bab i , ii, iii
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan dalam daur
kehidupan manusia (Keliat, 1999, Napitupulu, 2011). Lansia juga merupakan
tahap usia tertinggi dalam pertumbuhan dan perkembangan individu yang
melalui berbagai proses penuaan, baik biologis, psikologis, sosial, dan
spiritual. Dalam tahap ini, seorang lansia rentan terhadap masalah kesehatan
mental. Salah satu permasalahan mental yang sering terjadi di kelompok
lanjut usia ini adalah fenomena bunuh diri.
Jumlah angka fenomena bunuh diri pada lanjut usia telah meningkat
sampai dengan 25% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Angka tertinggi
dari kasus bunuh diri pada lansia dapat dilihat pada kelompok lanjut usia
dalam rentang usia 75-85 tahun (Stuart, 1998, Lueckenotte, 2000). Bunuh diri
sendiri merupakan suatu tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan yang merupakan keadaan darurat psikiatri karena
individu berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping
yang mal adaptif. Bunuh diri pada lansia adalah perbuatan yang dilakukan
oleh seorang lanjut usia untuk memusnahkan diri karena enggan berhadapan
dengan sesuatu perkara yang di anggap tidak dapat ditangani.
Banyak hal yang mempengaruhi lansia mengalami masalah kesehatan
mental bunuh diri ini. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah
konsep stres dan koping yang dimiliki oleh lansia itu sendiri. Stres merupakan
suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima
sebagai suatu hal yang menantang, mengacam, atau merusak terhadap
keseimbangan atau ekuilibrium dinamis seseorang. Adanya sedikit perubahan
baik pada lingkungan, fisik, maupun psikologis mampu memicu stres pada
lansia. Sedangkan koping adalah suatu proses dari seseorang yang digunakan
untuk mengatur peristiwa atau menghadapi, merasakan dan menginterpretasi
suatu stress (Craven & Hirnle, 2000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
1
koping adalah suatu tindakan seseorang untuk mengatasi stres yang
dialaminya.
Lansia yang memiliki koping diri yang baik tidak akan mudah
mengalami stres. Sebaliknya, jika seorang lansia tidak memiliki koping yang
baik maka, stres pada lansia tidak dapat pula terhindarkan. Stres yang
berkepanjangan dengan koping diri yang negatif pada seorang lansia
meningkatkan angka kejadian bunuh diri. Untuk itu, penting bagi seorang
perawat untuk mengetahui konsep-konsep stres dan koping serta masalah
kesehatan mental pada lansia, guna meningkatkan kesejahteraan diri lansia itu
sendiri. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai konsep koping dan stres
pada lansia, serta masalah kesehatan mental pada lansia khususnya mengenai
perilaku bunuh diri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep stres pada lansia?
2. Bagaimana konsep koping pada lansia?
3. Bagaimana konsep masalah kesehatan mental pada lansia?
4. Bagaimana konsep risiko bunuh diri pada lansia?
5. Bagaimana asuhan keperawatan bagi lansia dengan masalah kesehatan
mental risiko bunuh diri?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Konsep stres pada lansia
2. Konsep koping lansia
3. Konsep masalah kesehatan mental pada lansia
4. Konsep risiko bunuh diri pada lansia
5. Asuhan keperawatan yang tepat bagi lansia dengan masalah kesehatan
mental risiko bunuh diri
2
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah dengan
menggunakan studi literatur dan pengumpulan sumber dari website.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab. Bab pertama adalah pendahuluan,
terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan pustaka di
mana terdapat teori-terori terkait konsep stres dan koping pada lansia, konsep
masalah kesehatan mental lansia, konsep risiko bunuh diri pada lansia, serta
asuhan keperawatan bagi lansia dengan risiko bunuh diri. Kemudian, dalam
bab tiga merupakan pembahasan, dimana dalam bab ini akan berisi mengenai
analisa kasus dan asuhan keperawatan yang sesuai dengan permasalahan yang
ada pada kasus. Terakhir, adalah bab empat, yaitu bab penutup yang berisi
kesimpulan dan saran.
3
BAB II
KONSEP STRES DAN KOPING PADA LANSIA
A. Konsep Stres Pada Lansia
Stres merupakan suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan
lingkungan yang diterima sebagai suatu hal yang menantang, mengacam, atau
merusak terhadap keseimbangan atau ekuilibrium dinamis seseorang. Stresor
dapat didefinisikan sebagai kejadian, konsisi, situasi yang berpotensi untuk
membawa atau sebenarnya mengaktifkan reaksi fisik dan psikososial yang
bermakna. Sumber lain mengatakan bahwa stres adalah reaksi fisiologis tubuh
terhadap berbagai stimulus yang dapat menimbulkan perubahan. Berbagai situasi,
peristiwa, ataupun agen lain yang mengancam keamanan seseorang disebut
stresor. Stresor juga dapat didefinisikan sebagai stimulus yang menimbulkan
kebutuhan untuk beradaptasi, dan dapat berupa internal maupun eksternal
(DeLaune & Ladner, 2002).
