bab i 2100018 -...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima orang yang utang, sehingga hal ini juga berimplikasi terhadap harta peninggalannya. Sebab sebagian harta yang ditinggalkan sebelum dibagikan harus digunakan untuk melunasi hutang orang yang meninggal (Pewaris). 1 Melihat provisi di atas, maka masalah perutangan adalah masalah yang sangat penting. Ini terjadi karena masalah tersebut menyangkut kewajiban bagi orang yang berutang untuk membayarnya, bahkan sampai meninggal pun dituntut untuk membayarnya. Salah satu kewajiban ahli waris yang berkaitan dengan harta peninggalan adalah pembayaran hutang pewaris. Kedudukan hutang seorang pewaris secara umum menurut KUH Perdata terletak sebelum semua harta peninggalan diberikan kepada legataris dan dibagikan kepada ahli waris. Dalam penerimaan warisan, khususnya dengan jalan tengah antara menerima dan menolak warisaan peraturan yang diberikan undang-undang dalam hal tersebut, masih sangat sederhana dan kurang jelas tetapi dalam praktek tidak dijumpai kesulitan, sebab apabila sudah terang suatu warisan tidak akan mencukupi untuk pelunasan hutang-hutang pewaris, dapat 1 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 38

Upload: trinhkhanh

Post on 28-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu

tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima

orang yang utang, sehingga hal ini juga berimplikasi terhadap harta

peninggalannya. Sebab sebagian harta yang ditinggalkan sebelum dibagikan

harus digunakan untuk melunasi hutang orang yang meninggal (Pewaris).1

Melihat provisi di atas, maka masalah perutangan adalah masalah

yang sangat penting. Ini terjadi karena masalah tersebut menyangkut

kewajiban bagi orang yang berutang untuk membayarnya, bahkan sampai

meninggal pun dituntut untuk membayarnya.

Salah satu kewajiban ahli waris yang berkaitan dengan harta

peninggalan adalah pembayaran hutang pewaris. Kedudukan hutang seorang

pewaris secara umum menurut KUH Perdata terletak sebelum semua harta

peninggalan diberikan kepada legataris dan dibagikan kepada ahli waris.

Dalam penerimaan warisan, khususnya dengan jalan tengah antara

menerima dan menolak warisaan peraturan yang diberikan undang-undang

dalam hal tersebut, masih sangat sederhana dan kurang jelas tetapi dalam

praktek tidak dijumpai kesulitan, sebab apabila sudah terang suatu warisan

tidak akan mencukupi untuk pelunasan hutang-hutang pewaris, dapat

1 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 38

2

dimintakan kepada hakim untuk menyatakan pailit. Hal yang menurut

peraturan pailit semua diperbolehkan.2

Adapun kekuatan pembayaran tentang pewaris dimuat dalam Pasal

1100-1101 KUH Perdata yang menyatakan :

Para pewaris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran hutang, hibah, wasiat dan lain-lain beban memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan.3

Kewajiban melakukan pembayaran tersebut dipikul secara

perseorangan dan masing-masing menurut jumlah besarnya bagiannya, satu

dan lain dengan tidak mengurangi hak-hak para berpiutang atas seluruh harta

peninggalan selama harta itu belum terbagi, dan tidak mengurangi pula hak-

hak para berpiutang hipotik.4

Meskipun warisan itu dinyatakan bangkrut terhadap harta peninggalan

yang tidak mencukupi untuk pelunasan semua hutang pewaris, maka KUH

Perdata memberikan peraturan tentang hutang yang harus didahulukan

pelunasannya. Berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata :

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjulan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.5

2 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. II, (Surakarta : Intra Masa, 1985), hal. 105 3 KUH Perdata, Pasal 1100 4 Ibid., hlm. 1101 5 Ibid., Pasal 1132

3

Alasan yang sah untuk didahulukan dari penagih-penagih lainnya

menurut Pasal 1133-1134 KUH Perdata timbul karena adanya hak istimewa,

gadai dan hipotik.6

Hak istimewa yang dimaksud adalah seperti yang tercantum dalam

Pasal 1134 KUH Perdata :

Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.7

Dengan ketentuan bahwa gadai dan hipotik mempunyai kedudukan

lebih tinggi daripada hak istimewa kecuali undang-undang menentukan

sebaliknya. Hak istimewa tersebut selanjutnya dapat dinamakan privilage.

