bab i - arkeologika.files.wordpress.com · bab i p e n d a h u l u a n a. latar belakang masalah...

24
BAB I P E N D A H U L U A N A. LATAR BELAKANG MASALAH Penelitian tentang keberadaan manusia di Indonesia telah dimulai sejak Eugene Dubois menemukan fosil atap tengkorak dan tulang paha Pithecantropus erectus (Homo erectus erectus) di Trinil pada tahun 1891. 1 Hingga kini penelitian mengenai hal tersebut telah banyak mengalami kemajuan. Berdasarkan bukti paleoantropologi, populasi makhluk manusia yang pertama kali mendiami kawasan Indonesia adalah Homo erectus. Jenis tersebut diperkirakan berevolusi menjadi jenis yang progresif, yaitu Pithecanthropus (Homo erectus) soloensis atau Solo Man, tetapi kemudian mengalami kepunahan pada 40.000 BP. 2 Populasi manusia yang dianggap modern secara anatomi, yang paling awal masuk ke kawasan Kepulauan Indo-Malaysia adalah Homo (sapiens) wajakensis yang ditemukan di Wajak (Tulung Agung) dan berumur sekitar 50.000 BP. 3 Beberapa sisa tinggalan lainnya yang sejenis dari kawasan ini antara lain adalah, 1 R.P Soejono, Sejarah Nasional Indonesia I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), hlm. 61. 2 Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific, (Auckland: Collins, 1975), hlm. 38. 3 Banyak perdebatan mengenai pertanggalan tengkorak Wajak, kemungkinan besar tengkorak ini dimasukkan dalam tarik yang lebih muda. Periksa: Peter Bellwood, Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 125.

Upload: buiduong

Post on 06-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Penelitian tentang keberadaan manusia di Indonesia telah dimulai sejak

Eugene Dubois menemukan fosil atap tengkorak dan tulang paha Pithecantropus

erectus (Homo erectus erectus) di Trinil pada tahun 1891.1 Hingga kini penelitian

mengenai hal tersebut telah banyak mengalami kemajuan. Berdasarkan bukti

paleoantropologi, populasi makhluk manusia yang pertama kali mendiami

kawasan Indonesia adalah Homo erectus. Jenis tersebut diperkirakan berevolusi

menjadi jenis yang progresif, yaitu Pithecanthropus (Homo erectus) soloensis

atau Solo Man, tetapi kemudian mengalami kepunahan pada 40.000 BP.2

Populasi manusia yang dianggap modern secara anatomi, yang paling awal

masuk ke kawasan Kepulauan Indo-Malaysia adalah Homo (sapiens) wajakensis

yang ditemukan di Wajak (Tulung Agung) dan berumur sekitar 50.000 BP.3

Beberapa sisa tinggalan lainnya yang sejenis dari kawasan ini antara lain adalah,

1 R.P Soejono, Sejarah Nasional Indonesia I, (Jakarta: Balai Pustaka,

1975), hlm. 61. 2 Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific, (Auckland: Collins,

1975), hlm. 38. 3 Banyak perdebatan mengenai pertanggalan tengkorak Wajak,

kemungkinan besar tengkorak ini dimasukkan dalam tarik yang lebih muda. Periksa: Peter Bellwood, Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 125.

2

tengkorak dalam dari gua Niah (Serawak) berumur sekitar 35.000-40.000 BP dan

sebuah lagi tengkorak dari Tabon (Palawan) berumur sekitar 24.000 BP.4

Saat ini populasi Homo sapiens sapiens yang mendiami kawasan

Indonesia terdiri dari dua ras yaitu Australo-Melanesid dan Mongoloid.5 Manusia

dengan ciri ras Australo-Melanesid diantaranya adalah orang Papua di Papua dan

Nugini, orang Halmahera Utara dan Morotai, beberapa komunitas di Timor bagian

tengah dan timur dan beberapa pulau kecil (Alor dan Pantar) di kawasan

Indonesia bagian Timur. Di lain pihak, ras Mongoloid (selatan) yang

menggunakan rumpun bahasa Austronesia secara mayoritas mendiami kawasan

Indonesia barat, seperti etnis Melayu dan beberapa etnis kerabatnya, Jawa, Dayak,

Sulawesi dan etnis di beberapa bagian Indonesia Timur, seperti di Halmahera

Selatan.6

Sebelum kedatangan orang Austronesia, wilayah Indonesia secara

mayoritas telah dihuni oleh populasi Australo-Melanesid. W.W. Howells7 seorang

ahli antropologi ragawi telah menyusun analisis multivarian berdasarkan atas studi

antropometrik dan kranial yang kemudian sampai pada kesimpulan bahwa pada

masa lampau terdapat suatu kawasan yang disebut Melanesia Lama yang meliputi

4 Periksa: Sandra Bowdler, “Sunda and Sahul: A 30 KYR BP Culture

Area?”, dalam Smith. MA; Springgs.M and Fankhain, Sahul in Review, (Canbera: RPAS, ANU, 1993), hlm. 64-65. dan Robert B. Fox, The Tabon Caves, Archaeological Explorations and Excavations on Palawan Island, Philippines (Manila: National Museum, 1970), hlm. 40.

5 Peter Bellwood, op.cit.,2000, hlm. 99. 6 Ibid., hlm. 144. 7 Dalam Peter Bellwood, The Colonization of the Pacific: Some Current

Hypotheses, hlm. 12.