Stres menstimulasi proses berpikir dan membantu seseorang tetap waspada
terhadap lingkungan. Bagaimana seorang individu bereaksi pada stres bergantung
pada bagaimana pandangan dan mengevalusi dampak stresor, efeknya pada
situasi dan dukungan pada saat stres, dan mekanisme koping. Stres menyediakan
stimulasi dan motivasi, sebagaimana juga menyebabkan ketidaknyamanan. Stres
yang membebani individu selama jangka waktu tertentu dapat menghantarkan
pada keadaan krisis (Potter & Perry, 2005).
Sumber-sumber stres (stresor) secara luas dapat diklasifikasikan menjadi
stresor internal dan eksternal, serta stresor perkembangan dan stresor situasional.
Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang sedangkan stresor eksternal
berasal dari luar individu. Stresor perkembangan terjadi pada waktu yang tidak
dapat diprediksi sepanjang kehidupan seseorang. Dalam tahap perkembangan,
tugas-tugas tertentu harus dicapai untuk mencegah atau menurunkan stres.
Sebagai contoh, stresor pada tingkat dewasa muda, antara lain adalah keinginan
untuk menikah, meninggalkan rumah, mengatur rumah, memulai suatu pekerjaan,
melanjutkan pendidikan, dan melahirkan anak. Stresor situasional tidak dapat
diprediksi dan dapat terjadi selama suatu waktu. Stresor ini meliputi pengaruh
4
kejadian hidup, seperti kematian keluarga, pernikahan atau perceraian, kelahiran
anak, pekerjaan baru, dan penyakit. Stresor situasional dapat positif atau negatif.
Tingkatan pada peristiwa tersebut memiliki efek positif atau negatif bergantung
pada beberapa tingkat pada tahap perkembangan individu. Sebagai contoh,
kematian orangtua dapat menjadi stres yang berlebihan untuk usia 12 tahun
dibandingkan pada usia 40 tahun (Kozier, 2004).
DeLaune & Ladner (2002) membagi sumber stres (stresor) dalam lima
jenis, yaitu fisiologis, psikologis, kognitif, lingkungan, dan sosial budaya. Contoh-
contoh dari stresor ini akan dituliskan pada tabel berikut:
Jenis Stresor Contoh
Fisiologis Pendewasaan (fase perpindahan dari
tingkat perkembangan tertentu ke
tingkatan lain)
Trauma
Penyakit
Gangguan tidur
Kelaparan
Ketidaknyamanan
Nyeri
Psikologis Khawatir
Rasa takut
Marah
Kognitif Pemikiran
Persepsi
Lingkungan Suhu (cuaca)
Polusi
Kepadatan
Tekanan waktu
Sosial budaya Kehilangan pekerjaan
Perubahan dalam relasi interpersonal
Konflik dengan orang lain
5
Setiap orang memiliki reaksi atau respon yang unik terhadap stres. Hal ini
pun dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Perawatan yang diberikan kepada
klien hendaknya dilakukan dengan menggunakan pertimbangan analisis tentang
respon tersebut. Dalam hal ini, perawat hendaknya mengkaji Ada beberapa
indikator-indikator stres dalam semua dimensi adaptasi yang perlu dikaji oleh
perawat. Pertama indikator fisiologis, indikator fisiologis ini lebih bersifat objektif
sehingga dapat dengan mudah diukur dan diamati. Namun demikian tidak semua
indikator ini dapat teramati, mengingat tiap individu memiliki indikator yang
berbeda. Beberapa macam indikator fisiologis stres adalah kenaikan tekanan
darah, detak jantung, sakit kepala, gangguan lambung, mual, perubahan nafsu
makan, gelisah, berkeringat, dan dilatasi pupil. Kedua indikator perkembangan,
indikator ini terkait bagaimana respon stres individu berkaitan dengan tahap
perkembangan kehiduapannya. Dari bayi hingga lansia akan memiliki respon
yang berbeda dalam menghadapi stresor, Ketiga indikator perilaku emosional,
pengkajian terhadap indikator ini dapat dilakukan dengan pengamatan perilaku
individu. Selain itu dapat juga dilakukan dengan mengamati gaya hidup dan
stresor klien, pengalaman dengan stresor yang lalu, mekanisme kopping
terdahulu, fungsi diri, dan mungkin konsep diri serta ketabahan. Berikut adalah
indikator perilaku emosional yang sering muncul, yaitu ansietas, depresi,
kehilangan harga diri, sulit berkonsentrasi, bahkan rentan terhadap kecelakaan
(Potter & Perry, 2005).
