bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah i.pdftujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk...

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengangkutan atau sistem transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam memperlancar kegiatan lalu lintas perjalanan sehingga pengangkutan tersebut dijadikan sebagai suatu kebutuhan bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Seiring dengan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, di bidang teknologi, serta dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi ini juga mulai meningkat. Negara Indonesia merupakan negara Kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam daerah pariwisata sehingga banyak para wisatawan yang tertarik untuk datang menikmati daerah wisata tersebut. Mengingat hal tersebut sarana transportasi sangat diperlukan oleh masyarakat yang ingin berkunjung ke suatu tempat dalam hal ini dari satu pulau ke pulau lain, sehingga kini banyak terdapat penyedia jasa angkutan khususnya angkutan kapal laut. sarana pengangkutan sangat dibutuhkan bagi masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam melaksanakan aktifitasnya sehari-hari. Hal tersebut mengingat bahwa sering kali aktifitas terjadi di sentra-sentra tertentu. Hal yang sangat mendasar dalam pengangkutan adalah adanya pengangkut dan penumpang atau pengguna jasa angkutan. Antara pengangkut dan penumpang terdapat hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan di sini adalah persetujuan dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang

Upload: vodien

Post on 07-Aug-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pengangkutan atau sistem transportasi mempunyai peranan yang sangat

penting dalam memperlancar kegiatan lalu lintas perjalanan sehingga

pengangkutan tersebut dijadikan sebagai suatu kebutuhan bagi kehidupan

masyarakat sehari-hari. Seiring dengan perkembangan di bidang ilmu

pengetahuan, di bidang teknologi, serta dalam rangka pelaksanaan pembangunan

nasional kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi ini juga mulai meningkat.

Negara Indonesia merupakan negara Kepulauan yang di dalamnya terdapat

berbagai macam daerah pariwisata sehingga banyak para wisatawan yang tertarik

untuk datang menikmati daerah wisata tersebut. Mengingat hal tersebut sarana

transportasi sangat diperlukan oleh masyarakat yang ingin berkunjung ke suatu

tempat dalam hal ini dari satu pulau ke pulau lain, sehingga kini banyak terdapat

penyedia jasa angkutan khususnya angkutan kapal laut. sarana pengangkutan

sangat dibutuhkan bagi masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam

melaksanakan aktifitasnya sehari-hari. Hal tersebut mengingat bahwa sering kali

aktifitas terjadi di sentra-sentra tertentu.

Hal yang sangat mendasar dalam pengangkutan adalah adanya pengangkut

dan penumpang atau pengguna jasa angkutan. Antara pengangkut dan penumpang

terdapat hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Adapun

yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan di sini adalah persetujuan dimana

pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

2

dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan

penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya

pengangkutan. Dalam perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan, tetapi

didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi dan

mengikat.1

Suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, ini terkandung

dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat

KUHPerdata). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur-unsur yaitu adanya

perbuatan, dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih

dan mengikatkan dirinya.

Pengangkutan sebagai perjanjian merupakan perjanjian timbal balik antara

pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke

tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri

untuk membayar uang angkutan.2

Menurut Sution Usman Adji, bahwa pengangkutan adalah sebuah perjanjian

timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan

pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa

berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya

1 Abdulkadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, cet. IV, Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 46. 2 H.M.N. Purwosutjipto, 1995, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan,

Jakarta, h.2.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

3

(pengirim atau penerima) berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu

untuk pengangkutan tersebut.3

Dalam perjanjian pengangkutan bukti adanya perjanjian pengangkutan yaitu

biasanya dalam wujud surat angkutan berupa tiket penumpang. Surat angkutan ini

bersifat mengikat pengangkut dan penumpang, sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 1338 KUHPerdata yaitu “semua persetujuan yang dibuat secara sah,

