bab i pendahuluan 1. latar belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/chapter...

34
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu. Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi. Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai Universitas Sumatera Utara

Upload: hoangliem

Post on 05-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator

implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh

rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam

pesta demokrasi (Pemilu). Semakin tinggi tingkat partisipasi politik

mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri

dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah

pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau

minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi

politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.

Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan

sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971,

1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon

legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres).

Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai

Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib,

jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat

partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan

demokrasi.

Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta

demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan

tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih

(golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi

politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari

Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa

sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi

Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.

Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di

kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat

sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan

Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is

Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi

tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya potensi Golput

dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup

mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi

Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan

demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin

pembangkit partisipasi politik.

Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik.

Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang

berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi

partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di

Negara Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai :

By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. (partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.1

Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara

1 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science menyatakan bahwa :2

Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.

The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.

Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai

partisipasi politik adalah:

3

Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah

penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat

dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia. Salah

satu yang terjadi dari Pemilihan Umum hingga saat ini adalah tingginya angka

Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut

diatas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core

political activity yang bersifat personal dari setiap warga negara secara sukarela

untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat

publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan

kebijakan publik.

2 McClosky, Political Participation, International Encyclopedia of The Social Science, (2nd ed.). New York : The Macmilan Company and Free Press. 1972, hal. 20 3 Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1998, Hal. 183

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan. Tingkat partisipasi politik pada Pemilu

rezim Orde Lama (1955), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi

(periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan

tingkat Golput yang relatif rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas

kewajaran).

Tingkat partisipasi poitik pemilih dalam Pemilu di Indonesia pada Pemilu

tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah Golput mencapai 8,6%, pada Pemilu

1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah Golput mencapai 3,4 %,

Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi politik pemilih 96,5% dan

jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi politik

pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%, pada Pemilu 1992 tingkat

partisipasi politik pemilih mencapai 95,1% dan jumlah Golput mencapai 4,9%,

pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6% dan jumlah

Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik pemilih

mencapai 92,6% dan jumlah Golput 7,3%, pada Pemilu Legislatif tahun 2004

tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1% dan jumlah Golput 15,9%,

pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2%

dan jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat

partisipasi politik pemilih mencapai 76,6% dan jumlah Golput 23,4%. Pada

Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun

yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu 29,1%

dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7% dan

jumlah Golput mencapai 28,3%.

Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu:

a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik

yang sukarela;

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah

adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan;4

Di era Orde Baru partisipasi politik yang dimobilisasikan merupakan

kontribusi hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh jaringan aparat birokrasi

pemerintahan Orde Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh para tokoh-tokoh

masyarakat karismatik sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh birokrasi

pemerintahan sebagai wasit, namun ikut bermain politik sebagai orang Golkar.

Kinerja kolaboratif tersebut membuktikan mampu menekan presentase tingkat

Golput.

Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka

penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi

realitas kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di

sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan timbul apatisme politik,

seperti dikemukakan oleh McClosky bahwa:

Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji.5

Banyak pandangan tentang pilihan Golput tersebut dan semakin

banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau

biasa disebut sebagai kelompok golput. Setidak-tidaknya ada beberapa hal penting

tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik. Pertama, pilihan

untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran

belanja Negara (untuk pemilu) dan APB daerah (untuk pilkada). Padahal, dalam

momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Kedua,

golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai.

Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya

4 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, op.cit, Hal. 11 5 Arbi Sanit (Eds), op.cit, hal.20

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput. Ini

mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam

pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa

bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru

hal ini menjadi bumerang bagi golput.

Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu :

yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat

memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan

budaya golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua

kelompok dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi

politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan

memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu.

Di Indonesia orang-orang yang tidak ikut memilih disebut dengan istilah

golput (golongan putih). Istilah ini muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap

dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu orde baru karena

dinilai tidak demokratis. Menurut Arbi Sanit, fenomena golput ini memiliki

keterkaitan terhadap legitimasi penguasa dan legitimasi sistem politik.6

6 Tim Litbang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin Tampak Dari Masa ke Masa, Kompas Edisi 24 Februari 2004, hal. 7

