bab i - arkeologika.files.wordpress.com · bab i p e n d a h u l u a n a. latar belakang masalah...
TRANSCRIPT
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Penelitian tentang keberadaan manusia di Indonesia telah dimulai sejak
Eugene Dubois menemukan fosil atap tengkorak dan tulang paha Pithecantropus
erectus (Homo erectus erectus) di Trinil pada tahun 1891.1 Hingga kini penelitian
mengenai hal tersebut telah banyak mengalami kemajuan. Berdasarkan bukti
paleoantropologi, populasi makhluk manusia yang pertama kali mendiami
kawasan Indonesia adalah Homo erectus. Jenis tersebut diperkirakan berevolusi
menjadi jenis yang progresif, yaitu Pithecanthropus (Homo erectus) soloensis
atau Solo Man, tetapi kemudian mengalami kepunahan pada 40.000 BP.2
Populasi manusia yang dianggap modern secara anatomi, yang paling awal
masuk ke kawasan Kepulauan Indo-Malaysia adalah Homo (sapiens) wajakensis
yang ditemukan di Wajak (Tulung Agung) dan berumur sekitar 50.000 BP.3
Beberapa sisa tinggalan lainnya yang sejenis dari kawasan ini antara lain adalah,
1 R.P Soejono, Sejarah Nasional Indonesia I, (Jakarta: Balai Pustaka,
1975), hlm. 61. 2 Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific, (Auckland: Collins,
1975), hlm. 38. 3 Banyak perdebatan mengenai pertanggalan tengkorak Wajak,
kemungkinan besar tengkorak ini dimasukkan dalam tarik yang lebih muda. Periksa: Peter Bellwood, Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 125.
2
tengkorak dalam dari gua Niah (Serawak) berumur sekitar 35.000-40.000 BP dan
sebuah lagi tengkorak dari Tabon (Palawan) berumur sekitar 24.000 BP.4
Saat ini populasi Homo sapiens sapiens yang mendiami kawasan
Indonesia terdiri dari dua ras yaitu Australo-Melanesid dan Mongoloid.5 Manusia
dengan ciri ras Australo-Melanesid diantaranya adalah orang Papua di Papua dan
Nugini, orang Halmahera Utara dan Morotai, beberapa komunitas di Timor bagian
tengah dan timur dan beberapa pulau kecil (Alor dan Pantar) di kawasan
Indonesia bagian Timur. Di lain pihak, ras Mongoloid (selatan) yang
menggunakan rumpun bahasa Austronesia secara mayoritas mendiami kawasan
Indonesia barat, seperti etnis Melayu dan beberapa etnis kerabatnya, Jawa, Dayak,
Sulawesi dan etnis di beberapa bagian Indonesia Timur, seperti di Halmahera
Selatan.6
Sebelum kedatangan orang Austronesia, wilayah Indonesia secara
mayoritas telah dihuni oleh populasi Australo-Melanesid. W.W. Howells7 seorang
ahli antropologi ragawi telah menyusun analisis multivarian berdasarkan atas studi
antropometrik dan kranial yang kemudian sampai pada kesimpulan bahwa pada
masa lampau terdapat suatu kawasan yang disebut Melanesia Lama yang meliputi
4 Periksa: Sandra Bowdler, “Sunda and Sahul: A 30 KYR BP Culture
Area?”, dalam Smith. MA; Springgs.M and Fankhain, Sahul in Review, (Canbera: RPAS, ANU, 1993), hlm. 64-65. dan Robert B. Fox, The Tabon Caves, Archaeological Explorations and Excavations on Palawan Island, Philippines (Manila: National Museum, 1970), hlm. 40.
5 Peter Bellwood, op.cit.,2000, hlm. 99. 6 Ibid., hlm. 144. 7 Dalam Peter Bellwood, The Colonization of the Pacific: Some Current
Hypotheses, hlm. 12.
3
Daratan Sunda, Daratan Sahul, dan Kawasan Wallacea. Selain itu hasil analisisnya
menyebutkan bahwa, di Asia Tenggara daratan (termasuk Sumatra bagian utara)
juga terdapat kawasan budaya Hoabinhian. Menurut Howells, kedua kawasan
tersebut dikoloni oleh manusia dengan ciri ras Australo-Melanesid. Tengkorak
Wajak, Niah dan Tabon dianggap merupakan nenek moyang Australo-Melanesid,
yang telah muncul di wilayah kepulauan ini setidaknya sejak 50.000.8
Di kawasan Maluku Utara, bukti awal mengenai kedatangan spesies
manusia modern muncul sejak Kala Plestosen Akhir dan Awal Holosen, yang
ditemukan di gua pantai Golo (32.000 BP), Um Kapat Papo (7000 BP) dan
Buwawansi (9000 BP) di Pulau Gebe, selain itu juga Daeo 2 (15000 BP) dan
Tanjung Pinang (9000 BP) di Pulau Morotai, dan Gua Siti Nafisah (5.500 BP) di
Pulau Halmahera.9 Tinggalan dari fase budaya tersebut juga merupakan jejak
keberadaan populasi Australo-Melanesid (pra-Austronesia) di Maluku Utara.
Pada masa neolitik, bersamaan dengan munculnya pola subsistensi
bercocok tanam, populasi di wilayah Indonesia bagian barat mulai digantikan oleh
populasi Mongoloid selatan (Austronesia). Sementara itu, populasi Australo-
Melanesid berangsur-angsur terdesak ke arah timur, dan wilayah yang didiaminya
kemudian dinamakan Melanesia baru.10
8 Peter Bellwood, op.cit., 2000, hlm. 128-129. 9 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey
Irwin, “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 233-234.
