bab i pendahuluan 1. 1. latar belakang - sinta.unud.ac.id tesis... · undang-undang dasar negara...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Belum lama ini ada peristiwa hukum yang cukup menghebohkan terjadi
dalam dunia peradilan Indonesia, dimana Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil
Mochtar) tertangkap tangan dalam kasus suap yang dilakukan oknum politisi. Tak
lama berselang Presiden Republik Indonesia (Soesilo Bambang Yudhoyono)
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Perpu 1/2013) yang ditandatangani pada tanggal
17 Oktober 2013.
Secara substansial Perpu ini mengatur beberapa hal, antara lain:
Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang dibentuk
oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial; rekruitmen Panel Ahli melalui
Komisi Yudisial yang akan bertugas untuk melakukan uji kelayakan terhadap
calon hakim konstitusi yang dipilih oleh Mahkamah Agung; serta adapula syarat
pengangkatan hakim konstitusi yang tidak boleh menjadi anggota partai politik
dalam jangka waktu 7 (tujuh) tahun.
Perpu 1/2013 diuji konstitusionalnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada
tanggal 12 November 2013, namun dalam masa pengujian Perpu tersebut Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) juga menggelar rapat paripurna pada
2
tanggal 19 Desember 2013 untuk menerima atau menolak Perpu tersebut menjadi
undang-undang. Akhirnya Perpu tersebut diterima untuk dijadikan sebagai
undang-undang.1
Problematika yuridis pun mengemuka sehubungan dengan langkah MK
menguji Perpu 1/2013. Pertanyaannya adalah apakah MK berwenang menguji
Perpu, dalam hal ini Perpu 1/2013? Pertanyaan ini menjadi penting karena dalam
hal dilakukannya constitusional review oleh MK sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945)2 Pasal 24C ayat (1), Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009), dan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
24/2003), telah ditentukan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD.
Secara yuridis normatif dapat dilihat bahwa adanya kekosongan norma
hukum dalam hal pengujian Perpu oleh MK, sebab tidak ditentukan kewenangan
pengujian Perpu tersebut baik berdasarkan UUD NRI 1945, UU 48/2009, dan UU
24/2003. Berangkat dari kewenangan MK tersebut, muncul kemudian persoalan
yang substansial di mana MK menerapkan fungsi dan kewenangan constitutional
review terhadap Perpu padahal jika dilihat dari kewenangan yang ada, MK hanya
menguji undang-undang terhadap UUD.
1Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2013, http://www.setkab.go.id/berita-11507-
akhirnya -dpr-setuju-perpu-mk-jadi-undang-undang.html, Diakses 15 April 2014. 2Dalam tulisan ini, untuk membedakan UUD sebelum amademen selanjutnya akan disebut
dengan UUD 1945 sedangkan UUD setelah amademen selanjutnya akan disebut UUD NRI 1945.
3
Pengujian Perpu 1/2013 bukanlah pengujian Perpu yang pertama kali
dilakukan oleh MK. Perpu yang pertama diuji di MK adalah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU
RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Perpu 4/2009), alasan dikeluarkannya Perpu tersebut karena terjadinya
kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pada saat itu
dinonaktifkan untuk menjalani proses hukum karena diduga melakukan tindak
pidana dan hal tersebut telah mengganggu kinerja serta berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
koruspi yang dilakukan oleh KPK, pengaturan mengenai pengisian kekosongan
keanggotaan Pimpinan KPK yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002)
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga untuk menjaga keberlangsungan
dan kesinambungan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
diperlukan percepatan dalam pengisian kekosongan keanggotaan Pimpinan KPK
melalui pembentukan Perpu akan tetapi Perpu tersebut dimohonkan untuk diuji
konstitusionalitasnya ke MK.
Adapun duduk perkara yang diuraikan oleh para Pemohon dalam pengujian
Perpu tersebut ditinjau dari sisi kewenangan MK bahwa Perpu 4/2009 adalah
ketentuan hukum yang sejak dikeluarkan telah berlaku dan mengikat seluruh
warga negara termasuk di dalamnya para Pemohon, Pasal 24C ayat (1) UUD NRI
1945 menentukan bahwa MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD
dan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 10/2004 Perpu memiliki kedudukan yang
4
sejajar dengan undang-undang, oleh karena itu maka MK yang memiliki
kewenangan menguji undang-undang dapat menguji Perpu yang diajukan oleh
para Pemohon.
Ditinjau dari kedudukan hukumnya, para Pemohon adalah warga negara
Indonesia yang memiliki pekerjaan sebagai advokat dan secara luas dalam sejarah
negara-negara hukum di seluruh dunia para advokat disebut sebagai pengawal
konstitusi, para Pemohon telah berjanji untuk menegakkan undang-undang dan
keberatan terhadap dikeluarkannya Perpu tersebut karena dinilai tidak
memberikan kepastian hukum dan kaidah pembentukan peraturan perundang-
undangan yang merugikan hak konstitusional para pemohon.
Pokok permohonan para Pemohon adalah apabila keadaan genting dikaitkan
dengan konteks kepemimpinan KPK, kalau substansinya pimpinan KPK
berkurang karena tinggal dua orang lebih tidak tepat lagi karena berkurangnya
jumlah pimpinan KPK tersebut yang semula orang lima orang menjadi dua orang
tidak serta merta mengurangi kinerja KPK, para Pimpinan KPK tidaklah bekerja
sendiri karena dibantu oleh para deputi, penyidik dan staf yang profesional dan
menurut para pemohon penerbitan Perpu tersebut justru menambah jumlah
keanggotaan Pimpinan KPK menjadi delapan orang dimana dua orang aktif, tiga
orang lainnya tidak aktif (diberhentikan untuk sementara) karena menjalani proses
hukum dan tiga orang pimpinan sementara, sehingga hal ini bertentangan dengan
Pasal 21 ayat (1) UU 30/2002 yang mengakibatkan tidak adanya kepastian
hukum, selain itu penerbitan Perpu dilakukan secara sewenang-wenang oleh
Presiden yang membuat Presiden mencampuri independensi KPK sehingga hal
5
tersebut berpotensi mudahnya presiden mengeluarkan perpu yang membubarkan
organisasi advokat dan sangat merugikan hak konstitusional para pemohon dan
dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 138/PUU-
VII/2009 perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Putusan MK RI
Nomor 138/PUU-VII/2009), MK berkesimpulan bahwa dirinya berwenang untuk
menguji Perpu tersebut dengan pertimbangan bahwa kedudukan Perpu sama
dengan undang-undang, namun Permohonan tidak dipertimbangkan karena
Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Amar putusannya
MK menyatakan “Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima”. Sekalipun
MK menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima, namun satu
perkembangan dan sejarah baru lahir dalam sistem peradilan konstitusi Indonesia
di mana MK menyatakan bahwa dirinya berwenang menguji Perpu.
Selain itu ada pula Perpu lain yang pernah diuji oleh MK antara lain;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1960 tentang
Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Perpu
16/1960) yang diuji pada tahun 2012, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
(Perpu 1/2014) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perpu 2/2014) yang diuji pada tahun
2014.
