bab i -iv/analisis... · indonesia adalah negara hukum yang demokratis ... menjamin segala warga...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas
hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang - Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
menjamin segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintah tersebut tanpa
ada pengecualian. Hal ini berarti bahwa negara hukum Indonesia sebagaimana
digariskan adalah Negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang - Undang Dasar 1945.
Indonesia sebagai negara hukum harus berperan di segala bidang
kehidupan, baik dalam kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia maupun
dalam kehidupan warga negaranya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan adanya
keamanan, dan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta agar supaya hukum ditegakkan
artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali baik
oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum maupun oleh penguasa negara,
segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum.
Penegakan hukum itu sendiri adalah sebagai upaya untuk menegakkan
norma hukum yang nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas hubungan
hukum di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diharapkan
dapat mendorong kreatifitas serta peran aktif masyarakat dalam membangun suatu
negara, khususnya dalam menjamin kemerdekaan Hak Asasi Manusia karena
merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, dan bersifat
universal. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
2
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang boleh
dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan hanya
orang - orang yang berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum
yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak
menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah
satu bentuk penegakan hukum. (Darwan Prinst, 1998: 1)
Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk
mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu usaha untuk mencapai
tujuan tersebut adalah menempatkan masalah hukum pada kedudukan yang
sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Dalam hal ini
hukum di negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah
disepakati bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula,
baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan
kewajiban masing - masing.
Dalam suatu negara hukum seperti di Indonesia, Pengadilan adalah
suatu badan atau lembaga peradilan yang merupakan tumpuan harapan untuk
memperoleh keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk mendapatkan
penyelesaian suatu perkara dalam negara hukum adalah melalui lembaga
peradilan tersebut. Dalam suatu lembaga peradilan, hakim memegang peranan
penting karena hakim dalam hal ini bertindak sebagai penentu untuk memutuskan
suatu perkara yang diajukan ke pengadilan. Suatu putusan hakim mengandung
perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya
jangan melakukan suatu perbuatan.
Kita dapat melihat proses penegakan hukum di Indonesia sangat
berkaitan erat dengan proses pembangunan negara, karena pembangunan negara
disamping dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, dapat juga
mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial
negative terhadap masyarakat itu sendiri, terutama menyangkut masalah
peningkatan tindak pidana yang akhir – akhir ini menimbulkan keresahan
masyarakat. Untuk itu diperlukan penegakan hukum yang sesuai, salah satunya
3
adalah tindak pidana pemerasan dalam kasus Wina Cottage antara Manager dan
Satpam.
Wina Cottage, adalah Hotel yang terletak di Kuta, Bali dan dikelola
oleh Manager I Wayan Winada yang membawahi sejumlah karyawan, termasuk
beberapa orang Satpam (Security). Diantara Satpam ini, satu orang diantaranya
bernama: Fernando. Sebagai anggota Satpam, Fernando termasuk orang yang
bertemperamen keras. Ia sering bertengkar dengan para karyawan lain dan ringan
tangan. Keributan di Wina Cottage sering terjadi sebagai akibat ulah Fernando ini.
Bahkan ia sering mangkir dari tugasnya. Akhirnya ia dibebas tugaskan (dipecat).
Karena tidak puas, maka Fernando dengan membawa senjata tajam menemui
Manager dan stafnya untuk menuntut uang pesangon 12 bulan gaji penuh.
Tuntutan ini ditolak oleh Bagian Personalia dan Keuangan. Fernando sering
datang ke Hotel untuk menuntut tuntutannya dan tidak dipenuhi oleh Manager.
Karena rasa takut dan khawatir atas nasibnya, maka Manager melalui karyawan
dan sopirnya memerintahkan untuk memberi uang kepada Fernando sebesar
Rp.500.000,- Semula itu ditolak oleh Fernando karena dianggapnya terlalu
sedikit, tetapi akhirnya diterima juga. Pada hari berikutnya, Fernando mengancam
melalui telepon meminta agar Manager memberi uang lagi dan akan diambil di
Hotel. Fernando datang ke Hotel dan Manager memberi uang kepadanya Rp
2.000.000,- Pada hari lainnya, via telepon Fernando minta uang lagi dan Manager
memberi uang lagi Rp. 1.500.000, Beberapa hari berikutnya, Fernando minta uang
lagi dan oleh Manager diberi Rp. 1.000.000,- sehingga jumlah uang yang diterima
Fernando dari Manager sebesar Rp. 5.000.000,. Pada minggu berikutnya, via
telepon, Fernando minta uang lagi dengan ancaman akan membuat keributan di
Hotel, bila permintaannya tidak dipenuhi oleh Manager. Manager Wina Cottage,
akhirnya melaporkan ancaman Fernando tersebut kepada Kepolisian setempat,
dan berhasil ditangkap serta disita beberapa senjata penikam dari tangan
Fernando.
Selanjutnya Kejaksaan setelah menerima berkas perkara dari
Kepolisian kemudian melimpahkan berkas tersebut ke Pengadilan Negeri
Denpasar dengan dakwaan melanggar Pasal 368 (1) jo 64 (1) K.U.H. Pidana
4
(Pemerassan) Pasal 335 (1) jo 64 (1) K.U.H. Pidana (Perbuatan tidak
menyenangkan), Pasal 2 (1) dari U.U. No. 12/Drt/1951 (Senjata). Setelah
persidangan Pengadilan dinyatakan selesai, maka Jaksa menuntut agar terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan delict dalam Pasal 368 (1) jo 64 (1) K.U.H.P,
Pasal 2 (1) U.U. No. 12/Drt/1951. Karena itu agar Hakim memberikan hukuman
penjara selama 3 tahun 6 bulan karena melakukan delict pemerasan dan membawa
senjata tanpa hak.
Terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut diatas,
maka terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi. Hakim
Banding, setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya berpendirian, bahwa
pertimbangan dari Hakim Pertama tentang terbuktinya Tindak Pidana adalah
sudah benar, sehingga diambil alih sebagai pertimbangan dari Pengadilan Tinggi
dalam mengadili perkara ini dalam tingkat banding, oleh Hakim Pertama, perlu
diperbaiki atau diubah, dan akhirnya Hakim Banding memberi putusan yang
diktumnya adalah memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Denpasar serta
terdakwa Fernando terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
Tindak Pindana pemerasan yang dilakukan berturut – turut serta berlanjut dengan
membawa senjata tajam tanpa hak.
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bali tersebut diatas, pihak terdakwa
mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI dengan
mengemukakan “Keberatan Kasasi” yang pada pokoknya adalah bahwa
Pengadilan Tinggi dalam putusannya telah mengambil alih pertimbangan hukum
dari putusan Hakim Pertama, padahal Hakim Pertama salah menerapkan hukum
ex Pasal 368 (1) K.U.H. Pidana, dimana unsur (delict) memaksa tidak terbukti
selama dipersidangan. Pengadilan Tinggi juga dalam putusannya tidak
mempertimbangkan alasan yang memberatkan dan yang meringankan bagi
terdakwa, sehingga tidak memenuhi Pasal 197 huruf “f” K.U.H.A.P. yaitu pasal
peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan
dan pasal peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar hukum dari
putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa.
Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi memeriksa kasasi perkara ini, dalam
5
putusannya berpendirian, bahwa putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) dinilai
sebagai putusan yang salah menerapkan Hukum sehingga harus dibatalkan,
selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.
Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara memiliki kebebasan
karena kedudukan hakim secara konstutisional dijamin oleh Undang - Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Penjelasan Pasal 24 dan
Pasal 25 yang berbunyi bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan
pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang -
Undang tentang kedudukan para hakim. Hal ini sesuai dengan ciri dari Negara
hukum itu sendiri yaitu terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak
memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif.
Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan
tindakan sewenang - wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya,
akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang berlaku.
Dalam hal kebebasan hakim ini, juga berarti bahwa hakim harus dapat
memberi penjelasan dalam menerapkan suatu putusan terhadap suatu perkara yang
ditanganinya. Penjelasan tersebut diberikan berdasarkan penafsiran dari hakim itu
sendiri. Penafsiran disini bukan semata - mata berdasaran akal, ataupun sebuah
uraian secara logis, namun hakim dalam hal ini harus bisa memilih berbagai
kemungkinan berdasarkan keyakinannya dan prinsip dasar dalam menjalankan
Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.
Hakim sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara yang
diajukan ke pengadilan, dalam menjatuhkan putusan harus memiliki pertimbangan
- pertimbangan. Adapun pertimbangan - pertimbangan hakim tersebut di samping
berdasarkan Pasal - Pasal yang diterapkan terhadap terdakwa, sesungguhnya juga
didasarkan atas keyakinan dan kebijaksanaan hakim itu sendiri. Hakim dalam
mengadili suatu perkara berdasarkan hati nuraninya. Sehingga hakim yang satu
dengan yang lain memiliki pertimbangan yang berbeda - beda dalam menjatuhkan
suatu putusan. Selain itu Hakim dalam memberikan Putusan juga harus memenuhi
6
fomalitas – formalitas yang harus dipenuhi dalam Putusan Hakim (Pasal 197
KUHAP).
Pasal 197 ayat (1) KUHAP mengatur mengenai formalitas yang
harus dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2) Pasal itu kalau
ketentuan tersebut tidak dipenuhi kecuali yang tersebut pada huruf g maka
putusan batal demi hukum.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS
TERHADAP PUTUSAN YANG DINYATAKAN BATAL DEMI HUKUM
(NULL AND VOID) OLEH MAHKAMAH AGUNG KARENA HAKIM
PENGADILAN TINGGI (JUDEX FACTIE) TIDAK MEMUAT
PERTIMBANGAN HUKUM TENTANG HAL – HAL YANG
MEMBERATKAN DAN MERINGANKAN TERDAKWA DALAM
PERKARA PEMERASAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
NO.1989 K/Pid/1990).
B. Perumusan Masalah
Setiap penelitian ilmiah yang akan dilakukan selalu berangkat dari
masalah. Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan masalah – masalah
yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian
sasaran. Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk
memfokuskan masalah agar dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat
memberikan gambaran yang jelas dan memudahkan pemahaman terhadap
permasalahan serta mencapai tujuan yang dikehendaki.