Keempat indikator intelektual, stres dapat mempengaruhi kemampuan
individu dalam menerima pengetahuan. Penilaian secara kognitif dan komunikasi
akan terhambat. Keseluruhan hal ini berujung pada ketergantungan individu pada
orang lain, Kelima indikator sosial, pengkajian terhadap stresor ini dapat
dilakukan dengan menganalisis tentang interaksi sosial yang ada, dan perbedaan
kultural yang ada. Keenam indikator spiritual, kepercayaan dapat digunakan untuk
mengadaptasi stres. Stres yang berat dapat mengakibatkan kemarahan kepada
Tuhan, atau muncul anggapan bahwa hal tersebut adalah sebagai hukuman (Potter
& Perry, 2005).
Respons terhadap stresor bergantung pada fungsi fisiologis, kepribadian,
dan karakteristik perilaku, seperti juga halnya sifat dari stresor tersebut. Sifat dari
6
stresor mencakup beberapa faktor, yakni intensitas, cakupan, durasi, jumlah dan
sifat dari stresor. Setiap faktor tersebut dapat mempengaruhi respons terhadap
stresor. Seseorang dapat saja menganggap intensitas atau besarnya stresor sebagai
minimal, sedang, atau berat. Makin besar stresor, makin besar respons stres yang
ditimbulkan. Sama halnya, cakupan dari stresor dapat digambarkan sebagai
terbatas, sedang, atau luas. Semakin besar cakupan stresor, semakin besar pula
respons klien yang ditujukan terhadap stresor tersebut (Lazarus & Folkman, 1984
dalam Potter & Perry, 2005)
Sifatnya stres dikategorikan menjadi dua jenis yaitu eustres dan distres.
Pertama yaitu Eustres, eustres merupakan hasil dari respon terhadap stres yang
bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut
termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan
pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang
tinggi (Clinton & Nelson, 1996). Misalnya merasa tertantang, siap dan
bersemangat untuk menerima dan menyelesaikan tugas yang akan dihadapi.
Memiliki komitmen yang lebih terhadap apa yang disayangi, misalnya:
pernikahan, menjadi seorang ayah/ibu, menjadi pekerja, atau menjadi pegawai
negeri. Selanjutnya, menghadapi sesuatu dengan penuh harapan untuk melawan
rasa takut dalam diri. Rasa takut dalam diri tersebut bisa menjadi stresor, namun
stresor ini menimbulkan respon positif berupa rasa optimisme.
Jenis stres yang kedua yaitu distres. Distres merupakan hasil dari respon
terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak)
dan menjadi masalah bagi individu. Hal tersebut termasuk konsekuensi individu
dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran
(absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan,
dan kematian (Clinton & Nelson, 1996). Contoh distres misalnya menghadapi
segala sesuatu dengan perasan takut, resah, gelisah dan khawatir, merasa tidak
memegang kendali dan selalu merasa panik seakan-akan tidak ada jalan keluar
untuk menyelesaikan tugas, merasa tidak ada selesainya, dan merasa tidak ada
yang membantu menyelesaikannya. Contoh yang lain, yaitu merasa lebih baik
bekerja daripada berhenti atau istirahat sejenak saat jam kerja serta memiliki tidur
yang tidak lelap, tidur yang resah, sering sakit maag, sakit punggung dan
7
mempunyai sakit yang sifatnya menahun. Stresor-stresor seperti diatas yaitu
tuntutan mengerjakan tugas, pekerjaan, atau mengambil suatu keputusan
mengakibatkan individu berespon negatif sehingga melakukan hal hal yang justru
berakibat buruk bagi dirinya sendiri (Rice, 2000).
Dampak stres juga dapat mempengaruhi psikologis individu di setiap
tingkatan pertumbuhan dan perkembangan. Secara umum, dampak yang akan
ditimbulkan berupa adanya perasaan lelah hingga sudah merasa tak mampu lagi
akibat besarnya stresor, adanya perasaan kesepian dan tidak berdaya, frustasi,
penarikan diri dari sosial serta perbedaan perilaku dibanding individu lainnya
dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang sama. Pada masa dewasa akhir
sampai masa lansia, stresor yang cenderung menjadi penyebab utama stres adalah
penurunan kesehatan yang dialaminya yang memicu adanya persepsi penurunan di
segala aspek kehidupan, adanya persepsi sebagai beban bagi keluarga maupun
lingkungan, dan lain-lain (Potter & Perry, 2005). Dampaknya bagi psikologis
adalah adanya perasaan penolakan interaksi dengan sesama, adanya isolasi diri,
perasaan tidakberdaya, perasaan kesepian, frustasi, yang kemudian menyebabkan
individu dewasa akhir merasa sangat berat atau tidak bahagia untuk menjalani
kehidupannya (Sundeen & Stuart, 1998).
