bab 9 perilaku non verbal

40
BAB IX BUKU II PERILAKU NONVERBAL Translated by : WIRAWAN JAYA (NIM : P1400213305) Alangkah bodohnya mereka yang menutupi kebencian di mata mereka dengan senyuman di bibir mereka (Kahlil Gibran) Sebagaimana halnya perilaku verbal yang dikondisikan oleh seluruh lingkungan budaya, perilaku nonverbal mencerminkan sejumlah pola-pola budaya yang kita peroleh melalui proses sosialisasi. Tata cara kita bergerak dalam ruang ketika kita berkomunikasi dengan pihak lain, sangat didasari oleh respon fisik dan emosional kita pada ransangan lingkungan. Jika perilaku verbal kita umumnya terlihat dan diproses secara kognitif, perilaku nonverbal kita bersifat spontan, samar, sekilas, dan sering di balik kesadaran dan kontrol. Oleh sebab itu ketika kita berusaha berkomunikasi dengan orang asing, pemahaman kita akan interaksi dibatasi oleh perilaku nonverbal orang asing tersebut yang asing sebagaimana asingnya anggapan dan pola kognitif dan pesan-pesan verbal mereka. Dari sapaan dan bahasa tubuh sampai pengungkapan perasaan dan posisi

Upload: sahid-mamminasa

Post on 07-Nov-2015

33 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Bab 9 Perilaku Non Verbal

TRANSCRIPT

BAB IX BUKU II PERILAKU NONVERBALTranslated by : WIRAWAN JAYA (NIM : P1400213305) Alangkah bodohnya mereka yang menutupi kebencian di mata mereka dengan senyuman di bibir mereka (Kahlil Gibran)Sebagaimana halnya perilaku verbal yang dikondisikan oleh seluruh lingkungan budaya, perilaku nonverbal mencerminkan sejumlah pola-pola budaya yang kita peroleh melalui proses sosialisasi. Tata cara kita bergerak dalam ruang ketika kita berkomunikasi dengan pihak lain, sangat didasari oleh respon fisik dan emosional kita pada ransangan lingkungan. Jika perilaku verbal kita umumnya terlihat dan diproses secara kognitif, perilaku nonverbal kita bersifat spontan, samar, sekilas, dan sering di balik kesadaran dan kontrol.Oleh sebab itu ketika kita berusaha berkomunikasi dengan orang asing, pemahaman kita akan interaksi dibatasi oleh perilaku nonverbal orang asing tersebut yang asing sebagaimana asingnya anggapan dan pola kognitif dan pesan-pesan verbal mereka. Dari sapaan dan bahasa tubuh sampai pengungkapan perasaan dan posisi tubuh, kita akan mendapatkan diri kita bersikap canggung terhadap orang asing. Karena pemahaman akan perilaku nonverbal adalah fenomena yang jarang disadari, maka akan sulit bagi kita untuk mengetahui secara tepat mengapa kita merasa tidak nyaman.Hall (1966) mengacu pada fenomena ketidaksadaran yang lebih luas dari komunikasi nonverbal sebagai dimensi tersembunyi dari budaya. Dianggap tersembunyi, karena berbeda halnya dengan pesan-pesan verbal, pesan-pesan nonverbal tertanam dalam bidang kontekstual komunikasi. Selain isyarat situasional dan relasional dari transaksi komunikasi tertentu, pesan nonverbal menyediakan bagi kita isyarat kontekstual yang penting. Bersama dengan isyarat verbal dan kontektual lainnya, pesan nonverbal membantu kita memahami keseluruhan arti dari pengalaman komunikasi.Tujuan dari bab ini adalah untuk menguji keragaman budaya dalam perilaku nonverbal dan bagaimana ia mempengaruhi komunikasi kita dengan orang asing. Kita mulai dengan melihat pengenalan dan ekspresi dari emosi. Selanjutnya kita menguji bagaimana keinginan untuk hubungan mempengaruhi perbedaan budaya dalam perilaku nonverbal. Berikut ini, kita mendiskusikan proses sinkronisasi interpersonal. Kita menyimpulkan dengan menganalisa bagaimana komunikasi kita dengan orang asing menjadi terpengaruh ketika mereka melanggar pengharapan (atau sebaliknya kita melanggar mereka) sehubungan dengan perilaku nonverbal.