6
Terhadap pengujian-pengujian Perpu di atas kemudian muncul berbagai
tanggapan yang pro dan kontra terhadap putusan MK yang menyatakan bahwa
dirinya berwenang menguji Perpu. Ada pihak yang menyetujui pengujian Perpu
dilakukan oleh MK dengan penilaian bahwa hal tersebut merupakan sebuah
progres dalam sistem hukum Indonesia namun ada pula yang menilai bahwa MK
tidak berwenang melakukan pengujian terhadap Perpu karena kewenangan MK
limitatif dan MK bertindak keluar dari apa yang telah ditentukan dalam konstitusi
padahal tugas MK adalah menjaga nilai-nilai konstitusi.
Lebih dari itu, sebagai salah satu negara yang mengadopsi ajaran negara
hukum, Indonesia menjadikan hukum atau konstitusi sebagai dasar dan pedoman
atau petunjuk bagi para penyelenggara pemerintahan dalam menjalankan tugas
dan fungsi dengan baik dan benar. Mulai dari pemerintahan di tingkat pusat
hingga pemerintahan di tingkat daerah, baik dari cabang kekuasaan pemerintahan
di bidang legislatif, eksekutif bahkan yudisial sekalipun.
Hal tersebut tampak dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” dan
pada ayat (3)-nya lebih ditegaskan lagi bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Kedua ketentuan tersebut bermakna bahwa segala tindakan pemerintah
atau kewenangan-kewenangan pemerintah dalam praktek ketatanegaraan harus
berdasarkan atas hukum dalam hal ini UUD dan peraturan perundang-undangan
yang berada di bawahnya yang mengatur tentang kewenangan tersebut.
7
Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum,
bukan hukum yang tunduk pada pemerintah.3 Hal ini dimaksudkan agar
pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaannya.
Yang menarik di sini adalah apabila sebuah Perpu bertentangan dengan UUD,
apakah MK berwenang menguji Perpu tersebut? Fakta yuridis menunjukkan
bahwa MK pernah menguji beberapa Perpu seperti yang telah dikemukakan pada
bagian sebelumnya.
Jika dirunut dari kelahiran Perpu, secara konstitusional penerbitan sebuah
Perpu harus memenuhi unsur suatu keadaan yang memaksa dan genting
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa “Dalam
hal-ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Menurut Jimly Asshiddiqie,
ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 dikenal sebagai hak subyektif
presiden.4 Sebelumnya tidak ada syarat yuridis yang jelas mengenai keadaan
genting yang memaksa atau tidak ada indikator bahkan ketentuan yang jelas kapan
sebuah Perpu diperlukan sebab hal ini sangat bergantung pada subjektifitas
presiden namun sejak adanya Pengujian Perpu 4/2009, MK dalam Putusannya
Nomor 138/PUU-VII/2009 memberikan pertimbangan bahwa negara memerlukan
sebuah perpu apabila:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, h.21. 4Jimly Asshiddiqie, 2008, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta
(Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I), h. 4.
8
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.
Makna yang terkandung di dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 berbeda
pengertiannya dengan presiden menyatakan keadaan bahaya dan sebagainya
sebagaimana terdapat pada Pasal 12 UUD NRI 1945, ini disebut sebagai hak
konstitusional objektifnya presiden.5 Dan lagi menurut Jimly, yang penting yang
perlu diingat dan dilihat kembali adalah bahwa sebenarnya Pasal 22 ayat (1) UUD
NRI 1945 tidak menggunakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
sebagai nama tertentu dari suatu bentuk atau jenis peraturan. Karena tidak
menggunakan huruf besar (kapital) sehingga tidak dapat ditafsirkan menunjuk
pada pengertian suatu nama tertentu. Kata „sebagai‟ di sini adalah peraturan yang
berbentuk peraturan pemerintah akan tetapi peraturan pemerintah tersebut sebagai
pengganti undang-undang yang tidak dapat dibentuk sesuai dengan prosedur
sebagaimana mestinya berhubung adanya hal-ihwal kegentingan yang memaksa.6
Berdasarkan itu didapati inti bahwa Perpu merupakan produk hukum yang
dikeluarkan oleh Presiden, yang dari segi bentuknya merupakan Peraturan
Pemerintah (PP) namun dari segi materi muatannya adalah sama dengan undang-
undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 UU 12/2011. Dan secara secara
prosedural, keberlakukan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden tidak perlu
menunggu persetujuan DPR. DPR dalam masa sidang berikutnya hanya dapat
5Ibid. 6Ibid, h. 211.
9
memberikan pertimbangan terhadap eksistensi Perpu apakah akan diterima
menjadi undang-undang atau ditolak.
Kedudukan Perpu ini kemudian mendapat pengakuan dan tempat khusus di
dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan itu tampak bahwa kedudukan Perpu berada di samping undang-
undang, berbeda halnya dengan kedudukan Perpu dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan (Tap MPR No. III/MPR/2000) yang
sempat berada di bawah undang-undang. Kembali lagi Pasal 7 ayat (1) UU
12/2011, dalam Penjelasannya tidak menjelaskan apa makna kedudukan dari
Perpu dan undang-undang.
Dalam perspektif lain, makna penting yang terkandung dari hierarki
peraturan perundang-undangan di atas adalah bahwa kekuatan hukum dari
masing-masing peraturan sesuai dengan tingkatannya di mana peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Penentuan norma hukum
secara hierarkis di atas tidak menutup kemungkinan pada suatu waktu terjadi
10
keadaan di mana norma hukum yang derajatnya lebih rendah bertentangan dengan
norma hukum yang derajatnya lebih tinggi, termasuk dengan norma konstitusi.
Pengalaman yuridis yang terjadi menunjukkan bahwa ada Perpu yang dinilai
bertentangan dengan konstitusi dan pernah diuji konstitusionalitasnya oleh MK
sebagaimana dicontohkan pada halaman-halaman sebelumnya. MK yang dibentuk
berdasarkan amandemen ketiga tahun 2001 kemudian hadir untuk menjaga nilai-
nilai fundamental dan wibawa konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi apabila
muncul ketidakselarasan pada sistem norma hukum. Sebagai pengawal konstitusi
(the guardian of constitusion) MK berfungsi untuk menjaga serta menjamin
legitimasi dan supremasi hukum atau konstitusi di Indonesia.
Terkait dengan itu, dalam beberapa Putusan MK sebagai acuan Putusan
Nomor 004/PUU-I/2003 perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung yang kemudian digunakan sebagai rujukan dalam
Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangan terkait dengan kewenangan MK
menjelaskan bahwa; Pasal 24C UUD NRI 1945 merupakan dasar kompetensi MK
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Sifat kewenangannya adalah limitatif dalam arti hanya apa yang disebutkan dalam
pasal ini sajalah yang menjadi kewenangan MK, kewenangan tersebut tidak dapat
ditambah atau dikurangi kecuali dengan jalan perubahan UUD sebagaimana diatur
dalam Pasal 37 UUD. Sehingga harus dimengerti bahwa MK bukanlah organ
undang-undang tetapi organ UUD, ia adalah mahkamah konstitusi bukan
mahkamah undang-undang, dengan demikian landasan yang dipakai oleh MK
11
dalam menjalankan tugas dan kewenangan konstitusionalitasnya adalah UUD.