Dengan demikian hak istimewa dalam kasus-kasus tertentu

berdasarkan undang-undang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi

daripada gadai dan hipotik.

Menurut undang-undang ada dua macam hak istimewa, yaitu hak

istimewa kepada suatu benda tertentu dan hak istimewa kepada suatu

kekayaan orang yang berpiutang. Hak istimewa terhadap benda-benda tertentu

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak istimewa terhadap

semua harta kekayaan. Berdasarkan Pasal 1138 KUH Perdata :

Hak-hak istimewa ada yang mengenai benda-benda tertentu dan ada yang mengenai seluruh bendaa, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, yang pertama didahulukan daripada yang tersebut terakhir.8

6 Pengertian gadai dan hipotik menurut KUH Perdata Pasal 1150 dan 1162, yaitu gadai

adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak. Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.

7 KUH Perdata Pasal 1134 8 Ibid., Pasal 1138

4

Hutang-hutang yang diberikan hak istimewa tersebut terhadap benda-

benda tertentu tercantum dalam Pasal 1139 KUH Perdata sub 1-9 yang

berbunyi:

1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari semua piutang-piutang lain-lainnya yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula dari pada gadai dan hipotik.

2. Uang-uang sewa dari benda-benda tak bergerak, biaya-biaya perbaikan yang menjadi wajibnya si penyewa, beserta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa.

3. Harga pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar. 4. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang. 5. Biaya untuk melakukan suatu pekerjaan pada suatu barang yang masih

harus dibayar kepada seorang tukang. 6. Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan

sebagai demikian kepada seorang tamu. 7. Upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan. 8. Apa yang harus dibayar kepada tukang-tukang batu, tukang-tukang kayu

dan lain-lain tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan-perbaikan benda-benda tak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berutang.

9. Penggantian-penggantian serta pembayaran-pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai-pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.9

Sedangkan hak-hak istimewa atas benda bergerak dan tak bergerak

pada umumnya tercantum dalam Pasal 1149 sub 1-7 KUH Perdata, yang

berbunyi:

1. Biaya-biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan, biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotik.

2. Biaya-biaya penguburan dengan tak mengurangi kekuasan Hakim untuk menguranginya jika biaya-biaya itu terlampau tinggi.

3. Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan.

9 Ibid., Pasal 1139 BW sub 1-9

5

4. Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan.

5. Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan yang dilakukan kepada si berutang beserta keluarga selama waktu enam bulan yang terakhir.

6. Piutang-piutang para pengusaha sekolah asrama untuk tahun yang penghabisan.

7. Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka mengenai pengurusan mereka sekedar piutang-piutang itu tidak dapat diambilkan pelunasan dari hipotik atau lain jaminan yang harus diadakan menurut bab kelima belas Buku ke satu Kitab Undang-Undang ini, begitu pula tunjangan-tunjangan yang menurut Buku kesatu oleh orang tua harus dibayar untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka yang sah yang belum dewasa.10

Bunyi Pasal 1134 KUH Perdata memberikan pengecualian terhadap

ketentuan yang ada dalam Pasal-Pasal di atas. Hal ini dapat dilihat dari bunyi

Pasal tersebut:

Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.11

Pengecualian itu secara jelas dicantumkan dalam Pasal 1139 sub 1 dan

Pasal 1149 sub 1. Dengan demikian biaya penyegelan, biaya pendaftaran harta

peninggalan dan biaya pembuatan perhitungan, begitu juga biaya-biaya lain

yang dikeluarkan secara sah juga termasuk dalam pengecualian Pasal 1134 di

atas.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa urutan biaya yang harus

dikeluarkan oleh ahli waris sebelum harta peninggalan di bagi di antara ahli

waris menurut KUH Perdata, yaitu :

1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena suatu benda bergerak maupun tidak bergerak (Pasal 1139 sub 1)

10 Ibid., Pasal 1149 sub 1-7 11 Ibid., Pasal 1134

6

2. Biaya-biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan (Pasal 1149 sub 1) Keduanya merupakan pengecualian yang dimaksud dalam Pasal 1134 BW.

