bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...

14
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Seko bermukim di hulu Sungai Karama, di aliran Sungai Uro dan Betue, di Kabupaten Luwu-Utara, Sulawesi-Selatan, Indonesia. Mengalami perubahan sosial mendasar sekitar tahun 1920-an sampai dengan 1965 akibat masuknya Agama Kristen, ekonomi pasar, serta administrasi kolonial, yang disusul berturut-turut oleh militer Jepang, revolusi mempertahankan kemerdekaan dan pendudukan gerombolan DI/TII. 1 Sesuai dengan kebijakan pemerintahan kolonial, jajaran Gereja Protestan Hindia Belanda (Indische Kerk) mengutus sejumlah guru dari Ambon, Minahasa dan Timor yang kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di beberapa perkampungan di Seko tahun 1923-1934. Murid-murid diajarkan membaca, menulis, menggambar dan menyanyi. Bahan ajarnya bersumber dari ajaran Kristen, lambat laun murid-murid mengerti ajaran Kristen lalu kemudian mereka pindah agama dan masuk ke agama Kristen. Mereka juga mempengaruhi para orangtua sehingga pindah ke agama Kristen. Diduga pembaptisan pertama dilakukan antara tahun 1926-1927 yang dibaptis Ds. H. Van Weerden, penginjil utusan Gereformeerd Zendingsbond (GZB), setelah Van Weerden, meninggalkan pos pelayanannya karena ditahan pada masa pendudukan Jepang. Ds. P. Sangka Palisungan yang adalah orang Toraja di tempatkan sebagai penggantinya. Agama 1 Zakaria J. Ngelouw, Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII 1951 (Makassar: Yayasan Ina Seko, 2008), 1.

Upload: dodien

Post on 08-May-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Seko bermukim di hulu Sungai Karama, di aliran Sungai Uro

dan Betue, di Kabupaten Luwu-Utara, Sulawesi-Selatan, Indonesia. Mengalami

perubahan sosial mendasar sekitar tahun 1920-an sampai dengan 1965 akibat

masuknya Agama Kristen, ekonomi pasar, serta administrasi kolonial, yang

disusul berturut-turut oleh militer Jepang, revolusi mempertahankan

kemerdekaan dan pendudukan gerombolan DI/TII.1

Sesuai dengan kebijakan pemerintahan kolonial, jajaran Gereja Protestan

Hindia Belanda (Indische Kerk) mengutus sejumlah guru dari Ambon, Minahasa

dan Timor yang kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di beberapa

perkampungan di Seko tahun 1923-1934. Murid-murid diajarkan membaca,

menulis, menggambar dan menyanyi. Bahan ajarnya bersumber dari ajaran

Kristen, lambat laun murid-murid mengerti ajaran Kristen lalu kemudian mereka

pindah agama dan masuk ke agama Kristen. Mereka juga mempengaruhi para

orangtua sehingga pindah ke agama Kristen. Diduga pembaptisan pertama

dilakukan antara tahun 1926-1927 yang dibaptis Ds. H. Van Weerden, penginjil

utusan Gereformeerd Zendingsbond (GZB), setelah Van Weerden, meninggalkan

pos pelayanannya karena ditahan pada masa pendudukan Jepang. Ds. P. Sangka

Palisungan yang adalah orang Toraja di tempatkan sebagai penggantinya. Agama

1 Zakaria J. Ngelouw, Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII 1951 (Makassar: Yayasan Ina

Seko, 2008), 1.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

2

Kristen disebarkan dengan menggunakan bahasa Toraja yang kemudian

mengeserkan bahasa Seko.2

Sekitar tahun 1930-an Agama Islam masuk di Seko yang diperkenalkan

oleh seorang pedagang dari Endrekang Duri yang awalnya menikah dengan

masyarakat pribumi. Kehidupan berdampingan aman dan damai meskipun

terdapat agama Kristen, Islam dan Kepercayaan tradisional masyarakat Seko.