PENGENALAN EMOSI DAN EKSPRESIEmosi dasar manusia adalah respon berdasar biologis terhadap ransangan luar dan oleh karenanya dialami secara universal terlepas dari perbedaan-perbedaan budaya. Orang di manapun mengalami perasaan seperti kebahagian, kesedihan dan kemarahan, dan menunjukkan banyak persamaan dalam ekspresi mereka atas emosi manusia ini. Darwin (1892) menunjukkan kesamaan tertentu dalam perilaku ekspresif manusia dengan latar belakang budaya yang berbeda dan menafsirkan ini sebagai karakteristik bawaan pada diri setiap insan. Ahli biologi, antropolog berorientasi biologi, dan psikolog berulang kali menggarisbawahi bawaan, dasar biologi dan kesamaan dari perilaku ekspresif manusia. Pandangan ini bagaimanapun juga mendapat penentangan berkali-kali. La Barre (1947) merupakan salah satu di antara penentang yang terkenal dari teori budaya berdasarkan ekspresi emosional. Sependapat dengan itu, Birdwhistell (1963) mengembangkan hipotesis bahwa tidak ada gerakan ekspresif yang memiliki makna universal dan semua gerakan merupakan suatu produk budaya dan tidak diwarisi secara biologi atau bawaan.Kedua pandangan tentang ekspresi emosi manusia terintegrasi dalam suatu perspektif ketiga teori budaya-neuro ekspresi wajah dari emosi, oleh Ekman (1972). Meskipun Ekman pada dasarnya mendukung posisi bawaan, ia meyakini kendala budaya memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk ekspresi emosional. Ia mendorong keduanya baik secara bawaan yang berhubungan dengan pernyataan emosi tertentu dan memberikan tampilan bagi wajah (program efek wajah) hamparan budaya dari aturan tampilan yang dapat meningkatkan, mengurangi, menetralkan, atau menutup tampilan wajah untuk memenuhi permintaan normatif dari situasi tertentu dalam suatu budaya.PENGENALAN EMOSI BERSIFAT UNIVERSALPenelitian yang luas telah dilakukan mengenai aspek universal dari pengenalan emosi. Izard (1968, dirangkum dalam Izard,1980), sebagai contoh, memiliki klasifikasi fotografi individu dari ekspresi wajah menjadi salah satu dari delapan kategori emosi (minat-kegembiraan, kesenangan-kesukaan, terkejut-kaget, kesulitan-menderita, muak- jijik, marah-mengamuk, malu-hina, dan takut-ngeri). Risetnya mengungkapkan bahwa ada kesepahaman mendalam mengenai kategori emosi yang ditampilkan dalam fotografi di Amerika Serikat, Jerman, Swedia, Prancis, Swiss, Yunani dan Jepang. Data dari studi Ekman dan Freisen di Brasil, Cili dan Argentina memberikan hasil yang sama untuk enam dari delapan emosi (minat-kegembiraan dan malu-hina dihilangkan).Penelitian terbaru oleh Ekman dan rekannya (1987) mendukung pendapat bahwa ada ekspresi wajah bersifat universal dari emosi. Studi ini dilakukan di sepuluh budaya (Estonia, Jerman, Yunani, Hongkong, Italia, Jepang, Skotlandia, Sumatra, Turki, dan Amerika Serikat) menunjukkan bahwa kesepakatan tidak dibatasi oleh keadaan yang mana pengamat batasi untuk melihat satu emosi lebih kuat dari emosi lainnya. Ekman dan rekan juga menemukan kesepakatan pada kekuatan hubungan dari emosi yang diekspresikan.Sebagai tambahan terhadap pengenalan dari ekpresi emosi wajah, nampaknya ada kesepakatan dari pengenalan dari ekspresi emosi vokal. Beier dan Zautra (1972) , sebagai contoh, menemukan bahwa murid Jepang dan Polandia yang tidak berbahasa inggris, mereka sama akuratnya dengan murid di Amerika Serikat dalam memberi makna ekspresi emosi vokal di Inggris. Studi lainnya oleh Bezooijen, Otto, dan Heenan (1983) menunjukkan bahwa orang dewasa di Belanda, Taiwan, dan Jepang sama mampunya mengidentifikasi ekspresi emosi dalam vokal Belanda. Matsumoto, Wallbott dan Scherer (1989) menyimpulkan berbagai penemuan akhir yang telah nampak dari studi lintas budaya mengenai emosi. Mereka berpendapat bahwa ada ke-universal-an pada pengenalan dari enam jenis emosi pada ekspresi wajah-kemarahan, jijik, ketakutan, kebahagiaan, kesedihan, dan terkejut. Selain terhadap enam poin ini, mereka meyakini bahwa pengenalan akan penghinaan kemungkinan bersifat universal. Matsumoto dan rekan menunjukkan bahwa masyarakat lintas budaya tidak semata mengakui ekspresi wajah primer/utama, akan tetapi mereka juga mengenali emosi sekunder yang diekspresikan. Selain untuk