bab i dan ii
DESCRIPTION
bbbbbbTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras
dan sosio-ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara
berkembang dibanding dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya,
diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil,
keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan penyakit infeksi.
Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup
tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi
epilepsi sekitar 8,2 per 1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara
berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia dengan jumlah
penduduk sekitar 220 juta maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi berkisar antara
1,1-8,8 juta. Berdasarkan grafik, usia pasien epilepsi menunjukkan pola bimodal.
Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada usia dewasa
muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Sedangkan
menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali lebih banyak dari
perempuan.
1
Gambar 1. Gambaran Epidemiologi Epilepsi Menurut Usia
Selain itu di kalangan masyarakat awam sendiri masih terdapat pandangan
yang salah mengenai penyakit epilepsi, antara lain dianggap sebagai penyakit
kutukan, guna-guna, kerasukan, gangguan jiwa dan penyakit menular melalui air liur.
Hal ini tentu saja akan berpengaruh negatif terhadap pelayanan untuk tatalaksana
penyakit epilepsi. Beberapa masalah lain yang telah diidentifikasi sebagai
penghambat tatalaksana penyakit epilepsi adalah keterbatasan tenaga medis, sarana
layanan kesehatan, dana dan kemampuan masyarakat. Keterbatasan tersebut akan
menurunkan optimalisasi penatalaksanaan penyakit epilepsi.
Tidak jarang penyakit epilepsi ini menimbulkan kematian. Angka kematian
pertahun adalah 2 per 100.000. Hal ini dapat berhubungan langsung dengan kejang,
misalnya ketika terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan di antara
serangan pasien tidak sadar, atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma.
Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi (Sudden
2
Unexplained Death In Epilepsy) diasumsikan berhubungan dengan aktivitas kejang
dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
(seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten,
yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron
secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan
serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa
perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di
otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak aku (unprovoked).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang
terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset),
jenis bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.
Klasifikasi
Dalam mendiagnosis penyakit epilepsi perlu adanya suatu klasifikasi
mengingat tatalaksana tiap bangkitan berbeda.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi
1. Bangkitan parsial/fokal
4
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
5
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi
1. Fokal/partial (localized related)
1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsi with centrotemporal spikesI).
1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital.
1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi)
1.2 Simtomatis
1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome).
1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3 Epilepsi lobus temporal
1.2.4 Epilepsi lobus frontal
1.2.5 Epilepsi lobus parietal
1.2.6 Epilepsi oksipital
1.3 Kriptogenik
2. Epilepsi umum
2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1 Kejang neonates familial benigna
2.1.2 Kejang neonates benigna
6
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
2.1.5 Epilepsi lena pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi mioklonik lena
2.3 Simtomatis
2.3.1 Etiologi nonspesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression
Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
2.3.2 Sindrom spesifik
2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1 Bangkitan umum dan fokal
3.1.1 Bangkitan neonatal
7
3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum.
4. Sindrom khusus
4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1 Kejang demam
4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)
Ternyata dalam mendiagnosis pasien epilepsi, mengklasifikasikan jenis
epilepsi pada seorang pasien justru lebih penting daripada mendeskripsikan
kejangnya (kejang parsial atau kejang general), karena informasi klinis pada pasien
ternyata juga memiliki makna klinis yang relevan pada penyakit epilepsinya. Seperti
pada anamnesis, terdapatnya riwayat trauma kepala, atau riwayat keluarga yang
pernah mengalami kejang), kelainan pada pemeriksaan neurologis, serta hasil
electroencephalography (EEG) dan laboratorium.
ILAE akhirnya mengklasifikasikan kembali epilepsi menurut penyebabnya
(idiopatik, simptomatik, ataukah kriptogenik). Tiap penyebab kemudian
dikelompokkan kembali menurut usia pasien serta kemungkinan anatomi otak yang
8
terkena. Klasifikasi sindrom epilepsi ini kurang berhasil, bahkan menjadi
kontroversial daripada klasifikasi serangan. Hal ini dikarenakan pembagian sindrom
epilepsi tersebut masih empiris. Pengelompokkan hanya berdasarkan data klinis dan
hasil EEG yang mencakup informasi anatomi, patologik atau etilogi spesifik lainnya.
Namun klasifikasi ini berguna untuk beberapa sindrom yang mudah dikenali seperti
infantile spasms dan benign partial childhood with central-midtemporal spikes,
dimana keduanya memiliki tatalaksana serta prognosis yang berbeda.
Selain itu terdapat beberapa sindrom epilepsi yang tergolong idiopatik namun
memiliki kesamaan gejala klinis dengan golongan kriptogenik. Pada akhirnya
penggolongan sindrom epilepsi ini tetap penting, dalam usaha tatalaksana pasien
epilesi secara tepat dan maksimal.