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil perumusan
masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam
memutuskan bahwa putusan judex factie batal demi hukum karena tidak
memuat hal - hal yang memberatkan dan meringankan dari terdakwa
dalam perkara pemerasan ?
7
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh
peneliti. Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan objektif
a. Untuk mengetahui apakah kelalaian pertimbangan Hakim Pengadilan
Negeri dalam memuat pertimbangan mengenai hal – hal yang
meringankan dan memberatkan terdakwa dapat dijadikan alasan oleh
Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan dalam perkara
pemerasan
b. Untuk mengetahui secara jelas mengenai putusan judex factie yang
dinyatakan batal demi hukum oleh Mahkamah Agung dalam perkara
pemerasan (Studi kasus Mahkamah Agung RI No. 1989 K/Pid/1990)
2. Tujuan subjektif
a. Untuk memperoleh data - data sebagai bahan utama penyusunan
penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis
guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman
aspek hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum
khususnya tentang pengaturan Pertimbangan hukum dalam hal
pengambilan keputusan di Pengadilan.
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat
memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam
perkembangan ilmu pengetahuan hukum. Memberikan masukan
pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam
8
ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana pemerasan.
b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta
menambah pengetahuan tentang Hukum Acara Pidana.
c. Sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya,
disamping itu sebagai pedoman bagi penelitian yang lain.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan
dalam penelitian
b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir
dinamis sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis
dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
c. Dari hasil penelitian ini, akan menambah pengetahuan kita sejauh
mana keadilan ditegakkan.oleh hakim melalui putusan pengadilan,
khususnya dalam perkara pemersan.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisa konstruksi, yang dilakukan secara metodologis,
sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hokum
tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan – permasalahan yang
timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2005: 42-43).
Pada penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis,
dan pemilihan jenis penelitian tersebut tergantung pada perumusan
masalah yang ditentukan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini,
9
penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian
doktrinal yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier sebagai data utama, dimana peneliti tidak perlu
mencari data langsung ke lapangan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud
untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan
gejala tertentu. “Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa - hipotesa, agar dapat
membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun
teori baru.” (Soerjono Soekanto, 2005:10).
Berdasarkan pengertian diatas metode penelitian jenis ini
dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang
berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian
dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini,
Penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang dasar
pertimbangan hakim Pengadilan Negeri judex factie tidak memuat
pertimbangan mengenai hal – hal yang meringankan dan memberatkan
terdakwa dalam putusan yang dinyatakan batal demi hukum oleh
Mahkamah Agung dalam perkara pemerasan Wina Cottage antara
Manager dan Satpam.
3. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder berupa keterangan - keterangan yang secara tidak
langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, Peraturan perundang-
undangan, seperti KUHAP, Peraturan Kehakiman, dan Peraturan
Perundangan lain yang terkait, yurisprudensi, arsip - arsip yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti Putusan, dan tulisan-
10
tulisan ilmiah dan sumber - sumber tertulis lainnya, buku - buku, literatur,
dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih
bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian
pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai
penunjang.
4. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian yang dapat
diperoleh dan yang akan digunakan dalam penelitian normatif yaitu
sumber data sekunder yang meliputi bahan - bahan kepustakaan yang
dapat berupa dokumen, buku - buku laporan, arsip dan literatur yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari :
1) UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana .
2) KUHP.
3) Undang - Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
4) UU RI Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.
5) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan.
6) Putusan Mahkamah Agung No 1989 K/Pid/1990.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti buku - buku, karya ilmiah dan internet yang berkaitan
dengan penelitian atau membahas tentang putusan hakim dan tindak
pidana pemerasan.
11
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis
mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah
yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi.
Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan
selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan
penelitian yang dikaji. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah:
Studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data
sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan Perundang
- undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta
pengumpulan data melalui media internet.
6. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya yang digunakan
adalah tahap analisis data. Analisis data adalah proses pengorganisasian
dan pengurutan data dalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan
dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data (Lexi J. Moleong, 2002:183).
Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara - cara analisis,
yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan
terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis
yang sifatnya kualitatif. Tahap ini dilakukan untuk mencapai tujuan dari
penelitian yaitu untuk mendapatkan jawaban dari penelitian yang diteliti.
Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis
interaktif (Interactive Model of Analysis) yaitu proses analisis dengan
menggunakan tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data dan kemudian
penarikan kesimpulan (verifikasi). Selain itu dilakukan pula suatu proses
antara tahap - tahap tersebut sehingga data yang terkumpul berhubungan
satu sama lain secara otomatis. (H.B.Sutopo, 2002: 94-96 )
12
Untuk lebih jelasnya, model analisis interaktif tersebut dapat
digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
Gambar 1
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum
maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub
– sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang
pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta
mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam
penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai
Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan
Kehakiman diantaranya yaitu : Pengertian Hakim; Kedudukan
dan Kekuasaan Hakim; Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab
Pengumpulan data
Reduksi Data Penyajian data
Penarikan Kesimpulan
13
Hakim, serta Wewenang Hakim. Kedua, Tinjauan Umum
Tentang Putusan Hakim diantaranya yaitu : Pengertian dan
Jenis Putusan Hakim, Formalitas Yang harus Dipenuhi dalam
Putusan Hakim. Ketiga, Tinjauan Umum Tentang Putusan
Bebas diantaranya yaitu : Pengertian dan Landasan Putusan
Bebas; Macam-Macam Putusan Bebas; Putusan Bebas ditinjau
dari Asas Pembuktian. Keempat, Tinjauan Umum tentang
Tindak Pidana Pemerasan diantaranya yaitu : Pengertian
Tindak Pidana; Pengertian Tindak Pidana Pemerasan.
Selanjutnya mengenai pembahasan yang kedua yaitu mengenai
kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan hasil penjelasan dari penelitian, yang
berupa Analisis Yuridis Terhadap Putusan Yang Dinyatakan
Batal Demi Hukum (Null and Void) Oleh Mahkamah Agung
Karena Hakim Pengadilan Negeri (judex factie ) Tidak Memuat
Pertimbangan Hukum Tentang Hal – Hal yang Memberatkan
dan Meringankan bagi terdakwa.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang
kesimpulan akhir dari pembahasan serta jawaban atas rumusan
permasalahan, dan diakhiri dengan saran - saran yang didasarkan
atas permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman
Diantara aparat penegak hukum yang paling dominan dalam
melaksanakan penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya
menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual,
moral dan integritas hakim terhadap nilai - nilai keadilan.
a. Pengertian Hakim
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang
menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh Undang - Undang untuk mengadili. Selain di dalam
KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang -
Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal
tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang berada pada badan Peradilan di bawah
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Undang - Undang.
b. Kedudukan dan Kekuasaan hakim
Kedudukan sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia, sebab dapat
dikatakan bahwa kedudukan itu hanya setingkat dibawah Tuhan yang
Maha Pengasih dan Penyayang. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa
Hakim itu bertanggung jawab langsung kepada-NYA. Disamping itu
Hakim juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat (social
accountability). Namun walaupun begitu Hakim tetap manusia biasa yang
bisa khilaf, keliru dan salah. Dalam kekhilafan, orang mempunyai niat
yang baik tetapi pengetahuannya tidak baik (mungkin bisa juga karena
mempunyai pendapat atau penafsiran yang berbeda), sehingga
pelaksanaannya keliru. Dalam kesalahan, orang mempunyai niat yang
tidak baik walaupun pengetahuannya sebenarnya baik, sehingga dalam
pelaksanaannya secara sadar melakukan kesalahan.
15
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang
dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang - Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa “Kekuasaan
Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh
dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan hal
tersebut, maka harus diadakan jaminan dalam Undang - Undang tentang
kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim
harus dijamin oleh Undang - Undang. Selain itu dalam Undang-Undang
ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman.
Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu
kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi
oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak
dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang -
wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi
hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang ada.
Hakim berbeda dengan pejabat - pejabat yang lain, ia harus benar-
benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan
kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan
antara pengadilan dan instansi - instansi lain ialah, bahwa pengadilan
dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif
memperhatikan dan melaksanakan macam - macam peraturan hukum yang
berlaku dalam suatu Negara. Di bidang hukum pidana hakim bertugas
menerapkan apakah seorang terdakwa melakukan suatu perbuatan
melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan hal ini, hakim harus
menyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar
(Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26-27)
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memimpin
jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan
kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk
bertanya kepada saksi - saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan
16
demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap, dan hakimlah
yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah
bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan keyakinannya
dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim dalam menemukan
hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum. Tetapi untuk menemukan
hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli
hukum terkenal yang biasa disebut dengan doktrin.
Berhubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan
mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah
tidak memihak disini tidak diartikan secara harafiah, karena dalam
menjatuhkan putusannya hakim harus memihak kepada yang benar.
Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam
pertimbangan dan penilaiannya.
Hal ini secara tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang -
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda
- bedakan orang.”
Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak
menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian,
menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah,
misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP
( Andi Hamzah, 2005: 99-101 )
c. Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim
Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara -
perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya
mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia.
Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai
kewajiban - kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim
sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Bab IV
17
Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun kewajiban - kewajiban hakim tersebut adalah sebagai berikut :
1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)
Undang - Undang No.48 Tahun 2009)
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8
ayat (2) Undang - Undang No.48 Tahun 2009)
3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga,
atau hubungan suami atau istri mesikipun telah bercerai, dengan ketua,
salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 17
ayat (3) Undang - Undang No.48 Tahun 2009)
4) Ketua majelis, hakim anggota, wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah
bercerai, dengan pihak yang diadili atau advokat (Pasal 17 ayat (4)
Undang - Undang No.48 Tahun 2009)
5) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara
yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas
permintaan pihak yang berperkara (Pasal 17 ayat (5) Undang -
Undang No.48 Tahun 2009)
6) Sebelum memangku jabatannya, hakim untuk masing-masing
lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janjinya
menurut agamanya yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2)
Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum,
Pasal 16 ayat (1) dan (2) Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama, pada Pasal 17 Undang - Undang Nomor 9
Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada Pasal 22
Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
18
Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab
profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu :
a) Tanggung jawab moral
adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan
(hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu
lembaga yang merupakan wadah para hakim bersangkutan.
b) Tanggung jawab hukum
adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat
melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu - rambu
hukum.
c) Tanggung jawab teknis profesi
adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya
secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam
bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun
ketentuan khusus dalam lembaganya.
d. Wewenang hakim
Penjelasan Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan
seorang Hakim memiliki kualitas manusia yang bijaksanan dan
bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Y.M.E, diri sendiri, masyarakat,
bangsa dan Negara, namun harus pula kita sadari, secara de facto hakim
adalah manusia biasa yang juga tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan,
maka tidak menutup kemungkinan seorang hakim dapat melakukan
kesalahan dalam memutus suatu perkara, baik disengaja atau tidak
disengaja. Sementara itu, baik Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman
maupun KUHAP tidak menyebutkan dan menentukan bagaimana bentuk
dari pertanggungjawaban terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat,
bangsa dan negara secara eksplisit Menyadari bahwa wewenang yang
dimiliki oleh hakim dalam perkara pidana begitu luas, sementara
19
pertanggungjawaban tugas hakim dalam memeriksa perkara pidana hanya
bersifat abstrak.