Karena itu, landasan hukum yang dapat dipakai untuk menentukan apakah MK
berwenang atau tidak berwenang memeriksa suatu permohonan haruslah
didasarkan atas ketentuan yang ada dalam UUD bukan undang-undang.7
Pertimbangan MK dalam putusan-putusan tersebut menunjukkan suatu
realita kontradiktif yang terkesan tidak adanya konsistensi walaupun telah ada
penegasan melalui Putusan MK sejak tahun 2003 terkait dengan kewenangannya
yang bersifat limitatif namun pada tahun 2009 MK melakukan pengujian Perpu
yang di luar dari kewenangannya, hal yang sama juga terjadi pada tahun 2014.
Berangkat dari fakta hukum di atas inilah maka penulis ingin menelusuri
lebih dalam mengenai kewenangan MK dalam melakukan pengujian Perpu,
dengan membuat sebuah karya tulis ilmiah yang berjudul: “Inkonstitusionalitas
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang oleh
Mahkamah Konstitusi”.
1. 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang hendak
diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah disejajarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
dengan Undang-Undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan berarti
7Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 004/PUU-I/2003 perkara Pengujian
Udang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, h. 10-14 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 1-2/PUU-XII/2014 perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi Menjadi Undang-Undang, h. 92-95.
12
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan Undang-
Undang?
2. Apakah Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang?
1. 3. Ruang Lingkup Permasalahan
Agar tidak menyimpang dari topik yang menjadi pembahasan dalam tesis
ini maka ada ruang lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian merupakan
bingkai penelitian yang berfungsi untuk membatasi area penelitian. Berkaitan pula
dengan pembatasan masalah untuk memperjelas batas kajian.8 Kajian dalam tesis
ini dibatasi sesuai dengan rumusan masalah pertama mengenai makna
disejajarkannya Perpu dengan undang-undang di dalam UU 12/2011. Hal ini
dimulai dari eksistensi Perpu dalam UUD dan dampak perubahan UUD terhadap
sistem perundang-undangan Indonesia yang ditinjau pula dari undang-undang
yang mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan (dalam hal
ini Perpu). Berdasarkan itu, kajian selanjutnya akan digiring kepada permasalahan
yang kedua di mana berdasarkan kajian pertama akan apakah MK berwenang
menguji Perpu. Tehadap itu, kajian dibangun dengan melihat makna eksistensi
MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan kajian terhadap pengujian Perpu.
8Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 41.
13
1. 4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih
mendalam ruang lingkup kewenangan MK setelah dilakukannya amandemen
UUD NRI 1945, terutama kewenangan MK yang terkait dengan pengujian
undang-undang terhadap UUD.
1.4.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui makna kesederajatan Perpu dengan undang-undang dalam hierarki
peraturan perundang-undangan; dan
2. Mengetahui apa alasan yuridis MK melakukan pengujian terhadap Perpu
sehingga dapat ditafsirkan bahwa MK memiliki kewenangan menguji Perpu.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan landasan teoritis bagi analisis
mengenai kewenangan MK dalam menguji Perpu, di samping itu penelitian ini
juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya
hukum tata negara di Indonesia dalam menjawab permasalahan hukum yang
berkenaan dengan kewenangan MK.
14
1.5.2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pembentukan Undang-Undang
Dengan adanya kekosongan norma terhadap adanya pengujian Perpu
yang dilakukan oleh MK, para pembentuk undang-undang dituntut agar dapat
membentuk peraturan perundang-undangan dengan baik dengan memikirkan
strategi implementasi dari peraturan yang hendak dibuat ke depan sehingga
memberi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam implementasinya.
b. Bagi Praktisi Hukum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk penelitian
lebih lanjut dan menjadi bahan masukan bagi praktisi hukum yang sering
berpraktik di MK agar lebih memperhatikan kembali substansi kewenangan
dari MK.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Bagi penulis, pengujian Perpu oleh MK ini merupakan hal yang menarik
untuk diteliti, sebagaimana telah dijelaskan secara ringkas di atas bahwa
sebenarnya terdapat kekosongan norma hukum pada konstitusi dalam hal adanya
pengujian Perpu karena konstitusi hanya memberikan kewenangan kepada MK
untuk menguji undang-undang terhadap UUD bukan Perpu terhadap UUD.
Penulisan tesis inipun dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena tidak
ada unsur plagiasi dalam proses menulis. Dan berdasarkan penelusuran terhadap
topik penelitian ditemukan hasil karya tulis lainnya (tesis) yang tampak paling
15
mendekati dengan objek kajian yang dilakukan oleh peneliti, lebih lanjut
diuraikan sebagai berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Irwansyah, dari Universitas Gajah Mada
Yogyakarta Tahun 2012 tentang “Kedudukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Implikasi Yuridis Atas
Penolakannya Oleh Dewan Perwakilan Rakyat”.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Anwar Sulaiman, NIM 0890 5610 45 dari
Universitas Udayana Denpasar Tahun 2010, dengan judul: “Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, dengan rumusan
permasalahan yang dikaji dalam penelitian tersebut, antara lain :
a. Bagaimana kedudukan hukum Perpu dalam konstruksi ketatanegaraan
Indonesia?
b. Bagaimana mekanisme pengujian yang tepat terhadap Perpu sesuai
dengan kedudukan hukumnya?
3. Penelitian yang dilakukan oleh I Putu Surya Dharma, NIM 0790 5610 34,
dari Universitas Udayana Denpasar dengan judul “Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Indonesia Dalam Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-
Undang Dasar”, dengan rumusan permasalahan yang dikaji dalam penelitian
tersebut, antara lain :
a. Apakah kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD Negara RI
1945 sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat?
16
b. Bagaimanakah status hukum dari UU yang telah dilakukan pengujian
oleh MK dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat?
Dari ketiga contoh tesis di atas, jika dibandingkan dengan tesis yang ditulis
oleh penulis tentunya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dari segi
substansi atau hal yang menjadi pokok pembahasan. Apabila ditinjau dari segi
fokus penelitian, adapun titik fokus penelitian dari tesis pertama adalah untuk
mengetahui teori-teori hukum, hierarki peraturan perundang-undangan,
kedudukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan implikasi yuridis
atas penolakan oleh DPR, tesis kedua berorientasi pada eksistensi Perpu dalam
konstruksi ketatanegaraan dan mekanisme pengujian Perpu, sedangkan orientasi
tesis ketiga lebih menekan pada kesesusaian prinsip kedaulatan rakyat dalam hal
pengujian undang-undang terhadap UUD dan status hukum dari undang-undang
yang dibatalkan oleh MK.
1.7. Landasan Teoritis
Pada bagian ini ada beberapa teori, konsep, asas, dan juga pendapat para
yuris yang penulis gunakan sebagai alasan pembenar untuk mendukung ketajaman
dalam menganalisis dan memecahkan objek permasalahan yang ada.
1.7.1. Konsep Negara Hukum
Untuk memahami persoalan pengujian Perpu, maka diperlukan pemahaman
mengenai konsep negara hukum, sebab konsep negara hukum menjunjung tinggi
adanya asas legalitas hukum, asas pembatasan kekuasaan dan adanya jaminan
kepastian hukum. Pengujian Perpu sangat erat kaitannya dengan konsep negara
17
hukum yang dianut di Indonesia karena eksistensi Perpu merupakan salah satu
bentuk peraturan perundang-undangan yang ada di dalam sistem hukum
Indonesia. Secara global ada tiga terjemahan istilah “negara hukum” yang dikenal
antara lain; istilah Rechsstaat dalam bahasa Jerman, Rule of Law dalam bahasa
Inggris, atau Etat de droit dalam bahasa Perancis, di mana ketiga istilah ini
mengandung pengertian identik, yaitu kedaulatan atau supremasi hukum atas
orang dan pemerintah terikat oleh hukum.9
Pandangan mengenai konsep negara hukum sudah ada sejak abad ke-19.
