bab i -iv/analisis... · indonesia adalah negara hukum yang demokratis ... menjamin segala warga...

60
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintah tersebut tanpa ada pengecualian. Hal ini berarti bahwa negara hukum Indonesia sebagaimana digariskan adalah Negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945. Indonesia sebagai negara hukum harus berperan di segala bidang kehidupan, baik dalam kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia maupun dalam kehidupan warga negaranya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan adanya keamanan, dan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta agar supaya hukum ditegakkan artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum maupun oleh penguasa negara, segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum. Penegakan hukum itu sendiri adalah sebagai upaya untuk menegakkan norma hukum yang nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas hubungan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diharapkan dapat mendorong kreatifitas serta peran aktif masyarakat dalam membangun suatu negara, khususnya dalam menjamin kemerdekaan Hak Asasi Manusia karena merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, dan bersifat universal. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Upload: truongdang

Post on 02-May-2018

219 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas

hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Negara

Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

Undang - Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan

menjamin segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintah tersebut tanpa

ada pengecualian. Hal ini berarti bahwa negara hukum Indonesia sebagaimana

digariskan adalah Negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

Undang - Undang Dasar 1945.

Indonesia sebagai negara hukum harus berperan di segala bidang

kehidupan, baik dalam kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia maupun

dalam kehidupan warga negaranya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan adanya

keamanan, dan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta agar supaya hukum ditegakkan

artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali baik

oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum maupun oleh penguasa negara,

segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum.

Penegakan hukum itu sendiri adalah sebagai upaya untuk menegakkan

norma hukum yang nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas hubungan

hukum di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diharapkan

dapat mendorong kreatifitas serta peran aktif masyarakat dalam membangun suatu

negara, khususnya dalam menjamin kemerdekaan Hak Asasi Manusia karena

merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, dan bersifat

universal. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dan

tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

2

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang boleh

dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan hanya

orang - orang yang berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum

yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak

menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah

satu bentuk penegakan hukum. (Darwan Prinst, 1998: 1)

Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk

mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang

berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu usaha untuk mencapai

tujuan tersebut adalah menempatkan masalah hukum pada kedudukan yang

sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Dalam hal ini

hukum di negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah

disepakati bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula,

baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan

kewajiban masing - masing.

Dalam suatu negara hukum seperti di Indonesia, Pengadilan adalah

suatu badan atau lembaga peradilan yang merupakan tumpuan harapan untuk

memperoleh keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk mendapatkan

penyelesaian suatu perkara dalam negara hukum adalah melalui lembaga

peradilan tersebut. Dalam suatu lembaga peradilan, hakim memegang peranan

penting karena hakim dalam hal ini bertindak sebagai penentu untuk memutuskan

suatu perkara yang diajukan ke pengadilan. Suatu putusan hakim mengandung

perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya

jangan melakukan suatu perbuatan.

Kita dapat melihat proses penegakan hukum di Indonesia sangat

berkaitan erat dengan proses pembangunan negara, karena pembangunan negara

disamping dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, dapat juga

mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial

negative terhadap masyarakat itu sendiri, terutama menyangkut masalah

peningkatan tindak pidana yang akhir – akhir ini menimbulkan keresahan

masyarakat. Untuk itu diperlukan penegakan hukum yang sesuai, salah satunya

3

adalah tindak pidana pemerasan dalam kasus Wina Cottage antara Manager dan

Satpam.

Wina Cottage, adalah Hotel yang terletak di Kuta, Bali dan dikelola

oleh Manager I Wayan Winada yang membawahi sejumlah karyawan, termasuk

beberapa orang Satpam (Security). Diantara Satpam ini, satu orang diantaranya

bernama: Fernando. Sebagai anggota Satpam, Fernando termasuk orang yang

bertemperamen keras. Ia sering bertengkar dengan para karyawan lain dan ringan

tangan. Keributan di Wina Cottage sering terjadi sebagai akibat ulah Fernando ini.

Bahkan ia sering mangkir dari tugasnya. Akhirnya ia dibebas tugaskan (dipecat).

Karena tidak puas, maka Fernando dengan membawa senjata tajam menemui

Manager dan stafnya untuk menuntut uang pesangon 12 bulan gaji penuh.

Tuntutan ini ditolak oleh Bagian Personalia dan Keuangan. Fernando sering

datang ke Hotel untuk menuntut tuntutannya dan tidak dipenuhi oleh Manager.

Karena rasa takut dan khawatir atas nasibnya, maka Manager melalui karyawan

dan sopirnya memerintahkan untuk memberi uang kepada Fernando sebesar

Rp.500.000,- Semula itu ditolak oleh Fernando karena dianggapnya terlalu

sedikit, tetapi akhirnya diterima juga. Pada hari berikutnya, Fernando mengancam

melalui telepon meminta agar Manager memberi uang lagi dan akan diambil di

Hotel. Fernando datang ke Hotel dan Manager memberi uang kepadanya Rp

2.000.000,- Pada hari lainnya, via telepon Fernando minta uang lagi dan Manager

memberi uang lagi Rp. 1.500.000, Beberapa hari berikutnya, Fernando minta uang

lagi dan oleh Manager diberi Rp. 1.000.000,- sehingga jumlah uang yang diterima

Fernando dari Manager sebesar Rp. 5.000.000,. Pada minggu berikutnya, via

telepon, Fernando minta uang lagi dengan ancaman akan membuat keributan di

Hotel, bila permintaannya tidak dipenuhi oleh Manager. Manager Wina Cottage,

akhirnya melaporkan ancaman Fernando tersebut kepada Kepolisian setempat,

dan berhasil ditangkap serta disita beberapa senjata penikam dari tangan

Fernando.

Selanjutnya Kejaksaan setelah menerima berkas perkara dari

Kepolisian kemudian melimpahkan berkas tersebut ke Pengadilan Negeri

Denpasar dengan dakwaan melanggar Pasal 368 (1) jo 64 (1) K.U.H. Pidana

4

(Pemerassan) Pasal 335 (1) jo 64 (1) K.U.H. Pidana (Perbuatan tidak

menyenangkan), Pasal 2 (1) dari U.U. No. 12/Drt/1951 (Senjata). Setelah

persidangan Pengadilan dinyatakan selesai, maka Jaksa menuntut agar terdakwa

dinyatakan bersalah melakukan delict dalam Pasal 368 (1) jo 64 (1) K.U.H.P,

Pasal 2 (1) U.U. No. 12/Drt/1951. Karena itu agar Hakim memberikan hukuman

penjara selama 3 tahun 6 bulan karena melakukan delict pemerasan dan membawa

senjata tanpa hak.

Terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut diatas,

maka terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi. Hakim

Banding, setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya berpendirian, bahwa

pertimbangan dari Hakim Pertama tentang terbuktinya Tindak Pidana adalah

sudah benar, sehingga diambil alih sebagai pertimbangan dari Pengadilan Tinggi

dalam mengadili perkara ini dalam tingkat banding, oleh Hakim Pertama, perlu

diperbaiki atau diubah, dan akhirnya Hakim Banding memberi putusan yang

diktumnya adalah memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Denpasar serta

terdakwa Fernando terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

Tindak Pindana pemerasan yang dilakukan berturut – turut serta berlanjut dengan

membawa senjata tajam tanpa hak.

Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bali tersebut diatas, pihak terdakwa

mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI dengan

mengemukakan “Keberatan Kasasi” yang pada pokoknya adalah bahwa

Pengadilan Tinggi dalam putusannya telah mengambil alih pertimbangan hukum

dari putusan Hakim Pertama, padahal Hakim Pertama salah menerapkan hukum

ex Pasal 368 (1) K.U.H. Pidana, dimana unsur (delict) memaksa tidak terbukti

selama dipersidangan. Pengadilan Tinggi juga dalam putusannya tidak

mempertimbangkan alasan yang memberatkan dan yang meringankan bagi

terdakwa, sehingga tidak memenuhi Pasal 197 huruf “f” K.U.H.A.P. yaitu pasal

peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan

dan pasal peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar hukum dari

putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa.

Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi memeriksa kasasi perkara ini, dalam

5

putusannya berpendirian, bahwa putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) dinilai

sebagai putusan yang salah menerapkan Hukum sehingga harus dibatalkan,

selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.

Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara memiliki kebebasan

karena kedudukan hakim secara konstutisional dijamin oleh Undang - Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Penjelasan Pasal 24 dan

Pasal 25 yang berbunyi bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang

merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan

pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang -

Undang tentang kedudukan para hakim. Hal ini sesuai dengan ciri dari Negara

hukum itu sendiri yaitu terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak

memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif.

Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan

tindakan sewenang - wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya,

akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang berlaku.

Dalam hal kebebasan hakim ini, juga berarti bahwa hakim harus dapat

memberi penjelasan dalam menerapkan suatu putusan terhadap suatu perkara yang

ditanganinya. Penjelasan tersebut diberikan berdasarkan penafsiran dari hakim itu

sendiri. Penafsiran disini bukan semata - mata berdasaran akal, ataupun sebuah

uraian secara logis, namun hakim dalam hal ini harus bisa memilih berbagai

kemungkinan berdasarkan keyakinannya dan prinsip dasar dalam menjalankan

Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.

Hakim sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara yang

diajukan ke pengadilan, dalam menjatuhkan putusan harus memiliki pertimbangan

- pertimbangan. Adapun pertimbangan - pertimbangan hakim tersebut di samping

berdasarkan Pasal - Pasal yang diterapkan terhadap terdakwa, sesungguhnya juga

didasarkan atas keyakinan dan kebijaksanaan hakim itu sendiri. Hakim dalam

mengadili suatu perkara berdasarkan hati nuraninya. Sehingga hakim yang satu

dengan yang lain memiliki pertimbangan yang berbeda - beda dalam menjatuhkan

suatu putusan. Selain itu Hakim dalam memberikan Putusan juga harus memenuhi

6

fomalitas – formalitas yang harus dipenuhi dalam Putusan Hakim (Pasal 197

KUHAP).

Pasal 197 ayat (1) KUHAP mengatur mengenai formalitas yang

harus dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2) Pasal itu kalau

ketentuan tersebut tidak dipenuhi kecuali yang tersebut pada huruf g maka

putusan batal demi hukum.

Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS

TERHADAP PUTUSAN YANG DINYATAKAN BATAL DEMI HUKUM

(NULL AND VOID) OLEH MAHKAMAH AGUNG KARENA HAKIM

PENGADILAN TINGGI (JUDEX FACTIE) TIDAK MEMUAT

PERTIMBANGAN HUKUM TENTANG HAL – HAL YANG

MEMBERATKAN DAN MERINGANKAN TERDAKWA DALAM

PERKARA PEMERASAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI

NO.1989 K/Pid/1990).

