bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bali Democracy Forum (BDF) adalah forum kerjasama negara-negara
demokrasi di Asia-Pasifik yang mengadakan pertemuan tahunan di Bali sejak tahun
2008. Forum ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas demokrasi dan institusi
demokrasi serta mempromosikan pembangunan politik melalui dialog dan tukar
pengalaman antar-negara serta membentuk platform bagi kerjasama dan saling
membantu dalam bidang demokrasi dan pembangunan politik.
Sebagai sebuah forum pertemuan tahunan, BDF diikuti oleh perwakilan dari
negara-negara di Asia-Pasifik, baik pemimpin pemerintahan, menteri, maupun tokoh-
tokoh penting (prominent figure) yang inklusif, terbuka untuk semua negara di
kawasan Asia-Pasifik baik yang telah menganut demokrasi ataupun yang berinspirasi
untuk menjadi lebih demokratis. Forum ini juga berprinsip homegrown democracy,
artinya berpatokan pada praktek-praktek nyata nilai-nilai demokrasi oleh negara
peserta dengan tidak berpretensi untuk menyalahkan atau membenarkan praktek nyata
tersebut.1
Pada pertemuan pertama tahun 2008, BDF telah menetapkan 14 area prioritas
kerjasama yaitu memperkuat dan mengembangkan proses pemilu, meningkatkan peran
partai politik, penegakan hukum dan memperkuat integritas dan kapasitas lembaga
1 “Forum Demokrasi Bali” dalam http://www.setneg.go.id., diakses pada tanggal 10 Juli 2012
2
hukum, mengembangkan dan mempertahankan check and balance di antara lembaga
pemerintah, meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik, akses bagi informasi
kepada publik, akses bagi kebutuhan publik, meningkatkan peran wanita dan
kesetaraan gender, menegakkan kebebasan beragama dan toleransi beragama,
meningkatkan peran masyarakat madani dan pemuda, mendorong udaya demokrasi,
perdamaian dan kehidupan yang harmonis, meningkatkan peran media massa dalam
masyarakat yang demokratis, menggunakan teknologi informasi untuk meningkatkan
komunikasi serta mendorong demokrasi dan pembangunan sosial ekonomi.2
Sebagai penggagas dan tuan rumah forum tahunan ini Indonesia sangat aktif
dalam rangka menjaga agar demokrasi tetap berjalan di Indonesia, selain berusaha
untuk memulihkan citra sebagai negara demokrasi setelah reformasi. Di samping itu,
Indonesia menganggap perlu untuk bertukar pengalaman dan belajar dari negara lain
tentang demokrasi khususnya dalam memperkuat institusi demokrasi melalui
kerjasama internasional. Kerjasama ini diperlukan untuk memperoleh pengalaman
terbaik yang bisa dijadikan contoh bagi penerapan prinsip-prinsip demokrasi di negara
peserta.
Demokrasi adalah salah satu identitas nasional Indonesia sebagaimana
tercermin dalam pasal-pasal konstitusi yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan
negara demokrasi dengan kedaulatan di tangan rakyat yang pelaksanaannya kemudian
diatur dalam pasal-pasal konstitusi, UUD 1945. Dalam perkembangannya demokrasi
di Indonesia telah berkembang jauh mengikuti dinamika zaman dengan dipengaruhi
faktor internal maupun eksternal. 2 Ibid.
3
Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945 hingga akhir tahun 2007, Indonesia
telah berganti tampuk kepemimpinan sebanyak enam kali yang tidak pernah
meninggalkan retorika Indonesia sebagai negara demokrasi. Sejarah mencatat adanya
dua rezim sangat berkuasa yang pernah memerintah Indonesia. Pertama adalah rezim
pemerintahan Soekarno dan kedua adalah rezim pemerintahan Soeharto. Kedua rezim
ini mampu menguasai hampir seluruh aspek kehidupan dan membuat elemen-elemen
masyarakat Indonesia, baik elemen sosial maupun politik, tunduk pada kehendaknya.
Soekarno yang berkuasa pada awal masa kemerdekaan berusaha mengatur tertib
politik Indonesia melalui apa yang dinamakannya Demokrasi Terpimpin dengan tiga
kekuatan utama; Soekarno, PKI, dan tentara- utamanya Angkatan Darat- sebagai pilar
utama. Sejarah mencatat meletusnya peristiwa berdarah 30 September 1965 yang
menewaskan enam perwira tinggi dan satu perwira pertama Angkatan Darat
mengakhiri eksperimen demokrasi ala Soekarno di Indonesia sekaligus mengawali
rezim Soeharto yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru.3
Pada masa di mana sudah cukup berkuasa, Soeharto meletakkan “revolusi” dan
“pembangunan”, serta “politik” dan “ekonomi” dalam posisi dikotomis. Istilah
“revolusi” dan “politik”, yang akrab dipergunakan oleh Soekarno, berada dalam posisi
inferior. Kedua istilah tersebut menjadi istilah yang merepresentasikan ambisi pribadi
untuk berkuasa, elitis dan kegiatan-kegiatan berkonotasi negatif. Akibat terlalu
“revolusioner” dan “politis”, pemerintahan lama dianggap mengorbankan stabilitas
dan kesejahteraan komunal, yang menjadi esensi dari “pembangunan” dan “ekonomi.”