Pada awal tahun 1951 gerombolan DI/TII masuk di Seko dalam semangat

politik.3 Pada Tahun 1952 gerombolan tersebut melarang masyarakat memeluk

agama suku dan mewajibkan masyarakat menganut salah satu agama Kristen atau

Islam. Pada bulan September tahun 1953 gerombolan DI/TII mengislamkan

masyarakat Seko secara paksa, bagi masyarakat yang menolak pengislaman

tersebut langsung dibunuh. Algojo pembunuh yang digunakan ialah masyarakat

Seko yang telah pindah masuk ke Agama Islam dan direkrut menjadi tentara

DI/TII. Menurut catatan Ngelouw, antar tahun 1953-1965 sekitar 120 jiwa warga

Seko terbunuh pada waktu itu.4

Masyarakat Seko yang berhasil meloloskan diri dari tangan gerombolan

dengan alasan menolak pemaksaan pindah agama dan berbagai kelaliman

mengungsi keberbagai tempat. Masyarakat Seko bagian tengah dan barat

mengungsi ke daerah Mamuju, Toraja dan daerah sekitarnya, sedangkan

2 Ngelouw, Masyarakat Seko, 7.

3 Gerombolan DI/TII dipakai untuk gerakan pemberontakan Kahar Muzakkar sejak

masuk ke Seko tahun 1951, walaupun baru pada bulan Agustus 1953 nama DI/TII dipakai

gerembolan. Dalam bahasa daerah gerombolan ini disebut gurilla, yang berasal dari nama awal

gerakan ini yakni kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (GKSS), yang juga dipakai dalam suatu

organisasi yang dibentuk dalam masyarakat, Gerilya Rakyat Indonesia (GRI). Lihat Zakaria

Ngelouw, 10. 4 Ngelouw, Masyarakat Seko, 27.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

3

masyarakat Seko di bagian utara mengungsi ke arah Kulawi hingga sampai di

lembah Palu. Rumah dan harta kekayaan masyarakat yang mengungsi tersebut

dibakar dan terjarah oleh gerombolan DII/TII.

Pada masa inilah masyarakat Seko yang mengungsi ke daerah Mamuju

berjumpa dengan budaya Karama, yang mengungsi ke wilayah Toraja bertemu

dengan budaya setempat, sedangkan yang mengungsi ke wilayah Luwu berjumpa

dengan budaya Luwu dan Bugis, dan yang mengungsi ke wilayah Sulawesi

Tengah berjumpa dengan budaya, Kulawi, Bada’, Kaili, Pamona dan suku

lainnya. Sehingga perjumpaan dengan kebudayaan sekitar menciptakan pengaruh

besar bagi eksistensi kebudayaan Seko, yang sangat mungkin tergeserkan dan

terdominasi oleh kebudayaan agung di sekitar mereka. Indikasinya adalah

persoalan sosial, ekonomi, tekanan psikis dan traumatis yang dialami masyarakat

Seko Pasca-pengislaman. Di lain sisi masyarakat yang masih tinggal di Seko

berada dalam tekanan dan kendali gerombolan DI/TII.

Dampaknya ialah terporak-porandanya kebudayaan Seko, melahirkan

masyarakat yang gagal kultural, kehilangan identitas dan jati dirinya. Seiring

dengan kegagalan kultural tersebut melunturkan nilai dan falsafah masyarakat

yang dihidupi. Kemudian merenggangkan kohesi sosial dalam kehidupan

masyarakat setempat, menciptakan suasana yang tidak kondusif dan rawan

terhadap konflik. Hal ini terungkap dari beragamnya konflik antar individu,

keluarga dan kelompok masyarakat dalam persandingan kekuasaan.

Realitas ini adalah bentuk perubahan sosial yang turut serta mempengaruhi

peradaban masyarakat yang muncul akibat pengaruh baik secara internal maupun

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

4

eksternal yang berakibat fatal menciptakan masalah sosial. Tambahan pula

dengan kenyataan populasi penduduk yang semakin meningkat yang

menciptakan masyarakat homogen dan kompleks menumbuhkan berbagai macam

peluang benturan konflik yang meresahkan masyarakat. Signifikansi perubahan

dalam dimensi kehidupan menjadi gelembung yang melanda interaksi aktivitas

antar masyarakat. Hal itu menjadi perhitungan dalam kekuatiran terhadap

goncangan budaya masyarakat yang menyentuh pikiran dan kesadaran mencari

acuan sebagai reaksi menemukan identitasnya.5

Bertitik tolak pada disintegrasi di atas, Sallombengang menjadi penting

sebagai instrumen integrasi sosial. Dengan tujuan mengeratkan kembali

keretakan hubungan yang selama ini rawan karena konflik. Hal ini penting demi

terciptanya masyarakat yang bersatu, utuh dan harmonis, integrasi sosial itu

pernah dihidupi masyarakat Seko Embonatana tradisional pra-agama Kristen dan

Islam. Sallombengang adalah salah satu bentuk ritual kebudayaan masyarakat

Seko yang diyakini mempersatukan masyarakat dari segala perbedaan. Falsafah

itu pertama kali disampaikan oleh Roka dengan tujuan masyarakat Seko tetap

bersatu.6

Roka waktu itu tampil berbicara di depan seluruh lapisan masyarakat

dengan memegang manik-manik lalu ia mengatakan, jika kamu tidak seperti

5 Arifin, Transfomasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional (Jakarta: Universitas

Indonesia, 1988) , 155. 6 Sallombengang merupakan sistem nilai dan norma bagi masyarakat Seko