3

Daratan Sunda, Daratan Sahul, dan Kawasan Wallacea. Selain itu hasil analisisnya

menyebutkan bahwa, di Asia Tenggara daratan (termasuk Sumatra bagian utara)

juga terdapat kawasan budaya Hoabinhian. Menurut Howells, kedua kawasan

tersebut dikoloni oleh manusia dengan ciri ras Australo-Melanesid. Tengkorak

Wajak, Niah dan Tabon dianggap merupakan nenek moyang Australo-Melanesid,

yang telah muncul di wilayah kepulauan ini setidaknya sejak 50.000.8

Di kawasan Maluku Utara, bukti awal mengenai kedatangan spesies

manusia modern muncul sejak Kala Plestosen Akhir dan Awal Holosen, yang

ditemukan di gua pantai Golo (32.000 BP), Um Kapat Papo (7000 BP) dan

Buwawansi (9000 BP) di Pulau Gebe, selain itu juga Daeo 2 (15000 BP) dan

Tanjung Pinang (9000 BP) di Pulau Morotai, dan Gua Siti Nafisah (5.500 BP) di

Pulau Halmahera.9 Tinggalan dari fase budaya tersebut juga merupakan jejak

keberadaan populasi Australo-Melanesid (pra-Austronesia) di Maluku Utara.

Pada masa neolitik, bersamaan dengan munculnya pola subsistensi

bercocok tanam, populasi di wilayah Indonesia bagian barat mulai digantikan oleh

populasi Mongoloid selatan (Austronesia). Sementara itu, populasi Australo-

Melanesid berangsur-angsur terdesak ke arah timur, dan wilayah yang didiaminya

kemudian dinamakan Melanesia baru.10

8 Peter Bellwood, op.cit., 2000, hlm. 128-129. 9 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey

Irwin, “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 233-234.

10 Peter Bellwood, op.cit., 2000, hlm. 129.

4

Austronesia adalah istilah yang diberikan oleh ahli linguistik, untuk

menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan oleh

orang di kepulauan Indo-Malaysia dan Oseania. Pada akhirnya istilah Austronesia

juga digunakan untuk menyebut seluruh komunitas yang berbudaya dan

menggunakan rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa ini terdiri atas 1.200

bahasa dan digunakan oleh kira-kira 270 juta penutur. Persebaran bahasa ini telah

mencapai lebih dari separuh belahan dunia sebelum masa kolonialisme bangsa

Eropa.11 Banyak ahli yang berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa

Austronesia yang luas disebabkan oleh proses ekspansi komunitas penutur

rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya.

Sumber: Peter Bellwood, (1975), dengan modifikasi.

Keterangan: Batas persebaran rumpun bahasa Austronesia. Peta tanpa skala

11 Beberapa kelompok yang terbesar adalah: Melayu, Tagalog dan Jawa.

Darrel Tryon, “Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup” dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 17. Lihat peta 1.1

Peta 1.1. Persebaran rumpun bahasa Austronesia.

5

Sudah banyak para ahli yang mengajukan model migrasi untuk kasus

persebaran orang Austronesia. R. Von Heine Geldern adalah ahli yang pertama

menyodorkan konsep tentang budaya Austronesia. Ia berpendapat bahwa luas

persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya

Vierkantbeil adze. Ciri-ciri utama dari kompleks budaya Vierkantbeil adze adalah

kehadiran beliung persegi. Menurut Geldern, kompleks budaya ini berasal dari

budaya neolitik Skandinavia, di daerah Danau Baikal dan Baltik (Eropa).

Kemudian budaya ini menyebar melalui sepanjang wilayah pantai Arktik Eurasia

menuju Pasifik Utara, hingga akhirnya secara mayoritas distribusinya meliputi

wilayah Pasifik, Asia Tenggara, dan Polynesia. Selain itu, bentuk beliung dari

Asia Timur Laut juga berhubungan erat dengan beliung dari Amerika Barat

Laut.12 Teori ini telah kadaluarsa, karena hanya didasarkan pada persamaan

tipologi beliung persegi saja dan secara logika terdapat kesenjangan alur

pemikiran. Selain pandangannya yang Eropa sentris, data yang digunakan hanya

berasal dari kumpulan hasil survey permukaan yang konteksnya tidak jelas dan

miskin dokumentasi. Berdasarkan penelitian terbaru dengan berbagai data, teori

yang diajukan oleh Geldern tersebut tidak dapat diterima.

Roger Duff13 mengajukan teori bahwa, arah persebaran bangsa

Austronesia yang didukung oleh pola subsistensi bercocok tanam tercermin dari

persebaran suatu jenis tipologi beliung persegi dari kawasan Asia Tenggara

12 Roger Duff, Stone Adze of Southeast Asia, (New Zealand: Centerbury

Museum, 1970), hlm. 8. 13 Ibid., hlm. 4.

6

Daratan. Teori tersebut berpijak pada hasil klasifikasi typologi beliung persegi

bardasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman, dan bentuk pangkal. Roger Duff

sampai pada kesimpulan bahwa pusat asal penyebaran beliung persegi yang

tersebar di kawasan kepulauan Indonesia kecuali Nugini berasal dari semenanjung

Malaya bagian selatan. Ciri-ciri budaya Austronesia ditandai dengan beliung

paruh (Malayan Beacked Adze)14 dan belincung (Indonesian Pick Adze)15. Beliung

paruh menyebar dari Malaysia ke Sumatra dan Jawa, tetapi belincung yang

tersebar di Indonesia tidak ditemukan di Malaysia. Beliau mengutip pendapat H.R

Van Heekern bahwa, belincung berasal dari Sumatra dan Jawa, yang kemudian

menyebar ke Bali, menuju Kepulauan Sunda Kecil dan Sulawesi sampai

Minahasa. Sementara itu, beliung di Borneo Barat berasal dari Sumatra lewat

Bangka.16 Teori ini memang merupakan penajaman dari teori yang di bangun oleh

Geldern, tetapi juga perlu direvisi dengan adanya berbagai penemuan dari

penelitian terbaru.