B. Perumusan Masalah

Setiap penelitian ilmiah yang akan dilakukan selalu berangkat dari

masalah. Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan masalah – masalah

yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian

sasaran. Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk

memfokuskan masalah agar dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat

memberikan gambaran yang jelas dan memudahkan pemahaman terhadap

permasalahan serta mencapai tujuan yang dikehendaki.

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil perumusan

masalah sebagai berikut :

­ Bagaimanakah pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam

memutuskan bahwa putusan judex factie batal demi hukum karena tidak

memuat hal - hal yang memberatkan dan meringankan dari terdakwa

dalam perkara pemerasan ?

7

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh

peneliti. Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan

sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan objektif

a. Untuk mengetahui apakah kelalaian pertimbangan Hakim Pengadilan

Negeri dalam memuat pertimbangan mengenai hal – hal yang

meringankan dan memberatkan terdakwa dapat dijadikan alasan oleh

Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan dalam perkara

pemerasan

b. Untuk mengetahui secara jelas mengenai putusan judex factie yang

dinyatakan batal demi hukum oleh Mahkamah Agung dalam perkara

pemerasan (Studi kasus Mahkamah Agung RI No. 1989 K/Pid/1990)

2. Tujuan subjektif

a. Untuk memperoleh data - data sebagai bahan utama penyusunan

penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis

guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman

aspek hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum

khususnya tentang pengaturan Pertimbangan hukum dalam hal

pengambilan keputusan di Pengadilan.

c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat

memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada

umumnya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam

perkembangan ilmu pengetahuan hukum. Memberikan masukan

pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam

8

ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang

berkaitan dengan tindak pidana pemerasan.

b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta

menambah pengetahuan tentang Hukum Acara Pidana.

c. Sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya,

disamping itu sebagai pedoman bagi penelitian yang lain.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan

dalam penelitian

b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir

dinamis sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis

dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

c. Dari hasil penelitian ini, akan menambah pengetahuan kita sejauh

mana keadilan ditegakkan.oleh hakim melalui putusan pengadilan,

khususnya dalam perkara pemersan.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

berkaitan dengan analisa konstruksi, yang dilakukan secara metodologis,

sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara

tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hokum

tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan

pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan – permasalahan yang

timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2005: 42-43).

Pada penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis,

dan pemilihan jenis penelitian tersebut tergantung pada perumusan

masalah yang ditentukan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini,

9

penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian

doktrinal yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

dan bahan hukum tersier sebagai data utama, dimana peneliti tidak perlu

mencari data langsung ke lapangan.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud

untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan

gejala tertentu. “Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data

yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.

Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa - hipotesa, agar dapat

membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun

teori baru.” (Soerjono Soekanto, 2005:10).

Berdasarkan pengertian diatas metode penelitian jenis ini

dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang

berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian

dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini,

Penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang dasar

pertimbangan hakim Pengadilan Negeri judex factie tidak memuat

pertimbangan mengenai hal – hal yang meringankan dan memberatkan

terdakwa dalam putusan yang dinyatakan batal demi hukum oleh

Mahkamah Agung dalam perkara pemerasan Wina Cottage antara

Manager dan Satpam.

3. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder berupa keterangan - keterangan yang secara tidak

langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, Peraturan perundang-

undangan, seperti KUHAP, Peraturan Kehakiman, dan Peraturan

Perundangan lain yang terkait, yurisprudensi, arsip - arsip yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti Putusan, dan tulisan-

10

tulisan ilmiah dan sumber - sumber tertulis lainnya, buku - buku, literatur,

dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber

lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih

bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian

pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai

penunjang.

4. Sumber Data

Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian yang dapat

diperoleh dan yang akan digunakan dalam penelitian normatif yaitu

sumber data sekunder yang meliputi bahan - bahan kepustakaan yang

dapat berupa dokumen, buku - buku laporan, arsip dan literatur yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan

Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri

dari :

1) UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana .

2) KUHP.

3) Undang - Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

4) UU RI Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.

5) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan.

6) Putusan Mahkamah Agung No 1989 K/Pid/1990.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, seperti buku - buku, karya ilmiah dan internet yang berkaitan

dengan penelitian atau membahas tentang putusan hakim dan tindak

pidana pemerasan.

11

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian

ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis

mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah

yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi.

Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan

selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan

penelitian yang dikaji. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh

penulis dalam penelitian ini adalah:

Studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data

sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan Perundang

- undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta

pengumpulan data melalui media internet.

6. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya yang digunakan

adalah tahap analisis data. Analisis data adalah proses pengorganisasian

dan pengurutan data dalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan

dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang

disarankan oleh data (Lexi J. Moleong, 2002:183).

Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara - cara analisis,

yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan

terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis

yang sifatnya kualitatif. Tahap ini dilakukan untuk mencapai tujuan dari

penelitian yaitu untuk mendapatkan jawaban dari penelitian yang diteliti.

Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis

interaktif (Interactive Model of Analysis) yaitu proses analisis dengan

menggunakan tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data dan kemudian

penarikan kesimpulan (verifikasi). Selain itu dilakukan pula suatu proses

antara tahap - tahap tersebut sehingga data yang terkumpul berhubungan

satu sama lain secara otomatis. (H.B.Sutopo, 2002: 94-96 )

12

Untuk lebih jelasnya, model analisis interaktif tersebut dapat

digambarkan dalam bagan sebagai berikut :

Gambar 1

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika

penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum

maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika

penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub

– sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap

keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini

adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang

pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta

mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam

penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai

Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan

Kehakiman diantaranya yaitu : Pengertian Hakim; Kedudukan

dan Kekuasaan Hakim; Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab

Pengumpulan data

Reduksi Data Penyajian data

Penarikan Kesimpulan

13

Hakim, serta Wewenang Hakim. Kedua, Tinjauan Umum

Tentang Putusan Hakim diantaranya yaitu : Pengertian dan

Jenis Putusan Hakim, Formalitas Yang harus Dipenuhi dalam

Putusan Hakim. Ketiga, Tinjauan Umum Tentang Putusan

Bebas diantaranya yaitu : Pengertian dan Landasan Putusan

Bebas; Macam-Macam Putusan Bebas; Putusan Bebas ditinjau

dari Asas Pembuktian. Keempat, Tinjauan Umum tentang

Tindak Pidana Pemerasan diantaranya yaitu : Pengertian

Tindak Pidana; Pengertian Tindak Pidana Pemerasan.

Selanjutnya mengenai pembahasan yang kedua yaitu mengenai

kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penjelasan dari penelitian, yang

berupa Analisis Yuridis Terhadap Putusan Yang Dinyatakan

Batal Demi Hukum (Null and Void) Oleh Mahkamah Agung

Karena Hakim Pengadilan Negeri (judex factie ) Tidak Memuat

Pertimbangan Hukum Tentang Hal – Hal yang Memberatkan

dan Meringankan bagi terdakwa.

BAB IV : PENUTUP

Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang

kesimpulan akhir dari pembahasan serta jawaban atas rumusan

permasalahan, dan diakhiri dengan saran - saran yang didasarkan

atas permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman

Diantara aparat penegak hukum yang paling dominan dalam

melaksanakan penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya

menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual,

moral dan integritas hakim terhadap nilai - nilai keadilan.

a. Pengertian Hakim

Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang

menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi

wewenang oleh Undang - Undang untuk mengadili. Selain di dalam

KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang -

Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal

tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan

kekuasaan kehakiman yang berada pada badan Peradilan di bawah

Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Undang - Undang.

b. Kedudukan dan Kekuasaan hakim

Kedudukan sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia, sebab dapat

dikatakan bahwa kedudukan itu hanya setingkat dibawah Tuhan yang

Maha Pengasih dan Penyayang. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa

Hakim itu bertanggung jawab langsung kepada-NYA. Disamping itu

Hakim juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat (social

accountability). Namun walaupun begitu Hakim tetap manusia biasa yang

bisa khilaf, keliru dan salah. Dalam kekhilafan, orang mempunyai niat

yang baik tetapi pengetahuannya tidak baik (mungkin bisa juga karena

mempunyai pendapat atau penafsiran yang berbeda), sehingga

pelaksanaannya keliru. Dalam kesalahan, orang mempunyai niat yang

tidak baik walaupun pengetahuannya sebenarnya baik, sehingga dalam

pelaksanaannya secara sadar melakukan kesalahan.

15

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang

dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang - Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa “Kekuasaan

Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh

dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan hal

tersebut, maka harus diadakan jaminan dalam Undang - Undang tentang

kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim

harus dijamin oleh Undang - Undang. Selain itu dalam Undang-Undang

ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai

pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman.

Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu

kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi

oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak

dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang -

wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi

hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang ada.

Hakim berbeda dengan pejabat - pejabat yang lain, ia harus benar-

benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan

kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan

antara pengadilan dan instansi - instansi lain ialah, bahwa pengadilan

dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif

memperhatikan dan melaksanakan macam - macam peraturan hukum yang

berlaku dalam suatu Negara. Di bidang hukum pidana hakim bertugas

menerapkan apakah seorang terdakwa melakukan suatu perbuatan

melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan hal ini, hakim harus

menyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar

(Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26-27)

Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memimpin

jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan

kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk

bertanya kepada saksi - saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan

16

demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap, dan hakimlah

yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.

Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah

bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan keyakinannya

dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim dalam menemukan

hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum. Tetapi untuk menemukan

hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli

hukum terkenal yang biasa disebut dengan doktrin.

Berhubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan

mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah

tidak memihak disini tidak diartikan secara harafiah, karena dalam

menjatuhkan putusannya hakim harus memihak kepada yang benar.

Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam

pertimbangan dan penilaiannya.

Hal ini secara tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang -

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda

- bedakan orang.”

Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak

menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian,

menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah,

misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP

( Andi Hamzah, 2005: 99-101 )

c. Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim

Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara -

perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya

mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai

kewajiban - kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim

sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Bab IV

17

Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Adapun kewajiban - kewajiban hakim tersebut adalah sebagai berikut :

1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)

Undang - Undang No.48 Tahun 2009)

2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8

ayat (2) Undang - Undang No.48 Tahun 2009)

3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila

terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga,

atau hubungan suami atau istri mesikipun telah bercerai, dengan ketua,

salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 17

ayat (3) Undang - Undang No.48 Tahun 2009)

4) Ketua majelis, hakim anggota, wajib mengundurkan diri dari

persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda

sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah

bercerai, dengan pihak yang diadili atau advokat (Pasal 17 ayat (4)

Undang - Undang No.48 Tahun 2009)

5) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia

mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara

yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas

permintaan pihak yang berperkara (Pasal 17 ayat (5) Undang -

Undang No.48 Tahun 2009)

6) Sebelum memangku jabatannya, hakim untuk masing-masing

lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janjinya

menurut agamanya yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2)

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum,

Pasal 16 ayat (1) dan (2) Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006

Tentang Peradilan Agama, pada Pasal 17 Undang - Undang Nomor 9

Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada Pasal 22

Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

18

Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab

profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

yaitu :

a) Tanggung jawab moral

adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma

yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan

(hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu

lembaga yang merupakan wadah para hakim bersangkutan.

b) Tanggung jawab hukum

adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat

melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu - rambu

hukum.

c) Tanggung jawab teknis profesi

adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya

secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam

bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun

ketentuan khusus dalam lembaganya.

d. Wewenang hakim

Penjelasan Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan

seorang Hakim memiliki kualitas manusia yang bijaksanan dan

bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Y.M.E, diri sendiri, masyarakat,

bangsa dan Negara, namun harus pula kita sadari, secara de facto hakim

adalah manusia biasa yang juga tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan,

maka tidak menutup kemungkinan seorang hakim dapat melakukan

kesalahan dalam memutus suatu perkara, baik disengaja atau tidak

disengaja. Sementara itu, baik Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman

maupun KUHAP tidak menyebutkan dan menentukan bagaimana bentuk

dari pertanggungjawaban terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat,

bangsa dan negara secara eksplisit Menyadari bahwa wewenang yang

dimiliki oleh hakim dalam perkara pidana begitu luas, sementara

19

pertanggungjawaban tugas hakim dalam memeriksa perkara pidana hanya

bersifat abstrak.

Dapat disimpulkan bagaimana pentingnya lembaga lain sebagai

pengawas kinerja seorang Hakim. Dalam hal ini lembaga yang dimaksud

adalah Dewan Kehormatan Hakim. Lembaga ini dipandaang dapat

memberikan keseimbangan secara eksplisit terhadap Undang - Undang

Nomor 48 Tahun 2009. Lebih lanjut lagi Dewan Kehormatan Hakim ini

nantinya juga berperan untuk memberikan penilaian dan pengawasan

terhadap keputusan hakim dan kemudian melaporkan tugasnya kepada

Ketua Mahkamah Agung.

2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim

a. Pengertian Putusan Hakim

Putusan hakim mempunyai peranan yang menentukan dalam

menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu di dalam menjatuhkan

putusannya hakim diharapkan agar selalu berhati - hati. Hal ini

dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai suatu putusan penuh

dengan kekeliruan yang akibatnya akan menimbulkan rasa tidak puas,

ketidakadilan dan dapat menjatuhkan kewibawaan pengadilan. Dengan

demikian, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya ”putusan hakim”

di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum

(rechtszekerheids) tentang ”statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan

langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat berupa

menerima putusan, serta melakukan upaya hukum verzet, banding, atau

kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya.

Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang

mengadili perkara, putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak”

pencerminan nilai - nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia,

20

penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta

visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.

Karena begitu kompleksitasnya dimensi dan substansi putusan hakim

tersebut, memang tidaklah mudah untuk memberikan rumusan aktual,

memadai, dan sempurna terhadap pengertian putusan hakim. Menurut

buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktek” yang dikeluarkan oleh

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, putusan diartikan sebagai berikut

“Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai

dengan semasak - masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan”

(Leden Marpaung, 1992: 406).

Suatu perkara pidana dapat dikatakan selesai atau berakhir apabila

hakim telah mengeluarkan suatu putusan. Pengertian putusan hakim itu

sendiri adalah suatu karya menemukan hukum yaitu menetapkan

bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam suatu peristiwa yang

menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum, sedangkan pengertian

lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak

dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2006:326).

Menurut Pasal 1 angka 11 Kitab Undang - Undang Hukum Acara

Pidana, yang dimaksud dengan Putusan Pengadilan adalah pernyataan

hakim yang diucapakan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat

berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum

dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang - Undang ini.

Syarat sahnya putusan hakim sangat penting artinya karena akan

dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Adapun

syarat sahnya suatu putusan hakim yaitu:

1) Memuat hal - hal yang diwajibkan;

2) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum.

Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009

menyebutkan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana

21

dengan hadirnya terdakwa, kecuali apabila undang-undang menentukan

lain.

b. Jenis Putusan Hakim

Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, putusan

pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada tiga macam yaitu:

1) Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa

Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa sebagai

mana tersebut dalam surat dakwaan, tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan, maka berdasarkan pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana, terdakwa harus dibebaskan dari

dakwaan dan segala tuntutan pidana.

Di dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas

dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan

peraturan Perundang – undangan dalam pidana ini.

2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan

hukum

Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu

tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan 21nsur

(Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana).

Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan

hukuman dapat pula terjadi terhadap terdakwa, karena ia melakukan

tindak pidana dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas putusannya itu. Tegasnya terdakwa tidak

dapat dijatuhi hukuman, meskipun perbuatan yang didakwakan itu

terbukti sah, apabila:

22

a) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44

ayat (1) KUHAP)

b) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 KUHAP)

c) Pembelaan darurat (Nood weer) (Pasal 49 KUHAP)

d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Undang –

Undang (Pasal 50 KUHAP)

e) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang

diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 50 KUHAP).

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, didasarkan pada

kriteria:

a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara

sah dan meyakinkan.

b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendat bahwa perbuatan yang

didakwakan tidak merupakan tindak pidana.

3) Putusan yang mengandung pemidanaan terdakwa

Dalam pasal 193 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Acara

Pidana menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa

yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di 22nsure pengadilan, kesalahan

terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya adalah terbukti

secara sah dan meyakinkan, yang telah ditentukan oleh Pasal 183 Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Dalam praktek, hakim menjatuhkan putusan dengan

mempertimbangkan hal – hal yang memberatkan dan meringankan

terdakwa. Hal yang memberatkan antara lain, adalah dalam

persidangan terdakwa tidak mengakui bersalah, memberikan

keterangan berbelit – belit, dan terdakwa pernah dihukum. Sedangkan

23

yang meringankan adalah mengakui terus terang, terdakwa mempunyai

tanggungan keluarga, terdakwa masih muda.

c. Formalitas Yang harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim.

Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus

dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau

ketentuan. Tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf g,

putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah:

a) Kepada putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA

b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa

c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan

d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta

keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan

dalam unsur yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa

e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan

f) Pasal Peraturan Perundang - undangan yang menjadi dasar putusan

atau tindakan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan

terdakwa

g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim dalam

hal perkara diperiksa oleh Hakim tunggal

h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua

unsur dalam rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan

pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan

i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang

bukti, keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau

keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat

autentik dianggap palsu

24

j) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau

dibebaskan

k) Hari dan tanggal Putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang

memutus, dan nama panitera.

Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP dikatakan bahwa surat

keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah

putusan itu diucapkan. Perlu pula diperhatikan penjelasan Pasal 197 ayat

(1) huruf d tersebut, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

“fakta dan keadaan” di sini ialah segala apa yang ada dan apa yang

diketemukan di dalam proses pemeriksaan dalam persidangan, antara

lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan

saksi korban. Di samping itu, dalam penjelasan ayat (2) Pasal 197

tersebut dikatakan bahwa kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan

h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka

kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak

menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Ini berarti secara a

cantrario putusan sebagaimana yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h

jika terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan atau

penggalian maka tidak menyebabkan putusan batal demi hukum.

3. Tinjauan Umum Tentang Putusan Bebas

a. Pengertian dan Landasan Putusan Bebas

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi “Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di

persidangan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada

terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus

bebas.” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup

terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan

menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

25

Dari ketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari

segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi

asas pembuktian menurut Undang – Undang, artinya dari pembuktian yang

diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan mengenai kesalahan

terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup

terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas batas

minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut

ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang

terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah. (M.Yahya Harahap, 2006: 348)

b. Macam-Macam Putusan Bebas

Bentuk putusan bebas tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang

– Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) namun dalam praktek

peradilan, dikenal ada beberapa bentuk putusan bebas antara lain sebagai

berikut :

1) Putusan bebas Murni

Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai

keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa

adalah tidak terbukti (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981:89).

2) Putusan Bebas Tidak Murni

Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan

secara terselubung atau “pembebasan” yang menurut kenyataannya

tidak didasarkan kepada ketidakterbuktiannya apa yang dimuat dalam

surat tuduhan. (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981: 89).

Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas

dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila

dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang

sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang

dakwaan tersebut tidak terbukti (Oemar Seno Adjie, 1989: 167).

Putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut :

26

1) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap

sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.

2) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas

kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya

(Oemar Seno Adjie, 1989: 164).

3) Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya yaitu

pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya adalah

pembebasan yang didasarkan atas pertimbangan bahwa harus

diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.

(Rd. Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89).

4) Pembebasan yang terselubung yaitu pembebasan yang dilakukan

dimana hakim telah mengambil keputusan tentang ”feiten” dan

menjatuhkan putusan ”pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal

putusan tersebut berisikan suatu ”pembebasan secara murni” (Rd.

Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89).

c. Putusan Bebas ditinjau dari Asas Pembuktian

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas, terkandung

dua asas mengenai pembuktian, yaitu :

1) Asas minimum pembuktian, yaitu asas bahwa untuk membuktikan

kesalahan terdakwa harus dengan sekurang – kurangnya dua alat

bukti yang sah;

2) Asas pembuktian menurut Undang – Undang secara negatif yang

mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping

kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula diikuti keyakinan

hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa.

27

Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP

tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP,

maka putusan bebas pada umumnya didasarkan penilaian dan pendapat

hakim bahwa :

1) Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di

persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

dan petunjuk, serta pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian

hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak

memadai, atau

2) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas

minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya

satu orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi asas batas

minimum pembuktian itu juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat

(2) KUHAP yang menegaskan unnus testis nullus testis atau

seorang saksi bukan saksi.

Putusan bebas disini bisa juga didasarkan atas penilaian,

kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi

sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup

terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila

tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian

seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah

membebaskan terdakwa dari tuntutan segala tuntutan pidana.

(M.Yahya Harahap, 2006: 348)

28

4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pemerasan

a. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk Undang – Undang di Indonesia menggunakan istilah

straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Dalam bahasa

Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata yaitu

straafbaar dan feit. Perkataan feit dalan bahasa Belanda diartikan

“sebagian dari kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat dihukum”.