Embonatana. Sejarah munculnya Sallombengang bermula dari wahyu yang diterima

seorang masyarakat yang sederhana bernama Roka yang kemudian diberi julukan

Passupu (perantara Tuhan dan manusia). Karena itu apa yang diucapkan Roka akan

terjadi dikemudian hari. Adapun pesan yang dinyatakan dalam amanah Sallombengang

ialah persatuan, kemanusiaan, keadilan dan kejujuran.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

5

manik ini, hidup bersatu meskipun ada yang kecil, sedang dan besar serta warna-

warni dan beragam, maka kamu akan bercerai-berai seperti manik-manik ini,

sambil ia melepas tali manik-manik itu. Sebab itu kamu harus si-Sallombengang.

Falsafah Sallombengang yang di jabarkan melalui manik-manik (saruhane)

menekankan nilai-nilai kebersamaan hidup, yang harus dipegang teguh oleh

masyarakat Seko, sehinga masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dalam

hidup. Pemahaman yang hidup di masyarakat bahwa kata Sallombengang

berasal dari akar kata lombeng yang berarti tempat memasukkan atau menyatukan

biji-biji emas kecil untuk ditimbang, wadah itulah yang disebut satu lombeng atau

Sallombengang.

Dengan demikian Sallombengang merupakan sumber norma dan nilai

yang bersifat mengikat dalam kehidupan bersama yang seutuhnya dihayati

sebagai yang sakral dengan kekuatan moral masyarakat.7 Secara disiplin

dilakukan dalam kesadaran kolektif yang mengakarkan individu dalam

masyarakat.8 Pemahaman religius ini mendorong rasa sepayuguban bersama-

sama dalam mengambil bagian disetiap aktivitas sehari-hari.9

Penting dicatat bahawa budaya tradisional Seko Embonatana telah

teramnesiakan Pasca-agama Kristen dan Islam masuk di Seko. Salah-satu

diantaranya ialah Sallombengang yang secara praksis tidak lagi dilakukan dalam

kehidupan saat ini dikarenakan adanya justifikasi bahwa kebudayaan ini kafir dan

bebas nilai, tetapi falsafah tersebut masih hidup dalam memori kolektif

7 George Ritzer, Teori Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 168-169.

8 Djuretna A dan Imam Muhni, Moral Religi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 141.

9 Paul. B Hotson dan Chaster L.Hunt, Sosiologi Edisi Keenam (Jakarta: Erlangga, 1994),

306.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

6

masyarakat setempat. Seperti yang dikatakan oleh Martin Heidegger bahwa

sejarah bukanlah semata-mata narasi itu sendiri, melainkan suatu yang hidup di

masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada masa kini untuk

dimaknai (sekaligus memaknai) masa kini. Pemaknaan ini terhadap masa lalu itu

dilakukan berdasarkan konteks masa kini.10

Hal ini menegaskan bahwa

kebudaayaan yang pernah ada menjadi ingatan sejarah masa lalu untuk memaknai

kehidupaan saat ini yang gemilang. Ungkapan itu dipertegas oleh Maurice

Halbwachs yakni:

Memori adalah sebuah penampakan sosial yang isi dan kegunaanya

dijelaskan melalui interaksi dengan orang lain dalam bentuk bahasa,

tindakan, komunikasi dan dengan ungkapan emosi-emosi pada

konfigurasi keberadaan sosial kita. Ingatan terbentuk melalui dialog

dalam kelompok sosial, seperti halnya sebuah ingatan yang terbesar

atau bagian kenangan yang terkuat akan menjadi ingatan yang resmi

di dalam kelompok tersebut, dengan frasa “kita adalah yang kita

ingat, menjadi apa yang kita miliki. Dalam arti ini, tindakan

mengingat tersebut tidak semata dilakukan secara pribadi, tetapi

secara kolektif, yakni ingatan sebuah kelompok masyarakat, atau

sebuah bangsa. Ingatan kolektif semacam ini menjadi dasar bagi

identitas kolektif masyarakat tersebut, termasuk bagaimana

masyarakat itu memandang dirinya sendiri.11

Dalam konteks ini tepat sebagaimana pembahasan singkat yang menyitir

pendapat Halbwachs di atas, bila dipakai mengungkapkan kembali memori

kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap nilai-nilai dan falsafah yang