Thor Heyerdahl,17 mengajukan hipotesis bahwa orang Austronesia yang

mendiami kepulauan Pasifik bermigrasi dari pantai barat Amerika Selatan.

Berdasarkan pada kajian navigasi, ia mengajukan teori bahwa orang Austronesia

bermigrasi dari Indonesia mengikuti “Great circle route” menuju Jepang, Alaska,

14 Type 7, variasi D dan E menurut klasifikasi Duff. 15 Type 7, variasi A, B dan C menurut klasifikasi Duff. 16 Roger Duff, op.cit., 1970, hlm. 14. 17 Ia mengadakan studi mengenai pelayaran tradisional dari Ekuador

menuju Kepulauan Tuamotu dengan menggunakan Kon Tiki, perahu tradisional etnis di Amerika selatan. Lihat: Irving Rouse, Migrations In Prehistory, Inferring Population Movement From Cultural Remains (New Haven: Yale University Press, 1986), hlm. 23-24.

7

pesisir Pasifik Utara, kemudian menuju Polynesia dari timur ke barat. Model

migrasi yang diajukannya adalah jalur utara dari Pesisir Pasifik utara menuju

kepulauan Hawaii, dan jalur selatan dari Bolivia dan Peru menuju Pulau Easter.

Model yang diajukannya didukung oleh perbandingan ciri rasial dan beberapa

item budaya material. Menurut Irving Rouse, teori ini memiliki banyak kelemahan

baik dari sudut pandang arkeologi dan genetik. Selain itu, juga kurang

memperhatikan fakta yang berasal dari data linguistik.

Ahli lainnya adalah Wilhelm G. Solheim II18 yang mengajukan teori

bahwa wilayah geografis persebaran gerabah Sa-Huynh-Kalanay di Asia

Tenggara dan Lapita di Melanesia barat memiliki hubungan dengan persebaran

orang Austronesia. Teorinya berangkat dari hasil rekonstruksi linguistik Isodore

Dyne mengenai bahasa Proto Melayu-Polynesia yang diperkirakan berkembang di

kepulauan Melanesia Barat. Solheim berpendapat bahwa daerah asal komunitas

Austronesia adalah dari kawasan di sekitar Palawan-Serawak-Sulu-Sulawesi.

Walaupun demikian, kawasan ini diperkirakan hanya merupakan daerah tahap

kedua ketika komunitas ini mulai mengembangkan diri, dan bukan merupakan

tempat asal awal perkembangan Austronesia. Menurutnya, data yang tersedia

masih belum cukup untuk menentukan daerah asal komunitas Austronesia. Data

tersebut dapat digunakan untuk mendukung berbagai hipotesis mengenai daerah

18 Periksa: Wilhelm G. Solheim II, “Reflections on the New Data of

Southeast Asian Prehistory, Austronesian Origin and Consequence”, dalam Peter Van de Velde, eds., Prehistoric Indonesia, (USA: Foris Publications, 1984).

8

asal orang Austronesia. Selain itu, Solheim mengajukan istilah Nusantau19 untuk

menyebut kelompok manusia dan budayanya tersebut.

Indah Asikin Nurani dalam tulisannya yang berjudul “Persebaran Tradisi

Beliung Persegi dan Kapak Lonjong, Perpaduan di Kalumpang” (1993) dan

“Sulawesi Sebagai Pusat Migrasi bangsa Austronesia” (1996) sampai pada

kesimpulan bahwa daerah Indonesia timur bagian utara (khususnya Sulawesi)

adalah daerah pusat migrasi orang Austronesia. Ia berpendapat bahwa gerabah

Kalumpang yang sangat mirip dengan gerabah Kalanay, serta variasi temuan

beliung persegi dan kapak lonjong, mengindikasikan bahwa Kalumpang adalah

daerah asal persebaran orang Austronesia. Dari daerah ini beliung persegi

menyebar ke arah Indonesia Barat dan Asia Tenggara Daratan, sedangkan kapak

lonjong menyebar ke arah timur menuju Kepulauan Melanesia. Walaupun

demikian, hipotesis yang dihasilkan dari kedua tulisan tersebut kurang signifikan

dengan data dari hasil penelitian terbaru. Selain itu, tulisan tersebut juga belum

memperhatikan data linguistik dan catatan etnografi.

Peter Bellwood20, dengan bukti yang lebih kompleks berhasil mengajukan

teori yang lebih valid. Bertolak dari bukti arkeologis dan linguistik, beliau

mengajukan teori bahwa daerah asal orang Austronesia adalah Taiwan dan Pantai

Cina bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap

19 Nusantau, dari kata Nusa: pulau dan tau: orang, lihat: ibid. 20 Peter bellwood, “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland,

Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 97-98.

9

sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis

daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek

budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi

dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi

Zhejiang yang berumur 7000 tahun.

