bab i , ii, iii

34
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan dalam daur kehidupan manusia (Keliat, 1999, Napitupulu, 2011). Lansia juga merupakan tahap usia tertinggi dalam pertumbuhan dan perkembangan individu yang melalui berbagai proses penuaan, baik biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Dalam tahap ini, seorang lansia rentan terhadap masalah kesehatan mental. Salah satu permasalahan mental yang sering terjadi di kelompok lanjut usia ini adalah fenomena bunuh diri. Jumlah angka fenomena bunuh diri pada lanjut usia telah meningkat sampai dengan 25% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Angka tertinggi dari kasus bunuh diri pada lansia dapat dilihat pada kelompok lanjut usia dalam rentang usia 75-85 tahun (Stuart, 1998, Lueckenotte, 2000). Bunuh diri sendiri merupakan suatu tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan yang merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang mal adaptif. Bunuh diri pada lansia adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorang 1

Upload: septiana-wulandari

Post on 09-Aug-2015

83 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I , II, III

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan dalam daur

kehidupan manusia (Keliat, 1999, Napitupulu, 2011). Lansia juga merupakan

tahap usia tertinggi dalam pertumbuhan dan perkembangan individu yang

melalui berbagai proses penuaan, baik biologis, psikologis, sosial, dan

spiritual. Dalam tahap ini, seorang lansia rentan terhadap masalah kesehatan

mental. Salah satu permasalahan mental yang sering terjadi di kelompok

lanjut usia ini adalah fenomena bunuh diri.

Jumlah angka fenomena bunuh diri pada lanjut usia telah meningkat

sampai dengan 25% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Angka tertinggi

dari kasus bunuh diri pada lansia dapat dilihat pada kelompok lanjut usia

dalam rentang usia 75-85 tahun (Stuart, 1998, Lueckenotte, 2000). Bunuh diri

sendiri merupakan suatu tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat

mengakhiri kehidupan yang merupakan keadaan darurat psikiatri karena

individu berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping

yang mal adaptif. Bunuh diri pada lansia adalah perbuatan yang dilakukan

oleh seorang lanjut usia untuk memusnahkan diri karena enggan berhadapan

dengan sesuatu perkara yang di anggap tidak dapat ditangani.

Banyak hal yang mempengaruhi lansia mengalami masalah kesehatan

mental bunuh diri ini. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah

konsep stres dan koping yang dimiliki oleh lansia itu sendiri. Stres merupakan

suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima

sebagai suatu hal yang menantang, mengacam, atau merusak terhadap

keseimbangan atau ekuilibrium dinamis seseorang. Adanya sedikit perubahan

baik pada lingkungan, fisik, maupun psikologis mampu memicu stres pada

lansia. Sedangkan koping adalah suatu proses dari seseorang yang digunakan

untuk mengatur peristiwa atau menghadapi, merasakan dan menginterpretasi

suatu stress (Craven & Hirnle, 2000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa

1

Page 2: BAB I , II, III

koping adalah suatu tindakan seseorang untuk mengatasi stres yang

dialaminya.

Lansia yang memiliki koping diri yang baik tidak akan mudah

mengalami stres. Sebaliknya, jika seorang lansia tidak memiliki koping yang

baik maka, stres pada lansia tidak dapat pula terhindarkan. Stres yang

berkepanjangan dengan koping diri yang negatif pada seorang lansia

meningkatkan angka kejadian bunuh diri. Untuk itu, penting bagi seorang

perawat untuk mengetahui konsep-konsep stres dan koping serta masalah

kesehatan mental pada lansia, guna meningkatkan kesejahteraan diri lansia itu

sendiri. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai konsep koping dan stres

pada lansia, serta masalah kesehatan mental pada lansia khususnya mengenai

perilaku bunuh diri.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep stres pada lansia?

2. Bagaimana konsep koping pada lansia?

3. Bagaimana konsep masalah kesehatan mental pada lansia?

4. Bagaimana konsep risiko bunuh diri pada lansia?

5. Bagaimana asuhan keperawatan bagi lansia dengan masalah kesehatan

mental risiko bunuh diri?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Konsep stres pada lansia

2. Konsep koping lansia

3. Konsep masalah kesehatan mental pada lansia

4. Konsep risiko bunuh diri pada lansia

5. Asuhan keperawatan yang tepat bagi lansia dengan masalah kesehatan

mental risiko bunuh diri

2

Page 3: BAB I , II, III

D. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah dengan

menggunakan studi literatur dan pengumpulan sumber dari website.

E. Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari empat bab. Bab pertama adalah pendahuluan,

terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode

penulisan, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan pustaka di

mana terdapat teori-terori terkait konsep stres dan koping pada lansia, konsep

masalah kesehatan mental lansia, konsep risiko bunuh diri pada lansia, serta

asuhan keperawatan bagi lansia dengan risiko bunuh diri. Kemudian, dalam

bab tiga merupakan pembahasan, dimana dalam bab ini akan berisi mengenai

analisa kasus dan asuhan keperawatan yang sesuai dengan permasalahan yang

ada pada kasus. Terakhir, adalah bab empat, yaitu bab penutup yang berisi

kesimpulan dan saran.

