bab i pendahuluan 1.1 latar...

42
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Umumnya eksistensi suatu masyarakat akan dengan mudah dikenali melalui kebudayaan dan kode-kode sosial yang hidup di tengah-tengahnya. Ia berlaku sebagai rujukan dari nilai-nilai, sekaligus juga aturan main yang akan diikuti oleh kelompok masyarakat tersebut. Pada saat bersamaan ia berlaku pula sebagai identitas kolektif masyarakat yang bersangkutan, yang membedakan diri dengan kelompok masyarakat lainnya. Menurut Sokefeld (Irianto dkk., 2011 : 140) identitas ini menjadi suatu label yang dipergunakan atau diberikan untuk mengelompokkan serta membedakan diri dengan kelompok lain, siapa kami dan mereka (self vs others). Akan tetapi terdapat kenyataan menarik pada masyarakat asli Lampung Tulang Bawang Barat. Apa yang didefinisikan oleh Sokefeld di atas tidak terjadi pada mereka dan justru bertolak belakang dengan teorinya. Mereka mengalami apa yang disebut dengan kegelisahan identitasyakni berkaitan dengan situasi keterpinggiran dan keterdesakan oleh populasi pendatang-transmigran Jawa yang jumlahnya diperkirakan mencapai angka 70 % sedangkan mereka 20 % dan etnik lain sekitar 10 % (BPS, Tulang Bawang Barat, 2011). Perihal komposisi yang tidak berimbang ini dapat dirunut akarnya pada sejarah panjang proyek kolonisasi era Belanda pada tahun 1905 yang dilanjutkan kemudian dengan program transmigrasi masa Soekarno dan Orde Baru Soeharto.

Upload: vuxuyen

Post on 02-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Umumnya eksistensi suatu masyarakat akan dengan mudah dikenali

melalui kebudayaan dan kode-kode sosial yang hidup di tengah-tengahnya. Ia

berlaku sebagai rujukan dari nilai-nilai, sekaligus juga aturan main yang akan

diikuti oleh kelompok masyarakat tersebut. Pada saat bersamaan ia berlaku pula

sebagai identitas kolektif masyarakat yang bersangkutan, yang membedakan diri

dengan kelompok masyarakat lainnya. Menurut Sokefeld (Irianto dkk., 2011 :

140) identitas ini menjadi suatu label yang dipergunakan atau diberikan untuk

mengelompokkan serta membedakan diri dengan kelompok lain, siapa kami dan

mereka (self vs others).

Akan tetapi terdapat kenyataan menarik pada masyarakat asli Lampung

Tulang Bawang Barat. Apa yang didefinisikan oleh Sokefeld di atas tidak terjadi

pada mereka dan justru bertolak belakang dengan teorinya. Mereka mengalami

apa yang disebut dengan “kegelisahan identitas” yakni berkaitan dengan situasi

keterpinggiran dan keterdesakan oleh populasi pendatang-transmigran Jawa yang

jumlahnya diperkirakan mencapai angka 70 % sedangkan mereka 20 % dan etnik

lain sekitar 10 % (BPS, Tulang Bawang Barat, 2011). Perihal komposisi yang

tidak berimbang ini dapat dirunut akarnya pada sejarah panjang proyek kolonisasi

era Belanda pada tahun 1905 yang dilanjutkan kemudian dengan program

transmigrasi masa Soekarno dan Orde Baru Soeharto.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

2

Bagi masyarakat asli Lampung keberadaan pendatang-transmigran Jawa

yang disokong oleh kebijakan pemerintah Orde Baru menyebabkan apa yang oleh

Oommen (1997) disebut dengan etnifikasi, yakni situasi dimana mereka tidak lagi

berkuasa atas tanahnya sendiri padahal mereka lahir dan besar disana.

Transmigrasi telah menjadikan etnis lokal menjadi minoritas di tanah miliknya

(Irianto dkk., 2011 : 141).

Diamati dengan seksama, memang sejatinya Tulang Bawang Barat secara

khusus dan provinsi Lampung secara umum memiliki keunikan tersendiri ketika

diteropong melalui sudut pandang budaya dan komposisi penduduknya. Ia adalah

bagian dari bumi Sumatera dengan karakter serta budaya penduduk khasnya tetapi

sirkumstasi yang melingkungi beraroma cita rasa Jawa. Mayoritas etnis Jawa

menjadi dominan pada banyak arena pertarungan sosial baik bahasa, nilai-nilai,

tata pergaulan sosial dan terutamanya pada lini ekonomi. Catatan pemerintah

daerah menunjukkan bahwa pendatang-transmigran Jawa, Bali, Madura dan

Sunda dimulai sejak awal 1970-an dan berlanjut terus hingga pertengahan

pemerintahan Soeharto (DISNAKERTRANS. Kab. Tulang Bawang Barat : 2011).

Dalam perkembangannya selanjutnya, diakui oleh banyak pihak bahwa

keberadaan kelompok pendatang ini telah memberikan kemakmuran nyata

sekaligus tanpa disadari mengguratkan konflik dan pertarungan identitas dengan

penduduk asli. Jika masa Orde Baru konflik antar dua komunitas kelompok ini

tidak pernah mencuat ke permukaan karena otoritarianisme rezim saat itu maka

sejak diberlakukan otonomi daerah masyarakat asli Lampung menemukan

momentum untuk mempersoalkan posisi mereka berhadap-hadapan dengan

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

3

pendatang, menggugat apa yang “terambil” dari mereka dan lantas mengusahakan

untuk direbut kembali.

Pendatang-transmigran Jawa telah memberikan gambaran kemajuan yang

tercermin melalui dinamika pasar, keberadaan beberapa stasiun pompa bensin,

kantor-kantor bank, sekolahan dan masjid yang berdiri secara megah, beberapa

rumah sakit, banyaknya toko ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart serta

lalu-lalang kendaraan roda dua atau empat. Dari Delapan kecamatan yang masuk

wilayah Tulang Bawang Barat, Tujuh diantaranya adalah daerah eks-UPT (Unit

Pemukiman Transmigrasi) yang kini berubah menjadi kota kecamatan yang

dinamis. Dapat dikatakan, bahwa cikal bakal pendirian kota-kota kecamatan yang

menjadi sokongan akan pendirian kabupaten ini adalah basis-basis kantong

transmigrasi di tujuh kecamatan tersebut yang secara faktual memiliki fondasi

perekonomian yang kuat serta jumlah penduduk memadai. Ketujuh kecamatan ini

ibarat bulatan-bulatan sarang tawon dan taman sari dimana banyak lebah

memproduksi madu, beraktifitas dan berkumpul di tengah belantara dan rawa.

Malam hari menjadi waktu istimewa bagi pedagang kaki lima untuk

berjualan di sepanjang jalan. Rata-rata orang Jawa. Biasanya mereka buka jam

17.00 WIB sore dan tutup jam 24 atau 01.00 malam. Rutinitas demikian berjalan

terus dari hari ke hari. Orang-orang Jawa banyak berprofesi sebagai birokrat,

guru, pendakwah agama, pedagang, petani, mekanik bengkel atau operator traktor

perkebunan dan banyak diantaranya pemilik lahan karet atau sawit dengan jumlah

terbatas. Mereka bermukim di pinggiran kota kecamatan yang ramai dan kantong-

kantong desa yang masih dalam lingkungan kota kecamatan.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

4

Sepanjang jalan yang dapat disebut sebagai jalan utama dari Tulang

Bawang hingga ke Kota Bumi merupakan tempat favorit mereka untuk bermukim

tidak terkecuali jalan utama dari tujuh kecamatan eks-UPT yakni Tulang Bawang

Tengah, Tulang Bawang Udik, Lembu Kibang, Tumijajar, Gunung Terang,

Gunung Agung dan Way Kenanga, kesemuanya merupakan titik episentrum dari

geliat ekonomi baik siang maupun malam hari.

Orang Jawa menunjukkan jati dirinya sebagai pekerja ulet dengan

menghidupkan perekonomian lokal sehari-hari, tanpa kenal lelah mencari nafkah

sebagai tujuan utama dengan tanpa disadari telah berimplikasi pada kemajuan

ekonomi-sosial yang maju pada daerah yang klaim kelompok pribumi sebagai

“bukan miliknya”.

Beberapa kelompok atau kepala keluarga orang Jawa bermukim di

perkebunan-perkebunan yang mereka kuasai yang jaraknya tidak begitu jauh dari

kota. Mereka menanam karet, kelapa sawit dan padi. Tiga jenis tanaman inilah

yang menjadi andalan mereka dan pemerintah daerah Tulang Bawang Barat.

Dominasi pada wilayah ekonomi sebagaimana digambarkan di atas

bukanlah satu-satunya pokok krusial pemicu ketegangan psikologis antara

pendatang versus penduduk asli Lampung. Terdapat persoalan lain yang

berlangsung selama puluhan tahun dari generasi orang tua ke generasi berikutnya.