Sangat mengagumkan melihat persebaran bahasa Austronesia yang

dituturkan hampir di seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasfik. Berdasarkan

analisis linguistik, Robert Blust21 mengajukan pendapat bahwa sub-kelompok

bahasa Proto Melayu-Polynesia Timur (PEMP) yang dituturkan di area Teluk

Cendrawasih (Papua), telah berkembang dan menurunkan dua anak bahasa yaitu

bahasa Proto Halmahera Selatan-Nugini Barat (PSHWNG) dan Proto Oceanik

(POC). PSHWNG dituturkan di daerah yang sama dengan PEMP dan menyebar

ke barat sampai Halmahera Selatan dan pesisir utara Papua di timur. Di lain pihak,

POC dituturkan di pantai utara Nugini yang berhadapan dengan Laut Bismark dan

Kepulauan Admiralty (kawasan Kepulauan Bismark). Agaknya, orang

Austronesia harus melewati Halmahera sebelum mencapai Pasifik. Berdasarkan

analisis linguistik tersebut, dapat diperkirakan bahwa keletakan kawasan Maluku

Utara yang sangat strategis memiliki arti penting bagi kajian migrasi-kolonisasi

Austronesia.

Berdasarkan penelitian baru-baru ini oleh Peter Bellwood pada tahun 1991

dan 1994, dari kawasan Maluku Utara diperoleh catatan prasejarah yang rinci dan

21 Robert Blust, “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective”,

Asian Perspectives 26 (1), (1984/85), hlm. 57-58.

10

panjang meliputi lebih dari 32.000 tahun.22 Kawasan tersebut memiliki banyak

situs yang berpotensi untuk mengungkapkan berbagai masalah yang berkaitan

dengan migrasi Austronesia. Salah satu situs tersebut adalah situs Ceruk Uattamdi

di Pulau Kayoa, Maluku Utara. Berdasarkan analisis Peter Bellwood23, data

arkeologi yang dihasilkan di situs tersebut (3300 BP) berhubungan erat dengan

tinggalan dari Filipina dan Lapita di Melanesia Barat yang memiliki pertanggalan

sezaman. Selain itu, data arkeologi yang dihasilkan situs tersebut

mengindikasikan adanya kolonisasi orang Austronesia di kawasan tersebut.

Saat ini, terdapat beberapa tulisan mengenai migrasi-kolonisasi manusia di

wilayah Indonesia, misalnya: Daud Aris Tanudirdjo24 yang berjudul “Proses Awal

Penghunian Paparan Sahul Utara dan Kepulauan Melanesia” (1991) dan

“Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The models and the Data” (2000).

Kedua tulisan tersebut membahas beberapa kemungkinan mengenai proses

kolonisasi di Indonesia pada Kala Plestosen (pra-Austronesia) berdasarkan model

pengambilan keputusan dengan data yang tersedia. Selain itu, beliau juga menulis

disertasi yang berjudul “Islands in Between, Prehistory of the Northeastern

Indonesian Archipelago“ (2002) yang membahas migrasi dan kolonisasi manusia

22 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo,

Geoffrey Irwin, op.cit., 2000, hlm. 195. 23 Ibid., hlm. 219 24 Daud Aris Tanudirjo, “Proses Awal Penghunian Paparan Sahul Utara

dan Kepulauan Melanesia”, makalah disampaikan dalam kegiatan ilmiah IAAI Komda Yogyakarta-Jawa Tengah, (tidak diterbitkan, 1991) dan “Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The models and the Data”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 179-230.

11

di kepulauan Indonesia Timur bagian utara. Hannibal Hutagalung25 menulis

mengenai keterkaitan antara situs Gua Golo dengan situs-situs lain yang relatif

sezaman di Asia Tenggara dengan perspektif proses migrasi Homo sapiens (pra-

Austronesia). Peter Veth, dkk26 dalam tulisannya “Bridging Sunda and Sahul: The

Archaeological Significance of the Aru Island, Maluku” (2000) memberikan

kesimpulan, berdasarkan survey arkeologi dan geomorfologi, bahwa Pulau Aru

berpotensi sebagai objek kaji untuk menguji hipotesis mengenai migrasi yang

diajukan dengan berbagai cara, khususnya model yang diajukan oleh Birdsell.

Peter Bellwood, dkk27 dalam tulisannya, “35,000 Years of Prehistory in

the Northern Moluccas” (1998) dan “The Northern Molluccas as A Crossroads

between Indonesia and the Pacific” (2000), membahas tentang kolonisasi kala

Plestosen, kontak antar pulau, data baru mengenai pertanian, dan hubungan antara

rumpun bahasa Austronesia dengan rumpun bahasa Papua. Selain itu, dalam

tulisan tersebut dikemukakan bahwa di situs Uattamdi, Pulau Kayoa, terdapat dua

25 Hannibal Hutagalung, “Pemanfaatan Situs Gua Golo, Pulau Gebe

(Maluku) Sebagai Hunian Kala Pleistosen Akhir-Holosen”, Skripsi Sarjana, (Yogyakarta: Fak. Sastra Univ. Gadjah Mada, 1999).

26 Peter Veth, Matthew Spriggs, Jatmiko, Susan O’Connor, “Bridging Sunda and Sahul: The Archaeological Significance of the Aru Island, Maluku, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta :PSAP-UGM, 2000), hlm. 91-118.

27 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, & Daud Aris Tanudirjo, “35,000 Years of Prehistoriy in the Northern Moluccas”, dalam Gert-Jan Bartstra ed., Bird’s Heads Approaches, (Rotterdam: Balkema, 1998), hal. 233-275. dan Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM), 2000, hlm. 231-254.

12

fase budaya, yaitu fase neolitik dan logam awal. Walaupun kawasan yang dikaji

dalam tulisan Bellwood juga Maluku Utara, tetapi tulisan tersebut belum

membahas bagaimana kelompok manusia Austronesia dan Non-Austronesia dapat

sampai di Kepulauan Maluku Utara dan implikasi mengenai kedua proses

migrasi-kolonisasi kedua kelompok manusia tersebut, seperti aspek interaksi

antara komunitas pendatang dengan komunitas setempat yang telah datang di

kawasan tersebut sejak masa sebelumnya. Penelitian ini bersifat meneruskan dan

melengkapi berbagai penelitian yang telah dilakukan, karena data yang ada masih

mampu untuk mengungkapkan hal lain yang belum dibahas peneliti terdahulu

khususnya mengenai proses migrasi-kolonisasi manusia.

B. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

disusun rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kronologi budaya situs Ceruk Uattamdi, Pulau Kayoa ?

2. Bagaimanakah proses migrasi-kolonisasi manusia di kawasan Maluku

Utara ?

3. Bagaimanakah implikasi dari proses migrasi-kolonisasi tersebut bagi

perkembangan budaya Austronesia ?

Berdasarkan pada perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini

adalah untuk mengungkapkan kronologi budaya dan proses perubahan budaya

yang terjadi di situs Ceruk Uattamdi, Pulau Kayoa. Tujuan tersebut digunakan

13

untuk membantu mengintepretasikan proses migrasi-kolonisasi manusia di

kawasan Maluku Utara. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui

implikasi yang berkaitan dengan proses migrasi-kolonisasi manusia di Maluku

Utara bagi perkembangan budaya Austronesia, baik yang tampak melalui data

arkeologi, etnografi, dan linguistik. Manfaat lain yang lebih jauh adalah untuk

mengembangkan kerangka pikir dalam mengkaji kasus penghunian suatu wilayah

yang sebelumnya telah dihuni oleh komunitas manusia lainnya.

C. LANDASAN TEORI28

Dalam ilmu demografi, migrasi merupakan salah satu komponen yang

dikaji selain kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Migrasi adalah

mobilitas penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu menuju wilayah lain

dalam periode waktu tertentu.29 Kolonisasi berarti proses penghunian suatu

wilayah oleh suatu komunitas tertentu. Proses penghunian yang dimaksud

28 Penelitian ini berangkat dari data, walaupun demikian penelitian ini tetap

membutuhkan perangkat teori. Kedudukan teori dalam penelitian ini bukan sebagai penghasil hipotesis yang akan diujikan dalam penelitian, melainkan sebagai landasan bagi arah penelitian. Selain itu, kedudukan teori dalam penelitian ini adalah untuk membatasi dan mengarahkan pembahasan data, sehingga analisis yang dilakukan tidak bersifat liar. Walaupun demikian, sifat data masih dapat berbicara bebas. Jika terdapat ketidaksesuaian antara teori dengan data yang ada, maka hal tersebut akan dijelaskan, melalui proses dialogis antara data arkeologi di Maluku Utara dengan fenomena migrasi-kolonisasi manusia secara keseluruhan. Sintesis yang dihasilkan dalam penelitian ini hendaklah tidak dipandang sebagai suatu kesimpulan akhir, namun harus dilihat sebagai salah satu cara pencarian penjelasan. Sehingga hasil penelitian ini masih dapat diuji validitasnya melalui penelitian berikutnya dengan metode dan teknik yang berbeda.

29 Ida Bagoes Mantra, Demografi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 224-225.

14

meliputi: penghunian, perkembangan, dan kejenuhan penduduk. Jika suatu

komunitas sudah mengalami kejenuhan penduduk, maka terdapat kemungkinan

sebagian dari komunitas tersebut akan, memisahkan diri dari komunitas intinya.

Oleh karena itu, kajian migrasi berhubungan erat dengan kolonisasi.

Dalam kajian migrasi, terdapat dua aliran pemikiran yang mendasarinya

kajian tersebut, yaitu: Teori Kebetulan (accidental theory) dan Teori Pengambilan

Keputusan (decision-making theory). Teori kebetulan menyatakan bahwa

kolonisasi daerah-daerah baru oleh manusia pada masa prasejarah dilakukan

secara tidak sengaja. Di lain pihak, teori pengambilan keputusan menyatakan

bahwa proses perpindahan manusia dilakukan secara terencana dan dikelola

dengan baik, sehingga bukan merupakan suatu kebetulan belaka.

Dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan migrasi dan

kolonisasi daerah baru, manusia akan mempertimbangkan setiap kemungkinan

akibat dari tindakan yang terbuka baginya. Dalam kehidupan manusia, hal

tersebut tercermin dalam dua variabel, yaitu: biaya (cost) dan keuntungan

(benefit). Biaya adalah sesuatu yang harus dikeluarkan untuk mencapai target,

sedangkan keuntungan adalah sesuatu yang diperoleh setelah mencapai target.30

Dalam hal ini, kemungkinan biaya yang dipertimbangkan adalah biaya

transportasi, konflik dengan komunitas lain di daerah asing, dan adaptasi budaya

di daerah baru dengan lingkungan yang kemungkinan berbeda. Di sisi lain,

keuntungan yang mungkin menjadi pertimbangan adalah daerah baru yang

30 Daud Aris Tanudirjo, op.cit., (1991), hlm. 3.

15

memiliki sumberdaya dan sumber penghidupan baru, serta kehidupan baru dengan

harapan akan masa depan yang lebih baik. Lebih jauh, dapat dikatakan secara

umum bahwa migrasi akan terjadi apabila terdapat perbedaan nilai kefaedahan di

antara dua wilayah.

Teori lain yang digunakan dalam kajian migrasi adalah teori kebutuhan

dan tekanan (need and stress theory), yang menjelaskan mengapa suatu komunitas

mengambil keputusan untuk melakukan migrasi. Teori tersebut menyatakan

bahwa tiap manusia memiliki kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi, antara lain

adalah kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologis. Apabila tidak terjadi

pemenuhan salah satu atau beberapa kebutuhan tersebut, maka akan terjadi

tekanan atau stress.31 Terdapat dua akibat yang ditimbulkan dari tekanan tersebut.