3 Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta : Resist Book. Hal 40.
4
Dalam rangka upaya memperkuat hegemoninya, Soeharto pun memperkuat
kesan sukses dan keberhasilan dalam memimpin Indonesia melalui pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi. Soeharto memulai otobiografinya dengan pidato di depan
United Nations Food and Agriculture Organization (FAO) terkait swasembada
pangan yang berhasil dicapai Indonesia. Soeharto menjadikan dirinya sebagai ikon
ketahanan pangan dan kebangkitan pertanian Indonesia. Namun, sebenarnya, prestasi
ini merupakan prestasi semu. Indonesia baru berhasil mencapai swasembada pangan
pada tahun 1984 dan kembali menjadi pengimpor beras pada awal dekade 1990-an.4
Sukses lain yang menjadi senjata Soeharto untuk mempertahankan hegemoni
adalah pertumbuhan GNP (gross national product) Indonesia yang mencapai 7% per
tahun. Namun, kembali ini merupakan sebuah ilusi, kalau tidak ingin disebut sebagai
kebohongan. Meski GNP Indonesia terus mengalami pertumbuhan sampai
pertengahan tahun 1990-an, namun di saat yang sama, hutang luar negeri Indonesia
juga terus meningkat. Pada tahun 1990, hutang luar negeri Indonesia dua kali lipat dari
tahun 1980. Jumlah hutang luar negeri Indonesia pun mencapai 66% GNP. RAPBN
tahun 1989-1994 mengandalkan 56% anggarannya dari hutang luar negeri5. Akibatnya
tingkat inflasi Indonesia menjadi relatif tinggi pada masa itu, apabila dibandingkan
dengan negara-negara Asia lainnya.
Walaupun menerapkan sistem pemerintahan yang represif dengan
mengandalkan aparat birokrasi dan militer sebagai kekuatan utama, Orde Baru tetap
4 Tabor, Steven R. 1992. “Agriculture in Transition,” dalam Booth, Anne., The Oil Boom and After : Indonesian Economic Policy and Performance in Soeharto Era. Singapura :Oxford University Press. Hal 37 5 The Economist Intelligence Unit : Country Profile 1992-3.
5
mengklaim dirinya sebagai rezim yang menerapkan demokrasi yang khas Indonesia,
yang disebutnya sebagai demokrasi Pancasila.
Struktur Orde Baru sebagai penguasa Indonesia mengalami kehancuran pada
21 Mei 1998, dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Jatuhnya
pemerintahan Orde Baru ini dipicu oleh krisis moneter yang menghantam Asia, mulai
dari Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan terakhir Indonesia. Dari semua negara
yang terkena krisis tersebut, Indonesia ternyata mengalami dampak yang paling parah.
Mata uang rupiah pun merosot tajam terhadap dollar AS, membuat harga-harga barang
naik sampai 300%.6
Akibat aksi demonstrasi dan tekanan dari berbagai organisasi masyarakat,
pada tanggal 20 Mei 1998, pimpinan DPR mengeluarkan pernyataan yang meminta
Soeharto untuk mengundurkan diri. Harmoko, Ketua MPR, mengumumkan tanggal 22
Mei 1998 sebagai batas waktu pengunduran diri Soeharto. Jika sampai batas tersebut
ia tidak mengundurkan diri, pimpinan DPR/MPR akan melakukan rapat dengan
seluruh fraksi pada tanggal 25 Mei untuk menggelar Sidang Istimewa MPR. Akhirnya,
karena menyerah pada tekanan masyarakat, Soeharto mengundurkan diri pada tanggal
21 Mei 1998. Jabatan presiden pun berpindah ke tangan Wakil Presiden B.J. Habibie.7
Dengan transformasi dari Presiden Soeharto ke Habibie yang kemudian
menjadi tonggak reformasi di Indonesia, demokrasi di Indonesia mengalami dinamika
yang lebih kompleks. Pada kepemimpinan dua presiden berikutnya, Abdurrahman
Wahid dan Megawati Sukarnoputri demokrasi Indonesia tumbuh semakin baik.
6 Raharjo, M. Dawam. 1999. Orde Baru dan Orde Transisi, Yogyakarta : UII Press, hal. 67-68. 7 Ibid.
6
Keadaan ini terus berlanjut hingga pada tahun 2013 di bawah kepemimpinan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono Indonesia telah berkembang sebagai negara yang terbuka
dan demokratis yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan rezim-rezim
sebelumnya.