3

Page 4: BAB I , II, III

BAB II

KONSEP STRES DAN KOPING PADA LANSIA

A. Konsep Stres Pada Lansia

Stres merupakan suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan

lingkungan yang diterima sebagai suatu hal yang menantang, mengacam, atau

merusak terhadap keseimbangan atau ekuilibrium dinamis seseorang. Stresor

dapat didefinisikan sebagai kejadian, konsisi, situasi yang berpotensi untuk

membawa atau sebenarnya mengaktifkan reaksi fisik dan psikososial yang

bermakna. Sumber lain mengatakan bahwa stres adalah reaksi fisiologis tubuh

terhadap berbagai stimulus yang dapat menimbulkan perubahan. Berbagai situasi,

peristiwa, ataupun agen lain yang mengancam keamanan seseorang disebut

stresor. Stresor juga dapat didefinisikan sebagai stimulus yang menimbulkan

kebutuhan untuk beradaptasi, dan dapat berupa internal maupun eksternal

(DeLaune & Ladner, 2002).

Stres menstimulasi proses berpikir dan membantu seseorang tetap waspada

terhadap lingkungan. Bagaimana seorang individu bereaksi pada stres bergantung

pada bagaimana pandangan dan mengevalusi dampak stresor, efeknya pada

situasi dan dukungan pada saat stres, dan mekanisme koping. Stres menyediakan

stimulasi dan motivasi, sebagaimana juga menyebabkan ketidaknyamanan. Stres

yang membebani individu selama jangka waktu tertentu dapat menghantarkan

pada keadaan krisis (Potter & Perry, 2005).

Sumber-sumber stres (stresor) secara luas dapat diklasifikasikan menjadi

stresor internal dan eksternal, serta stresor perkembangan dan stresor situasional.

Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang sedangkan stresor eksternal

berasal dari luar individu. Stresor perkembangan terjadi pada waktu yang tidak

dapat diprediksi sepanjang kehidupan seseorang. Dalam tahap perkembangan,

tugas-tugas tertentu harus dicapai untuk mencegah atau menurunkan stres.

Sebagai contoh, stresor pada tingkat dewasa muda, antara lain adalah keinginan

untuk menikah, meninggalkan rumah, mengatur rumah, memulai suatu pekerjaan,

melanjutkan pendidikan, dan melahirkan anak. Stresor situasional tidak dapat

diprediksi dan dapat terjadi selama suatu waktu. Stresor ini meliputi pengaruh

4

Page 5: BAB I , II, III

kejadian hidup, seperti kematian keluarga, pernikahan atau perceraian, kelahiran

anak, pekerjaan baru, dan penyakit. Stresor situasional dapat positif atau negatif.

Tingkatan pada peristiwa tersebut memiliki efek positif atau negatif bergantung

pada beberapa tingkat pada tahap perkembangan individu. Sebagai contoh,

kematian orangtua dapat menjadi stres yang berlebihan untuk usia 12 tahun

dibandingkan pada usia 40 tahun (Kozier, 2004).

DeLaune & Ladner (2002) membagi sumber stres (stresor) dalam lima

jenis, yaitu fisiologis, psikologis, kognitif, lingkungan, dan sosial budaya. Contoh-

contoh dari stresor ini akan dituliskan pada tabel berikut:

Jenis Stresor Contoh

Fisiologis Pendewasaan (fase perpindahan dari

tingkat perkembangan tertentu ke

tingkatan lain)

Trauma

Penyakit

Gangguan tidur

Kelaparan

Ketidaknyamanan

Nyeri

Psikologis Khawatir

Rasa takut

Marah

Kognitif Pemikiran

Persepsi

Lingkungan Suhu (cuaca)

Polusi

Kepadatan

Tekanan waktu

Sosial budaya Kehilangan pekerjaan

Perubahan dalam relasi interpersonal

Konflik dengan orang lain

5

Page 6: BAB I , II, III

Setiap orang memiliki reaksi atau respon yang unik terhadap stres. Hal ini

pun dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Perawatan yang diberikan kepada

klien hendaknya dilakukan dengan menggunakan pertimbangan analisis tentang

respon tersebut. Dalam hal ini, perawat hendaknya mengkaji Ada beberapa

indikator-indikator stres dalam semua dimensi adaptasi yang perlu dikaji oleh

perawat. Pertama indikator fisiologis, indikator fisiologis ini lebih bersifat objektif