3. Pelunasan gadai dan hipotok (Pasal 1134 BW) 4. Uang-uang sewa dari benda-benda tak bergerak (Pasal 1139 sub 2 dan

sebagainya) 5. Biaya-biaya penguburan dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim

untuk menguranginya jika biaya-biaya itu terlampau tinggi.

Pelaksanaan nomor 4 dan 5 berdasarkan Pasal 1138 KUH Perdata

yang berbunyi :

Hak-hak istimewa ada yang mengenai benda-benda tertentu dan ada yang mengenai seluruh benda, baik bergerak maupun tidak bergerak. Yang pertama didahulukan daripada yang tersebut terakhir.12

Meskipun dalam praktek sehari-hari pelaksanaan penguburan pewaris-

pewaris tidak pernah tertunda karena adanya Pasal di atas. Apabila proses

pelunasan dilakukan secara tegas dan konsekuen, menurut penyusun hal

tersebut akan mendatangkan kemadharatan kepada ahli waris. Sebab biaya

penguburan dan perawatan serta pengobatan pewaris yang penghabisan

menjadi beban ahli waris.13

Permasalahan akan timbul apabila ternyata harta peninggalan tidak

mencukupi apabila sampai kepada urutan biaya penguburan, perawatan dan

pengobatan pewaris yang penghabisan. Artinya apabila harta peninggalan

ternyata hanya cukup untuk melunasi privilege atau hak-hak istimewa yang

dikecualikan oleh undang-undang (Pasal 1139 sub 1 dan Pasal 1149 sub 1)

dan biaya pelunasan terhadap piutang-piutang yang diistimewakan terhadap

12 Ibid., Pasal 1138 13 Pasal 1149 sub 2 dan 3 BW tentang biaya penguburan dengan tidak mengurangi

kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya-biaya itu terlalu tinggi dan semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan.

7

benda-benda tertentu (Pasal 1139 sub 2-9). Bukankah hal tersebut akan

memberatkan ahli waris?.

Di samping permasalahan di atas, hak istimewa atau privilege dalam

KUH Perdata menunjukkan adanya perbedaan di antara para kreditur yang

semuanya menuntut seluruh piutangnya untuk dilunasi. Sebenarnya hal

tersebut kurang sejalan dengan jiwa Pasal 1132 KUH Perdata yang

menghendaki adanya keseimbangan dari semua tingkatan kreditur.14

Berkaitan dengan hal di atas R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan

bahwa:15

1. Kewajiban membayar hutang itu hanya dipikulkan kepada ahli waris yang menerima harta warisan.

2. Kewajiban masing-masing dari para ahli waris untuk membayar hutang, menyerahkan legaat-legaat dan memenuhi beban-beban lain harus seimbang dengan adanya apa yang mereka terima dari barang-barang warisan.

Sementara itu, R. Wirjono Prodjodikoro mengomentari pandangan di

atas menyatakan bahwa:

“Hal tersebut tidak terlepas dari sikap ahli waris terhadap harta peninggalan ketika warisan terluang. Apabila ahli waris menerima secara murni terhadap warisan, maka satu-satunya ahli dari penerimaan tersebut adalah bahwa penerimaan secara murni itu menghilangkan wewenang untuk menerima warisan dengan jalan tengah yaitu antara menerima dan menolak warisan”.16

14 KUH Perdata Pasal 1132 15 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung,

1991), hal. 183 16 Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Yogyakarta : Mustika Wihasa,

1994), hal. 84

8

Hal di atas menunjukkan bahwa tanggung jawab ahli waris yang

menerima secara murni terhadap utang-utang warisan tidak terbatas sampai

sebesar aktiva warisan saja melainkan termasuk pula harta pribadinya.17

Sementara itu menurut prinsip hukum Islam, harta peninggalan

seorang pewaris sebelum digunakan untuk melunasi hutang pewaris, harus

digunakan untuk mencukupi biaya perawatan orang yang meninggal sebelum

digunakan untuk yang lain.18 Hal ini didasarkan sebuah hadits :