Pada Pemilu 1971, misalnya, Golput diproklamasikan sebagai cara protes

terhadap penguasa Orde Baru yang cenderung memusatkan kekuasaan sehingga

menghambat pengembangan demokrasi. Di mata para pemprotes, Pemilu 1971

tidak lebih sebagai ajang pemberian legitimasi kepada penguasa. Demikian juga

pada Pemilu 1977 sampai 1987 yang difungsikan untuk menghimpun legitimasi

bagi keutuhan format politik Orde Baru, yang terkonsentrasi pada satu pusat

kekuasaan. Di samping itu, mereka memprotes pemilu yang tidak lebih Cuma

bertujuan mencari legitimasi bagi pembangunan yang ditandai oleh pertumbuhan

ekonomi dan melebarnya ketimpangan sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan istilah golput telah

mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas adanya perubahan paradigma bahwa

memilih bukanlah seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan hak pemilih

untuk ikut atau tidak dalam pemilu/pilkada. Seirimg dengan perubahan paradigma

tersebut istilah golput pada saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang

yang tidak ikut dalam pemilu atau pilkada. Dengan hanya melihat hasil pemilu

atau pilkada maka golput tidak mungkin terdeteksi dengan baik. Sebab hasil

pemilu tidak pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih ikut memilih, tidak

ikut memilih, atau memilih secara salah.

Meskipun tingginya angka golput menjadi gejala umum dalam Pemilu

Legislatif di banyak wilayah dan kemungkinan fenomena Golput ini juga akan

menjadi gejala umum Pemilu Presiden di masa mendatang hingga saat ini belum

ada penjelasan yang memadai apa yang menyebabkan seorang pemilih memilih

tidak menggunakan hak pilihnya. Berbagai penjelasan mengenai golput di

Indonesia hingga saat ini masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan

pada riset yang kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap

melontarkan pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih.

Tetapi berbagai penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan

berdasarkan hasil riset.

Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para

pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama,

administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan

prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar

dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak

ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari

pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan

sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political

engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan

politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting.

Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu

legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti.

Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.7

7 Eriyanto, Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05 September 2007, dikutip dari www.lsi.co.id

Maka dari penjelasan di atas, masyarakat golongan putih (golput) terbagi

atas dua bagian, yaitu masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada

pemilihan dan masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak

menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini penulis akan meneliti

masyarakat golongan putih yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak

menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif. Faktor-faktor apa yang

mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak menggunakan hak pilihnya

pada pemilu legislatif.

Mana penjelasan yang lebih cocok untuk fenomena ini, hal ini menjadi

latar belakang peneliti untuk fenomena golput sehingga dapat mengetahui apa

yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor apa

sajakah yang menimbulkan perilaku ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian

ini.

Pemilu legislatif secara langsung pada tanggal 09 April 2009 berlangsung

serentak di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Kecamatan Medan Amplas.

Kecamatan Medan Amplas yang merupakan salah satu kecamatan di kota Medan

juga melaksanakan pemilu legislatif secara bersamaan. Dalam hasil pemilihan,

ternyata masih didapati jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi

tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum legislatif yaitu sekitar

51.83 %. Padahal jumlah suara yang tidak ikut memilih cukup besar dan sangat

berpengaruh pada hasil pemilihan umum legislatif tersebut. Sedangkan rakyat

telah diberikan hak untuk memilih secara langsung calon anggota legislatif

periode 2009–2014.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

Tingginya angka golput di Kecamatan Medan Amplas disebabkan oleh

menurunnya tingkat kepercayaan kepada penyelenggaraan pemilu dan peserta

pemilu. Sehingga masyarakat di Medan Amplas beranggapan ikut atau tidak

dalam Pemilu tidak memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan keluarga.

Dengan alasan inilah yang menjadi salah satu alasan penulis memilih Kecamatan

Medan Amplas sebagai lokasi penelitian.

2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan bagian pokok dari kegiatan penelitian,

sehingga perumusannya perlu tegas dan jelas agar proses penelitian bisa benar-

benar terarah dan terfokus ke permasalahn yang jelas. Perumusan masalah juga

diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang

diperlukan dalam suatu penelitian.8

8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta : Bina Aksara, 1996, hal. 19

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka penulis

membuat perumusan masalah sebagai berikut:

“Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi Munculnya Golongan Putih

di Kecamatan Medan Amplas pada Pemilu Legislatif 2009”.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah adalah sebagai berikut:

Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang

mempengaruhi Munculnya Golput di Kecamatan Medan Amplas dalam

Pemilihan Umum Legislatif 2009.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

3.2. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui

karya ilmiah dan sebagai penerapan dari berbagai teori yang penulis

dapatkan selama dalam masa perkuliahan.

2. Berfungsi sebagai referensi tambahan bagi Departemen Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan

sebagai aplikasi teori perwakilan politik.