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Kegiatan pengangkutan dalam hal ini khususnya pengangkutan laut tidak

hanya bersifat hukum perdata tetapi juga hukum publik, karena di dalam

perjanjian pengangkutan juga terkait tentang keselamatan pelayaran. Hukum

pengangkutan menyangkut hukum perjanjian yang merupakan suatu perjanjian

sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang bersifat terbuka dan

menganut asas atau prinsip konsensualitas, kebebasan berkontrak, serta juga

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disingkat

KUHD). Tujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau

keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan di

dalam istilah jual beli perusahaan, dalam arti perbuatan yang direncanakan lebih

dulu tentang untung ruginya dan segala sesuatunya dicatat dalam pembukaan. Jual

beli ini tidak untuk dikonsumsi sendiri tetapi untuk kepentingan perusahaan atau

jabatannya dalam perusahaan itu.4

3 Sution Usman Adji, dkk, 1991, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Cet. II, Rinka Cipta,

Jakarta, h. 26. 4 H. Djafar Al Bram, 2011, Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku I): Pengertian,

Asas-Asas, Hak Dan Kewajiban Para Pihak, Cet. I, Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pancasila, Jakarta, h.1.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

4

Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba

di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang

ataupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan

dari satu tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan,

sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang

dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit

atau meninggal dunia. Meningkatkan nilai guna artinya nilai sumber daya

manusia dan barang di tempat tujuan menjadi lebih tinggi bagi kepentingan

manusia dan pelaksanaan pembangunan.5

Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang

Pelayaran menyatakan “perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab

terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang

diangkatnya.” kemudian dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2008 menyatakan perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab

atas akibat yang ditimbulkan dalam pengoperasian kapal berupa :

a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut

b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut

c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut

atau

d. kerugian pihak ketiga.

5 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.18.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

5

Jika perusahaan pengangkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian

itu bukan disebabkan oleh kesalahannya maka dia dapat dibebaskan sebagian atau

seluruh dari tanggung jawabnya. (Pasal 41 ayat (2)).

Menurut Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang

Pelayaran disebutkan “perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan

tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan

asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.”

Ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut berlaku bagi semua kegiatan

angkutan di perairan, dalam hal ini khususnya termasuk juga dalam kegiatan

pengangkutan perairan menggunakan kapal wisata. Pengangkutan laut yang

berwawasan pariwisata ini menjadi sorotan utama bagi wisatawan, mengingat hal

tersebut sudah sepantasnya yang menjadi prioritas utama perusahaan

pengangkutan di perairan khususnya dalam kegiatan pariwisata adalah keamanan

dan keselamatan penumpang. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab

banyaknya ada permasalahan dari pihak penumpang terhadap kerugian yang

ditimbulkan akibat pengoperasian kapal. Seperti misalnya kasus tentang

kecelakaan kapal yang mengakibatkan cedera hingga kematian penumpang, hilang

atau rusaknya barang bawaan penumpang, maka dari itu perusahaan

pengangkutan di perairan bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami

penumpang yaitu keselamatan barang dan penumpang berupa kematian atau

lukanya penumpang akibat pengoperasian kapal.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

6

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dipilih judul dalam skripsi ini

yaitu “Tanggung Jawab Pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata

akibat terjadinya kecelakaan : Studi Pada PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat di

Klungkung ”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan yang dapat diangkat untuk

selanjutnya diteliti dan dibahas yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimanakah tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian

penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan ?

2. Bagaimanakah cara menentukan besarnya ganti kerugian kepada

penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari penyimpangan serta pengumpulan data yang tidak

diperlukan dalam penulisan serta agar nantinya penelitian yang dilaksanakan lebih

mendalam maka ruang lingkup yang akan dibahas dibatasi pada.

1. Tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata

dalam hal terjadinya kecelakaan.