Konsep rechsstaat ditandai dengan adanya empat unsur pokok yang dikemukakan
oleh Frederich Julius Stahl, antara lain:
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Negara didasarkan pada trias politika (pemisahan kekuasaan negara atas
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial);
c. Pemerintah diselenggarakan atas dasar undang-undang (wetmatigheid
van bestuur); dan
d. Ada peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah
(onrechtsmatigoverheidsdaad);10
Sementara itu, konsep rule of law dalam pandangan A.V. Dicey ditandai
oleh dengan unsur-unsur antara lain:
a. Supremasi hukum;
b. Persamaan dihadapan hukum; dan
c. Konstitusi merupakan konsekuensi dari keberadaan hak-hak individu
sebagaimana dipertahankan melalui putusan-putusan pengadilan.11
9I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya
Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusionalitas Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta,
h. 23. 10
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD NRI 1945, Setara Press, Malang, h. 158.
18
Sedangkan Etat de droit merupakan terjemahan literal dari rechstaat yang
mengandung dua pengertian luas, yaitu :
a. The state acts exclusively in a legal manner, i.e it operates by means of law;
b. The state is subjected to law, the objective pursued is that of framing and
limiting the state by means of law.12
(Terjemahan bebas-Pen: (a) Negara bertindak berdasarkan hukum artinya negara
melaksanakan peraturan perundang-undangan, (b) Negara adalah subjek hukum,
tujuan yang dicapai berdasarkan itu adalah bahwa negara berada pada bingkai dan
batas-batas hukum sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan).
Dari ketiga jenis konsep negara hukum di atas, terdapat tiga hal yang
menjadi substansi sentral dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya (baik
Rechtstaat, Rule of law maupun Etat de droit). Ketiga substansi sentral tersebut
antara lain:
a. Substansi yang memuat gagasan bahwa pemerintah (dalam arti luas)
dibatasi oleh hukum;
b. Substansi yang memuat gagasan tentang legalitas formal;
c. Substansi yang memuat gagasan bahwa hukumlah yang memerintah dan
berkuasa, bukan manusia.13
Menurut Jimly Asshiddiqie, pemikiran tentang negara hukum selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya dan prinsip-prinsipnya
pun hanya berpusar pada dua isu pokok yaitu masalah pembatasan kekuasaan
melalui hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.14
11I Dewa Gede Palguna, Op.cit., h. 88. 12I Dewa Gede Palguna, Op.cit., h. 85-86. 13
I Dewa Gede Palguna, Op.cit., h. 94. 14I Dewa Gede Palguna, Op.cit., h. 107.
19
Di Indonesia, sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah menganut konsep
negara hukum, melalui pendekatan sejarah hukum perundang-undangan hal ini
dapat dilihat dalam Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Indonesia,
ialah Negara yang berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat)” artinya bahwa negara
Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machtsstaat). Dari Penjelasan UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan
bahwa konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia pada saat itu adalah
konsep negara hukum rechtstaat.
Gagasan paham negara hukum di Indonesia yang sebelumnya hanya
tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 kemudian dimasukkan ke dalam Pasal 1
ayat (3) UUD NRI 1945 Perubahan Ketiga Tahun 2001 yang menentukan secara
tegas bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan tersebut
berkaitan erat pula dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa “Kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” ini
merupakan pengejawantahan dari amanat Pembukaan UUD NRI 1945 alinea
keempat. Terkait dengan hal tersebut Andrei Marmor memberikan pandangan
bahwa “According to exclusive legal positivism, legal norm are products of
authoritative resolutions; every legal norm consists of an authoritative directive”.
15 (Terjemahan bebas-Pen: Berdasarkan positivisme hukum, norma hukum adalah
produk yang berasal dari tuntutan kedaulatan tertinggi, setiap norma hukum
bergantung wewenang yang diperoleh secara langsung). Kedua pasal tersebut
15
Andrei Marmor, 2001, Positive Law and Ibjective Values, Oxford University Press, New
York, h. 63.
20
menggambarkan Indonesia menganut konsep negara hukum yang demokrasi
(demokrasi konstitusional).
Berdasarkan itu, tampak bahwa konstitusi yang memberikan gambaran
mengenai konsep negara hukum apa yang dianut, hal ini sejalan dengan
pandangan Russel F. Moore bahwa “Negara yang menganut sistem negara hukum
dan teori kedaulatan rakyat dalam konsep pemerintahannya menggunakan
konstitusi”.16
K.C. Wheare mengartikan konstitusi sebagai “Seluruh sistem
ketatanegaraan suatu negara kumpulan peraturan yang membentuk dan mengatur
atau mengarahkan pemerintahan”.17
Konstitusi memiliki kedudukan yang sangat
penting karena makna hakiki konstitusi dan gambaran (ciri-ciri/unsur-unsur
negara hukum) bermukim teguh di dalam paham konstitusionalisme.
Menurut Carl J. Friederich, konstitusionalisme adalah “gagasan bahwa
pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan
atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan
akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak
disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah”.18
Pembatasan-pembatasan tersebut menurutnya tercermin dalam Undang-Undang
Dasar atau konstitusi.19
Pandangan lain dikemukakan oleh A. Mukthie Fajar yang
mengartikan konstitusionalisme sebagai sebuah paham meliputi kedaulatan
16Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca
Amandemen UUD NRI 1945, Konstitusi Press, Jakarta, h.26. 17K.C. Wheare, 1996, Modern Constitutions, Oxford University Press, dialihbahasakan oleh
Imam Baehaqie, Konstitusi-Konstitusi Modern, Nusa Media, Bandung, h. 1. 18Jazim Hamidi dan Malik, 2009, Hukum Perbadingan Konstitusi, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, h. 13. 19Ibid.
21
rakyat, negara hukum, pembatasan kekuasaan, perlindungan dan jaminan hak
asasi manusia, dan pluralisme.20
Terkait itu, dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, ada dua belas prinsip
pokok yang menjadi pilar utama penyangga negara hukum, antara lain:21
a. Supremasi hukum;
b. Persamaan dalam hukum;
c. Asas legalitas;
d. Pembatasan Kekuasaan;
e. Organ-organ pendukung yang independen;
f. Peradilan bebas dan tidak memihak;
g. Peradilan tata usaha negara;
h. Peradilan tata negara (Mahkamah Konstitusi);
i. Perlindungan Hak Asasi Manusia;
j. Prinsip demokratis;
k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara;
l. Transparansi dan kontrol sosial;
Berdasarkan beberapa unsur di atas, konstitusionalisme semata-mata bukan
hanya syarat negara hukum saja melainkan sekaligus mengejawantahkan seluruh
ciri negara hukum itu sendiri. Hal ini selaras dengan pandangan Larry Alexander
bahwa “Constitutionalism implements the rule of law: It brings about
predictability and security in the relations of individuals to the government by
defining in advance the powers and limits of that government.”22
(Terjemahan
bebas-Pen: Konstitusionalisme merupakan implementasi dari negara hukum: hal
tersebut menyebabkan sesuatu yang dapat diprediksi dan melindungi hubungan
masyarakat dengan pemerintah dengan menentukan menentukan terlebih dahulu
kewenangan dan batas-batas pemerintahan tersebut).