Sehingga jika diartikan secara harafiah straafbaarfeit berarti “sebagian

dari kenyataan yang dapat dihukum”.

Beberapa pakar hukum pidana memberikan pengertian yang berbeda-

beda mengenai straafbaarfeit. Menurut P.A.F. Lamintang pembentuk

Undang – Undang kita telah menggunakan perkataan ”starfbaar feit”

untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”tindak pidana” di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan ”feit” itu sendiri dalam

Bahasa Belanda berarti ”sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan

”starfbaar ” berati ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan

”starfbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu

kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat

karena kita ketahui bahwa yang dapat di hukum adalah manusia sebagai

pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan (P.A.F.

Lamintang, 1997:181).

Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, yang

didefinisikan sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno, 2002:54).

Dari berbagai pengertian tindak pidana tersebut di atas, maka untuk

adanya Tindak Pidana harus ada unsur – unsur yang dipenuhi, antara lain :

1) perbuatan (manusia)

2) memenuhi rumusan Undang – Undang (syarat formil)

3) bersifat melawan hukum (syarat materiil).

29

Menurut Moeljanto, untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana

harus memenuhi unsur – unsur atau elemen tertentu, yaitu :

1) Kelakuan dan akibat (= perbuatan);

2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

3) Keadaan tambahan yang memberatkan;

4) Unsur melawan hukum yang objektif;

5) Unsur melawan hukum yang subjektif.

(Moeljatno, 2002:63)

b. Pengertian Tindak Pidana Pemerasan.

Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam KUHP

sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana

pemerasan (afpersing) dan tindak pidana pengancaman (afdreiging).

Kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu

suatu perbuatan yang bertujuan memeras orang lain. Justru karena sifatnya

yang sama itulah kedua tindak pidana ini biasanya disebut dengan nama

yang sama, yaitu “pemerasan” serta diatur dalam bab yang sama.

Sekalipun demikian, tidak salah kiranya apabila orang menyebut,

bahwa kedua tindak pidana tersebut mempunyai sebutan sendiri, yaitu

“pemerasan” untuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 KUHP dan

pengancaman untuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 369 KUHP.

Oleh karena memang, dalam KUHP sendiri pun juga menggunakan kedua

nama tersebut untuk menunjuk pada tindak pidana yang diatur dalam Pasal

368 dan 369 KUHP.

1) Tindak Pidana Pemerasan

Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan

dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut :

a) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu

barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau

30

supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam,

karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan

tahun.

b) Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam

tindak pidana ini.

Unsur – unsur yang ada di dalam ketentuan Pasal 368 KUHP

(ketentuan ayat (1) Pasal 368 KUHP ) unsur obyektif, yang meliputi :

a) Memaksa

b) Orang lain

c) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

d) Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang

seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain)

e) Supaya memberi hutang

f) Untuk menghapus piutang

Unsur subyektif, yang meliputi :

a) Dengan maksud

b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a) Unsur “memaksa”. Dengan istilah “memaksa” dimaksudkan

adalah melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu

melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehenda kn ya sendiri

b) Unsur “untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang”.

Berkaitan dengan unsur itu, persoalan yang muncul adalah, kapan

dikatakan ada penyerahan suatu barang? Penyerahan suatu barang

dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh pemeras

tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diperas, tanpa

melihat apakah barang tersebut sudah benar – benar dikuasai oleh

orang yang memeras atau belum. Pemerasan dianggap telah terjadi,

apabila orang yang diperas itu telah menyerahkan barang atau benda

yang dimaksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap

dirinya. Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri

31

oleh orang yang diperas kepada pemeras. Penyerahan barang

tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh orang lain selain dari

orang yang diperas.

c) Unsur “supaya memberi hutang”. Berkaitan dengan pengertian

“memberi hutang” dalam rumusan pasal ini perlu kiranya

mendapatkan pemahaman yanag benar. Memberi hutang di sini

mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang

diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang

menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang

tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan memberi hutang dalam hal ini

bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman)

dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang

berakibat timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk

membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang

dikehendaki.

d) Unsur “untuk menghapus hutang”. Dengan menghapusnya

piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan

perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras

atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras.

e) Unsur “untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.

Yang dimaksud dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang

lain” adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang

lain dari kekayaan semula. Menambah kekayaan disini tidak perlu

benar – benar telah terjadi, tetapi cukup apabila dapat dibuktikan,

bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain.

Unsur – unsur dalam ketentuan ayat (2) Pasal 368 KUHP

yaitu dalam tindak pidana pemerasan diperberat ancaman pidananya

apabila memiliki ketentuan sebagai berikut:

a) Tindak pidana pemerasan itu dilakukan pada waktu malam dalam

sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya atau

32

apabila pemerasan dilakukan dijalan umum atau diatas kereta api

atau trem yang sedang berjalan. Ketentuan ini berdasarkan Pasal

368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-1 KUHP dengan ancaman

pidana selama dua belas tahun penjara.

b) Tindak pidana pemerasan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih

secara bersama – sama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 368 ayat

(2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP dengan ancaman pidana dua

belas tahun penjara.

c) Tindak pidana pemerasan, dimana untuk masuk ketempat

melakukan kejahatan dilakukan dengan cara membongkar,

merusak atau memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah

palsu atau jabatan (seragam) palsu. Sesuai dengan ketentuan Pasal

368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHP dengan pidana

penjara dua belas tahun.

d) Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan terjadinya luka

berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365

ayat (2) ke-4 KUHP ancaman pidananya sama dengan yang

diatas, yaitu dua belas tahun penjara.

e) Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan matinya orang.

Diatur dalam ketentuan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (3)

KUHP dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu lima belas

tahun penjara.

f) Tindak pidana pemerasan tersebut telah menimbulkan luka berat

atau kematian serta dilakukan oleh dua orang atau lebih secara

bersama-sama dengan disertai hal-hal yang memberatkan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2)

KUHP. Berdasarkan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (4)

KUHP tindak pidana pemerasan ini diancam dengan pidana yang

lebih berat lagi, yaitu dengan pidana mati, pidana seumur hidup

atau pidana selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun

penjara.

33

Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat enam bentuk

tindak pidana pemerasan dengan pemberatan dengan ancaman pidana

yang diperberat.

2) Tindak Pidana Pengancaman

Bentuk tindak pidana pemerasan yang kedua adalah

“pengancaman”. Dalam bahasa Inggris tindak pidana “pengancaman”

ini dikenal dengan nama blackmail, sedang dalam bahasa Perancis

dikenal denga n istilah chantage. Sebagaimana dikemukakan

sebelumnya, bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 dan

369 KUHP sama – sama merupakan pemerasan. Perbedaannya hanya

terletak pada cara – cara yang digunakan dalam kedua tindak pidana

itu. Tindak pidana dalam Pasal 368 KUHP yang lazim disebut

“pemerasan” menggunakan “kekerasan atau ancaman kekerasan”

sedangkan tindak pidana dalam Pasal 369 KUHP yang lazim disebut

sebagai “pengancaman” menggunakan cara “pencemaran, baik lisan

maupun tertulis”.

Ketentuan Pasal 369 KUHP selengkapnya berbunyi :

a) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman

pencemaran baik lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan

membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan sesuatu

barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, atau supaya

memberikan hutang atau menghapus piutang, diancam dengan

pidana penjara paling lama empat tahun.

b) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang

terkena kejahatan.

Unsur – Unsur tindak pidana pengancaman dalam Pasal 369

KUHP di atas adalah meliputi :

a) Memaksa

b) Orang lain

34

c) Dengan ancaman pencemaran baik lisan maupun tulisan atau

ancaman akan membuka rahasia.

d) Supaya memberi hutang

e) Untuk menghapus piutang

Unsur subyektif, yang meliputi unsur - unsur :

a) Dengan maksud

b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Melihat unsur – unsur Pasal 369 atau 368 KUHP tampak

semakin jelas, bahwa bangunan hukum antara kedua tindak pidana

tersebut mempunyai esensi yang sama, yaitu memeras orang lain.

Hanya, kedua tindak pidana tersebut menggunakan cara-cara yang

berbeda untuk mencapai maksudnya. Berkaitan dengan penerapan

Pasal 369 KUHP di atas, unsur – unsur yang masih memerlukan

penjelasan adalah unsur “dengan pencemaran baik lisan maupun

tulisan serta ancaman akan membuka rahasia”.

Apakah yang dimaksud dengan “ancaman pencemaran” dan

“ancaman akan membuka rahasia?”

Istilah “pencemaran” dengan istilah “ancaman membuat malu”.

Secara definitif, pengertian “ancaman pencemaran” telah dirumuskan

dalam Pasa1310 ayat (1) KUHP. Menurut Pasal 310 ayat (1) KUHP,

yang dimaksud pencemaran adalah menyerang kehormatan atau nama

baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya nyata

agar hal itu diketahui umum. Pasal 310 ayat (1) KUHP di atas

memberikan pengertian terhadap apa yang dimaksud dengan

“pencemaran lisan”. Lantas apa yang dimaksud dengan “pencemaran

tertulis ?” Apabila perbuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 310

ayat (1) KUHP tersebut dilakukan dengan tulisan, misalnya dengan

menyebarkan atau menempelkan tulisan atau lukisan, maka hal itu

disebut “pencemaran secara tertulis”. Unsur lain dari Pasa1369 KUHP

yang belum dijelaskan adalah unsur “ancaman membuka rahasia”. Apa

yang dimaksud dengan “rahasia?”.

35

Tentang pengertian “rahasia” ini berbeda dengan pengertian

rahasia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 322 KUHP.

“Membuka rahasia” yang dimaksud dalam Pasal 322 KUHP ini

berkaitan dengan pembukaan rahasia oleh orang yang karena

jabatannya atau pekerjaannya wajib menyimpan rahasia itu. Sebagai

contoh, misalnya, seorang notaris wajib menyimpan rahasia, misalnya,

isi dari surat hibah wasiat yang bersifat rahasia, sehingga apabila

notaris tersebut membuka rahasia ini, notaris tersebut dikenakan Pasal

322 KUHP. “Membuka rahasia” dalam pengertian Pasal 369 KUHP

mengandung arti, memberitahukan kepada orang lain atau pihak ketiga

hal – hal mengenai orang yang diancam atau orang ketiga yang terkait

dengan orang yang diancam.