pengenalan emosi yang diekspresikan, masyarakat tampaknya sepakat pada intentitas relatif dari emosi yang disampaikan.Matsumoto dan rekan juga mengisolasi aspek universal dari pengalaman emosional. Nampaknya, sebagai contoh, terlihat konsisten pada beberapa hal yang sudah berlansung sejak jaman dahulu untuk beberapa emosi. Sebagai gambaran, kelahiran anggota baru dalam keluarga menciptakan kegembiraan; orang asing, situasi baru, dan situasi beresiko cenderung menimbulkan ketakutan. Lebih jauh, kemarahan dan kemuakan nampaknya lebih sering muncul dan ketakutan lebih jarang muncul di seluruh budaya. Situasi yang mengarah pada kesedihan nampaknya dialami lebih intens, sementara situasi yang menimbulkan rasa malu dan bersalah dialami lebih jarang.Sebelum mendiskusikan perbedaan budaya dalam emosi, sangat penting untuk menunjuk dua peringatan berkenaan dengan keakuratan pada pengenalan emosi. Rosenthal, Hall, Dimatteo, Rogers, dan Archer (1979) menunjukkan suatu rangkaian dari situasi bermain-peran yang menunjukkan bagian tubuh yang berbeda dan ekspresi vokal pada dua puluh budaya. Sementara keakuratan pengenalan dari permainan peran bervariasi, responden pada semua budaya secara kebetulan lebih akurat dibanding yang diharapkan. Perbedaan pada keakuratan yang muncul nampaknya suatu fungsi dari kesamaan budaya. Interpretasi yang paling akurat dilakukan oleh responden dari budaya yang mirip dengan Amerika Serikat ( contoh Australia), dimana permainan peran dibuat, dan interpretasi yang kurang akurat berasal dari responden pada budaya yang sangat berbeda dari Amerika Serikat (misalnya Papua Nugini). Pada suatu studi yang berhubungan, Ducci, Arcuri, W/Georgis, dan Sineshaw (1983) mempelajari pengenalan dari emosi orang barat di Etopia. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa keakraban/kedekatan dengan budaya barat berhubungan dengan akurasi pengenalan emosi.Singkatnya, setelah mempelajari riset pada pengenalan dan ekspresi dari emosi Izard (1980) menyimpulkan bahwa :Data lintas budaya yang kuat.... memberikan dukungan yang kuat pada tesis Darwin bahwa ekspresi dari emosi adalah bawaan dan bersifat universal. Beberapa studi menunjukkan bahwa keuniversalan dibatasi pada beberapa emosi yang pokok dan mendasar. Namun meskipun beberapa diantaranya berbaur (ekspresi menunjukkan komponen dari dua atau lebih emosi mendasar) secara tepat diidentifikasi lintas budaya tertentu, meskipun berbaur tidak menghasilkan kesepakatan yang tinggi sebagai kesatuan ekspresi ketika menggunakan penilaian yang naif. Meskipun ekspresi dan pengalaman batin yang menandai emosi mendasar adalah bawaan dan bersifat universal, ada sejumlah perbedaan budaya dalam tindakan terhadap emosi dan ekspresi mereka. (hal. 216)PERBEDAAN BUDAYA DALAM EKSPRESI EMOSIMatsumoto dan rekan (1989) memisahkan beberapa perbedaan dalam ekspresi dari emosi. Daripada membahas perbedaan antara budaya tertentu, kita memfokuskan saat ini pada variasi sistemik dalam emosi lintas budaya. Ada beberapa bukti bahwa perbedaan budaya pada ekspresi emosi, sebagai contoh, dapat dihubungkan dengan dimensi dari varibialitas budaya yang didiskusikan pada bab 3Gudykunst dan Ting Toomey (1988) menemukan bahwa perilaku terhadap beberapa emosi adalah konsisten dengan dimensi dari varibialitas budaya milik Hofstede (1980). Untuk menggambarkannya, mereka menemukan bahwa masyarakat dengan budaya maskulin cenderung mengalami kegalauan dibandingkan masyarakat dengan budaya feminim. Mereka berpendapat bahwa akibat budaya maskulin yang menekankan prestasi dan keunggulan, masyarakat dalam budaya ini mengalami kegalauan jika mereka tidak berprestasi atau unggul. Budaya feminim sebaliknya menekankan pada pelayanan dan tidak berusaha untuk unggul dari yang lain. Kegagalan terhadap pencapaian tujuan tersebut tidak berakibat pada kegalauan.Gudykunst dan Ting-Toomey juga menemukan bahwa masyarakat dengan budaya ketidakpastian penolakan yang tinggi mengalami kesenangan yang rendah dari hubungan dibandingkan masyarakat dengan budaya ketidakpastian penolakan yang rendah. Temuan ini adalah wajar mengingat hubungan dipandu oleh aturan yang tegas dalam budaya ketidakpastian penolakan yang tinggi