B. Konsep Koping Pada Lansia
Koping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan
merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau
eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki
individu (Mu’tadin, 2002). Koping adalah suatu proses dari seseorang yang
digunakan untuk mengatur peristiwa atau menghadapi, merasakan dan
menginterpretasi suatu stress (Craven & Hirnle, 2000). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa koping adalah suatu tindakan seseorang untuk mengatasi stres yang
dialaminya. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 1999) terdapat dua tipe
strategi koping, yaitu problem focused coping and emotion focused coping.
Problem focused coping merupakan upaya untuk meningkatkan atau memperbaiki
situasi dengan membuat pilihan atau mengambil tindakan. Koping ini digunakan
untuk mengatasi stressor dengan mempelajari ketrampilan yang diperlukan.
8
Contohnya adalah menerima, mencari dukungan, dan merencanakan. Emotion
focused coping adalah mencakup gagasan atau pikiran dan tindakan yang
meredakan penyebab emosional. Emotion focused coping tidak dapat
memperbaiki situasi, hanya dapat membuat keadaan orang menjadi lebih baik
(Kozier, 2004).
Menurut Taylor (1999), strategi koping yang berfokus pada pengaturan
emosi, yaitu kontrol diri dan membuat jarak. Kontrol diri, yaitu usaha individu
untuk menguasai diri dengan mengontrol tindakan sampai ada kesempatan.
Individu akan cenderung mengontrol perilaku untuk mengubah kondisi atau
situasi yang tidak menyenangkan. Membuat jarak, yaitu usaha individu untuk
menghindari atau menyingkirkan masalah dengan melakukan aktifitas yang lain.
Individu mencari kesibukan lain untuk mengurangi pikiran yang kacau sehingga
terhindar dari rasa kecewa terhadap diri sendiri.
Strategi koping juga dapat dilihat dari aspek long term dan short term.
Long term dapat menjadi konstruktif dan realistik. Contohnya adalah seseorang
yang berbicara atau menceritakan masalahnya kepada orang lain untuk
menemukan banyak hal tentang situasinya dalam rentang yang lama. Contoh dari
strategi long term yang lain, yaitu mencakup sesuatu yang merupakan pilihan dari
pola gaya hidup seperti memakan makanan yang sehat yang bertujuan untuk
program diet, berolah raga teratur, menyeimbangkan waktu senggang dengan
kerja atau menggunakan pemecahan masalah dalam membuat keputusan sebagai
arena kemarahan atau respon konstruktif lainnya. Short term hanya
menyelesaikan atau mengatasi suatu stres dalam waktu singkat sehingga hasilnya
tidak sesuai dengan yang kita harapkan dan dapat menjadi suatu hal yang negatif
karena menggunakan metode yang salah untuk mengatasi stres seperti kebiasaan
minum alkohol atau konsumsi narkoba, melamun, mengkhayal, memberikan aksi
protes kepada orang lain sebagai tanda menghindari kemarahan (Kozier, 2004).
Koping pada individu tidak selamanya berjalan mulus atau mencapai hasil
yang diharapkan dan terkadang terdapat strategi koping yang tidak efektif.
Beberapa karakteristik koping yang tidak efektif, diantaranya adalah menyatakan
tidak mampu, tidak mampu menyelesaikan masalah secara efektif, perasaan
9
marah, takut, tegang, cemas, dan gangguan psikologis, serta tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar dan perilaku merusak.
Mekanisme koping merupakan suatu cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap
situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Bila mekanisme ini berhasil dilakukan
maka individu bisa beradaptasi dengan normal dan tidak terjadi gangguan
kesehatan, psikologis, maupun prilaku. Mekanisme koping yang disertai dengan
respon emosi ditandai adanya mengingkari, yaitu suatu tindakan yang
mengingkari terhadap suatu hal, penerimaan diri, yaitu situasi yang penuh tekanan
sehingga keadaan ini memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut, religius,
yaitu sikap individu dalam menyelesaikan masalahnya dengan mendekatkan diri
secara keagamaan.
Menurut Stuart dan Sunden (2005), mekanisme koping dibagi menjadi
dua, yaitu mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping tidak adaptif.
Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi
integrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Contohnya berbicara
dengan orang lain untuk memecahkan masalah secara efektif, membuat berbagai
tindakan dalam menangani situasi dan belajar dari pengalaman masa lalu.