Pertama, jika tekanan tidak terlalu besar atau masih dalam batas toleransi, maka

komunitas tersebut tidak akan pindah. Mereka akan tetap tinggal di daerah asal

dan melakukan adaptasi budaya guna memenuhi kebutuhannya dengan

memanfaatkan sumberdaya yang ada. Kedua, jika tekanan yang dialami

melampaui batas toleransi, maka komunitas tersebut cenderung melakukan

migrasi ke tempat lain agar kebutuhannya dapat terpenuhi.

Banyak sekali faktor yang menyebabkan migrasi manusia. Akan tetapi,

sangat sulit mengidentifikasi faktor khusus yang menyebabkan migrasi tanpa

bantuan dokumentasi data yang lengkap. Di sisi lain, lebih mudah

mengidentifikasikan struktur kondisi umum yang menyebabkan terjadinya

migrasi. Pada umumnya terdapat dua faktor penyebab migrasi yang dibedakan

31 Ida Bagoes Mantra, op.cit., hlm. 231.

16

berdasarkan tempatnya, yaitu faktor pendorong dan penarik. Walaupun kedua

faktor tersebut merupakan faktor utama, tetapi sifatnya tidak mutlak menjadi

penyebab terjadinya migrasi. Faktor pendorong adalah tekanan yang terjadi di

daerah asal, sedangkan faktor penarik adalah hasil atau keuntungan di daerah baru

(tujuan).32 Beberapa faktor penyebab migrasi yang telah disebutkan tersebut akan

dibahas dalam penelitian mengenai migrasi-kolonisasi manusia ini.

Menurut MacArthur dan Wilson33 yang membangun “The Theory of Island

Biogeography”, aspek lingkungan yang berpengaruh dalam proses kolonisasi di

daerah kepulauan adalah jarak antar pulau, konfigurasi bentang lahan, dan luas

area. Teori ini menitikberatkan pada aspek lingkungan, sehingga pendekatannya

lebih bersifat materialistis. Padahal, dalam kasus migrasi-kolonisasi manusia pada

daerah baru juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non-material, sehingga

pendekatan lingkungan tidak dapat menjangkau sampai pada faktor non-material

tersebut. Meskipun demikian, teori ini masih berguna untuk mengarahkan

penjelasan migrasi manusia, khususnya dari sudut pandang lingkungan alam.

a. Jarak Antar Pulau

Aspek jarak berakibat pada pemilihan target kolonisasi, semakin dekat

jarak daerah yang memiliki sumberdaya maka semakin besar kemungkinannya

untuk dipilih sebagai daerah target kolonisasi, dan begitu juga sebaliknya. Pulau

32 David W. Anthony, “Migration in Archaeology: The Baby and the

Bathwater”, American Anthropologist 92, (1990), hlm. 899. 33 Teori tersebut dikutip oleh William F. Keegan dan Jared M. Diamond

dalam tulisannya “Colonization of Island by Human: A Biogeographical Perspective”, Advances in Archaeological Method and Theory, No. 10, (1987), hlm. 58-65.

17

yang minim sumberdaya tanpa pulau-pulau pendukung di sekitarnya akan lebih

kecil kemungkinannya untuk dikolonisasi.

b. Konfigurasi Bentang Lahan

Konfigurasi bentang lahan yang terdiri atas kepulauan menyebabkan

migrasi steping stone dari pulau yang satu ke pulau yang lain, dengan sejumlah

pulau sebagai batu loncatan. Pulau-pulau yang saling terlihat dan berhubungan,

lebih besar kemungkinannya dipilih sebagai target kolonisasi. Variabel yang

berpengaruh pada aspek jarak antar pulau dan konfigurasi bentang lahan adalah

angin, pola arus laut, dan bahaya (misalnya badai).

c. Luas Area

Aspek luas area adalah besar kecilnya luas pulau yang menjadi target

kolonisasi yang dipertimbangkan. Pulau yang lebih besar cenderung dipilih dari

pada pulau yang lebih kecil, karena lebih mudah diakses, lebih banyak

mengandung sumberdaya, dan dapat mendukung perkembangan populasi yang

lebih besar.

Menurut Anthony34, terdapat dua tipe utama migrasi yang dibedakan

berdasarkan cakupan keruangannya, yaitu migrasi jarak dekat dan migrasi jarak

jauh. Migrasi jarak dekat biasanya memiliki frekuensi lebih tinggi tetapi dalam

jarak yang tidak terlalu jauh, sebaliknya migrasi jarak jauh frekuensinya rendah

tetapi dapat menembus cakupan geografis yang sangat luas, melewati suatu relung

ekologi dan budaya tertentu. Walaupun demikian, migrasi jarak jauh dapat

34 David W. Anthony, op.cit., hlm. 899.

18

merupakan implikasi dari proses migrasi jarak dekat yang berkelanjutan. Pada

migrasi jarak jauh, terdapat beberapa pola, antara lain adalah migrasi lompat

katak, migrasi arus, migrasi balik, migrasi frekuensi, dan migrasi demografi.

Pendekatan migrasi jarak jauh sangat tepat untuk menjelaskan migrasi manusia di

kepulauan Asia tenggara. Pendekatan semacam ini pernah digunakan oleh

Matthew Spriggs35 untuk menjelaskan migrasi Lapita di kawasan Pasifik Barat.