Dari rezim Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah
mengalami dinamika yang menarik mengenai demokrasi. Masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan karena seperti pada prinsipnya demokrasi merupakan
sebuah ketentuan yang relatif, seperti perkataan Gareth Porter8 yang menyatakan
bahwa :
“...demokrasi di negara-negara berkembang menjadi hal yang bersifat subyektif dan relatif. Kasus di Indonesia menjadi bukti bahwa perkembangan demokrasi menjadi sebuah konsep yang ambigu karena masyarakat sebagai subyek politik merasa tidak nyaman dengan kebebasan itu sendiri dan sebagian besar kalangan grass root mendambakan kembalinya rezim otokratis karena secara faktual dapat memberikan jaminan stabilitas dan pemenuhan hak-hak dasar.”9
Mengacu pada proposisi di atas maka dapat diketahui bahwa sebenarnya
dinamika demokrasi di Indonesia memiliki perkembangan yang sangat longgar. Dalam
prakteknya demokrasi di Indonesia ternyata sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan di sekitarnya. Demokrasi Terpimpin era Soekarno tidak bisa dilepaskan
dari upaya Soekarno untuk melepaskan diri dari pengaruh dan memanfaatkan
persaingan dua negara adikuasa dalam era Perang Dingin, dan Soeharto kemudian
menggantikannya dengan Demokrasi Pancasila karena menganggap model inilah yang 8Gareth Porter merupakan analis sekaligus pengajar dari Universitas Cambridge yang pada bulan November hingga Desember 2008 mengadakan penelitian tentang perbandingan partisipasi politik di Indonesia dan Thailand pasca reformasi. 9Gareth Porter. 2008. “Indonesia After Reformation : The Prospect of Liberation and Democracy”, The Journal of Public Policy, Vol III, New York : Vintage Publishing, hal.18.
7
menurut penafsirannya lebih cocok dengan kebutuhan Indonesia mencari bantuan dan
hutang luar negeri dari negara-negara blok Barat. Inilah yang kemudian menjadi bukti
kuat bahwa komunikasi dan kerjasama antara negara-negara regional dan internasional
menjadi salah satu instrumen penting untuk mempengaruhi perkembangan demokrasi
di Indonesia.
Pasca reformasi, dalam upaya melindungi praktek demokrasi Indonesia yang
dianggap sudah on the right track dari pengaruh buruk lingkungan regional dan
internasional, beberapa forum regional diikuti dan diselenggarakan oleh pemerintah
Indonesia. Salah satunya adalah Bali Democracy Forum (BDF), sebuah forum
pertemuan tahunan negara-negara demokrasi di Asia-Pasifik yang diadakan di Nusa
Dua, Bali. Forum ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas demokrasi dan institusi
demokrasi melalui diskusi antar-negara partisipan. Acara ini digelar pertama kali pada
10-11 Desember 2008 dengan tema Building and Consolidating Democracy: A
Strategic Agenda for Asia.10
Hingga tahun 2013 BDF sudah berhasil diselenggarakan sebanyak enam kali,
dengan yang terakhir diselenggarakan pada tanggal 7-8 November 2013 di Nusa Dua
Convention Center, Bali, dengan mengusung tema Mengonsolidasikan Demokrasi di
Dalam Masyarakat Majemuk, dan dua sub tema yaitu Menyelenggarakan Pemilu yang
Bebas dan Adil dan Membangun dan Memperkuat Institusi Demokratis.
Bali Democracy Forum merupakan forum tahunan antar pemerintah yang
inklusif dan terbuka pada perkembangan demokrasi di kawasan Asia-Pasifik,
10“Buka Bali Forum Demokrasi, SBY Singgung Persoalan Demokrasi” dalam http://www.news.detik.com., diakses pada tanggal 10 Juli 2012.
8
mempromosikan dan mendorong kerjasama regional dan internasional dalam bidang
perdamaian dan demokrasi melalui dialog, tukar pengalaman dan praktik mengenai
demokrasi yang berdasarkan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati dan
pengertian. Pada setiap pertemuan BDF, Indonesia sebagai negara pemrakarsa
berupaya menjaring partisipasi negara-negara di luar kawasan Asia Pasifik untuk
berbagi pengalaman terkait pengalaman dan penerapan nilai-nilai demokrasi.11
Pertemuan BDF menjadi menarik karena melibatkan negara-negara yang
masih dalam taraf memulai menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, maupun negara
yang berkomitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi meskipun dianggap
belum demokratis. Pelaksanaan BDF selanjutnya diharapkan dapat menghasilkan
komitmen yang lebih konkrit mengenai penerapan prinsip demokrasi di tingkat global,
serta lebih banyak melibatkan partisipasi Kepala Negara/Pemerintahan dalam rangka
berbagi pengalaman, sekaligus best practices mengenai pelaksanaan demokrasi. Ini
tentu penting untuk menghindari terjadinya kemunduran bagi proses demokratisasi
yang tengah berlangsung di negara-negara peserta,karena tidak tertutup kemungkinan
terjadinya proses gelombang balik jika mereka gagal mengatasi penghalang dan
memanfaatkan peluang dari proses demokratisasi yang sedang berlangsung di negara
masing-masing.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis menarik dua
rumusan masalah, yaitu :
11 Ibid
9
1. Mengapa Indonesia menyelenggarakan Bali Demokrasi Forum (BDF) sejak
tahun 2008?