Semenjak kedatangannya kelompok transmigran berdiam di pemukiman enclave

atau koloni yang disebut dengan UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) yang tidak

terintegrasi dengan penduduk asli lokal bahkan dalam titik tekan tertentu terdapat

UPT yang jauh dari perkampungan mereka. Pengelompokan demikian rupa tidak

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

5

mendorong proses akulturasi dengan cepat seperti biasa terjadi pada dua atau

lebih kelompok sosial yang bertemu dan hidup berdampingan.

Orang asli Lampung hidup mengelompok dengan komunitas kecilnya

sementara pendatang transmigran Jawa hidup dalam koloninya. Anak-anak

Lampung lahir dan belajar kode-kode sosial serta bahasa Lampung sehari-hari

hanya seputar keluarga dan kelompok sosial terbatasnya. Sementara keluar dari

rumah dan lingkungan kecilnya mereka akan menjumpai kelompok pendatang

yang lebih besar lagi dengan bahasa dan tradisi budaya dominan berbeda.

Pada kesempatan yang sama, anak-anak Jawa terlahir sebagai orang Jawa,

berbahasa Jawa sejak kanak-kanak dan bertingkah-laku ala orang Jawa. Dalam

internal keluarga, mereka bersosialisasi dengan saudara-saudarinya yang Jawa

sementara itu pula, di luaran mereka berinteraksi dengan teman-temannya yang

Jawa baik di sekolahan maupun di arena perkumpulan. Nilai-nilai Jawa hidup

subur di Tanah Lampung sementara kebalikannya, tradisi dan kebudayaan

Lampung hanya hidup pada komunitas terbatas mereka, terpinggirkan dan

terkepung oleh tradisi budaya dominan pendatang sehingga lambat laun

“mengecil” dan terabsorbsi oleh budaya Jawa.

Ketimpangan budaya dan ekonomi pada banyak kasus kerap melahirkan

konflik antar etnik seperti orang Lampung versus transmigran Bali dan orang

Lampung versus transmigran Jawa. Memang, konflik antara masyarakat lokal

dengan pendatang transmigran belum mengakibatkan amuk massa sebesar apa

yang pernah terjadi di Malaysia tanggal 13 Mei 1969 antara etnis Melayu versus

Cina dan India atau antara etnis Dayak dengan Madura di Sampit pada awal era

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

6

reformasi. Di Tulang Bawang Barat letupan-letupan masih bersifat kecil dan

sporadik, terjadi di banyak tempat dengan modus berbeda-beda dengan titik

persoalan sama yakni kecemburuan sosial yang berangkat dari persoalan

ketimpangan ekonomi. Misal, kejadian pertarungan antara kelompok etnik

Lampung dengan transmigran Jawa karena perampokan kendaraan roda dua milik

orang Jawa oleh orang Lampung. Ketika orang Lampung ditangkap dan lantas

diserahkan kepada pihak kepolisian, maka esok harinya dapat dipastikan koloni

orang Jawa yang menjadi korban tadi akan diserbu.1 Kasus lainnya yang

seringkali terjadi adalah pengambilalihan lahan perkebunan atau rumah secara

paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang

mereka meskipun dalam kurun perjalanan waktu kemudian telah berpindah

kepemilikan akibat transaksi jual beli.

Jika ditelaah lebih lanjut, dominasi pendatang-transmigran Jawa yang

digambarkan sesungguhnya hanya bersifat artifisial saja terutama pada simbol-

simbol ekonomi dan tradisi serta bahasa Jawa yang masih hidup subur di tengah-

tengah mereka akan tetapi jika diselami lebih lanjut, mereka berada pada situasi

tegangan sebagai “orang lain” ketika berhadap-hadapan dengan pribumi dan

belum diakui sepenuhnya sebagai bagian dari mereka baik secara sosial maupun

politik.

Konteks perjumpaan pendatang dan pribumi sebagaimana digambarkan

diatas didiskusikan secara baik oleh ilmu kajian budaya sebagai ruang diaspora

yang dapat dimengerti dalam bentuk esensialnya sebagai komunitas minoritas

1 Sebagaimana diturkan oleh narasumber Suwarno, tanggal 12 September 2013

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

7

yang hidup dalam pengasingan dengan sejarah perjalanan melelahkan akibat

kesulitan ekonomi atau politik seperti bangsa Yahudi di Eropa abad-abad

terdahulu, Afro-Karibia di Inggris, dan yang paling mutakhir pengungsi

Afganistan dan Irak di Australia. Meskipun transmigran Jawa adalah mayoritas

dibanding dengan penduduk asli Lampung mereka tetaplah hidup dalam “ruang

diaspora” yang mempersilahkan berbagai ketegangan bermain dalam wilayah

psikologi sosial maupun personal seperti hasrat “pulang” yang senantiasa hadir,

kerinduan akan kampung halaman, ketegangan mayoritas-minoritas mengenai

kekuasaan dan penguasaan ekonomi, ketegangan mengenai identitas lama

(sebagai orang Jawa) dan baru (sebagai orang Lampung). Di dalam suasana ini,

bersaing batas antara inklusi dan eklusi, kecocokan dan keasingan, “kita” dan

“mereka” ( Sardar dkk, 2001 : 133).

Demikian pula, ketegangan-ketegangan dalam ruang diaspora ternyata

dialami pula oleh masyarakat asli Lampung. Mereka mengalami etnifikasi atau

keterpinggiran peran sosial, budaya dan ekonomi karena keterkepungan oleh

pendatang transmigran yang jumlahnya tidak sebanding. Etnifikasi semakin terasa

ketika pemerintahan Jakarta era Orde Baru lebih “melindungi” komunitas

transmigran dan memberikan peran lebih pada tokoh-tokoh Jawa di berbagai

jenjang birokrasi. Ketegangan dan marginalisasi atas mereka menumbuh suburkan

kecurigaan dan “dendam” yang kemudian menemukan momentum tepat saat

sistem otonomi daerah berlaku. Barangkali, kondisi demikian berkesesuaian

dengan tesis Avtar Brah :

“Diaspora sebagai suatu kategori konseptual tidak hanya didiami

oleh pendatang, tetapi juga oleh mereka yang telah tinggal dan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

8

dikonstruksi serta direpresentasi sebagai “pribumi”. Ruang diaspora

adalah situs tempat pribumi sesungguhnya adalah seorang

diasporian, sebaliknya diasporian adalah pribumi” (Avtar Brah dalam

sardar dkk, 2001 : 134).

Orang Lampung merasakan dirinya “terasing” di tanah sendiri.

Ketegangan-ketegangan psikologis akan keterpinggiran, keterdesakkan dan

“kalah” berkompetisi bermain pada wilayah psikologi kolektif yang mana pada

masa-masa sebelum otonomi daerah melahirkan inferioritas ketika berhadap-

hadapan dengan kelompok pendatang-transmigran yang dominan (Irianto.,dkk :

2011). Orang asli lampung terasing di buminya sendiri dan tidak merasakan lagi

bahwa dirinya sebagai pribumi pemilik atas tanah mereka karena ketiadaan daya

ekonomi, sosial politik maupun budaya.

Marginalisasi masyarakat asli Lampung dan keterpinggiran ekonomi

orang-orang Melayu di Malaysia oleh etnis Cina dan India memiliki cara

penyelesaian yang berbeda sama sekali (Dyah Ayu Intan Sari, 2012 : 1-2). Jika

pada akhirnya pemerintahan Malaysia menempuh jalan politis dalam penyelesaian

ketimpangan tadi dengan mengeluarkan regulasi yang bersifat top down maka

masyarakat Tulang Bawang Barat melakukan perlawanan atas dominasi

pendatang-transmigran Jawa secara mandiri melalui strategi budaya. Perdana

Menteri saat itu, Tun Abdul Razak mengeluarkan kebijakan dengan istilah N.E.P

atau New Economic Policy yang bertujuan untuk menyeimbangkan pendapatan

serta menaikkan kesejahteraan ekonomi Bumiputera Melayu sedangkan

masyarakat Lampung melakukan “perlawanan” budaya melalui revitalisasi nilai,

konsepsi, slogan-slogan khas Lampung serta narasi-narasi putra daerah/tuan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

9

rumah dengan segala privilege-nya versus pendatang atau “tamu” dengan hak-hak

terbatasnya.

Strategi pengkonstruksian identitas kolektif mereka dan identitas

pendatang disandarkan pada filsafat tradisional yang berkembang dalam

masyarakat Tulang Bawang Piil Pesenggiri. Filsafat Piil Pesenggiri ditafsir ulang

dengan kontekstualisasi otonomi daerah atau dilakukannya “reinvensi tradisi”,

menghidupkan kembali nilai-nilai lama tradisi local genius dengan interpretasi

kekinian (Irianto., dkk : 2011). Menurut sudut pandang kajian budaya, pada pokok

inilah sesungguhnya penelitian ini menarik untuk dilihat.

Pada praktiknya, penemuan kembali nilai-nilai lama Piil Pesenggiri

sebagai modal perlawanan budaya syarat dengan muatan politik dan tafsiran

subjektif-kolektif (Irianto., dkk : 2011). Artinya, pemaknaan ulang yang dilakukan

adalah kontekstualisasi menurut kebutuhan sosial politik kekinian dengan

harapan dapat dijadikan modal budaya memenangi pertarungan dan merebut

kembali apa-apa yang mereka anggap hilang dan terampas selama ini seperti

melunturnya nilai budaya Lampung, hilangnya bahasa Lampung dalam rutinitas

sosial sehari-hari, keterpinggiran ekonomi dan kekalahan dalam peran politik.