dan aturan menjadi lebih longgar pada budaya ketidakpastian penolakan yang rendah.Pada studi yang dilakukan Gudykunst dan Ting-Toomey (1989) studi non vokal (misalkan reaksi yang melibatkan penggunaan tubuh) dan reaksi verbal terhadap emosi adalah dihubungkan dengan keegoisan. Masyarakat pada budaya individu menunjukkan lebih banyak reaksi vokal dan non vokal dibandingkan dengan masyarakat dengan budaya kolektif. Temuan ini konsisten dengan deskripsi dari budaya individu dan kolektif yang diterangkan pada bab 3.Matsumoto (1989) mengembangkan studi awal Gudykunst dan Ting-Toomey. Ia memeriksa tanggapan dari emosi dalam lima belas budaya. Berdasarkan penelitiannya, Matsumoto menyimpulkan bahwa,budaya tinggi dalam jarak kekuasaan dan rendah dalam individu menekankan hirarki dan ikatan kelompok kolektivitas sementara individualitas diminimalkan. Dalam budaya ini komunikasi dari emosi negatif mengancam solidaritas grup dan struktur interpersonal sosial. Sebaliknya budaya rendah dalam jarak kekuasaan dan tinggi dalam individualistas dapat mendorong komunikasi dari emosi ini berlebih sehubungan dengan keterkaitan mereka dengan kebebasan individu untuk mengekspresikan dan mengartikan emosi negatif. Dengan demikian mereka tidak mengancam struktur sosial dan kelompok yang sama ditemukan pada budaya tinggi jarak kekuasaan dan rendah individu.Matsumoto (1991) secara teoritis menghubungkan individualistis-kolektif dan jarak kekuasaan dengan ekspresi emosi. Ia berpendapat bahwa karena penundukan tujuan individu kepada tujuan kelompok adalah lebih penting dalam budaya kolektif dibanding dalam budaya individualistis, anggota dari budaya kolektif akan lebih menekankan penampilan emosi yang dapat memfasilitasi kerjasama kelompok, harmoni, dan kesatuan dibanding anggota dari budaya individualistis. Ia juga menunjukkan bahwa anggota dari budaya individualistis memperlihatkan variasi yang lebih beragam dari perilaku emosional dibanding yang anggota budaya kolektif lakukan. Budaya kolektif tidak setoleran berbagai variasi individu, dan dengan demikian tidak menyukai variasi yang demikian. (hal. 132).Emosi spesifik yang diperlihatkan bergantung pada konteks dan target dari emosi. Sebagai gambaran, Matsumoto (1991) menyiapkan contoh yang berkenaan dengan ekspresi emosi negatif ketika dengan anggota inti dari budaya kolektif. Dalam konteks publik akan tidak pantas untuk menunjukkan emosi karena akan mencerminkan kesan negatif pada grup inti. Selain itu jika emosi merupakan suatu reaksi bagi salah satu anggota inti dan dialami secara pribadi bersama anggota grup inti, akan tidak pantas untuk mengekspresikan emosi karena itu akan mengganggu harmoni dari grup. Jika emosi adalah suatu reaksi pada satu anggota luar, bagaimanapun juga itu akan dapat diterima untuk diekspresikan karena ini akan mendorong ikatan dalam grup inti. Matsumoto (1991) lebih jauh berpendapat bahwa orang dalam budaya individualistis adalah lebih senang mengekspresikan emosi positif dan tidak mengekspresikan emosi negatif dengan anggota dari kelompok luar dibandingkan dengan anggota budaya kolektif. Kita setuju dengan kesimpulan yang berkenaan dengan emosi positif. Anggota dari budaya kolektif menghindari penekanan keakraban dengan anggota dari kelompok luar dan untuk itu mereka tidak akan menunjukkan emosi positif dalam kehadiran mereka. Kita tidak setuju dengan kesimpulan Matsumoto berkenaan emosi negatif. Hampir semua analisa dari individualistis-kolektif menyarankan bahwa anggota dari budaya kolektif menghindari perilaku negatif dengan grup inti, namun tidak dengan grup luar. Studi oleh Freisen (1972) menggambarkan bagaimana emosi negatif dihindari bersama anggota dalam grup inti. Ia menemukan bahwa siswa di Jepang (kolektif) dan Amerika Serikat (individualis) mengalami perasaan yang sama ketika melihat film stress sendirian. Ketika melihat film bersama salah satu anggota grup inti, bagaimanapun juga siswa di Amerika Serikat menunjukkan perasaan yang lebih negatif dibanding siswa dari Jepang. Triandis, Bontempo, Villareal, Asai dan Lucca (1988) memberikan penjelasan akan perasaan negatif terhadap anggota dari grup luar dalam budaya kolektif. Mereka menunjukkan