2. Apa peran Bali Democracy Forum (BDF) bagi demokrasi Indonesia?
1.3 Tinjauan Pustaka (Literature Review)
Kajian mengenai demokrasi di Indonesia telah banyak ditulis oleh para analis
atau akademisi, namun dalam perkembangannya ternyata hanya sedikit yang mengulas
tentang pengaruh rezim demokrasi regional terhadap dinamika demokrasi di
Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah mengenai pengaruh
rezim demokrasi regional terhadap demokrasi di Indonesia.
Daniel S. Lev dalam karyanya yang berjudul The Transition to Guide
Democracy : Indonesia Politic menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia memiliki
karakter yang berbeda dengan negara-negara Asia lainnya karena banyak dipengaruhi
oleh kultur dan aspek sosio-religius, sehingga ini menjadi sangat sulit jika harus
diperbandingkan dengan demokrasi di negara-negara Barat dan diperkirakan
demokrasi di Indonesia akan berkembang dengan sendirinya dengan melepaskan diri
dari pengaruh demokrasi dari negara lain.12
Daniel S. Lev juga menyatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia
dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kombinasi antara pengaruh sipil dan militer.
Keduanya membangun kolaborasi untuk mengembangkan supremasi sipil, sekaligus
tertib sipil, dimana hal ini tidak lazim ditemui pada negara-negara maju. Konsep ini
12Daniel S. Lev. 2009. The Transition Guide of Democracy : Indonesia Politics (Third Edition), Singapore : Equinoq Publishing. hal. 23.
10
berhasil diterima oleh masyarakat luas, namun menjadi bagian dari kritik kelas
menengah di Indonesia.13
William Case dalam Politics in Southeast Asia Democracy or Less ketika
membahas Indonesia menyatakan bahwa selama rezim Orde Baru berkuasa Indonesia
mempraktekkan apa yang disebutnya pseudo-democracy dengan ciri kebebasan sipil
yang terbatas dan pemilu yang reguler walau penuh kecurangan.14 Case menambahkan
bahwa rezim ini bisa stabil dengan kebersamaan elit yang tidak sepenuhnya bersatu
atau terpecah-belah yang dikendalikan oleh seorang pemimpin puncak yang kuat. Di
saat yang sama, suara masyarakat dibungkam melalui institusi yang korporatis,
mentalitas yang mengagungkan kekuasaan, hasil-hasil pembangunan dan pemaksaaan
kehendak. Keadaan ini berubah total ketika krisis ekonomi membuat Sang Penguasa
puncak, Suharto, kehilangan dukungan dan kontrol atas elit yang tidak pernah
sepenuhnya bersatu. Pertentangan antar-elit yang semakin tajam memicu benturan
sosial yang semakin meluas, maraknya demonstrasi oleh mahasiswa, ketidakpuasan
kelas menengah dan kerusuhan. Keadaan ini kemudian memaksa Suharto untuk
mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada Habibie sebagaiWakil Presiden saat itu.
Transisi kekuasaan kepada Habibie berlanjut menuju demokratisasi Indonesia yang
mempunyai prospek lebih stabil pada periode selanjutnya.15
Anders Uhlin dalam Democracy and Diffusion Transnational Lesson Drawing
among Indonesian Pro-Democracy Actors menyatakan adanya ide-ide demokrasi dari
13 Ibid. 14 Case, William. 2002. Politics in Southeast Asia Democracy or Less. London and New York : RoutledgeCurzon. Hal. 79 15 Ibid hal. 80
11
luar yang diserap, mengalami penyesuaian dengan kondisi lokal ataupun ditolak oleh
para pelaku demokratisasi di Indonesia menjelang reformasi Indonesia tahun 1998.16
Richard Robison dalam What Sort of Democracy? Predatory and Neo-liberal
Agendas in Indonesia mempertanyakan demokrasi macam apa yang akan berkembang
setelah reformasi berlangsung di Indonesia, dan mengkhawatirkan apakah
demokratisasi di Indonesia akan mencapai tahap konsolidasi. Ini terjadi karena
dominasi elit politik penentu kebijakan yang mayoritas berasal dari era sebelumnya.
Tekanan politik global yang menuntut adanya liberalisasi politik memungkinkan
mereka untuk berkoalisi dengan sesama elit politik membajak agenda proses
demokratisasi yang tengah berlangsung sehingga dapat dikendalikan sesuai dengan
yang mereka kehendaki17.
Lebih lanjut, Marco Bunte dan Andreas Ufen dalam Democratization in Post
Suharto in Indonesia menyatakan bahwa proses demokratisasi di Indonesia banyak
mengalami tantangan dan hambatan dari dalam baik dari aspek struktural maupun civil
society sehingga proses demokratisasnya berlangsung lambat dan kadang hasilnya
bersifat ambigu18 .
Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto dalam Deepening Democracy in
Indonesia? Direct Elections for Local Leaders(Pilkada) menyatakan kekhawatiran
akan tidak berlanjutnya konsolidasi demokrasi Indonesia. Kekhawatiran itu didasari
16Uhlin, Anders. 1995. Democracy and Diffusion Transnational Lesson-Drawing among Indonesian Pro-Democracy Actors. Malmo : Lund University. Hal 2-3. 17 Robison, Richard. 2002. “What Sort of Democracy? Predatory and neo-liberal agendas in Indonesia” dalam Catarina Kinnvall and Kristina Jonsson (eds). Globalization and Democratization in Asia. The Construction of Identity. London : Routledge,hal.93 18 Bunte, Marco and Andreas Ufen (eds.). 2009. Democratization in Post Suharto Indonesia. London : Routledge. hal. 4
12
atas pernyataan Jeff Hayness yang menyatakan bahwa beberapa faktor bisa menjadi
hambatan bagi demokratisasi di negara-negara “dunia ketiga” untuk mencapai tahap
konsolidasi.19 Beberapa faktor itu adalah dominasi eksekutif yang kuat, sistem politik
patrimonial, korupsi yang merajalela di level negara, partai politik yang lemah dan
tidak stabil, masyarakat sipil yang terkooptasi, perpecahan etnis/agama yang serius,
meluasnya kemiskinan, serta lingkungan internasional yang kurang mendukung.
Melalui studi kasus atas beberapa pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung
di Indonesia sejak 2004, Erb dan Sulistiyanto menyatakan bahwa patrimonialisme,
korupsi, lemahnya partai politik, serta konflik etnis dan agama dapat menjadi
penghambat bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.20
Berdasar pada beberapa literatur di atas maka dapat difahami bahwa dinamika
demokrasi di Indonesia sampai dengan tahun 2012 belum mengalami fase
pemantapan. Dari tulisan yang dikemukakan oleh Daniel S. Lev di atas maka penulis
dapat mengkritisi bahwa demokrasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-
faktor domestik, namun juga konstelasi sosial-politik regional dan internasional.
Hanya saja mekanisme pengaruh yang terjadi adalah sebuah hal yang bersifat soft
approach.
Richard Robison dengan diperkuat Marcos Bunte dan Andreas Ufen lebih
banyak membahas mengenai faktor domestik yang mempengaruhi lambatnya proses
transisi demokrasi di Indonesia, dan kurang menekankan adanya pengaruh lingkungan
eksternal dalam proses tersebut. Demikian juga Maribeth Erb dan Priyabudhi 19Erb, Maribeth and Priyambudhi Sulistiyanto (editor). 2009. Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore : ISEAS. Hal. 7 20 Ibid. hal. 29
13
Sulistiyanto yang melalui studi kasus tentang pemilukada langsung melihat masih
banyaknya hambatan bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia, yang umumnya
berasal dari dalam negeri, walaupun proses demokratisasi sudah menuju arah yang
lebih baik.
Meskipun Anders Uhlin menyebutkan adanya pengaruh luar dalam proses
demokratisasi di Indonesia, studi yang dilakukannya lebih menekankan pada adanya
penyerapan, dan penyesuaian ide-ide demokrasi yang datang dari luar oleh para aktor
pro-demokrasi di Indonesia sebelum reformasi dan lebih menitikberatkan pada aktor
non-negara. Berangkat dari beberapa studi di atas maka penulis tertarik untuk meneliti
bagaimana upaya Indonesia untuk mempertahankan praktek demokrasi yang tengah
dilakukannya di tengah banyaknya tantangan yang dihadapi. Pada penelitian ini
penulis akan menguraikan dan membahas bagaimana Indonesia sebagai negara
melalui BDF –forum yang diprakarsai dan dibentuknya- berusaha memperkuat
konstruksi demokrasi yang sedang dijalankannya melalui karya dengan judul Peran
Bali Democracy Forum (BDF) dalam Demokrasi Indonesia.’
1.4 Kerangka Berfikir
Dalam upaya menjawab rumusan masalah penulis menggunakan beberapa
teori yang dipergunakan dalam melakukan penelitian, sehingga penelitian menjadi
jelas, sistematis dan ilmiah. Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian
asumsi, konsep, definisi, dan proporsi yang menerangkan suatu fenomena sosial secara
sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.21 Sedangkan menurut
21Masri Singaribun dan Sofian Effendi. 1983. Metode Penelitian Survey, Yogyakarta : LP3S, hal. 32
14
Mochtar Mas’oed suatu konsep adalah abstraksi yang mewakili suatu objek, sifat
suatu objek atau suatu fenomena tertentu.22
Dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah penulis menggunakan
kerangka berpikir konstruktivis sebagaimana dikemukakan oleh Alexander Wendt dan
Christian Reus-Smit. Christian Reus-Smit dengan mengutip pernyataan Alexander
Wendt menyatakan bahwa ada tiga proposisi dasar untuk memahami konstruktivisme
dalam hubungan internasional. Masing-masing adalah:
a. Pertama, bahwa struktur normatif dan ideasional sama pentingnya dengan
struktur material dalam membentuk kebiasaan negara sebagai aktor dalam
hubungan internasional.