Dapat disimpulkan bagaimana pentingnya lembaga lain sebagai
pengawas kinerja seorang Hakim. Dalam hal ini lembaga yang dimaksud
adalah Dewan Kehormatan Hakim. Lembaga ini dipandaang dapat
memberikan keseimbangan secara eksplisit terhadap Undang - Undang
Nomor 48 Tahun 2009. Lebih lanjut lagi Dewan Kehormatan Hakim ini
nantinya juga berperan untuk memberikan penilaian dan pengawasan
terhadap keputusan hakim dan kemudian melaporkan tugasnya kepada
Ketua Mahkamah Agung.
2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim
a. Pengertian Putusan Hakim
Putusan hakim mempunyai peranan yang menentukan dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu di dalam menjatuhkan
putusannya hakim diharapkan agar selalu berhati - hati. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai suatu putusan penuh
dengan kekeliruan yang akibatnya akan menimbulkan rasa tidak puas,
ketidakadilan dan dapat menjatuhkan kewibawaan pengadilan. Dengan
demikian, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya ”putusan hakim”
di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum
(rechtszekerheids) tentang ”statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan
langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat berupa
menerima putusan, serta melakukan upaya hukum verzet, banding, atau
kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya.
Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang
mengadili perkara, putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak”
pencerminan nilai - nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia,
20
penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta
visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.
Karena begitu kompleksitasnya dimensi dan substansi putusan hakim
tersebut, memang tidaklah mudah untuk memberikan rumusan aktual,
memadai, dan sempurna terhadap pengertian putusan hakim. Menurut
buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktek” yang dikeluarkan oleh
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, putusan diartikan sebagai berikut
“Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai
dengan semasak - masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan”
(Leden Marpaung, 1992: 406).
Suatu perkara pidana dapat dikatakan selesai atau berakhir apabila
hakim telah mengeluarkan suatu putusan. Pengertian putusan hakim itu
sendiri adalah suatu karya menemukan hukum yaitu menetapkan
bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam suatu peristiwa yang
menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum, sedangkan pengertian
lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak
dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2006:326).
Menurut Pasal 1 angka 11 Kitab Undang - Undang Hukum Acara
Pidana, yang dimaksud dengan Putusan Pengadilan adalah pernyataan
hakim yang diucapakan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang - Undang ini.
Syarat sahnya putusan hakim sangat penting artinya karena akan
dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Adapun
syarat sahnya suatu putusan hakim yaitu:
1) Memuat hal - hal yang diwajibkan;
2) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum.
Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009
menyebutkan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana
21
dengan hadirnya terdakwa, kecuali apabila undang-undang menentukan
lain.
b. Jenis Putusan Hakim
Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, putusan
pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada tiga macam yaitu:
1) Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa sebagai
mana tersebut dalam surat dakwaan, tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka berdasarkan pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, terdakwa harus dibebaskan dari
dakwaan dan segala tuntutan pidana.
Di dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas
dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan
peraturan Perundang – undangan dalam pidana ini.
2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan
hukum
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan 21nsur
(Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana).
Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan
hukuman dapat pula terjadi terhadap terdakwa, karena ia melakukan
tindak pidana dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas putusannya itu. Tegasnya terdakwa tidak
dapat dijatuhi hukuman, meskipun perbuatan yang didakwakan itu
terbukti sah, apabila:
22
a) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44
ayat (1) KUHAP)
b) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 KUHAP)
c) Pembelaan darurat (Nood weer) (Pasal 49 KUHAP)
d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Undang –
Undang (Pasal 50 KUHAP)
e) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang
diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 50 KUHAP).
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, didasarkan pada
kriteria:
a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara
sah dan meyakinkan.
b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendat bahwa perbuatan yang
didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
3) Putusan yang mengandung pemidanaan terdakwa
Dalam pasal 193 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Acara
Pidana menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di 22nsure pengadilan, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya adalah terbukti
secara sah dan meyakinkan, yang telah ditentukan oleh Pasal 183 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Dalam praktek, hakim menjatuhkan putusan dengan
mempertimbangkan hal – hal yang memberatkan dan meringankan
terdakwa. Hal yang memberatkan antara lain, adalah dalam
persidangan terdakwa tidak mengakui bersalah, memberikan
keterangan berbelit – belit, dan terdakwa pernah dihukum. Sedangkan
23
yang meringankan adalah mengakui terus terang, terdakwa mempunyai
tanggungan keluarga, terdakwa masih muda.
c. Formalitas Yang harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim.
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus
dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau
ketentuan. Tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf g,
putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah:
a) Kepada putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa
c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan
dalam unsur yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa
e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan
f) Pasal Peraturan Perundang - undangan yang menjadi dasar putusan
atau tindakan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan
terdakwa
g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim dalam
hal perkara diperiksa oleh Hakim tunggal
h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua
unsur dalam rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan
i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti, keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau
keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat
autentik dianggap palsu
24
j) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan
k) Hari dan tanggal Putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus, dan nama panitera.
Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP dikatakan bahwa surat
keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah
putusan itu diucapkan. Perlu pula diperhatikan penjelasan Pasal 197 ayat
(1) huruf d tersebut, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
“fakta dan keadaan” di sini ialah segala apa yang ada dan apa yang
diketemukan di dalam proses pemeriksaan dalam persidangan, antara
lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan
saksi korban. Di samping itu, dalam penjelasan ayat (2) Pasal 197
tersebut dikatakan bahwa kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan
h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka
kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak
menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Ini berarti secara a
cantrario putusan sebagaimana yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h
jika terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan atau
penggalian maka tidak menyebabkan putusan batal demi hukum.
3. Tinjauan Umum Tentang Putusan Bebas
a. Pengertian dan Landasan Putusan Bebas
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi “Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
persidangan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus
bebas.” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup
terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
25
Dari ketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari
segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi
asas pembuktian menurut Undang – Undang, artinya dari pembuktian yang
diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan mengenai kesalahan
terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup
terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas batas
minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut
ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang
terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah. (M.Yahya Harahap, 2006: 348)
b. Macam-Macam Putusan Bebas
Bentuk putusan bebas tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang
– Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) namun dalam praktek
peradilan, dikenal ada beberapa bentuk putusan bebas antara lain sebagai
berikut :
1) Putusan bebas Murni
Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai
keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
adalah tidak terbukti (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981:89).
2) Putusan Bebas Tidak Murni
Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan
secara terselubung atau “pembebasan” yang menurut kenyataannya
tidak didasarkan kepada ketidakterbuktiannya apa yang dimuat dalam
surat tuduhan. (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981: 89).
Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila
dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang
sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang
dakwaan tersebut tidak terbukti (Oemar Seno Adjie, 1989: 167).
Putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut :
26
1) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap
sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.
2) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas
kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya
(Oemar Seno Adjie, 1989: 164).
3) Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya yaitu
pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya adalah
pembebasan yang didasarkan atas pertimbangan bahwa harus
diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.
(Rd. Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89).
4) Pembebasan yang terselubung yaitu pembebasan yang dilakukan
dimana hakim telah mengambil keputusan tentang ”feiten” dan
menjatuhkan putusan ”pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal
putusan tersebut berisikan suatu ”pembebasan secara murni” (Rd.
Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89).
c. Putusan Bebas ditinjau dari Asas Pembuktian
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas, terkandung
dua asas mengenai pembuktian, yaitu :
1) Asas minimum pembuktian, yaitu asas bahwa untuk membuktikan
kesalahan terdakwa harus dengan sekurang – kurangnya dua alat
bukti yang sah;
2) Asas pembuktian menurut Undang – Undang secara negatif yang
mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping
kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula diikuti keyakinan
hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa.
27
Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP
tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP,
maka putusan bebas pada umumnya didasarkan penilaian dan pendapat
hakim bahwa :
1) Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di
persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
dan petunjuk, serta pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian
hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak
memadai, atau
2) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas
minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya
satu orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi asas batas
minimum pembuktian itu juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat
(2) KUHAP yang menegaskan unnus testis nullus testis atau
seorang saksi bukan saksi.
Putusan bebas disini bisa juga didasarkan atas penilaian,
kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi
sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup
terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila
tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian
seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah
membebaskan terdakwa dari tuntutan segala tuntutan pidana.
(M.Yahya Harahap, 2006: 348)
28
4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pemerasan
a. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk Undang – Undang di Indonesia menggunakan istilah
straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Dalam bahasa
Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata yaitu
straafbaar dan feit. Perkataan feit dalan bahasa Belanda diartikan
“sebagian dari kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat dihukum”.
Sehingga jika diartikan secara harafiah straafbaarfeit berarti “sebagian
dari kenyataan yang dapat dihukum”.
Beberapa pakar hukum pidana memberikan pengertian yang berbeda-
beda mengenai straafbaarfeit. Menurut P.A.F. Lamintang pembentuk
Undang – Undang kita telah menggunakan perkataan ”starfbaar feit”
untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”tindak pidana” di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan ”feit” itu sendiri dalam
Bahasa Belanda berarti ”sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan
”starfbaar ” berati ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan
”starfbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat
karena kita ketahui bahwa yang dapat di hukum adalah manusia sebagai
pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan (P.A.F.
Lamintang, 1997:181).
Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, yang
didefinisikan sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno, 2002:54).