Mekanisme koping maladaptif yaitu mekanisme koping yang menghambat fungsi
integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung
menguasai lingkungan. Contohnya menyangkal, menangis, teriak, memukul,
mencerca.
C. Konsep Risiko Bunuh Diri, Koping Individu Tidak Efektif, dan Harga
Diri Rendah
- Koping Individu Tidak Efektif
Koping individu tidak efektif didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk
membentuk penilaian valid tentang stressor, ketidakadekuatan pilihan respons
yang dilakukan, dan/atau ketidakmampuan untuk menggunakan sumber daya
yang tersedia. Batasan karakteristik dari koping individu tidak efektif antara lain
adalah penyalahgunaan agens kimia, perubahan dalam pola komunikasi yang
biasa, penurunan penggunaan dukungan social, perilaku destruktif terhadap orang
10
lain dan diri sendiri, serta kesulitan mengorganisasi informasi. Karakteristik yang
lain, yaitu merasa letih, tidak mampu memperhatikan informasi, memenuhi
kebutuhan dasar serta harapan peran, pemecahan masalah yang tidak adekuat,
serta kurangnya perilaku yang berfokus pada pencapaian tujuan. Selain itu
karakteristik yang menunjukkan tidak efektifnya koping individu diantaranya
adalah konsentrasi yang buruk, mengalami gangguan tidur, menggunakan bentuk
koping yang mengganggu perilaku adaptif serta mengungkapkan
ketidakmampuan meminta bantuan dan mengatasi masalah (NANDA, 2011).
- Risiko Bunuh Diri
Risiko bunuh diri dapat diartikan sebagai resiko individu untuk menyakiti
diri sendiri, mencederai diri, serta mengancam jiwa. Ada beberapa faktor risiko
dari risiko bunuh diri. Pertama, perilaku yang menunjukkan risiko bunuh diri
diantaranya membeli senjata, mengubah surat warisan, memberikan harta
milik/kepemilikan, dan riwayat upaya bunuh diri sebelumnya. Perilaku yang lain,
yaitu impulsif, membuat surat warisan, perubahan sikap yang nyata, membeli obat
dalam jumlah banyak, serta pemulihan euforik yang tiba-tiba dari depresi mayor.
Kedua, faktor demografi yang menjadi faktor risiko bunuh diri, yaitu usia
(misalnya lansia), perceraian, jenis kelamin pria, ras (misalnya orang kulit putih,
suku asli Amerika) serta status janda/duda.
Ketiga, faktor fisik yang dapat menjadi risiko bunuh diri diantaranya adalah
nyeri kronis, penyakit fisik serta penyakit terminal. Keempat, faktor psikologis
yang menjadi risiko bunuh diri, yaitu penganiayaan masa kanak-kanak, riwayat
bunuh diri dalam keluarga, rasa bersalah, gangguan psikiatrik, penyakit psikiatrik,
serta penyalahgunaan zat. Kelima, faktor situasional sebagai risiko bunuh diri
diantaranya karena ketidakstabilan ekonomi, institusional, tinggal sendiri,
kehilangan otonomi dan kebebasan, adanya senjata di dalam rumah,
relokasi/pindah rumah, serta pensiun. Keenam, faktor sosial sebagai risiko bunuh
diri diantanya karena gangguan kehidupan keluarga, berduka, tidak berdaya, putus
asa, kesepian, kehilangan hubungan yang penting, sistem dukungan yang buruk,
dan isolasi sosial. Terakhir, faktor verbal yang menunjukkan risiko bunuh diri,
yaitu menyatakan keinginan untuk mati serta mengancam bunuh diri (NANDA,
2011).
11
Jumlah angka fenomena bunuh diri pada lanjut usia telah meningkat
sampai dengan 25% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Angka tertinggi dari
kasus bunuh diri pada lansia dapat dilihat pada kelompok lanjut usia dalam
rentang usia 75-85 tahun (Stuart, 1998, Lueckenotte, 2000). Adapun perilaku
bunuh diri pada lansia dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori. Kategori yang
pertama yaitu ancaman bunuh diri. Kemudian kategori selanjutnya adalah upaya
atau percobaan bunuh diri, serta yang terakhir adalah bunuh diri. Faktor risiko
yang dapat memicu tindakan bunuh diri pada lansia (Bartels, et. al., 2002; Turvey,
et. al., 2002; Waern, et. al., 2002 dalam Ebersole 2005), yaitu keterbatasan
dukungan social, kontrol impuls yang buruk, kualitas tidur yang buruk, rasa
keputusasaan yang teramat kuat. Faktor risiko yang lain, yaitu tidak lagi
mempunyai alasan untuk hidup, tidak patuh terhadap pengobatan medis,
mempunyai penyakit kronik atau terminal, serta mengalami gangguan fungsional
dan depresi yang berat.