Menurut Keegan dan Diamond36, dalam kasus kolonisasi kawasan baru

terdapat tiga tahapan yang akan dilalui oleh para kolonis. Pertama adalah tahap

adaptasi dengan lingkungan baru, lingkungan tersebut dapat sama atau berbeda

sama sekali dengan lingkungan asalnya. Kedua adalah tahap beachhead bottle

neck, yaitu tahap seleksi alam (survival of the fittes), dengan resiko punah ketika

harus beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya. Selain

itu, mereka juga harus mengatur sistem budaya mereka agar mampu bertahan.

Tahap ketiga, jika suatu kelompok masyarakat dapat melewati kedua tahap

tersebut, maka mereka akan terus berkembang sampai terjadi kejenuhan

penduduk. Jika mereka sampai pada tahap kejenuhan penduduk, padahal sumber

daya lingkungan sudah tidak mendukung, maka akan terjadi degradasi

lingkungan. Salah satu pilihan bagi mereka dalam menghadapi keadaan ini adalah

mencari dan mengkoloni daerah-daerah baru. Kemampuan alami suatu komunitas

masyarakat untuk selalu melanjutkan kolonisasi daerah baru disebut autocatalysis.

35 Periksa: Matthew Spriggs, “The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 112-133.

36 Periksa: William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit.,hlm. 74.

19

D. METODE DAN STRATEGI PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini

bersifat eksplikatif. Penelitian ini akan memberikan gambaran atau deskripsi yang

sistematik tentang data atau fakta. Dalam penelitian ini akan diuraikan

keseluruhan data atau fakta menjadi bagian-bagian dan akan ditunjukkan

hubungan-hubungan diantaranya.37 Dalam penelitian ini fakta yang berasal dari

data arkeologi (artefaktual, ekofak, konteks, stratigrafi serta pertanggalannya),

data etnografi dan data linguistik akan diuraikan secara keseluruhan dan

dijelaskan hubungannya, sehingga dapat diketahui jawaban mengenai tujuan

penelitian yang akan dicapai. Jadi berdasarkan sifat penalarannya, penelitian ini

mengutamakan pengkajian berbagai informasi sebagai pangkal tolak dalam

penarikan kesimpulan. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan digunakan

pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkapkan makna

yang melekat pada data arkeologi.

Berdasarkan pada metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini,

maka dapat disusun tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut:

1. Tahap pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil penelitian yang

dilakukan oleh Peter Bellwood pada tahun 1994-1996 di kawasan Maluku Utara,

khususnya Situs Ceruk Uattamdi, Pulau Kayoa, Maluku Utara. Pertanggalan dan

37 Daud Aris Tanudirjo, “Ragam Metode Penelitian Arkeologi Dalam

Skripsi Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada”, Laporan Penelitian, (Yogyakarta: Jur. Arkeologi, Fak. Sastra, UGM, 1988-1989), hlm. 26.

20

pendokumentasian data arkeologi yang cukup baik merupakan alasan dipilihnya

data dari situs tersebut. Data yang dimaksud terdiri atas berbagai hasil analisis

yang pernah dilakukan terhadap data artefaktual, ekofak, tulang manusia (sisa

penguburan), dan pertanggalan. Data yang dapat akses dan dianalisis langsung

adalah fragmen gerabah dari situs Uattamdi. Selain itu, juga digunakan data hasil

penelitian dari berbagai situs di kawasan Maluku Utara dan sekitarnya yang

relevan dalam penelitian ini.

Sampai saat ini beberapa analisis data arkeologi telah dilakukan oleh Peter

Bellwood, sebagaimana dimuat dalam publikasinya yang berjudul “35,000 Years

of Prehistory in the Northern Moluccas”, “The Archaeology of Papuan and

Austronesian prehistory in the Northern Moluccas, Eastern Indonesia” dan “The

Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”. Analisis

alat tulang dari beberapa situs di Maluku Utara telah dilakukan oleh Juliette

Pasveer dan Peter Belwood (tidak dipublikasikan). Analisis teknologi pembuatan

beliung kerang telah dilakukan oleh Goenadi Nitihaminoto dan disampaikan

dalam Seminar Prasejarah Indonesia I dengan judul “Beliung Kerang situs Golo,

Pulau Gebe: Sebarannya di Maluku Utara dan daerah Pasifik”. Selain itu, analisis

gerabah dari berbagai situs di Maluku Utara juga telah dilakukan oleh Mahirta

dalam Thesisnya yang berjudul “The Development of Mare Pottery in the

Northern Moluccas Context and its Recent Trading Network”. Daud Aris

Tanudirjo juga telah menulis untuk disertasi dengan judul “Islands in Between,

Prehistory of the Northeastern Indonesian Archipelago“ yang membahas migrasi

dan kolonisasi manusia di kepulauan Indonesia Timur bagian utara.

21

Peter Bellwood 38 dalam tulisannya ”Crossing the Wallacea Line-With

Style” menyarankan bahwa, dengan bukti arkeologi saja tidak cukup untuk

merekonstruksi migrasi dan kolonisasi pada masa prasejarah. Oleh karena itu,

juga harus memperhatikan catatan etnografi, bukti linguistik, dan genetik. Pada

dasarnya kelemahan data arkeologi adalah sifatnya yang terbatas dan

fragmentaris. Kadang kala data arkeologi tidak dapat menunjukkan aspek dinamis

dari suatu budaya.39 Hal ini disebabkan karena berbagai aspek, seperti misalnya

proses tafonomis dan bias-bias yang ditimbulkan. Maka, dalam penelitian ini,

selain digunakan data yang berupa hasil analisis arkeologi, juga akan digunakan

data dari beberapa ilmu bantu lainnya, yaitu linguistik dan etnografi sebagai data

pendukung. Sementara itu data genetik tidak digunakan dalam penelitian ini

karena kelangkaan data tersebut. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan tetap

digunakannya data tersebut.