terkandung dalam Sallombengang dengan tujuan mengangkat nilai-nilai mitos,

spritual dan ideologi kebudayaan yang cemerlang dan kontekstual, sebagai usaha

untuk keluar dari narasi agung (grand narrative) menuju narasi kecil (little

10

Martin Heidegger dalam Widya Fitria Ningsih, Sejarah Memori: Politik Memori dan

Ideologisasi Sejarah Nasional: Masa Soekarno dan Soeharto, (ed ) Budiawan (Yogyakarta:

Ombak, 2013), 6-7. 11

Lewis A. Coser, On Collective Memory (Chicago: University of Chicago Press, 1992)

dalam Reza, A. A Wattimena, Ingatan Sosial, Trauma dan Maaf (Jakarta: Atma Jaya, 2008), 19.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

7

narrative).12

Dengan latar belakang permasalahan sebagaimana terurai di atas

tesis ini disusun dengan judul:

Sallombengang: Memori Kolektif Sebagai Instrumen Integrasi Sosial

Masyarakat Seko Embonatana

1.2. Signifikansi Penelitian

Dalam bagian ini penulis akan menguraikan penelitian sejenis yang

dilakukan sebelumnya dengan maksud melihat persamaan dan perbedaan dengan

penelitian yang penulis lakukan dalam tesis ini.

Tulisan artikel yang pertama dikemukakan disini adalah tulisan Yunus

Tippo tentang Sallombengang, Roka dan Dimbarokke yang di dalamnya Tippo

menjelaskan dalam suatu deskripsi interpretasi pribadi secara singkat sejarah

munculnya Sallombengang dari seorang bernama Roka dengan gelar Passupu

(perantara Tuhan dan manusia) kemudian menjelaskan amanah Sallombengang

seperti kesatuan, keterikatan, kejujuran, keterbukaan, menghargai dan

menghormati antara masyarakat. Selanjutnya Tippo menjelaskan peristiwa

peneguhan Dimbarokke yang dirubah namanya menjadi Bilande yang diberikan

tugas sebagai pengayom masyarakat Seko. Kisah kehidupan Dimbarokke adalah

manusia yang sederhana, jujur, mulia dan rendah hati yang senatiasa berdoa dan

bergumul dalam keprihatianannya terhadap persoalan sosial yang terjadi di masa

12

Damsar, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Kencana, 2010), 105.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

8

itu. Tippo menyebutkan beberapa bukti-bukti nubuatan Roka terhadap

masyarakat Seko.13

Selain karya Tippo di atas terdapat tulisan lainnya tentang Sallombengang

yang dilakukan oleh Altur Kelo dalam Skripsinya di STAKN Toraja tentang

Falsafah Sallombengang dan relevansinya bagi pertumbuhan Gereja di Seko.

Kelo mendasarkan pikirannya pada amanah Sallombengang yang disampaiakan

oleh Roka yang mengandung nilai kesatuan, keterikatan, kejujuran, keterbukaan,

menghargai dan menghormati antara masyarakat yang kemudian dijadikan

falsafah hidup masyarakat Seko dalam budaya Sallombengang. Lebih lanjut Kelo

menjelaskan bahwa falsafah ini menjadi sumber nilai atau norma yang sifatnya

mengikat masyarakat dalam mewujudkan kehidupan bersama. Dari nilai-nilai

inilah diupayakan penerapan teologi kontekstual dalam praksis kehidupan

bergereja di Seko, yang berbasis pada korelasi budaya Sallombengang dangan

pemberitaan injil Kristus, demi terciptanya teologi kontekstual dalam

pertumbuhan gereja-gereja di Seko.14

13

Sejarah munculnya Sallombengang di Seko Embonatana bermula dari wahyu yang

diterima seorang masyarakat yang sederhana bernama Roka yang disampaikan kepada semua tetua

masyarakat berkumpul saat itu di Amballong Seko-Tengah, namun ada satu yang belum hadir

yakni Dimbaroke. Roka menyuruh utusan khusus untuk memanggilnya di Katehu, nama daerah di

Seko, dengan mengirim daun sirih sebagai simbol penjemputan bagi orang yang dihargai.