Dari berbagai pengertian tindak pidana tersebut di atas, maka untuk
adanya Tindak Pidana harus ada unsur – unsur yang dipenuhi, antara lain :
1) perbuatan (manusia)
2) memenuhi rumusan Undang – Undang (syarat formil)
3) bersifat melawan hukum (syarat materiil).
29
Menurut Moeljanto, untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana
harus memenuhi unsur – unsur atau elemen tertentu, yaitu :
1) Kelakuan dan akibat (= perbuatan);
2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3) Keadaan tambahan yang memberatkan;
4) Unsur melawan hukum yang objektif;
5) Unsur melawan hukum yang subjektif.
(Moeljatno, 2002:63)
b. Pengertian Tindak Pidana Pemerasan.
Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam KUHP
sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana
pemerasan (afpersing) dan tindak pidana pengancaman (afdreiging).
Kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu
suatu perbuatan yang bertujuan memeras orang lain. Justru karena sifatnya
yang sama itulah kedua tindak pidana ini biasanya disebut dengan nama
yang sama, yaitu “pemerasan” serta diatur dalam bab yang sama.
Sekalipun demikian, tidak salah kiranya apabila orang menyebut,
bahwa kedua tindak pidana tersebut mempunyai sebutan sendiri, yaitu
“pemerasan” untuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 KUHP dan
pengancaman untuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 369 KUHP.
Oleh karena memang, dalam KUHP sendiri pun juga menggunakan kedua
nama tersebut untuk menunjuk pada tindak pidana yang diatur dalam Pasal
368 dan 369 KUHP.
1) Tindak Pidana Pemerasan
Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan
dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut :
a) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu
barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau
30
supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam,
karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
b) Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam
tindak pidana ini.
Unsur – unsur yang ada di dalam ketentuan Pasal 368 KUHP
(ketentuan ayat (1) Pasal 368 KUHP ) unsur obyektif, yang meliputi :
a) Memaksa
b) Orang lain
c) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
d) Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain)
e) Supaya memberi hutang
f) Untuk menghapus piutang
Unsur subyektif, yang meliputi :
a) Dengan maksud
b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a) Unsur “memaksa”. Dengan istilah “memaksa” dimaksudkan
adalah melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu
melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehenda kn ya sendiri
b) Unsur “untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang”.
Berkaitan dengan unsur itu, persoalan yang muncul adalah, kapan
dikatakan ada penyerahan suatu barang? Penyerahan suatu barang
dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh pemeras
tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diperas, tanpa
melihat apakah barang tersebut sudah benar – benar dikuasai oleh
orang yang memeras atau belum. Pemerasan dianggap telah terjadi,
apabila orang yang diperas itu telah menyerahkan barang atau benda
yang dimaksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap
dirinya. Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri
31
oleh orang yang diperas kepada pemeras. Penyerahan barang
tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh orang lain selain dari
orang yang diperas.
c) Unsur “supaya memberi hutang”. Berkaitan dengan pengertian
“memberi hutang” dalam rumusan pasal ini perlu kiranya
mendapatkan pemahaman yanag benar. Memberi hutang di sini
mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang
diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang
menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang
tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan memberi hutang dalam hal ini
bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman)
dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang
berakibat timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk
membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang
dikehendaki.
d) Unsur “untuk menghapus hutang”. Dengan menghapusnya
piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan
perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras
atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras.
e) Unsur “untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
Yang dimaksud dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang
lain” adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang
lain dari kekayaan semula. Menambah kekayaan disini tidak perlu
benar – benar telah terjadi, tetapi cukup apabila dapat dibuktikan,
bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain.
Unsur – unsur dalam ketentuan ayat (2) Pasal 368 KUHP
yaitu dalam tindak pidana pemerasan diperberat ancaman pidananya
apabila memiliki ketentuan sebagai berikut:
a) Tindak pidana pemerasan itu dilakukan pada waktu malam dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya atau
32
apabila pemerasan dilakukan dijalan umum atau diatas kereta api
atau trem yang sedang berjalan. Ketentuan ini berdasarkan Pasal
368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-1 KUHP dengan ancaman
pidana selama dua belas tahun penjara.
b) Tindak pidana pemerasan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara bersama – sama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 368 ayat
(2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP dengan ancaman pidana dua
belas tahun penjara.
c) Tindak pidana pemerasan, dimana untuk masuk ketempat
melakukan kejahatan dilakukan dengan cara membongkar,
merusak atau memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah
palsu atau jabatan (seragam) palsu. Sesuai dengan ketentuan Pasal
368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHP dengan pidana
penjara dua belas tahun.
d) Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan terjadinya luka
berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365
ayat (2) ke-4 KUHP ancaman pidananya sama dengan yang
diatas, yaitu dua belas tahun penjara.
e) Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan matinya orang.
Diatur dalam ketentuan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (3)
KUHP dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu lima belas
tahun penjara.
f) Tindak pidana pemerasan tersebut telah menimbulkan luka berat
atau kematian serta dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama dengan disertai hal-hal yang memberatkan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2)
KUHP. Berdasarkan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (4)
KUHP tindak pidana pemerasan ini diancam dengan pidana yang
lebih berat lagi, yaitu dengan pidana mati, pidana seumur hidup
atau pidana selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun
penjara.
33
Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat enam bentuk
tindak pidana pemerasan dengan pemberatan dengan ancaman pidana
yang diperberat.
2) Tindak Pidana Pengancaman
Bentuk tindak pidana pemerasan yang kedua adalah
“pengancaman”. Dalam bahasa Inggris tindak pidana “pengancaman”
ini dikenal dengan nama blackmail, sedang dalam bahasa Perancis
dikenal denga n istilah chantage. Sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 dan
369 KUHP sama – sama merupakan pemerasan. Perbedaannya hanya
terletak pada cara – cara yang digunakan dalam kedua tindak pidana
itu. Tindak pidana dalam Pasal 368 KUHP yang lazim disebut
“pemerasan” menggunakan “kekerasan atau ancaman kekerasan”
sedangkan tindak pidana dalam Pasal 369 KUHP yang lazim disebut
sebagai “pengancaman” menggunakan cara “pencemaran, baik lisan
maupun tertulis”.
Ketentuan Pasal 369 KUHP selengkapnya berbunyi :
a) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman
pencemaran baik lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan
membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan sesuatu
barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, atau supaya
memberikan hutang atau menghapus piutang, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
b) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang
terkena kejahatan.
Unsur – Unsur tindak pidana pengancaman dalam Pasal 369
KUHP di atas adalah meliputi :
a) Memaksa
b) Orang lain
34
c) Dengan ancaman pencemaran baik lisan maupun tulisan atau
ancaman akan membuka rahasia.
d) Supaya memberi hutang
e) Untuk menghapus piutang
Unsur subyektif, yang meliputi unsur - unsur :
a) Dengan maksud
b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
Melihat unsur – unsur Pasal 369 atau 368 KUHP tampak
semakin jelas, bahwa bangunan hukum antara kedua tindak pidana
tersebut mempunyai esensi yang sama, yaitu memeras orang lain.
Hanya, kedua tindak pidana tersebut menggunakan cara-cara yang
berbeda untuk mencapai maksudnya. Berkaitan dengan penerapan
Pasal 369 KUHP di atas, unsur – unsur yang masih memerlukan
penjelasan adalah unsur “dengan pencemaran baik lisan maupun
tulisan serta ancaman akan membuka rahasia”.
Apakah yang dimaksud dengan “ancaman pencemaran” dan
“ancaman akan membuka rahasia?”
Istilah “pencemaran” dengan istilah “ancaman membuat malu”.
Secara definitif, pengertian “ancaman pencemaran” telah dirumuskan
dalam Pasa1310 ayat (1) KUHP. Menurut Pasal 310 ayat (1) KUHP,
yang dimaksud pencemaran adalah menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya nyata
agar hal itu diketahui umum. Pasal 310 ayat (1) KUHP di atas
memberikan pengertian terhadap apa yang dimaksud dengan
“pencemaran lisan”. Lantas apa yang dimaksud dengan “pencemaran
tertulis ?” Apabila perbuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 310
ayat (1) KUHP tersebut dilakukan dengan tulisan, misalnya dengan
menyebarkan atau menempelkan tulisan atau lukisan, maka hal itu
disebut “pencemaran secara tertulis”. Unsur lain dari Pasa1369 KUHP
yang belum dijelaskan adalah unsur “ancaman membuka rahasia”. Apa
yang dimaksud dengan “rahasia?”.
35
Tentang pengertian “rahasia” ini berbeda dengan pengertian
rahasia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 322 KUHP.
“Membuka rahasia” yang dimaksud dalam Pasal 322 KUHP ini
berkaitan dengan pembukaan rahasia oleh orang yang karena
jabatannya atau pekerjaannya wajib menyimpan rahasia itu. Sebagai
contoh, misalnya, seorang notaris wajib menyimpan rahasia, misalnya,
isi dari surat hibah wasiat yang bersifat rahasia, sehingga apabila
notaris tersebut membuka rahasia ini, notaris tersebut dikenakan Pasal
322 KUHP. “Membuka rahasia” dalam pengertian Pasal 369 KUHP
mengandung arti, memberitahukan kepada orang lain atau pihak ketiga
hal – hal mengenai orang yang diancam atau orang ketiga yang terkait
dengan orang yang diancam.
Pada dasarnya baik pencemaran nama baik maupun membuka
rahasia mempunyai tujuan yang sama, yaitu memberitahukan kepada
orang lain atau pihak ketiga atau kepada khalayak ramai tentang
sesuatu hal yang menyangkut orang yang diancam. “Rahasia” pada
hakikatnya mengenai suatu hal yang benar – benar terjadi, tetapi
karena sesuatu hal (misalnya takut diketahui oleh istrinya, anaknya,
atasannya, dan sebagainya) disembunyikan. Sedang pencemaran nama
baik mengenai suatu hal yang benar atau tidak benar yang dapat
mencemarkan nama dan kehormatan orang yang diancam. Pembahasan
terhadap unsur – unsur Pasal 369 ayat (1) KUHP kiranya sudah jelas.
Marilah kita lihat penjelasan dalam Pasal 369 ayat (2) KUHP dan
Pasal – Pasal berikutnya tentang pengancaman.