������������ ����������� � ������ ����� ��������� � ����������� ����� ������� ������ ��� ������� �������� ��� ��� ��!�"�#��

�$%��&������#������'��(%��)�*+�,%"-��.�������/�"�0�1��2������#�����3�(� ��4���"�5�6������*7�&���89��!���������:�;������4

��<#�,���=����=��#�>-����?���@��A���,�@���%B�C� ����&�D���������!�0�1�2��E�F�G��H,-��4����I19�

Artinya : “Ketika seorang laki-laki berhenti di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari kendaraannya (onta) sehingga mematahkan leher orang tersebut (meninggal dunia). Nabi bersabda: mandikanlah ia dengan air dicampur dua bidara dan kafanilah dengan dua kain dan janganlah kamu membalsamnya dan jangan pula menutupi kepalanya, sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan talbiyah (memuji Allah) ”. (H.R. Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa bahwa Rasulullah tidak meneliti

dan mengatakan apakah orang yang meninggal mempunyai hutang atau tidak.

Namun beliau terus menceritakan agar jenazah itu dimandikan dan dikafani.

Di samping itu Rasulullah juga tidak merinci setiap peristiwa, sebab peristiwa

yang diutarakan oleh beliau dalam hadits di atas menduduki keumuman apa

yang diucapkan ( �������-�J�"�!������>�!-���(� ��?���!��- )”.

17 J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 327 18 Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : Al-Ma’arif, 1987), hal. 67 19 Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut : Darul kutub Ilmiah, t.th.), hal. 603

9

Dengan kaidah tersebut tanpa mengadakan penelitian, apakah orang

yang meninggal itu mempunyai hutang atau tidak, sudah barang tentu biaya

perawatan yang diperlukan harus didahulukan dari pelunasan hutang apapun.

Bagi Fathur Rahman, perawatan selengkapnya itu merupakan kebutuhan vital

bagi jenazah sebagai ganti nafkah daruri sewaktu masih hidup.20

Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Al-Tirkatu wa al-Mirasu fi

al-Islami menjelaskan bahwa “mengakafani orang yang meninggal itu lebih

penting dari pelunasan hutangnya”.21 Atas dasar inilah, maka perawatan orang

yang meninggal itu merupakan suatu kebutuhan sangat pokok bagi

kemaslahatan orang yang masih hidup maupun bagi jenazah itu sendiri.

Sedangkan secara teknis, Ibnu Hazm berpendapat bahwa hutang kepada Allah

seperti zakat, haji dan benda-benda itu lebih didahulukan daripada hutang

kepada hamba.22 Beliau mendasarkan pada keumuman, Firman Allah SWT.

dalam surat an-Nisa’ ayat 11 :

8��@�K����D���L���+)���@�8�%#�)����M��������=E�F9�:"-��.NN�I��

Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (Q.S. an-Nisa’: 11) 23

Kata (����� ) di atas mencakup hutang kepada Allah maupun hutang

yang hubungan dengan sesama manusia. Namun secara kualitatif para ulama

berpendapat bahwa pembayaran hutang kepada Allah didahulukan daripada

20 Fathur Rahman, op. cit., hal. 67 21 Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkatu wa al-Mirasu fi al-Islami, Cet. II, (Kairo : t.pt.,

1967), hal. 108 22 Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, (Beirut; Darul Fikr, t.th.), hal. 203 23 Soenarjo, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Depag RI, 1989), hal. 117

10

pembayaran hutang kepada manusia. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah

saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. yang berbunyi:

�(O�>�@��P���QR������'�����@�M� 24�

Artinya: “Hutang kepada Allah adalah lebih hak untuk dipenuhi (dibayar)”.