2. Tahap Pengkajian data

Pada tahap analisis akan dipaparkan hasil analisis terhadap data arkeologi

yang pernah dilakukan sebelumnya. Pada tahap ini, juga akan dilakukan

pembahasan terhadap hasil analsis yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti

sebelumnya terhadap data arkeologi situs Uattamdi, sehingga hasil analisis

tersebut menjadi lebih valid dan relevan untuk menjawab permasalahan dalam

38 Peter Bellwood, ”Crossing the Wallacea Line-With Style”, dalam

Matthew Spriggs, dkk (eds), A Community of Culture, The People and Prehistory of the Pacific, No. 21, (Canberra: ANU, 1993), hlm. 155-156.

39 Daud Aris Tanudirdjo, “Kajian Budaya Bendawi Modern dan Arkeologi”, Artefak, No. 15/Agustus, (Yogyakarta: HIMA, Fak. Sastra Univ. Gadjah Mada, 1995), hlm. 13.

22

penelitian ini. Pembahasan hasil analisis tersebut dilakukan dengan cara

membandingkan antara hasil analisis tersebut hasil penelitian lainnya dan dengan

menganalisis beberapa data yang dapat diakses langsung.

Untuk menjawab permasalahan pertama mengenai kronologi budaya yang

tercermin pada data arkeologi di Situs Ceruk Uattamdi, maka hal pertama yang

akan dilakukan adalah merekonstruksi aspek budaya melalui data arkeologi yang

ditinggalkan dari tiap lapisan budaya. Kemudian, dilakukan pengamatan pada tiap

lapisan budaya untuk mengetahui dinamika data arkeologi yang ada. Proses

tersebut berguna untuk mengetahui perubahan-perubahan budaya yang

berhubungan dengan penyebaran budaya. Setelah dapat direkonstruksi lapisan-

lapisan budaya manusia pendukung situs tersebut pada tiap masanya, maka akan

diketahui urutan penghunian oleh masing-masing kelompok manusia pendukung

situs tersebut.

Pada tahap pengkajian data juga akan dilakukan pembahasan data

arkeologi Situs Ceruk Uattamdi dalam perspektif Maluku Utara, dengan

menampilkan data-data dari beberapa situs di kawasan Maluku Utara yang

berkorelasi, antara lain: situs Gua Golo, Um Kapat Papo, dan Buwawansi (Pulau

Gebe), Tanjung Pinang dan Daeo 2 (Pulau Morotai), dan Siti Nafisah (Pulau

Halmahera). Situs lain yang digunakan adalah situs di sekitar Maluku Utara yang

berkaitan dalam tema kajian ini yaitu situs Leang Buidane dan Leang Tuwo

Mane’e (Talaud), Bukit Tengkorak (Serawak), Madai dan Baturong (Sabah), serta

situs-situs lain di Filipina Selatan dan Melanesia Barat. Situs-situs tersebut akan

dikaitkan antara satu dengan yang lain dalam perspektif migrasi-kolonisasi.

23

3. Tahap Intepretasi

Tujuan dari permasalahan kedua adalah untuk merekontruksi proses

migrasi-kolonisasi Austronesia di Maluku Utara berdasarkan data yang tersedia

hingga saat ini. Untuk menjawab permasalahan tersebut, akan digunakan beberapa

teori, baik teori khusus mengenai migrasi-kolonisasi manusia maupun teori

mengenai perubahan budaya secara umum. Teori migrasi-kolonisasi yang

digunakan adalah yang bersumber pada pemikiran mengenai model pengambilan

keputusan (decision making theory). Dengan asumsi bahwa kasus migrasi-

kolonisasi Austronesia merupakan sebuah proses perpindahan manusia yang

terencana dan dimanajemen dengan baik, dan bukanlah suatu kebetulan belaka.

Hasil yang diharapkan berdasarkan tahap sintesis ini adalah suatu model

mengenai proses migrasi-kolonisasi Austronesia di kawasan Maluku Utara.

Setelah proses migrasi-kolonisasi Austronesia dapat direkonstruksi, maka sintesis

ini juga akan diarahkan untuk mengetahui implikasi dari proses migrasi-kolonisasi

tersebut.

Dalam tahap ini berbagai deskripsi mengenai fakta-fakta akan

dihubungkan secara sistematis sehingga menghasilkan gambaran mengenai suatu

fenomena yang utuh. Pada tahap ini analisis yang telah dilakukan pada data

arkeologi akan dikombinasikan dengan berbagai informasi dari data etnografi dan

linguistik. Data linguistik memiliki peranan sebagai data pendukung dari model

yang dihasilkan oleh penelitian ini. Jadi penelitian terhadap situs Uattamdi ini

juga didukung oleh data linguistik, misalnya mengenai persamaan kosa kata dan

peta persebaran etnolinguistik di daerah tersebut yang masih berkembang. Seperti

24

peran data linguistik, data etnografi juga bermanfaat untuk mendukung hasil

penelitian ini, sehingga dari tahap sintesis tersebut akan dihasilkan gambaran

mengenai proses migrasi-kolonisasi Austronesia di kawasan Maluku Utara serta

implikasinya, secara lebih komprehensif.

4. Tahap penarikan kesimpulan

Dalam tahapan ini diharapkan dapat dirumuskan pokok-pokok gambaran

mengenai proses migrasi-kolonisasi manusia di Kawasan Maluku Utara, serta

implikasinya bagi perkembangan budaya Austronesia.