Berdasarkan ketentuan Pasal 369 ayat (2) KUHP tindak pidana
pengancaman ini merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat
dituntut atas pengaduan. Dengan demikian, tanpa adanya pengaduan,
tindak pidana pengancaman ini tidak dapat dituntut.
36
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2
Keterangan Kerangka Pemikiran
Secara umum formalitas yang ada dalam suatu Putusan Hakim baik terhadap
Putusan Tindak Pidana Pemerasan maupun Tindak Pidana Kejahatan lainnya
haruslah bertitik tolak pada Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut
sedikitnya 10 ( sepuluh ) buah elemen harus dipenuhi. Dan menurut ayat (2) Pasal
tersebut, apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi kecuali yang tersebut pada
huruf “g” dan “i”, maka putusan akan batal demi hukum.
Ketentuan – ketentuan formalitas tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kepala putusan yang berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA“
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
Perkara Tindak Pidana Pemerasan
Pemeriksaan Tingkat Pertama ( Pengadilan Negeri)
PUTUSAN
Batal demi hukum ( hal-hal yang meringankan dan
memberatkan terdakwa )
Implikasi yuridis putusan batal deni hukum
Pertimbangan Hakim
37
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta
alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di siding yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan
f. Pasal Peraturan Perundang – Undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan Pasal Peraturan Perundang – Undangan yang menjadi dasar
hukum dari Putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan
bagi terdakwa
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan dimana telah terpenuhi semua
unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik maka dianggap palsu
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau dalam tahanan atau dibebaskan
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum , nama hakim yang memutus
dan nama panitera
38
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memutuskan bahwa
Putusan Judex Factie Batal Demi Hukum Karena Tidak Memuat Hal - Hal
yang Memberatkan Dan Meringankan dari Terdakwa dalam Perkara
Pemerasan.
Paparan perkara pemerasan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor :
1989.K/Pid/1990, tanggal 11 Pebruari 19991, dengan Terdakwa Fernando Felix
Beda:
1. Kasus Posisi
WINA COTTAGE, adalah hotel yang terletak di Kuta, Bali yang dikelola oleh
Manager I Wayan Winada dengan membawahi sejumlah karyawan, termasuk
beberapa orang Satpam (Security). Diantara Satpam ini, satu orang
diantaranya bernama Fernando. Sebagai anggota Satpam, maka Fernando
termasuk cirri orang bertemperamen keras. Ia sering bertengkar dengan para
karyawan serta ringan tangan. Keributan di Wina Cottage sering terjadi
sebagai akibat ulah dari Fernando ini. Bahkan ia sering mangkir dari tugasnya.
Akhirnya ia dibebas tugaskan. Karena tidak puas, maka Fernando dengan
membawa senjata tajam menemui Manager dan stafnya menuntut uang
pesangon 12 bulan gaji penuh. Tuntutan ini ditolak oleh Bagian Personalia dan
Keuangan. Fernando, sering datang ke Hotel untuk meminta agar tuntutannya
dipenuhi namun pihak hotel tidak memenuhinya. Karena rasa takut dan
khawatir atas nasibnya, maka manager melalui karyawan dan sopirnya
memerintahkan untuk memberi uang kepada Fernando sebesar Rp.500.000,-
Semula uang tersebut ditolak karena dianggap terlalu sedikit, tetapi akhirnya
diterima juga. Pada hari berikutnya, Fernando melalui telepon meminta agar
Manager memberi uang lagi dan akan diambil di Hotel. Fernando datang ke
Hotel dan Manager memberi uang kepadanya sebesar Rp.2.000.000,- Pada
hari lainnya, via telepon Fernando minta uang lagi dan Manager memberi
uang lagi Rp. 1.500.000,- Beberapa hari berikutnya, Fernando minta uang lagi
39
dan oleh Manager diberi Rp. 1.000.000,- sehingga jumlah uang yang diterima
Fernando dari Manager Rp. 5.000.000,- Pada minggu berikutnya, via telepon,
Fernando minta uang lagi dengan ancaman akan membuat keributan dan onar
di Hotel, bila permintaannya tidak dipenuhi oleh Manager Wina Cottage, dan
akhirnya Manager melaporkan ancaman Fernando tersebut kepada Kepolisian
setempat, dan berhasil ditangkap serta disita beberapa senjata penikam dari
tangan Fernando.
2. Identitas Terdakwa
a. Nama lengkap : FERNANDO FELIX BEDA
b. Tempat lahir : di Kupang (NTT)
c. Umur : 34 tahun
d. Jenis kelamin : laki-laki
e. Kebangsaan : Indonesia
f. Tempat tinggal : Jalanan Durian No. 10 Denpasar
g. Agama : Katolik
h. Pekerjaan : Satpam Wina Cottage
i. Terdakwa berada dalam tahanan
3. Dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Denpasar
a. Dakwaan Primer
Bahwa ia terdakwa Fernando Felix Beda, berturut - turut pada hari
Kamis tanggal 28 Desember 1989, hari Kamis tanggal 18 Januari 1990,
hari Sabtu tanggal 20 Januari 1990, atau sekitar waktu itu, setidak -
tidaknya dalam tahun 1989 dan tahun 1990, di Hotel Wina Cottage
Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, setidak - tidaknya
pada suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Denpasar,
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum memaksa orang yang ternyata bernama I Wayan Winada
(saksi I dalam perkara ini) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
supaya orang itu memberikan sesuatu barang berupa uang yang sama
40
sekali atau sebagian kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang
lain atau supaya orang itu membuat hutang atau menghapuskan piutang
yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara - cara sebagai berikut:
- Pada tanggal 28 Desember 1989 sekitar jam 20.30 wita ia terdakwa
telah datang ke Hotel Wina Cottage kemudian berjalan disekitar kamar
hotel Wina Cottage tempat saksi I sedang menerima tamunya, lalu
saksi I pada waktu itu telah memanggil terdakwa untuk masuk ke
dalam kamar tersebut, tetapi terdakwa tidak mau masuk walaupun
sudah dipanggil berulang kali, lalu ketika ia terdakwa hendak telah
mengancam saksi I dengan kata - kata yaitu : “Apabila saksi I tidak
mau memberika uang kepada terdakwa maka entah apa jadinya saksi
I”, sehingga karena adanya ancaman dari terdakwa telah menimbulkan
ketakutan bagi diri saksi dan keluarganya.
- Lalu pada tanggal 29 Desember 1989, saksi I telah menyuruh
karyawan Hotel Wina Cottage yang bernama I Nyoman Mudri, Gede
Ketut Astawa, I Made Sudarman dan sopirnya untuk mengantarkan
uang kepada terdakwa sebanyak Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)
tetapi uang sebanyak Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) tersebut
pada mulanya tidak mau diterima oleh terdakwa, namun setelah
dibawakan lagi kepada terdakwa pada sore harinya, ia terdakwa mau
menerima uang sebanyak tersebut diatas;
- Kemudian pada tanggal 18 Januari 1990, ia terdakwa telah datang lagi
ke Hotel Wina Cottage untuk menemui saksi I dan memaksa saksi I
supaya memberikan bantuan dana kepada terdakwa sehingga terjadi
pembicaraan antara saksi I dengan terdakwa, saksi I dengan terpaksa
memberikan uang kepada terdakwa sebanyak Rp 2.000.000,- (dua juga
rupiah);
- Sesudah itu pada tanggal 20 Januari 1990 ia terdakwa telah menelpon
saksi I dengan suara lantang dan serak seperti orang mabuk dan
memberitahukan kepada saksi I bahwa ia terdakwa membutuhkan dana
sebanyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan memaksa kepada saksi
41
I menyerahkan uang sebanyak Rp 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu
rupiah), dan pada tanggal 21 Januari 1990 telah diserahkan lagi kepada
terdakwa uang sebanyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), sehingga
jumlah uang yang telah diserahkan oleh saksi I kepada terdakwa
sebanyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), dan dengan penyerahan
uang sebanyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) kepada terdakwa
saksi I menduga bahwa terdakwa tidak melakukan lagi keributan;
- Tetapi kenyataannya pada tanggal 25 Januari 1990 petugas operator
Hotel Wina Cottage telah menerima telepon dari orang yang menyebut
dirinya si Brewok yang dalam hal ini adalah terdakwa sendiri karena
dalam pergaulan sehari-hari terdakwa dikenal dan biasa dipanggil
dengan Brewok yang mengucapkan kata-kata kotor antara lain bangsat
dan dan menyuruh Boss dalam hal ini saksi I supaya hati-hati,
sehingga perbuatan dari terdakwa yang demikian adalah merupakan
ancaman dan terror terhadap saksi I;
- Lalu pada tanggal 14 Pebruari 1990 sekitar jam 15.30 Wita, ia
terdakwa telah datang lagi ke Hotel Wina Cottage secara demonstratip
dan tidak sopan dan kemudian memaksa accounting office Hotel Wina
Cottage untuk memberikan gajinya selama 12 bulan, tetapi permintaan
terdakwa tidak dipenuhi oleh accounting office tersebut;
- Sehingga karena accounting office tersebut tidak mau memenuhi
permintaan terdakwa, lalu pada sekitar pukul 18.15 Wita dari asrama
Kompi 741 Kuta, setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu, ia
terdakwa telah menelpon kepada saksi I “bahwa ia baru datang dari
Jawa dan meminta uang dari saksi I, kalau tidak diberikan uang yang
dimintanya diartikan oleh saksi I mengandung pengertian bahwa saksi
I akan dibuat tidak berdaya apabila saksi I tidak mau memberikan uang
kepada terdakwa;
- Lalu dengan adanya ucapan terdakwa kepada saksi I yang demikian
lalu saksi I menjawab “kenapa kamu mengancam, masak setiap butuh
uang mesti minta sama aku” yang kemudian dijawab lagi oleh
42
terdakwa “pokoknya Boss (dalam hal ini saksi I) harus diberikan,
karena aku minta untuk terakhir kalinya” sehingga karena adanya
ancaman dari terdakwa yang demikian maka saksi I menyatakan akan
memberikan kepada tedakwa uang sebanyak uang satu bulan gaji
ditambah dengan bonus sebanyak Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) tetapi keinginan saksi I untuk memberikan lagi tambahan
uang kepada terdakwa sebanyak satu bulan gaji ditambah dengan
bonus Rp 250.000,- tidak mau diterima oleh terdakwa dengan cara
menertawakan saksi I;
- Kemudian terdakwa memberitahukan kepada saksi I bahwa ia akan
datang ke Hotel wina Cottage malam hari itu bersama kawannya untuk
menemui saksi I secara empat mata dan meminta uang kepada saksi I;
- Tetapi karena saksi merasa terancam terus menerus oleh terdakwa lalu
saksi I memberikan laporan kepada Polisi Sektor Kuta tentang
perbuatan dari terdakwa lalu saksi I memberikan laporan kepada Polisi
Sektor Kuta tentang perbuatan terdakwa karena perbuatan yang telah
dilakukan oleh terdakwa telah mendatangkan kerugian bagi saksi I
berupa uang sebanyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) sedangkan
uang sebanyak tersebut bukan merupakan hak dari terdakwa;
- Sehingga dengan adanya laporan dari saksi I, lalu terdakwa ditangkap
oleh Polisi Sektor Kuta;
- Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana menurut Pasal 368 (1)
jo. Pasal 64 (1) KUHP;
b. Dakwaan Subsidair
- Bahwa ia tedakwa Fernando Felix Beda pada waktu dan tempat serta
dengan cara - cara sebagaimana diuraikan dalam dakwaan I (Ke-satu)
Primair, dengan melawan hukum memaksa orang lain yang ternyata
bernama I Wayan Winada (saksi I dalam perkara ini) untuk membuat
sesuatu dengan kekerasan, dengan perbuatan lain atau dengan
perbuatan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman perbuatan
yang tidak menyenangkan, sehingga Saksi I menyerahkan kepada
43
terdakwa sebanyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) sedangkan uang
tersebut bukan merupakan hak dari terdakwa;
- Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana menurut Pasal 335 (1)
jo. Pasal 64 (1) KUHP.