Pada dasarnya baik pencemaran nama baik maupun membuka

rahasia mempunyai tujuan yang sama, yaitu memberitahukan kepada

orang lain atau pihak ketiga atau kepada khalayak ramai tentang

sesuatu hal yang menyangkut orang yang diancam. “Rahasia” pada

hakikatnya mengenai suatu hal yang benar – benar terjadi, tetapi

karena sesuatu hal (misalnya takut diketahui oleh istrinya, anaknya,

atasannya, dan sebagainya) disembunyikan. Sedang pencemaran nama

baik mengenai suatu hal yang benar atau tidak benar yang dapat

mencemarkan nama dan kehormatan orang yang diancam. Pembahasan

terhadap unsur – unsur Pasal 369 ayat (1) KUHP kiranya sudah jelas.

Marilah kita lihat penjelasan dalam Pasal 369 ayat (2) KUHP dan

Pasal – Pasal berikutnya tentang pengancaman.

Berdasarkan ketentuan Pasal 369 ayat (2) KUHP tindak pidana

pengancaman ini merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat

dituntut atas pengaduan. Dengan demikian, tanpa adanya pengaduan,

tindak pidana pengancaman ini tidak dapat dituntut.

36

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2

Keterangan Kerangka Pemikiran

Secara umum formalitas yang ada dalam suatu Putusan Hakim baik terhadap

Putusan Tindak Pidana Pemerasan maupun Tindak Pidana Kejahatan lainnya

haruslah bertitik tolak pada Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut

sedikitnya 10 ( sepuluh ) buah elemen harus dipenuhi. Dan menurut ayat (2) Pasal

tersebut, apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi kecuali yang tersebut pada

huruf “g” dan “i”, maka putusan akan batal demi hukum.

Ketentuan – ketentuan formalitas tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kepala putusan yang berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA“

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan

Perkara Tindak Pidana Pemerasan

Pemeriksaan Tingkat Pertama ( Pengadilan Negeri)

PUTUSAN

Batal demi hukum ( hal-hal yang meringankan dan

memberatkan terdakwa )

Implikasi yuridis putusan batal deni hukum

Pertimbangan Hakim

37

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta

alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di siding yang menjadi dasar

penentuan kesalahan terdakwa

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan

f. Pasal Peraturan Perundang – Undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau

tindakan dan Pasal Peraturan Perundang – Undangan yang menjadi dasar

hukum dari Putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan

bagi terdakwa

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara

diperiksa oleh hakim tunggal

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan dimana telah terpenuhi semua

unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan

pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik maka dianggap palsu

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau dalam tahanan atau dibebaskan

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum , nama hakim yang memutus

dan nama panitera

38

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memutuskan bahwa

Putusan Judex Factie Batal Demi Hukum Karena Tidak Memuat Hal - Hal

yang Memberatkan Dan Meringankan dari Terdakwa dalam Perkara

Pemerasan.

Paparan perkara pemerasan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor :

1989.K/Pid/1990, tanggal 11 Pebruari 19991, dengan Terdakwa Fernando Felix

Beda:

1. Kasus Posisi

WINA COTTAGE, adalah hotel yang terletak di Kuta, Bali yang dikelola oleh

Manager I Wayan Winada dengan membawahi sejumlah karyawan, termasuk

beberapa orang Satpam (Security). Diantara Satpam ini, satu orang

diantaranya bernama Fernando. Sebagai anggota Satpam, maka Fernando

termasuk cirri orang bertemperamen keras. Ia sering bertengkar dengan para

karyawan serta ringan tangan. Keributan di Wina Cottage sering terjadi

sebagai akibat ulah dari Fernando ini. Bahkan ia sering mangkir dari tugasnya.

Akhirnya ia dibebas tugaskan. Karena tidak puas, maka Fernando dengan

membawa senjata tajam menemui Manager dan stafnya menuntut uang

pesangon 12 bulan gaji penuh. Tuntutan ini ditolak oleh Bagian Personalia dan

Keuangan. Fernando, sering datang ke Hotel untuk meminta agar tuntutannya

dipenuhi namun pihak hotel tidak memenuhinya. Karena rasa takut dan

khawatir atas nasibnya, maka manager melalui karyawan dan sopirnya

memerintahkan untuk memberi uang kepada Fernando sebesar Rp.500.000,-

Semula uang tersebut ditolak karena dianggap terlalu sedikit, tetapi akhirnya

diterima juga. Pada hari berikutnya, Fernando melalui telepon meminta agar

Manager memberi uang lagi dan akan diambil di Hotel. Fernando datang ke

Hotel dan Manager memberi uang kepadanya sebesar Rp.2.000.000,- Pada

hari lainnya, via telepon Fernando minta uang lagi dan Manager memberi

uang lagi Rp. 1.500.000,- Beberapa hari berikutnya, Fernando minta uang lagi

39

dan oleh Manager diberi Rp. 1.000.000,- sehingga jumlah uang yang diterima

Fernando dari Manager Rp. 5.000.000,- Pada minggu berikutnya, via telepon,

Fernando minta uang lagi dengan ancaman akan membuat keributan dan onar

di Hotel, bila permintaannya tidak dipenuhi oleh Manager Wina Cottage, dan

akhirnya Manager melaporkan ancaman Fernando tersebut kepada Kepolisian

setempat, dan berhasil ditangkap serta disita beberapa senjata penikam dari

tangan Fernando.

2. Identitas Terdakwa

a. Nama lengkap : FERNANDO FELIX BEDA

b. Tempat lahir : di Kupang (NTT)

c. Umur : 34 tahun

d. Jenis kelamin : laki-laki

e. Kebangsaan : Indonesia

f. Tempat tinggal : Jalanan Durian No. 10 Denpasar

g. Agama : Katolik

h. Pekerjaan : Satpam Wina Cottage

i. Terdakwa berada dalam tahanan

3. Dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Denpasar

a. Dakwaan Primer

Bahwa ia terdakwa Fernando Felix Beda, berturut - turut pada hari

Kamis tanggal 28 Desember 1989, hari Kamis tanggal 18 Januari 1990,

hari Sabtu tanggal 20 Januari 1990, atau sekitar waktu itu, setidak -

tidaknya dalam tahun 1989 dan tahun 1990, di Hotel Wina Cottage

Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, setidak - tidaknya

pada suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Denpasar,

dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan

melawan hukum memaksa orang yang ternyata bernama I Wayan Winada

(saksi I dalam perkara ini) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

supaya orang itu memberikan sesuatu barang berupa uang yang sama

40

sekali atau sebagian kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang

lain atau supaya orang itu membuat hutang atau menghapuskan piutang

yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara - cara sebagai berikut:

- Pada tanggal 28 Desember 1989 sekitar jam 20.30 wita ia terdakwa

telah datang ke Hotel Wina Cottage kemudian berjalan disekitar kamar

hotel Wina Cottage tempat saksi I sedang menerima tamunya, lalu

saksi I pada waktu itu telah memanggil terdakwa untuk masuk ke

dalam kamar tersebut, tetapi terdakwa tidak mau masuk walaupun

sudah dipanggil berulang kali, lalu ketika ia terdakwa hendak telah

mengancam saksi I dengan kata - kata yaitu : “Apabila saksi I tidak

mau memberika uang kepada terdakwa maka entah apa jadinya saksi

I”, sehingga karena adanya ancaman dari terdakwa telah menimbulkan

ketakutan bagi diri saksi dan keluarganya.

- Lalu pada tanggal 29 Desember 1989, saksi I telah menyuruh

karyawan Hotel Wina Cottage yang bernama I Nyoman Mudri, Gede

Ketut Astawa, I Made Sudarman dan sopirnya untuk mengantarkan

uang kepada terdakwa sebanyak Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)

tetapi uang sebanyak Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) tersebut

pada mulanya tidak mau diterima oleh terdakwa, namun setelah

dibawakan lagi kepada terdakwa pada sore harinya, ia terdakwa mau

menerima uang sebanyak tersebut diatas;

- Kemudian pada tanggal 18 Januari 1990, ia terdakwa telah datang lagi

ke Hotel Wina Cottage untuk menemui saksi I dan memaksa saksi I

supaya memberikan bantuan dana kepada terdakwa sehingga terjadi

pembicaraan antara saksi I dengan terdakwa, saksi I dengan terpaksa

memberikan uang kepada terdakwa sebanyak Rp 2.000.000,- (dua juga

rupiah);

- Sesudah itu pada tanggal 20 Januari 1990 ia terdakwa telah menelpon

saksi I dengan suara lantang dan serak seperti orang mabuk dan

memberitahukan kepada saksi I bahwa ia terdakwa membutuhkan dana

sebanyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan memaksa kepada saksi

41

I menyerahkan uang sebanyak Rp 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu

rupiah), dan pada tanggal 21 Januari 1990 telah diserahkan lagi kepada

terdakwa uang sebanyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), sehingga

jumlah uang yang telah diserahkan oleh saksi I kepada terdakwa

sebanyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), dan dengan penyerahan

uang sebanyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) kepada terdakwa

saksi I menduga bahwa terdakwa tidak melakukan lagi keributan;

- Tetapi kenyataannya pada tanggal 25 Januari 1990 petugas operator

Hotel Wina Cottage telah menerima telepon dari orang yang menyebut

dirinya si Brewok yang dalam hal ini adalah terdakwa sendiri karena

dalam pergaulan sehari-hari terdakwa dikenal dan biasa dipanggil

dengan Brewok yang mengucapkan kata-kata kotor antara lain bangsat

dan dan menyuruh Boss dalam hal ini saksi I supaya hati-hati,

sehingga perbuatan dari terdakwa yang demikian adalah merupakan

ancaman dan terror terhadap saksi I;

- Lalu pada tanggal 14 Pebruari 1990 sekitar jam 15.30 Wita, ia

terdakwa telah datang lagi ke Hotel Wina Cottage secara demonstratip

dan tidak sopan dan kemudian memaksa accounting office Hotel Wina

Cottage untuk memberikan gajinya selama 12 bulan, tetapi permintaan

terdakwa tidak dipenuhi oleh accounting office tersebut;

- Sehingga karena accounting office tersebut tidak mau memenuhi

permintaan terdakwa, lalu pada sekitar pukul 18.15 Wita dari asrama

Kompi 741 Kuta, setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu, ia

terdakwa telah menelpon kepada saksi I “bahwa ia baru datang dari

Jawa dan meminta uang dari saksi I, kalau tidak diberikan uang yang

dimintanya diartikan oleh saksi I mengandung pengertian bahwa saksi

I akan dibuat tidak berdaya apabila saksi I tidak mau memberikan uang

kepada terdakwa;