Selanjutnya apabila sesudah diketahui dan penyelenggaraan jenazah

selesai, maka Islam mensyari’atkan untuk melunasi hutang-hutang pewaris.25

Tentang proses pelunasan hutang menurut hukum Islam, Ibnu Hazm dan

ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hutang kepada Allah seperti zakat,

pembayaran denda dan lain-lain lebih didahulukan pelunasannya daripada

hutang kepada hamba. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abas r.a.:

����>� � �$%��&��� ���#����� �'��(%��)�S+�,%"-�� �(-��� ��� ��� �9�� �.S=���%P��� �'�� ����&��� ��@����T�1��=�(

������U��L�"��� ���#�O����� �D�8��L�V� �?���)� ��L�#�������.�$���B�W������.(O�>�@� �P���QR����� �'�� ���@�M� �F

EG��H,-��4����I26��

Artinya : “Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan bertanya: “Hai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia mempunyai tanggungan puasa ramadhan, apakah aku harus membayarnya?. Nabi menjawab: ya, kemudian Nabi bersabda: “Hutang kepada Allah itu lebih haq untuk dibayarkan”. (H.R. Bukhari)

Setelah hutang kepada Allah selesai dilunasi, maka hutang kepada

manusia yang berkaitan dengan harta peninggalan yang disebut dain ainiyah,

seperti gadai lebih didahulukan daripada hutang yang tidak berkaitan dengan

harta peninggalan atau disebut dain mutlaqoh, sehingga untuk hutang yang

24 Shahih Bukhari, loc. cit. 25 as-Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Cet. IV, (Baerut : Dar al-Fikri, 1983), hal. 425 26 al-Imam al-Bukhari, loc. cit.

11

tidak berkaitan dengan harta peninggalan harus lebih didahulukan hutang

sihah (�����), yaitu hutang yang didahulukan pada waktu sehat yang ada

pembuktiannya daripada hutang marad (�� �� ��), yaitu hutang yang dilakukan

pada waktu sakit dan tidak ada pembuktiannya.27

Ulama Hanafiah memandang sama antara hutang kepada Allah dengan

hutang kepada manusia dalam hal pelunasannya. Mereka mendasarkan pada

keumuman kata (����@�K) dalam surat an-Nisa’ ayat 11 itu dapat mencakup

pengertian kedua-duanya. Oleh karena itu, apabila harta peninggalan tidak

mencukupi hendaklah dibagi menurut perbandingan kedua macam hutang

tersebut.

Hutang yang berkaitan dengan benda secara langsung lebih

didahulukan daripada yang tidak berkaitan dengan benda secara langsung.

Berbeda dengan ulama Malikiyah yang mendahulukan pelunasan hutang

terhadap manusia dibanding hutangnya kepada Allah, sebab Allah adalah zat

Yang Maha Cukup.28

Dari sini tampak jelas bahwa KUH Perdata memiliki sudut pandang

yang berbeda dengan sudut pandang Hukum Islam tentang prioritas pelunasan

hutang pewaris, sehingga permasalahan ini akan cukup menarik apabila dikaji

letak perbedaanya, sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaan kedua

produk hukum tersebut berkaitan dengan pelunasan hutang pewaris tersebut.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis bermaksud

mengkajinya dalam sebuah skripsi dengan judul “KAJIAN KRITIS TENTANG

27 Mushlich Marusi, Asasu al-Mawaris. Cet. I, (Semarang : Mujahidin, 1981), hal. 18 28 Fachur Rahman, op. cit., hal. 48

12

PRIORITAS PELUNASAN HUTANG PEWARIS DALAM PASAL 1149 KUH

PERDATA DITINJAU DARI PRINSIP HUKUM ISLAM”.

B. Pokok Permasalahan

Untuk sampai pada pemahaman yang sistematis dan mencerminkan

substansi pembahasan serta metodologi penulisan skripsi yang pada akhirnya

dapat memberikan penjelasan yang jelas serta tidak menyimpang dari tujuan

semula, maka penulis mengungkapkan pokok permasalahan skripsi ini sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah penyelesaian hutang pewaris menurut KUH Perdata Pasal

1149 dan Hukum Islam?

2. Adakah hak istimewa dalam pelunasan hutang pewaris dalam kedua sistem

hukum tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi

1. Tujuan Penulisan Skripsi

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Mengkaji persoalan penyelesaian hutang pewaris menurut

KUHPerdata dan Hukum Islam.

b. Mengetahui adakah hak istimewa dalam pelunasan hurang pewaris

dalam kedua sistem hukum tersebut.