Strategi diatas dijalankan bersamaan dengan strategi lain berupa mengakui

secara simbolik beberapa sosok yang dianggab “tokoh”, atau memiliki massa

dengan harapan menjadi “bagian” dari mereka ketika suara atau pengaruhnya

dibutuhkan di bilik-bilik suara. Mereka menyebutnya dengan istilah

“melampungkan” orang non-Lampung agar menjadi bagian dari diri mereka.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

10

Caranya, dengan memberikan gelar adat yang diserahkan oleh lembaga adat

MPAL dan biasanya diiringi dengan upacara begawe secara besar-besaran.

Strategi resistensi menghadapi dominasi pendatang-transmigran dan pola

dominasi/marginalisasi baru oleh mereka terhadap pendatang-transmigran Jawa

pada era otonomi daerah dapat digambarkan dengan sederhana sebagai berikut :

Reinvensi tradisi (filsafat Piil Pesenggiri)

Nilai-nilai Piil Pesenggiri dijadikan modal pembentukan identitas

kolektif

Konstruksi identitas kolektif

•Siapa kami orang asli Lampung dan siapa pendatang-

transmigran,

•Apa hak-hak kami dan apa hak-hak mereka

Penguasaan pimpinan utama birokrasi dan sel-sel dibawahnya

•“Melampungkan” tokoh-tokoh pendatang dengan gelar adat

•Lampungisasi simbol-simbol birokrasi dan daerah

•Lampungisasi simbol budaya dan sosial

•Menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa utama setelah

bahasa Indonesia

Strategi budaya ini dengan secara cepat menemukan hasil nyata pada

kontestasi PILKADA. Pada pelaksanaan PILKADA yang pertamakali diadakan

posisi bupati dan wakil bupati mereka menangkan yakni Bachtiar Nasri dan Umar

Ahmad. Sedangkan perolehan kursi anggota DPRD adalah mereka yang mayoritas

“putra daerah” baik melalui organisasi partai politik lama semisal GOLKAR, PPP,

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

11

PDI-P maupun partai-partai baru seperti PKS, GERINDRA, Demokrat, Pelopor,

PKPI dan lain-lain. Secara otomatis, kemenangan di jalur struktural birokrasi dan

legislatif memberikan peluang kongkrit bagi terbentuknya gerbong baru birokrasi.

Jabatan-jabatan setingkat SEKDA, KADIS, KABAG, KAUR dan bahkan camat-

camat diklaim sebagai jatah mereka karena doktrin sosial “tuan rumah”. Dari

delapan kecamatan yang ada, hanya satu camat yang dijabat orang Jawa, tujuh

sisanya adalah kelompok mereka.

Berikut gambaran distribusi Camat di 8 kecamatan berdasarkan etnik sejak

tahun 2010/2011 :

Tabel 1.

No Kecamatan Lampung Jawa Lain

1 Tulang Bawang Udik X

2 Tulang Bawang Tengah X

3 Tumijajar X

4 Pagar Dewa X

5 Lambu Kibang X

6 Gunung Terang X

7 Gunung Agung X

8 Way Kenanga X

Kemenangan politik era otonomi daerah ini merupakan pengalaman baru

bagi masyarakat asli Lampung setelah sekian lama sejak era Orde Lama dan Orde

Baru mereka umumnya diperintah oleh orang-orang Jawa. Saat ini, mereka

merasakan dorongan kuat dan kepercayaan diri yang tinggi bahwa ternyata orang

Lampung mampu menampilkan diri menjadi pemimpin dan dapat berkompetisi

dengan kelompok masyarakat lain.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

12

Kemenangan tersebut pada periode berikutnya melahirkan residu birokrasi

berupa nepotisme etnik. Bagi masyarakat Lampung dengan mengikuti doktrin

kontekstual Piil Pesenggiri (sakai sambaiyan/tolong-menolong) menjadi seorang

pegawai negeri sipil atau PNS atau birokrat diyakini sebagai wujud dari elevasi

status sosial mereka dari warga biasa menuju kelompok terhormat dengan piil-

nya. Maka tidak heran, kemenangan politis putra daerah berdampak pada

penarikan anggota keluarga besar mereka pada gerbong-gerbong birokrasi atas

prinsip dasar tolong menolong. Beroperasi pola patron client seperti pada era

Soaharto dahulu. Penguasaan jalur-jalur penting birokrasi PEMDA dan kursi-

kursi DPRD memungkinkan terjadinya praktik pesan-memesan dan pengaturan

jabatan untuk anggota keluarga besar.

Berikut ini gambaran distribusi jabatan kepala-kepala di PEMKAB Tulang

Bawang Barat menurut etnisitas tahun 2012 :

Tabel 2.

No Satuan Kerja Lampung Jawa Lain

1 Bagian Administrasi Pembangunan X

2 Badan Hukum dan Organisasi X

3 Bagian Tata Pemerintahan X

4 Bagian Perekonomian X

5 Bagian Kesejahteraan Rakyat X

6 Bagian Perlengkapan X

7 Bagian HUMAS X

8 Bagian Umum & Protokol X

9 Bagian Keuangan X

10 Inspektorat X

11 Dinas Pendidikan X

12 Dinas Kesehatan X

13 Dinas Kependudukan & C. Sipil X

14 Dinas Pendapatan Daerah

15 Dinas PERINDAG X

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

13

16 Dinas Perhub. & Komunikasi X

17 Dinas Pertanian & Perkebunan X

18 Dinas Peternakan & Perikanan X

19 Dinas Pekerjaan Umum X

20 DISNAKERTRANS X

21 DINPARBUD & Pemuda X

22 Badan Perc. Pembangunan Daerah X

23 Badan Pemberdayaan Masyarakat X

24 Badan Kepegawaian & DIKLAT X

25 SATPOL PP X

26 Badan KESBANG X

27 Kantor Pengelolaan Lingkungan Hdp X

28 Kantor Pem. Perempuan & KB X

29 Badan Penyl. Pertanian & Perikanan X

30 Kantor Penanaman Modal X

Tampilnya elit baru politik asli orang Lampung sejak otonomi daerah

ditambah dengan kuatnya jaringan anggota DPRD, pada tahap praksis

pemerintahan mendorong mereka untuk mengkreasi kebijakan-kebijakan yang

memperkuat identitas kelampungan dan pada saat bersamaan didorong untuk

dipraktikkan secara sosial keseharian. Adat, tradisi, bahasa bahkan simbol-simbol

kelampungan sebagai bagian dari pengkonstruksian identitas kolektif menjadi

butir-butir kesepakatan bersama antara PEMDA dengan DPRD untuk

diberlakukan secara serentak dan masif pada denyut nadi kehidupan masyarakat

Tulang Bawang Barat baik asli dan terutamanya pendatang sebagai bentuk

pengakuan akan jati diri mereka.

Secara sosial, masyarakat asli Lampung memandang kelompok pendatang-

transmigran Jawa menjadi dua golongan yakni warga kelas satu dan kelas dua.

Memang secara verbal label “kelas satu” dan “kelas dua” tidak umum dinyatakan

akan tetapi secara tersirat dua jenis pengelompokan ini umum dipahami untuk

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

14

menunjukkan derajat ketokohan orang Jawa yang bersangkutan. Termasuk dalam

kelompok kelas satu biasanya terdiri dari tokoh birokrat, tokoh masyarakat,

pengusaha atau politisi terutama yang kelihatan memiliki massa, jaringan luas

apalagi termasuk dalam kelas golongan kaya sedangkan kelas dua seperti

golongan buruh, petani dan pedagang kecil dan sejenisnya.

Ideologi Piil Pesenggiri yang ditafsirkan sebagai “keharusan menjadi

orang besar” dan memandang jabatan sebagai sebuah kehormatan membentuk

cara pandang terhadap orang lain seperti mereka memandang diri sendiri.