2. Cara menentukan besarnya ganti kerugian kepada penumpang kapal

wisata akibat terjadinya kecelakaan.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata

akibat terjadinya kecelakaan : Studi Pada PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat di

Klungkung, merupakan karya asli hasil pemikiran sendiri yaitu dari hasil

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

7

membaca beberapa literatur. Bahwa sebelumnya sudah terdapat penelitian yang

sejenis di Universitas Udayana yaitu :

No Penulis Judul Masalah

1.

Alfitra

Pangenyori,

2015

Tanggung Jawab

Perusahaan Angkutan

Bus Terhadap

Kecelakaan

Penumpang Tidak

Resmi Dalam

Angkutan Bus Antar

Kota Antar Provinsi :

Studi Pada P.O Restu

Mulya Denpasar

1. Bagaimanakah pengawasan

pihak perusahaan angkutan

terhadap awak bus yang

menaikkan penumpang

tidak resmi ?

2. Bagaimanakah tanggung

jawab perusahaan angkutan

bus apabila terjadi

kecelakaan terhadap

penumpang tidak resmi ?

2. 2.

I Putu

Ananta

Wijaya,

2015

Tanggung Jawab

Pengangkut Terhadap

Kecelakaan

Penumpang Angkutan

Umum Berdasarkan

Undang-Undang

Nomor 22 Tahun

2009 Tentang Lalu

Lintas Dan Angkutan

Jalan

1. Bagaimanakah bentuk

pengaturan pengangkutan

penumpang umum yang

menurunkan penumpang

tidak sesuai dengan izin

trayek ?

2. Bagaimanakah tanggung

jawab dalam hal terjadinya

kecelakaan lalu lintas pada

angkutan umum yang

menurunkan penumpang di

tempat yang tidak

seharusnya akibat

permintaan penumpang

sendiri

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan ini secara garis besarnya dapat diperinci sebagai

berikut.

a. Tujuan umum.

- Untuk mengetahui tentang bagaimana tanggung jawab pengangkut

terhadap keselamatan penumpang kapal wisata dalam hal terjadinya

kecelakaan.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

8

- Untuk mengetahui tentang bagaimana pemberian ganti kerugian

kepada penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan.

b. Tujuan khusus.

- Untuk memahami tentang bagaimana tanggung jawab pengangkut

terhadap keselamatan penumpang kapal wisata dalam hal terjadinya

kecelakaan.

- Untuk memahami tentang bagaimana pemberian ganti kerugian kepada

penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan.

1.6. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

a. Manfaat teoritis.

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan

pengetahuan dalam pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan

dengan masalah pertanggung jawaban terhadap kerugian yang dialami

penumpang kapal.

b. Manfaat praktis.

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu mengetahui lebih

jauh mengenai bagaimana kesesuaian antara teori yang telah diperoleh di

bangku kuliah dengan kenyataan yang terjadi di lapangan serta dapat

bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penulisan skripsi

ini.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

9

1.7. Landasan Teoritis

Pengangkutan merupakan kegiatan memindahkan barang atau commodity of

goods dan penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga pengangkut

menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang

membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barang-barangnya.6

Pengangkutan berasal dari suatu perjanjian pengangkutan. Perjanjian

pengangkutan merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil antara pengangkut

dan penumpang dan memiliki timbal balik antara pihak-pihak yang melakukan

perjanjian. Pengangkut berjanji untuk mengangkut penumpang serta barang-

barang bawaannya ke tempat tujuan dan penumpang berkewajiban untuk

membayar biaya-biaya pengangkutan.

Konsep dari pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu sebagai berikut.

1. Pengangkutan sebagai usaha (business),

2. Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), dan

3. Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process).

Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir

dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Tujuan kegiatan usaha pengangkutan

adalah memperoleh keuntungan dan/atau laba, tujuan kegiatan perjanjian

pengangkutan adalah memperoleh hasil realisasi yang diinginkan oleh pihak-

pihak, dan tujuan kegiatan pelaksanaan pengangkutan adalah memperoleh

keuntungan dan tiba dengan selamat di tempat tujuan.7

6 Soegijatna Tjakranegara, 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka

Cipta, Jakarta, h.1. 7 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.1.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

10

Kegiatan memindahkan tersebut dapat dibedakan ke dalam dua pengertian,

yaitu :

1. dalam arti luas, menyangkut :

a. memuat penumpang ataupun barang ke dalam alat pengangkut

b. membawa apa yang diangkut ke tempat tujuan

c. menurunkan penumpang atau membongkar barang di tempat tujuan.