10 Peter Bellwood, op.cit., 2000, hlm. 129.
4
Austronesia adalah istilah yang diberikan oleh ahli linguistik, untuk
menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan oleh
orang di kepulauan Indo-Malaysia dan Oseania. Pada akhirnya istilah Austronesia
juga digunakan untuk menyebut seluruh komunitas yang berbudaya dan
menggunakan rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa ini terdiri atas 1.200
bahasa dan digunakan oleh kira-kira 270 juta penutur. Persebaran bahasa ini telah
mencapai lebih dari separuh belahan dunia sebelum masa kolonialisme bangsa
Eropa.11 Banyak ahli yang berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa
Austronesia yang luas disebabkan oleh proses ekspansi komunitas penutur
rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya.
Sumber: Peter Bellwood, (1975), dengan modifikasi.
Keterangan: Batas persebaran rumpun bahasa Austronesia. Peta tanpa skala
11 Beberapa kelompok yang terbesar adalah: Melayu, Tagalog dan Jawa.
Darrel Tryon, “Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup” dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 17. Lihat peta 1.1
Peta 1.1. Persebaran rumpun bahasa Austronesia.
5
Sudah banyak para ahli yang mengajukan model migrasi untuk kasus
persebaran orang Austronesia. R. Von Heine Geldern adalah ahli yang pertama
menyodorkan konsep tentang budaya Austronesia. Ia berpendapat bahwa luas
persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya
Vierkantbeil adze. Ciri-ciri utama dari kompleks budaya Vierkantbeil adze adalah
kehadiran beliung persegi. Menurut Geldern, kompleks budaya ini berasal dari
budaya neolitik Skandinavia, di daerah Danau Baikal dan Baltik (Eropa).
Kemudian budaya ini menyebar melalui sepanjang wilayah pantai Arktik Eurasia
menuju Pasifik Utara, hingga akhirnya secara mayoritas distribusinya meliputi
wilayah Pasifik, Asia Tenggara, dan Polynesia. Selain itu, bentuk beliung dari
Asia Timur Laut juga berhubungan erat dengan beliung dari Amerika Barat
Laut.12 Teori ini telah kadaluarsa, karena hanya didasarkan pada persamaan
tipologi beliung persegi saja dan secara logika terdapat kesenjangan alur
pemikiran. Selain pandangannya yang Eropa sentris, data yang digunakan hanya
berasal dari kumpulan hasil survey permukaan yang konteksnya tidak jelas dan
miskin dokumentasi. Berdasarkan penelitian terbaru dengan berbagai data, teori
yang diajukan oleh Geldern tersebut tidak dapat diterima.
Roger Duff13 mengajukan teori bahwa, arah persebaran bangsa
Austronesia yang didukung oleh pola subsistensi bercocok tanam tercermin dari
persebaran suatu jenis tipologi beliung persegi dari kawasan Asia Tenggara
12 Roger Duff, Stone Adze of Southeast Asia, (New Zealand: Centerbury
Museum, 1970), hlm. 8. 13 Ibid., hlm. 4.
6
Daratan. Teori tersebut berpijak pada hasil klasifikasi typologi beliung persegi
bardasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman, dan bentuk pangkal. Roger Duff
sampai pada kesimpulan bahwa pusat asal penyebaran beliung persegi yang
tersebar di kawasan kepulauan Indonesia kecuali Nugini berasal dari semenanjung
Malaya bagian selatan. Ciri-ciri budaya Austronesia ditandai dengan beliung
paruh (Malayan Beacked Adze)14 dan belincung (Indonesian Pick Adze)15. Beliung
paruh menyebar dari Malaysia ke Sumatra dan Jawa, tetapi belincung yang
tersebar di Indonesia tidak ditemukan di Malaysia. Beliau mengutip pendapat H.R
Van Heekern bahwa, belincung berasal dari Sumatra dan Jawa, yang kemudian
menyebar ke Bali, menuju Kepulauan Sunda Kecil dan Sulawesi sampai
Minahasa. Sementara itu, beliung di Borneo Barat berasal dari Sumatra lewat
Bangka.16 Teori ini memang merupakan penajaman dari teori yang di bangun oleh
Geldern, tetapi juga perlu direvisi dengan adanya berbagai penemuan dari
penelitian terbaru.
Thor Heyerdahl,17 mengajukan hipotesis bahwa orang Austronesia yang
mendiami kepulauan Pasifik bermigrasi dari pantai barat Amerika Selatan.
Berdasarkan pada kajian navigasi, ia mengajukan teori bahwa orang Austronesia
bermigrasi dari Indonesia mengikuti “Great circle route” menuju Jepang, Alaska,
14 Type 7, variasi D dan E menurut klasifikasi Duff. 15 Type 7, variasi A, B dan C menurut klasifikasi Duff. 16 Roger Duff, op.cit., 1970, hlm. 14. 17 Ia mengadakan studi mengenai pelayaran tradisional dari Ekuador
menuju Kepulauan Tuamotu dengan menggunakan Kon Tiki, perahu tradisional etnis di Amerika selatan. Lihat: Irving Rouse, Migrations In Prehistory, Inferring Population Movement From Cultural Remains (New Haven: Yale University Press, 1986), hlm. 23-24.