Mengikuti alur strategi budaya mereka dalam rangka hegemoni, transmigran Jawa

yang terkategorikan sebagai warga Jawa kelas satu “dilampungkan” atau

dianggab sebagai keluarga mereka sendiri melalui pemberian gelar. Banyak

tokoh-tokoh Jawa kiranya yang telah dilampungkan. Bagi orang Jawa sendiri

yang telah mendapat gelar, pengakuan itu kadang disikapi dengan biasa saja tanpa

ngegede mongso tetapi ada pula yang “tidak kuat iman” lantas menjadi orang

Lampung melebihi mereka yang asli Lampung. Pembacaan kritis para tokoh Jawa

sebenarnya dapat dibaca dari setiap kontestasi PILKADA, bahwa mereka-mereka

akan senantiasa didekati politisi-politisi Lampung agar menarik “gerbong”

Jawanya untuk mendukungnya. Meskipun demikian terdapat pula pandangan

anomali bahwa walaupun sudah “dilampungkan” akan tetapi hak kepemimpinan

tetaplah milik tuan rumah yang adalah putra daerah.2

2 Lihat wawancara dengan Stan Sahmin

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

15

Cara pandang terhadap pendatang-transmigran :

Warga kelas I : Warga kelas II :

Politisi Tani

Birokrat Pedagang/buruh/

Tokoh masyarakat dll

Secara internal, orang Jawa hidup dibawah bayang-bayang narasi-narasi

“kaum pinggiran”, “tamu”, “pendatang” dan lantas menyikapinya dengan bentuk

pertahanan pragmatis ala etika Jawa. Bagi mereka tidak perlu berkonfrontasi,

yang penting aman, selamat dan bisa bekerja dengan baik dibawah terang prinsip

etika Jawa yang mengedepankan keselarasan/harmoni “jagad gede”

(makrokosmos) yakni lingkungan sekitar dimana mereka berpijak. Sedangkan

secara eksternal, kampanye narasi-narasi “tanah Lampung milik orang Lampung”,

otonomi daerah adalah hak kekuasaan konstitutif “putra daerah” menjadi bantal

sandaran beroperasinya marginalisasi.

Menilik uraian di atas dapat ditarik asumsi sementara, bahwa marginalisasi

politik yang terjadi di Tulang Bawang menemukan momentum semenjak

diberlakukannya otonomi daerah. Otonomi daerah yang diyakini sebagai konsep

ideal percepatan pembangunan dan kemakmuran ternyata berakibat lain yakni

lahirnya raja-raja kecil dan menguatnya politik identitas berdasarkan pada

primodialisme etnik. Meskipun fenomena demikian sesungguhnya terjadi pula di

daerah-daerah lain seperti di Papua, Banten, Palembang, Kalimantan dan lain-lain

yang hampir setiap PILKADA memunculkan isu putra daerah sebagai pemimpin

paling sah akan tetapi apa yang terjadi di kabupaten Tulang Bawang Barat

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

16

menarik jika diteliti menurut sudut pandang kajian budaya. Gerakan “putra

daerah” memiliki modus operasi khas yang membedakan diri dengan yang terjadi

di tempat lain.

1.2 Rumusan Masalah

Niat baik bersama untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan

daerah melalui konsep otonomi telah memberikan beberapa hasil yang diharapkan

dan pada sisi lain melahirkan problem baru seputar hak partisipasi politik publik,

apakah otonomi daerah merupakan milik warga asli dan menegasi hak politik para

pendatang, ataukah ini hanya tafsiran sepihak demi untuk melegitimasi peran

kelompok mereka?

Apapun perdebatan itu, narasi otonomi daerah telah berimplikasi pada

marginalisasi kelompok pendatang-transmigran Jawa di arena perpolitikan dan

birokrasi dengan tekanan isu “putra daerah”, “tanah Lampung milik orang

Lampung”, “pendatang adalah tamu dan seterusnya”. Mayoritas suara asal Jawa

hanyalah silent majority yang tidak bermakna apa-apa dalam kalkulasi demokrasi.

Penelitian ini difokuskan pada telaah atas praktik otonomi daerah yang

menjadi legitimasi proses terjadinya marginalisasi politik masyarakat pendatang-

transmigran Jawa di Tulang Bawang.

1. Bagaimana marginalisasi politik atas pendatang-transmigran Jawa

beroperasi dengan landasan narasi budaya? Bagaimana orang Lampung

Tulang Bawang Barat mengkonstruksikan diri mereka serta pendatang dan

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

17

bagaimana mereka merumuskan hak kepemimpinan politik berdasarkan

modal budaya filsafat Piil Pesenggiri?

2. Bagaimana pendatang-transmigran Jawa terkonstruksi sebagai kelompok

marginal dalam tinjauan historisnya maupun sosial budaya yang

berkembang di Tulang Bawang Barat?

3. Bagaimana pendatang transmigran Jawa bersikap/melakukan perlawanan

terhadap marginalisasi politik ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Menjelaskan bagaimana marginalisasi politik beroperasi perspektif latar

belakang praktik budaya dan menemukan jawaban atas rumusan dan

kontruksi identitas kolektif orang Lampung berdasarkan filsafat Piil

Pesengiri sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi pendatang-

transmigran.

2. Menemukan konstruksi marginalitas pendatang-transmigran Jawa dalam

tinjauan sejarah dan praktik sosial budaya yang mereka alami di dalam

masyarakat Tulang Bawang Barat.

3. Menemukan jawaban/sikap pendatang-transmigran terhadap marginalisasi

yang terjadi atas diri mereka dan bagaimana mereka melakukan

perlawanan.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

18

1.4. Tinjauan Pustaka

Sampai dengan laporan penelitiaan ini ditulis saya belum menemukan riset

akademik yang mengulas marginalisasi politik orang-orang Jawa perantauan

apalagi dengan sudut pandang Kajian Budaya dan Media. Memang terdapat

penelitian akademik yang dilakukan oleh Eny May, seorang dosen muda dari

Universitas Andalas dengan fokus geliat pembangunan desa-desa koloni orang

transmigran Jawa di Pasaman Sumatera Barat akan tetapi titik tekan lebih pada

sudut pandang sosiologis. Oleh sebab itu, proyek penelitian ini dapat dikatakan

sebagai satu-satunya dan untuk yang pertama kali meneropong problem

pendatang-transmigran dari sisi pemarginalan politik perspektif Kajian Budaya

dan Media.

Eny May (2006) menemukan bahwa keberhasilan masyarakat transmigran

asal Jawa yang berkoloni di daerah pasaman Sumatera Barat keluar dari garis

kemiskinan ditentukan oleh aspek kepemilikan lahan dan kesiapan lahan untuk

diolah menjadi persawahan. Tidak semua lahan yang dibagi-bagikan pemerintah

subur dan menjanjikan. Hal lain yang diketemukan oleh May, bahwa orang-orang

Jawa transmigran yang dasar pendidikannya tidak tinggi, kebanyakan tamatan SR

atau Sekolah Dasar ternyata memiliki kesadaran pendidikan yang tinggi. Sudah

banyak anak keturunan mereka atau yang telah tergolong sebagai generasi kedua,

menyelesaikan pendidikan tinggi setingkat universitas.

Herie Saksono (2011) mencatat bahwa ketransmigrasian memiliki potensi

untuk berperan dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan perluasan

Pembangunan Ekonomi Daerah) melalui perannya dalam mendistribusikan

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

19

komponen-komponen pembangunan terutama sumber daya manusia dan

infrastruktur secara merata dan proporsional. Menurut Herie, hal yang sangat

fundamental adalah keikutsertaan Gubernur dan Bupati dalam upaya menjamin

penyelenggaraan ketransmigrasian secara professional di wilayahnya masing-

masing.

Tulisan menarik dilakukan oleh Sunu Pramono Budi (2007). Meskipun

tidak mengulas khusus fenomena marginalisasi politik atas pendatang-transmigran

Jawa di daerah-daerah transmigrasi seluruh Indonesia ia mencatat bahwa otonomi

daerah telah menjadi eforia yang berlebihan. Segala hal yang bernuansa program

pusat (sentralistik) berusaha ditolak oleh pemerintah dan masyarakat daerah.

Dampak dari penolakan tersebut berimbas pada warga transmigran. Mereka,

karena mengacu kepada peraturan yang berlaku , setelah lebih dari 5 tahun (T + 5

transmigrasi) dibina oleh penyelenggara Departemen Transmigrasi , diserahkan

kepada pemerintahan daerah setempat. Namun, dalam kenyataannya, ada Unit

Permukiman Transmigrasi (UPT) bermasalah dan menjadi korban kebijakan.

Pihak pemerintah daerah merasa terbebani oleh eks-UPT tersebut sementara

departemen tenaga kerja sudah lepas tanggung jawab.

Memang terdapat niat baik menyerahkan UPT dari pusat ke daerah demi

untuk menghilangkan sekat-sekat sosial dan stigma “koloni trans” tetapi jika

masyarakat pemukim eks-UPT yang bersangkutan tidak siap atau belum mandiri

secara ekonomi dengan tunjangan infrsatruktur kurang menunjang maka dapat

diapstikan UPT akan ditinggalkan peserta transmigran untuk kembali ke asal.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

20

Pada kesempatan lain, Sunu juga menenggarai otonomi daerah telah

melahirkan raja-raja kecil dan kelas penguasa baru, haruslah “putra daerah”.

Walaupun secara realistis raja-raja kecil asli daerah tersebut banyak pula yang

lahir dan sejak lama tinggal di pulau Jawa dan baru pulang kampung sejak

diberlakukannya otonomi daerah. Secara kapabilitas, orang tua dan anak-anak

transmigran sebenarnya tidak kalah tetapi karena narasi “keturunan darah” alias

“putra daerah” menguat maka penguasa baru putra asli daerah bersama

kelompoknya merasa lebih berhak sebagai raja baru. Ketika PEMILUKADA

warga yang tinggal di daerah eks-UPT hanya diminta dukungan suaranya dan

bukan diakomodasikan atau dicarikan atas problem-problem yang sedang

dihadapi. “ini adalah realitas yang menyedihkan dan sebuah tragedi terhadap hak-

hak politik”, tulis Sunu (2007).