3. Memberikan bahan masukan kepada pengambil kebijakan Pemerintah

dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam Negeri dan

Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih

4. Untuk menambah referensi mengenai Golongan Putih.

4. Kerangka Teori

Unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah

teori karena dengan unsur inilah peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial

atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah serangkaian

asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu

fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar

konsep.9

Oleh karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan teori-

teori yang merupakan landasan berpikir dalam menggambarkan masalah

penelitian yang sedang disoroti. Teori-teori yang relevan dengan masalah

penelitian ini antara lain:

9 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta : LP3ES 1989, hal. 37

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

4.1. Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi

merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan

politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang

bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Wahyudi Kumorotomo mengatakan,

“Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbale balik antara pemerintah dan warganya.”10

“Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.”

Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga

negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam

pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group

participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah

(citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara

langsung.

Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice :

Political participation in developing :

11

Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah

kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan

kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.

12

10 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112 11 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam Budiarjo. 12 Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hal. 128

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal,

yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah

mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak

memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik,

keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap

dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang

dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-

pejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai

pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negar

biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk

mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya

membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara

tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-

aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan

bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat

disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua

kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak,

berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak

langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara,

tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat

menyalurkan ke pemerintah.

Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang

dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi

dua, yaitu:

a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan

dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara

mengajukan usul mengenai suatu kebijakana umum, mengajukan alternatif

kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan

kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar

pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran

suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah,

menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.13

Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang

menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung

dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang

yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme,

alienasi, dan anomie.

1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak

punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.

2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari

manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang

kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam

bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.

3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik

dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai

pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk

oranng lain tidak adil.

4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan

nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami

perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli

yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi

untuk bertindak.14

Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali

berpartisipasi politik:

15

13 Sudijono, Sastroadmojo, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, 1995, hal. 74 14 Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal. 131 15 ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.

4.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golput

1. Faktor Sosial Ekonomi

Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan

perilaku non-voting selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi,

variabel status sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel

independen untuk menjelaskan perilaku non-voting tersebut. Namun, pada

sisi lain, variabel tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator untuk

mengukur karakteristik pemilih non-voting itu sendiri. Setidaknya ada

empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel status sosial

ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan dan

pengaruh keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan

untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan

proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut

sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku non-voting.

Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan

ketidakhadiran pemilih.

Ada beberapa alasan mengapa tingkat status sosial-ekonomi berkorelasi

dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, yaitu :

a. Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih mengahargai partisipasi warga.

Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga sektor-sektor yang

berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih

tinggi tingkat kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang

bekerja pada lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang tidak

mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan

pemerintah. Para pegawai negeri atau pensiunan, menunjukkan

tingkat kehadiran memilih lebih tinggi dibanding dengan yang lain.

Sebab, mereka sering terkena langsung dengan kebijakan

pemerintah, seperti misalnya kenaikan gaji, pemutusan hubungan

kerja, dan sebagainya. Begitu pula para pensiunan yang sangat

berkepentingan langsung dengan berbagai kebijakan pemerintah,

khususnya tentang besarnya tunjangan pensiun kesehatan,

kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan lainnya.

b. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi perilaku

pemilih masyarakat di Kecamatan Medan Amplas. Faktor

pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan,

sebab pendidikan sebagai suatu kegiatan yang dapat meningkatkan

kemampuan seseorang dalam menganalisa teori serta mampu untuk

menentukan keputusan dalam persoalan-persoalan untuk mencapai

tujuan menjadi faktor yang penting bagi masyarakat sebagai pelaku

partisipasi aktif dalam pemilihan. Karena semakin tinggi

pendidikan seseorang, maka ketajaman dalam menganalisa

informasi tentang politik dan persoalan-persoalan sosial yang

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

diterima semakin meningkat dan menciptakan minat dan

kemampuannya dalam berpolitik.

c. Pengaruh Keluarga

Keluarga juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada

masyarakat Kecamatan Medan Amplas dalam hal tidak ikut

memilih pada Pemilu Legislatif, kuatnya pengaruh pimpinan

keluarga (ayah) dalam menentukan pilihan politik keluarga. Secara

umum apabila kepala keluarga (ayah) tidak ikut memilih akan

memberikan pengaruh kepada anggota keluarga lainnya untuk

tidak ikut memilih.

2. Faktor Psikologis

Penjelasan nonvoting dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan

dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian

seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian. Penjelasan

pertama melihat bahwa perilaku nonvoting disebabkan oleh kepribadian

yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan

khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan

semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau

tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan

kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan

peroragan secara langsung, betapapun mungkin hal itu menyangkut

kepentingan umum yang lebih luas.