Etiologi
Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatik,
kriptogenik dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah
idiopatik yang tidak diketahui penyebabnya, umumnya mempunyai predisposisi
genetik. Sedangkan penyebab epilepsi kriptogenik dianggap suatu simtomatik yang
penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini adalah sindrom west, sindrom
Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati
difus. Etiologi epilepsi yang terakhir yaitu simtomatik disebabkan oleh kelainan/lesi
susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
9
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol, obat), metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.
Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak maka saat dewasa mencari
etiologi tak begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tak aktif lagi. Bila
epilepsi baru terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 tahun maka mencari etiologi
menjadi penting, karena mungkin petanda suatu proses patologis yang masih
progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah saraf. Anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik dan penunjang akan mengarahkan kepada etiologi dari epilepsi.
Epidemiologi
Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita
epilepsi. Menurut WHO prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita daripada pria.
Angka prevalensi untuk pria 0.32:1000 dan wanita 0.46: 1000. Data di Indonesia pada
tahun 2000 didapatkan hasil dari rawat inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari
34.514 pasien dengan penyakit susunan saraf (11.44%), sedangkan dari rawat jalan
didapatkan 65.696 dari 351.290 (18.70%) dari jumlah kunjungan dengan penyakit
susunan saraf.
10
Patofisologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.
11
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi
12
menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20
macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan
demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan
ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan
demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan
konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini
13
memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi
karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola
yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang
akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron
saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang
berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari
serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron
14
penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik
secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat )
berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah
yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus.
Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas
neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan
kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang
mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini
dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada
neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan
neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan
metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi
anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik
dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne
15
centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan
epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial
membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni
membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan
kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi
ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya
terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang
menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran
neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan
istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam
16
keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron
dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Kemajuan yang pesat dalam pengobatan epilepsi menjadi tanda bahwa
pengetahuan tentang kejadian dan kendali terhadap kejang-kejang epileptik telah
sangat maju. Meskipun demikian pengetahuan tentang patogenesis pada epilepsi
berkembang pesat jauh sesudah obat-obat anti epilepsi ditemukan.
Mc.Namara (1994) dan peneliti lainnya mengajukan konsep-konsep baru
mengenai patofisiologi yang terjadi pada proses epileptik, yaitu adanya gangguan di
tingkat seluler/neuronal dalam keseimbangan antara faktor-faktor eksitasi dan inhibisi
17
neuronal, baik yang bersifat seluler tunggal maupun dalam bentuk network. Dengan
demikian konsep pengobatan dalam tahap eksperimental ini, melangkah kepada
tingkat intervensi farmakologik dalam meredam hipereksitabilitas dan
hipersinkronisasi neuronal atau meningkatkan inhibisi merupakan sasaran
pengendalian proses epileptik.
Dalam hal ini, pada patogenesis epilepsi, peran neurotransmitter GABA,
glutamat dan kainat serta reseptor-reseptornya dapat diungkapkan. Selain itu mungkin
patofisiologi serangan epileptik dapat melibatkan juga gangguan pada saluran ion
(channelopathy) atau proses remodelling dari jaringan-jaringan (network) neuron-
neuron tersebut, sebagai bagian dari proses biologi molekuler yang mendasari
serangan epileptik tersebut.
Dari hasil penelitian klinis dan juga dari binatang percobaan dapat
disimpulkan bahwa proses epileptogenesis pada manusia bersifat kompleks dan
multifaktorial serta dapat berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari sampai
beberapa tahun. Proses dapat dimulai oleh suatu ‘’Precipitative event’’. Melihat
bahwa epilepsi merupakan suatu spektrum penyakit yang tidak homogen, tapi terdiri
dari berbagai jenis, maka faktor-faktor presipitatif yang berperan pada masing-masing
jenis mungkin berbeda. Faktor-faktor pencetus dapat bermacam-macam; trauma
waktu kecil, antenatal hipoksia, radang terutama infeksi virus. peningkatan frekuensi
kejang demam pada usia 1 sampai usia 5 tahun merupakan faktor risiko yang penting
pada genesis epilepsi lobus temporalis.
18
Mekanisme Dasar Epilepsi
Epilepsi adalah penyakit paroksismal yang disebabkan karena cetusan listrik
neuronal yang abnormal yang ditimbulkan oleh cetusan yang sinkron dari
segolongan neuron (synchoronous discharge of neuronal network).