sehingga dapat dengan mudah diukur dan diamati. Namun demikian tidak semua

indikator ini dapat teramati, mengingat tiap individu memiliki indikator yang

berbeda. Beberapa macam indikator fisiologis stres adalah kenaikan tekanan

darah, detak jantung, sakit kepala, gangguan lambung, mual, perubahan nafsu

makan, gelisah, berkeringat, dan dilatasi pupil. Kedua indikator perkembangan,

indikator ini terkait bagaimana respon stres individu berkaitan dengan tahap

perkembangan kehiduapannya. Dari bayi hingga lansia akan memiliki respon

yang berbeda dalam menghadapi stresor, Ketiga indikator perilaku emosional,

pengkajian terhadap indikator ini dapat dilakukan dengan pengamatan perilaku

individu. Selain itu dapat juga dilakukan dengan mengamati gaya hidup dan

stresor klien, pengalaman dengan stresor yang lalu, mekanisme kopping

terdahulu, fungsi diri, dan mungkin konsep diri serta ketabahan. Berikut adalah

indikator perilaku emosional yang sering muncul, yaitu ansietas, depresi,

kehilangan harga diri, sulit berkonsentrasi, bahkan rentan terhadap kecelakaan

(Potter & Perry, 2005).

Keempat indikator intelektual, stres dapat mempengaruhi kemampuan

individu dalam menerima pengetahuan. Penilaian secara kognitif dan komunikasi

akan terhambat. Keseluruhan hal ini berujung pada ketergantungan individu pada

orang lain, Kelima indikator sosial, pengkajian terhadap stresor ini dapat

dilakukan dengan menganalisis tentang interaksi sosial yang ada, dan perbedaan

kultural yang ada. Keenam indikator spiritual, kepercayaan dapat digunakan untuk

mengadaptasi stres. Stres yang berat dapat mengakibatkan kemarahan kepada

Tuhan, atau muncul anggapan bahwa hal tersebut adalah sebagai hukuman (Potter

& Perry, 2005).

Respons terhadap stresor bergantung pada fungsi fisiologis, kepribadian,

dan karakteristik perilaku, seperti juga halnya sifat dari stresor tersebut. Sifat dari

6

Page 7: BAB I , II, III

stresor mencakup beberapa faktor, yakni intensitas, cakupan, durasi, jumlah dan

sifat dari stresor. Setiap faktor tersebut dapat mempengaruhi respons terhadap

stresor. Seseorang dapat saja menganggap intensitas atau besarnya stresor sebagai

minimal, sedang, atau berat. Makin besar stresor, makin besar respons stres yang

ditimbulkan. Sama halnya, cakupan dari stresor dapat digambarkan sebagai

terbatas, sedang, atau luas. Semakin besar cakupan stresor, semakin besar pula

respons klien yang ditujukan terhadap stresor tersebut (Lazarus & Folkman, 1984

dalam Potter & Perry, 2005)

Sifatnya stres dikategorikan menjadi dua jenis yaitu eustres dan distres.

Pertama yaitu Eustres, eustres merupakan hasil dari respon terhadap stres yang

bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut

termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan

pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang

tinggi (Clinton & Nelson, 1996). Misalnya merasa tertantang, siap dan

bersemangat untuk menerima dan menyelesaikan tugas yang akan dihadapi.

Memiliki komitmen yang lebih terhadap apa yang disayangi, misalnya:

pernikahan, menjadi seorang ayah/ibu, menjadi pekerja, atau menjadi pegawai

negeri. Selanjutnya, menghadapi sesuatu dengan penuh harapan untuk melawan

rasa takut dalam diri. Rasa takut dalam diri tersebut bisa menjadi stresor, namun

stresor ini menimbulkan respon positif berupa rasa optimisme.

Jenis stres yang kedua yaitu distres. Distres merupakan hasil dari respon

terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak)

dan menjadi masalah bagi individu. Hal tersebut termasuk konsekuensi individu

dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran

(absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan,

dan kematian (Clinton & Nelson, 1996). Contoh distres misalnya menghadapi

segala sesuatu dengan perasan takut, resah, gelisah dan khawatir, merasa tidak

memegang kendali dan selalu merasa panik seakan-akan tidak ada jalan keluar

untuk menyelesaikan tugas, merasa tidak ada selesainya, dan merasa tidak ada

yang membantu menyelesaikannya. Contoh yang lain, yaitu merasa lebih baik

bekerja daripada berhenti atau istirahat sejenak saat jam kerja serta memiliki tidur

yang tidak lelap, tidur yang resah, sering sakit maag, sakit punggung dan

7

Page 8: BAB I , II, III

mempunyai sakit yang sifatnya menahun. Stresor-stresor seperti diatas yaitu

tuntutan mengerjakan tugas, pekerjaan, atau mengambil suatu keputusan

mengakibatkan individu berespon negatif sehingga melakukan hal hal yang justru

berakibat buruk bagi dirinya sendiri (Rice, 2000).