20Ibid., h.14. 21Jimly Asshiddiqie, 2008, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MK, Jakarta (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie II), h. 49-52. 22
Martin P. Golding dan William A. Edmundson, 2005, The Blackwell Guide to the
Philosophy of Law and Legal Theory, Blackwell Publishing: Malden-Oxford-Carlton, h. 248-258.
22
Adapun unsur atau syarat negara hukum yang menjadi penekanan penulis
berkenaan dengan penulisan ini adalah asas legalitas. Asas legalitas merupakan
salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan di setiap negara. Pada mulanya asas ini dikenal
dalam penarikan pajak oleh negara dengan ungkapan “No taxation without
representation” (tidak ada pajak tanpa persetujuan parlemen).23
Dalam hukum
pidana digunakan istilah “nullum delictum nulla poena sine previae lege poenali”
(tidak ada hukuman tanpa undang-undang) 24
Sedangkan dalam hukum
administrasi negara prinsip ini bermakna “Dat het bestuur aan de wet is
onderwopen“ bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang. Prinsip ini sering
dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel wetmatigheid van bestuur” yang
adalah prinsip keabsahan pemerintahan.25
H.D Stout yang mengutip pendapat Verhey, menyatakan bahwa prinsip
keabsahan pemerintah atau het beginsel wetmatigheid van bestuur mengandung
tiga aspek yaitu: aspek negatif, aspek formal-positif dan aspek materiil-positif.
Aspek negatif menentukan bahwa tindakan pemerintahan tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang. Tindakan pemerintahan tidak sah jika
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Aspek
formal-positif menentukan bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan
tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang. Yang terakhir
aspek materiil-positif menentukan bahwa undang-undang memuat aturan umum
23Ridwan HR, Op.cit., h. 91. 24
Charlie Rudyat, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Pustaka Mahardika, h. 320. 25Ridwan HR, Op.cit., h.91.
23
yang mengikat tindakan pemerintahan.26
Hal ini berarti bahwa kewenangan itu
harus memiliki dasar perundang-undangan dan juga kewenangan atau isinya
ditentukan normanya oleh undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas adalah beralasan bagi penulis menggunakan teori
negara hukum terkait dengan pengujian Perpu oleh MK di mana adanya asas
legalitas yang bersumber dalam prinsip supremasi hukum mensyaratkan bahwa
segala tindakan pemerintah bersumber dan terikat pada hukum atau konstitusi.
1.7.2. Teori Kewenangan
Teori kewenangan penulis gunakan dengan maksud untuk membahas dan
menganalisis tentang kewenangan MK, dalam hal ini untuk menganalisis ”apa
dasar dan sifat kewenangan MK yang sesungguhnya?”. Secara konseptual, istilah
kewenangan atau wewenang sering disamakan dengan istilah belanda
“bevoegdheid” yang berarti wewenang atau berkuasa. Menurut Bagir Manan,
wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht).
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam
hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.27
Dari sisi historis, teori kewenangan tidak terlepas bahkan dapat dikatakan
lahir dari konsep negara hukum yang menuntut agar penyelenggaraan urusan
kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang atau hukum
serta menempatkan asas legalitas sebagai sendi utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap
26
Ridwan HR, Op.cit., h.92. 27Ridwan HR,Op.cit., h. 99.
24
negara hukum. Tindakan pemerintah yang telah memiliki legitimasi ini kemudian
disebut sebagai kewenangan. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah
wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan
hukum tertentu. Meskipun asas legalitas mengandung kelemahan karena tidak
dapat secara cepat mengikuti perkembangan kemasyarakatan atau kehidupan
sosial yang ada namun ia tetap menjadi prinsip utama dalam setiap negara hukum.
Dalam definisi singkat yang dikemukakan oleh H.D Stout, dengan menyitir
pendapat Goorden, menyatakan bahwa wewenang adalah “het geheel van rechten
en plichten dat hetzij expliciet door de wetgever aan publiekrechtelijke
rechtssubjecten is toegekend” (keseluruhan hak dan kewajiban yang secara
eksplisit diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum publik).28
Hal ini bermakna bahwa segala tindakan subjek hukum (baik orang dan/atau
pemerintah dalam arti luas) hanya bersumber, tunduk, dan terbatas pada hukum.
Untuk itu maka konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan
perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi yang harus ditaati, bukan
hanya oleh rakyat, tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun. Ini selarah
dengan pandangan Miriam Budiardjo yang mengemukakan bahwa: “Di dalam
negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-
Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan
pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang.”29
28Ridwan HR, Op.cit., h.98. 29Lodewijk Gultom, 2007, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur
Ketatanegaraan di Indonesia (Suatu Kajian Dari Aspek Tugas dan Wewenangnya), CV. Utomo,
Bandung, h. 21.
25
Lebih lanjut perihal kewenangan dapat dilihat dari konstitusi atau aturan
hukum negara yang memberikan legitimasi atau kewenangan kepada lembaga-
lembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Terkait ini, I Dewa Gede Atmadja
menyatakan bahwa “Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara
wewenang otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan
secara konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan
merupakan wewenang konstitusional yang ditentukan secara eksplisit.”30
Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.
Penjelasan mengenai ketiga sumber kewenangan ini kemudian didefinisikan oleh
H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt sebagai berikut:
d. Attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan
een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan
oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).
e. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan
een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari
suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
f. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hemuitoefenen
door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya). 31
Pandangan F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek hanya menyebutkan dua cara
organ pemerintahan memperoleh wewenangnya yaitu atribusi dan delegasi. Di
sini, atribusi berkenaan dengan penyerahan baru sedangkan delegasi secara logis
didahului oleh atribusi.32
Dalam kajian hukum administrasi negara, mengetahui
30I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi
Hukum Pelaksanaan UUD NRI 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru
Besar dala Bidang Ilmu Hukum Tana Negara pada Fakultas Hukum Universitas Udanaya, 10 April
1996, h.2. 31
Ridwan HR, Op.cit., h. 102. 32Ridwan HR, Loc.cit.
26
sumber dan cara memperoleh wewenang dari lembaga-lembaga negara sangatlah
penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan
wewenang tersebut. Hal ini seiring dengan salah satu prinsip negara hukum; ”geen
bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no oauthority without
responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).33
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa MK dalam hal ini mendapatkan
kewenangan atribusi di mana kewenangannya bersumber langsung dari peraturan
perundang-undangan yaitu Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 29 ayat (1)
UU 48/2009 dan Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 yang dalam konteks ini adalah
kewenangannya menguji undang-undang terhadap UUD namun dalam praktek
yang terjadi MK melakukan pengujian Perpu terhadap UUD.
1.7.3. Teori Penafsiran Konstitusi
Pada dasarnya sebagai ahli hukum atau orang yang mempelajari hukum,
tentulah mengetahui bahwa hukum tertulis selalu sulit untuk mengikuti progres
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, sebanyak apapun hukum atau aturan
yang dibentuk/dibuat belum tentu mewakili semua hal dan aturan hukum akan
selalu tertinggal. Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank34
menentang pendapat
bahwa hukum yang ada itu lengkap dan dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk
memutuskan dalam peristiwa konkret.