Dengan demikian epilepsi dapat disebabkan oleh letupan listrik karena
gangguan membran dari neuron atau ketidakseimbangan antara pengaruh eksitatorik
dan inhibitorik. Peningkatan faktor eksitatorik dan menurunnya faktor inhibitorik ini
akan mengakibatkan ketidakseimbangan aktivitas potensial listrik di tingkat neuronal.
Berdasarkan penelitian klinis timbulnya kejang epileptik pada model
percobaan binatang adalah didahului oleh depolarisasi membran sewaktu periode
interiktal, yaitu membran sel neuron yang berdekatan dengan badan sel mengalami
kenaikan potensial listrik sebesar 10-15 mV dengan masa depolarisasi yang relatif
memanjang (100-200 msec) yang disertai dengan aktivitas gelombang-gelombang
paku lambat. Pada keadaan depolarisasi yang panjang ini menimbulkan beberapa
potensial aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel. Depolarisasi
yang cukup kuat ini disebut sebagai “paroxysmal depolarization shift” (PDS).
Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi epilepsi kronik pada manusia, dimana sering
ditemukan gelombang-gelombang paku pada EEG pada periode interiktal.
Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, PDS timbul akibat gangguan fungsi
membran sel pada segolongan neuron atau karena input eksitatorik yang meningkat
19
tajam atau sebaliknya, fungsi inhibitorik yang menurun tajam. Selama periode
interiktal pada fokus tertentu diamati pada studi epilepsi eksperimental pada
neokorteks kucing, melalui aplikasi penicillin secara fokal, terjadi proses depolarisasi
yang berkepanjangan yang disertai letupan-letupan potensial aksi pada fase tonik,
diikuti osilasi membran potensial dan letupan-letupan potensial aksi yang diselingi
dengan “silent periode” yang khas untuk fase klonik. Silent periode ini menandakan
hyperpolarisasi temporer yang memblok PDS.
Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi proses iktal
dengan manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan pasti. Gangguan stabilitas
membran sel neuron dan pengaruh dari neurotransmitter eksiatatorik atau inhibitorik.
Perubahan ini tidak terjadi hanya pada satu neuron saja tapi melibatkan neuron yang
lebih jauh jaraknya melalui mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi
pada segolongan neuron (neuronal network) atau kemudian menyebar ke seluruh
permukaan kortek melalui serabut talamokortikal.
Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses iktal yang
masih belum jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu aktivitas epilepsi.
Kejang akan berhenti sendiri sesuai dengan aktivitas yang meningkat dari proses
inibisi serta bokade depolarisasi yang ditandai dengan supresi aktivitas EEG postiktal.
2.6 Patofisiologi kejang umum
20
Pada epilepsi bangkitan kejang umum, kenaikan depalorisasi membran berasal
dari neuron neuron yang berada di daerah garis tengah otak. Secara bersamaan dan
dalam waktu yang singkat keadaan depolarisasi yang panjang ini akan menimbulkan
beberapa potensial aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel dan
menyebar ke seluruh bagian korteks lainnya.
Patogenesis kejang umum.
Kejang umum ini terbagi menjadi :
- Kejang umum tonik klonik
Pada jenis bangkitan ini terjadi gangguan kesadaran dan terjadi kekakuan
pada dada dan tungkai (fase tonik), pada fase ini sering disertai dengan adanya suara
yang keras akibat dorongan kuat dari udara yang melewati pita suara (epilepsi cry).
Fase tonik ini akan diikuti gerakan berulang pada seluruh otot (fase klonik). Pada fase
postiktal, kebanyakan pasien akan merasa lelah, letargi dan bingung bahkan sampai
tertidur. Pada beberapa pasien sering terdapat gejala sindrom epilepsi yang muncul
21
sebelum terjadinya bangkitan. Gejala gejala tersebut dapat berupa rasa cemas, mudah
tersinggung, penurunan konsentrasi, sakit kepala, atau perasaan yang tidak nyaman.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada fase post iktal ini diperkirakan karena
peningkatan metabolisme otak pada fase iktal. Metabolisme yang meningkat ini
membutuhkan oksigen yang tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh sistem respirasi
sehingga terjadi penimbunan laktat dan asam piruvat pada bangkitan yang lama dan
menimbulkan keadaan hipoksik pada otak.
1. Bangkitan Lena
Pada bangkitan lena (petit mal seizure) terjadi kehilangan kesadaran dalam
waktu yang singkat dan terjadi penghentian gerakan dan seluruh aktivitas. Bangkitan
lena ini terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya periode postiktal. Pada bangkitan lena ini
sering juga dijumpai kejang mioklonik pada mata dan otot muka, beberapa tonus otot
yang hilang serta automatisme. Jika fase awal dan akhir dari bangkitan ini tidak dapat
dibedakan atau pada saat fase kejang terdapat kejang tonik serta gejala otonom, maka
digunakan terminology kejang atipikal. Kejang atipikal ini biasanya terjadi pada anak
dengan retradasi mental seperti sindrom Lennox-Gastaut.