Penelitian terbatas berikutnya, dilakukan oleh Nurul Hasanah dkk., di

Tulang Bawang Barat dengan objek desa Tirtakencana yang merupakan tempat

pemukiman transmigrasi sejak tahun 1973/1974. Dalam laporan penelitian yang

diberi judul Kajian Tentang Pemukiman Penyebab Transmigrasi Bertahan

Tinggal di Desa Tirta Kencana Tulang Bawang Barat Tahun 2012 disebutkan

bahwa sebanyak 329 kepala keluarga transmigrasi yang berdiam disana merasa

betah dan tidak ingin berpindah atau kembali lagi ke daerah asal meskipun lahan

semakin menyempit karena lingkungan yang habitable yakni dilingkungi oleh

komunitas adat budaya yang sama yakni Jawa, dan telah merasakan diri sebagai

orang Lampung-Jawa. Disamping alasan kekerabatan dan budaya yang masih

lekat tersebut faktor-faktor lain adalah kepemilikan lahan yang cukup dibanding

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

21

ketika dahulu mereka di Jawa tidak memiliki sama sekali kepemilikan barang

berharga seperti rumah dan kendaraan. Faktor lainnya adalah telah terbangunnya

sarana prasanara transportasi yang memadai dan dapat menunjang lalu lintas

perdagangan mereka (Nurul Hasanah dkk., 2012).

Kustadi (1983), menemukan bahwa keresahan dan konflik di daerah

transmigrasi sering ditemukan dan membuat proses pembangunan penduduk

menjadi terhambat. Umumnya, disebabkan oleh perebutan sumber daya dan

kesempatan ekonomi. Penduduk asli pun punya kepentingan yang sama bahkan

merasa lebih berhak akan sumber daya alam yang ada, sementara materi yang

diperebutkan dari objek ekonomi relatif sama. Dalam struktur perekonomian yang

masih agraris, tanah menjadi sumber daya utama, objek yang diperebutkan dan

lantas menjadi konflik.

Sementara Cohen (1989), berpandangan bahwa sumber konflik lainnya

yang lazim terjadi adalah perebutan hegemoni sistem sosial budaya yang berlaku

di daerah transmigrasi yang berlangsung ketika suatu kelompok mencoba

melegitimasi kekuasaanya terhadap satu kelompok lainnya. Arah legitimasi dari

kelompok dominan terhadap kelompok subordinat meskipun dalam beberapa hal

menyangkut jati diri sedangkan kelompok subordinatnya berupaya

mempertahankan diri. Setiap sistem budaya mempunyai subsistem mekanisme

pemeliharaan diri disamping mekanisme kontrol diri yang membuat satu

kelompok tidak dapat begitu saja “ditelan” oleh kelompok lainnya sehingga

mengakibatkan pola hubungan yang selalu kompetetif.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

22

Sujarwo (1997) dalam Transformasi Nilai-Nilai Budaya Transmigran

Sebagai alat pemersatu Bangsa mencatat dalam sebuah medan feducary, sebuah

istilah yang diperkenalkan oleh Talcott Parson atau ruang pertemuan antara

komunitas-komunitas transmigran yang beragam itu sesungguhnya terdapat nilai-

nilai kearifan lokal yang memiliki titik singgung dan dapat dijadikan medium

integrasi. Penelitian yang diambil sampelnya menurut etnik tertentu ditemukan

bahwa masing-masing responden menjelaskan prinsip nilai-nilai budaya yang

bermakna sama dengan nilai Piil Pesenggiri seperti nemui nyimah, sakai

sambaiyan dan nengah nyapur.

Misalnya :

Responden Jawa terdapat ungkapan :

“Nepakke awake dewe” atau pintar-pintar menempatkan diri sendiri di tengah

lingkungan orang lain atau “jagad cilik jagad gede” dan isin atau malu jika

berbuat tercela ;

Responden Bali :

“Salulung-subayantaka” atau selalu bersama walaupun dalam keadaan susah ;

“Paras-Paros” atau sikap tenggang rasa dalam masyarakat ;

“Matulung” atau memberikan bantuan kepada orang susah ;

“Ngarombo” atau memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu ;

Responden Sunda :

“Batur salembur” atau menganggap orang lain sebagai teman sekampung ;

“Rempuk cukung balarea, pindah caik pindaj tampian” atau harus mampu

menyesuaikan diri ;

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

23

Responden Semendo :

“seganti-setungguan” atau saling menyayangi dan menghormati ;

Selanjutnya terdapat penelitian dengan tema Piil Pesenggiri : Modal

Budaya dan strategi Identitas Ulun Lampung yang dikerjakan oleh Sulistyowati

Irianto dan Risma Margaretha (2011) yang menyoroti persoalan etnifikasi orang-

orang Lampung secara global di bumi Lampung. Penelitian tidak spesifik

membahas suatu wilayah kabupaten atau etnis tertentu seperti Tulang Bawang

atau suku pendatang Jawa, Sunda dan lain sebagainya. Penelitian lebih menyoroti

bagaimana orang-orang Lampung melakukan resistensi terhadap dominasi

pendatang. Hal yang menarik dari tulisan ini adalah sumbangsih filsafat Piil

Pesenggiri terhadap pembentukan identitas kolektif masyarakat asli Lampung.

Secara jujur penulis akui, dalam perbincangan nanti banyak dilakukan

perbandingan, kutipan dan inspirasi dari hasil penelitian oleh kedua peneliti ini.

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penelitian tentang problem

marginalisasi atas pendatang transmigran khususnya yang terjadi di Tulang

Bawang Barat belum ada sehingga melalui penelitian ini diharapkan akan

menemukan pemahaman komprehensif menurut tilikan ilmu kajian budaya.

1.5 Kerangka Teori

Demi memudahkan peneropongan problem marginalisasi politik yang

terjadi atas masyarakat pendatang-transmigran di Tulang Bawang, penelitian ini

mencoba menggunakan beberapa landasan teori yang relevan. Sebagai sebuah

kajian lintas disipliner, menarik bahwa kajian budaya dan media mempersilahkan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

24

penelitian untuk meminjam teori-teori yang berasal dari disiplin ilmu lain semisal

filsafat, sosiologi atau bahkan ilmu pemerintahan.

1.5.1 Teori Marginalisasi

Khazanah ilmu sosial memberikan beberapa penjelasan dan teori

marginalisasi. Menurut Mullaly (2007 : 27) marginalisasi merupakan sebuah

proses sosial yang membuat masyarakat menjadi marginal, baik terjadi secara

alamiah maupun yang dikreasikan sehingga masyarakat memiliki kedudukan

sosial yang terpinggirkan.

Sedangkan Anupkumar mendefinisikan sebagai “marginalization is the

social procces of becoming or being mode marginal (especially as a group within

the larger society) (www.anupkumar.com)

Menurut J. Yee dalam R. Pozuuto, marginalisasi dapat dipahami dalam

tiga level yakni individu, masyarakat dan struktur global. Marginalisasi pada level

individu biasanya terjadi dalam bentuk tercerabutnya individu dalam partisipasi

aktifitas masyarakat misal keterpinggiran seseorang dalam suatu perusahaan.

Marginalisasi pada level masyarakat beroperasi pada dimensi yang lebih luas. Hal

ini salah satunya disebabkan karena program-program dan kebijakan pemerintah

lebih memihak pada kalangan sosial tertentu : golongan elit kelas atas misalnya.

Marginalisasi pada level struktur global memiliki bentuk yang lebih kompleks dan

luas. Misalnya, sistem kapitalisme telah menciptakan ketimpangan antara negara

kaya dan miskin serta menstrukturkan kelanggengan sistem tersebut melalui

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

25

penciptaan kebutuhan-kebutuhan semu lewat media iklan dan lain-lain (1964 :

64).

Konsep marginalitas dalam topik ini merujuk pada diskursus politik yang

kerap didiskusikan oleh agen-agen pelaku teori kajian budaya yakni untuk

menunjukkan hilangnya hak-hak dalam mengekspresikan perasaan mereka dan

akses terhadap kekuasaan dalam demokrasi. Kelompok tersebut menggunakan ide

marginalitas untuk menggambarkan kelompok yang dianggap berada di luar arus

utama. Istilah “pusat” dan “pinggiran atau marginal” adalah deskripsi sederhana

tentang yang memiliki daya kekuatan politik sekaligus berkuasa berhadapan

dengan kelompok yang tidak memiliki. Marginalitas dapat pula dimengerti

sebagai sebuah kondisi keterpinggiran atau terkucilkan. Sebuah teori

marginalisasi atau marginalitas memberikan pengertian perihal ketimpangan

antara pihak yang mendapatkan akses dan yang tidak (Bouman, 1982).

Dalam wacana pasca kolonial, konsep marginalitas biasanya merujuk pada

kelompok penjajah, Eropa atau Amerika dalam satu sisi, disebut sebagai “pusat”

dan negara-negara terjajah pada sisi lain atau “pinggiran” (Sardar dkk., 2001).