bahwa dalam budaya kolektif orientasi lakukan apapun yang engkau dapat lolos dengannya diterapkan terhadap anggota dari kelompok luar. Anggota dari kelompok luar dalam budaya kolektif sering diperlakukan sebagai orang yang diabaikan (Nakane1974). Cole (1990) akhir-akhir ini melaporkan data bahwa anggota dari budaya kolektif lebih mendominasi anggota grup luar ketika mencoba menyelesaikan konflik dibanding anggota dari kolompok budaya individualistis. Berdasarkan fakta ini kita percaya bahwa anggota dari budaya kolektif adalah lebih mudah mengekspresikan emosi negatif dengan anggota grup luar dibandingkan mereka anggota dari budaya individualistis.Sebagaimana ditunjukkan di atas, Matsumoto (1991) juga menghubungkan jarak kekuasaan dengan ekspresi emosi. Ia berpendapat bahwa masyarakat dalam budaya jarak kekuasaan yang tinggi akan menunjukkan emosi yang mempertahankan perbedaan status, sementara dalam budaya jarak kekuasaan yang rendah akan menunjukkan emosi yang meminimalkan perbedaan status. Sebagai gambaran, masyarakat dengan budaya kekuasaan tinggi akan mengekspresikan emosi positif pada orang yang memiliki status yang lebih tinggi dan emosi negatif terhadap orang berstatus lebih rendah. Matsumoto menggambarkan hal ini dengan membandingkan Jepang (Status kekuasaan tinggi) dan Amerika Serikat (status kekuasaan rendah) ia berpendapat :Perbedaan status antara pegawai ritel, manajer departemen, manajer toko, dan direktur regional dalam bisnis ritel di Jepang. Manajer departemen tak akan ragu menunjukkan emosi negatif pada pegawai mereka (status rendah). Sebaliknya pegawai tak akan berani menunjukkan emosi negatif mereka pada manajer departemen. Kombinasi dari peraturan yang jelas membedakan perbedaan status antara manajer departemen dan petugas administrasi. (Utara) Manajer departemen di Amerika, bagaimanapun akan lebih mungkin untuk memperlakukan pegawai mereka setara, meminimalkan perbedaan status dengan menunjukkan lebih banyak emosi positif dan mengurangi emosi negatif untuk menghindari friksi. (hal. 133)Kalimat dari teori dan riset yang digaris besar pada bagian ini masih dalam tahap awal. Temuan sampai saat ini, bagaimanapun menunjukkan bahwa individualistis-kolektif dan kekuasaan memberikan penjelasan teoritis berkaitan bagi beberapa kesamaan dan perbedaan dalam penampakan emosi lintas budaya.KONTAKPada bagian sebelumnya, kita menggunakan dimensi variabilitas budaya (individualistis-kolektif) untuk menjelaskan kesamaan dan perbedaan dalam penampakan emosi. Sampai saat ini, dimensi dari variabilitas budaya yang didiskusikan pada bab 3 belum diperluas pada aspek komunikasi nonverbal lainnya. Tak satupun dimensi yang dibedakan pada bab 3 nampak untuk memberikan penjelasan yang memadai variabilitas lintas budaya dalam perilaku nonverbal. Untuk menyusun beberapa riset tentang perilaku nonverbal, kita menggunakan pekerjaan Hall(1966) bekerja pada budaya hubungan dan non hubungan.Hall (1966) menampilkan teori prosemik (teori yang didasari jarak interpersonal), berpendapat bahwa orang membatasi keakraban dengan mengontrol pembukaan sensorik lewat penggunaan jarak interpersonal dan ruang. Ia berpendapat bahwa budaya dapat berbeda dalam hal tingkat hubungan yang disenangi oleh anggota mereka. Budaya dimana orang cenderung untuk mendekat dan menyentuh ditunjukkan sebagai budaya kontak tinggi, sementara budaya di mana orang berdiri terpisah dan cenderung tidak bersentuhan ditunjukkan sebagai budaya kontak rendah.Hetct, Andersen dan Ribeau (1989) menyarankan pembedaan Hall berhubungan dengan dimensi kedekatan makna milik Mehrabian (1971). Kedekatan adalah dimensi evaluatif dari makna dan ia melibatkan penilaian akan dekat-jauh, positif-negatif, dan baik-buruk. Mehrabian berpendapat bahwa orang mendekati orang atau sesuatu yang memiliki tingkat kedekatan yang tinggi dan menghindari orang atau sesuatu yang memiliki tingkat kedekatan yang rendah.Ketika skema milik Hall dan Mehrabian dikombinasikan, kita dapat berbicara mengenai variasi budaya sepanjang suatu variasi dari hubungan tinggi dan hubungan rendah. Orang dari budaya kontak tinggi menilai dekat sebagai positif dan baik, dan menilai jauh sebagai negatif dan