2. Bangkitan umum klonik
Bangkitan umum klonik ini ditandai dengan adanya gerakan berulang pada
otot, dapat bilateral ataupun unilateral. Gerakan otot ini juga dapat terjadi sinkron
ataupun asinkron. Kejang mioklonik ini dapat bervariasi mulai dari gerakan kecil
22
pada otot muka, lengan atau tungkai sampai gerakan masif bilateral pada kepala,
extremitas dan dada.
3. Bangkitan umum atonik
Pada bangkitan atonik ini ditandai dengan hilangnya tonus otot yang terjadi
secara tiba-tiba Karena hilangnya seluruh tonus otot, para penderita akan jatuh
sehingga sering terjadi cedera.
2.7 Patogenesis kejang parsial
Pada kejang parsial ini cetusan listrik yang abnormal berasal dari area tertentu pada
korteks.
Patogenesis kejang parsial.
Secara experimental telah dipastikan bahwa timbulnnya fokus epilepsi
disebabkan oleh proses “kindling” yaitu akibat dari stimulus yang subkonvusif pada
beberapa struktur otak dan menyebabkan struktur tersebut menjadi bersifat
23
elektroensefalografi seizure yang berarti sel neuron yang tadinya normal menjadi
bersifat epilepsi dan jika terus menerus dilakukan perangsangan berulang akan
menimbulkan kejang.
Pada bangkitan parsial yang menjadi kejang umum sekunder, kejang fokal
ditimbulkan dari cetusan listrik berasal dari dari satu area dari korteks lalu menyebar
ke seluruh korteks serebri yang menghasilkan kejang tonik klonik.
Fenomena yang terjadi pada kejang parsial kompleks tergantung dari lokasi
lesi epileptogenic, gejala yang sangat jelas terlihat terjadi apabila lesi yang
mengalami gangguan adalah gyrus presentral. Gangguan yang mungkin terjadi jika
lesi epileptogenik berada di daerah gyrus presentral dapat berupa kejang motorik
fokal, yang terjadi pada wajah dan tungkai kontralateral dari lesi serta kejang sensori
fokal berupa perasaan tidak menyenangkan, nyeri ringan samapai rasa panas pada
wajah dan extremitas kontralateral dari lesi. Pada lesi epileptogenik yang terjadi pada
lobus frontal dapat menimbulkan kejang pada mata, kepala dan leher kontralateral
serta gerakan fleksi dan ekstensi pada bahu. Lesi epiletogenik yang terjadi di daerah
temporal dapat menimbulkan gangguan pada fungsi lobus temporal seperti memori,
daya pembau dan mengecap.
Manifestasi klinis
24
Kejang parsial simplek
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa “déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat di jelaskan.
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubuh tertentu.
Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
gerakan seperti mencucur atau mengunyah
melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
25
Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang
Berbicara tidak jelas seperti menggumam
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasa didahului oleh aura.
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat
berupa : merasa sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik :
terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien
mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.
26
Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
27
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :
Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder.
Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik.
Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan
kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang
memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan
otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan
tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
28
penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik
yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat
aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut
berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam
keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun,
termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan
dapat setiap jam sampai setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau
tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau
29
mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan
ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan
disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan
otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan
gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas,
lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau
tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.
Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan
kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari
seluruh kasus epilepsi).
Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di
gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,
perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.
30
Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat
mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa
automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak,
dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan
mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari
halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa
jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan
automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan
automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
- Pada orang dewasa
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari
adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih,
31
dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada muka
dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber. Pada toksoplasmosis, fundus
okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan,
asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan timbulnya kejang
ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia,
hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah
karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat
mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan
saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya
perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11
32
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing
lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan
foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
33
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu
mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai
gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang
paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai
gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang
timbul secara serentak (sinkron).
a. Rekaman video EEG
34
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi
refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.
35
Gambar Pembentukan EEG
36
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus epilepsi ini dibedakan berdasarkan umur penderita.