b. Kedua, untuk memahami kebiasaan negara dan aktor lain dalam hubungan
internasional diperlukan pula pemahaman atas identitas sosial yang
menentukan kepentingan dan tindakan yang dilakukannya. Karena identitas
sosial aktor bisa bermacam-macam, maka demikian pula kepentingan dan
tindakan yang dipilih untuk dilakukannya.
c. Ketiga, walaupun konstruktivisme sangat menekankan kekuatan struktur
normatif dan ideasional, namun keduanya hanya ada melalui praktek rutin
yang dilakukan oleh aktor yang membuat ide dan norma itu menjadi nyata
dalam dinamika kehidupan manusia. Konstruktivis sangat menekankan pada
alasan untuk bertindak dan memfokuskan kajian tidak hanya pada kesesuaian
antara tindakan dan norma yang mendasari, namun juga logika dalam
22Mochtar Mas’oed. 1999. Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, Yogyakarta : LP3S, hal. 93-94.
15
berargumentasi dengan cara membentuk norma dan ide dalam kerangka kerja
tentang strategi, tujuan dan lembaga apa yang sah untuk digunakan. Alasan
bertindak itu mempunyai dimensi internal dan eksternal atau dimensi privat
dan dimensi publik. Struktur normatif dan ideasional merupakan bukti nyata
alasan suatu aktor untuk bertindak dalam dua dimensi ; melalui proses
sosialisasi mereka membentuk definisi diri tentang siapa mereka dan apa yang
mereka kehendaki ; dan melalui pembenaran publik mereka membentuk
kerangka berargumen 23.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa menurut kerangka berfikir
konstruktivis, setiap aktor hubungan internasional dalam melakukan tindakan apapun
terkait kepentingannya itu akan mencerminkan identitas sosialnya. Kepentingan dan
kebiasaan bertindak akan tercermin dalam praktek rutin yang mereka lakukan dalam
kegiatan sehari-hari.
Terkait dengan pengaruh internasional terhadap demokratisasi, Jon C.
Pevehouse menyatakan pada pokoknya ada tiga premis utama mengenai bagaimana
lingkungan internasional mempengaruhi demokratisasi di suatu negara: melalui diffusi
dan pengaruh praktek nyata; melalui komunitas epistemik dan mekanisme spill-over;
serta melalui penggunaan paksaan.24 Diffusi dan pengaruh praktek nyata terjadi
manakala demokratisasi di suatu negara akan “menular” ke negara tetangganya yang
dengan motif yang sama akan melakukan perubahan ke arah demokrasi.
23 Reus-Smit, Christian. (editor) 2004. The Politics of International Law. Cambridge : Cambridge University Press. p. 21-22 24 Pevehouse, Jon C. 2005.Democracy from Above Regional Organization and Democratization. Cambridge : Cambridge University Press. Hal. 9
16
Meningkatnya perdagangan global dan kemudahan komunikasi menyediakan
kemudahan bagi penyebaran ide dan gerakan demokratisasi di suatu negara yang dapat
menjadi pemicu bagi demokratisasi di negara lain. Pengaruh komunitas epistemik dan
mekanisme spill-over biasanya sering dikaitkan dengan aktivitas kelompok
kepentingan atau kelompok informal lain yang membawa dan menyebarkan nilai-nilai
demokrasi. Penggunaan paksaan oleh suatu negara terhadap negara lain terjadi seperti
pada kasus demokratisasi Jerman dan Jepang oleh Amerika Serikat setelah Perang
Dunia II yang mempersyaratkan demokratisasi bagi pemberian bantuan ekonomi
untuk rekonstruksi negara pasca perang yang menyebabkan kerusakan parah di dua
negara tersebut.25
Selanjutnya terkait demokratisasi di negara sedang berkembang Caroline Shaw
menyatakan bahwa konstruksi demokrasi pada kelompok negara-negara dunia ketiga
dewasa ini tidak akan memungkinkan lagi diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan
ofensif. Pergeseran konstelasi politik internasional pasca Perang Dingin tidak akan
memungkinkan lagi bagi kelompok negara maju untuk mengintervensi proses
demokratisasi secara langsung. Hal yang paling ideal adalah bagaimana aktor-aktor
internasional membangun sebuah imperium demokrasi untuk mempengaruhi
perkembangan demokrasi itu sendiri dalam konteks regional dan internasional.26
Dengan kata lain kerjasama antar-negara demokratis diperlukan untuk mendukung
perkembangan demokrasi di negara-negara tersebut dengan berdasarkan nilai-nilai 25 Ibid.hal 10 26Shaw, Caroline and SE. Davis. 2009. The Democracy and The State Athority. London and New York : Vintage Book Publishing. Hal. 29
17
demokrasi sendiri yaitu persamaan derajat, sehingga tidak ada pemaksaan suatu negara
atau kelompok negara terhadap negara atau kelompok negara yang lain.