Dalam konteks semacam ini, para pemilih yang mempunyai kepribadian

tidak toleran atau tak acuh cenderung menarik diri dari percaturan politik

langsung, karena tidak berhubungan dengan kepentingannya.

Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan lebih

bersifat keturunan dan muncul secara konsisten dalam setiap perilaku.

Faktor lain yang dapat digunakan untuk menandai ciri kepribadian ini

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

adalah kefektifan personal (personal effectiveness), yaitu kemampuan atau

ketidakmampuan seseorang untuk memimpin lingkungan di sekitarnya.

Misalnya, seberapa jauh seseorang merasa mampu memimpin teman-

teman sepermainan, organisasi-organisasi sosial, profesi atau okupasi di

mana mereka bekerja, dan sebagainya.

Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor orientasi

kepribadian. Penjelasan kedua ini melihat bahwa perilaku nonvoting

disebakan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual

menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi.16

Secara teoritis, perasaan apatis sebenarnya merupakan jelmaan atau

pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sederhana

ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan politik. Hal

ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus)

politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak

menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Anomi

merujuk pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas

politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin

mampu mempengaruhi peristiwa atau kebijaksanaan politik. Bagi para

pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai

pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada

diluar kontrol para pemilih. Sebab, para terpilih biasanya menggunakan

logika-logikanya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan politik, dan

dalam banyak hal mereka berada jauh di luar jangkauan para pemilih.

Perasaan powerlessness inilah yang disebut sebagai anomi. Sedangkan

alienasi berada di luar apatis dan anomi. Alienasi merupakan perasaan

keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam

banyak urusan politik. Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh

terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah

16 Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, The Social Bases of Politics , California : A Division of Wodsworth Inc, 1987, hal. 208-209

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap

kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan

mengambil bentuk alternatif aksi politik, seperti melalui kerusuhan,

kekacauan, demonstrasi dan semacamnya.

3. Faktor Pilihan Rasional

Faktor pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi

untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih

dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan,

tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.

Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak

mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat

pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk

membuat keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih, terutama

untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.

Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan

politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh

ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja

mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-

variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik

seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam

mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu,

pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak

terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak.

Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang

dicalonkan, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa

membawa perubahan yang lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah

akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya.

Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan

lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit mendefinisikan perilaku pemilih

sebagai pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung pada

situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan

lain. Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor tertentu

dalam mempengaruhi keputusannya.17

“Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka”.

4.3. Partai Politik

4.3.1. Defenisi Partai Politik

Secara umum Miriam Budiardjo mengatakan bahwa:

18

“Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil

dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan

bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada

anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.”

Sedangkan menurut Carl J. Friedrich, seperti yang dikutip oleh Miriam

Budiardjo mengatakan bahwa:

19

17 Muhammad, Asfar, Presiden Golput, Jakarta : Jawa Pos Press, 2004, hal. 35-51 18 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 160-161 19 Ibid., hal. 161

Berdasarkan defenisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa tujuan

utama dari partai politik adalah merebut ataupun mempertahankan kekuasaan

guna mewujudkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan cita-cita partai politik

tersebut. Hal tersebut dapat dicapai oleh partai politik melalui keikutsertaan

mereka dalam pemilihan umum dengan jalan merebut dukungan rakyat untuk

menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

4.3.2. Fungsi Partai Politik

Dalam bukunya Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Koirudin

menuliskan beberapa fungsi dari partai politik yaitu :20

Sosialisasi politik merupakan suatu caraa untuk memperkenalkan nilai-

nilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau yang dianut oleh

suatu negara. Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam

pemilihan umum, partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu

partai politik akan berusaha menciptakan citra bahwa ia memperjuangkan

1. Fungsi Artikulasi Kepentingan

Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai

kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil partai politik yang

masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan

kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam pembuatan kebijakan publik.

Dengan fungsi artikulasi kepentingan ini partai politik melalui wakil-wakilnya di

parlemen dapat meningkatkan pengeluaran kebijakan-kebijakan yang menolong

masyarakat dan meminimalisir kebijakan-kebijakan yang menyulitkan rakyat.

2. Fungsi Agregasi Kepentingan

Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang

dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi

alternatif-alternatif pembuatan kebijakan publik. Agregasi kepentingan dari partai

politik dapat dilihat juga ketika partai menawarkan program politik dan

menyampaikan usul-usul pada badan legislatif, dan calon-calon yang diajukan

untuk jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar (bargaining)

pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan tersebut

mendukung calon yang diajukan.