13

2. Manfaat Penulisan Skripsi

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut :

a. Bagi penulis, dengan mengkaji tentang prioritas pelunasan hutang

pewaris dalam KUH Perdata Pasal 1149 dan Hukum Islam akan dapat

menambah wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang

masalah-masalah yang berkaitan dengan kewarisan, khususnya

tentang hutang Pewaris.

b. Dapat mengetahui lebih jelas perbedaan sudut pandang KUH Perdata

dan Hukum Islam dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan

dengan pelunasan hutang pewaris.

c. Hasil dari kajian ini sedikit banyak akan dapat membantu usaha

penghayatan dan pengamalan terhadap masalah yang berkaitan

tanggungan si mati, khususnya hutang.

D. Telaah Pustaka

Bertitik tolak dari permasalahan di atas, sepanjang pengetahuan

penulis, belum ada penelitian yang membahas tentang prioritas pelunasan

hutang pewaris. Sehingga kajian ini adalah sebagai upaya untuk mengetahui

tinjauan prinsip hukum Islam terhadap Pasal 1149 KUH Perdata tentang

prioritas pelunasan hutang pewaris, baik menyangkut masalah privelidge dan

juga tertib pelunasan hutang pewaris.

14

Adapun beberapa buku yang memberikan kontribusi yang sangat besar

dan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Pertama, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan

Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) karya M.

Idris Ramulyo. Pembahasan tentang hukum kewarisan dalam buku ini sangat

penting sekali, sebab dalam buku ini mencoba membandingkan sistem

kewarisan yang ada dalam KUH Perdata dan Hukum Islam, baik menyangkut

dasar hukum kewarisan hukum Islam, KUH Perdata, Peradilan Agama dan

peradilan, pengertian kewarisan menurut Islam dan KUH Perdata, orang-

orang yang berhak menerima waris (ahli waris) menurut Islam dan KUH

Perdata, pelaksanaan pembagian warisan menurut Hukum Islam di Pengadilan

Agama dan KUH Perdata (BW) di Pengadilan Negeri.29

Pembahasan yang paling pokok dalam buku ini adalah tentang

masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pembagian warisan

menurut hukum Islam dan KUH Perdata, khususnya tentang utang-utang si

mati. Namun demikian buku ini kurang memberikan gambaran yang jelas

tentang prioritas pelunasan hutang pewaris itu sendiri dan lebih memfokuskan

pada penerimaan dan penolakan ahli waris terhadap harta warisan. Sedangkan

dalam tinjauan hukum Islam, buku ini memberikan penjelasan tentang

pelunasan hutang yang lebih didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits.

Kedua, Fiqih Mawaris. Buku ini tulis oleh Ahmad Rofiq. Buku ini

membahas panjang lebar tentang masalah kewarisan, baik menyangkut

29 Lihat, M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan

Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)

15

tentang tinjauan umum fiqih mawaris, ahli waris dan macam-macamnya,

metode perhitungan dalam pembagian harta warisan dan beberapa contoh

perhitungan yang berkaitan dengan pembagian harta warisan. Sehingga

dengan pembahasan yang komprehensif akan dapat membantu dalam

menjawab permasalahan yang dibahas.30

Ketiga, Hukum Waris Islam; Lengkap dan Praktis, karya Suhrawardi

K. Lubis dan Komis Simanjutak. Pembahasan buku ini pada dasarnya adalah

sebagai pengugah tentang pentingnya sosialisasi ilmu waris yang oleh banyak

kalangan dianggap sulit, sehingga dalam bagian pertama buku ini membahas

tentang pentingnya belajar ilmu waris Islam dan juga kedudukan hukum waris

Islam dalam tata hukum di Indonesia, baik menyangkut sejarah hukum Islam

(waris) di Indonesia, kewenangan peradilan agama mengadili perkara

kewarisan dan kompilasi hukum Islam Indonesia tentang kewarisan.