7
pesisir Pasifik Utara, kemudian menuju Polynesia dari timur ke barat. Model
migrasi yang diajukannya adalah jalur utara dari Pesisir Pasifik utara menuju
kepulauan Hawaii, dan jalur selatan dari Bolivia dan Peru menuju Pulau Easter.
Model yang diajukannya didukung oleh perbandingan ciri rasial dan beberapa
item budaya material. Menurut Irving Rouse, teori ini memiliki banyak kelemahan
baik dari sudut pandang arkeologi dan genetik. Selain itu, juga kurang
memperhatikan fakta yang berasal dari data linguistik.
Ahli lainnya adalah Wilhelm G. Solheim II18 yang mengajukan teori
bahwa wilayah geografis persebaran gerabah Sa-Huynh-Kalanay di Asia
Tenggara dan Lapita di Melanesia barat memiliki hubungan dengan persebaran
orang Austronesia. Teorinya berangkat dari hasil rekonstruksi linguistik Isodore
Dyne mengenai bahasa Proto Melayu-Polynesia yang diperkirakan berkembang di
kepulauan Melanesia Barat. Solheim berpendapat bahwa daerah asal komunitas
Austronesia adalah dari kawasan di sekitar Palawan-Serawak-Sulu-Sulawesi.
Walaupun demikian, kawasan ini diperkirakan hanya merupakan daerah tahap
kedua ketika komunitas ini mulai mengembangkan diri, dan bukan merupakan
tempat asal awal perkembangan Austronesia. Menurutnya, data yang tersedia
masih belum cukup untuk menentukan daerah asal komunitas Austronesia. Data
tersebut dapat digunakan untuk mendukung berbagai hipotesis mengenai daerah
18 Periksa: Wilhelm G. Solheim II, “Reflections on the New Data of
Southeast Asian Prehistory, Austronesian Origin and Consequence”, dalam Peter Van de Velde, eds., Prehistoric Indonesia, (USA: Foris Publications, 1984).
8
asal orang Austronesia. Selain itu, Solheim mengajukan istilah Nusantau19 untuk
menyebut kelompok manusia dan budayanya tersebut.
Indah Asikin Nurani dalam tulisannya yang berjudul “Persebaran Tradisi
Beliung Persegi dan Kapak Lonjong, Perpaduan di Kalumpang” (1993) dan
“Sulawesi Sebagai Pusat Migrasi bangsa Austronesia” (1996) sampai pada
kesimpulan bahwa daerah Indonesia timur bagian utara (khususnya Sulawesi)
adalah daerah pusat migrasi orang Austronesia. Ia berpendapat bahwa gerabah
Kalumpang yang sangat mirip dengan gerabah Kalanay, serta variasi temuan
beliung persegi dan kapak lonjong, mengindikasikan bahwa Kalumpang adalah
daerah asal persebaran orang Austronesia. Dari daerah ini beliung persegi
menyebar ke arah Indonesia Barat dan Asia Tenggara Daratan, sedangkan kapak
lonjong menyebar ke arah timur menuju Kepulauan Melanesia. Walaupun
demikian, hipotesis yang dihasilkan dari kedua tulisan tersebut kurang signifikan
dengan data dari hasil penelitian terbaru. Selain itu, tulisan tersebut juga belum
memperhatikan data linguistik dan catatan etnografi.
Peter Bellwood20, dengan bukti yang lebih kompleks berhasil mengajukan
teori yang lebih valid. Bertolak dari bukti arkeologis dan linguistik, beliau
mengajukan teori bahwa daerah asal orang Austronesia adalah Taiwan dan Pantai
Cina bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap
19 Nusantau, dari kata Nusa: pulau dan tau: orang, lihat: ibid. 20 Peter bellwood, “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland,
Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 97-98.
9
sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis
daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek
budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi
dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi
Zhejiang yang berumur 7000 tahun.
Sangat mengagumkan melihat persebaran bahasa Austronesia yang
dituturkan hampir di seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasfik. Berdasarkan
analisis linguistik, Robert Blust21 mengajukan pendapat bahwa sub-kelompok
bahasa Proto Melayu-Polynesia Timur (PEMP) yang dituturkan di area Teluk
Cendrawasih (Papua), telah berkembang dan menurunkan dua anak bahasa yaitu
bahasa Proto Halmahera Selatan-Nugini Barat (PSHWNG) dan Proto Oceanik
(POC). PSHWNG dituturkan di daerah yang sama dengan PEMP dan menyebar
ke barat sampai Halmahera Selatan dan pesisir utara Papua di timur. Di lain pihak,
POC dituturkan di pantai utara Nugini yang berhadapan dengan Laut Bismark dan
Kepulauan Admiralty (kawasan Kepulauan Bismark). Agaknya, orang
Austronesia harus melewati Halmahera sebelum mencapai Pasifik. Berdasarkan
analisis linguistik tersebut, dapat diperkirakan bahwa keletakan kawasan Maluku
Utara yang sangat strategis memiliki arti penting bagi kajian migrasi-kolonisasi
Austronesia.
Berdasarkan penelitian baru-baru ini oleh Peter Bellwood pada tahun 1991
dan 1994, dari kawasan Maluku Utara diperoleh catatan prasejarah yang rinci dan
21 Robert Blust, “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective”,
Asian Perspectives 26 (1), (1984/85), hlm. 57-58.