3. Fungsi Sosialisai Politik

20 Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 86-103

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

kepentingan umum. Di samping menanamkan solidaritas dengan partai, partai

politik juga mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan

tanggungjawabnya sebagai warga Negara dan menempatkan kepentingan sendiri

di bawah kepentingan nasional. Di setiap Negara-negara, partai-partai politik

selalu berperan untuk memupuk identitas nasional dan integrasi nasional.

4. Fungsi Rekruitmen Politik

Rekruitmen politik adalah suatu proses seleksi atau rekruitmen anggota-

anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan

administratif maupun politik. Setiap partai politik memiliki pola rekruitmen yang

berbeda. Anggota partai politik yang direkrut atau diseleksi adalah yang memiliki

suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan atau

fungsi politik.

5. Fungsi Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan oleh partai

politik dengan segala struktur yang tersedia, mengadakan komunikasi informasi,

isu dan gagasan politik. Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat komunikasi

politik agar anggota partai dapat mengetahui pandangan dan prinsip-prinsip partai,

program kerja partai, gagasan partai, dan sebagainya.

4.4. Perilaku Golongan Putih (Golput)

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde

Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief

Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka

didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan,

cenderung diinjak-injak.21

Bukan hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak

memilih, mereka bahkan mengajukan tanda gambar segilima hitam dengan dasar

21 Fadillah Putra, Partai politik dan kebijakan publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 104

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

putih. Namun pemilu 1971 menurut versi pemerintahan, diikuti oleh 95 persen

pemilih. Satu hal yang mencuat dari kemunculan fenomena golput adalah

merebaknya protes atau ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap

tidak tegaknya prinsip-prinsip demokrasi atau penentangan langsung terhadap

eksistensi rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.

Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan

kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP, Golkar dan

PDI. Namunn jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi

pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29

Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak

menggunakan hak politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap

sebagai kampanye terselubung kepada massa pendukungnya untuk memboikot

pemilu, meski hal itu dibantah Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu,

jumlah pemilih pada Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58 persen.22

Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang

berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih.

Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku

atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum

golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk

lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara.

Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan

hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban

mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara

Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka semu. Karena

pemilu-pemilu zaman Soeharto-disebut banyak pihak-identik dengan kecurangan

demi untuk memenangkan Golkar. Angka adalah bagian dari rekayasa yang

sangat menentukan.

22 http//www.kompas.com

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan

pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu

kontestan pemilu.23

Dalam artikelnya di KOMPAS 28 Juli 2004

Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja

dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam

pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat

Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau

terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula

persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki

rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua

golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai

kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya

pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.

24

Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional

betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan

, Indra J. Piliang

menyatakan bahwa golongan putih (golput) dianggap sebagai bentuk perlawanan

atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai

dengan aspirasi orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi

3 bagian yaitu: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa

pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput

era 1970-an, yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah

bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi

kedaulatan rakyat. Bagi golput jenis ini, produk UU sekarang, termasuk UU

pemilu, hanyalah bagian dari rekayasa segolongan orang yang selama ini

mendapatkan keistimewaan dan hak-hak khusus. Sistem Pemilu 1999,

sebagaimana diketahui, hanyalah memilih tanda gambar sehingga rakyat tidak

bisa memilih orang. Demokrasi berlangsung dalam wilayah abu-abu dan semu.

23 http//www.kompas.com 24 http//www.kompas.com

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

berdampak atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang

proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya.

Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan

politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu,

tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah atau akibat sistemnya

secara sebagian merugikan mereka.

Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok

golput.25

25 Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999, hal. 22

Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak

mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan

ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak

sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.

Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia

menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik.

Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka

menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada.

Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan

berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi

disbanding golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik

yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat

evaluasi.

4.5. Sistem Pemilihan Umum

Konsep yang berkaitan erat dengan badan perwakilan rakyat ialah berupa

sistem pemilihan umum. Hal ini disebabkan salah satu fungsi sistem pemilihan

umum ialah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan

perwakilan rakyat atau menjadi kepala pemerintahan. Oleh karena itu, berikut ini

diuraikan sistem pemilihan umum.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