Dimbarokke hadir karena menghargai panggilan itu, ia ditegur dan dimarahi oleh Roka, dia

dijemur di kerumunan tua-tua Seko (Para Tobara) dan masyarakat, lalu Roka berkata: Aku datang

sebenarnya karena tangismu, ungkapan tersebut sebagai fakta bahwa doa Dimbarroke dijawab

Tuhan. Roka mengambil sebuah kris bergelombang tujuh, dihunus dan dipancangkan di atas

kepala Dimbarokke lalu diiringi ucapan: “Ni pabalai’amo ti konamu, unikonaiamo Bilande,

mambilandei’ia mittu salunna Seko” (Sekarang nama mu diganti menjadi Bilande, supaya kau

membilandei semua daerah sepanjang aliran sungai di Seko). Tippo dalam Zakaria J. Ngelouw,

Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII 1951 (Makassar: Yayasan Ina Seko, 2008), 230-233. 14

Altur Kelo, Suatu Studi Teologis-Sosiologis Terhadap Makna Falsafah Sallombengang

dan Relevansinya Bagi Pertumbuhan Gereja di Seko (Tana Toraja: Skripsi STAKN Toraja 2010),

45-73.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

9

Tulisan Tippo dan Kelo di atas berebeda dengan penelitian yang penulis

lakukan di sini. Penulis mengkaji memori kolektif masyarakat Seko Embonatana

terhadap kebudayaan Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial, guna

menjawab beragam persoalan yang muncul di Seko Embonatana saat ini, demi

terciptanya tatanan kehidupan yang rukun, damai dan harmonis.

1.3. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Demi menghindari meluasnya subjek dan ruang lingkungan dari penelitian

ini, penulis perlu untuk membatasinya. Masalah yang akan dikaji dalam tulisan

ini dibatasi pada memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap

Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial, dengan demikian berdasarkan

latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul sesuai judul dan dibatasi

pada masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa makna Sallombengang dalam memori kolektif masyarakat Seko

Embonatana?

2. Apa perspektif masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang

sebagai instrumen integrasi sosial?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan di atas, maka yang

menjadi tujuan penulisan tesis ini ialah :

1. Menjelaskan makna Sallombengang dalam memori kolektif masyarakat

Seko Embonatana.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

10

2. Menjelaskan Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial bagi

masyarakat Seko Embonatana.

1.5. Manfaat Penelitian

Penulisan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis dan

praktis dalam upaya menghidupkan kembali nilai-nilai substansial yang eksis

yang lahir dari rahim kebudayaan masyarakat Seko Embonatana, khususnya yang

hendak dikomunikasikan melalui Sallombengang sebagai instrumen integrasi

sosial yang kemudian nilai-nilai substansial tersebut bisa dijadikan sebagai

perspektif bagai masyarakat Seko dalam konteks kekinian.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk interpertatif

dengan metode penelitian kualitatif, yaitu pendekatan yang berusaha memahami

makna dibalik kenyataan, yang dapat di amati atau di indra secara langsung.

Konsep-konsep yang terdapat dalam kenyataan langsung dianggap sebagai

makna.15

Penelitian ini akan menyajikan data dalam bentuk verbal bukan dalam

bentuk angka.16

Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moleong mengatakan bahwa

metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

15

Meryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 3. 16

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996),

29. Sementara Hadawi dan Mimi Martin mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian

yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalalm keadaan sewajarnya,

atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau

bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk atau diolah

dengan rumusan dan tidak ditafsirkan atau diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik atau

matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajahmada University

Press, 1996), 174.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

11

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati.17

Pendekatan yang dilakukan terhadap fenomena kemasyarakatan

menggunakan metode deskriptif kualitatif, peneliti berupaya untuk

menggambarkan, menganalisis, serta menginterpretasikan kesatuan-kesatuan dari

variabel-variabel yang diteliti melalui pengamatan terhadap fakta-fakta yang

berkaitan dengan permasalahan pokok serta fenomena-fenomena yang terdapat

dalam masyarakat, secara khusus yang berkaitan dengan pokok penelitian.