Dampak stres juga dapat mempengaruhi psikologis individu di setiap

tingkatan pertumbuhan dan perkembangan. Secara umum, dampak yang akan

ditimbulkan berupa adanya perasaan lelah hingga sudah merasa tak mampu lagi

akibat besarnya stresor, adanya perasaan kesepian dan tidak berdaya, frustasi,

penarikan diri dari sosial serta perbedaan perilaku dibanding individu lainnya

dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang sama. Pada masa dewasa akhir

sampai masa lansia, stresor yang cenderung menjadi penyebab utama stres adalah

penurunan kesehatan yang dialaminya yang memicu adanya persepsi penurunan di

segala aspek kehidupan, adanya persepsi sebagai beban bagi keluarga maupun

lingkungan, dan lain-lain (Potter & Perry, 2005). Dampaknya bagi psikologis

adalah adanya perasaan penolakan interaksi dengan sesama, adanya isolasi diri,

perasaan tidakberdaya, perasaan kesepian, frustasi, yang kemudian menyebabkan

individu dewasa akhir merasa sangat berat atau tidak bahagia untuk menjalani

kehidupannya (Sundeen & Stuart, 1998).

B. Konsep Koping Pada Lansia

Koping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan

merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau

eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki

individu (Mu’tadin, 2002). Koping adalah suatu proses dari seseorang yang

digunakan untuk mengatur peristiwa atau menghadapi, merasakan dan

menginterpretasi suatu stress (Craven & Hirnle, 2000). Jadi, dapat disimpulkan

bahwa koping adalah suatu tindakan seseorang untuk mengatasi stres yang

dialaminya. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 1999) terdapat dua tipe

strategi koping, yaitu problem focused coping and emotion focused coping.

Problem focused coping merupakan upaya untuk meningkatkan atau memperbaiki

situasi dengan membuat pilihan atau mengambil tindakan. Koping ini digunakan

untuk mengatasi stressor dengan mempelajari ketrampilan yang diperlukan.

8

Page 9: BAB I , II, III

Contohnya adalah menerima, mencari dukungan, dan merencanakan. Emotion

focused coping adalah mencakup gagasan atau pikiran dan tindakan yang

meredakan penyebab emosional. Emotion focused coping tidak dapat

memperbaiki situasi, hanya dapat membuat keadaan orang menjadi lebih baik

(Kozier, 2004).

Menurut Taylor (1999), strategi koping yang berfokus pada pengaturan

emosi, yaitu kontrol diri dan membuat jarak. Kontrol diri, yaitu usaha individu

untuk menguasai diri dengan mengontrol tindakan sampai ada kesempatan.

Individu akan cenderung mengontrol perilaku untuk mengubah kondisi atau

situasi yang tidak menyenangkan. Membuat jarak, yaitu usaha individu untuk

menghindari atau menyingkirkan masalah dengan melakukan aktifitas yang lain.

Individu mencari kesibukan lain untuk mengurangi pikiran yang kacau sehingga

terhindar dari rasa kecewa terhadap diri sendiri.

Strategi koping juga dapat dilihat dari aspek long term dan short term.

Long term dapat menjadi konstruktif dan realistik. Contohnya adalah seseorang

yang berbicara atau menceritakan masalahnya kepada orang lain untuk

menemukan banyak hal tentang situasinya dalam rentang yang lama. Contoh dari

strategi long term yang lain, yaitu mencakup sesuatu yang merupakan pilihan dari

pola gaya hidup seperti memakan makanan yang sehat yang bertujuan untuk

program diet, berolah raga teratur, menyeimbangkan waktu senggang dengan

kerja atau menggunakan pemecahan masalah dalam membuat keputusan sebagai

arena kemarahan atau respon konstruktif lainnya. Short term hanya

menyelesaikan atau mengatasi suatu stres dalam waktu singkat sehingga hasilnya

tidak sesuai dengan yang kita harapkan dan dapat menjadi suatu hal yang negatif

karena menggunakan metode yang salah untuk mengatasi stres seperti kebiasaan

minum alkohol atau konsumsi narkoba, melamun, mengkhayal, memberikan aksi

protes kepada orang lain sebagai tanda menghindari kemarahan (Kozier, 2004).

Koping pada individu tidak selamanya berjalan mulus atau mencapai hasil

yang diharapkan dan terkadang terdapat strategi koping yang tidak efektif.

Beberapa karakteristik koping yang tidak efektif, diantaranya adalah menyatakan

tidak mampu, tidak mampu menyelesaikan masalah secara efektif, perasaan

9

Page 10: BAB I , II, III

marah, takut, tegang, cemas, dan gangguan psikologis, serta tidak mampu

memenuhi kebutuhan dasar dan perilaku merusak.

Mekanisme koping merupakan suatu cara yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap

situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Bila mekanisme ini berhasil dilakukan

maka individu bisa beradaptasi dengan normal dan tidak terjadi gangguan

kesehatan, psikologis, maupun prilaku. Mekanisme koping yang disertai dengan

respon emosi ditandai adanya mengingkari, yaitu suatu tindakan yang

mengingkari terhadap suatu hal, penerimaan diri, yaitu situasi yang penuh tekanan

sehingga keadaan ini memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut, religius,

yaitu sikap individu dalam menyelesaikan masalahnya dengan mendekatkan diri

secara keagamaan.