- Bahwa ia terdakwa Fernando Felix Beda, pada waktu dan tempat
sebagaimana diuraikan dalam dakwaan I (ke satu) Primair, tanpa hak
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan atau menyembunyikan
sesuatu senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk (slag’s
steek of stootwapen), berupa sebuah parang berbentuk runcing dan
sebuah pisau lipat super automatick (yang dijadikan barang bukti
dalam perkaran ini) barang mana bukan merupakan barang untuk
pertanian atau pekerjaan rumah tangga untuk kepentingan melakukan
pekerjaan yang sah atau nyata - nyata sebagai barang pusaka atau
barang ajaib (merk waardighaid) yang dibawa oleh terdakwa ketika
masuk ke dalam areal Hotel Wina Cottage, sehingga menimbulkan
ketakutan bagi diri saksi I dan keluarganya, sedangkan ia terdakwa
tidak berhak untuk membawa senjata tersebut ke dalam areal Hotel
Wina Cottage, lalu pada malam hari tanggal 28 Desember 1989 itu,
senjata yang dibawa oleh terdakwa berhasil diamankan oleh Satpam
Hotel Wina Cottage kemudian diserahkan kepada Polisi Sektor Kuta,
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana menurut Pasal 2 (1) UU
No. 12 Drt. 1951;
4. Tuntutan Pidana (Requisitoir)
Setelah persidangan Pengadilan dinyatakan selesai, maka Jaksa
menuntut agar terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana :
Dakwaan I, Primair Pasal 368 (1) jo 64 (1) K.U.H.P.
Dakwaan II, Pasal 2 (1) U.U. No. 12/Drt/1951. Karena itu dimohon agar
Hakim memberikan hukuman penjara selama: 3 tahun 6 bulan karena
melakukan tindak pidana Pemerasan dan Membawa senjata tanpa hak.
44
5. Amar Putusan Pengadilan Negeri Denpasar (Dalam Putusan No.
142/Pid/S/1990/PN. Dps, tanggal 26 Mei 1990).
Menyatakan hukuman bahwa terdakwa FERNANDO FELIX BEDA
tersebut di atas secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah telah
melakukan tindak pidana kejahatan: “Pemerasan dan membawa senjata
penikam atau penusuk tanpa hak” sebagaimana diatur dan diancam dalam
pasal 368 (1) jo. Pasal 64 (1) KUHP jo. Pasal 2 (1) UU No. 12/Drt/1951;
Menghukum ia oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun;
Menghukum menetapkan bahwa lamanya terdakwa ditahan sebelum
putusan ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap dikurangkan
seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;
Memerintahkan pula agar terdakwa tetap berada dalam tahanan meskipun
ia mempergunakan haknya mencari upaya hukum yang ada;
Menghukum pula terhukum membayar ongkos perkara sebanyak
Rp. 1.000,- (seribu rupiah);
Memerintahkan supaya barang-barang bukti berupa sebuah parang
berbentuk runcing dan sebuah pisau lipat super otomatis dirampas untuk
dimusnahkan;
6. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar (Dalam Putusan Nomor
40/Pid/1990/PT. Dps, tanggal 31 Juli 1990).
Terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut diatas,
maka terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi.
Hakim Banding, setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya
berpendirian, bahwa pertimbangan dari Hakim Pertama tentang terbuktinya
Tindak Pidana adalah sudah benar, sehingga diambil alih sebagai
pertimbangan dari Pengadilan Tinggi dalam mengadili perkara ini dalam
tingkat banding.
45
Menimbang, bahwa setelah Pengadilan tinggi mempelajari secara
seksama berkas perkara dan putusan Hakim tingkat pertama, Pengadilan
Tinggi berpendapat bahwa pertimbangan Hakim tingkat pertama,
PENGADILAN TINGGI berpendapat bahwa pertimbangan Hakim tingkat
pertama mengenai telah terbuktinya tindak pidana tersebut pada dakwaan
Pertama Primair dan dakwaan Kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 368 (10 jo. Pasal 64 (1) KUHP dan pasal 2 (1) Undang-Undang
No. 12/Drt/1951 adalah tepat dan benar, karena itu pertimbangan tersebut
dapat diambil alih dan dijadikan pertimbangan PENGADILAN TINGGI
Sendiri didalam mengambil putusan di tingkat banding.
Menimbang, bahwa akan tetapi mengenai kualifiksi tindak pidana
yang telah diberikan oleh Hakim tingkat pertama adalah kurang tepat sebab
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa telah dilakukan berturut - turut
secara berlanjut dan lagi pula tindak pidana yang tebukti dilakukan oleh
terdakwa adalah merupakan suatu Tindak Pidana Komulatip dan karena itu
harus dipisahkan antara satu dengan yang lain, tidak dapat digabung menjadi
satu kalimat.
Menimbang, bahwa terkecuali mengenai kualifikasinya,
PENGADILAN TINGGI juga kurang sependapat dengan pemidanaan
yang telah dijatuhkan oleh Hakim tingkat pertama, sebab
PENGADILAN TINGGI berpendapat guna lebih mendekati rasa
keadailan dan setimpal dengan kesalahan terdakwa, maka pidana yang
dijatuhkan oleh Hakim tingkat pertama tersebut belum diubah,
sebagaimana tersebut dalam amar putusan Pengadilan Tinggi.
Menimbang, bahwa mengenai amar selain dan selebihnya, karena
sudah tepat dan benar, dapat dikuatkan. Namun demikian, Hakim Banding
tidak sependapat dengan Hakim Pertama tentang Kwalifikasi Tindak Pidana
yang diberikan oleh Hakim Pertama, Karena delict ini dilakukan terdakwa
secara berturut - turut dan berlanjut dan juga merupakan suatu Tindak Pidana
Komulatif. Disamping itu, Hakim Banding juga tidak sependapat dengan
Hakim Pertama tentang lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepada
46
terdakwa tersebut. Mengenai pidana ini, Hakim Banding dengan alasan guna
lebih mendekati rasa keadilan dan setimpal dengan kesalahan terdakwa, maka
pidana penjara yang telah diberikan oleh Hakim Pertama, perlu diperbaiki
(diubah).
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan - pertimbangan
sebagaimana tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Negeri Denpasar
tanggal 26 Mei 1990 No. 142/Pid/S/1990/PN.Dps, haruslah diperbaiki
sedemikian rupa sehingga seluruh amarnya berbunyi sebagaimana tersebut
dalam amar putusan di bawah ini.
Mengingat akan Pasal 368 ayt 1 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 2
ayat 1 Undang - Undang No. 12 Darurat Tahun 1951 serta Pasal -Pasal dari
Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
berhubungan dengan perkara ini. Akhirnya Hakim Banding memberi putusan
yang diktumnya, pada pokoknya sebagai berikut:
Mengadili:
· Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Denpasar
· Masyarakat terdakwa Fernando terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan Tindak Pindana:
I. PEMERASAN YANG DILAKUKAN BERTURUT - TURUT
SECARA BERLANJUT
II. MEMBAWA SENJATA TAJAM TANPA HAK
· Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 9
(Sembilan) bulan. Dan seterusnya ………… dan seterusnya
………………..
7. Alasan Pengajuan Kasasi oleh Terdakwa
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bali tersebut diatas, pihak
terdakwa mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI
dengan mengemukakan “Keberatan Kasasi” yang pada pokoknya sebagai
berikut:
47
1. Pengadilan Tinggi dalam putusannya telah mengambil alih pertimbangan
hukum dari putusan Hakim Pertama, padahal Hakim Pertama salah
menerapkan hukum ex Pasal 368 (1) K.U.H. Pidana, dimana unsur
delict”memaksa” tidak terbukti selama dipersidangan.
2. Ketentutan U.U. No. 12/Drt/1951 tidak sesuai lagi dengan kenyataan
masyarakat dewasa ini. Semua orang saat ini selalu membawa senjata
tajam, sepanjang tidak dipergunakan untuk melakukan delict, hal ini bukan
merupakan Tindak Pidana.
3. Pengadilan Tinggi dalam putusannya tidak mempertimbangkan alasan yang
memberatkan dan yang meringankan hukuman, sehingga tidak memenuhi
pasal 197 K.U.H.A.P. huruf “f”.
8. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi memeriksa kasasi perkara ini,
dalam putusannya berpendirian, bahwa putusan judex factie (Pengadilan
Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah menerapkan Hukum sehingga harus
dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.