Peraturan perundang-undangan sebagai sebuah kaidah pada umumnya
berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan
33Ridwan HR, Op.cit., h.105. 34
Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, h.25.
27
dan ditegakkan. Undang-undang harus diketahui oleh umum, tersebar luas dan
harus jelas. Oleh karena itu setiap undang-undang dilengkapi dengan penjelasan
yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara.35
Undang-undang yang bersifat
abstrak, tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa konkret
dan lagi sifatnya yang statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan
kemasyarakatan sehingga menimbulkan ruang kosong yang perlu diisi. Tugas
mengisi ruang kosong itulah, dibebankan kepada para hakim dengan melakukan
penemuan hukum melalui metode penafsiran (interpretasi) atau konstruksi dengan
syarat bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut, para hakim tidak boleh
memperkosa maksud dan jiwa undang-undang atau tidak boleh bersikap
sewenang-wenang.36
Secara umum, pandangan dalam melakukan penemuan hukum telah diatur
dalam Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”. Dan secara khusus, kewenangan tersebut dibebankan kepada
hakim dalam melakukan penemuan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5
ayat (1) undang-undang yang sama bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.”
Menurut D.H.M. Meuwissen, penemuan hukum adalah proses kegiatan
pengambilan keputusan yuridik konkret yang langsung menimbulkan akibat
35Ibid., h. 24. 36Ibid., h. 25.
28
hukum bagi suatu situasi individual (putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta
oleh notaris, dan sebagainya). Dalam arti tertentu penemuan hukum adalah
pencerminan pembentukan hukum.37
Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap
mempunyai wibawa dan hanya penemuan hukum oleh hakim sajalah yang
merupakan hukum, dan mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena
dituangkan dalam bentuk tulisan.38
Menurut Mr. James C. Carter, para hakim
bertugas untuk menemukan hukum, bukan menciptakan hukum dan dengan cara
inilah para hakim sendiri cenderung menyatakan fungsi yang mereka emban.39
Penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti yang dikemukakan oleh
J.J.H. Bruggink dalam bukunya Op Zoek Naar Het Recht yang meliputi metode
interpretasi (interpretatiemethoden) dan metode penalaran (redeneerweijzen) atau
konstruksi hukum.40
Dalam hal ini, penulis tidak membahas mengenai konstruksi
hukum, tetapi hanya pada metode interpretasi atau penafsiran hukum saja. Pada
uraian selanjutnya penulis menggunakan istilah penafsiran dan interpretasi secara
bergantian.
Interpretasi menurut Black‟s Law Dictionary berarti “the process of
determining what something, eps. The law or a legal document, means; the
ascertainment of meaning.”41
(Terjemahan bebas-Pen: proses menentukan
37D.H.M. Meuwissen, 2013, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum, dan Filsafat Hukum, dialihbahasakan oleh B. Arief Sidharta, Refika Aditama, Bandung,
h.11. 38Ahmad Rifai, Op.cit., h.11. 39Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Prenada Media
Group, Jakarta, h. 401. 40Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, h.25. 41
Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, United
States of America, h. 824.
29
maksud dari suatu hal, terutama. Peraturan atau sebuah dokumen hukum, artinya;
mengetahui maknanya). Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo berpendapat bahwa
interpretasi adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan
secara gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.42
Hans Kelsen mendefinisikan
bahwa “Interpretation is an intellectual activity that accompanies the law-
creating process as it moves from a higher level of the hierarchical structure to
the lower level governed by this higher level.”43
(Terjemahan bebas-Pen:
Interpretasi adalah sebuah aktivitas intelektual dalam proses pembentukan
peraturan yang bersumber dari kedudukan hukum tertinggi hingga hukum yang
lebih rendah yang diperintah dari hukum tertinggi.)
Berkenaan dengan pandangan Hans Kelsen di atas, konstitusi merupakan
salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan
hukum tertinggi dalam negara. Konstiusi tertulis merupakan hasil karya manusia
yang dibuat dalam kurun waktu tertentu, disahkan dan diberlakukan melalui
proses pengambilan keputusan dalam forum politik dan tentu tidak akan pernah
sempurna.44
Oleh karena itu maka konstitusi senantiasa memerlukan
penyempurnaan. Penyempurnaan terhadap kostitusi itu dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yakni melalui;45
(1) perubahan atau amandemen secara formal
42Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2013, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Cetakan
Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.13. 43Hans Kelsen translated by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, 1990,
Introduction to the Problems of Legal Theory, Clarendon Press, Oxford, h. 77. 44Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie III), h. 604. 45I Dewa Gede Palguna, Op.cit., h. 281.
30
(formal amandement), (2) penafsiran atau interpretasi pengadilan (judicial
interpretation), (3) kebiasaan dan konvensi (usage and conventions).
Dalam kaitannya dengan tulisan yang akan dikaji, penyempurnaan
konstitusi yang penulis maksudkan di sini adalah penyempurnaan melalui
penafsiran (interpretasi) pengadilan dalam hal ini yang dilakukan oleh hakim MK
untuk menafsirkan konstitusi. Albert H.Y. Chen, Guru besar Fakultas Hukum
Universitas Hongkong, menggunakan istilah “constitutional interpretation” yang
dibedakan dari interpretation of statutes. Ini merupakan penafsiran atau
interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau
interpretation of the basic law.46
Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah metode
dalam hal penemuan hukum (rechtsvinding) karena tidak seluruh isi konstitusi itu
disusun dengan jelas dan tidak membutuhkan penafsiran hukum lagi. Oleh karena
itu, penafsiran (interpretasi) pengadilan merupakan salah satu cara untuk
melakukan penyempurnaan terhadap konstitusi dengan waktu yang relatif singkat.
Penafsiran konstitusi berarti memberikan arti atau makna yang tepat atas
pasal-pasal konstitusi. Ada lima sumber untuk memandu melakukan penafsiran
atau interpretasi, yaitu:
1. The text and the structure of Constitution. (Teks dan struktur konstitusi);
2. Intentions of those who drafted the Constitution. (Maksud perancang
konstitusi);
3. Prior precendents (usually judicial). (Putusan Hakim terdahulu,
lazimnya badan peradilan);
4. The social, political, and economic consequences of alternative
interpretation. (Konsekuensi sosial, politik, dan ekonomi suatu
penafsiran alternative);
46
Martitah, 2013, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature?,
Konstitusi Pers (Konpers), Jakarta, h.84.
31
5. Natural Law (higher law, God’s Law). (Hukum alam, dipandang sebagai
“hukum tertinggi” yang bersumber dari hukum Tuhan).47
Para penafsir konstitusi yang mengikuti panduan menafsirkan konstitusi
berdasarkan teks dan struktur konstitusi, maksud perancang konstitusi, dan
konsekuensi sosial, politik, dan ekonomi digolongkan sebagai penganut originalis
atau istilah lainnya penganut original intent. Sebaliknya, para penafsir yang
mengikuti, preseden atau putusan hakim pengadilan terdahulu, dan hukum alam
digolongkan sebagai penganut non-originalis atau istilah lainnya penganut non-
original intent.48
Para originalis mengikatkan diri erat pada pasal-pasal yang
secara eksplisit ditentukan dalam konstitusi. Sebaliknya non-originalis tidak
mengikatkan diri pada pasal-pasal konstitusi.