10
panjang meliputi lebih dari 32.000 tahun.22 Kawasan tersebut memiliki banyak
situs yang berpotensi untuk mengungkapkan berbagai masalah yang berkaitan
dengan migrasi Austronesia. Salah satu situs tersebut adalah situs Ceruk Uattamdi
di Pulau Kayoa, Maluku Utara. Berdasarkan analisis Peter Bellwood23, data
arkeologi yang dihasilkan di situs tersebut (3300 BP) berhubungan erat dengan
tinggalan dari Filipina dan Lapita di Melanesia Barat yang memiliki pertanggalan
sezaman. Selain itu, data arkeologi yang dihasilkan situs tersebut
mengindikasikan adanya kolonisasi orang Austronesia di kawasan tersebut.
Saat ini, terdapat beberapa tulisan mengenai migrasi-kolonisasi manusia di
wilayah Indonesia, misalnya: Daud Aris Tanudirdjo24 yang berjudul “Proses Awal
Penghunian Paparan Sahul Utara dan Kepulauan Melanesia” (1991) dan
“Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The models and the Data” (2000).
Kedua tulisan tersebut membahas beberapa kemungkinan mengenai proses
kolonisasi di Indonesia pada Kala Plestosen (pra-Austronesia) berdasarkan model
pengambilan keputusan dengan data yang tersedia. Selain itu, beliau juga menulis
disertasi yang berjudul “Islands in Between, Prehistory of the Northeastern
Indonesian Archipelago“ (2002) yang membahas migrasi dan kolonisasi manusia
22 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo,
Geoffrey Irwin, op.cit., 2000, hlm. 195. 23 Ibid., hlm. 219 24 Daud Aris Tanudirjo, “Proses Awal Penghunian Paparan Sahul Utara
dan Kepulauan Melanesia”, makalah disampaikan dalam kegiatan ilmiah IAAI Komda Yogyakarta-Jawa Tengah, (tidak diterbitkan, 1991) dan “Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The models and the Data”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 179-230.
11
di kepulauan Indonesia Timur bagian utara. Hannibal Hutagalung25 menulis
mengenai keterkaitan antara situs Gua Golo dengan situs-situs lain yang relatif
sezaman di Asia Tenggara dengan perspektif proses migrasi Homo sapiens (pra-
Austronesia). Peter Veth, dkk26 dalam tulisannya “Bridging Sunda and Sahul: The
Archaeological Significance of the Aru Island, Maluku” (2000) memberikan
kesimpulan, berdasarkan survey arkeologi dan geomorfologi, bahwa Pulau Aru
berpotensi sebagai objek kaji untuk menguji hipotesis mengenai migrasi yang
diajukan dengan berbagai cara, khususnya model yang diajukan oleh Birdsell.
Peter Bellwood, dkk27 dalam tulisannya, “35,000 Years of Prehistory in
the Northern Moluccas” (1998) dan “The Northern Molluccas as A Crossroads
between Indonesia and the Pacific” (2000), membahas tentang kolonisasi kala
Plestosen, kontak antar pulau, data baru mengenai pertanian, dan hubungan antara
rumpun bahasa Austronesia dengan rumpun bahasa Papua. Selain itu, dalam
tulisan tersebut dikemukakan bahwa di situs Uattamdi, Pulau Kayoa, terdapat dua
25 Hannibal Hutagalung, “Pemanfaatan Situs Gua Golo, Pulau Gebe
(Maluku) Sebagai Hunian Kala Pleistosen Akhir-Holosen”, Skripsi Sarjana, (Yogyakarta: Fak. Sastra Univ. Gadjah Mada, 1999).
26 Peter Veth, Matthew Spriggs, Jatmiko, Susan O’Connor, “Bridging Sunda and Sahul: The Archaeological Significance of the Aru Island, Maluku, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta :PSAP-UGM, 2000), hlm. 91-118.
27 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, & Daud Aris Tanudirjo, “35,000 Years of Prehistoriy in the Northern Moluccas”, dalam Gert-Jan Bartstra ed., Bird’s Heads Approaches, (Rotterdam: Balkema, 1998), hal. 233-275. dan Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM), 2000, hlm. 231-254.
12
fase budaya, yaitu fase neolitik dan logam awal. Walaupun kawasan yang dikaji
dalam tulisan Bellwood juga Maluku Utara, tetapi tulisan tersebut belum
membahas bagaimana kelompok manusia Austronesia dan Non-Austronesia dapat
sampai di Kepulauan Maluku Utara dan implikasi mengenai kedua proses
migrasi-kolonisasi kedua kelompok manusia tersebut, seperti aspek interaksi
antara komunitas pendatang dengan komunitas setempat yang telah datang di
kawasan tersebut sejak masa sebelumnya. Penelitian ini bersifat meneruskan dan
melengkapi berbagai penelitian yang telah dilakukan, karena data yang ada masih
mampu untuk mengungkapkan hal lain yang belum dibahas peneliti terdahulu
khususnya mengenai proses migrasi-kolonisasi manusia.
B. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
disusun rumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kronologi budaya situs Ceruk Uattamdi, Pulau Kayoa ?
2. Bagaimanakah proses migrasi-kolonisasi manusia di kawasan Maluku
Utara ?
3. Bagaimanakah implikasi dari proses migrasi-kolonisasi tersebut bagi
perkembangan budaya Austronesia ?