2. sedangkan dalam arti sempit meliputi pemindahan barang atau

penumpang dari terminal (apabila melalui jalur darat), dari pelabuhan

(apabila menggunakan jalur laut), dan bandara (apabila menggunakan

jalur udara) ke tempat tujuan.8

Subjek hukum dari pengangkutan terdiri dari pengangkut, pengirim,

penumpang, penerima, ekspeditur, pengatur muatan, pengusaha pergudangan.

Penumpang selalu berupa manusia pribadi dapat berfungsi ganda yaitu sebagai

subjek sekaligus objek pengangkutan. Sedangkan objek perjanjian pengangkutan

adalah apa yang diangkut (muatan barang dan penumpang), biaya pengangkutan

dan alat pengangkutan.

Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan

penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal. Berdasarkan Undang-

Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 Pasal 6, bahwa Jenis-jenis angkutan di

Perairan terdiri atas 3 (tiga) jenis, yaitu :

1. angkutan laut

8 Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 134.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

11

angkutan laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya

melayani kegiatan angkutan laut.

2. angkutan sungai dan danau

angkutan sungai dan danau adalah kegiatan angkutan dengan

menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa,

banjir kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang dan /atau

barang yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan

danau.

3. angkutan penyeberangan

Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai

jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur

kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang

dan kendaraan beserta muatannya.

Jenis Angkutan Laut, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Pelayaran

Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang

angkutan perairan, terdiri atas 4 jenis yaitu sebagai berikut.

1. Angkutan laut dalam negeri

2. Angkutan laut luar negeri

3. Angkutan laut khusus

4. Angkutan laut pelayaran rakyat

Dalam penyelenggaraan pengangkutan sebelumnya harus ada perjanjian

pengangkutan antara pengangkut dan penumpang. Suatu perjanjian merupakan

suatu peristiwa di mana seorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

12

merupakan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan di mana untuk

terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang

dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu.9 Istilah perjanjian ini

sama dengan kontrak. Subekti mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana

seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu.10

Suatu perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4

(empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.

1. Adanya kata sepakat

Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap

segala hal yang terdapat di dalam perjanjian.11

Pada dasarnya kata

sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak

di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya

atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang

disepakati.12

2. Kecakapan untuk membuat perikatan

Dalam pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah

cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-

undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan

9 Purwahid, 1994, Pengertian Perjanjian, Rineka Cipta, Jakarta, h. 47.

10 Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 36.

11 Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76.

12 J. Satrio, 1955, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 164.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

13

bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,

yaitu orang yang belum dewasa (persons under 21 years of age),

mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or

conservatorship) dan perempuan yang sudah menikah. Berdasarkan

Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah

berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah.

3. Suatu hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu

(een bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan

jenisnya (determinable).13

4. Kausa hukum yang halal

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum

yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan

dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut

menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh

seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak

sah.14

Ada asas-asas hukum perjanjian yang penting untuk diketahui dalam rangka

memahami hukum perjanjian pada umumnya. Dari asas-asas perjanjian tersebut,

terdapat asas-asas yang berlaku pada saat mengadakan perjanjian dan ada yang

berlaku pada saat setelah mengadakan perjanjian sebagai akibat dari perjanjian

13 Sudargo Gautama, op.cit, h. 79.

14 Sudargo Gautama, op.cit, h. 80.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

14

yang telah diadakan. Berikut ini ada 10 (sepuluh) asas hukum perjanjian yang

akan diuraikan, yaitu 15

1. asas kebebasan berkontrak, asas ini mengatur kebebasan para pihak

untuk menentukan sendiri kehendaknya dalam perjanjian.