Persoalan yang dibahas menyangkut persoalan ketegangan-ketegangan pada sosial

politik dan residu penjajahan yang masuk dalam kategori mental dan pola pikir.

Misalnya, kelompok marginal yang mengalami subordinasi dikenal dengan istilah

subaltern. Sebuah istilah yang dipinjam dari pemikir Italia Antonio Gramsci

untuk menjelaskan kelompok sosial sub-ordinat yakni kelompok-kelompok dalam

masyarakat yang menjadi obyek hegemoni kelompok berkuasa. Sedangkan

Gayatri Cakravorty Spivak menjelaskan bahwa kelompok subaltern tidak pernah

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

26

menempati posisi sebagai subjek karena keberadaan mereka selalu dibingkai

dalam perspektif dan kepentingan kelompok penguasa atau dominan. Mereka

selanjutnya tidak dapat bersuara sendiri untuk kepentingan mereka sendiri.

Mereka hanya bisa bersuara melalui mekanisme representasi atau perwakilan yang

diharapkan dapat menyuarakan kepentingan mereka. Tetapi, representasi yang

diharapkan belum tentu menyuarakan kepentingan mereka. Tidak terdapat garansi

bahwa ide mereka disampaikan meskipun telah didengar. Kondisi inilah yang

kemudian diistilahkan sebagai politik representasi dimana pihak yang telah

ditunjuk sebagai “perwakilan” subaltern ternyata berbicara dengan perspektif dan

kepentingan mereka sendiri (Morton, 2003 : 57, Sardar dkk., 2001 : 116).

Kontekstualisasi konsep subaltern pada kelompok masyarakat transmigrasi

sebagaimana disinggung oleh Sunu Pramono Hadi (2007) diatas yakni ketika

tokoh-tokoh politik dari kelompok dominan mendatangi UPT-UPT untuk

mengkoordinir suara mereka dan lantas digiring ke bilik-bilik suara. Selanjutnya,

pasca pemilihan proses pendengaran dan penyerapan anspirasi tidak berjalan

karena proses demokrasi sudah dianggap “selesai”.

Para ahli ilmu politik telah mengembangkan ide marginalitas untuk

menggambarkan kelompok yang dianggap berada di luar arus utama, maka

mereka mendiskusikan sebuah cara baru untuk memahami istilah bahasa dan

kekuasaan. Pandangan tentang apa yang membuat orang disebut “marginal”

tergantung dengan apa yang dipahami sebagai “pusat”. Jika “pusat” adalah

mereka yang memiliki sumber daya kekuatan ekonomi maka mereka yang tidak

memiliki dapat disebut dengan “marginal”. Di sisi lain, jika kekuasaan politik

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

27

dianggap penting maka mereka yang tidak memiliki jalur kekuasaan itu disebut

juga sebagai “marginal” meskipun memiliki uang. Dengan demikian marginalitas

adalah sebuah definisi bebas, fleksibel tergantung bagaimana ketegangan tarik

menarik merebutkan poin yang disebut sebagai “tengah”. Kontekstualisasinya

dengan transmigran adalah mereka tidak memiliki kekuasaan kepemimpinan

daerah sebagai pemeran utama meskipun memiliki keuangan.

1.5.2. Etika Harmoni Jawa

Memasuki lingkungan masyarakat Jawa akan menemukan “atmosfer

Jawa”, baik itu di tanah Jawa maupun di luar Jawa dimana orang-orang Jawa

berkoloni. Cara berbicara, bersopan-santun, memandang diri, sekitar dan

lingkungannya tidak terlepas dari nilai-nilai Jawa yang dibatinkan dalam diri

orang Jawa. Dalam konteks penelitian ini, cara hidup orang Jawa saya maksudkan

sebagai etika Jawa. Dan pada akhirnya nanti meneropong masyarakat pendatang

transmigran Jawa di Tulang Bawang dengan menggunakan Etika Jawa sebagai

perspektif akan dapat mengantarkan jawaban ala orang Jawa menyangkut

pertanyaan atas marginalisasi politik yang terjadi atas diri mereka.

Etika Jawa memuat “pandangan hidup orang Jawa”. Orang Jawa yang

keyakinan Islamnya kuat atau biasa disebut santri, “sekedar Islam” atau abangan,

Nasrani dan lain sebagainya tidak akan serta merta meninggalkan pandangan

hidup Jawanya (Hardiman, 2011). Nilai-nilai Jawa akan selalu dihayati dan

dikonstruksikan pada diri masing-masing sejak masa kanak-kanak melalui tutur,

contoh praktik keseharian yang diwariskan oleh orang tua dalam keluarga maupun

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

28

lingkungannya. Orang Jawa yang tidak mempraktikkan nilai-nilai Jawa biasanya

disebut “tidak njawani” atau “tidak seperti orang Jawa”. Ungkapan “orang Jawa

tidak njawani/wong Jowo ora njawani” bagi telinga orang Jawa merupakan

teguran halus yang keras.

Jika “etika barat” dipengaruhi oleh Immanuel Kant dengan

mendisposisikan asal dari suara hati nurani, mengikuti secara penuh tarikan

subjektivitas, etika Jawa lebih menekankan tercapainya kompromi antara

perintah-perintah subjektivitas dengan hasil faktual tindakan yang berkesesuaian

dengan masyarakat (Hardiman, 2011 : 112). Oleh karena itu, etika Jawa disebut

juga dengan etika harmoni.

Etika harmoni dapat dianggap sebagai etika keutamaan yang mendasarkan

diri pada pandangan dunia mistis bahwa jagad cilik (mikrokosmos) atau individu

seharusnya berada dalam hubungan harmonis dengan jagad gede (makrokosmos)

dan kesatuan mistis antara penguasa dengan rakyatnya, antara hamba dengan

Tuhannya. Akibat pengedepanan prinsip harmoni antara dua kutub yang

berhadap-hadapan, individu-masyarakat, jagad cilik-jagad gede, etika Jawa

seringkali tidak menarik batas yang jelas antara “perilaku yang keliru’ dengan

“kesalahan moral”. Seseorang tidak serta merta dikatakan “jahat” melainkan

“keliru”, tidak “tolol” tetapi “durung ngerti” (Hardiman, 2011).

Kebaikan tertinggi bagi orang Jawa yang tercermin dalam etika harmoni

menyerupai konsep “eudaimonia” Aristoteles, yakni harmoni kosmis atau keadaan

selamet/selamat yang di dalam pengalaman subjektif tercermin sebagai

katentreming ati. Ketentraman hati hanya tercapai dan dapat dirasakan oleh

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

29

individu ketika mampu menempatkan diri di tengah orang lain, masyarakat atau

lingkungannya : jagad cilik dan jagad gede. Bahkan, orang Jawa dianjurkan untuk

menyimpan rasa tidak senang, ketidaksukaan dan cukup dirasakan dalam batin

terhadap faktor eksternal seperti tindakan tetangga dan lain-lain demi menjaga

harmoni kosmis (Hardiman, 2011).

Sebagai sebuah prinsip etik yang komplit, etika Jawa tidak tertulis secara

sistematis dan baku seperti sebuah buku pedoman. Nilai-nilai tersebut tersirat

dalam tutur dan doktrin tuntutan yang menjadi bagian dari kewajiban sosial yang

harus dipraktikkan orang jawa. Budi hardiman (2011 : 115) mencatat tuntutan

kewajiban sosial ini pada dua arah : horizontal dan vertikal.

Pertama, tuntutan dasariah horizontal adalah “rukun” dalam bahasa Jawa.

Sebuah kata adjektif yang berarti “damai”, “tanpa pertentangan”, “harmonis” atau

“serasi”. Orang-orang Jawa berusaha mengedepankan keselarasan dan

menghindari pertentangan dengan orang lain dalam pergaulan sosial. Cenderung

untuk menghindari tegangan yang mengganggu sekalipun untuk itu dia harus

menekan perasaan dan keinginannya. Segala yang mengusik keselarasan seperti

konflik kepentingan, ambisi individu, ketamakan, agresi, emosi dan seterusnya

harus disingkirkan (Budi Hardiman, 115-116). Para individu dituntut bertindak

selaras dengan kelompoknya. Oleh sebab itu, damai di suatu lingkungan, bisa saja

hanya merupakan kesan permukaan.

Kedua, tuntutan dasariah yang vertikal adalah “urmat”, dalam bahasa Jawa

atau “respek”, “penghargaan”, “hormat” dalam bahasa Indonesia. Kata ini bersifat

substantif mengacu pada tata hubungan antara individu Jawa dengan otoritas,

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

30

orang-orang yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Kedudukan tidak sekedar diterjemahkan sebagai suatu jabatan politis atau

birokrasi tetapi pola hirarki semacam anak terhadap orang tua, adik-kakak,

keponakan-paman, anak muda-orang tua dan seterusnya. Di dalam kebudayaan

Jawa semua hubungan sosial tertata secara hirarkis. Masing-masing memiliki

tempatnya sendiri yang cocok. Anak berperan sebagai anak dan harus cocok

menjadi seorang anak, orang tua berperan sebagai orang tua dan harus cocok

menjadi orang tua, pejabat harus menempati tempatnya dan mencocokkan

sikapnya dengan jabatannya. “Setiap orang dalam bahasa dan ungkapan harus

selalu mengungkapkan sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan

peringkatnya” (Budi Hardiman, 2011: 112).