- Lalu dengan adanya ucapan terdakwa kepada saksi I yang demikian

lalu saksi I menjawab “kenapa kamu mengancam, masak setiap butuh

uang mesti minta sama aku” yang kemudian dijawab lagi oleh

42

terdakwa “pokoknya Boss (dalam hal ini saksi I) harus diberikan,

karena aku minta untuk terakhir kalinya” sehingga karena adanya

ancaman dari terdakwa yang demikian maka saksi I menyatakan akan

memberikan kepada tedakwa uang sebanyak uang satu bulan gaji

ditambah dengan bonus sebanyak Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh

ribu rupiah) tetapi keinginan saksi I untuk memberikan lagi tambahan

uang kepada terdakwa sebanyak satu bulan gaji ditambah dengan

bonus Rp 250.000,- tidak mau diterima oleh terdakwa dengan cara

menertawakan saksi I;

- Kemudian terdakwa memberitahukan kepada saksi I bahwa ia akan

datang ke Hotel wina Cottage malam hari itu bersama kawannya untuk

menemui saksi I secara empat mata dan meminta uang kepada saksi I;

- Tetapi karena saksi merasa terancam terus menerus oleh terdakwa lalu

saksi I memberikan laporan kepada Polisi Sektor Kuta tentang

perbuatan dari terdakwa lalu saksi I memberikan laporan kepada Polisi

Sektor Kuta tentang perbuatan terdakwa karena perbuatan yang telah

dilakukan oleh terdakwa telah mendatangkan kerugian bagi saksi I

berupa uang sebanyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) sedangkan

uang sebanyak tersebut bukan merupakan hak dari terdakwa;

- Sehingga dengan adanya laporan dari saksi I, lalu terdakwa ditangkap

oleh Polisi Sektor Kuta;

- Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana menurut Pasal 368 (1)

jo. Pasal 64 (1) KUHP;

b. Dakwaan Subsidair

- Bahwa ia tedakwa Fernando Felix Beda pada waktu dan tempat serta

dengan cara - cara sebagaimana diuraikan dalam dakwaan I (Ke-satu)

Primair, dengan melawan hukum memaksa orang lain yang ternyata

bernama I Wayan Winada (saksi I dalam perkara ini) untuk membuat

sesuatu dengan kekerasan, dengan perbuatan lain atau dengan

perbuatan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman perbuatan

yang tidak menyenangkan, sehingga Saksi I menyerahkan kepada

43

terdakwa sebanyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) sedangkan uang

tersebut bukan merupakan hak dari terdakwa;

- Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana menurut Pasal 335 (1)

jo. Pasal 64 (1) KUHP.

- Bahwa ia terdakwa Fernando Felix Beda, pada waktu dan tempat

sebagaimana diuraikan dalam dakwaan I (ke satu) Primair, tanpa hak

menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau

mempunyai dalam miliknya, menyimpan atau menyembunyikan

sesuatu senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk (slag’s

steek of stootwapen), berupa sebuah parang berbentuk runcing dan

sebuah pisau lipat super automatick (yang dijadikan barang bukti

dalam perkaran ini) barang mana bukan merupakan barang untuk

pertanian atau pekerjaan rumah tangga untuk kepentingan melakukan

pekerjaan yang sah atau nyata - nyata sebagai barang pusaka atau

barang ajaib (merk waardighaid) yang dibawa oleh terdakwa ketika

masuk ke dalam areal Hotel Wina Cottage, sehingga menimbulkan

ketakutan bagi diri saksi I dan keluarganya, sedangkan ia terdakwa

tidak berhak untuk membawa senjata tersebut ke dalam areal Hotel

Wina Cottage, lalu pada malam hari tanggal 28 Desember 1989 itu,

senjata yang dibawa oleh terdakwa berhasil diamankan oleh Satpam

Hotel Wina Cottage kemudian diserahkan kepada Polisi Sektor Kuta,

Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana menurut Pasal 2 (1) UU

No. 12 Drt. 1951;

4. Tuntutan Pidana (Requisitoir)

Setelah persidangan Pengadilan dinyatakan selesai, maka Jaksa

menuntut agar terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana :

Dakwaan I, Primair Pasal 368 (1) jo 64 (1) K.U.H.P.

Dakwaan II, Pasal 2 (1) U.U. No. 12/Drt/1951. Karena itu dimohon agar

Hakim memberikan hukuman penjara selama: 3 tahun 6 bulan karena

melakukan tindak pidana Pemerasan dan Membawa senjata tanpa hak.

44

5. Amar Putusan Pengadilan Negeri Denpasar (Dalam Putusan No.

142/Pid/S/1990/PN. Dps, tanggal 26 Mei 1990).

­ Menyatakan hukuman bahwa terdakwa FERNANDO FELIX BEDA

tersebut di atas secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah telah

melakukan tindak pidana kejahatan: “Pemerasan dan membawa senjata

penikam atau penusuk tanpa hak” sebagaimana diatur dan diancam dalam

pasal 368 (1) jo. Pasal 64 (1) KUHP jo. Pasal 2 (1) UU No. 12/Drt/1951;

­ Menghukum ia oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua)

tahun;

­ Menghukum menetapkan bahwa lamanya terdakwa ditahan sebelum

putusan ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap dikurangkan

seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;

­ Memerintahkan pula agar terdakwa tetap berada dalam tahanan meskipun

ia mempergunakan haknya mencari upaya hukum yang ada;

­ Menghukum pula terhukum membayar ongkos perkara sebanyak

Rp. 1.000,- (seribu rupiah);

­ Memerintahkan supaya barang-barang bukti berupa sebuah parang

berbentuk runcing dan sebuah pisau lipat super otomatis dirampas untuk

dimusnahkan;

6. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar (Dalam Putusan Nomor

40/Pid/1990/PT. Dps, tanggal 31 Juli 1990).

Terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut diatas,

maka terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi.

Hakim Banding, setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya

berpendirian, bahwa pertimbangan dari Hakim Pertama tentang terbuktinya

Tindak Pidana adalah sudah benar, sehingga diambil alih sebagai

pertimbangan dari Pengadilan Tinggi dalam mengadili perkara ini dalam

tingkat banding.

45

Menimbang, bahwa setelah Pengadilan tinggi mempelajari secara

seksama berkas perkara dan putusan Hakim tingkat pertama, Pengadilan

Tinggi berpendapat bahwa pertimbangan Hakim tingkat pertama,

PENGADILAN TINGGI berpendapat bahwa pertimbangan Hakim tingkat

pertama mengenai telah terbuktinya tindak pidana tersebut pada dakwaan

Pertama Primair dan dakwaan Kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam pasal 368 (10 jo. Pasal 64 (1) KUHP dan pasal 2 (1) Undang-Undang

No. 12/Drt/1951 adalah tepat dan benar, karena itu pertimbangan tersebut

dapat diambil alih dan dijadikan pertimbangan PENGADILAN TINGGI

Sendiri didalam mengambil putusan di tingkat banding.

Menimbang, bahwa akan tetapi mengenai kualifiksi tindak pidana

yang telah diberikan oleh Hakim tingkat pertama adalah kurang tepat sebab

tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa telah dilakukan berturut - turut

secara berlanjut dan lagi pula tindak pidana yang tebukti dilakukan oleh

terdakwa adalah merupakan suatu Tindak Pidana Komulatip dan karena itu

harus dipisahkan antara satu dengan yang lain, tidak dapat digabung menjadi

satu kalimat.

Menimbang, bahwa terkecuali mengenai kualifikasinya,

PENGADILAN TINGGI juga kurang sependapat dengan pemidanaan

yang telah dijatuhkan oleh Hakim tingkat pertama, sebab

PENGADILAN TINGGI berpendapat guna lebih mendekati rasa

keadailan dan setimpal dengan kesalahan terdakwa, maka pidana yang

dijatuhkan oleh Hakim tingkat pertama tersebut belum diubah,

sebagaimana tersebut dalam amar putusan Pengadilan Tinggi.

Menimbang, bahwa mengenai amar selain dan selebihnya, karena

sudah tepat dan benar, dapat dikuatkan. Namun demikian, Hakim Banding

tidak sependapat dengan Hakim Pertama tentang Kwalifikasi Tindak Pidana

yang diberikan oleh Hakim Pertama, Karena delict ini dilakukan terdakwa

secara berturut - turut dan berlanjut dan juga merupakan suatu Tindak Pidana

Komulatif. Disamping itu, Hakim Banding juga tidak sependapat dengan

Hakim Pertama tentang lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepada

46

terdakwa tersebut. Mengenai pidana ini, Hakim Banding dengan alasan guna

lebih mendekati rasa keadilan dan setimpal dengan kesalahan terdakwa, maka

pidana penjara yang telah diberikan oleh Hakim Pertama, perlu diperbaiki

(diubah).

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan - pertimbangan

sebagaimana tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Negeri Denpasar

tanggal 26 Mei 1990 No. 142/Pid/S/1990/PN.Dps, haruslah diperbaiki

sedemikian rupa sehingga seluruh amarnya berbunyi sebagaimana tersebut

dalam amar putusan di bawah ini.

Mengingat akan Pasal 368 ayt 1 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 2

ayat 1 Undang - Undang No. 12 Darurat Tahun 1951 serta Pasal -Pasal dari

Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang

berhubungan dengan perkara ini. Akhirnya Hakim Banding memberi putusan

yang diktumnya, pada pokoknya sebagai berikut:

Mengadili:

· Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Denpasar

· Masyarakat terdakwa Fernando terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan Tindak Pindana:

I. PEMERASAN YANG DILAKUKAN BERTURUT - TURUT

SECARA BERLANJUT

II. MEMBAWA SENJATA TAJAM TANPA HAK

· Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 9

(Sembilan) bulan. Dan seterusnya ………… dan seterusnya

………………..

7. Alasan Pengajuan Kasasi oleh Terdakwa

Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bali tersebut diatas, pihak

terdakwa mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI

dengan mengemukakan “Keberatan Kasasi” yang pada pokoknya sebagai

berikut:

47

1. Pengadilan Tinggi dalam putusannya telah mengambil alih pertimbangan

hukum dari putusan Hakim Pertama, padahal Hakim Pertama salah

menerapkan hukum ex Pasal 368 (1) K.U.H. Pidana, dimana unsur

delict”memaksa” tidak terbukti selama dipersidangan.

2. Ketentutan U.U. No. 12/Drt/1951 tidak sesuai lagi dengan kenyataan

masyarakat dewasa ini. Semua orang saat ini selalu membawa senjata

tajam, sepanjang tidak dipergunakan untuk melakukan delict, hal ini bukan

merupakan Tindak Pidana.

3. Pengadilan Tinggi dalam putusannya tidak mempertimbangkan alasan yang

memberatkan dan yang meringankan hukuman, sehingga tidak memenuhi

pasal 197 K.U.H.A.P. huruf “f”.

8. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung

Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi memeriksa kasasi perkara ini,

dalam putusannya berpendirian, bahwa putusan judex factie (Pengadilan

Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah menerapkan Hukum sehingga harus

dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.

