bab i obgyn
DESCRIPTION
strsdtrsdTRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator utama derajat
kesehatan masyarakat dan ditetapkan sebagai salah satu tujuan Millenium Develop
ment Goals (MDGs). Kematian ibu sendiri menurut definisi dari World Health
Organization (WHO) adalah kematian selama kehamilan atau dalam periode 42
hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau
diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh
kecelakaan atau cedera.1 Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SKDI) tahun 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi, yakni sebesar
359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut diketahui sedikit menurun jika
dibandingkan dengan SKDI pada tahun 1991, yaitu sebesar 390 per 100.000
kelahiran hidup. Sedangkan target global MGDs ke-5 sendiri untuk angka
kematian ibu adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.2
Mengacu pada kondisi tersebut, potensi untuk mencapai target MGDs ke-5
untuk menurunkan angka kematian ibu adalah off track. Artinya diperlukan kerja
keras dan sungguh-sungguh untuk mencapainya. Sementara itu, dari 33 provinsi
yang ada di Indonesia, terdapat 12 provinsi yang belum mencapai target Rencana
Strategi (Renstra) yaitu (89%) untuk cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan pada tahun 2013, salah satunya adalah provinsi Aceh (86.60%).2 Pada
dasarnya, terdapat berbagai faktor yang diketahui dapat meningkatkan angka
kematian ibu, yaitu: perdarahan, hipertensi/preeklampsia, infeksi, partus lama,
aborsi, persalinan dengan parut uterus dan lain-lain. Kasus angka kematian ibu
meliputi perdarahan 28%, preeklampsia 24%, komplikasi masa postpartum 8%,
infeksi 11%, abortus 5%, persalinan lama 5%, emboli obstruksi 3%, dan lain-lain
1%. Berdasarkan data tersebut disimpulkan tiga faktor utama penyebab kematian
ibu melahirkan adalah perdarahan, hipertensi saat hamil atau preeklampsia dan
infeksi.3,4
Preeklampsia sendiri merupakan kelainan malfungsi endotel pembuluh
darah atau vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia
kehamilan 20 minggu, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi
1
2
organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi, edema
nondependen, dan dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada
dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu.5 Pada
dasarnya, bahaya dari preeklampsia bagi ibu hamil antara lain berupa terjadinya
preeklampsia berat, timbulnya serangan kejang-kejang (eklampsia). Sedangkan
bahaya pada janin yang dikandungnya berupa gangguan pertumbuhan janin
dalam rahim ibu dan bayi lahir lebih kecil atau mati dalam kandungan.6
Preeklampsia tidak hanya berisiko menjadi eklampsia, melainkan juga
memicu berbagai komplikasi yang dapat mengganggu proses kehamilan dan
persalinan, seperti: berkurangnya aliran darah menuju plasenta sehingga
pertumbuhan janin melambat atau lahir dengan berat kurang. Komplikasi
berikutnya berupa lepasnya plasenta sebelum waktunya dari dinding uterus,
sehingga terjadi perdarahan dan dapat mengancam keselamatan bayi maupun
ibunya. Komplikasi lainnya yaitu sindroma HELLP, diabetes, oligohidramnion
dan peningkatan angka kejadian bedah section caesarea (SC). Kesimpulannya
adalah semua akibat dari preeklampsia sangatlah berbahaya bagi ibu dan juga
janin yang ada didalam rahim ibu.7,8
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin menuliskan laporan kasus mengenai
P2 Post Section Caesaria atas indikasi PEB, BSC 1X dan Oligohidramnion di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.