Setiap sistem pemilihan umum, yang biasanya diatur dalam peraturan

perundang-undangan, setidak-tidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu

penyuaraan (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula

pemilihan.26

Amerika Serikat mempertimbangkan kedua faktor itu. Setiap negara

bagian tidak peduli luas wilayah dan jumlah penduduknya mempunyai dua kursi

untuk Senat. Jumlah Dewan Perwakilan Rakyat (House of Refresentatives) per

negara bagian ditentukan berdasarkan jumlah penduduk. Walaupun demikian,

pemilihan anggota kedua badan ini dilakukan menurut prinsip satu kursi per

Pertama, penyuaraan. Artinya, tata cara yang harus diikuti pemilih yang

berhak dalam memberikan suara. Apakah pemilih diperkenankan memilih salah

satu alternatif (categorical) atau pemilih diperkenankan mendistribusikan

suaranya kepada beberapa alternatif sesuai dengan peringkat yang dikehendaki

(ordinal). Pilihan yang dihadapi pemilih terdiri atas tiga kemungkinan, yakni

memilih partai, memilih calon, atau keduanya (partai politik dengan daftar

calonnya). Variabel penyuaraan ini terdapat di negara-negara yang menganut

sistem politik demokrasi yang menjamin kemajemukan (pluralism), sedangkan

pemilihan umum di negara-negara komunis tidak mempunyai alternatif terhadap

partai politik ataupun calon. Dalam sistem politik yang terakhir ini, pemilih

dihadapkan pada seorang calon dari satu partai sehingga pemilih menentukan ”ya”

atau ”tidak” terhadap calon tunggal.

Kedua, daerah pemilihan (electoral district). Artinya, ketentuan yang

mengatur berapa jumlah kursi wakil rakyat untuk setiap daerah pemilihan. Apakah

satu kursi per distrik (single member district) atau lebih dari satu kursi per daerah

pemilihan. Dalam menentukan daerah pemilihan ini setidak-tidaknya dua faktor

selalu dipertimbangkan, yakni wilayah administrasi pemerintahan dan jumlah

penduduk.

26 Douglas W. Rae, The Political Conquences of Electoral Laws, New Haven : Yale University Press, 1967, hal. 6-39

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

distrik. Namun, luas wilayah distrik untuk Senat berbeda dengan luas distrik

untuk anggota DPR.

Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 1985

Indonesia menganut ketentuan banyak kursi per daerah pemilihan. Dalam

Undang-Undang tentang susunan dan kedudukan badan-badan perwakilan rakyat

sudah ditentukan jumlah anggota DPR/DPRD I/DPRD II per daerah pemilihan.

Partai politik peserta pemilihan umum akan mendapat kursi sesuai dengan jumlah

suara yang diperoleh di daerah pemilihan. Variabel yang kedua ini berkaitan erat

dengan variabel ketiga, yaitu variabel formula pemilihan.

Ketiga, formula pemilihan. Artinya, rumus yang digunakan untuk

menentukan siapa atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah

pemilihan. Formula pemilihan dibedakan menjadi tiga, yakni formula pluralitas,

formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang (proportional

refresentation). Apabila menggunakan formula pluralitas maka seseorang atau

suatu partai dapat dikatakan menang pada suatu daerah pemilihan manakala

orang/partai tersebut berhasil memperoleh suara lebih banyak daripada calon-

calon atau partai-partai lain tidak peduli apakah bedanya satu suara atau lebih.

Pemilihan anggota Kongres di Amerika Serikat menggunakan formula pluralitas.

Apabila menggunakan formula mayoritas maka seseorang calon atau partai harus

mencapai suara terbanyak dengan rumus : 50%+1. Rumus ini berguna untuk dapat

ditetapkan sebagai memenangkan satu kursi di satu daerah pemilihan. Atau dalam

bahasa yang lebih abstrak, kalau menggunakan formula mayoritas seorang calon

atau partai harus mencapai suatu jumlah suara yang melebihi kombinasi jumlah

suara yang diperoleh calon-calon atau partai lain. Lalu menurut formula

perwakilan berimbang, setiap partai politik akan memperoleh kursi sesuai dengan

jumlah suara yang diperoleh. Apabila lebih dahulu (jumlah pemilih yang

menggunakan haknya dibagi dengan jumlah kursi yang ditetapkan untuk daerah

pemilihan yang bersangkutan), untuk kemudian kursi dibagi berdasarkan jumlah

suara yang diperoleh oleh setiap partai peserta pemilihan umum.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

Ketiga variabel itu bersifat saling berhubungan. Dari ketiga variabel ini,

variabel ketiga yang terpenting karena kedua variabel lainnya adakalanya

merupakan konsekuensi logis dari yang pertama. Itu sebabnya, setiap sistem

pemilihan umum ditandai dengan formula pemilihan yang digunakan. Apabila

formula pemilihan pluralitas yang digunakan maka sistem penyuaraan yang

digunakan cenderung bersifat kategoris, dan daerah pemilihan yang digunakan

biasanya sistem distrik (satu kursi per distrik).

