bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah i.pdftujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pengangkutan atau sistem transportasi mempunyai peranan yang sangat
penting dalam memperlancar kegiatan lalu lintas perjalanan sehingga
pengangkutan tersebut dijadikan sebagai suatu kebutuhan bagi kehidupan
masyarakat sehari-hari. Seiring dengan perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan, di bidang teknologi, serta dalam rangka pelaksanaan pembangunan
nasional kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi ini juga mulai meningkat.
Negara Indonesia merupakan negara Kepulauan yang di dalamnya terdapat
berbagai macam daerah pariwisata sehingga banyak para wisatawan yang tertarik
untuk datang menikmati daerah wisata tersebut. Mengingat hal tersebut sarana
transportasi sangat diperlukan oleh masyarakat yang ingin berkunjung ke suatu
tempat dalam hal ini dari satu pulau ke pulau lain, sehingga kini banyak terdapat
penyedia jasa angkutan khususnya angkutan kapal laut. sarana pengangkutan
sangat dibutuhkan bagi masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam
melaksanakan aktifitasnya sehari-hari. Hal tersebut mengingat bahwa sering kali
aktifitas terjadi di sentra-sentra tertentu.
Hal yang sangat mendasar dalam pengangkutan adalah adanya pengangkut
dan penumpang atau pengguna jasa angkutan. Antara pengangkut dan penumpang
terdapat hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Adapun
yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan di sini adalah persetujuan dimana
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang
2
dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan
penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan. Dalam perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan, tetapi
didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi dan
mengikat.1
Suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, ini terkandung
dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat
KUHPerdata). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur-unsur yaitu adanya
perbuatan, dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
dan mengikatkan dirinya.
Pengangkutan sebagai perjanjian merupakan perjanjian timbal balik antara
pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri
untuk membayar uang angkutan.2
Menurut Sution Usman Adji, bahwa pengangkutan adalah sebuah perjanjian
timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa
berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya
1 Abdulkadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, cet. IV, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 46. 2 H.M.N. Purwosutjipto, 1995, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan,
Jakarta, h.2.
3
(pengirim atau penerima) berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu
untuk pengangkutan tersebut.3
Dalam perjanjian pengangkutan bukti adanya perjanjian pengangkutan yaitu
biasanya dalam wujud surat angkutan berupa tiket penumpang. Surat angkutan ini
bersifat mengikat pengangkut dan penumpang, sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1338 KUHPerdata yaitu “semua persetujuan yang dibuat secara sah,
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kegiatan pengangkutan dalam hal ini khususnya pengangkutan laut tidak
hanya bersifat hukum perdata tetapi juga hukum publik, karena di dalam
perjanjian pengangkutan juga terkait tentang keselamatan pelayaran. Hukum
pengangkutan menyangkut hukum perjanjian yang merupakan suatu perjanjian
sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang bersifat terbuka dan
menganut asas atau prinsip konsensualitas, kebebasan berkontrak, serta juga
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disingkat
KUHD). Tujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau
keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan di
dalam istilah jual beli perusahaan, dalam arti perbuatan yang direncanakan lebih
dulu tentang untung ruginya dan segala sesuatunya dicatat dalam pembukaan. Jual
beli ini tidak untuk dikonsumsi sendiri tetapi untuk kepentingan perusahaan atau
jabatannya dalam perusahaan itu.4
3 Sution Usman Adji, dkk, 1991, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Cet. II, Rinka Cipta,
Jakarta, h. 26. 4 H. Djafar Al Bram, 2011, Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku I): Pengertian,
Asas-Asas, Hak Dan Kewajiban Para Pihak, Cet. I, Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pancasila, Jakarta, h.1.
4
Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba
di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang
ataupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan
dari satu tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan,
sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang
dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit
atau meninggal dunia. Meningkatkan nilai guna artinya nilai sumber daya
manusia dan barang di tempat tujuan menjadi lebih tinggi bagi kepentingan
manusia dan pelaksanaan pembangunan.5
Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang
Pelayaran menyatakan “perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab
terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang
diangkatnya.” kemudian dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 menyatakan perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab
atas akibat yang ditimbulkan dalam pengoperasian kapal berupa :
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut
b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut
atau
d. kerugian pihak ketiga.