Pendekatan ini akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan dari

masyarakat yang diteliti secara sistematis, faktual dan akurat.18

1.6.2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan cara yang penulis lakukan untuk

merampung atau mengumpulkan data. Untuk mendapatkan data yang berupa

teori, peneliti menggunakan metode library research atau studi kepustakaan yaitu

usaha untuk memperoleh data dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan

mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan sumber bacaan, buku

referensi atau hasil penelitian lain.19

Di samping itu, untuk mendukung data-data

kepustakaan, penulis akan melakukan wawancara langsung dengan pola tidak

terstruktur kepada beberapa orang tua di Seko Embonatana yang penulis anggap

17

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Rosdakarya, 2002),

3. 18

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung:

Rosdakarya, 2003), 136-137. 19

M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2003), 45.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

12

masih mengetahui kebudayaan Sallombengamg sebagai instrumen integrasi sosial

bagi masyarakat Seko.

1.6.3. Teknis Analisis Data

Untuk menganalisis data merupakan proses 1) pengakuratan data sesuai

dengan rentang permasalahan atau urutan masalah yang ingin diperoleh dalam

penelitian; 2) mengorganisasikan dalam bentuk formasi, kategori ataupun unit

varian tertentu sesuai dengan antisipasi penelitian; 3) interpertasi penelitian

berkenaan dengan unsur-unsur satuan data yang sejalan dengan data yang

hendaknya diperoleh; dan 4) penelitian atas unsur-unsur disatukan sehingga data

tersebut menghasilkan kesimpulan, yakni kesimpulan yang baik atau buruk, tepat

ataupun tidak tepat, signifikan atau tidak signifikan.20

Dalam menganalisa dan memberikan interpretasi data yang diperoleh,

disini penulis menggunakan metode analisis deskriptif yakni suatu metode

penelitian yang dimaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau

kejadian-kejadian.21

Metode ini digunakan untuk menggambarkan konsep

sebagaimana adanya agar mendapatkan gambaran yang terkandung dalam konsep

kemudian data tersebut akan diinterpretasi dengan cara menarik benang merah

dari data-data tersebut, kemudian menyusunnya dalam sebuah ringkasan

interpretasi.

20

Meriyani, Metode Penelitian, 75. 21

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 18.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

13

1.7. Lokasi Penelitian

Penulis melakukan penelitian di daerah Seko Embonatana yang letaknya

secara geografis berada di Seko bagian Tengah dari Seko Padang dan Seko Lemo

yang tepatnya berada di penghulu sungai Karama, di aliran anak sungai Betue dan

Uro. Seko Embonatana terdiri dari tiga desa yakni desa Hoyane, desa

Tanamakaleang dan desa Embonatana yang berdiri di bawah dua katobaraang

(lembaga adat) yaitu Tobara Hoyane dan Tobara Embonatana, kini menjadi salah

satu bagian dari kecamatan Seko di Kabupaten Luwu-Utara, Provinsi Selawesi-

Selatan dengan jarak dari ibu kota kabupaten 100-150 KM yang ditempuh satu

hari perjalanan dengan menggunakan sepeda motor atau mobil dan jalan kaki

dengan membutuhkan waktu tiga sampai empat hari perjalanan. Lokasi tersebut

sengaja penulis pilih karena selain alasan primordial dimana penulis adalah orang

Seko yang sadar dengan masalah umum yang dialami oleh masyarakat Seko

terkait gejolak kultural.

1.8. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, hasil penelitian akan disusun dalam lima bab

pembahasan. Kelima bab pembahasan itu dimuat dalam sistematika penulisan

sebagai berikut: Bab I membahas Pendahuluan, bagian ini diawali dengan

pemaparan latarbelakang permasalahan, signifikansi penelitian, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,

lokasi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II membahas Kerangka Teori

tentang memori kolektif dan integrasi sosial sebagaimana yang disarankan oleh

judul tesis. Bab III Memaparkan hasil penelitian yang penulis dapatkan melalui

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada

14

wawancara dengan para responden di lapangan, terkait dengan Sallombengang

sebagai instrumen integrasi sosial masyarakat Seko Embonatana. Pemaparan hasil

penelitian tersebut penulis sajikan secara deskripsi. Bab IV Pada bagian ini

penulis menganalisi data lapangan yang dikaitkan dengan teori pada Bab II.

Acuan dalam analisis ini adalah apa yang telah dikemukakan dalam rumusan

masalah dan tujuan penelitian. Bab V akan membahas penutup, bagian akhir

tulisan ini merupakan kesimpulan pembahasan dari keseluruhan bab sebelumnya

dan rekomendasi.