Kaitannya dengan studi ini, buku ini juga membahas tentang hal-hal yang

berkaitan dengan hal-hal yang harus diselesaikan ketika si Pewaris meninggal,

baik itu menyangkut perawatan Pewaris, hibah pewaris, wasiat pewaris dan

utang-utang yang harus dibayar oleh Pewaris, meskipun diuraikan dengan

singkat, namun telah memberikan masukan yang sangat berharga berkaitan

macam-macam hutang yang menjadi tanggungan Pewaris, baik itu hutang

kepada Allah maupun kepada sesama.31

30 Lihat, Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) 31 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam; Lengkap dan

Praktis, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2001)

16

Keempat, Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya yang

berjudul Fiqih Mawaris. Dalam buku Fiqih Mawaris, Hasbi ash-Shiddieqy

juga membahas banyak hal tentang hukum kewarisan, baik menyangkut si

Pewaris, ahli waris dan juga harta warisan yang ditinggalkan Pewaris. Pada

bab pertama buku itu mengulas secara luas tentang hak-hak yang harus

didahulukan ketiak seseorang meninggal. Di samping itu, Hasbi juga

mengemukakan pendapat-pendapat ulama mazhab tentang dalam bukunya itu,

sehingga dari sinilah, maka akan memperluas pengetahuan tentang perbedaan

pendapat ulama mazhab berkaitan dengan pelunasan hutang yang dibahas.

Sehingga buku ini sangat menarik sekali sebagai rujukan dalam pembahasan

tentang tertib pelunasan hutang pewaris.32

Kelima, Pokok-Pokok Hukum Perdata karya Subekti. Buku ini lebih

memfokuskan pembahasannya pada masalah-masalah perdata yang berlaitan

dengan hukum perkawinan, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris,

hukum perjanjian dan juga pembahasan tentang pembuktian, lewat waktu

(verjaring) dan hukum dagang. Beberapa keunikan buku ini adalah bahwa

hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata dibahas secara rinci dengan

bahasa yang lugas dan dapat dipahami, sehingga memudahkan penulis untuk

menelaah isi buku ini, khususnya pembahasan yang berkaitan dengan jaminan

kebendaan yang menyangkut pand, hipotik dan masalah utang piutang.33

Dari buku-buku di atas, diharapkan dapat menjadi referensi utama

dalam menyelesaikan permasalahan yang akan dikaji. Sehingga melalui buku-

32 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hal.13-18

33 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Intermasa, 1996), hal. 79-90

17

buku tersebut dapat menjadikan pembahasan masalah lebih terarah, sistematis

dan logis.

E. Metode Kajian

Skripsi ini adalah kajian kritis terhadap Undang-Undang KUH Perdata

yang berisi tentang pelunasan hutang pewaris, sebagaimana terdapat dalam

Pasal 1149 KUH Perdata.

Karena ini berupa kajian kritis, maka studi ini mendasarkan

analisisnya pada studi pustaka (library research), yaitu menjadikan bahan

pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori-

teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu,

mengikuti perkembangan penelitian dalam bidang yang akan diteliti,

memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, memanfaatkan

data sekunder serta menghindarkan duplikasi penelitian.34

Karena itu aspek-aspek yang diteliti dalam studi ini adalah berkaitan

dengan privelidge (hak istimewa) dan tertib pelunasan hutang pewaris dalam

KUH Perdata Pasal 1149 untuk kemudian dikomparasikan dengan prinsip

Islam.

1. Metode Pengumpulan Data

Mengingat bahwa studi ini merupakan studi kepustakaan, maka

untuk memperoleh data-data yang diperlukan juga melalui studi

kepustakaan. Artinya menelaah bahan kepustakaan yang berisi buku-buku

34Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta,

1982, hal. 70.

18

sebagai bahan bacaan dikaitkan dengan penggunaannya dalam kegiatan

penulisan karya ilmiah.

Adapun untuk mengumpulkan data-data dalam penelitian ini

digunakan sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber Data Primer

Adapun sumber data primer dalam studi ini adalah KUH Perdata pasal

1149 KUH dan kitab-kitab yang membahas tentang pelunasan hutang

pewaris dalam Islam. Kedua sumber ini merupakan referensi utama

guna memperoleh data tentang prioritas pelunasan hutang pewaris

dalam pasal 1149 KUH Perdata dan hukum Islam.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan buku penunjang yang melengkapi

sumber data primer dan membantu dalam studi analisis terhadap

prioritas hutang dalam pasal 1149 KUH Perdata dan hukum Islam.