Menurut Stuart dan Sunden (2005), mekanisme koping dibagi menjadi

dua, yaitu mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping tidak adaptif.

Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi

integrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Contohnya berbicara

dengan orang lain untuk memecahkan masalah secara efektif, membuat berbagai

tindakan dalam menangani situasi dan belajar dari pengalaman masa lalu.

Mekanisme koping maladaptif yaitu mekanisme koping yang menghambat fungsi

integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung

menguasai lingkungan. Contohnya menyangkal, menangis, teriak, memukul,

mencerca.

C. Konsep Risiko Bunuh Diri, Koping Individu Tidak Efektif, dan Harga

Diri Rendah

- Koping Individu Tidak Efektif

Koping individu tidak efektif didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk

membentuk penilaian valid tentang stressor, ketidakadekuatan pilihan respons

yang dilakukan, dan/atau ketidakmampuan untuk menggunakan sumber daya

yang tersedia. Batasan karakteristik dari koping individu tidak efektif antara lain

adalah penyalahgunaan agens kimia, perubahan dalam pola komunikasi yang

biasa, penurunan penggunaan dukungan social, perilaku destruktif terhadap orang

10

Page 11: BAB I , II, III

lain dan diri sendiri, serta kesulitan mengorganisasi informasi. Karakteristik yang

lain, yaitu merasa letih, tidak mampu memperhatikan informasi, memenuhi

kebutuhan dasar serta harapan peran, pemecahan masalah yang tidak adekuat,

serta kurangnya perilaku yang berfokus pada pencapaian tujuan. Selain itu

karakteristik yang menunjukkan tidak efektifnya koping individu diantaranya

adalah konsentrasi yang buruk, mengalami gangguan tidur, menggunakan bentuk

koping yang mengganggu perilaku adaptif serta mengungkapkan

ketidakmampuan meminta bantuan dan mengatasi masalah (NANDA, 2011).

- Risiko Bunuh Diri

Risiko bunuh diri dapat diartikan sebagai resiko individu untuk menyakiti

diri sendiri, mencederai diri, serta mengancam jiwa. Ada beberapa faktor risiko

dari risiko bunuh diri. Pertama, perilaku yang menunjukkan risiko bunuh diri

diantaranya membeli senjata, mengubah surat warisan, memberikan harta

milik/kepemilikan, dan riwayat upaya bunuh diri sebelumnya. Perilaku yang lain,

yaitu impulsif, membuat surat warisan, perubahan sikap yang nyata, membeli obat

dalam jumlah banyak, serta pemulihan euforik yang tiba-tiba dari depresi mayor.

Kedua, faktor demografi yang menjadi faktor risiko bunuh diri, yaitu usia

(misalnya lansia), perceraian, jenis kelamin pria, ras (misalnya orang kulit putih,

suku asli Amerika) serta status janda/duda.

Ketiga, faktor fisik yang dapat menjadi risiko bunuh diri diantaranya adalah

nyeri kronis, penyakit fisik serta penyakit terminal. Keempat, faktor psikologis

yang menjadi risiko bunuh diri, yaitu penganiayaan masa kanak-kanak, riwayat

bunuh diri dalam keluarga, rasa bersalah, gangguan psikiatrik, penyakit psikiatrik,

serta penyalahgunaan zat. Kelima, faktor situasional sebagai risiko bunuh diri

diantaranya karena ketidakstabilan ekonomi, institusional, tinggal sendiri,

kehilangan otonomi dan kebebasan, adanya senjata di dalam rumah,

relokasi/pindah rumah, serta pensiun. Keenam, faktor sosial sebagai risiko bunuh

diri diantanya karena gangguan kehidupan keluarga, berduka, tidak berdaya, putus

asa, kesepian, kehilangan hubungan yang penting, sistem dukungan yang buruk,

dan isolasi sosial. Terakhir, faktor verbal yang menunjukkan risiko bunuh diri,

yaitu menyatakan keinginan untuk mati serta mengancam bunuh diri (NANDA,

2011).

11

Page 12: BAB I , II, III

Jumlah angka fenomena bunuh diri pada lanjut usia telah meningkat

sampai dengan 25% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Angka tertinggi dari

kasus bunuh diri pada lansia dapat dilihat pada kelompok lanjut usia dalam

rentang usia 75-85 tahun (Stuart, 1998, Lueckenotte, 2000). Adapun perilaku

bunuh diri pada lansia dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori. Kategori yang

pertama yaitu ancaman bunuh diri. Kemudian kategori selanjutnya adalah upaya

atau percobaan bunuh diri, serta yang terakhir adalah bunuh diri. Faktor risiko

yang dapat memicu tindakan bunuh diri pada lansia (Bartels, et. al., 2002; Turvey,

et. al., 2002; Waern, et. al., 2002 dalam Ebersole 2005), yaitu keterbatasan

dukungan social, kontrol impuls yang buruk, kualitas tidur yang buruk, rasa

keputusasaan yang teramat kuat. Faktor risiko yang lain, yaitu tidak lagi

mempunyai alasan untuk hidup, tidak patuh terhadap pengobatan medis,

mempunyai penyakit kronik atau terminal, serta mengalami gangguan fungsional

dan depresi yang berat.

Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengkaji risio bunuh diri

pada lansia diantaranya adalah menanyakan mengenai hal yang dirasakan sangat

berat di dalam hidup lansia belakangan ini, ada atau tidaknya hal atau

permasalahan yang dirasa sangat buruk dan membuat lansia tersebut berpikir

untuk lari atau menghilang dari hal itu. Pertanyaan lain dalam mengkaji risiko

bunuh diri pada lansia, yaitu ada atau tidaknya pikiran lansia bahwa kematian

seolah-olah menjadi pilihan yang menarik bagi lansia dan pernah atau tidaknya

lansia berpikir untuk menyakiti dirinya sendiri. Jika lansia tersebut didapatkan

pernah menyakiti dirinya sendiri atau mencoba untuk membunuh dirinya sendiri,

maka pertanyaan mengenai cara lansia tersebut untuk menyakiti atau mencoba

membunuh dirinya sendiri harus ditanyakan. Selain itu juga ditanyakan

keberadaan benda-benda atau suatu hal yang berpotensial dijadikan sebagai alat

untuk melakukan rencana mengakhiri hidup ataupun menyakiti diri sendiri

(Lueckenotte, 2000).

Manajemen yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mencegah terjadinya

risiko bunuh diri pada lansia, yaitu dengan cara melakukan modifikasi

lingkungan, modifikasi perilaku dan intervensi farmakologi. Modifikasi

lingkungan termasuk di dalamnya adalah melakukan hospitalisasi, penggunaan

12

Page 13: BAB I , II, III

restrain pada individu, serta melakukan pengecekan dan pembersihan lingkungan

terhadap benda-benda yang dianggap berpotensi untuk dapat dijadikan alat untuk

melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu medikasi perilaku dan terapi

farmakologi juga dapat dilakukan seperti melakukan self-management tehcnique,

yaitu melakukan teknik relaksasi guna mengurangi stresor ataupun mengkonsumsi

obat-obatan psikotropik seperti tranquilizers dan benzodiazepin yang bersifat

sedatif dan menenangkan (Matteson, 1998).

- Harga Diri Rendah

Harga diri rendah merupakan evaluasi diri/perasaan negatif tentang diri

sendiri atau kecakapan diri yang berlangsung lama. Adapun batasan karakteristik

dari harga diri rendah antara lain adalah tergantung pada pendapat orang lain,

evaluasi diri bahwa individu tidak mampu menghadapi peristiwa, serta melebih-

lebihkan umpan balik negatif tentang diri sendiri. Karakteristik yang lain, yaitu

menunjukkan ekspresi rasa bersalah dan rasa malu, seringkali kurang berhasil

dalam peristiwa hidup, serta enggan mencoba situasi dan hal baru. Selain itu

karakteristik yang juga dapat menunjukkan harga diri rendah diantaranya adalah

bimbang, kontak mata kurang, perilaku tidak asertif, seringkali mencari

penegasan, pasif, dan menolak umpan balik positif tentang diri sendiri (NANDA,

2011).

13

Page 14: BAB I , II, III

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

KASUS 5:

Kakek K (65 tahun) tinggal di panti baru 2 bulan, datang diantarkan satpol PP.

Kakek K terlihat sangat tidak bersemangat dan selalu menyatakan hidupnya sudah

tidak berharga lagi, seluruh keluarganya tidak ada lagi yang peduli padanya.

Kakek K pernah mencoba untuk minum obat darah tinggi yang diberikan perawat

melebihi dosis yang dianjurkan dengan alasan agar cepat mati.

ANALISA KASUS:

Kondisi Kakek K yang terlihat sangat tidak bersemangat dan selalu

menyatakan hidupnya sudah tidak berharga lagi menunjukkan kondisi depresi

pada Kakek K. Kondisi depresi yang dialami oleh Kakek K erat kaitannya dengan

gangguan psikososial lain seperti ketidakberdayaan, keputusasaan, harga diri

rendah dan koping individu tidak efektif (Piven and Buckwalter, 2001; Carpenito,

2002,. dalam Ebersole, 2005).

Depresi yang dialami oleh Kakek K dapat bermula dari suatu stressor yang

memicu terjadinya kondisi tersebut. Pada kasus di atas, disebutkan bahwa Kakek

K beranggapan bahwa seluruh keluarganya tidak ada lagi yang peduli padanya.

Hal ini dapat menyebabkan Kakek K mengalami gangguan harga diri rendah.

Gangguan harga diri rendah tidak akan berujung pada suatu kondisi yang lebih

buruk apabila Kakek K memiliki koping yang baik dalam menghadapi masalah

ini. Namun, Kakek K tidak memiliki koping yang baik sehingga dapat dikatakan

Kakek K mengalami gangguan koping individu tidak efektif.