buruk. Orang dari budaya kontak rendah menilai dekat sebagai negatif dan buruk, dan jauh sebagai positif dan baik. Konseptualisasi ini mengenai pentingnya hubungan membantu kita mengatur sejumlah riset masa lampau mengenai perilaku nonverbal. Kita akan melihat riset tentang jarak interpersonal, sentuhan, dan keterlibatan indra.Jarak InterpersonalSussman dan Rosenfield (1982) menguji bagaimana jarak interpersonal digunakan oleh bangsa Jepang (kontak rendah), Amerika Utara (kontakn moderat) dan Venezuela (kontak tinggi). Mereka menemukan bahwa ketika mereka berbicara dengan menggunakan bahasa asli mereka orang Jepang duduk berjauhan, Venezuela paling dekat dan Amerika Utara di tengah. Mereka juga menemukan bahwa ketika berbicara dalam bahasa Inggris, orang Jepang dan Venezuela menggunakan jarak interpersonal menyerupai yang digunakan oleh Amerika Utara.Riset lainnya mendukung kesimpulan dari studi Sussman dan Rosenfield. Engebretson dan Fullmer (1970), sebagai contoh, menemukan bahwa bangsa Jepang menggunakan jarak interpersonal yang lebih luas dibanding indo Jepang-Amerika dan Kaukasia-Amerika di Hawaii. Little (1968) menemukan bahwa anggota dari budaya Mediterania ( Yunani, Italia Selatan; hubungan tinggi) menyukai jarak interpersonal yang lebih dekat dibanding Eropa Utara (hubungan moderat).Bagaimana orang dalam budaya berbeda beraksi terjadap pelanggaran dari ruang pribadi mereka nampaknya memiliki hubungan dengan individualistis-kolektif. Guykunst dan Ting-Toomey(1988), contohnya, menyarankan bahwa anggota dari budaya individualistis cenderung untuk mengambil posisi aktif dan agresif ketika ruang mereka dilanggar, sementara anggota dari budaya kolektif cenderung untuk mengambil sikap pasif, sikap penarikan ketika ruang personal mereka dilanggar. (hal. 125)SentuhanRiset yang membandingkan perilaku sentuhan di Amerika Latin (kontak tinggi) dan Amerika Serikat (kontak moderat) mengungkapkan bahwa masyarakat pada budaya Amerika Latin terlibat dalam lebih banyak perilaku sentuhan dibandingkan orang di Amerika Serikat (Engebretson & Fullmer, 1970; Shuter, 1976; Watson,1970). Mengenai sentuhan, Watson(1970) berpendapat bahwa budaya Timur Jauh adalah kontak-rendah, budaya Amerika Utara adalah kontak moderat, dan budaya Mediterania adalah kontak tinggi.Pada umumnya, seharusnya ada lebih banyak perilaku sentuhan pada budaya kontak tinggi dibanding budaya kontak rendah. Dimensi lain dari variabilitas budaya, bagaimanapun juga akan mempengaruhi jenis sentuhan yang muncul. Maskulinitas, contohnya, akan mempengaruhi jumlah sentuhan yang terjadi antara pria dan wanita. Diharapkan bahwa orang dalam budaya maskulin yang tinggi akan lebih menghindari sentuhan dengan lawan jenis dibandingkan dengan orang dengan budaya maskulin rendah (feminim). Riset yang ada nampaknya mendukung spekulasi ini. Sebagai gambaran, Jones dan Remland (1982) membandingkan perilaku menghindari sentuhan di Mediterania, Timur Jauh, dan Amerika Utara. Mereka menemukan bahwa orang pada budaya Timur Jauh (hubungan rendah, maskulinitas tinggi) yang paling menghindari menyentuh anggota dari lawan jenis berbeda, dan anggota dari budaya Mediterania (hubungan tinggi, maskulinitas moderat) menghindari sentuhan dengan lawan jenis lebih kurang dibanding masyarakat dalam budaya Timur Jauh namun lebih tinggi dibandingkan orang di Amerika Serikat (hubungan moderat, maskulinitas rendah).Keterlibatan Indera Secara umum, orang pada budaya kontak tinggi memilih keterlibatan indra yang lebih jauh dengan orang yang berkomunikasi dengannya, dibandingkan dengan orang pada budaya kontak rendah. Sussman dan Rosenfeld (1982) menyimpulkan bahwa keterlibatan indra adalah tinggi di antara Amerika Selatan, Eropa Selatan dan Timur, dan Arab serta rendah di antara Asia, Eropa Utara, dan Amerika Utara (hal 66). Sebagai gambaran, Almaney dan Alwan (1982) membandingkan penggunaan indra informasi pada budaya Arab (kontak tinggi) dangan budaya lainnya. Mereka berpendapat bahwaBagi orang Arab, bisa mencium teman adalan menenangkan. Ciuman adalah suatu cara untuk terlibat dengan orang lain, dan menghindari nafas dari kawan baik laki maupun wanita akan memalukan. Pada beberapa desa di