Pendirian Mahkamah Agung RI tersebut didasari oleh pertimbangan
hukum yang inti sarinya sebagai berikut:
a. Bahwa Pengadilan Tinggi telah mengubah hukuman penjara yang telah
dijatuhkan oleh Hakim Pertama
b. Bahwa dalam mengubah hukum tersebut, ternyata Hakim Banding tidak
membuat pertimbangan tentang faktor (keadaan) yang meringankan dan
yang memberatkan bagi terdakwa.
c. Bahwa pertimbangan yang demikian ini merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi oleh Hakim dalam memberikan hukuman kepada terdakwa
yang dinyatakan bersalah melakukan delict.
d. Bahwa bila syarat ini tidak dipenuhi (dilanggar) maka sesuai dengan
ketentuan pasal 197 (1) huruf “f” dari Undang - Undang No. 8/1981 atau
K.U.H.P., maka akibat hukumnya: putusan judex factie (Pengadilan
Tinggi) tersebut adalah batal demi hukum.
48
e. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi hanya menyebutkan alasan hukuman
berupa kalimat untuk lebih mendekati Rasa Keadilan dan setimpal dengan
kesalahan terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama
perlu diperbaiki.
f. Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak memenuhi syarat ex Pasal 197
(1) huruf “f” K.U.H.A.P.
9. Amar Putusan Mahkamah Agung (Dalam putusan No. 1989.
K/Pid/1990, tanggal 11 Februari 1991)
Dengan pertimbangan yang disebutkan diatas serta mengambil alih
pertimbangan putusan Hakim Pertama, yang dinilai sudah benar, maka
Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini yang amarnya pada pokoknya
sebagai berikut :
Mengadili:
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Mengadili sendiri:
- Menyatakan terdakwa Fernando bersalah melakukan perbuatan pidana:
I. PEMERASAN
II. MEMBAWA SENJATA PENIKAM/PENUSUK, TANPA HAK
- Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
- Dan seterusnya……. Dan seterusnya …………
Majelis terdiri dari para Hakim Agung: M. YAHYA ADIWIMARTA,
SH., selaku Ketua Sidang dengan Anggota: NY. DORA SASONGKO
KARTONO, SH, dan DJAZULI BACHAR, SH.
10. Pembahasan
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, maka kita dapat
menarik kesimpulan bahwa Hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa yang terbukti bersalah melakukan delict, maka dalam putusannya
itu, Hakim wajib membuat pertimbangan hukum tentang hal (keadaan) yang
memberatkan dan yang meringankan berkenaan dengan hukuman yang
49
dijatuhkan kepada terdakwa. Kewajiban Hakim ini juga berlaku bagi Hakim
Banding yang mengubah atau memperbaiki hukuman yang telah dijatuhkan
oleh Hakim Pertama.
Perlu pula diperhatikan penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d tersebut,
yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "fakta dan keadaan" di
sini ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh
pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa,
penasihat hukum, dan saksi korban. Di samping itu, dalam penjelasan
ayat (2) Pasal 197 tersebut dikatakan bahwa kecuali yang tersebut pada
huruf a, e, f, dan h, apabila terjadi kekhilafan atau kekehruan dalam penulisan
maka kekhilafan atau kekehruan penulisan atau pengetikan tidak
menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Ini berarti secara a
contrario putusan sebagaimana yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h
jika terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan atau pengalian tidak
batal demi hukum.
Membuat pertimbangan hukum yang demikian itu, merupakan syarat
mutlak yang wajib ditaati oleh Hakim Banding, sesuai dengan perintah
Undang - Undang No. 8/1981 (Hukum Acara Pidana - KUHAP) dengan akibat
hukum apabila ketentuan Pasal 197 (1) huruf “f” KUHAP tersebut dilanggar
oleh Hakim, maka putusannya adalah “batal demi hukum”. Pasal 197 (1) huruf
“f” Undang - Undang No. 8/1981 menentukan aturan sebagai berikut yaitu
Surat putusan Pemidanaan memuat:
a. Pasal Peraturan Perundang - Undangan yang menjadi dasar pemidanaan
dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari
putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama perlu
diperbaiki.
b. Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak memenuhi syarat ex Pasal 197
(1) huruf “f” K.U.H.A.P.
Dalam membuat Putusan pengadilan, seorang hakim harus
memperhatikan apa yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan
50
berbagai hal yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai
hal yang harus dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 197 KUHAP yaitu :
1) Nomor Putusan
2) Kepala Putusan/Irah-irah (DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA)
3) Identitas Terdakwa
4) Tahapan penahanan (kalau ditahan)
5) Surat Dakwaan
6) Tuntutan Pidana
7) Pledooi
8) Fakta Hukum
9) Pertimbangan Hukum
10) Peraturan perundangan yang menjadi dasar pertimbangan
11) Terpenuhinya Unsur-unsur tindak pidana
12) Pernyataan kesalahan terdakwa
13) Alasan yang memberatkan atau meringankan hukuman
14) Kualifikasi dan pemidanaan
15) Penentuan status barang bukti
16) Biaya perkara
17) Hari dan tanggal musyawarah serta putusan
18) Nama Hakim, Penuntut Umum, Panitera Pengganti, terdakwa dan
Penasehat Hukumnya
Ketentuan (lain) tentang Putusan
1) Untuk putusan yang bukan pemidanaan mengacu pada Pasal 199
KUHAP.
2) Dalam hal putusan Hakim telah melalaikan ketentuan Pasal 197 ayat (1)
KUHAP cara memperbaikinya adalah dengan melalui “Upaya Hukum”.
3) Dalam hal terhadap putusan tersebut diajukan banding, maka Pengadilan
Tinggi dapat langsung memutuskan sendiri dengan terlebih dahulu
menyatakan putusan Pengadilan Negeri batal demi hukum.
51
4) Pengurangan hukuman dengan masa penahanan sebagaimana diatur dalam
Pasal 22 ayat (4) KUHAP bersifat imperatif.
5) Perkara pidana biasa yang terdakwanya tidak hadir pada hari sidang yang
telah ditentukan, berkas perkaranya tidak dapat dikembalikan kepada
Jaksa, dan apabila terdakwa sudah berulang kali dipanggil tetapi tidak
datang maka perkara diputus dengan amar “Tuntutan Jaksa tidak dapat
diterima” (lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. MA/pemb/0068/81).
6) Dalam hal terdakwa dihukum dengan pidana penjara yang lamanya sama
dengan masa penahanan yang dijalaninya, maka dalam putusan harus
disebutkan ”memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan” dari tahanan
segera setelah putusan ini diucapkan”. Hal ini untuk memenuhi ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf ”k” KUHAP.
Suatu perkara pidana dapat dikatakan selesai atau berakhir apabila
hakim telah mengeluarkan suatu putusan. Pengertian putusan hakim itu sendiri
adalah suatu karya menemukan hukum yaitu menetapkan bagaimanakah
seharusnya menurut hukum dalam suatu peristiwa yang menyangkut
kehidupan dalam suatu negara hukum, sedangkan pengertian lain mengenai
putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan
dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan
Syarat sahnya putusan hakim sangat penting artinya karena akan
dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Adapun
syarat sahnya suatu putusan hakim yaitu:
3) Memuat hal-hal yang diwajibkan,
4) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum
Dalam hal eksekusi hendak dilaksanakan, sudah seharusnya terdakwa
mengajukan keberatan karena pelaksanaan hukuman dari suatu produk
putusan yang batal demi hukum akan mengakibatkan eksekusi tersebut tidak
sah pula. Jika terdakwa mengajukan upaya hukum pemeriksaan banding dan
hasilnya -- katakanlah ada putusan perbaikan, maka atas pelaksanaan eksekusi
yang tidak sah tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan jumlah hukuman
yang dijatuhkan dalam putusan perbaikan itu. Pihak jaksa yang
52
berkepentingan dengan eksekusi seharusnya tidak melaksanakan eksekusi
terlebih dulu sebelum adanya putusan lain yang memperbaiki putusan yang
batal ini.
Pernyataan batal demi hukum tidak dapat dilakukan secara sepihak
oleh terdakwa, di mana untuk menentukannya harus dilakukan oleh suatu
putusan. KUHAP tidak mengatur upaya hukum apa yang dapat dilakukan
terhadapnya. Dalam hal ini berlaku azas hukum: produk putusan dari suatu
instansi dapat dibatalkan oleh putusan instansi yang lebih tinggi. Karena
putusan dalam perkara aquo adalah putusan kasasi, maka dilihat dari
kepentingan terdakwa, dalil putusan batal demi hukum seyogyanya dimasukan
sebagai bagian dari pemeriksaan banding jika terdakwa hendak melakukan
upaya hukum ini. Akan tetapi, sebagaimana ditegaskan Yahya Harahap, S.H.
dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta 2006), mengingat unsur kebatalannya semata - mata
dalam diktum putusan, maka hal-hal lain yang menyangkut putusan seperti:
pemeriksaan sidang, dakwaan, rekuisitor, dan pembelaan tetap sah.
Beberapa hal tidak secara mendalam dikupas dalam pertimbangan
putusan Pengadilan Negeri tersebut. Pertimbangan judex factie yang
menyatakan bahwa unsur "memaksa" yang kaitannya dengan tindak pidana
pemerasan telah terbukti. Ini mengingat Fernando telah melakukan pemerasan
dan membawa senjata penikam atau penusuk tanpa hak sebagaimana diatur
dan diancam dalam Pasal 368 (1) jo. Pasal 64 (1) KUHP jo. Pasal 2 (1) UU
No. 12/Drt/1951.
Terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut diatas,
maka terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi.
Hakim Banding, setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya
berpendirian, bahwa pertimbangan dari Hakim Pertama tentang terbuktinya
Tindak Pidana adalah sudah benar, sehingga diambil alih sebagai
pertimbangan dari Pengadilan Tinggi dalam mengadili perkara ini dalam
tingkat banding, akan tetapi mengenai kualifiksi tindak pidana yang telah
diberikan oleh Hakim tingkat pertama adalah kurang tepat sebab tindak pidana
53
yang dilakukan oleh terdakwa telah dilakukan berturut-turut secara berlanjut
dan tindak pidana yang tebukti dilakukan oleh terdakwa adalah merupakan
suatu Tindak Pidana Komulatip dan karena itu harus dipisahkan antara satu
dengan yang lain, tidak dapat digabung menjadi satu kalimat.