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengkaji risio bunuh diri
pada lansia diantaranya adalah menanyakan mengenai hal yang dirasakan sangat
berat di dalam hidup lansia belakangan ini, ada atau tidaknya hal atau
permasalahan yang dirasa sangat buruk dan membuat lansia tersebut berpikir
untuk lari atau menghilang dari hal itu. Pertanyaan lain dalam mengkaji risiko
bunuh diri pada lansia, yaitu ada atau tidaknya pikiran lansia bahwa kematian
seolah-olah menjadi pilihan yang menarik bagi lansia dan pernah atau tidaknya
lansia berpikir untuk menyakiti dirinya sendiri. Jika lansia tersebut didapatkan
pernah menyakiti dirinya sendiri atau mencoba untuk membunuh dirinya sendiri,
maka pertanyaan mengenai cara lansia tersebut untuk menyakiti atau mencoba
membunuh dirinya sendiri harus ditanyakan. Selain itu juga ditanyakan
keberadaan benda-benda atau suatu hal yang berpotensial dijadikan sebagai alat
untuk melakukan rencana mengakhiri hidup ataupun menyakiti diri sendiri
(Lueckenotte, 2000).
Manajemen yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mencegah terjadinya
risiko bunuh diri pada lansia, yaitu dengan cara melakukan modifikasi
lingkungan, modifikasi perilaku dan intervensi farmakologi. Modifikasi
lingkungan termasuk di dalamnya adalah melakukan hospitalisasi, penggunaan
12
restrain pada individu, serta melakukan pengecekan dan pembersihan lingkungan
terhadap benda-benda yang dianggap berpotensi untuk dapat dijadikan alat untuk
melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu medikasi perilaku dan terapi
farmakologi juga dapat dilakukan seperti melakukan self-management tehcnique,
yaitu melakukan teknik relaksasi guna mengurangi stresor ataupun mengkonsumsi
obat-obatan psikotropik seperti tranquilizers dan benzodiazepin yang bersifat
sedatif dan menenangkan (Matteson, 1998).
- Harga Diri Rendah
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri/perasaan negatif tentang diri
sendiri atau kecakapan diri yang berlangsung lama. Adapun batasan karakteristik
dari harga diri rendah antara lain adalah tergantung pada pendapat orang lain,
evaluasi diri bahwa individu tidak mampu menghadapi peristiwa, serta melebih-
lebihkan umpan balik negatif tentang diri sendiri. Karakteristik yang lain, yaitu
menunjukkan ekspresi rasa bersalah dan rasa malu, seringkali kurang berhasil
dalam peristiwa hidup, serta enggan mencoba situasi dan hal baru. Selain itu
karakteristik yang juga dapat menunjukkan harga diri rendah diantaranya adalah
bimbang, kontak mata kurang, perilaku tidak asertif, seringkali mencari
penegasan, pasif, dan menolak umpan balik positif tentang diri sendiri (NANDA,
2011).
13
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
KASUS 5:
Kakek K (65 tahun) tinggal di panti baru 2 bulan, datang diantarkan satpol PP.
Kakek K terlihat sangat tidak bersemangat dan selalu menyatakan hidupnya sudah
tidak berharga lagi, seluruh keluarganya tidak ada lagi yang peduli padanya.
Kakek K pernah mencoba untuk minum obat darah tinggi yang diberikan perawat
melebihi dosis yang dianjurkan dengan alasan agar cepat mati.
ANALISA KASUS:
Kondisi Kakek K yang terlihat sangat tidak bersemangat dan selalu
menyatakan hidupnya sudah tidak berharga lagi menunjukkan kondisi depresi
pada Kakek K. Kondisi depresi yang dialami oleh Kakek K erat kaitannya dengan
gangguan psikososial lain seperti ketidakberdayaan, keputusasaan, harga diri
rendah dan koping individu tidak efektif (Piven and Buckwalter, 2001; Carpenito,
2002,. dalam Ebersole, 2005).
Depresi yang dialami oleh Kakek K dapat bermula dari suatu stressor yang
memicu terjadinya kondisi tersebut. Pada kasus di atas, disebutkan bahwa Kakek
K beranggapan bahwa seluruh keluarganya tidak ada lagi yang peduli padanya.
Hal ini dapat menyebabkan Kakek K mengalami gangguan harga diri rendah.
Gangguan harga diri rendah tidak akan berujung pada suatu kondisi yang lebih
buruk apabila Kakek K memiliki koping yang baik dalam menghadapi masalah
ini. Namun, Kakek K tidak memiliki koping yang baik sehingga dapat dikatakan
Kakek K mengalami gangguan koping individu tidak efektif.