Berdasarkan pada perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengungkapkan kronologi budaya dan proses perubahan budaya
yang terjadi di situs Ceruk Uattamdi, Pulau Kayoa. Tujuan tersebut digunakan
13
untuk membantu mengintepretasikan proses migrasi-kolonisasi manusia di
kawasan Maluku Utara. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
implikasi yang berkaitan dengan proses migrasi-kolonisasi manusia di Maluku
Utara bagi perkembangan budaya Austronesia, baik yang tampak melalui data
arkeologi, etnografi, dan linguistik. Manfaat lain yang lebih jauh adalah untuk
mengembangkan kerangka pikir dalam mengkaji kasus penghunian suatu wilayah
yang sebelumnya telah dihuni oleh komunitas manusia lainnya.
C. LANDASAN TEORI28
Dalam ilmu demografi, migrasi merupakan salah satu komponen yang
dikaji selain kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Migrasi adalah
mobilitas penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu menuju wilayah lain
dalam periode waktu tertentu.29 Kolonisasi berarti proses penghunian suatu
wilayah oleh suatu komunitas tertentu. Proses penghunian yang dimaksud
28 Penelitian ini berangkat dari data, walaupun demikian penelitian ini tetap
membutuhkan perangkat teori. Kedudukan teori dalam penelitian ini bukan sebagai penghasil hipotesis yang akan diujikan dalam penelitian, melainkan sebagai landasan bagi arah penelitian. Selain itu, kedudukan teori dalam penelitian ini adalah untuk membatasi dan mengarahkan pembahasan data, sehingga analisis yang dilakukan tidak bersifat liar. Walaupun demikian, sifat data masih dapat berbicara bebas. Jika terdapat ketidaksesuaian antara teori dengan data yang ada, maka hal tersebut akan dijelaskan, melalui proses dialogis antara data arkeologi di Maluku Utara dengan fenomena migrasi-kolonisasi manusia secara keseluruhan. Sintesis yang dihasilkan dalam penelitian ini hendaklah tidak dipandang sebagai suatu kesimpulan akhir, namun harus dilihat sebagai salah satu cara pencarian penjelasan. Sehingga hasil penelitian ini masih dapat diuji validitasnya melalui penelitian berikutnya dengan metode dan teknik yang berbeda.
29 Ida Bagoes Mantra, Demografi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 224-225.
14
meliputi: penghunian, perkembangan, dan kejenuhan penduduk. Jika suatu
komunitas sudah mengalami kejenuhan penduduk, maka terdapat kemungkinan
sebagian dari komunitas tersebut akan, memisahkan diri dari komunitas intinya.
Oleh karena itu, kajian migrasi berhubungan erat dengan kolonisasi.
Dalam kajian migrasi, terdapat dua aliran pemikiran yang mendasarinya
kajian tersebut, yaitu: Teori Kebetulan (accidental theory) dan Teori Pengambilan
Keputusan (decision-making theory). Teori kebetulan menyatakan bahwa
kolonisasi daerah-daerah baru oleh manusia pada masa prasejarah dilakukan
secara tidak sengaja. Di lain pihak, teori pengambilan keputusan menyatakan
bahwa proses perpindahan manusia dilakukan secara terencana dan dikelola
dengan baik, sehingga bukan merupakan suatu kebetulan belaka.
Dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan migrasi dan
kolonisasi daerah baru, manusia akan mempertimbangkan setiap kemungkinan
akibat dari tindakan yang terbuka baginya. Dalam kehidupan manusia, hal
tersebut tercermin dalam dua variabel, yaitu: biaya (cost) dan keuntungan
(benefit). Biaya adalah sesuatu yang harus dikeluarkan untuk mencapai target,
sedangkan keuntungan adalah sesuatu yang diperoleh setelah mencapai target.30
Dalam hal ini, kemungkinan biaya yang dipertimbangkan adalah biaya
transportasi, konflik dengan komunitas lain di daerah asing, dan adaptasi budaya
di daerah baru dengan lingkungan yang kemungkinan berbeda. Di sisi lain,
keuntungan yang mungkin menjadi pertimbangan adalah daerah baru yang
30 Daud Aris Tanudirjo, op.cit., (1991), hlm. 3.
15
memiliki sumberdaya dan sumber penghidupan baru, serta kehidupan baru dengan
harapan akan masa depan yang lebih baik. Lebih jauh, dapat dikatakan secara
umum bahwa migrasi akan terjadi apabila terdapat perbedaan nilai kefaedahan di
antara dua wilayah.
Teori lain yang digunakan dalam kajian migrasi adalah teori kebutuhan
dan tekanan (need and stress theory), yang menjelaskan mengapa suatu komunitas
mengambil keputusan untuk melakukan migrasi. Teori tersebut menyatakan
bahwa tiap manusia memiliki kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi, antara lain
adalah kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologis. Apabila tidak terjadi
pemenuhan salah satu atau beberapa kebutuhan tersebut, maka akan terjadi
tekanan atau stress.31 Terdapat dua akibat yang ditimbulkan dari tekanan tersebut.
Pertama, jika tekanan tidak terlalu besar atau masih dalam batas toleransi, maka
komunitas tersebut tidak akan pindah. Mereka akan tetap tinggal di daerah asal
dan melakukan adaptasi budaya guna memenuhi kebutuhannya dengan
memanfaatkan sumberdaya yang ada. Kedua, jika tekanan yang dialami
melampaui batas toleransi, maka komunitas tersebut cenderung melakukan
migrasi ke tempat lain agar kebutuhannya dapat terpenuhi.
