bab i dan ii

69
BAB I PENDAHULUAN Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras dan sosio-ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang dibanding dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya, diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan penyakit infeksi. Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi sekitar 8,2 per 1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta maka diperkirakan 1

Upload: wike-dwysre

Post on 11-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

bbbbbb

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I dan II

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras

dan sosio-ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara

berkembang dibanding dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya,

diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil,

keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan penyakit infeksi.

Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup

tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi

epilepsi sekitar 8,2 per 1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara

berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia dengan jumlah

penduduk sekitar 220 juta maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi berkisar antara

1,1-8,8 juta. Berdasarkan grafik, usia pasien epilepsi menunjukkan pola bimodal.

Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada usia dewasa

muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Sedangkan

menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali lebih banyak dari

perempuan.

1

Page 2: BAB I dan II

Gambar 1. Gambaran Epidemiologi Epilepsi Menurut Usia

Selain itu di kalangan masyarakat awam sendiri masih terdapat pandangan

yang salah mengenai penyakit epilepsi, antara lain dianggap sebagai penyakit

kutukan, guna-guna, kerasukan, gangguan jiwa dan penyakit menular melalui air liur.

Hal ini tentu saja akan berpengaruh negatif terhadap pelayanan untuk tatalaksana

penyakit epilepsi. Beberapa masalah lain yang telah diidentifikasi sebagai

penghambat tatalaksana penyakit epilepsi adalah keterbatasan tenaga medis, sarana

layanan kesehatan, dana dan kemampuan masyarakat. Keterbatasan tersebut akan

menurunkan optimalisasi penatalaksanaan penyakit epilepsi.

Tidak jarang penyakit epilepsi ini menimbulkan kematian. Angka kematian

pertahun adalah 2 per 100.000. Hal ini dapat berhubungan langsung dengan kejang,

misalnya ketika terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan di antara

serangan pasien tidak sadar, atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma.

Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi (Sudden

2

Page 3: BAB I dan II

Unexplained Death In Epilepsy) diasumsikan berhubungan dengan aktivitas kejang

dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.

3

Page 4: BAB I dan II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan

(seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten,

yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron

secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan

serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa

perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di

otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak aku (unprovoked).

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang

terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset),

jenis bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.

Klasifikasi

Dalam mendiagnosis penyakit epilepsi perlu adanya suatu klasifikasi

mengingat tatalaksana tiap bangkitan berbeda.

Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi

1. Bangkitan parsial/fokal

4

Page 5: BAB I dan II

1.1 Bangkitan parsial sederhana

1.1.1. Dengan gejala motorik

1.1.2. Dengan gejala somatosensorik

1.1.3. Dengan gejala otonom

1.1.4. Dengan gejala psikis

1.2 Bangkitan parsial kompleks

1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran

1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan

1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum

1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum

1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum

2. Bangkitan umum

2.1 Lena (absence)

2.1.1 Tipikal lena

2.1.2 Atipikal lena

2.2 Mioklonik

2.3 Klonik

2.4 Tonik

2.5 Tonik-klonik

2.6 Atonik/astatik

3. Bangkitan tak tergolongkan

5

Page 6: BAB I dan II

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi

1. Fokal/partial (localized related)

1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal

(childhood epilepsi with centrotemporal spikesI).

1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital.

1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi)

1.2 Simtomatis

1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak

(Kojenikow’s Syndrome).

1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan

(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,

stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)

1.2.3 Epilepsi lobus temporal

1.2.4 Epilepsi lobus frontal

1.2.5 Epilepsi lobus parietal

1.2.6 Epilepsi oksipital

1.3 Kriptogenik

2. Epilepsi umum

2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)

2.1.1 Kejang neonates familial benigna

2.1.2 Kejang neonates benigna

6

Page 7: BAB I dan II

2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

2.1.4 Epilepsi lena pada anak

2.1.5 Epilepsi lena pada remaja

2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja

2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga

2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas

2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik

2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)

2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)

2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut

2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik

2.2.4 Epilepsi mioklonik lena

2.3 Simtomatis

2.3.1 Etiologi nonspesifik

Ensefalopati mioklonik dini

Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression

Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas

2.3.2 Sindrom spesifik

2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

3.1 Bangkitan umum dan fokal

3.1.1 Bangkitan neonatal

7

Page 8: BAB I dan II

3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi

3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam

3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)

3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas

3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum.