5 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.18.
5
Jika perusahaan pengangkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian
itu bukan disebabkan oleh kesalahannya maka dia dapat dibebaskan sebagian atau
seluruh dari tanggung jawabnya. (Pasal 41 ayat (2)).
Menurut Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang
Pelayaran disebutkan “perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan
tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan
asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut berlaku bagi semua kegiatan
angkutan di perairan, dalam hal ini khususnya termasuk juga dalam kegiatan
pengangkutan perairan menggunakan kapal wisata. Pengangkutan laut yang
berwawasan pariwisata ini menjadi sorotan utama bagi wisatawan, mengingat hal
tersebut sudah sepantasnya yang menjadi prioritas utama perusahaan
pengangkutan di perairan khususnya dalam kegiatan pariwisata adalah keamanan
dan keselamatan penumpang. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab
banyaknya ada permasalahan dari pihak penumpang terhadap kerugian yang
ditimbulkan akibat pengoperasian kapal. Seperti misalnya kasus tentang
kecelakaan kapal yang mengakibatkan cedera hingga kematian penumpang, hilang
atau rusaknya barang bawaan penumpang, maka dari itu perusahaan
pengangkutan di perairan bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami
penumpang yaitu keselamatan barang dan penumpang berupa kematian atau
lukanya penumpang akibat pengoperasian kapal.
6
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dipilih judul dalam skripsi ini
yaitu “Tanggung Jawab Pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata
akibat terjadinya kecelakaan : Studi Pada PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat di
Klungkung ”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan yang dapat diangkat untuk
selanjutnya diteliti dan dibahas yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimanakah tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian
penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan ?
2. Bagaimanakah cara menentukan besarnya ganti kerugian kepada
penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari penyimpangan serta pengumpulan data yang tidak
diperlukan dalam penulisan serta agar nantinya penelitian yang dilaksanakan lebih
mendalam maka ruang lingkup yang akan dibahas dibatasi pada.
1. Tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata
dalam hal terjadinya kecelakaan.
2. Cara menentukan besarnya ganti kerugian kepada penumpang kapal
wisata akibat terjadinya kecelakaan.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata
akibat terjadinya kecelakaan : Studi Pada PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat di
Klungkung, merupakan karya asli hasil pemikiran sendiri yaitu dari hasil
7
membaca beberapa literatur. Bahwa sebelumnya sudah terdapat penelitian yang
sejenis di Universitas Udayana yaitu :
No Penulis Judul Masalah
1.
Alfitra
Pangenyori,
2015
Tanggung Jawab
Perusahaan Angkutan
Bus Terhadap
Kecelakaan
Penumpang Tidak
Resmi Dalam
Angkutan Bus Antar
Kota Antar Provinsi :
Studi Pada P.O Restu
Mulya Denpasar
1. Bagaimanakah pengawasan
pihak perusahaan angkutan
terhadap awak bus yang
menaikkan penumpang
tidak resmi ?
2. Bagaimanakah tanggung
jawab perusahaan angkutan
bus apabila terjadi
kecelakaan terhadap
penumpang tidak resmi ?
2. 2.
I Putu
Ananta
Wijaya,
2015
Tanggung Jawab
Pengangkut Terhadap
Kecelakaan
Penumpang Angkutan
Umum Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu
Lintas Dan Angkutan
Jalan
1. Bagaimanakah bentuk
pengaturan pengangkutan
penumpang umum yang
menurunkan penumpang
tidak sesuai dengan izin
trayek ?
2. Bagaimanakah tanggung
jawab dalam hal terjadinya
kecelakaan lalu lintas pada
angkutan umum yang
menurunkan penumpang di
tempat yang tidak
seharusnya akibat
permintaan penumpang
sendiri
1.5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan ini secara garis besarnya dapat diperinci sebagai
berikut.
a. Tujuan umum.
- Untuk mengetahui tentang bagaimana tanggung jawab pengangkut
terhadap keselamatan penumpang kapal wisata dalam hal terjadinya
kecelakaan.
8
- Untuk mengetahui tentang bagaimana pemberian ganti kerugian
kepada penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan.
b. Tujuan khusus.
- Untuk memahami tentang bagaimana tanggung jawab pengangkut
terhadap keselamatan penumpang kapal wisata dalam hal terjadinya
kecelakaan.