Caroline Shaw juga menyatakan bahwa pembentukan imperium demokrasi
memiliki ciri yang dapat mengesampingkan atau menghilangkan adanya pemaksaaan
dan kepentingan terselubung diantara pihak-pihak yang berada di dalam dan di luar
spektrum politik. Gambaran mengenai hal ini dapat lihat skema 1.1. sebagai berikut :
Skema 1.1. Spill Over Rezim Demokrasi Internasional
Sumber : Caroline Shaw and SE. Davis. 2009. The Democracy and The State Athority. London and New York : Vintage Book Publishing. Hal. 30 Melalui skema di atas Caroline Shaw menekankan bahwa peran rezim
demokrasi internasional memiliki arti penting dalam konstruksi demokrasi suatu
negara. Artinya pengaruh yang ada nantinya akan bersifat sebagai soft diplomasi yang
18
bersifat mempengaruhi karena bagaimanapun juga demokrasi merupakan sebuah
faham yang relatif dan kesemuanya mengacu pada aktor negara (pembuat kebijakan)
yang memiliki hak secara penuh atas perubahan demokrasi itu sendiri ke arah yang
lebih baik.
Caroline Shaw memproposisikan bahwa soft diplomasi memiliki keterkaitan
yang erat dengan spill over diplomasi. Artinya berkembangnya konstelasi politik
internasional ternyata hanya menyisakan anasir-anasir kekuatan penekan yang
semakin lama semakin lenyap. Dengan kata lain, rezim demokrasi internasional tidak
lagi dapat menjalankan tindakan-tindakan pemaksaan, namun hanya pengaruh-
pengaruh (influencer) sehingga negara yang menjadi obyek demokratisasi akan
dengan sendirinya menerima nilai-nilai demokrasi sebagai faham yang ideal dan
mengandung nilai kebenaran.27
Keberadaan negara adikuasa dengan demokrasi yang lebih dulu berkembang
dan berupaya mengembangkan nilai-nilai demokrasi internasional dihadapkan pada
konstruksi demokrasi dalam negeri negara yang hendak menerapkan demokrasi itu
sendiri. Forum internasional menjadi wadah bagi pembelajaran mengenai konstruksi
demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, soft diplomasi mampu melingkupi transfer
nilai-nilai demokrasi itu sendiri, dimana pemimpin berhak menolak, menyortir atau
menerapkan secara langsung ketentuan-ketentuan yang didapat atau dipelajarinya dari
forum demokrasi itu sendiri.28
27 Caroline Shaw and Alfred Regall. 2004. Democracy and Soft Diplomacy. New York : Blackwell Reference Publishing, hal.38. 28 Ibid, hal.29.
19
Dengan demikian maka dapat ditarik benang merah bahwa keberadaan BDF
sebagai rezim demokrasi regional ternyata mampu memberikan pengaruh positif bagi
perkembangan konstruksi demokrasi Indonesia. Di bawah kepemimpinan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono Indonesia dapat mempertimbangkan, memiliki, sekaligus
mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi universal secara parsial atapun secara
komperehensif sesuai dengan konteks lokal Indonesia. Kesemuanya, baik nilai
demokrasi universal maupun lokal, memberi pengaruh secara persuasif terhadap
praktek demokrasi di Indonesia tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun
yang tergabung dalam forum BDF.
1.5 Hipotesis
Berdasarkan pada kerangka pemikiran di atas maka penulis berargumen bahwa
Indonesia sejak tahun 2008 menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF) karena :
1. Demokrasi Indonesia dianggap sudah berkembang di jalan yang benar (on the
right track) menuju konsolidasi sehingga perlu dilindungi dari pengaruh buruk
lingkungan eksternal agar tidak terjadi proses kemunduran (setback).
2. Demokrasi Indonesia mampu berkembang dengan memiliki corak yang khas,
berdasarkan pada nilai-nilai lokal dan begitu juga demokrasi di negara-negara
lain sehingga perlu sebuah forum kerjasama antar negara di Asia-Pasifik untuk
mempromosikan praktek demokrasi yang berdasar kearifan lokal (homegrown
democracy).
3. Transisi menuju demokrasi yang berhasil terkonsolidasi di Indonesia perlu
dipromosikan untuk memperkuat citra Indonesia sebagai negara demokratis.
20
Sejak penyelenggaraan BDF tahun 2008 hingga 2013 citra Indonesia sebagai
negara demokratis berkembang semakin baik, itu membuktikan bahwa BDF berperan
sebagai penguat demokrasi Indonesia terutama dalam membentuk citra sebagai negara
demokratis yang bertindak demokratis.