Sebaliknya, apabila formula perwakilan berimbang yang digunakan maka

daerah pemilihan yang digunakan cenderung banyak kursi per distrik, sedangkan

sistem penyuaraan yang digunakan dapat keduanya. Dalam sistem pemilihan yang

menggunakan formula pluralitas, pemilih biasanya memilih calon-calon dari

berbagai partai politik (seorang calon per partai). Lalu yang menggunakan

formula perwakilan berimbang, para pemilih yang memilih partai politik yang

telah menyusun program dan calon-calonnya. Italia menggunakan cara yang

terakhir ini. Namun, pemilih diminta menuliskan nama calon yang dikehendaki

dari partai politik yang dipilih.

Sementara itu, sistem pemilihan umum di Indonesia menggunakan

formula perwakilan berimbang, tetapi pemilih memilih partai politik yang telah

menyusun program dan daftar urutan calon sehingga pemilih praktis tidak

memilih nama calon yang dikehendaki. Keterangan di atas merupakan pola

umum, sebab dalam kenyataan hampir semua negara memiliki kekhususan dalam

sistem pemilihan umum sesuai dengan karakteristik sistem politik yang

bersangkutan. Karakteristik formula pluralitas ialah secara perhitungan jumlah

dapat dikatakan kurang adil (karena suara yang dikumpulkan calon-calon lain

dapat saja melebihi perolehan suara pemenangnya), tetapi secara praktis lebih

mudah dilaksanakan, cenderung mematikan partai kecil sehingga cenderung

menciptakan sistem dua partai bersaingan. Partai yang secara nasional

memperoleh minoritas suara dapat memperoleh mayoritas kursi di badan

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

perwakilan rakyat atau sebaliknya. Selain itu, cenderung menciptakan

pemerintahan yang mayoritas.27

Formula mayoritas biasanya diterapkan dengan negara yang mempunyai

banyak partai, dan negara yang mempunyai partai tunggal. Pemilihan umum

dalam negara yang menganut sistem banyak partai cenderung menghasilkan

pemerintahan koalisi. Pemerintahan koalisi ini dianggap rapuh dan kurang

menciptakan pemerintahan yang stabil. Oleh karena itu, formula mayoritas

sengaja digunakan sebagai sarana menghasilkan pemerintahan yang didukung

mayoritas sehingga stabil.

Karena cenderung menciptakan sistem dua partai bersaingan maka

alternatif yang muncul bagi para pemilih menjadi terbatas. Formula pluralitas

dapat diterapkan dengan baik apabila memenuhi kondisi-kondisi berikut ini.

Pertama, distribusi jumlah pemilih untuk setiap distrik (daerah pemilihan)

relatif seimbang, dan penetapan batas wilayah distrik yang relatif adil. Kedua,

tidak terdapat suatu golongan etnis, ras atau agama yang secara jumlah merupakan

mayoritas menguasai partai politik tertentu. Apabila terdapat ”mayoritas

terkristalisasi” ini maka komunikasi dan kompromi diantara partai politik

cenderung tidak mungkin terjadi karena partai yang mayoritas dari golongan

tertentu cenderung memaksakan kehendaknya seperti yang terjadi di Afrika

Selatan. Dengan kata lain, masyarakat secara kultural harus relatif homogen.

Ketiga, bangsa-negara yang bersangkutan memiliki peserta pemilihan umum

(partai politik) pada dasarnya tidak lagi memiliki perbedaan ideologi yang tajam,

melainkan perbedaan dalam titik berat (program) saja seperti Amerika Serikat dan

Inggris. Keempat, para pemilih dan wakil rakyat memiliki hubungan yang intim

karena setiap wakil rakyat memiliki batas wilayah dan para pemilih yang jelas.

Pemilih mengetahui dengan jelas kepada siapa ia harus menyampaikan tuntutan

dan dukungan, sedangkan wakil rakyat juga mengetahui kepada siapa ia harus

bertanggung jawab.

27 Milnor, A.J, Elections and Political Stability, Boston, MA : Little, Brown and Company, 1969, hal. 18-38

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

Dalam undang-undang pemilihan umum ditetapkan ketentuan bahwa

seorang kandidat dari partai tertentu dapat ditetapkan sebagai pemenang apabila ia

berhasil mengumpulkan jumlah suara mayoritas (mayoritas sederhana (50% + 1)

atau mayoritas mutlak (75%). Dalam undang-undang itu pula ditetapkan

ketentuan lain apabila dalam pemilihan umum pertama tidak tercapai suara

mayoritas maka akan diadakan pemilihan umum kedua dengan peserta yang lebih

terbatas (biasanya dua besar).