Data yang terdapat pada kasus menyatakan bahwa Kakek K pernah
mencoba untuk minum obat darah tinggi yang diberikan perawat melebihi dosis
yang dianjurkan dengan alasan agar cepat mati. Memang, Kakek K tidak secara
eksplisit menyatakan bahwa dirinya sedang melakukan percobaan bunuh diri.
Namun, menurut Nanda (2009-2011), membeli obat dalam jumlah banyak (dalam
hal ini membeli dapat disetarakan dengan mengkonsumsi) dapat dikategorikan
sebagai faktor resiko terjadinya bunuh diri jika ditinjau dari segi perilaku. Ditinjau
14
dari segi demografi, usia lansia merupakan usia yang rentan untuk terjadi kasus
bunuh diri. Ditinjau dari segi sosial, putus asa, kesepian dan sistem dukungan
yang buruk dapat menjadi faktor resiko bunuh diri. Hal ini diperkuat oleh data
subjektif: Kakek K mengatakan “seluruh keluarganya tidak ada lagi yang peduli
padanya”. Selain itu, ditinjau dari segi situasional, tinggal sendirian juga
merupakan salah satu faktor resiko perilaku bunuh diri.
Namun, dari semua yang telah disebutkan di atas, faktor resiko yang
memperkuat diagnosa resiko bunuh diri yang terjadi pada Kakek K ditandai
dengan pernyataan verbal yang diucapkan secara eksplisit oleh Kakek K bahwa
Kakek K mengkonsumsi obat secara berlebihan agar cepat mati (Nanda, 2009-
2011). Selain itu, seperti yang telah disebutkan dalam Ebersole (2005), bunuh diri
adalah konsekuensi fungsional paling serius dari kondisi depresi pada kehidupan
akhir manusia.
PENGKAJIAN
Setelah melakukan pengkajian pada Kakek K yang berada di panti pada hari
Senin, 17 September 2012 maka di dapatkan data-data berikut dari klien:
a) DATA UMUM
Nama KK : Kakek K
Umur : 65 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Buruh serabutan
Alamat : Jl. Sawo No.10 RT 10/RW 06
Daftar anggota keluarga :
15
No Nama
Hub
unga
n
deng
an K
K
Umur L/P
Sta
tus
Per
kaw
inan
Pen
didi
kan
Pek
erja
an
Ket
eran
gan
Imun
isas
i
1.
2.
3.
4.
Kakek K
Nenek A
Tn. B
Ny. C
KK
Istri
Anak
Anak
65 th
60 th
40 th
37 th
L
P
L
P
K
K
K
K
SMP
SMP
SMP
SMP
Buruh
IRT
-
-
-
-
-
-
Genogram
Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Sudah meninggal
: Anak kandung (tidak diketahui keberadaannya)
Tipe Keluarga
Tipe keluarga Kakek K adalah single parent family.
Budaya
a. Suku bangsa : Jawa
b. Bahasa yang digunakan
Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia.
16
c. Kebiasaan budaya yang berhubungan dengan masalah kesehatan
Budaya jawa biasanya memiliki perilaku untuk memendam apa yang
dirasa. Hal ini tampak dari Kakek K yang kurang mengekspresikan hal-hal
yang dirasakanya.
Kegiatan rutin keagamaan di rumah
Kakek K mengatakan bahwa sudah sejak lama ia hanya tinggal berdua dengan
istrinya. Kedua anaknya pergi dan tidak diketahui keberadaannya sampai saat
ini. 1 tahun lalu istrinya meninggal karena sakit dan klien tinggal sendiri di
gubuk kecilnya. Sehari-hari klien mengatakan mengerjakan pekerjaan
serabutan untuk dapat makan.
Status sosial ekonomi keluarga
a. Pekerjaan anggota keluarga
Sebelum masuk panti, Kakek K bekerja serabutan dengan penghasilan
tidak menentu.
b. Penghasilan anggota keluarga
Rata-rata penghasilan Kakek K perhari adalah sebesar Rp20.000,00/ hari
c. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari
Pemenuhan kebutuhan sehari-hari berasal dari penghasilan sehari-hari.
Jika tidak dapat pekerjaan, ia mengaku tidak makan dan bergantung pada
pemberian tetangga.
d. Tabungan/ Asuransi
Kakek K mengaku tidak memiliki tabungan ataupun asuransi
Kebutuhan rekreasi
Tn.K tidak pernah kemana-mana.
b) STRES DAN KOPING INDIVIDU
Stressor jangka pendek
Saat ini Kakek masih sangat berduka atas meninggalnya istrinya Nenek A.