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Metode Penelitian
Penelitian dalam tesis ini dilakukan dengan metoda kualitatif. Menurut Casel
and Symon, metode kualitatif merupakan metode penelitian ilmu sosial yang berusaha
melakukan deskripsi dan interpretasi secara akurat mengenai makna dari gejala yang
terjadi dalam konteks sosial. Metode ini menekankan pada pengumpulan dan analisis
teks tertulis atau terucapkan. Metode kualitatif juga berusaha memberikan gambaran
menyeluruh tentang situasi yang sedang dipelajari oleh peneliti.29
1.6..2 Strategi Penelitian
Salah satu strategi penelitian yang dikembangkan dalam metode kualitatif
adalah studi kasus. Studi kasus, menurut Noeng Muhadjir adalah usaha menemukan
kebenaran ilmiah secara mendalam dan dalam jangka waktu lama. Studi ini berusaha
menemukan kecenderungan, pola arah dan interaksi banyak faktor yang dapat memacu
atau menghambat perubahan. Studi kasus sangat bermanfaat untuk memahami suatu
kasus secara menyeluruh dan mengetahui prospeknya di masa depan.30
Berdasarkan pertimbangan di atas, metode untuk penelitian ini dapat disebut
sebagai metode studi kasus interpretatif. Dalam pengertian, bahwa metode ini akan 29Catherine Cassel and Gillian Symon (ed) 1994. Qualitative Methods in Organizational Research, London : Sage Publications, hal.3-4. 30Robert K. Yin. 1996. Studi Kasus : Desain dan Metode. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. hal.4.
21
menekankan pada upaya interpretasi dan bukan kuantifikasi dari data yang
dikumpulkan. Penelitian ini lebih berorientasi pada studi kepustakaan dengan
menelaah dokumen tertulis, baik berupa artikel, buku, berita surat kabar, dan juga
dokumen resmi, serta publikasi data di internet..
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dalam studi
kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan dan menganalisis dokumen. Dokumen yang
digunakan berupa teks-teks tertulis dalam bentuk artikel, buku, berita surat kabar, dan
juga dokumen resmi, serta publikasi data di internet.
1.7 Jangkauan Penelitian
Karya penelitian ini dibatasi pada periode tahun 2008-2013. Dipilih tahun 2008
karena pada tahun inilah Bali Democracy Forum (BDF) untuk pertama kali
diselenggarakan, sedangkan tahun 2013 dipilih karena merupakan tahun
diselenggarakannya BDF terakhir (BDF VI, sebelum penyelenggaraan tahun
berikutnya). Jangkauan di luar interval tahun tersebut dibahas selama masih ada
keterkaitan dengan tema pokok dalam penelitian ini.
1.8 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian dalam karya tesis ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang mengapa Indonesia menyelenggarakan Bali
Democracy Forum (BDF) dan apa peran BDF bagi demokrasi Indonesia.
22
2. Sebagai salah satu syarat dalam melengkapi, sekaligus untuk memperoleh
gelar master pada program pascasarjana jurusan Ilmu Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
1.9 Sistematika Pembahasan
Karya penelitian ini terbagi atas lima bab yang masing-masing berisi sebagai
berikut :
BAB I yang merupakan pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, kerangka berfikir, tinjauan pustaka, hipotesis, metodologi
penelitian, jangkauan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika
pembahasan.
BAB II membahas tentang dinamika demokrasi Indonesia dalam konteks
internasional yang berubah. Ini diperlukan untuk memberikan gambaran umum
mengenai pasang surut demokrasi Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan
internasional yang melingkupinya. Pengaruh internasional yang buruk bisa membuat
demokratisasi Indonesia menjadi mundur kembali. Oleh karena itu belajar dari
pengalaman sejarah dalam mempraktekkan demokrasi sangat penting untuk menjaga
demokrasi Indonesia tetap berkembang di jalur yang tepat.
BAB III membahas tentang Bali Democracy Forum (BDF) sebagai forum
demokrasi regional yang mempromosikan demokrasi berbasis kearifan lokal
(homegrown democracy) sehingga mampu berkembang menjadi forum yang semakin
penting dalam dinamika demokrasi di kawasan Asia-Pasifik.
23
BAB IV membahas tentang BDF sebagai sarana penguat demokrasi Indonesia
melalui perannya sebagai media soft diplomasi, sarana bertukar pengalaman dan
belajar bersama tentang homegrown democracy, serta media promosi untuk
pemulihan citra Indonesia sebagai negara demokratis. BDF ternyata memberikan
dampak positif sebagai penguat bagi demokrasi di Indonesia karena karakteristik dari
BDF yang mengedepankan soft approach, terbukti dari adanya respon positif dari
masyarakat internasional atas perkembangan demokrasi Indonesia.
BAB V merupakan bab yang berisi kesimpulan dari uraian pembahasan bab-
bab sebelumnya.