar
fakta seperti apa adanya.
Langkah Pengadministrasian
Sutrisno Hadi (2004, II:201) memandanga bahwa pedoman wawancara kadang-kadang perlu
dihapal di luar kepala, meskipun dalam beberapa hal peneliti bisa saja melihat pedoman itu
setiap saat. Pedoman wawancara ini lazimnya berisi catatan dalam bentuk garis besar dan singkat
tentang apa-apa yang ditanyakan. Sedang materi pernyataan sangat tergantung pada fungsi
interviu itu digunakan, sebagai metode primer, metode pelengkap, atau sebagai kriterium.
Dalam kedudukannya sebagai metode primer, pedoman wawancara tentu berisi semua
permasalahan pokok yang hendak dicari informasinya. Jika posisinya sebagai metode pelengkap,
maka pedoman itu tentu disesuaikan dengan rencana keseluruhan, data-data mana yang akan
digali dengan metode lain dan metode interviu. Sedang jika posisinya sebagai kriterium yaitu
menguji kebenaran dan kemantapan data yang telah diperoleh dengan cara lain maka pedoman
wawancara biasanya berisi hal-hal atau data-data yang masih diragukan atau perlu digali lebih
dalam.
Adapun secara umum langkah dalam pengadministrasian interviu meliputi penyusunan pedoman
interviu, pelaksanaan, dan melakukan hasil analisis interviu.
a. Penyusunan Pedoman Interviu
Sebelum melakukan wawancara, guru BK atau konselor perlu merancangan pedoman
agar proses wawancara tetap terarah dan data yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai. Langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan tujuan wawancara
2. Menetapkan bentuk pernyataan sesuai tujuan
3. Merumuskan butir pertanyaan dengan bahasa yang dipahami interviewee
4. Pertanyaan harus fokus, sehingga interviewee akan menjawab sesuai dengan yang
dibutuhkan
5. Rumusan pertanyaan jangan memiliki makna ganda
6. Rumusan pertanyaan harus netral, tidak mengandung stereotip, SARA, sugestif, atau
menghakimi interviewee
b. Langkah-langkah pelaksanaan wawancara
Pada saat konselor akan melakukan wawancara, perlu memperhatikan beberapa hal
berikut
1. Menetapkan interviewee yang memiliki informasi
2. Menetapkan jadwal dan tempat wawancara
3. Menetapkan jumlah individu yang akan diwawancara
4. Menghubungi interviewee
5. Melaksanakan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah
dibuat sebelumnya
6. Melakukan verbal setting diawal wawancara berisi penyampaian tujuan,
menyampaikan informasi apa yang dibutuhkan, berapa lama wawancara akan
berlangsung, dan jaminan akan kerahasiaan.
7. Selama proses wawancara, konselor harus melakukan attending skill, mampu
bertanya dengan baik, mampu mendengar aktif dan mampu mencatat hasil
wawancara dengan lengkap.
8. Menutup wawancara dengan membuat kesimpulan hasil wawancara dan
mengakhirinya dengan situasi menyenangkan.
c. Analisis hasil wawancara
1. Hasil pencatatan atau perekaman proses wawancara, diketik dalam bentuk verbatim
(dialog tanya jawab antara konselor-peserta didik sebagaimana adanya)
2. Mengidentifikasi dan mengelompokkan jawaban sesuai dengan pokok pikiran pada
pedoman wawancara dan pencapaian tujuan yang ditetapkan
3. Menganalisis dan menyintesis hasil jawaban sesuai dengan tujuan wawancara
4. Menarik kesimpulan berdasarkan hasli sintesis dari berbagai jawaban
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Instrumen non tes yang telah dijelaskan merupakan instrumen yang sering digunakan
oleh guru bimbingan dan konseling. Pelaksanaan dan pengembangan yang dilakukan bervariasi
tergantung pada guru bimbingan dan konseling. Untuk menghindari kesalahan dalam
pengembangan instrumen non tes alangkah lebih baiknya guru bimbingan dan konseling maupun
konselor memperhatikan setiap langkah, jenis, ketentuan, syarat dalam melakukan
pengembangan instrumen, agar mendapatkan data atau informasi sesuai dengan yang diharapkan
sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
Setiap instrumen non tes baik observasi, wawancara, dan angket memiliki kelebihan dan
kelemahan tersendiri. Untuk mendapatkan informasi yang komprehensif guna memenuhi
kebutuhan konseli, tidak ada salahnya bagi guru bimbingan dan konseling ataupun konselor
menggunakan kesemua instrumen non tes agar saling mendukung dan meengkapi setiap
informasi yang dibutuhkan.