Di dalam kepustakaan atau literatur hukum, ada berbagai macam metode
yang domain dilakukan dan digunakan oleh hakim untuk menafsirkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Metode interpretasi oleh Bruggink dikelompokkan
dalam empat kelompok, yaitu interpretasi bahasa (de taalkundige interpretatie)
atau interpretasi gramatikal, interpretasi historis undang-undang (de
wetshistorische interpretatie), interpretasi sistematis (de systematische
interpretatie), dan interpretasi kemasyarakatan atau interpretasi
teleologis/sosiologis (de maatshappelijke interpretatie).49
Selanjutnya ada
sembilan metode menurut Sidharta termasuk keempat metode di atas yang
ditambah dengan interpretasi otentik, interpretasi komparatif, dan antisipatif
47I Dewa Gede Atmadja, Suko Wiyono dan Sudarsono, Op.cit., h. 71. 48
I Dewa Gede Atmadja, Suko Wiyono dan Sudarsono, Op.cit., h. 72. 49Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op.cit., h. 26.
32
(futuristik), interpretasi restriktif dan ekstensif.50
Adapun Jhony Ibrahim
memasukkan dua metode interpretasi, yaitu interpretasi interdisipliner dan
multidisipliner sebagai teori penemuan hukum melalui metode interptretasi.51
Di
samping itu Yudha Bhakti Ardhiwisastra dikenal pula dengan adanya interpretasi
autentik, interdisipliner, dan multidisipliner.52
Yang mana sama dengan metode
otentik Sidharta dan metode interdisipliner, dan multidisipliner dari Jhony
Ibrahim.
Berbeda dengan Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Fitzgerald
mengemukakan bahwa secara garis besar interpretasi atau penafsiran hukum dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) interpretasi harafiah, merupakan
interpretasi yang semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan
sebagai pegangannya, dan (2) interpretasi fungsional, yang sering disebut dengan
interpretasi bebas karena penafsiran tidak mengikatkan diri sepenuhnya pada
kalimat atau kata peraturan (litera legis).53
Berdasarkan itu, untuk mendukung ketajaman analisis dan mencapai
maksud penulis dalam kajian ini, penulis menggunakan teori penafsiran
konstitusi, teori ini digunakan karena berkaitan erat dengan adanya kewenangan
hakim dalam memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya, penafsiran
konstitusi yang dilakukan oleh hakim adalah guna menemukan hukum untuk
mengisi kekosongan norma pada peraturan perundangan-undangan dalam hal ini
50I Dewa Gede Atmadja, Suko Wiyono dan Sudarsono, Op.cit., h. 73-75. 51Jhony Ibrahim, 2007, Teori & Metodelogi Peneltitian Hukum Normatif, Cetakan Ketiga,
Bayumedia Publishing, Malang, h.226. 52Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2012, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Pt. Alumni,
Bandung, h. 11-12. 53Martitah, Op.cit., h. 89.
33
konstitusi. Teori penafsiran konstitusi ini diperlukan karena ketika MK
menyatakan bahwa dirinya berwenang untuk menguji Perpu maka MK sudah
melakukan penafsiran konstitusi.
Dalam kaitannya dengan itu, penulis menggunakan metode interpretasi yang
lazim digunakan yaitu interprasi bahasa/gramatikal di mana cara interpretasi ini
yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang,
interpretasi ini disebut juga metode objektif, selain itu penulis menggunakan
interpretasi sistematis di mana penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan
tersebut tidak dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu
dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Adapun metode
lain yang digunakan sebagai pendukung, yakni interpretasi historis namun yang
digunakan dari interpretasi historis ini adalah interpretasi menurut sejarah
perundang-undangan bukan sejarah hukum secara umum. Sehingga berdasarkan
metode yang penulis gunakan, tulisan penulis lebih mengarah kepada aliran
originalis.
1.7.4. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan
ditetapkan serta dikeluarkan oleh lembaga dan/atau pejabat negara yang
mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.54
Fungsi yang paling penting dari suatu peraturan perundang-undangan adalah
54
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
(Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Rajawali Pers, Jakarta, h. 38.
34
berisi arahan atau petunjuk perilaku yang bersifat mengikat secara umum baik
bagi pejabat lembaga pelaksana peraturan maupun masyarakat.
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya ialah
pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum dalam
arti yang luas.55
Menurut Bagir Manan, ada tiga landasan yang dapat digunakan
guna menghasilkan peraturan perundang-undangan yang berkualitas, yakni; (i)
landasan filosofis, (ii) landasan sosiologis, dan (iii) landasan yuridis.56
Ketiga
landasan ini menjadi penting agar peraturan yang dibentuk menjadi efektif,
sehingga dapat diterima secara wajar dan luas serta berlaku untuk jangka waktu
yang panjang. Di samping itu, peraturan perundang-undangan yang baik adalah
peraturan yang mampu memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum
serta memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat.57
Pada dasarnya proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak
terlepas dari konsep hierarki norma hukum dari pandangan Hans Kelsen yang
terkenal dengan sebutan (stufenbau des recht atau stufenbau theory). Kelsen
menyatakan bahwa sumber semua hukum adalah dari grundnorm (norma dasar),
dan seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hierarki pada
grundnorm.58
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang
adalah murid dari Hans Kelsen, Nawiasky menyebutkan bahwa:
55Ibid., h. 25. 56Ibid., h.29. 57Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis (Orasi Ilmiah pada Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Udayana Tanggal 1 Mei 2004), Denpasar, h. 10. 58
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Hage, 2013, Teori Hukum (Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, h. 115.
35
Norma hukum dari negara mana pun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-
jenjang, di mana norma yang berada di bawah berlaku, berdasar, dan
bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada
suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar.59
Hal di atas sejalan dengan konsep yang dianut di Indonesia di mana
Indonesia berpijak pada konsep kedaulatan UUD atau supremasi konstitusi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 serta supremasi
hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Dengan demikian
pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi hal yang sangat strategis
dalam penataan sistem ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara karena
bersumber pada norma dasar (konstitusi).
Jeremy Bentham dalam Hamid Attamimi mengungkapkan bahwa ada dua
derajat atau tingkatan yang dapat mempengaruhi terjadinya ketidaksempurnaan
pada undang-undangan dan dapat dijadikan sebagai asas-asas bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan, yakni:
1. Ketidaksempurnaan derajat I, disebabkan oleh:
g. Arti ganda (ambiguity);
h. Kekaburan (obscurity);
i. Terlalu luas (overbulkiness);
2. Ketidaksempurnaan derajat II, disebabkan oleh:
a. Ketidaktepatan ungkapan (unsteadiness in respect of expression);
b. Ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu (unsteadiness in respect of
import);
c. Berlebihan (redundancy);
d. Terlalu panjang lebar (longwindedness);
e. Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman (nekedness in respect of
helps to intellection);
f. Ketidakteraturan (disorderliness).60
59Ni‟Matul Huda dan R. Nazriyah, 2011, Teori dan Pengujian Peraturan Perudang-
Undangan, Nusa Media, Bandung, h. 27. 60Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari, 2010, Pengujian Formil Terhadap Undang-Undang
Oleh Mahkamah Konstitusi, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Udayana, Denpasar.