Tuntutan horizontal dan vertikal, rukun dan urmat dalam etika Jawa pada

bahasannya nanti akan menjadi sangat berguna bagi peneropongan sikap balik

orang-orang Jawa Tulang Bawang Barat dalam menyikapi marginalisasi politik

atas diri mereka.

1.5.3 Konsep Otonomi Daerah

Otonomi daerah diberlakukan secara serentak di Indonesia pasca Soeharto

lahir sebagai kritik terhadap model penyelenggaraan negara yang sentralistik era-

Orde Baru. Dengan demikian, dapat dikatakan otonomi daerah merupakan

fenomena politik yang mengusung misi partisipasi masyarakat lokal dari pola

sentralistik-birokratis ke arah desentralisasi-partisipatoris. Dengan bahasa lain,

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

31

memberikan peluang seluas-luasnya bagi masyarakat daerah untuk terlibat aktif

mendisain pembangunan secara sosial, ekonomi, politik maupun budaya.

Paradigma otonomi daerah dimuat dalam UU No. 22 tahun 1999 dan telah

direvisi menjadi UU no 32 tahun 2004 telah meletakkan otonomi penuh, luas dan

bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota demi peningkatan efektifitas

pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan

pembangunan daerah secara berkelanjutan dan lebih jauh diharapkan akan

menjamin tercapainya keseimbangan antara pusat dan daerah.

Konsep otonomi daerah yang dimunculkan melalui UU No. 22/1999

sesungguhnya memiliki substansi otonomi yang lebih jelas di dalam kerangka

negara yang demokratis dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

a. Redistribusi kekuasaan.

Mengembalikan kewenangan pemerintahan daerah yang dapat mengatur

pemerintahannya sendiri dilakukan sebagai jawaban atas sentralisasi yang

begitu kuat pada level pemerintahan pusat.

b. Pemberdayaan komunitas dan pemerintahan daerah.

Proses redistribusi kekuasaan diikuti secara nyata dengan penyerahan

urusan-urusan kepada pemerintahan daerah seperti pengelolaan sumber

daya alam serta urusan lain sebagaimana digariskan undang-undang.

c. Efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan dipenuhinya dua unsur di atas diharapkan mampu menciptakan

efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

32

Konsepsi teoretik otonomi daerah sengaja dijadikan sebagai landasan teori

demi untuk melihat bahwa pada praktik di lapangan konsepsi ideal otonomi

daerah telah melahirkan narasi-narasi baru tentang klaim keber-hak-an kuasa

politik dan menjadi pintu masuk bagi lahirnya raja-raja lokal baik di tingkat

eksekutif maupun legislatif.

1.5.4 Konsep Konstruksi Identitas

Stuart Hall mengindentifikasi tiga perbedaan cara yang

mengkonseptualisasikan identitas yakni subjek pencerahan, subjek sosiologi dan

subjek posmodernisme. Subjek pencerahan dipahami sebagai subjek Cartesian

merujuk pada Rene Descartes seorang filosof Perancis abad pencerahan yakni

cara berpikir yang memilah dua kategori subjek dan objek secara berlawanan

(Hall, 1992 : 275). Subjek AKU sebagai res cogitans, murni unsur psikologi dan

akal budi dari si Subjek sedangkan apa yang dipikirkan atau OBJEK sebagai res

extensa yakni alam material sekeliling bahkan manusia-manusia di luar kesadaran

AKU. Implikasi pandangan Cartesian ini menjadikan definisi identitas bersifat

otonom tidak dipengaruhi atau bertali-kelindan dengan unsur-unsur lain.

Subjek sosiologis tidak dimengerti sebagai identitas keturunan atau

primordial, given atau terbentuk dengan sendirinya melainkan merupakan

fenomena kebudayaan akibat interaksi subjek dengan manusia dan kebudayaan

lain di luar dirinya. Dalam proses persentuhan dengan apa di luar dirinya terjadi

internalisasi eksternalitas berupa nilai-nilai, bahasa, budaya, cara berfikir dan

seterusnya. Ketika subjek pertama kali dilahirkan maka keluarga adalah entitas

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

33

pertama yang memberikan pengaruh. Baru kemudian sosialitas dimana si anak

melakukan perjumpaan sosial.

Subjek posmodernisme adalah kritik akan subjek Cartesian maupun subjek

sosiologi. Bagi pandangan ini definisi identitas seseorang atau kelompok tidaklah

bersifat otonom seperti skema subjek-objek ataupun tidak melulu dipengaruhi

oleh sosialitasnya. Subjek dilihat memiliki inti diri (core self) yang mampu

mengkordinasikan diri secara reflektif ke dalam kesatuan. Bagi Hall, definisi diri

mengalami desentralisasi, terpecah, bergeser bahkan kadang memiliki identitas

ganda (1992 : 227). Identitas tidaklah dibentuk oleh hanya satu, tetapi beberapa

identitas yang kadang menunjang atau saling bertentangan.

Secara konseptual subjektivitas dan identitas mempunyai hubungan erat

dan tidak dapat dipisahkan. Poros pertanyaan tetap berpusat pada apakah person

itu ? Sementara eksplorasi tentang identitas adalah menanyakan bagaimana kita

melihat diri kita dan orang lain melihat kita (Barker, 2000:165).

Maynard mencatat, maraknya pembahasan konsep identitas

dilatarbelakangi oleh perubahan fundamental dalam hubungan antar bangsa

selama dekade 1990-an yakni sejak berakhirnya era perang dingin pasca

ambruknya Uni Sovyet, terdapat pergeseran yang signifikan tentang karakter

konflik international dari konflik yang bersifat ideologis bergeser menuju konflik

identitas (identity conflict) yang terjadi dalam ruang-ruang sempit dan menembus

kemana-mana hingga ke dalam arena rumah tangga (1993:34).

Anthony Giddens berpendapat bahwa identitas diri merupakan

keterampilan seseorang atau kelompok orang tersebut dalam menarasikan diri. Ia

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

34

menyangkut perasaan yang konsisten tentang kontinuitas biografi dirinya.

Pertanyaan-pertanyaan berupa apa yang dikerjakan ? Bagaimana melakukannya ?

Siapa yang menjadi ? Dan lain-lain adalah sebentuk pertanyaan yang berusaha

mengkonstruksi identitasnya dengan dasar cerita yang saling bertalian dari proses

perjalanan masa lalu menuju masa depan (1991:53). Identitas diri adalah apa yang

kita pikirkan tentang identitas diri tersebut dalam kapasitasnya sebagai “diri” atau

person. Tetapi Gidden buru-buru menambahkan bahwa identitas diri bukan pula

sekumpulan sifat-sifat yang kita miliki atau bukan sesuatu yang lekat dalam diri

kita. Dengan demikian, ia merupakan sarana berpikir tentang diri kita sendiri.

Hanya saja yang dipikirkan tersebut senantiasa berubah dari lingkungan satu ke

lingkungan yang lain sesuai perkembangan gerak ruang dan waktu. Baginya,

identitas adalah sebuah proyek yakni sesuatu yang diciptakan, berproses dan terus

maju bergerak.

Sedangkan Barker (2000) menjelaskan bahwa identitas merupakan gejala

kultural dan sosial dengan argumen sebagai berikut :

a. Setiap gagasan tentang bagaimana pribadi adalah pertanyaan kultural.

Misal, bahwa individualisme adalah label yang disematkan oleh

masyarakat modern secara spesifik.

b. Sumber-sumber yang membentuk materi proyek identitas misalnya bahasa

dan praktik kebudayaan adalah sesuai dengan watak sosialnya. Akibatnya

apa yang kita artikan sebagai perempuan, anak-anak, orang tua, bangsa ini

atau itu dibentuk secara berbeda menurut konteks kebudayaan yang

berbeda pula.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

35

Identitas dengan demikian adalah persoalan tentang kesamaan dan

perbedaan, personal dan sosial tentang apa persamaan diri kita dengan lainnya

serta apa yang membedakan diri kita dengan yang lainnya.

1.5.5. Teori Etnisitas

Ragam pandangan menyangkut teori etnisitas mengalami perkembangan

dinamis ketika diteropong sebagai gejala sosial. Awal mulanya hanya merupakan

pandangan sederhana yang mengatakan bahwa etnisitas merupakan gejala biologis

yang sebagian asumsinya menyatakan bahwa etnis merupakan kecenderungan

alamiah. Menurut pemahaman ini suatu bangsa terkonfigurasi sebagai suatu

bangsa atau etnik tertentu karena memang sacara alamiah atau natural demikian

adanya. Oleh sebab itu, persoalan etnisitas tidak lebih dari ukuran karakteristik

tubuh (Lipschutz, 1998 : 55). Konfigurasi suatu bangsa tertentu ditentukan oleh

kesamaan anggota-anggotanya yang ukurannya adalah kesamaan ciri khas fisik.