4. Sindrom khusus

4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu

4.1.1 Kejang demam

4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated

4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau

toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.

4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)

Ternyata dalam mendiagnosis pasien epilepsi, mengklasifikasikan jenis

epilepsi pada seorang pasien justru lebih penting daripada mendeskripsikan

kejangnya (kejang parsial atau kejang general), karena informasi klinis pada pasien

ternyata juga memiliki makna klinis yang relevan pada penyakit epilepsinya. Seperti

pada anamnesis, terdapatnya riwayat trauma kepala, atau riwayat keluarga yang

pernah mengalami kejang), kelainan pada pemeriksaan neurologis, serta hasil

electroencephalography (EEG) dan laboratorium.

ILAE akhirnya mengklasifikasikan kembali epilepsi menurut penyebabnya

(idiopatik, simptomatik, ataukah kriptogenik). Tiap penyebab kemudian

dikelompokkan kembali menurut usia pasien serta kemungkinan anatomi otak yang

8

Page 9: BAB I dan II

terkena. Klasifikasi sindrom epilepsi ini kurang berhasil, bahkan menjadi

kontroversial daripada klasifikasi serangan. Hal ini dikarenakan pembagian sindrom

epilepsi tersebut masih empiris. Pengelompokkan hanya berdasarkan data klinis dan

hasil EEG yang mencakup informasi anatomi, patologik atau etilogi spesifik lainnya.

Namun klasifikasi ini berguna untuk beberapa sindrom yang mudah dikenali seperti

infantile spasms dan benign partial childhood with central-midtemporal spikes,

dimana keduanya memiliki tatalaksana serta prognosis yang berbeda.

Selain itu terdapat beberapa sindrom epilepsi yang tergolong idiopatik namun

memiliki kesamaan gejala klinis dengan golongan kriptogenik. Pada akhirnya

penggolongan sindrom epilepsi ini tetap penting, dalam usaha tatalaksana pasien

epilesi secara tepat dan maksimal.

Etiologi

Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatik,

kriptogenik dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah

idiopatik yang tidak diketahui penyebabnya, umumnya mempunyai predisposisi

genetik. Sedangkan penyebab epilepsi kriptogenik dianggap suatu simtomatik yang

penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini adalah sindrom west, sindrom

Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati

difus. Etiologi epilepsi yang terakhir yaitu simtomatik disebabkan oleh kelainan/lesi

susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP),

9

Page 10: BAB I dan II

kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik

(alkohol, obat), metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.

Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak maka saat dewasa mencari

etiologi tak begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tak aktif lagi. Bila

epilepsi baru terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 tahun maka mencari etiologi

menjadi penting, karena mungkin petanda suatu proses patologis yang masih

progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah saraf. Anamnesis yang baik,

pemeriksaan fisik dan penunjang akan mengarahkan kepada etiologi dari epilepsi.

Epidemiologi

Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita

epilepsi. Menurut WHO prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita daripada pria.

Angka prevalensi untuk pria 0.32:1000 dan wanita 0.46: 1000. Data di Indonesia pada

tahun 2000 didapatkan hasil dari rawat inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari

34.514 pasien dengan penyakit susunan saraf (11.44%), sedangkan dari rawat jalan

didapatkan 65.696 dari 351.290 (18.70%) dari jumlah kunjungan dengan penyakit

susunan saraf.

10

Page 11: BAB I dan II

Patofisologi

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan

dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,

pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan

menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan

perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion

di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion

menerobos membran neuron.