2. asas konsensualisme (persesuaian kehendak), asas ini tercermin dalam

Pasal 1320 KUHPerdata, dan mengandung arti kemauan para pihak

untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.

Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu harus

dipenuhi. Grotius mencari dasar konsensus di dalam hukum kodrat,

yaitu pada prinsip pacta sunt servanda (janji itu mengikat), dan

selanjutnya dia juga menyatakan lagi “promissorum implentidorum

obligato” (kita harus memenuhi janji kita), sehingga asas ini

mempunyai pengertian yang sama dengan Pasal 1338 KUHPerdata

bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

3. asas kepercayaan, dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain,

akan menimbulkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, di mana

satu dengan yang lain akan saling memegang janji, dan para pihak akan

saling memenuhi prestasinya. Tanpa adanya kepercayaan, perjanjian

tidak mungkin terjadi.

4. asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak tidak semata-mata

terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi para pihak juga terikat

15 H. Djafar Al Bram, op.cit, h.7.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

15

terhadap unsur-unsur lain yang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan,

serta moral.

5. asas persamaan hukum, tidak membedakan warna kulit, bangsa, jabatan

maupun kekuasaan, mereka para pihak dalam perjanjian harus saling

menghormati.

6. asas keseimbangan, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan,

di mana meskipun kreditur mempunyai kedudukan yang lebih kuat,

namun kreditur dibebani untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad

baik sehingga kedudukan kedua pihak seimbang.

7. asas kepastian hukum, asas ini terungkap dari kekuatan mengikat

perjanjian itu sebagai undang-undang yang harus ditaati.

8. asas moral, orang melakukan perbuatan hukum harus didasari

kesusilaan atau moral yang merupakan panggilan hati nuraninya.

9. asas kepatuhan, berkaitan dengan isi perjanjian yang dihubungkan

dengan rasa keadilan dalam masyarakat.

10. asas kebiasaan, merupakan bagian dari perjanjian, sebab perjanjian

tidak hanya mengikat pada hal-hal yang nyata diperjanjikan, tetapi juga

terikat pada hal-hal yang dalam keadaan atau kebiasaan yang lazim

diikuti. Artinya, perjanjian itu juga mengikat segala sesuatu yang

menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh keputusan, kebiasaan, dan

undang-undang.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

16

Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu :

a. perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan

hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.

b. perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan

kewajiban pada salah satu pihak saja.

c. perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi

keuntungan bagi salah satu pihak saja.

d. perjanjian konsensuil, riil dan formil.

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah

terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.

Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi

barangnya harus diserahkan

Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi

undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan

bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum

notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

e. perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian

bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan

khusus dalam KUHPerdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII.

Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain.

Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

17

secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian Leasing,

perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.16

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau sering disebut dengan asas

kebebasan berkontrak (freedom of contract / laissez faire). Konarz Zwiegert dan

Hein Kotz berpendapat “freedom of contract has always had many meaning :

freedom to select and enter contract of any amaginable type, the freedom to

decide whether to contract or not, and the freedom of Beach contractor to fix

terms of his own promise, subject to the agreement of the other party ”.17

(Kebebasan berkontrak memiliki banyak makna : kebebasan untuk memilih atau

bergabung dalam segala jenis perjanjian, kebebasan dalam memilih untuk

menerima perjanjian atau tidak, dan kebebasan para pihak dalam menentukan isi

kontrak).

Kebebasan berkontrak tetap memiliki pembatasan. Batasannya dapat dilihat

dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan suatu sebab terlarang

apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Selain itu

dibatasi juga oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana tiap perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi tanpa adanya itikad baik perjanjian dapat

batal demi hukum.

Pengangkutan perairan dengan kapal diadakan berdasarkan perjanjian antara

perusahaan pengangkutan perairan dan penumpang atau pemilik barang.18

Karcis

penumpang dan dokumen pengangkutan merupakan tanda bukti telah terjadi

16 Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 82.