Banyak sekali faktor yang menyebabkan migrasi manusia. Akan tetapi,
sangat sulit mengidentifikasi faktor khusus yang menyebabkan migrasi tanpa
bantuan dokumentasi data yang lengkap. Di sisi lain, lebih mudah
mengidentifikasikan struktur kondisi umum yang menyebabkan terjadinya
migrasi. Pada umumnya terdapat dua faktor penyebab migrasi yang dibedakan
31 Ida Bagoes Mantra, op.cit., hlm. 231.
16
berdasarkan tempatnya, yaitu faktor pendorong dan penarik. Walaupun kedua
faktor tersebut merupakan faktor utama, tetapi sifatnya tidak mutlak menjadi
penyebab terjadinya migrasi. Faktor pendorong adalah tekanan yang terjadi di
daerah asal, sedangkan faktor penarik adalah hasil atau keuntungan di daerah baru
(tujuan).32 Beberapa faktor penyebab migrasi yang telah disebutkan tersebut akan
dibahas dalam penelitian mengenai migrasi-kolonisasi manusia ini.
Menurut MacArthur dan Wilson33 yang membangun “The Theory of Island
Biogeography”, aspek lingkungan yang berpengaruh dalam proses kolonisasi di
daerah kepulauan adalah jarak antar pulau, konfigurasi bentang lahan, dan luas
area. Teori ini menitikberatkan pada aspek lingkungan, sehingga pendekatannya
lebih bersifat materialistis. Padahal, dalam kasus migrasi-kolonisasi manusia pada
daerah baru juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non-material, sehingga
pendekatan lingkungan tidak dapat menjangkau sampai pada faktor non-material
tersebut. Meskipun demikian, teori ini masih berguna untuk mengarahkan
penjelasan migrasi manusia, khususnya dari sudut pandang lingkungan alam.
a. Jarak Antar Pulau
Aspek jarak berakibat pada pemilihan target kolonisasi, semakin dekat
jarak daerah yang memiliki sumberdaya maka semakin besar kemungkinannya
untuk dipilih sebagai daerah target kolonisasi, dan begitu juga sebaliknya. Pulau
32 David W. Anthony, “Migration in Archaeology: The Baby and the
Bathwater”, American Anthropologist 92, (1990), hlm. 899. 33 Teori tersebut dikutip oleh William F. Keegan dan Jared M. Diamond
dalam tulisannya “Colonization of Island by Human: A Biogeographical Perspective”, Advances in Archaeological Method and Theory, No. 10, (1987), hlm. 58-65.
17
yang minim sumberdaya tanpa pulau-pulau pendukung di sekitarnya akan lebih
kecil kemungkinannya untuk dikolonisasi.
b. Konfigurasi Bentang Lahan
Konfigurasi bentang lahan yang terdiri atas kepulauan menyebabkan
migrasi steping stone dari pulau yang satu ke pulau yang lain, dengan sejumlah
pulau sebagai batu loncatan. Pulau-pulau yang saling terlihat dan berhubungan,
lebih besar kemungkinannya dipilih sebagai target kolonisasi. Variabel yang
berpengaruh pada aspek jarak antar pulau dan konfigurasi bentang lahan adalah
angin, pola arus laut, dan bahaya (misalnya badai).
c. Luas Area
Aspek luas area adalah besar kecilnya luas pulau yang menjadi target
kolonisasi yang dipertimbangkan. Pulau yang lebih besar cenderung dipilih dari
pada pulau yang lebih kecil, karena lebih mudah diakses, lebih banyak
mengandung sumberdaya, dan dapat mendukung perkembangan populasi yang
lebih besar.
Menurut Anthony34, terdapat dua tipe utama migrasi yang dibedakan
berdasarkan cakupan keruangannya, yaitu migrasi jarak dekat dan migrasi jarak
jauh. Migrasi jarak dekat biasanya memiliki frekuensi lebih tinggi tetapi dalam
jarak yang tidak terlalu jauh, sebaliknya migrasi jarak jauh frekuensinya rendah
tetapi dapat menembus cakupan geografis yang sangat luas, melewati suatu relung
ekologi dan budaya tertentu. Walaupun demikian, migrasi jarak jauh dapat
34 David W. Anthony, op.cit., hlm. 899.
18
merupakan implikasi dari proses migrasi jarak dekat yang berkelanjutan. Pada
migrasi jarak jauh, terdapat beberapa pola, antara lain adalah migrasi lompat
katak, migrasi arus, migrasi balik, migrasi frekuensi, dan migrasi demografi.
Pendekatan migrasi jarak jauh sangat tepat untuk menjelaskan migrasi manusia di
kepulauan Asia tenggara. Pendekatan semacam ini pernah digunakan oleh
Matthew Spriggs35 untuk menjelaskan migrasi Lapita di kawasan Pasifik Barat.
Menurut Keegan dan Diamond36, dalam kasus kolonisasi kawasan baru
terdapat tiga tahapan yang akan dilalui oleh para kolonis. Pertama adalah tahap
adaptasi dengan lingkungan baru, lingkungan tersebut dapat sama atau berbeda
sama sekali dengan lingkungan asalnya. Kedua adalah tahap beachhead bottle
neck, yaitu tahap seleksi alam (survival of the fittes), dengan resiko punah ketika
harus beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya. Selain
itu, mereka juga harus mengatur sistem budaya mereka agar mampu bertahan.