11

Page 12: BAB I dan II

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks

serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon

depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi

Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang

memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan

aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel

piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias

dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini

menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas

penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon

NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren

dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial

aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak

apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara

bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi

12

Page 13: BAB I dan II

menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20

macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan

demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat

bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka

tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya

dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat

diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya

epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama

SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi

pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF

dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :

Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan

ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan

demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan

konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari

Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini

13

Page 14: BAB I dan II

memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi

karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola

yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara

serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang

optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )

berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi

GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal.  Pada otak manusia yang menderita

epilepsi ternyata kandungan GABA rendah.  Hambatan oleh GABA dalam bentuk

inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah

lewat reseptor GABA.  Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic

disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan

neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali

tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa

perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang

akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron

saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang

berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari

serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron

14

Page 15: BAB I dan II

penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik

secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat )

berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan

keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,

kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut

dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron

eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah

yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus.

Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas

neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan

kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang

mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak

mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus

temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.

Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek

traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini

dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada

neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan

neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan

metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi

anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik

dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne

15

Page 16: BAB I dan II

centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan

epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan

transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai

kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial

membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni

membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan

kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi

ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya

terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang

menimbulkan potensial membran.

Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan

badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran

neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi

yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi

yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah

melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut

glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal

ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis

lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya

terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan

istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam

16

Page 17: BAB I dan II

keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron

dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.

Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau

mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion

Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan

depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan

terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron

merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah

bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga

inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga

system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron

tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat

menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat

habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.

Kemajuan yang pesat dalam pengobatan epilepsi menjadi tanda bahwa

pengetahuan tentang kejadian dan kendali terhadap kejang-kejang epileptik telah

sangat maju. Meskipun demikian pengetahuan tentang patogenesis pada epilepsi

berkembang pesat jauh sesudah obat-obat anti epilepsi ditemukan.

Mc.Namara (1994) dan peneliti lainnya mengajukan konsep-konsep baru

mengenai patofisiologi yang terjadi pada proses epileptik, yaitu adanya gangguan di

tingkat seluler/neuronal dalam keseimbangan antara faktor-faktor eksitasi dan inhibisi

17

Page 18: BAB I dan II

neuronal, baik yang bersifat seluler tunggal maupun dalam bentuk network. Dengan

demikian konsep pengobatan dalam tahap eksperimental ini, melangkah kepada

tingkat intervensi farmakologik dalam meredam hipereksitabilitas dan

hipersinkronisasi neuronal atau meningkatkan inhibisi merupakan sasaran

pengendalian proses epileptik.

Dalam hal ini, pada patogenesis epilepsi, peran neurotransmitter GABA,

glutamat dan kainat serta reseptor-reseptornya dapat diungkapkan. Selain itu mungkin

patofisiologi serangan epileptik dapat melibatkan juga gangguan pada saluran ion

(channelopathy) atau proses remodelling dari jaringan-jaringan (network) neuron-

neuron tersebut, sebagai bagian dari proses biologi molekuler yang mendasari

serangan epileptik tersebut.

Dari hasil penelitian klinis dan juga dari binatang percobaan dapat

disimpulkan bahwa proses epileptogenesis pada manusia bersifat kompleks dan

multifaktorial serta dapat berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari sampai

beberapa tahun. Proses dapat dimulai oleh suatu ‘’Precipitative event’’. Melihat

bahwa epilepsi merupakan suatu spektrum penyakit yang tidak homogen, tapi terdiri

dari berbagai jenis, maka faktor-faktor presipitatif yang berperan pada masing-masing

jenis mungkin berbeda. Faktor-faktor pencetus dapat bermacam-macam; trauma

waktu kecil, antenatal hipoksia, radang terutama infeksi virus. peningkatan frekuensi

kejang demam pada usia 1 sampai usia 5 tahun merupakan faktor risiko yang penting

pada genesis epilepsi lobus temporalis.

18

Page 19: BAB I dan II

Mekanisme Dasar Epilepsi

Epilepsi adalah penyakit paroksismal yang disebabkan karena cetusan listrik

neuronal yang abnormal yang ditimbulkan oleh cetusan yang sinkron dari

segolongan neuron (synchoronous discharge of neuronal network).