Dalam hal ini Hakim Banding tidak sependapat dengan Hakim
Pertama tentang Kwalifikasi Tindak Pidana yang diberikan, karena delictini
dilakukan terdakwa secara berturut-turut dan berlanjut dan juga merupakan
suatu Tindak Pidana Komulatif. Disamping itu, Hakim Banding juga tidak
sependapat mengenai lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepada
terdakwa tersebut. Mengenai pidana ini, Hakim Banding dengan alasan guna
lebih mendekati rasa keadilan dan setimpal dengan kesalahan terdakwa, maka
pidana penjara yang telah diberikan oleh Hakim Pertama, perlu diperbaiki
(diubah) dan terdakwa Fernando terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan Tindak Pindana pemerasan yang dilakukannya secara berturut-
turut dan berlanjut serta membawa senjata tajam tanpa hak dan menjatuhkan
hukuman dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 9 (Sembilan) bulan.
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bali tersebut diatas, pihak
terdakwa mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI
dengan mengemukakan Keberatan Kasasi. Majelis Mahkamah Agung yang
ditugasi memeriksa kasasi perkara ini, dalam putusannya berpendirian, bahwa
putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah
menerapkan Hukum sehingga harus dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung
akan mengadili sendiri perkara ini, karena Mahkamah Agung RI memiliki
pendapat yang didasarkan oleh pertimbangan hokum bahwa Pengadilan
Tinggi telah mengubah hukuman penjara yang telah dijatuhkan oleh Hakim
Pertama dan dalam mengubah hukum tersebut, ternyata Hakim Banding tidak
membuat pertimbangan tentang faktor (keadaan) yang meringankan dan yang
memberatkan terdakwa dimana pertimbangan yang demikian ini merupakan
syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh Hakim dalam memberikan hukuman
kepada terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delict dan apabila
syarat ini tidak dipenuhi (dilanggar) maka sesuai dengan ketentuan Pasal 197
54
(1) huruf “f” dari Undang-Undang No. 8/1981 atau K.U.H.P., maka akibat
hukumnya putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) tersebut adalah batal demi
hukum. Pengadilan Tinggi juga tidak menyebutkan alasan hukuman berupa
kalimat untuk lebih mendekati Rasa Keadilan dan setimpal dengan kesalahan
terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama perlu
diperbaiki. Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak memenuhi syarat ex
Pasal 197 (1) huruf “f” K.U.H.A.P.
Dengan pertimbangan yang disebutkan diatas serta mengambil alih
pertimbangan putusan Hakim Pertama, yang dinilai sudah benar, maka
Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini yang amarnya pada pokoknya
adalah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri serta
menyatakan terdakwa Fernando bersalah melakukan perbuatan pidana
pemerasan dan membawa senjata penikam atau penusuk tanpa hak dan
menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Petunjuk Mahkamah Agung tentang Diktum
1. Pada hakekatnya perumusan suatu tindak pidana dalam kaedah hukum
terdiri atas :
a. Perumusan tentang perbuatan yang dilarang dan karenanya dapat
dipidana (tindak pidana atau delik yang sebenarnya).
b. Perumusan tentang keadaan yang meliputi perbuatan yang dilarang
tersebut.
2. Yang disebut pada butir f dalam Pasal 197 KUHAP ayat (1) diatas,
merupakan bagian-bagian esensial dari suatu perumusan tindak pidana
yang harus secara nyata atau faktual diuraikan dalam suatu dakwaan,
sehingga jelas mengenai hal – hal apa yang meringakan dan memberatkan
bagi terdakwa yang termuat di dalam suatu putusan Hakim, kalau bagian
esensial tersebut tidak terpenuhi maka putusan akan batal demi hukum.
3. Yang disebut pada butir f dalam Pasal 197 KUHAP ayat (1) diatas,
merupakan suatu “elemen” (unsur, tetapi bukan merupakan bagian atau
bestanddeel) dari tindak pidana atau merupakan syarat suatu perumusan
yang dijadikan muatan dalam Putusan Hakim, namun syarat tersebut
55
timbul berdasarkan asas - asas umum tentang hukum dan keadilan seperti
umpamanya hal pertanggungjawaban kesalahan dan bertentangan dengan
hukum.
4. Meskipun elemen atau unsur tersebut harus ada (merupakan syarat) namun
karena merupakan bagian esensial dari suatu putusan hakim, maka kalau
hal tersebut tidak termuat atau tercantum dalam sebuah putusan hakim
amar putusannya harus batal demi hukum karena Pengadilan tinggi (judex
factie) tidak membuat pertimbangan hukum tentang hal – hal yang
memberatkan dan meringankan terdakwa dalam perkara pemerasan yang
dilakukan oleh terdakwa Fernando.
Berkaitan dengan perkara ini jelaslah bahwa secara prosedural Hakim
telah lalai melaksanakan Undang - Undang yang seharusnya proses
pemeriksaan dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
karena hakim lalai dalam mencantumkan mengenai hal – hal yang
meringankan dan memberatkan bagi terdakwa. Sehingga peradilan yang
dilakukan menjadi batal demi hukum. Berkaitan dengan tidak tunduknya
hakim terhadap undang-undang ini. Hakim sebagai petugas yang menegakkan
hukum seharusnya mentaati hukum (Undang - undang), sehingga kepastian
hukum dapat ditegakkan. Kepastian hukum harus dijaga demi keamanan
Negara dan rasa keadilan yang harus dijunjung tinggi dalam penegakan
hukum, maka hukum positif selalu harus ditaati, meskipun isinya kurang adil
atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Kepastian hukum yang harus
dijaga dan diwujudkan oleh aparat penegak hukum untuk mewujudkan tujuan
hukum, yaitu paling tidak hukum harus menjamin dan melindungi tiga nilai
dasar, yaitu; keadilan, kebebasan dan solidaritas sosial. Hukum harus
bercirikan secara hakiki harus adil dan pasti serta sebagai pedoman kelakuan
dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang
dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan pasti maka hukum ditaati oleh
masyarakat.
Dalam membuat Putusan pengadilan seorang hakim harus
memperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP yang berisikan
56
berbagai hal yang yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun
berbagai hal yang harus dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 197 KUHAP adalah sebagai berikut:
a. Kepala Putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN
BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat - pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan Perundang - Undangan yang menjadi dasar pemidanaan
atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera;
57
Dalam hal tidak terpenuhinya semua ketentuan seperti yang diatur di
dalam ketentuan KUHAP maka akan berakibat putusan batal demi hukum.
Untuk itu kesemua persyaratan yang tersebut diatas harus dicantumkan dalam
putusan pemidanaan agar jangan sampai putusan yang akan dinilai tersebut
menjadi tidak mengalami pengurangan nilai atau nilai yang akan diberikan juri
menjadi tidak optimal.
Dalam pembuatan Putusan yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim,
pertimbangan atas fakta dan pertimbangan yuridis sangat penting untuk
dituliskan secara lengkap guna kepentingan distribusi keadilan yang lebih
baik. Penjelasan Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan
seorang hakim harus memiliki kualitas manusia yang bijaksana dan
bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Y.M.E, diri sendiri, masyarakat,
bangsa dan negara. Namun harus pula kita sadari, secara de facto hakim
adalah manusia biasa yang juga tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan.
Maka tidak menutup kemungkinan seorang hakim dapat melaukukan kelalaian
dalam memutus suatu perkara, baik disengaja atau tidak disengaja. Sementara
itu, baik Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman maupun KUHAP tidak
menyebutkan dan menentukan bagaimana bentuk dari pertanggungjawaban
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara secara
eksplisit Menyadari bahwa wewenang yang dimiliki oleh hakim dalam perkara
pidana begitu luas, sementara pertanggungjawaban tugas hakim dalam
memeriksa perkara pidana hanya bersifat abstrak.
58
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan apa yang diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan
pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut :
Dalam proses pengambilan putusan Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi
memeriksa kasasi perkara pemerasan meng-gunakan metode berpikir deduksi
yaitu berpijak pada hal - hal yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada
kasus kongkrit. Dalam putusannya Hakim berpendirian bahwa putusan judex
factie (Pengadilan Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah menerapkan
Hukum sehingga harus dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung akan
mengadili sendiri perkara ini. Pendirian Mahkaham Agung RI tersebut
didasari oleh pertimbangan hukum yang inti sarinya sebagai berikut:
1. Bahwa Pengadilan Tinggi telah mengubah hukuman penjara yang telah
dijatuhkan oleh Hakim Pertama
2. Bahwa dalam mengubah hukum tersebut, ternyata Hakim Banding tidak
membuat pertimbangan tentang faktor (keadaan) yang meringankan dan
yang memberatkan bagi terdakwa.
3. Bahwa pertimbangan yang demikian ini merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi oleh Hakim dalam memberikan hukuman kepada terdakwa
yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Bahwa bila syarat ini
tidak dipenuhi (dilanggar), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 197 (1)
huruf “f” dari Undang - Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, maka akibat hukumnya putusan judex facti (Pengadilan Tinggi)
tersebut adalah batal demi hukum.
4. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi hanya menyebutkan alasan hukuman
berupa kalimat “untuk lebih mendekati Rasa Keadilan dan setimpal
dengan kesalahan terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim
Pertama perlu diperbaiki.” Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak
memenuhi syarat Pasal 197 (1) huruf “f” K.U.H.A.P.
59
B. Saran-Saran
1. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menyusun putusan, maka
seyogianya hakim memaksimalkan peran Panitera dalam membantu
hakim mencermati putusan yang sedang disusun.
2. Para anggota majelis hakim agar senantiasi berkoordinasi dalam proses
penyusunan putusan, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dalam
menyusun putusan bisa dihindari.
60
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Ja Harun M. Husein.
1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret
University Press
Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika
Lexi J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta
M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali). Jakarta : sinar Grafika
Oemar Seno Adjie. 1989. KUHAP Sekarang. Jakarta : Erlangga
Rd. Achmad S.Soemadipradja. 1981. Pokok-pokok Hukum acara Pidana
Indonesia. Bandung : Alumni
Soerjono Soekanto.2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.2006. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Wirjono Prodjodikoro. 1974. Bunga Rampai Hukum. Jakarta : Ichtiar Baru
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang – Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman
Undang - Undang Republik Indonesia no 8 tahun 2004 Peradilan Umum
Undang – Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Putusan Makamah Agung No.1986 K/pid/1990,KUHP,KUHAP
Peraturan Perundang – Undangan lainya yang berkaitan.