36
Untuk menghindari timbulnya ketidaksempurnaan dalam peraturan
sebagaimana digambarkan di atas, adapun asas-asas pembentukan peraturan
perundangan-undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 antara lain: a)
kejelasan tujuan; b) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c)
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d) dapat dilaksanakan; e)
kedayagunaan dan kehasilgunaan; f) kejelasan rumusan; dan g) keterbukaan.
Di samping itu, adapun ketentuan mengenai materi muatan peraturan
perundangan-undangan haruslah mencerminkan asas-asas yang sesuai dengan
Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011, yakni: a) pengayoman; b) kemanusiaan; c)
kebangsaan; d) kekeluargaan; e) kenusantaraan; f) bhinneka tunggal ika; g)
keadilan; h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i) ketertiban
dan kepastian hukum; dan/atau, j) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Berdasarkan kedua ketentuan mengenai asas-asas dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang dianut di Indonesia diharapkan dapat tercipta
peraturan perundang-undangan yang baik dan jelas karena peraturan tersebut
mengikat umum, sehingga pada tahapan implementasinya tidak bersifat ambigu
yang kemudian hanya akan menimbulkan banyaknya penafsiran-penafsiran yang
pada akhirnya memberikan kesan tidak adanya kepastian hukum itu sendiri.
Dari sekian asas-asas sebagaimana telah dikemukakan di atas, salah satu
asas yang menjadi primadona adalah asas ketertiban dan kepastian hukum, dalam
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU 12/2011 yang dimaksud dengan “asas
ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
37
melalui jaminan kepastian hukum. Ini menjadi sangat penting karena melalui asas
inilah tonggak hukum itu menjadi kokoh, walaupun ada asas-asas lain yang juga
turut menopang asas tersebut.
Untuk itulah maka, ketidakjelasan kedudukan antara Perpu dan undang-
undang di dalam UU 12/2011 mendorong penulis untuk menggunakan teori
pembentukan peraturan perundang-undangan ini.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sebagaimana
diketahui penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas
hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, dan penelitian sejarah
hukum.61
Penelitian ini mencakup ke dalam yang berusaha menemukan asas-asas
hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum dan sekaligus sejarah
hukum.
Ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran koherensi, yaitu adalah
kesesuaian antara aturan hukum dengan norma hukum dan adakah norma yang
berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta adakah
tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan
hukum) atau prinsip hukum.62
61Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil
Komunika, Yogyakarta, h.109. 62Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, h.47.
38
1.8.2. Jenis Pendekatan
Jenis-jenis pendekatan yang penulis gunakan pada tulisan ini adalah:
1) Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach)
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian hukum normatif pendekatan
pertama dan utama yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan.
Hal ini dikarenakan persoalan yang akan diteliti adalah aturan hukum sebagai
fokus sekaligus tema sentral, dalam hal ini menyangkut kewenangan MK
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yakni UUD dan undang-
undang MK itu sendiri. Maka dari itu, adalah mutlak dalam penulisan ini
penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan.
2) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conceptual Approach)
Pendekatan ini penulis gunakan karena secara yuridis normatif belum ada
aturan hukum yang secara tegas menentukan atau mengatur tentang
kewenangan MK dalam menguji Perpu. Sehingga untuk masalah yang dikaji
ini harus merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang ditemukan dalam
pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-dokrtin hukum.63
Pendekatan
ini tidak kalah pentingnya dengan pendekatan lain bahkan sangat kuat untuk
penulis gunakan karena menyangkut konsep-konsep hukum dan pandangan
para yuris yang relevan dengan masalah yang akan mendukung penulis dalam
menganalisis permasalahan ini.
63Ibid., h.178.
39
3) Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
Secara umum pendekatan sejarah ini dapat dibagi menjadi 2 bagian; Pertama,
sejarah hukum, melalui sejarah hukum ini kita dapat memahami filosofi
perubahan dan perkembangan aturan hukum dari waktu ke waktu. Kedua,
sejarah perundang-undangan, pendekatan ini membawa penulis untuk melihat
lebih jauh pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan, pada
saat dibahas dan pengundangannya. Berdasarkan kedua pendekatan sejarah
ini, penulis lebih menggunakan sejarah perundang-undangan.
4) Pendekatan Kasus (The Case Approach)
Secara umum, pendekatan kasus digunakan karena bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan
dalam praktek.64
In casu, yang dimaksud di sini bukan seperti kasus yang ada
pada pengadilan biasa, namun dalam artian ketika MK sudah menjalankan
kewenangannya untuk menguji Perpu, melalui pendekatan ini juga penulis
mengkaji pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutus perkara dan
dengan pertimbangan hakim tersebut dapat dijadikan referensi bagi ketajaman
analisis yang penulis lakukan.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Telah dikemukakan di atas bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, sehingga bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
64Johnny Ibrahim, Op.cit., h.321.
40
Adapun bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan perundang-
undangan dan keputusan-keputusan hakim yang berkenaan dengan permasalahan
yang penulis angkat. Selain bahan hukum primer di atas, ada pula bahan hukum
sekunder yang gunakan yakni; buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, tesis,
disertasi, doktrin-doktrin atau pendapat pakar hukum, bahkan karya tulis hukum
yang termuat dalam media masa baik media cetak maupun media eletronik (internet)
yang relevan dengan permasalahan, sedangkan bahan hukum tersier adalah kamus
hukum dan ensiklopedia yang juga relevan dengan pokok masalah yang penulis kaji.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini penulis sesuaikan
dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan. Bahan hukum ini dikumpulkan
melalui sistem kartu (card system) kemudian disusun berdasarkan topik
permasalahan yang telah dirumuskan dan diklasifikasikan menurut hirarki dan
sumbernya untuk dikaji secara komprehensif. Sebagaimana diungkapkan oleh
Soerjono Soekanto bahwa hal-hal yang dianggap penting perlu dicatat. Dan
catatan-catatan itu dibuat pada kartu dengan ukuran tertentu dan dengan cara
tertentu pula, halamannya akan memudahkan penulis untuk menelusuri kembali
data yang telah diperolehnya.65
Sistem kartu yang digunakan adalah kartu kutipan, yang dipergunakan
untuk mencatat atau mengutip data yang diperoleh beserta sumber darimana data
65
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 51.
41
itu diperoleh (nama pengarang/penulis, tahun terbit, judul buku, penerbit, nama
tempat buku diterbitkan, halaman, dan lain sebagainya).
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Ada beberapa teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam
kajian ini. Teknik analisis bahan hukum yang pertama dan tidak dapat dihindarkan
oleh penulis adalah teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif adalah
penggambaran/uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari
proposisi-proposisi hukum atau non hukum.66
Berdasarkan definisi di atas teknik
analisis ini memudahkan peneliti dalam melakukan analisis dan menguraikan
permasalahan sesuai dengan kondisi yang ada kemudian disusun secara runtut dan
sistematis.
Selain itu juga penulis menggunakan teknik evaluasi, di mana teknik ini
dilakukan dengan memberikan penilaian berupa tepat atau tidak tepat terhadap
suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, dan keputusan yang
tertera dalam bahan hukum. Dan yang terakhir adalah teknik argumentasi, teknik
argumentasi ini tidak terlepas dari teknik evaluasi, karena penilaian harus
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
66Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian
Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana,
Denpasar, h. 34.