1. Pada neonatus dan bayi
a. Jittering
b. Apneic spell
2. Pada anak
a. breth holding spells
b. sinkope
c. Migren
37
d. Bangkitan psikogenik/konversi
e. Prolonged QT syndrome
f. Night terror
g. Tic
h. Hypersianotic attack
3. Pada dewasa
a. Sinkope
b. Serangan iskemik sepintas
c. Vertigo
d. Transient global amnesia
e. Narkolepsi
f. Bangkitan panic, psikogenik
g. Sindrom Menier
h. Tics
38
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien,
sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang
dimilikinya. Prinsip terapi farmakologi:
1. OAE mulai diberikan bila:
a. Diagnosis epilepsi telah ditentukan
b. Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan
pengobatan
c. Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul
1. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.
2. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
3. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE
telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
perlahan-lahan
4. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
39
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE,
interaksi antarobat epilepsi.
Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan
Jenis
Bangkitan
OAE Lini
Pertama
OAE Lini
Kedua
OAE Lain yang
dapat
dipertimbangkan
OAE yang
sebaiknya
dihindari
Bangkitan
umum tonik
klonik
Sodium
Valproate
Lamotrigine
Topiramate
Carbamazepine
Clobazam
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Clonazepam
Phenobarbital
Phenytoin
Acetazolamide
Bangkitan
lena
Sodium
Valproate
Lamotrigine
Clobazam
Topiramate
Carbamazepine
Gabapentin
Oxcarbazepine
Bangkitan
mioklonik
Sodium
Valproate
Clobazam
Topiramate
Carbamazepine
Gabapentin
40
Topiramate Levetiracetam
Lamotrigine
Piracetam
Oxcarbazepine
Bangkitan
tonik
Sodium
Valproate
Lamotrigine
Clobazam
Levetiracetam
Topiramate
Phenobarbital
Phenytoin
Carbamazepine
Oxcarbazepine
Bangkitan
atonik
Sodium
Valproate
Lamotrigine
Clobazam
Levetiracetam
Topiramate
Phenobarbital
Acetazolamide
Carbamazepine
Oxcarbazepine
Phenytoin
Bangkitan
fokal
dengan/tanpa
umum
sekunder
Carbamazepine
Oxcarbazepine
Sodium
Valproate
Topiramate
Lamotrigine
Clobazam
Gabapentin
Levetiracetam
Phenytoin
Tiagabine
Clonazepam
Phenobarbital
Acetazolamide
41
Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa
Obat Dosis Awal
(mg/hari)
Dosis
Rumatan
(mg/hari)
Jumlah
Dosis Per
Hari
Waktu
Paruh
Plasma
(Jam)
Waktu
Tercapainy
Steady
State (Hari)
Carbamazepine 400-600 400-1600 2-3x 15-35 2-7
Phenytoin 200-300 200-400 1-2x 10-80 3-15
Asam valproat 500-1000 500-2500 2-3x 12-18 2-4
Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170
Clonazepam 1 4 1 atau 2 20-60 2-10
Clobazam 10 10-30 2-3x 10-30 2-6
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x 8-15
Levatiracetam 1000-2000 1000-3000 2x 6-8 2
Topiramate 100 100-400 2x 20-30 2-5
Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x 5-7 2
Lamotrigine 50-100 20-200 1-2x 15-35 2-6
42
Efek samping obat anti epilepsi klasik:
Obat Efek Samping
Terkait Dosis Idiosinkrasi
Carbamazepine Diplopia, dizziness, nyeri
kepala, mual, mengantuk,
netropenia, hiponatremia
Ruam morbiliform,
agranulositosis, anemia
aplastik, hepatotoksik, SSJ,
teratogenik
Phenytoin Nistagmus, ataksia, mual,
muntah, hipertropi gusi,
depresi, mengantuk,
paradoxical increase in seizure,
anemia megaloblastik
Jerawat, coarse facies,
hirsutism, lupus like syndrome,
ruam, SSJ, Dupuytren’s
contracture, hepatotoksik,
teratogenik
Asam valproat Tremor, berat badan naik,
dyspepsia, mual, muntah,
kebotakan, teratogenik
Pankreatitis akut, hepatotoksik,
trombositopenia, ensefalopati,
udem perifer
Phenobarbital Kelelahan, restlegless, depresi,
insomnia (anak), distracatibility
(anak), hiperkinesia (anak),
irritability (anak)
Ruam makulopapular,
eksfoliasi, NET, hepatotoksik,
arthritic changes, Dupuytren’s
contracture, teratogenik
43
Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk,
dizziness, agresi (anak),
hiperkinesia (anak)
Ruam, trombositopenia
Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama
mengkonsumsi OAE ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
a. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya
setelah bebas bangkitan selama minimal 2 tahun
b. Gambaran EEG normal
c. Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.
2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut:
a. Semakin tua usia
b. Epilepsi simtomatik
c. Gambaran EEG abnormal
d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
e. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita
44
f. Penggunaan lebih dari satu OAE
g. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
h. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian
dievaluasi kembali.
45
46