- Untuk memahami tentang bagaimana pemberian ganti kerugian kepada
penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan.
1.6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
a. Manfaat teoritis.
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan
pengetahuan dalam pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan
dengan masalah pertanggung jawaban terhadap kerugian yang dialami
penumpang kapal.
b. Manfaat praktis.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu mengetahui lebih
jauh mengenai bagaimana kesesuaian antara teori yang telah diperoleh di
bangku kuliah dengan kenyataan yang terjadi di lapangan serta dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penulisan skripsi
ini.
9
1.7. Landasan Teoritis
Pengangkutan merupakan kegiatan memindahkan barang atau commodity of
goods dan penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga pengangkut
menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang
membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barang-barangnya.6
Pengangkutan berasal dari suatu perjanjian pengangkutan. Perjanjian
pengangkutan merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil antara pengangkut
dan penumpang dan memiliki timbal balik antara pihak-pihak yang melakukan
perjanjian. Pengangkut berjanji untuk mengangkut penumpang serta barang-
barang bawaannya ke tempat tujuan dan penumpang berkewajiban untuk
membayar biaya-biaya pengangkutan.
Konsep dari pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu sebagai berikut.
1. Pengangkutan sebagai usaha (business),
2. Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), dan
3. Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process).
Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir
dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Tujuan kegiatan usaha pengangkutan
adalah memperoleh keuntungan dan/atau laba, tujuan kegiatan perjanjian
pengangkutan adalah memperoleh hasil realisasi yang diinginkan oleh pihak-
pihak, dan tujuan kegiatan pelaksanaan pengangkutan adalah memperoleh
keuntungan dan tiba dengan selamat di tempat tujuan.7
6 Soegijatna Tjakranegara, 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka
Cipta, Jakarta, h.1. 7 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.1.
10
Kegiatan memindahkan tersebut dapat dibedakan ke dalam dua pengertian,
yaitu :
1. dalam arti luas, menyangkut :
a. memuat penumpang ataupun barang ke dalam alat pengangkut
b. membawa apa yang diangkut ke tempat tujuan
c. menurunkan penumpang atau membongkar barang di tempat tujuan.
2. sedangkan dalam arti sempit meliputi pemindahan barang atau
penumpang dari terminal (apabila melalui jalur darat), dari pelabuhan
(apabila menggunakan jalur laut), dan bandara (apabila menggunakan
jalur udara) ke tempat tujuan.8
Subjek hukum dari pengangkutan terdiri dari pengangkut, pengirim,
penumpang, penerima, ekspeditur, pengatur muatan, pengusaha pergudangan.
Penumpang selalu berupa manusia pribadi dapat berfungsi ganda yaitu sebagai
subjek sekaligus objek pengangkutan. Sedangkan objek perjanjian pengangkutan
adalah apa yang diangkut (muatan barang dan penumpang), biaya pengangkutan
dan alat pengangkutan.
Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan
penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal. Berdasarkan Undang-
Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 Pasal 6, bahwa Jenis-jenis angkutan di
Perairan terdiri atas 3 (tiga) jenis, yaitu :
1. angkutan laut
8 Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 134.
11
angkutan laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya
melayani kegiatan angkutan laut.
2. angkutan sungai dan danau
angkutan sungai dan danau adalah kegiatan angkutan dengan
menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa,
banjir kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang dan /atau
barang yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan
danau.
3. angkutan penyeberangan
Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur
kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang
dan kendaraan beserta muatannya.
Jenis Angkutan Laut, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Pelayaran
Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang
angkutan perairan, terdiri atas 4 jenis yaitu sebagai berikut.
1. Angkutan laut dalam negeri
2. Angkutan laut luar negeri
3. Angkutan laut khusus
4. Angkutan laut pelayaran rakyat
Dalam penyelenggaraan pengangkutan sebelumnya harus ada perjanjian
pengangkutan antara pengangkut dan penumpang. Suatu perjanjian merupakan
suatu peristiwa di mana seorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian
12
merupakan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan di mana untuk
terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang
dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu.9 Istilah perjanjian ini
sama dengan kontrak. Subekti mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana
seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu.10
Suatu perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4
(empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.