Timur Tengah, ketika seorang perantara dipanggil untuk memeriksa calon pengantin bagi keluarganya, mereka seringkali meminta untuk mencium calon mempelai. Tujuan mereka bukan untuk memastikan apakah ia sudah bersih; nampaknya apa yang mereka cari adalah aroma kemarahan atau ketidakpuasan. Orang Burma (hubungan tinggi) menunjukkan kasih sayang mereka saat menyapa dengan menempelkan mulut dan hidung di bagian pipi dan menarik nafas dengan kuat. Bangsa Samoa (hubungan tinggi) menunjukkan kasih sayang dengan menyandingkan hidung dan mencium dengan tulus. Sebaliknya, Amerika (Utara) (hubungan moderat) kelihatannya menjaga jarak mereka dan menahan indra penciuman mereka.Perbedaan pada penggunaan penciuman dapat menimbulkan kesalahpahaman ketika orang dari budaya berbeda berkomunikasi. Seperti yang ditunjukkan Hall (1983) ketika orang Arab berinteraksi dengan Amerika Utara, mereka kadang merasa kehilangan indra dan menjadi asing karena kurangnya hubungan sosial yang dekat. Orang Amerika Utara, sebaliknya mereka cemas karena terlalu banyak hubungan sosial.SINKRONISASI INTERPERSONALBegitu orang mulai berinteraksi mereka secara tidak sadar bergerak bersama dalam sinkronisasi (seluruhnya atau terpisah) dan gagal melakukannya menggangu pihak lain di sekitar mereka. Hall (1983) mengidentifikasi gerakan interaksi sebagai sinkronisasi interpersonal berdasarkan berdasarkan ulasan riset kinesic dan proxemic, Hall menyimpulkan bahwa 1) Jarak pembicaraan dijaga oleh dengan tingkat ketepatan yang tinggi (untuk mentolerir friksi/gesekan sekecil apapun.; 2) Proses berlansung secara ritmis/berirama; dan 3) manusia yang terlibat terkunci bersama dalam tarian yang berfungsi hampir di luar kesadaran mereka.Hall menunjukkan bahwa anggota dari budaya dengan konteks tinggi (high-context) adalah jauh lebih sadar akan gerakan ritmis mereka dibandingkan dengan anggota dari budaya konteks rendah (low-context). Gudykunst dan Ting Toomey (1988) berpendapat bahwa anggota dari Individualistis, budaya konteks rendah menekankan sinkronisasi verbal ketika mereka berkomunikasi, sementara anggota dari kolektif, budaya konteks tinggi menekankan sinkronisasi nonverbal ketika mereka berkomunikasi.Knapp (1983) mendiskusikan bagaimana sinkronisasi dikembangkan/dibangun. Dia menunjukkan bahwa sinkronisasi interpersonal terjadi ketika perilaku nonverbal dari dua orang menjadi khusus pada hubungan, efesien, fleksibel, halus, spontan, dan ketika evaluasi ditangguhkan. Sebaliknya ketidaksinkronan terjadi ketika perilaku nonverbal dua orang menjadi beragam, sulit, kaku, canggung, ragu dan ketika penilaian terbuka terjadi. Ia juga menunjukkan bahwa sinkronisasi menyebabkan kesesuaian, perhatian, dan kesukaan, dan kurangnya sinkronisasi menyebabkan ketidakpedulian, penolakan, dan ketidaksukaan.Penyesuaian interpersonal adalah suatu dasar dari suatu aksi berantai, atau urutan kejadian di mana biasanya dua atau lebih individu berpartisipasi. Hall (1976. Hal.41) setiap tindakan memiliki suatu awalan, suatu puncak dan suatu akhir, dan terdiri atas sejumlah keadaan diantaranya. Jika salah satu dasar ditinggalkan atau terlalu jauh menyimpang, tindakan harus dimulai dari awal lagi. Satu rangkaian aksi menyerupai suatu tarian yang digunakan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Sapaan, perpisahan, hubungan, keikutsertaan dalam diskusi yang serius, turut terlibat, dan membeli sesuatu di toko semua adalah contoh dari tindakan berantai dari berbagai kompleksitas. Menurut Hall, derajat di mana seseorang berkomitmen pada penyelesaian suatu rantai tindakan bervariasi pada berbagai budaya. Orang pada budaya konteks tinggi cenderung untuk sangat berkomitmen pada penyelesaian rangkaian tindakan karena tingginya derajat dari keterlibatan antar manusia; keterkaitan yang sangat tinggi, sifat kohesif hubungan interpersonal antara masyarakat; dan sensitivitas keseluruhan untuk isyarat kontekstual nonverball lainnya dalam budaya mereka. Kepatuhan yang kuat pada sinkronisasi interpersonal dan penyelesaian dari rangkaian tindakan oleh orang pada budaya konteks tinggi berakibat pada kehati-hatian dan seringkali keengganan untuk memulai sesuatu khususnya pada situasi atau