Dengan demikian epilepsi dapat disebabkan oleh letupan listrik karena

gangguan membran dari neuron atau ketidakseimbangan antara pengaruh eksitatorik

dan inhibitorik. Peningkatan faktor eksitatorik dan menurunnya faktor inhibitorik ini

akan mengakibatkan ketidakseimbangan aktivitas potensial listrik di tingkat neuronal.

Berdasarkan penelitian klinis timbulnya kejang epileptik pada model

percobaan binatang adalah didahului oleh depolarisasi membran sewaktu periode

interiktal, yaitu membran sel neuron yang berdekatan dengan badan sel mengalami

kenaikan potensial listrik sebesar 10-15 mV dengan masa depolarisasi yang relatif

memanjang (100-200 msec) yang disertai dengan aktivitas gelombang-gelombang

paku lambat. Pada keadaan depolarisasi yang panjang ini menimbulkan beberapa

potensial aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel. Depolarisasi

yang cukup kuat ini disebut sebagai “paroxysmal depolarization shift” (PDS).

Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi epilepsi kronik pada manusia, dimana sering

ditemukan gelombang-gelombang paku pada EEG pada periode interiktal.

Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, PDS timbul akibat gangguan fungsi

membran sel pada segolongan neuron atau karena input eksitatorik yang meningkat

19

Page 20: BAB I dan II

tajam atau sebaliknya, fungsi inhibitorik yang menurun tajam. Selama periode

interiktal pada fokus tertentu diamati pada studi epilepsi eksperimental pada

neokorteks kucing, melalui aplikasi penicillin secara fokal, terjadi proses depolarisasi

yang berkepanjangan yang disertai letupan-letupan potensial aksi pada fase tonik,

diikuti osilasi membran potensial dan letupan-letupan potensial aksi yang diselingi

dengan “silent periode” yang khas untuk fase klonik. Silent periode ini menandakan

hyperpolarisasi temporer yang memblok PDS.

Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi proses iktal

dengan manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan pasti. Gangguan stabilitas

membran sel neuron dan pengaruh dari neurotransmitter eksiatatorik atau inhibitorik.

Perubahan ini tidak terjadi hanya pada satu neuron saja tapi melibatkan neuron yang

lebih jauh jaraknya melalui mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi

pada segolongan neuron (neuronal network) atau kemudian menyebar ke seluruh

permukaan kortek melalui serabut talamokortikal.

Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses iktal yang

masih belum jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu aktivitas epilepsi.

Kejang akan berhenti sendiri sesuai dengan aktivitas yang meningkat dari proses

inibisi serta bokade depolarisasi yang ditandai dengan supresi aktivitas EEG postiktal.

2.6 Patofisiologi kejang umum

20

Page 21: BAB I dan II

Pada epilepsi bangkitan kejang umum, kenaikan depalorisasi membran berasal

dari neuron neuron yang berada di daerah garis tengah otak. Secara bersamaan dan

dalam waktu yang singkat keadaan depolarisasi yang panjang ini akan menimbulkan

beberapa potensial aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel dan

menyebar ke seluruh bagian korteks lainnya.

Patogenesis kejang umum.

Kejang umum ini terbagi menjadi :

- Kejang umum tonik klonik

Pada jenis bangkitan ini terjadi gangguan kesadaran dan terjadi kekakuan

pada dada dan tungkai (fase tonik), pada fase ini sering disertai dengan adanya suara

yang keras akibat dorongan kuat dari udara yang melewati pita suara (epilepsi cry).

Fase tonik ini akan diikuti gerakan berulang pada seluruh otot (fase klonik). Pada fase

postiktal, kebanyakan pasien akan merasa lelah, letargi dan bingung bahkan sampai

tertidur. Pada beberapa pasien sering terdapat gejala sindrom epilepsi yang muncul

21

Page 22: BAB I dan II

sebelum terjadinya bangkitan. Gejala gejala tersebut dapat berupa rasa cemas, mudah

tersinggung, penurunan konsentrasi, sakit kepala, atau perasaan yang tidak nyaman.