Sumber sekunder ini dapat berupa kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, dan

dan buku-buku atau kitab-kitab lain yang relevan dengan

permasalahan yang dibahas.

2. Metode Kajian

Skripsi ini adalah kajian normatif intepretatif. Artinya

menginterpretasikan pesan-pesan yang ada dalam Pasal 1149 KUH

Perdata untuk setepatnya menangkap arti makna yang disajikan.35 Metode

ini penting perannya dalam usaha mencari makna yang tersurat ataupun

35 Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,

(Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal. 69.

19

yang tersirat serta mengaitkannya dengan hal-hal terkait yang sifatnya

logik teoritik, etik atau transendental.36

Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, maka langkah

selanjutnya adalah menganalisis data, melalui metode-metode sebagai

berikut:

a. Metode Normatif

Metode normatif yaitu cara berfikir dalam kerangka hukum atau

undang-undang. Metode ini digunakan untuk mengungkap prinsip

hukum Islam dalam meninjau prioritas hutang pewaris dalam Pasal

1149 KUH Perdata tentang prioritas hutang pewaris.

b. Metode Komparatif

Metode komparatif adalah metode berfikir yang dipergunakan untuk

memperoleh suatu kesimpulan dengan meneliti faktor-faktor yang

berhubungan dengan siatuasi atau fenomena yang diselidiki dan

dibandingkan dengan faktor yang lain.37

Karena ada dua produk hukum dalam kajian ini, yaitu hukum Islam

dan hukum perdata, maka metode ini penulis gunakan untuk

membandingkan pandangan KUH Perdata dan Hukum Islam tentang

prioritas pelunasan hutang pewaris.

36 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rekesarasin, 1996), hal.

65. 37 Winarno Surahmat, Dasar-Dasar dan Tekhik Research, (Bandung: Tarsito, 1988), hal.

135

20

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Sebelum menginjak pada bab pertama dan bab-bab berikutnya yang

merupakan satu pokok pikiran yang utuh, maka penulisan skripi ini diawali

dengan halaman judul, nota pembimbing, pengesahan, motto, persembahan,

kata pengantar dan daftar isi dan dilanjutkan dengan pembahasan bab satu.

Bab satu merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang

pokok permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metodologi penulisan

dan sistematika penulisan skripsi.

Bab dua menjelaskan tentang tinjauan umum tentang hutang pewaris

dalam hukum Islam dan KUH Perdata. Bab ini sebagai gambaran awal,

sebelum membicarakan hutang pewaris secara lebih khusus, yang terdiri dari:

pengertian tentang pelunasan hutang pewaris menurut hukum Islam dan KUH

Perdata, harta kekayaan pewaris yang berpindah kepada ahli waris dan

tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris.

Bab tiga membicarakan tentang pelunasan hutang pewaris dalam

Pasal 1149 KUH Perdata dan hukum Islam yang terdiri dari dua sub bab, yaitu

pelunasan hutang pewaris dalam Pasal 1149 KUH Perdata yang terdiri dari

dua sub anak bab, yaitu hak istimewa penagih terhadap hutang pewaris dan

tertib pelunasan hutang menurut KUH Perdata, sedangkan sub bab kedua

menjelaskan tentang pelunasan hutang pewaris dalam hukum Islam.

Bab empat merupakan bab yang menganalisis terhadap pelunasan

hutang dalam Pasal 1149 KUH Perdata atau KUH Perdata dan hukum Islam

meliputi tinjauan Hukum Islam tentang Privilege dalam Pasal 1149 KUH

21

Perdata dan analisis terhadap tertib pelunasan hutang pewaris menurut Hukum

Islam dan analisis tentang pelunasan hutang pewaris dalam hukum Islam.

Bab lima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan, saran-

saran dan kata penutup. Selanjutnya diikuti dengan daftar pustaka, lampiran-

lampiran dan biodata penulis.