Pendirian Mahkamah Agung RI tersebut didasari oleh pertimbangan

hukum yang inti sarinya sebagai berikut:

a. Bahwa Pengadilan Tinggi telah mengubah hukuman penjara yang telah

dijatuhkan oleh Hakim Pertama

b. Bahwa dalam mengubah hukum tersebut, ternyata Hakim Banding tidak

membuat pertimbangan tentang faktor (keadaan) yang meringankan dan

yang memberatkan bagi terdakwa.

c. Bahwa pertimbangan yang demikian ini merupakan syarat mutlak yang

harus dipenuhi oleh Hakim dalam memberikan hukuman kepada terdakwa

yang dinyatakan bersalah melakukan delict.

d. Bahwa bila syarat ini tidak dipenuhi (dilanggar) maka sesuai dengan

ketentuan pasal 197 (1) huruf “f” dari Undang - Undang No. 8/1981 atau

K.U.H.P., maka akibat hukumnya: putusan judex factie (Pengadilan

Tinggi) tersebut adalah batal demi hukum.

48

e. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi hanya menyebutkan alasan hukuman

berupa kalimat untuk lebih mendekati Rasa Keadilan dan setimpal dengan

kesalahan terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama

perlu diperbaiki.

f. Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak memenuhi syarat ex Pasal 197

(1) huruf “f” K.U.H.A.P.

9. Amar Putusan Mahkamah Agung (Dalam putusan No. 1989.

K/Pid/1990, tanggal 11 Februari 1991)

Dengan pertimbangan yang disebutkan diatas serta mengambil alih

pertimbangan putusan Hakim Pertama, yang dinilai sudah benar, maka

Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini yang amarnya pada pokoknya

sebagai berikut :

Mengadili:

- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi

Mengadili sendiri:

- Menyatakan terdakwa Fernando bersalah melakukan perbuatan pidana:

I. PEMERASAN

II. MEMBAWA SENJATA PENIKAM/PENUSUK, TANPA HAK

- Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

- Dan seterusnya……. Dan seterusnya …………

Majelis terdiri dari para Hakim Agung: M. YAHYA ADIWIMARTA,

SH., selaku Ketua Sidang dengan Anggota: NY. DORA SASONGKO

KARTONO, SH, dan DJAZULI BACHAR, SH.

10. Pembahasan

Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, maka kita dapat

menarik kesimpulan bahwa Hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada

terdakwa yang terbukti bersalah melakukan delict, maka dalam putusannya

itu, Hakim wajib membuat pertimbangan hukum tentang hal (keadaan) yang

memberatkan dan yang meringankan berkenaan dengan hukuman yang

49

dijatuhkan kepada terdakwa. Kewajiban Hakim ini juga berlaku bagi Hakim

Banding yang mengubah atau memperbaiki hukuman yang telah dijatuhkan

oleh Hakim Pertama.

Perlu pula diperhatikan penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d tersebut,

yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "fakta dan keadaan" di

sini ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh

pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa,

penasihat hukum, dan saksi korban. Di samping itu, dalam penjelasan

ayat (2) Pasal 197 tersebut dikatakan bahwa kecuali yang tersebut pada

huruf a, e, f, dan h, apabila terjadi kekhilafan atau kekehruan dalam penulisan

maka kekhilafan atau kekehruan penulisan atau pengetikan tidak

menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Ini berarti secara a

contrario putusan sebagaimana yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h

jika terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan atau pengalian tidak

batal demi hukum.

Membuat pertimbangan hukum yang demikian itu, merupakan syarat

mutlak yang wajib ditaati oleh Hakim Banding, sesuai dengan perintah

Undang - Undang No. 8/1981 (Hukum Acara Pidana - KUHAP) dengan akibat

hukum apabila ketentuan Pasal 197 (1) huruf “f” KUHAP tersebut dilanggar

oleh Hakim, maka putusannya adalah “batal demi hukum”. Pasal 197 (1) huruf

“f” Undang - Undang No. 8/1981 menentukan aturan sebagai berikut yaitu

Surat putusan Pemidanaan memuat:

a. Pasal Peraturan Perundang - Undangan yang menjadi dasar pemidanaan

dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari

putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan

terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama perlu

diperbaiki.

b. Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak memenuhi syarat ex Pasal 197

(1) huruf “f” K.U.H.A.P.

Dalam membuat Putusan pengadilan, seorang hakim harus

memperhatikan apa yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan

50

berbagai hal yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai

hal yang harus dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 197 KUHAP yaitu :

1) Nomor Putusan

2) Kepala Putusan/Irah-irah (DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA)

3) Identitas Terdakwa

4) Tahapan penahanan (kalau ditahan)

5) Surat Dakwaan

6) Tuntutan Pidana

7) Pledooi

8) Fakta Hukum

9) Pertimbangan Hukum

10) Peraturan perundangan yang menjadi dasar pertimbangan

11) Terpenuhinya Unsur-unsur tindak pidana

12) Pernyataan kesalahan terdakwa

13) Alasan yang memberatkan atau meringankan hukuman

14) Kualifikasi dan pemidanaan

15) Penentuan status barang bukti

16) Biaya perkara

17) Hari dan tanggal musyawarah serta putusan

18) Nama Hakim, Penuntut Umum, Panitera Pengganti, terdakwa dan

Penasehat Hukumnya

Ketentuan (lain) tentang Putusan

1) Untuk putusan yang bukan pemidanaan mengacu pada Pasal 199

KUHAP.

2) Dalam hal putusan Hakim telah melalaikan ketentuan Pasal 197 ayat (1)

KUHAP cara memperbaikinya adalah dengan melalui “Upaya Hukum”.

3) Dalam hal terhadap putusan tersebut diajukan banding, maka Pengadilan

Tinggi dapat langsung memutuskan sendiri dengan terlebih dahulu

menyatakan putusan Pengadilan Negeri batal demi hukum.

51

4) Pengurangan hukuman dengan masa penahanan sebagaimana diatur dalam

Pasal 22 ayat (4) KUHAP bersifat imperatif.

5) Perkara pidana biasa yang terdakwanya tidak hadir pada hari sidang yang

telah ditentukan, berkas perkaranya tidak dapat dikembalikan kepada

Jaksa, dan apabila terdakwa sudah berulang kali dipanggil tetapi tidak

datang maka perkara diputus dengan amar “Tuntutan Jaksa tidak dapat

diterima” (lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. MA/pemb/0068/81).

6) Dalam hal terdakwa dihukum dengan pidana penjara yang lamanya sama

dengan masa penahanan yang dijalaninya, maka dalam putusan harus

disebutkan ”memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan” dari tahanan

segera setelah putusan ini diucapkan”. Hal ini untuk memenuhi ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf ”k” KUHAP.

Suatu perkara pidana dapat dikatakan selesai atau berakhir apabila

hakim telah mengeluarkan suatu putusan. Pengertian putusan hakim itu sendiri

adalah suatu karya menemukan hukum yaitu menetapkan bagaimanakah

seharusnya menurut hukum dalam suatu peristiwa yang menyangkut

kehidupan dalam suatu negara hukum, sedangkan pengertian lain mengenai

putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan

dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan

Syarat sahnya putusan hakim sangat penting artinya karena akan

dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Adapun

syarat sahnya suatu putusan hakim yaitu:

3) Memuat hal-hal yang diwajibkan,

4) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum

Dalam hal eksekusi hendak dilaksanakan, sudah seharusnya terdakwa

mengajukan keberatan karena pelaksanaan hukuman dari suatu produk

putusan yang batal demi hukum akan mengakibatkan eksekusi tersebut tidak

sah pula. Jika terdakwa mengajukan upaya hukum pemeriksaan banding dan

hasilnya -- katakanlah ada putusan perbaikan, maka atas pelaksanaan eksekusi

yang tidak sah tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan jumlah hukuman

yang dijatuhkan dalam putusan perbaikan itu. Pihak jaksa yang

52

berkepentingan dengan eksekusi seharusnya tidak melaksanakan eksekusi

terlebih dulu sebelum adanya putusan lain yang memperbaiki putusan yang

batal ini.

Pernyataan batal demi hukum tidak dapat dilakukan secara sepihak

oleh terdakwa, di mana untuk menentukannya harus dilakukan oleh suatu

putusan. KUHAP tidak mengatur upaya hukum apa yang dapat dilakukan

terhadapnya. Dalam hal ini berlaku azas hukum: produk putusan dari suatu

instansi dapat dibatalkan oleh putusan instansi yang lebih tinggi. Karena

putusan dalam perkara aquo adalah putusan kasasi, maka dilihat dari

kepentingan terdakwa, dalil putusan batal demi hukum seyogyanya dimasukan

sebagai bagian dari pemeriksaan banding jika terdakwa hendak melakukan

upaya hukum ini. Akan tetapi, sebagaimana ditegaskan Yahya Harahap, S.H.

dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penerbit

Sinar Grafika, Jakarta 2006), mengingat unsur kebatalannya semata - mata

dalam diktum putusan, maka hal-hal lain yang menyangkut putusan seperti:

pemeriksaan sidang, dakwaan, rekuisitor, dan pembelaan tetap sah.

Beberapa hal tidak secara mendalam dikupas dalam pertimbangan

putusan Pengadilan Negeri tersebut. Pertimbangan judex factie yang

menyatakan bahwa unsur "memaksa" yang kaitannya dengan tindak pidana

pemerasan telah terbukti. Ini mengingat Fernando telah melakukan pemerasan

dan membawa senjata penikam atau penusuk tanpa hak sebagaimana diatur

dan diancam dalam Pasal 368 (1) jo. Pasal 64 (1) KUHP jo. Pasal 2 (1) UU

No. 12/Drt/1951.

Terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut diatas,

maka terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi.

Hakim Banding, setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya

berpendirian, bahwa pertimbangan dari Hakim Pertama tentang terbuktinya

Tindak Pidana adalah sudah benar, sehingga diambil alih sebagai

pertimbangan dari Pengadilan Tinggi dalam mengadili perkara ini dalam

tingkat banding, akan tetapi mengenai kualifiksi tindak pidana yang telah

diberikan oleh Hakim tingkat pertama adalah kurang tepat sebab tindak pidana

53

yang dilakukan oleh terdakwa telah dilakukan berturut-turut secara berlanjut

dan tindak pidana yang tebukti dilakukan oleh terdakwa adalah merupakan

suatu Tindak Pidana Komulatip dan karena itu harus dipisahkan antara satu

dengan yang lain, tidak dapat digabung menjadi satu kalimat.