Kakek K juga merasa tidak nyaman berada di panti karena ia merasa tidak
berdaya dan seperti tidak berguna.
Kemampuan keluarga berespon terhadap stressor
17
Tidak ada keluarga yang berada di sekitar Kakek K, sehingga ia merasa
kesepian dan tidak berdaya
Strategi koping yang digunakan
Kakek K pernah mencoba meminum obat lebih dari pada dosisnya dengan
alasan untuk membuatnya tenang. Kakek K juga terkadang suka memukul-
mukul kepalanya jika ia merasa sudah sangat tidak berdaya dan pusing
akan permasalahan hidupnya.
c) HASIL PEMERIKSAAN FISIK TN.K TANGGAL 17 SEPTEMBER
No. Pemeriksaan Tn.B
1. Kepala
Rambut
Konjungtiva Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Beruban, tidak rontok
Tidak anemis
Simetris, tidak ada polip
Agak kotor dibagian dalam, ada
penumpukan serumen
Ada beberapa gigi yang tanggal
Baik, tidak ada hal yang aneh
2. Dada
Bentuk
Paru
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Jantung
Simetris
Gerakan dada cepat
Terdengar ronki
Redup
Fremitus (+)
Suara S1 dan S2
3. Abdomen
Bentuk
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Datar
Terdapat gerakan nafas
Peristaltik 10-20 kali/menit
Sonor
18
Palpasi Tidak ada nyeri tekan
4. Ekstremitas atas dan
bawah
Tidak ada keterbatasan gerak, ROM
maksimal
5. Tanda-tanda vital
TD
Suhu
Nadi
Pernapasan
TB
BB
150/90 mmHg
36,5oC
90 kali/menit
23 kali/menit
172 cm
63 kg
d) DATA SUBJEKTIF DARI HASIL WAWANCARA KLIEN
Klien mengaku merasa tidak berguna dan ingin segera menyusul istrinya
Klien mengaku bahwa ia pernah melakukan usaha bunuh diri dengan
mengkonsumsi obat darah tinggi yang diberikan petugas panti dengan
dosis lebih dari yang diharuskan
Klien mengatakan bahwa anaknya sudah tidak mempedulikan dia dan
istrinya
Klien mengatakan ia sedih karena sekarang ia hidup sebatang kara dan
tidak ada istrinya
Klien merasa bahwa untuk apa hidup jika sudah tidak ada orang yang
menginginkannya (seperti anak-anaknya)
ANALISA DATA
Data yang DiperolehData yang Perlu
Ditambahkan
Masalah
Keperawatan
DO:
Tampak tidak
bersemangat
Kakek K
mencoba minum
obat darah tinggi
Data umum
mengenai keluarga
Kakek K (silsilah
keluarga,
keberadaan
keluarga termasuk
PERCOBAAN
BUNUH DIRI
19
melebihi dosis
DS:
Kakek K
menyatakan
hidupnya sudah
tidak berharga
Kakek K
menyatakan bahwa
ia ingin cepat mati
di dalamnya istri,
anak-anak dan
sanak saudara,
pekerjaan yang
pernah dilakukan
sebelum masuk
panti, jumlah anak,
dll.)
Alasan Kakek K
datang ke panti
Perasaan Kakek K
saat ini
Permasalahan yang
dirasa berat dan
mengganggu
Kakek K
Koping Kakek K
ketika menghadapi
masalah
Inspeksi
lingkungan tempat
Kakek K berada
(apakah banyak
benda yang
berpotensi untuk
dijadikan alat
untuk melakukan
percobaan bunuh
diri atau tidak)
Berapa kali Kakek
K melakukan
percobaan bunuh
20
diri
Cara-cara apa saja
yang telah
dipikirkan Kakek
K untuk
melakukan
percobaan bunuh
diri
DO:
Kakek K baru
tinggal di panti
selama 2 bulan
Kakek K diantar
Satpol PP ke
panti
DS:
Kakek K
menyatakan bahwa
seluruh
keluarganya tidak
ada yang
memperdulikannya
lagi
Pernyataan Kakek
K mengenai
perasaan
kehilangan
Pernyataan Kakek
K mengenai
dukacita yang
dialami
Keberadaan
keluarga Kakek K
(anak, istri, sanak
saudara, cucu, dll.)
Peran Kakek K
dalam keluarga
Orang terdekat
bagi Kakek K
KOPING
INDIVIDU TIDAK
EFEKTIF
POHON MASALAH
21
Percobaan Bunuh Diri
DIAGNOSA
a. Percobaan Bunuh Diri
b. Koping Individu inefektif
c. Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
22
Gg. Konsep diri : Harga diri rendah
Koping individu inefektif
Penolakan/ Duka disfungsional/kehilangan