17 Konarz Zwiegert and Hein Kotz, 1987, Introduction to Comparative Law, Clarendon

Press, Oxford, h. 13. 18

Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 11.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

18

perjanjian pengangkutan antara perusahaan pengangkutan perairan dan

penumpang atau pemilik barang dengan pembayaran biaya pengangkutan.19

Keselamatan penumpang merupakan tanggung jawab pengangkut.

Pengangkut perlu juga mencantumkan pada dokumen pengangkutan atau dalam

perjanjian pengangkutan bahwa pengangkut wajib :

a. menjaga keselamatan barang yang diangkut sejak penerimaan sampai

saat penyerahannya

b. menjaga keselamatan penumpang sejak saat naik ke kapal sampai saat

turun dari kapal.20

Mengenai kewajiban pengangkut untuk menjaga keselamatan dan keamanan

dari penumpang diatur dalam Pasal 522 KUHD ayat (1) “perjanjian untuk

mengangkut mewajibkan pengangkut untuk menjaga keamanan penumpang dari

saat naik sampai saat turun dari kapal”. Dalam ayat (2) juga disebutkan

“pengangkut wajib mengganti kerugian yang disebabkan oleh cedera yang

menimpa penumpang berkenaan dengan pengangkutan, kecuali ia dapat

membuktikan, bahwa cedera itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang layaknya

tidak dapat dicegah atau dihindari atau akibat kesalahan penumpang sendiri.”

Tanggung Jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib

menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,

diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai

19 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 183.

20 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 184.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

19

akibat sikapnya oleh pihak lain.21

Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban

berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua

hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang

mungkin ditimbulkannya.22

Ganti rugi sendiri merupakan bentuk pemenuhan hak kepada pihak yang

telah dirugikan oleh pihak lainnya yang telah melakukan kesalahan atau pun

kelalaian sehingga menyebabkan kerugian pada pihak tersebut. Ganti rugi sendiri

timbul karena ada sebab, sebab-sebab tersebut antara lain adalah :

a. ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi macam ini

disimpulkan dari Pasal 1365 KUHPerdata yang membebankan ganti rugi

kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang

dirugikan. Ganti rugi ini muncul karena adanya kesalahan.

b. ganti rugi yang disebabkan karena wanprestasi. Di mana dalam hal ini

salah satu pihak telah melakukan wanprestasi atau tidak melakukan hal

yang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.

Pembebanan ganti rugi ini harus melalui proses somasi. Ganti rugi ini

muncul karena adanya perjanjian dan didasarkan pada Pasal 1243

KUHPerdata.

Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu

tanggung jawab karena kesalahan (fault liability), tanggung jawab karena praduga

(presumption liability), dan tanggung jawab mutlak (absolut liability).

21

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, h. 1006. 22

F. Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, UAJ Yogyakarta, Yogyakarta, h. 77.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

20

Hukum pengangkutan Indonesia umumnya menganut prinsip tanggung

jawab karena kesalahan dan karena praduga. Tanggung jawab karena kesalahan di

mana setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan

pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul

akibat kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan

kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan

pada pengangkut. Prinsip ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia

tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum (general

rule).23

Menurut prinsip tanggung jawab praduga pengangkut dianggap selalu

bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari pengangkutan yang

diselenggarakannya. Akan tetapi, jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia

tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian

itu. Tidak bersalah artinya tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan

tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau peristiwa yang

menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada

pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam

pengangkutan yang diselenggarakan pengangkut.24

Prinsip ini dapat dijumpai dalam Undang-Undang Pelayaran Indonesia.

Perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab atas akibat yang

ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya berupa :

23 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 49.