Dalam hal ini Hakim Banding tidak sependapat dengan Hakim

Pertama tentang Kwalifikasi Tindak Pidana yang diberikan, karena delictini

dilakukan terdakwa secara berturut-turut dan berlanjut dan juga merupakan

suatu Tindak Pidana Komulatif. Disamping itu, Hakim Banding juga tidak

sependapat mengenai lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepada

terdakwa tersebut. Mengenai pidana ini, Hakim Banding dengan alasan guna

lebih mendekati rasa keadilan dan setimpal dengan kesalahan terdakwa, maka

pidana penjara yang telah diberikan oleh Hakim Pertama, perlu diperbaiki

(diubah) dan terdakwa Fernando terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan Tindak Pindana pemerasan yang dilakukannya secara berturut-

turut dan berlanjut serta membawa senjata tajam tanpa hak dan menjatuhkan

hukuman dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 9 (Sembilan) bulan.

Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bali tersebut diatas, pihak

terdakwa mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI

dengan mengemukakan Keberatan Kasasi. Majelis Mahkamah Agung yang

ditugasi memeriksa kasasi perkara ini, dalam putusannya berpendirian, bahwa

putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah

menerapkan Hukum sehingga harus dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung

akan mengadili sendiri perkara ini, karena Mahkamah Agung RI memiliki

pendapat yang didasarkan oleh pertimbangan hokum bahwa Pengadilan

Tinggi telah mengubah hukuman penjara yang telah dijatuhkan oleh Hakim

Pertama dan dalam mengubah hukum tersebut, ternyata Hakim Banding tidak

membuat pertimbangan tentang faktor (keadaan) yang meringankan dan yang

memberatkan terdakwa dimana pertimbangan yang demikian ini merupakan

syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh Hakim dalam memberikan hukuman

kepada terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delict dan apabila

syarat ini tidak dipenuhi (dilanggar) maka sesuai dengan ketentuan Pasal 197

54

(1) huruf “f” dari Undang-Undang No. 8/1981 atau K.U.H.P., maka akibat

hukumnya putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) tersebut adalah batal demi

hukum. Pengadilan Tinggi juga tidak menyebutkan alasan hukuman berupa

kalimat untuk lebih mendekati Rasa Keadilan dan setimpal dengan kesalahan

terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama perlu

diperbaiki. Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak memenuhi syarat ex

Pasal 197 (1) huruf “f” K.U.H.A.P.

Dengan pertimbangan yang disebutkan diatas serta mengambil alih

pertimbangan putusan Hakim Pertama, yang dinilai sudah benar, maka

Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini yang amarnya pada pokoknya

adalah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri serta

menyatakan terdakwa Fernando bersalah melakukan perbuatan pidana

pemerasan dan membawa senjata penikam atau penusuk tanpa hak dan

menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Petunjuk Mahkamah Agung tentang Diktum

1. Pada hakekatnya perumusan suatu tindak pidana dalam kaedah hukum

terdiri atas :

a. Perumusan tentang perbuatan yang dilarang dan karenanya dapat

dipidana (tindak pidana atau delik yang sebenarnya).

b. Perumusan tentang keadaan yang meliputi perbuatan yang dilarang

tersebut.

2. Yang disebut pada butir f dalam Pasal 197 KUHAP ayat (1) diatas,

merupakan bagian-bagian esensial dari suatu perumusan tindak pidana

yang harus secara nyata atau faktual diuraikan dalam suatu dakwaan,

sehingga jelas mengenai hal – hal apa yang meringakan dan memberatkan

bagi terdakwa yang termuat di dalam suatu putusan Hakim, kalau bagian

esensial tersebut tidak terpenuhi maka putusan akan batal demi hukum.

3. Yang disebut pada butir f dalam Pasal 197 KUHAP ayat (1) diatas,

merupakan suatu “elemen” (unsur, tetapi bukan merupakan bagian atau

bestanddeel) dari tindak pidana atau merupakan syarat suatu perumusan

yang dijadikan muatan dalam Putusan Hakim, namun syarat tersebut

55

timbul berdasarkan asas - asas umum tentang hukum dan keadilan seperti

umpamanya hal pertanggungjawaban kesalahan dan bertentangan dengan

hukum.

4. Meskipun elemen atau unsur tersebut harus ada (merupakan syarat) namun

karena merupakan bagian esensial dari suatu putusan hakim, maka kalau

hal tersebut tidak termuat atau tercantum dalam sebuah putusan hakim

amar putusannya harus batal demi hukum karena Pengadilan tinggi (judex

factie) tidak membuat pertimbangan hukum tentang hal – hal yang

memberatkan dan meringankan terdakwa dalam perkara pemerasan yang

dilakukan oleh terdakwa Fernando.

Berkaitan dengan perkara ini jelaslah bahwa secara prosedural Hakim

telah lalai melaksanakan Undang - Undang yang seharusnya proses

pemeriksaan dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku

karena hakim lalai dalam mencantumkan mengenai hal – hal yang

meringankan dan memberatkan bagi terdakwa. Sehingga peradilan yang

dilakukan menjadi batal demi hukum. Berkaitan dengan tidak tunduknya

hakim terhadap undang-undang ini. Hakim sebagai petugas yang menegakkan

hukum seharusnya mentaati hukum (Undang - undang), sehingga kepastian

hukum dapat ditegakkan. Kepastian hukum harus dijaga demi keamanan

Negara dan rasa keadilan yang harus dijunjung tinggi dalam penegakan

hukum, maka hukum positif selalu harus ditaati, meskipun isinya kurang adil

atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Kepastian hukum yang harus

dijaga dan diwujudkan oleh aparat penegak hukum untuk mewujudkan tujuan

hukum, yaitu paling tidak hukum harus menjamin dan melindungi tiga nilai

dasar, yaitu; keadilan, kebebasan dan solidaritas sosial. Hukum harus

bercirikan secara hakiki harus adil dan pasti serta sebagai pedoman kelakuan

dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang

dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan pasti maka hukum ditaati oleh

masyarakat.

Dalam membuat Putusan pengadilan seorang hakim harus

memperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP yang berisikan

56

berbagai hal yang yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun

berbagai hal yang harus dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 197 KUHAP adalah sebagai berikut:

a. Kepala Putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN

BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan

beserta alat - pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang

menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan Perundang - Undangan yang menjadi dasar pemidanaan

atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang

meringankan terdakwa;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara

diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur

dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan

pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau

dibebaskan;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang

memutus dan nama panitera;

57

Dalam hal tidak terpenuhinya semua ketentuan seperti yang diatur di

dalam ketentuan KUHAP maka akan berakibat putusan batal demi hukum.

Untuk itu kesemua persyaratan yang tersebut diatas harus dicantumkan dalam

putusan pemidanaan agar jangan sampai putusan yang akan dinilai tersebut

menjadi tidak mengalami pengurangan nilai atau nilai yang akan diberikan juri

menjadi tidak optimal.

Dalam pembuatan Putusan yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim,

pertimbangan atas fakta dan pertimbangan yuridis sangat penting untuk

dituliskan secara lengkap guna kepentingan distribusi keadilan yang lebih

baik. Penjelasan Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan

seorang hakim harus memiliki kualitas manusia yang bijaksana dan

bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Y.M.E, diri sendiri, masyarakat,

bangsa dan negara. Namun harus pula kita sadari, secara de facto hakim

adalah manusia biasa yang juga tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan.

Maka tidak menutup kemungkinan seorang hakim dapat melaukukan kelalaian

dalam memutus suatu perkara, baik disengaja atau tidak disengaja. Sementara

itu, baik Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman maupun KUHAP tidak

menyebutkan dan menentukan bagaimana bentuk dari pertanggungjawaban

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara secara

eksplisit Menyadari bahwa wewenang yang dimiliki oleh hakim dalam perkara

pidana begitu luas, sementara pertanggungjawaban tugas hakim dalam

memeriksa perkara pidana hanya bersifat abstrak.

58

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan apa yang diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan

pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut :

Dalam proses pengambilan putusan Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi

memeriksa kasasi perkara pemerasan meng-gunakan metode berpikir deduksi

yaitu berpijak pada hal - hal yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada

kasus kongkrit. Dalam putusannya Hakim berpendirian bahwa putusan judex

factie (Pengadilan Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah menerapkan

Hukum sehingga harus dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung akan

mengadili sendiri perkara ini. Pendirian Mahkaham Agung RI tersebut

didasari oleh pertimbangan hukum yang inti sarinya sebagai berikut:

1. Bahwa Pengadilan Tinggi telah mengubah hukuman penjara yang telah

dijatuhkan oleh Hakim Pertama

2. Bahwa dalam mengubah hukum tersebut, ternyata Hakim Banding tidak

membuat pertimbangan tentang faktor (keadaan) yang meringankan dan

yang memberatkan bagi terdakwa.

3. Bahwa pertimbangan yang demikian ini merupakan syarat mutlak yang

harus dipenuhi oleh Hakim dalam memberikan hukuman kepada terdakwa

yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Bahwa bila syarat ini

tidak dipenuhi (dilanggar), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 197 (1)

huruf “f” dari Undang - Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, maka akibat hukumnya putusan judex facti (Pengadilan Tinggi)

tersebut adalah batal demi hukum.

4. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi hanya menyebutkan alasan hukuman

berupa kalimat “untuk lebih mendekati Rasa Keadilan dan setimpal

dengan kesalahan terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim

Pertama perlu diperbaiki.” Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak

memenuhi syarat Pasal 197 (1) huruf “f” K.U.H.A.P.

59

B. Saran-Saran

1. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menyusun putusan, maka

seyogianya hakim memaksimalkan peran Panitera dalam membantu

hakim mencermati putusan yang sedang disusun.

2. Para anggota majelis hakim agar senantiasi berkoordinasi dalam proses

penyusunan putusan, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dalam

menyusun putusan bisa dihindari.

60

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Ja Harun M. Husein.

1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret

University Press

Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar

Grafika

Lexi J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya

Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta

M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan

Kembali). Jakarta : sinar Grafika

Oemar Seno Adjie. 1989. KUHAP Sekarang. Jakarta : Erlangga

Rd. Achmad S.Soemadipradja. 1981. Pokok-pokok Hukum acara Pidana

Indonesia. Bandung : Alumni

Soerjono Soekanto.2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.2006. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada

Wirjono Prodjodikoro. 1974. Bunga Rampai Hukum. Jakarta : Ichtiar Baru

Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang – Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman

Undang - Undang Republik Indonesia no 8 tahun 2004 Peradilan Umum

Undang – Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Putusan Makamah Agung No.1986 K/pid/1990,KUHP,KUHAP

Peraturan Perundang – Undangan lainya yang berkaitan.