Tahap ketiga, jika suatu kelompok masyarakat dapat melewati kedua tahap
tersebut, maka mereka akan terus berkembang sampai terjadi kejenuhan
penduduk. Jika mereka sampai pada tahap kejenuhan penduduk, padahal sumber
daya lingkungan sudah tidak mendukung, maka akan terjadi degradasi
lingkungan. Salah satu pilihan bagi mereka dalam menghadapi keadaan ini adalah
mencari dan mengkoloni daerah-daerah baru. Kemampuan alami suatu komunitas
masyarakat untuk selalu melanjutkan kolonisasi daerah baru disebut autocatalysis.
35 Periksa: Matthew Spriggs, “The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 112-133.
36 Periksa: William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit.,hlm. 74.
19
D. METODE DAN STRATEGI PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini
bersifat eksplikatif. Penelitian ini akan memberikan gambaran atau deskripsi yang
sistematik tentang data atau fakta. Dalam penelitian ini akan diuraikan
keseluruhan data atau fakta menjadi bagian-bagian dan akan ditunjukkan
hubungan-hubungan diantaranya.37 Dalam penelitian ini fakta yang berasal dari
data arkeologi (artefaktual, ekofak, konteks, stratigrafi serta pertanggalannya),
data etnografi dan data linguistik akan diuraikan secara keseluruhan dan
dijelaskan hubungannya, sehingga dapat diketahui jawaban mengenai tujuan
penelitian yang akan dicapai. Jadi berdasarkan sifat penalarannya, penelitian ini
mengutamakan pengkajian berbagai informasi sebagai pangkal tolak dalam
penarikan kesimpulan. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan digunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkapkan makna
yang melekat pada data arkeologi.
Berdasarkan pada metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini,
maka dapat disusun tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut:
1. Tahap pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil penelitian yang
dilakukan oleh Peter Bellwood pada tahun 1994-1996 di kawasan Maluku Utara,
khususnya Situs Ceruk Uattamdi, Pulau Kayoa, Maluku Utara. Pertanggalan dan
37 Daud Aris Tanudirjo, “Ragam Metode Penelitian Arkeologi Dalam
Skripsi Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada”, Laporan Penelitian, (Yogyakarta: Jur. Arkeologi, Fak. Sastra, UGM, 1988-1989), hlm. 26.
20
pendokumentasian data arkeologi yang cukup baik merupakan alasan dipilihnya
data dari situs tersebut. Data yang dimaksud terdiri atas berbagai hasil analisis
yang pernah dilakukan terhadap data artefaktual, ekofak, tulang manusia (sisa
penguburan), dan pertanggalan. Data yang dapat akses dan dianalisis langsung
adalah fragmen gerabah dari situs Uattamdi. Selain itu, juga digunakan data hasil
penelitian dari berbagai situs di kawasan Maluku Utara dan sekitarnya yang
relevan dalam penelitian ini.
Sampai saat ini beberapa analisis data arkeologi telah dilakukan oleh Peter
Bellwood, sebagaimana dimuat dalam publikasinya yang berjudul “35,000 Years
of Prehistory in the Northern Moluccas”, “The Archaeology of Papuan and
Austronesian prehistory in the Northern Moluccas, Eastern Indonesia” dan “The
Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”. Analisis
alat tulang dari beberapa situs di Maluku Utara telah dilakukan oleh Juliette
Pasveer dan Peter Belwood (tidak dipublikasikan). Analisis teknologi pembuatan
beliung kerang telah dilakukan oleh Goenadi Nitihaminoto dan disampaikan
dalam Seminar Prasejarah Indonesia I dengan judul “Beliung Kerang situs Golo,
Pulau Gebe: Sebarannya di Maluku Utara dan daerah Pasifik”. Selain itu, analisis
gerabah dari berbagai situs di Maluku Utara juga telah dilakukan oleh Mahirta
dalam Thesisnya yang berjudul “The Development of Mare Pottery in the
Northern Moluccas Context and its Recent Trading Network”. Daud Aris
Tanudirjo juga telah menulis untuk disertasi dengan judul “Islands in Between,
Prehistory of the Northeastern Indonesian Archipelago“ yang membahas migrasi
dan kolonisasi manusia di kepulauan Indonesia Timur bagian utara.
21
Peter Bellwood 38 dalam tulisannya ”Crossing the Wallacea Line-With
Style” menyarankan bahwa, dengan bukti arkeologi saja tidak cukup untuk
merekonstruksi migrasi dan kolonisasi pada masa prasejarah. Oleh karena itu,
juga harus memperhatikan catatan etnografi, bukti linguistik, dan genetik. Pada
dasarnya kelemahan data arkeologi adalah sifatnya yang terbatas dan
fragmentaris. Kadang kala data arkeologi tidak dapat menunjukkan aspek dinamis
dari suatu budaya.39 Hal ini disebabkan karena berbagai aspek, seperti misalnya
proses tafonomis dan bias-bias yang ditimbulkan. Maka, dalam penelitian ini,
selain digunakan data yang berupa hasil analisis arkeologi, juga akan digunakan
data dari beberapa ilmu bantu lainnya, yaitu linguistik dan etnografi sebagai data
pendukung. Sementara itu data genetik tidak digunakan dalam penelitian ini
karena kelangkaan data tersebut. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan tetap
digunakannya data tersebut.