24 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 54.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

21

a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut selama dalam

pengangkutan dan terjadi di dalam kapal dan/atau kecelakaan pada saat

naik ke atau turun dari kapal, sesuai dengan perundang-undangan yang

berlaku.

b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut sesuai dengan

perjanjian pengangkutan dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

c. keterlambatan pengangkutan penumpang dan/atau barang yang

diangkut meliputi antara lain, memberikan pelayanan dalam batas-batas

kelayakan sesuai dengan kemampuan perusahaan perairan kepada

penumpang selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi

keterlambatan keberangkatan karena kelalaian perusahaan

pengangkutan tersebut mengingat perusahaan pengangkutan perairan

yang masih tergolong usaha ekonomi lemah.

d. kerugian pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum yang tidak ada

kaitannya dengan pengoperasian kapal, tetapi meninggal atau luka atau

menderita kerugian akibat pengoperasian kapal.25

Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability), yaitu menurut prinsip ini

pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap

kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa

keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut.26

25 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 52.

26 Wiradipraja Saefullah, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkut

Udara Internasional Dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, h. 19.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

22

Cara membedakan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut di atas pada

dasarnya diletakkan pada masalah pembuktian, yaitu mengenai ada tidaknya

kewajiban pembuktian, dan kepada siapa beban pembuktian diletakkan dalam

proses penuntutan.27

1.8.Metode Penelitian

1.8.1. Jenis penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum

empiris yaitu suatu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dengan

fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian hukum empiris

digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam penelitian

hukum empiris merupakan bahan hukum. Data sekunder tersebut di atas

digunakan sebagai data awal dan kemudian secara terus menerus digunakan

dengan data primer. Setelah data primer diperoleh dari penelitian di lapangan,

kedua data tersebut digabung, ditelaah dan dianalisis.

1.8.2. Jenis pendekatan.

Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu

Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), Pendekatan Fakta

(The Fact Approach) dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical &

Conseptual Aproach).

Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) yaitu

pendekatan berdasarkan pada teori-teori hukum dan peraturan perundang-

27 Ridwan Khairandy et. al., 1999, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, cet. I, Gama Media,

Yogyakarta, h. 202.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

23

undangan yang berlaku, yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan

dibahas.

Pendekatan Fakta (The Fact Approach) yaitu pendekatan yang

didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang ada kaitannya

dengan permasalahan yang akan dibahas.

Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual

Aproach) yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

1.8.3. Sifat penelitian.

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian

deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-

sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk

menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain

dalam masyarakat. Dalam penulisan ini tidak digunakan hipotesis karena teori-

teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik

dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah

cukup memadai.

1.8.4. Sumber data.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu :

1. data primer

Data primer ini bersumber dari penelitian lapangan yang diperoleh

langsung dari PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat.

2. data sekunder

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

24

Data sekunder ini diperoleh melalui penelitian bahan-bahan yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti bahan-bahan

kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta

surat kabar.

1.8.5. Teknik pengumpulan data.

Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan studi

dokumen. Untuk memperoleh data primer yaitu dengan cara melakukan

wawancara langsung kepada pihak-pihak informan secara langsung.

Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim

digunakan dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah cara untuk

memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai.28

Sedangkan untuk memperoleh data sekunder yaitu dilakukan dengan teknik

studi dokumen atau bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan

penelitian. Terhadap bahan-bahan hukum tersebut dilakukan suatu studi

kepustakaan dengan cara mengumpulkan, membaca, mencatat, menelaah,

mengkaji dan menganalisa dari buku-buku literatur yang memiliki relevansi

dengan permasalahan yang ada.

1.8.6. Teknik pengolahan dan analisis.

Teknik analisa data yang digunakan oleh peneliti di sini adalah dengan

menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, di mana keseluruhan data

yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan

dianalisa dengan menguraikan dan memaparkannya secara jelas dan menyusun

28 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h. 57.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdfTujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan

25

secara sistematis, dihubungkan antara data satu dengan lainnya kemudian data

tersebut dikaitkan dengan teori dan peraturan yang berlaku.