Data yang terdapat pada kasus menyatakan bahwa Kakek K pernah

mencoba untuk minum obat darah tinggi yang diberikan perawat melebihi dosis

yang dianjurkan dengan alasan agar cepat mati. Memang, Kakek K tidak secara

eksplisit menyatakan bahwa dirinya sedang melakukan percobaan bunuh diri.

Namun, menurut Nanda (2009-2011), membeli obat dalam jumlah banyak (dalam

hal ini membeli dapat disetarakan dengan mengkonsumsi) dapat dikategorikan

sebagai faktor resiko terjadinya bunuh diri jika ditinjau dari segi perilaku. Ditinjau

14

Page 15: BAB I , II, III

dari segi demografi, usia lansia merupakan usia yang rentan untuk terjadi kasus

bunuh diri. Ditinjau dari segi sosial, putus asa, kesepian dan sistem dukungan

yang buruk dapat menjadi faktor resiko bunuh diri. Hal ini diperkuat oleh data

subjektif: Kakek K mengatakan “seluruh keluarganya tidak ada lagi yang peduli

padanya”. Selain itu, ditinjau dari segi situasional, tinggal sendirian juga

merupakan salah satu faktor resiko perilaku bunuh diri.

Namun, dari semua yang telah disebutkan di atas, faktor resiko yang

memperkuat diagnosa resiko bunuh diri yang terjadi pada Kakek K ditandai

dengan pernyataan verbal yang diucapkan secara eksplisit oleh Kakek K bahwa

Kakek K mengkonsumsi obat secara berlebihan agar cepat mati (Nanda, 2009-

2011). Selain itu, seperti yang telah disebutkan dalam Ebersole (2005), bunuh diri

adalah konsekuensi fungsional paling serius dari kondisi depresi pada kehidupan

akhir manusia.

PENGKAJIAN

Setelah melakukan pengkajian pada Kakek K yang berada di panti pada hari

Senin, 17 September 2012 maka di dapatkan data-data berikut dari klien:

a) DATA UMUM

Nama KK : Kakek K

Umur : 65 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Buruh serabutan

Alamat : Jl. Sawo No.10 RT 10/RW 06

Daftar anggota keluarga :

15

Page 16: BAB I , II, III

No Nama

Hub

unga

n

deng

an K

K

Umur L/P

Sta

tus

Per

kaw

inan

Pen

didi

kan

Pek

erja

an

Ket

eran

gan

Imun

isas

i

1.

2.

3.

4.

Kakek K

Nenek A

Tn. B

Ny. C

KK

Istri

Anak

Anak

65 th

60 th

40 th

37 th

L

P

L

P

K

K

K

K

SMP

SMP

SMP

SMP

Buruh

IRT

-

-

-

-

-

-

Genogram

Keterangan:

: Laki-laki

: Perempuan

: Sudah meninggal

: Anak kandung (tidak diketahui keberadaannya)

Tipe Keluarga

Tipe keluarga Kakek K adalah single parent family.

Budaya

a. Suku bangsa : Jawa

b. Bahasa yang digunakan

Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia.

16

Page 17: BAB I , II, III

c. Kebiasaan budaya yang berhubungan dengan masalah kesehatan

Budaya jawa biasanya memiliki perilaku untuk memendam apa yang

dirasa. Hal ini tampak dari Kakek K yang kurang mengekspresikan hal-hal

yang dirasakanya.

Kegiatan rutin keagamaan di rumah

Kakek K mengatakan bahwa sudah sejak lama ia hanya tinggal berdua dengan

istrinya. Kedua anaknya pergi dan tidak diketahui keberadaannya sampai saat

ini. 1 tahun lalu istrinya meninggal karena sakit dan klien tinggal sendiri di

gubuk kecilnya. Sehari-hari klien mengatakan mengerjakan pekerjaan

serabutan untuk dapat makan.

Status sosial ekonomi keluarga

a. Pekerjaan anggota keluarga

Sebelum masuk panti, Kakek K bekerja serabutan dengan penghasilan

tidak menentu.

b. Penghasilan anggota keluarga

Rata-rata penghasilan Kakek K perhari adalah sebesar Rp20.000,00/ hari

c. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari

Pemenuhan kebutuhan sehari-hari berasal dari penghasilan sehari-hari.

Jika tidak dapat pekerjaan, ia mengaku tidak makan dan bergantung pada

pemberian tetangga.

d. Tabungan/ Asuransi

Kakek K mengaku tidak memiliki tabungan ataupun asuransi

Kebutuhan rekreasi

Tn.K tidak pernah kemana-mana.

b) STRES DAN KOPING INDIVIDU

Stressor jangka pendek

Saat ini Kakek masih sangat berduka atas meninggalnya istrinya Nenek A.

Kakek K juga merasa tidak nyaman berada di panti karena ia merasa tidak

berdaya dan seperti tidak berguna.