2. Tahap Pengkajian data
Pada tahap analisis akan dipaparkan hasil analisis terhadap data arkeologi
yang pernah dilakukan sebelumnya. Pada tahap ini, juga akan dilakukan
pembahasan terhadap hasil analsis yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti
sebelumnya terhadap data arkeologi situs Uattamdi, sehingga hasil analisis
tersebut menjadi lebih valid dan relevan untuk menjawab permasalahan dalam
38 Peter Bellwood, ”Crossing the Wallacea Line-With Style”, dalam
Matthew Spriggs, dkk (eds), A Community of Culture, The People and Prehistory of the Pacific, No. 21, (Canberra: ANU, 1993), hlm. 155-156.
39 Daud Aris Tanudirdjo, “Kajian Budaya Bendawi Modern dan Arkeologi”, Artefak, No. 15/Agustus, (Yogyakarta: HIMA, Fak. Sastra Univ. Gadjah Mada, 1995), hlm. 13.
22
penelitian ini. Pembahasan hasil analisis tersebut dilakukan dengan cara
membandingkan antara hasil analisis tersebut hasil penelitian lainnya dan dengan
menganalisis beberapa data yang dapat diakses langsung.
Untuk menjawab permasalahan pertama mengenai kronologi budaya yang
tercermin pada data arkeologi di Situs Ceruk Uattamdi, maka hal pertama yang
akan dilakukan adalah merekonstruksi aspek budaya melalui data arkeologi yang
ditinggalkan dari tiap lapisan budaya. Kemudian, dilakukan pengamatan pada tiap
lapisan budaya untuk mengetahui dinamika data arkeologi yang ada. Proses
tersebut berguna untuk mengetahui perubahan-perubahan budaya yang
berhubungan dengan penyebaran budaya. Setelah dapat direkonstruksi lapisan-
lapisan budaya manusia pendukung situs tersebut pada tiap masanya, maka akan
diketahui urutan penghunian oleh masing-masing kelompok manusia pendukung
situs tersebut.
Pada tahap pengkajian data juga akan dilakukan pembahasan data
arkeologi Situs Ceruk Uattamdi dalam perspektif Maluku Utara, dengan
menampilkan data-data dari beberapa situs di kawasan Maluku Utara yang
berkorelasi, antara lain: situs Gua Golo, Um Kapat Papo, dan Buwawansi (Pulau
Gebe), Tanjung Pinang dan Daeo 2 (Pulau Morotai), dan Siti Nafisah (Pulau
Halmahera). Situs lain yang digunakan adalah situs di sekitar Maluku Utara yang
berkaitan dalam tema kajian ini yaitu situs Leang Buidane dan Leang Tuwo
Mane’e (Talaud), Bukit Tengkorak (Serawak), Madai dan Baturong (Sabah), serta
situs-situs lain di Filipina Selatan dan Melanesia Barat. Situs-situs tersebut akan
dikaitkan antara satu dengan yang lain dalam perspektif migrasi-kolonisasi.
23
3. Tahap Intepretasi
Tujuan dari permasalahan kedua adalah untuk merekontruksi proses
migrasi-kolonisasi Austronesia di Maluku Utara berdasarkan data yang tersedia
hingga saat ini. Untuk menjawab permasalahan tersebut, akan digunakan beberapa
teori, baik teori khusus mengenai migrasi-kolonisasi manusia maupun teori
mengenai perubahan budaya secara umum. Teori migrasi-kolonisasi yang
digunakan adalah yang bersumber pada pemikiran mengenai model pengambilan
keputusan (decision making theory). Dengan asumsi bahwa kasus migrasi-
kolonisasi Austronesia merupakan sebuah proses perpindahan manusia yang
terencana dan dimanajemen dengan baik, dan bukanlah suatu kebetulan belaka.
Hasil yang diharapkan berdasarkan tahap sintesis ini adalah suatu model
mengenai proses migrasi-kolonisasi Austronesia di kawasan Maluku Utara.
Setelah proses migrasi-kolonisasi Austronesia dapat direkonstruksi, maka sintesis
ini juga akan diarahkan untuk mengetahui implikasi dari proses migrasi-kolonisasi
tersebut.
Dalam tahap ini berbagai deskripsi mengenai fakta-fakta akan
dihubungkan secara sistematis sehingga menghasilkan gambaran mengenai suatu
fenomena yang utuh. Pada tahap ini analisis yang telah dilakukan pada data
arkeologi akan dikombinasikan dengan berbagai informasi dari data etnografi dan
linguistik. Data linguistik memiliki peranan sebagai data pendukung dari model
yang dihasilkan oleh penelitian ini. Jadi penelitian terhadap situs Uattamdi ini
juga didukung oleh data linguistik, misalnya mengenai persamaan kosa kata dan
peta persebaran etnolinguistik di daerah tersebut yang masih berkembang. Seperti
24
peran data linguistik, data etnografi juga bermanfaat untuk mendukung hasil
penelitian ini, sehingga dari tahap sintesis tersebut akan dihasilkan gambaran
mengenai proses migrasi-kolonisasi Austronesia di kawasan Maluku Utara serta
implikasinya, secara lebih komprehensif.
4. Tahap penarikan kesimpulan
Dalam tahapan ini diharapkan dapat dirumuskan pokok-pokok gambaran
mengenai proses migrasi-kolonisasi manusia di Kawasan Maluku Utara, serta
implikasinya bagi perkembangan budaya Austronesia.