Penurunan kesadaran yang terjadi pada fase post iktal ini diperkirakan karena

peningkatan metabolisme otak pada fase iktal. Metabolisme yang meningkat ini

membutuhkan oksigen yang tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh sistem respirasi

sehingga terjadi penimbunan laktat dan asam piruvat pada bangkitan yang lama dan

menimbulkan keadaan hipoksik pada otak.

1. Bangkitan Lena

Pada bangkitan lena (petit mal seizure) terjadi kehilangan kesadaran dalam

waktu yang singkat dan terjadi penghentian gerakan dan seluruh aktivitas. Bangkitan

lena ini terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya periode postiktal. Pada bangkitan lena ini

sering juga dijumpai kejang mioklonik pada mata dan otot muka, beberapa tonus otot

yang hilang serta automatisme. Jika fase awal dan akhir dari bangkitan ini tidak dapat

dibedakan atau pada saat fase kejang terdapat kejang tonik serta gejala otonom, maka

digunakan terminology kejang atipikal. Kejang atipikal ini biasanya terjadi pada anak

dengan retradasi mental seperti sindrom Lennox-Gastaut.

2. Bangkitan umum klonik

Bangkitan umum klonik ini ditandai dengan adanya gerakan berulang pada

otot, dapat bilateral ataupun unilateral. Gerakan otot ini juga dapat terjadi sinkron

ataupun asinkron. Kejang mioklonik ini dapat bervariasi mulai dari gerakan kecil

22

Page 23: BAB I dan II

pada otot muka, lengan atau tungkai sampai gerakan masif bilateral pada kepala,

extremitas dan dada.

3. Bangkitan umum atonik

Pada bangkitan atonik ini ditandai dengan hilangnya tonus otot yang terjadi

secara tiba-tiba Karena hilangnya seluruh tonus otot, para penderita akan jatuh

sehingga sering terjadi cedera.

2.7 Patogenesis kejang parsial

Pada kejang parsial ini cetusan listrik yang abnormal berasal dari area tertentu pada

korteks.

Patogenesis kejang parsial.

Secara experimental telah dipastikan bahwa timbulnnya fokus epilepsi

disebabkan oleh proses “kindling” yaitu akibat dari stimulus yang subkonvusif pada

beberapa struktur otak dan menyebabkan struktur tersebut menjadi bersifat

23

Page 24: BAB I dan II

elektroensefalografi seizure yang berarti sel neuron yang tadinya normal menjadi

bersifat epilepsi dan jika terus menerus dilakukan perangsangan berulang akan

menimbulkan kejang.

Pada bangkitan parsial yang menjadi kejang umum sekunder, kejang fokal

ditimbulkan dari cetusan listrik berasal dari dari satu area dari korteks lalu menyebar

ke seluruh korteks serebri yang menghasilkan kejang tonik klonik.

Fenomena yang terjadi pada kejang parsial kompleks tergantung dari lokasi

lesi epileptogenic, gejala yang sangat jelas terlihat terjadi apabila lesi yang

mengalami gangguan adalah gyrus presentral. Gangguan yang mungkin terjadi jika

lesi epileptogenik berada di daerah gyrus presentral dapat berupa kejang motorik

fokal, yang terjadi pada wajah dan tungkai kontralateral dari lesi serta kejang sensori

fokal berupa perasaan tidak menyenangkan, nyeri ringan samapai rasa panas pada

wajah dan extremitas kontralateral dari lesi. Pada lesi epileptogenik yang terjadi pada

lobus frontal dapat menimbulkan kejang pada mata, kepala dan leher kontralateral

serta gerakan fleksi dan ekstensi pada bahu. Lesi epiletogenik yang terjadi di daerah

temporal dapat menimbulkan gangguan pada fungsi lobus temporal seperti memori,

daya pembau dan mengecap.

Manifestasi klinis

24

Page 25: BAB I dan II

Kejang parsial simplek 

Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala

berupa “déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama

sebelumnya.

Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak

dapat di jelaskan.

Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada

bagian tubuh tertentu.

Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu

Halusinasi  

Kejang parsial (psikomotor) kompleks

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan

lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan

mengingat waktu serangan.