Formula pemilihan yang diterapkan pada pemilihan umum tahap kedua ini

biasanya bukan lagi formula mayoritas, melainkan pluralitas sehingga

kemungkinan besar akan terbentuk pemerintahan yang sah. Prancis adalah satu

dari sedikit negara yang menerapkan formula ini. Negara yang menerapkan

bentuk partai tunggal totaliter (negara-negara komunis) cenderung menggunakan

formula mayoritas untuk menentukan pemenang dalam pemilihan umum yang

bersifat meminta persetujuan massa akan calon tunggal yang ditawarkan partai

komunis. Karena tidak ada alternatif pilihan yang ditawarkan kepada massa maka

formula pluralitas dan perwakilan berimbang tidak mungkin diterapkan dalam

negara totaliter seperti ini.

Tujuan utama penerapan formula perwakilan berimbang untuk

menghasilkan suatu badan perwakilan rakyat yang merupakan replika kehendak

rakyat pada waktu pemilihan umum diselenggarakan. Formula ini mencakup

masyarakat pemilih yang lebih luas karena para pemilih yang buta huruf

sekalipun, dapat dengan mudah memberikan suaranya. Sistem pemilihan ini

cenderung menempatkan partai dalam kedudukan berdaulat sebab dalam

pemilihan umum para pemilih memilih partai bukan memilih calon. Di samping

itu, sistem ini memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki formula pluralitas dan

mayoritas. Maksudnya, tidak ada suara yang terbuang atau suara yang terabaikan

sebab setiap partai mendapatkan kursi sejumlah suara yang diperolehnya dalam

pemilihan umum. Titik lemah sistem ini, yakni sukar mencapai pemerintahan

yang mayoritas.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

Pada dasarnya ada tiga hal dalam tujuan pemilihan umum.28

Pertama,

sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif

kebijakan umum. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang

berdaulat, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakilnya (demokrasi

perwakilan). Oleh karena itu, pemilihan umum merupakan mekanisme

penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau

partai yang dipercayai. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang harus

ditempuh oleh pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipil beberapa

negara menyelenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian

kebijakan umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan

”setuju” atau ”tidak setuju” terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah.

Pemilihan umum untuk menentukan kebijakan umum yang fundamental ini

disebut referendum.

Kedua, pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme

memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan

perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih atau melalui partai-

partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin. Hal

ini didasarkan atas anggapan di dalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan

yang tidak hanya berbeda, tetapi juga kadang-kadang malahan saling

bertentangan, dan dalam sistem demokrasi perbedaan atau pertentangan

kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, melainkan melalui proses

musyawarah (deliberation).

Ketiga, pemilihan umum merupakan sarana memobilisasikan dan/atau

menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut

serta dalam proses politik. Hal yang ketiga ini tidak hanya berlaku di negara-

negara berkembang, tetapi juga di negara-negara yang menganut demokrasi

liberal (negara-negara industri maju), kendati sifatnya berbeda.

28 Phillips, W. Shively, Power and Choice : An Introduction to Political Science, New York : Random House, 1987, hal. 138-147.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

5. Metodologi Penelitian

5.1. Jenis Penelitian

Menurut Hadari Nawawi,29

29 Nawawi, Hadari, Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63

metode penelitian deskriptif dapat diartikan

sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan

atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan

lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau

sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan

data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan

disimpulkan.

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi

atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori,

data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil

penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh

karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

5.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Kecamatan Medan

Amplas.

5.3 Populasi dan Sampel

5.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terdaftar di Data

Pemilih Tetap pada Pemilihan Presiden 2009.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

5.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan

cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakat yang

tidak menggunakan Hak Pilihnya dalam Pilpres 2009 di kecamatan Medan

Amplas. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis

menggunakan rumus Taro Yamane30

n =

Keterangan:

n : Jumlah sampel

N : Jumlah populasi

D : Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

Pada masyarakat Kecamatan Medan Amplas, jumlah golput di Kecamatan

Medan Amplas sebanyak 45239 jiwa. Maka sampel yang digunakan dalam

penelitian ini sebanyak :

n =

n =

n =

n = 99,8

Jadi, sampel yang digunakan untuk menjadi responden dalam penelitian

ini dibulatkan menjadi 100 orang.

, sebagai berikut:

30 Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991, hal. 81

Universitas Sumatera Utara

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

5.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis

mlakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang

diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang

dilakukan dengan dating langsung ke lokasi penelitian dengan cara

menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai

sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban

yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.

b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui

buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian

ini.

5.5 Teknik Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan

untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada.

Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya

akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

6. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi

penelitian di Kecamatn Medan Amplas.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter I.pdf · implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh ... mengakibatkan

BAB III : Pembahasan

Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis

secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan.

BAB IV : Kesimpulan dan Saran

Universitas Sumatera Utara