1. Adanya kata sepakat
Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap
segala hal yang terdapat di dalam perjanjian.11
Pada dasarnya kata
sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak
di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya
atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang
disepakati.12
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
Dalam pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-
undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan
9 Purwahid, 1994, Pengertian Perjanjian, Rineka Cipta, Jakarta, h. 47.
10 Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 36.
11 Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76.
12 J. Satrio, 1955, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 164.
13
bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
yaitu orang yang belum dewasa (persons under 21 years of age),
mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or
conservatorship) dan perempuan yang sudah menikah. Berdasarkan
Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah
berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah.
3. Suatu hal tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu
(een bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan
jenisnya (determinable).13
4. Kausa hukum yang halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum
yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut
menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh
seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak
sah.14
Ada asas-asas hukum perjanjian yang penting untuk diketahui dalam rangka
memahami hukum perjanjian pada umumnya. Dari asas-asas perjanjian tersebut,
terdapat asas-asas yang berlaku pada saat mengadakan perjanjian dan ada yang
berlaku pada saat setelah mengadakan perjanjian sebagai akibat dari perjanjian
13 Sudargo Gautama, op.cit, h. 79.
14 Sudargo Gautama, op.cit, h. 80.
14
yang telah diadakan. Berikut ini ada 10 (sepuluh) asas hukum perjanjian yang
akan diuraikan, yaitu 15
1. asas kebebasan berkontrak, asas ini mengatur kebebasan para pihak
untuk menentukan sendiri kehendaknya dalam perjanjian.
2. asas konsensualisme (persesuaian kehendak), asas ini tercermin dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, dan mengandung arti kemauan para pihak
untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.
Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu harus
dipenuhi. Grotius mencari dasar konsensus di dalam hukum kodrat,
yaitu pada prinsip pacta sunt servanda (janji itu mengikat), dan
selanjutnya dia juga menyatakan lagi “promissorum implentidorum
obligato” (kita harus memenuhi janji kita), sehingga asas ini
mempunyai pengertian yang sama dengan Pasal 1338 KUHPerdata
bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
3. asas kepercayaan, dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
akan menimbulkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, di mana
satu dengan yang lain akan saling memegang janji, dan para pihak akan
saling memenuhi prestasinya. Tanpa adanya kepercayaan, perjanjian
tidak mungkin terjadi.
4. asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak tidak semata-mata
terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi para pihak juga terikat
15 H. Djafar Al Bram, op.cit, h.7.
15
terhadap unsur-unsur lain yang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan,
serta moral.
5. asas persamaan hukum, tidak membedakan warna kulit, bangsa, jabatan
maupun kekuasaan, mereka para pihak dalam perjanjian harus saling
menghormati.
6. asas keseimbangan, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan,
di mana meskipun kreditur mempunyai kedudukan yang lebih kuat,
namun kreditur dibebani untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad
baik sehingga kedudukan kedua pihak seimbang.
7. asas kepastian hukum, asas ini terungkap dari kekuatan mengikat
perjanjian itu sebagai undang-undang yang harus ditaati.
8. asas moral, orang melakukan perbuatan hukum harus didasari
kesusilaan atau moral yang merupakan panggilan hati nuraninya.
9. asas kepatuhan, berkaitan dengan isi perjanjian yang dihubungkan
dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
10. asas kebiasaan, merupakan bagian dari perjanjian, sebab perjanjian
tidak hanya mengikat pada hal-hal yang nyata diperjanjikan, tetapi juga
terikat pada hal-hal yang dalam keadaan atau kebiasaan yang lazim
diikuti. Artinya, perjanjian itu juga mengikat segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh keputusan, kebiasaan, dan
undang-undang.
16
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu :
a. perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.
b. perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah satu pihak saja.
c. perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi
keuntungan bagi salah satu pihak saja.
d. perjanjian konsensuil, riil dan formil.
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah
terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
barangnya harus diserahkan
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan
bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum
notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
e. perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian
bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan
khusus dalam KUHPerdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII.
Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain.
Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur
17
secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian Leasing,
perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.16
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau sering disebut dengan asas
kebebasan berkontrak (freedom of contract / laissez faire). Konarz Zwiegert dan
Hein Kotz berpendapat “freedom of contract has always had many meaning :
freedom to select and enter contract of any amaginable type, the freedom to
decide whether to contract or not, and the freedom of Beach contractor to fix
terms of his own promise, subject to the agreement of the other party ”.17
(Kebebasan berkontrak memiliki banyak makna : kebebasan untuk memilih atau
bergabung dalam segala jenis perjanjian, kebebasan dalam memilih untuk
menerima perjanjian atau tidak, dan kebebasan para pihak dalam menentukan isi
kontrak).
Kebebasan berkontrak tetap memiliki pembatasan. Batasannya dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan suatu sebab terlarang
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Selain itu
dibatasi juga oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana tiap perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi tanpa adanya itikad baik perjanjian dapat
batal demi hukum.
Pengangkutan perairan dengan kapal diadakan berdasarkan perjanjian antara
perusahaan pengangkutan perairan dan penumpang atau pemilik barang.18
Karcis
penumpang dan dokumen pengangkutan merupakan tanda bukti telah terjadi
16 Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 82.
17 Konarz Zwiegert and Hein Kotz, 1987, Introduction to Comparative Law, Clarendon
Press, Oxford, h. 13. 18
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 11.
18
perjanjian pengangkutan antara perusahaan pengangkutan perairan dan
penumpang atau pemilik barang dengan pembayaran biaya pengangkutan.19
Keselamatan penumpang merupakan tanggung jawab pengangkut.
Pengangkut perlu juga mencantumkan pada dokumen pengangkutan atau dalam
perjanjian pengangkutan bahwa pengangkut wajib :
a. menjaga keselamatan barang yang diangkut sejak penerimaan sampai
saat penyerahannya
b. menjaga keselamatan penumpang sejak saat naik ke kapal sampai saat
turun dari kapal.20
Mengenai kewajiban pengangkut untuk menjaga keselamatan dan keamanan
dari penumpang diatur dalam Pasal 522 KUHD ayat (1) “perjanjian untuk
mengangkut mewajibkan pengangkut untuk menjaga keamanan penumpang dari
saat naik sampai saat turun dari kapal”. Dalam ayat (2) juga disebutkan
“pengangkut wajib mengganti kerugian yang disebabkan oleh cedera yang
menimpa penumpang berkenaan dengan pengangkutan, kecuali ia dapat
membuktikan, bahwa cedera itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang layaknya
tidak dapat dicegah atau dihindari atau akibat kesalahan penumpang sendiri.”
Tanggung Jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai
19 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 183.
20 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 184.
19
akibat sikapnya oleh pihak lain.21
Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban
berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua
hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang
mungkin ditimbulkannya.22
Ganti rugi sendiri merupakan bentuk pemenuhan hak kepada pihak yang
telah dirugikan oleh pihak lainnya yang telah melakukan kesalahan atau pun
kelalaian sehingga menyebabkan kerugian pada pihak tersebut. Ganti rugi sendiri
timbul karena ada sebab, sebab-sebab tersebut antara lain adalah :
a. ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi macam ini
disimpulkan dari Pasal 1365 KUHPerdata yang membebankan ganti rugi
kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang
dirugikan. Ganti rugi ini muncul karena adanya kesalahan.
b. ganti rugi yang disebabkan karena wanprestasi. Di mana dalam hal ini
salah satu pihak telah melakukan wanprestasi atau tidak melakukan hal
yang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Pembebanan ganti rugi ini harus melalui proses somasi. Ganti rugi ini
muncul karena adanya perjanjian dan didasarkan pada Pasal 1243
KUHPerdata.
Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu
tanggung jawab karena kesalahan (fault liability), tanggung jawab karena praduga
(presumption liability), dan tanggung jawab mutlak (absolut liability).
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, h. 1006. 22
F. Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, UAJ Yogyakarta, Yogyakarta, h. 77.
20
Hukum pengangkutan Indonesia umumnya menganut prinsip tanggung
jawab karena kesalahan dan karena praduga. Tanggung jawab karena kesalahan di
mana setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan
pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul
akibat kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan
kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan
pada pengangkut. Prinsip ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia
tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum (general
rule).23
Menurut prinsip tanggung jawab praduga pengangkut dianggap selalu
bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya. Akan tetapi, jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia
tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian
itu. Tidak bersalah artinya tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan
tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau peristiwa yang
menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada
pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam
pengangkutan yang diselenggarakan pengangkut.24
Prinsip ini dapat dijumpai dalam Undang-Undang Pelayaran Indonesia.
Perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab atas akibat yang
ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya berupa :
23 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 49.
24 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 54.
21
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut selama dalam
pengangkutan dan terjadi di dalam kapal dan/atau kecelakaan pada saat
naik ke atau turun dari kapal, sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut sesuai dengan
perjanjian pengangkutan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. keterlambatan pengangkutan penumpang dan/atau barang yang
diangkut meliputi antara lain, memberikan pelayanan dalam batas-batas
kelayakan sesuai dengan kemampuan perusahaan perairan kepada
penumpang selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi
keterlambatan keberangkatan karena kelalaian perusahaan
pengangkutan tersebut mengingat perusahaan pengangkutan perairan
yang masih tergolong usaha ekonomi lemah.
d. kerugian pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum yang tidak ada
kaitannya dengan pengoperasian kapal, tetapi meninggal atau luka atau
menderita kerugian akibat pengoperasian kapal.25
Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability), yaitu menurut prinsip ini
pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap
kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa
keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut.26
25 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 52.
26 Wiradipraja Saefullah, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkut
Udara Internasional Dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, h. 19.
22
Cara membedakan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut di atas pada
dasarnya diletakkan pada masalah pembuktian, yaitu mengenai ada tidaknya
kewajiban pembuktian, dan kepada siapa beban pembuktian diletakkan dalam
proses penuntutan.27
1.8.Metode Penelitian
1.8.1. Jenis penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum
empiris yaitu suatu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dengan
fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian hukum empiris
digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam penelitian
hukum empiris merupakan bahan hukum. Data sekunder tersebut di atas
digunakan sebagai data awal dan kemudian secara terus menerus digunakan
dengan data primer. Setelah data primer diperoleh dari penelitian di lapangan,
kedua data tersebut digabung, ditelaah dan dianalisis.
1.8.2. Jenis pendekatan.
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu
Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), Pendekatan Fakta
(The Fact Approach) dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical &
Conseptual Aproach).
Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) yaitu
pendekatan berdasarkan pada teori-teori hukum dan peraturan perundang-
27 Ridwan Khairandy et. al., 1999, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, cet. I, Gama Media,
Yogyakarta, h. 202.
23
undangan yang berlaku, yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan
dibahas.
Pendekatan Fakta (The Fact Approach) yaitu pendekatan yang
didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang ada kaitannya
dengan permasalahan yang akan dibahas.
Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual
Aproach) yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
1.8.3. Sifat penelitian.
Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-
sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain
dalam masyarakat. Dalam penulisan ini tidak digunakan hipotesis karena teori-
teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik
dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah
cukup memadai.
1.8.4. Sumber data.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu :
1. data primer
Data primer ini bersumber dari penelitian lapangan yang diperoleh
langsung dari PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat.
2. data sekunder
24
Data sekunder ini diperoleh melalui penelitian bahan-bahan yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti bahan-bahan
kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta
surat kabar.
1.8.5. Teknik pengumpulan data.
Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan studi
dokumen. Untuk memperoleh data primer yaitu dengan cara melakukan
wawancara langsung kepada pihak-pihak informan secara langsung.
Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim
digunakan dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah cara untuk
memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai.28
Sedangkan untuk memperoleh data sekunder yaitu dilakukan dengan teknik
studi dokumen atau bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan
penelitian. Terhadap bahan-bahan hukum tersebut dilakukan suatu studi
kepustakaan dengan cara mengumpulkan, membaca, mencatat, menelaah,
mengkaji dan menganalisa dari buku-buku literatur yang memiliki relevansi
dengan permasalahan yang ada.
1.8.6. Teknik pengolahan dan analisis.
Teknik analisa data yang digunakan oleh peneliti di sini adalah dengan
menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, di mana keseluruhan data
yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan
dianalisa dengan menguraikan dan memaparkannya secara jelas dan menyusun
28 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 57.
25
secara sistematis, dihubungkan antara data satu dengan lainnya kemudian data
tersebut dikaitkan dengan teori dan peraturan yang berlaku.