Kemampuan keluarga berespon terhadap stressor

17

Page 18: BAB I , II, III

Tidak ada keluarga yang berada di sekitar Kakek K, sehingga ia merasa

kesepian dan tidak berdaya

Strategi koping yang digunakan

Kakek K pernah mencoba meminum obat lebih dari pada dosisnya dengan

alasan untuk membuatnya tenang. Kakek K juga terkadang suka memukul-

mukul kepalanya jika ia merasa sudah sangat tidak berdaya dan pusing

akan permasalahan hidupnya.

c) HASIL PEMERIKSAAN FISIK TN.K TANGGAL 17 SEPTEMBER

No. Pemeriksaan Tn.B

1. Kepala

Rambut

Konjungtiva Mata

Hidung

Telinga

Mulut

Leher

Beruban, tidak rontok

Tidak anemis

Simetris, tidak ada polip

Agak kotor dibagian dalam, ada

penumpukan serumen

Ada beberapa gigi yang tanggal

Baik, tidak ada hal yang aneh

2. Dada

Bentuk

Paru

Inspeksi

Auskultasi

Perkusi

Palpasi

Jantung

Simetris

Gerakan dada cepat

Terdengar ronki

Redup

Fremitus (+)

Suara S1 dan S2

3. Abdomen

Bentuk

Inspeksi

Auskultasi

Perkusi

Datar

Terdapat gerakan nafas

Peristaltik 10-20 kali/menit

Sonor

18

Page 19: BAB I , II, III

Palpasi Tidak ada nyeri tekan

4. Ekstremitas atas dan

bawah

Tidak ada keterbatasan gerak, ROM

maksimal

5. Tanda-tanda vital

TD

Suhu

Nadi

Pernapasan

TB

BB

150/90 mmHg

36,5oC

90 kali/menit

23 kali/menit

172 cm

63 kg

d) DATA SUBJEKTIF DARI HASIL WAWANCARA KLIEN

Klien mengaku merasa tidak berguna dan ingin segera menyusul istrinya

Klien mengaku bahwa ia pernah melakukan usaha bunuh diri dengan

mengkonsumsi obat darah tinggi yang diberikan petugas panti dengan

dosis lebih dari yang diharuskan

Klien mengatakan bahwa anaknya sudah tidak mempedulikan dia dan

istrinya

Klien mengatakan ia sedih karena sekarang ia hidup sebatang kara dan

tidak ada istrinya

Klien merasa bahwa untuk apa hidup jika sudah tidak ada orang yang

menginginkannya (seperti anak-anaknya)

ANALISA DATA

Data yang DiperolehData yang Perlu

Ditambahkan

Masalah

Keperawatan

DO:

Tampak tidak

bersemangat

Kakek K

mencoba minum

obat darah tinggi

Data umum

mengenai keluarga

Kakek K (silsilah

keluarga,

keberadaan

keluarga termasuk

PERCOBAAN

BUNUH DIRI

19

Page 20: BAB I , II, III

melebihi dosis

DS:

Kakek K

menyatakan

hidupnya sudah

tidak berharga

Kakek K

menyatakan bahwa

ia ingin cepat mati

di dalamnya istri,

anak-anak dan

sanak saudara,

pekerjaan yang

pernah dilakukan

sebelum masuk

panti, jumlah anak,

dll.)

Alasan Kakek K

datang ke panti

Perasaan Kakek K

saat ini

Permasalahan yang

dirasa berat dan

mengganggu

Kakek K

Koping Kakek K

ketika menghadapi

masalah

Inspeksi

lingkungan tempat

Kakek K berada

(apakah banyak

benda yang

berpotensi untuk

dijadikan alat

untuk melakukan

percobaan bunuh

diri atau tidak)

Berapa kali Kakek

K melakukan

percobaan bunuh

20

Page 21: BAB I , II, III

diri

Cara-cara apa saja

yang telah

dipikirkan Kakek

K untuk

melakukan

percobaan bunuh

diri

DO:

Kakek K baru

tinggal di panti

selama 2 bulan

Kakek K diantar

Satpol PP ke

panti

DS:

Kakek K

menyatakan bahwa

seluruh

keluarganya tidak

ada yang

memperdulikannya

lagi

Pernyataan Kakek

K mengenai

perasaan

kehilangan

Pernyataan Kakek

K mengenai

dukacita yang

dialami

Keberadaan

keluarga Kakek K

(anak, istri, sanak

saudara, cucu, dll.)

Peran Kakek K

dalam keluarga

Orang terdekat

bagi Kakek K

KOPING

INDIVIDU TIDAK

EFEKTIF

POHON MASALAH

21

Percobaan Bunuh Diri

Page 22: BAB I , II, III

DIAGNOSA

a. Percobaan Bunuh Diri

b. Koping Individu inefektif

c. Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

22

Gg. Konsep diri : Harga diri rendah

Koping individu inefektif

Penolakan/ Duka disfungsional/kehilangan