Mengacu pada pandangan Benedict Anderson (2001) dan kelompok

intelektual lain yang sealiran, berkembang pengertian bahwa etnisitas merupakan

proyek intektual kaum borjuis yang berupaya membedakan diri mereka dengan

komunitas lain yakni kebudayaan tinggi dengan kebudayaan rendah (Ernest

Gellner, 1983). Anderson menyebutnya sebagai komunitas yang terbayang atau

imagined community. Budaya tinggi yang dimaksud adalah keterampilan kerja

untuk posisi-posisi administratif dan birokrasi sehingga memudahkan laju

perkembangan ekonomi dan modernisasi. Di luar komunitas ini adalah individu-

individu yang ditempatkan di wilayah pinggiran dan tidak memiliki pengetahuan

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

36

kerja sipil sebagaimana dijelaskan dimuka. Pada perspektif ini, persoalan etnisitas

muncul karena persoalan pembedaan, dikotomi kami dan mereka dan pembedaan

atas klaim terhadap dasar, asal-usul dan karakteristik budaya. Etnisitas adalah

hasil dari sebuah dinamika hubungan sosialitas bukan sekedar persoalan batasan

teritori geografis (Dwyer, 1996 : 3). Pada pengertian ini jika tidak ada orang

dalam atau orang luar maka tidak ada yang namanya etnisitas.

Etnisitas oleh karenanya merupakan predikat seseorang atau kelompok

individu yang terangkum dalam kesamaan kolektivitas. Mereka merasakan

“perasaan yang sama”. Dalam identifikasinya, terdapat dua pandangan yakni (1),

sebagai unit objektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang

dan (2), hanya sekedar produk pemikiran seseorang yang kemudian menyatakan

sebagai suatu kelompok etnis tertentu (Abdillah, 2002 : 14).

Dengan demikian etnisitas dapat dimengerti sebagai fenomena

kebudayaan yang berangkat dari norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan

simbol-simbol serta praktik kebudayaan. Perkembangan sosial politik pada suatu

kawasan tertentu dapat membentuk rasa saling memiliki, minimal oleh keyakinan

bahwa mereka berakar pada garis keturunan yang sama. Sedangkan berlawanan

dengan itu adalah pandangan anti esensialis bahwa etnisitas tidak berangkat dari

fakta primordial atau karakter kebudayaan universal yang menjadikan

terbentuknya kelompok etnis tertentu secara khusus, tetapi terangkai oleh praktik-

praktik yang tidak bertali-kelindan satu dengan yang lain. Etnisitas dalam

pengertian ini, dibentuk oleh identitas kelompok dan diidentifikasi oleh tanda-

tanda dan simbol-simbol yang disepakati.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

37

Pengertian kaum kulturalis tentang definisi etnisitas merupakan lompatan

jauh ke depan yakni ketika mereka lari dari konsep ras dan implikasi rasisnya.

Hall (1996 : 446), menyatakan bahwa etnisitas mengakui peran sejarah, bahasa

dan kebudayaan dalam pembentukan identitas dan subjektivitas seseorang. Semua

pengetahuan diskursus tertentu disituasikan secara kontekstual. Berikut

dipaparkan ilustrasi alur pikir penelitian marginalisasi pendatang-transmigran

Jawa di Tulang Bawang Barat dalam wilayah politik :

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

38

1.6. Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan kombinasi penelitian pustaka dan lapangan

dengan pendekatan kualitatif. Penelitian lapangan dilakukan untuk menjaring

pandangan, sikap dan pendirian masyarakat pendatang-transmigran Tulang

Bawang Barat perihal topik penelitian sebagai bagian dari inventarisasi data yang

pada tahapan selanjutnya diolah, dianalisis dan diinterpretasikan secara

komprehensif dengan dukungan data pustaka.

Penggalian data lapangan menjadi agenda utama kerja penelitian agar

semaksimal mungkin didapat data objektif, aktual dan terpercaya.

1.6.2 Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian difokuskan pada kantong-kantong koloni

Jawa, baik kelompok transmigran maupun non-transmigran atau pendatang Jawa

yang tidak termasuk kelompok transmigran yang menyebar di beberapa titik

kabupaten Tulang Bawang Barat. Di antara sekian titik koloni yang paling

representatif adalah kawasan Wai Abung II, Tumijajar, Lembu Kibang, Tulang

Bawang Tengah, Tulang Bawang Udik dan lain-lain. Meskipun demikian, lokasi

penelitian dilakukan pula di daerah perkotaan dimana sebagian pendatang Jawa

non-transmigran bermukim.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

39

1.6.3 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah orang-orang Jawa baik transmigran

maupun bukan yang telah menjadi penduduk Tulang Bawang Barat. Orang Jawa

tetapi masih berstatus pendatang non-penduduk tidak akan diambil kesaksiannya.

Keterangan juga diambil dari masyarakat lokal. Masing-masing kelompok,

pendatang Jawa-transmigran maupun lokal akan dipilih secara acak dengan

kategori-kategori tertentu.

Klasifikasi responden pendatang-transmigran Jawa :

Pendatang Jawa:

Pendatang etnik Jawa yang telah

bertempat tinggal dalam kurun lama

dan berKTP Tulang Bawang Barat.

Pada kelompok ini, mereka adalah

pendatang asal Jawa yang semula

hanya bekerja atau ikut famili

trasmigran

Transmigran Jawa :

Kelompok transmigran baik generasi

pertama, kedua atau ketiga yang relevan

dan tersebar di 8 kecamatan

Pada kelompok ini mereka adalah resmi

menjadi peserta tranmigrasi pemerintah

Penelitian kualitatif pada dasarnya tidak memberi batasan maksimum dan

minimum berapa jumlah responden yang harus diambil. Prinsipnya, kualitas dari

informasi responden dan data yang dihasilkan telah mampu memenuhi tujuan

riset. Berkenaan dengan ciri khas penelitian kulitatif, Judistira K. Garna (1993 :

32) menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan peneliti yang

berupaya memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa yang tidak memerlukan

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

40

kuantifikasi, atau tidak memungkinkan gejala-gejala tersebut untuk diukur secara

tepat.

1.6.4 Teknik Pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi

partisipan, wawancara dan dokumentasi (FGD) :

1.6.4.1 Teknik Observasi

Observasi merupakan langkah pertama yang dilakukan. Sebagai orang

yang terlibat, mengalami dan merasakan hidup di tengah-tengah masayarakat

lokal, marginalisasi politik menjadi isu langsung yang dapat dirasakan pertama

kali semenjak otonomi daerah diberlakukan. “Rasa” inilah yang pada akhirnya

menjadi titik tolak untuk mengamati apakah, yang lain sedang merasakan dan

mendapat persepsi yang sama atau hanya bersifat personal : “rasa saya” saja.

Agar tidak menjadi bias dan apriori serta bersifat objektif maka

pengamatan dilakukan secara menyeluruh : lingkungan sekolahan, perkantoran,

kantor-kantor pelayanan publik, desa, kota, berita-berita koran-televisi dan lain

sebagainya. Dengan tahapan observasi ini, pemilihan lokasi, aktor-aktor informan

dapat ditentukan untuk digali informasinya.

1.6.4.2 Teknik Wawancara

Wawancara merupakan langkah paripurna dalam penggalian informasi.

Jika observasi lebih pada pengamatan bentuk benda dan kegiatan yang bersifat

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

41

fisik maka wawancara sesungguhnya pencarian “roh” yang bersembunyi dibalik

“benda-benda fisik” tersebut.

Teknik wawancara biasanya menggunakan dua jenis, berstruktur dan

tidak berstruktur. Dalam tradisi penelitian kualitatif, terutama pada kegiatan

wawancara awal biasanya sering tidak berstruktur agar mendapatkan gambaran

awal pandangan responden tentang subjek yang diinginkan. Karena tidak

terstruktur maka responden bisa secara bebas menjawab dan mengeksplorasi

tanpa diarahkan secara ketat oleh peneliti. Peneliti dalam tahapan ini, adalah

seorang pendengar yang baik.

Tahap berikutnya, ketika wawancara tidak terstruktur memberikan hasil

awal maka wawancara dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang

pertanyaannya diatur oleh peneliti.

1.6.4.3 Teknik Dokumentasi

Pendokumentasian dilakukan untuk mendukung data dan informasi yang

telah terkumpul. Dapat digunakan sebagai komplemen, pembanding atau

penunjang bagi informasi responden. Studi dokumentasi dimaksudkan untuk

memperoleh data tekstual yang sudah berbentuk teks tertulis seperti kliping

Koran, tulisan para partisipan dan lain sejenisnya.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82509/potongan/S3-2015... · paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka

42

Alur aktifitas pengumpulan data

Menentukan lokasi

Akses ke lokasi

Sampel responden yang dituju (purposfully sampling)

mengumpulkan data (collecting data)

mencatat informasi data (recording information)

Klasifikasi/analisa data (resolving field type)

Penarasian data (storing data)

Diadabtasi dari Cresswell (1994 :125)