Gejalanya meliputi :

gerakan seperti mencucur atau mengunyah

melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya

Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling

dalam keadaan seperti sedang bingung

25

Page 26: BAB I dan II

Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang

Berbicara tidak jelas seperti menggumam

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:

tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis

ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis

ini biasa didahului oleh aura.

Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat

berupa : merasa sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.

Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan

keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan

yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik :

terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau

buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien

mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan

semacam ini.

26

Page 27: BAB I dan II

Diagnosis

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan

melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan

radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang

berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.

Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan

(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan

merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma

kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,

malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

27

Page 28: BAB I dan II

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekuensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

 Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :

Major :

Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder.

Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik.

Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan

terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan

kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang

memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan

otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan

tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan

sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas

28

Page 29: BAB I dan II

penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot

berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.

Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang

dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik

yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke

tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat

aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut

berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam

keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun,

termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan

dapat setiap jam sampai setahun sekali.

Minor :

Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum

yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..

Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya

anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi

demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau

tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.

Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena

menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau

29

Page 30: BAB I dan II

mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan

ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan

disebut trias Lennox-Gastaut.

Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau

sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.

Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan

otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan

gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas,

lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau

tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan

kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang

kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya

dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh

lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari

seluruh kasus epilepsi).

Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus

epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di

gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,

perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.

30

Page 31: BAB I dan II

Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat

mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. Epilepsi lobus temporalis.

Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang

khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus

epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan

pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut

dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,

dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.

Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa

automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak,

dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan

mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari

halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa

jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan

automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan

automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

- Pada orang dewasa

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari

adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih,

31

Page 32: BAB I dan II

dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada muka

dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber. Pada toksoplasmosis, fundus

okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan,

asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,

natrium, bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan timbulnya kejang

ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia,

hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah

karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat

mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan

saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya

perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11

32

Page 33: BAB I dan II

a. Pemeriksaan radiologis

Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.

Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang

informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang

ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing

lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan

foto polos kepala

b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris

33

Page 34: BAB I dan II

Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik

turunnya kesadaran.

c. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan

diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan

umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau

metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding

seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,

misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan

gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu

mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai

gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang

paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai

gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang

timbul secara serentak (sinkron).

a. Rekaman video EEG

34

Page 35: BAB I dan II

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang

sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis

dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan

hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan

untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang

mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum

diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi

refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini

sangat diperlukan pada persiapan operasi.

35

Page 36: BAB I dan II

Gambar Pembentukan EEG

36

Page 37: BAB I dan II

Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada kasus epilepsi ini dibedakan berdasarkan umur penderita.

1. Pada neonatus dan bayi

a. Jittering

b. Apneic spell

2. Pada anak

a. breth holding spells

b. sinkope

c. Migren

37

Page 38: BAB I dan II

d. Bangkitan psikogenik/konversi

e. Prolonged QT syndrome

f. Night terror

g. Tic

h. Hypersianotic attack

3. Pada dewasa

a. Sinkope

b. Serangan iskemik sepintas

c. Vertigo

d. Transient global amnesia

e. Narkolepsi

f. Bangkitan panic, psikogenik

g. Sindrom Menier

h. Tics

38

Page 39: BAB I dan II

Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien,

sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang

dimilikinya. Prinsip terapi farmakologi:

1. OAE mulai diberikan bila:

a. Diagnosis epilepsi telah ditentukan

b. Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan

pengobatan

c. Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek

samping yang timbul

1. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai

dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.

2. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap

sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat plasma

ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

3. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat

mengontrol bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE

telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap

perlahan-lahan

4. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak

dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

39

Page 40: BAB I dan II

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE,

interaksi antarobat epilepsi.

Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan

Jenis

Bangkitan

OAE Lini

Pertama

OAE Lini

Kedua

OAE Lain yang

dapat

dipertimbangkan

OAE yang

sebaiknya

dihindari

Bangkitan

umum tonik

klonik

Sodium

Valproate

Lamotrigine

Topiramate

Carbamazepine

Clobazam

Levetiracetam

Oxcarbazepine

Clonazepam

Phenobarbital

Phenytoin

Acetazolamide

Bangkitan

lena

Sodium

Valproate

Lamotrigine

Clobazam

Topiramate

Carbamazepine

Gabapentin

Oxcarbazepine

Bangkitan

mioklonik

Sodium

Valproate

Clobazam

Topiramate

Carbamazepine

Gabapentin

40

Page 41: BAB I dan II

Topiramate Levetiracetam

Lamotrigine

Piracetam

Oxcarbazepine

Bangkitan

tonik

Sodium

Valproate

Lamotrigine

Clobazam

Levetiracetam

Topiramate

Phenobarbital

Phenytoin

Carbamazepine

Oxcarbazepine

Bangkitan

atonik

Sodium

Valproate

Lamotrigine

Clobazam

Levetiracetam

Topiramate

Phenobarbital

Acetazolamide

Carbamazepine

Oxcarbazepine

Phenytoin

Bangkitan

fokal

dengan/tanpa

umum

sekunder

Carbamazepine

Oxcarbazepine

Sodium

Valproate

Topiramate

Lamotrigine

Clobazam

Gabapentin

Levetiracetam

Phenytoin

Tiagabine

Clonazepam

Phenobarbital

Acetazolamide

41

Page 42: BAB I dan II

Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa

Obat Dosis Awal

(mg/hari)

Dosis

Rumatan

(mg/hari)

Jumlah

Dosis Per

Hari

Waktu

Paruh

Plasma

(Jam)

Waktu

Tercapainy

Steady

State (Hari)

Carbamazepine 400-600 400-1600 2-3x 15-35 2-7

Phenytoin 200-300 200-400 1-2x 10-80 3-15

Asam valproat 500-1000 500-2500 2-3x 12-18 2-4

Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170

Clonazepam 1 4 1 atau 2 20-60 2-10

Clobazam 10 10-30 2-3x 10-30 2-6

Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x 8-15

Levatiracetam 1000-2000 1000-3000 2x 6-8 2

Topiramate 100 100-400 2x 20-30 2-5

Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x 5-7 2

Lamotrigine 50-100 20-200 1-2x 15-35 2-6

42

Page 43: BAB I dan II

Efek samping obat anti epilepsi klasik:

Obat Efek Samping

Terkait Dosis Idiosinkrasi

Carbamazepine Diplopia, dizziness, nyeri

kepala, mual, mengantuk,

netropenia, hiponatremia

Ruam morbiliform,

agranulositosis, anemia

aplastik, hepatotoksik, SSJ,

teratogenik

Phenytoin Nistagmus, ataksia, mual,

muntah, hipertropi gusi,

depresi, mengantuk,

paradoxical increase in seizure,

anemia megaloblastik

Jerawat, coarse facies,

hirsutism, lupus like syndrome,

ruam, SSJ, Dupuytren’s

contracture, hepatotoksik,

teratogenik

Asam valproat Tremor, berat badan naik,

dyspepsia, mual, muntah,

kebotakan, teratogenik

Pankreatitis akut, hepatotoksik,

trombositopenia, ensefalopati,

udem perifer

Phenobarbital Kelelahan, restlegless, depresi,

insomnia (anak), distracatibility

(anak), hiperkinesia (anak),

irritability (anak)

Ruam makulopapular,

eksfoliasi, NET, hepatotoksik,

arthritic changes, Dupuytren’s

contracture, teratogenik

43

Page 44: BAB I dan II

Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk,

dizziness, agresi (anak),

hiperkinesia (anak)

Ruam, trombositopenia

Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama

mengkonsumsi OAE ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.

1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:

a. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya

setelah bebas bangkitan selama minimal 2 tahun

b. Gambaran EEG normal

c. Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula, setiap

bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.

d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.

2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada keadaan

sebagai berikut:

a. Semakin tua usia

b. Epilepsi simtomatik

c. Gambaran EEG abnormal

d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan

e. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita

44

Page 45: BAB I dan II

f. Penggunaan lebih dari satu OAE

g. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

h. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari

bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali

maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian

dievaluasi kembali.

45

Page 46: BAB I dan II

46