hubungan yang tidak dikenal dengan baik. Bangsa berkulit putih di Amerika Utara dan masyarakat lain dalam budaya konteks rendah biasanya tidak merasa terikat untuk menyelesaikan rangkaian tindakan mereka terlepas dari keadaan sekitarnya. Secara relatif dikatakan, sejumlah besar dari bangsa berkulit putih di Amerika Utara menghentikan suatu tindakan dengan mudahnya jika mereka tidak menyenangi sesuatu yang sedang terjadi atau jika sesuatu atau seseorang yang lebih baik mendatanginya. Hal ini dapat mengakibatkan rasa frustrasi yang mendalam pada orang asing yang berasal dari budaya konteks tinggi yang menekankan penyelesaian rangkaian tindakan dalam hubungan interpersonal. Sebaliknya, orang Amerika Utara mungkin merasakan bahwa ketaatan pada rangkaian tindakan oleh orang dalam budaya konteks tinggi sangat mengikat dan memberatkan. ISYARAT NONVERBAL DALAM BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG ASINGKetika kita berkomunikasi dengan orang asing, mereka kerap kali menggunakan perilaku nonverbal yang berbeda dengan kita. Jika orang asing menggunakan perilaku nonverbal mereka sendiri dan kita menggunakan milik kita, kita pasti akan melanggar harapan satu sama lain sehubungan dengan perilaku nonverbal yang pantas. Untuk memahami bagaimana hal ini mempengaruhi ketidakpastian dan kecemasan kita, kita perlu melihat teori pelanggaran harapan nonverbal milik Burgoon (1989). Pertama kita menyajikan teorinya dan memeriksa validitas lintas budayanya, kemudian kita mengaplikasikannya pada komunikasi kita dengan orang asing.Teori Pelanggaran Harapan NonverbalBurgoon dan rekannya (Burgoon & Halr,1989) telah mengembangkan suatu teori tentang pelanggaran harapan nonverbal. Dalam bentuknya sekarang, teori ini berdasarkan lima asumsi dan mengandung lima proposisi. Sebelum menampilkan asumsi dan proposisi ini, sangat penting untuk mengetahui Burgoon tidak membantah bahwa proses yang ia jelaskan terjadi pada kesadaran tingkat tinggi. Pada keadaan yang berbeda kita tidak selalu sadar akan interpretasi dan evaluasi dari pelanggaran akan harapan nonverbal kita. Dengan peringatan ini, kita akan merangkum teori dan mendiskusikan potensi untuk varibialitas budaya sehubungan dengan asumsi-asumsi dan proposisi-proposisi.Asumsi pertama adalah manusia memiliki pendekatan bersaing dan kebutuhan untuk menghindar (Burgoon, 1989 hal.3). Burgoon menyarankan, dan kita setuju bahwa asumsi ini harus valid secara lintas budaya. Asumsi ini sesuai dengan diskusi kita mengenai privasi pada bab 6 (dan diskusi kita tentang kecenderungan pendekatan-pengelakan pada bab 10). Karena premis dasarnya harus dipertahankan lintas budaya, adalah penting untuk mengingat bahwa akan ada variasi budaya tentang bagaimana orang dalam budaya berbeda mendekati atau menghindari. Sebagaimana yang diindikasikan pada bab 6, orang pada budaya individualistis cenderung akan menggunakan objek fisik untuk menghindari interaksi, sementara orang pada budaya kolektif akan menggunakan mekanisme psikologis untuk mengontrol ruang pribadi mereka.Asumsi kedua adalah komunikator menilai potensi penghargaan dari orang lain (Burgoon, 1989 hal 3). Asumsi ini sesuai dengan pandangan kita yang gambarkan pada bab 1 dan 2. Asumsi ini harus bertahan lintas budaya namun akan bervariasi dalam kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan apa penghargaan itu. Dalam budaya individualitis kriteria untuk menilai penghargaan akan berdasarkan pada kebutuhan individu. Dalam budaya kolektif fokusnya pada penghargaan bagi kelompok.Komunikator membangun harapan tentang perilaku nonverbal dari orang lain (Burgon 1989 hal 4) adalah asumsi ketiga. Tak ada alasan untuk mempertanyakan validitas asumsi dalam lintas budaya. Namun bagaimanapun juga, penting untuk mengetahui bahwa harapan tertentu yang dibangun memiliki keragaman lintas budaya, sebagaimana Burgoon tunjukkan. Sebagai contoh Burgoon menunjukkan, bahwa budaya yang menghargai kontak fisik akan mengharapkan mendapatkan kontak fisik pada saat bersapa, sementara budaya yang tidak menghargai kontak fisik akan mengharapkan kontak fisik yang minim saat bersapa.Asumsi keempat adalah perilaku nonverbal memiliki penilaian hubungan yang bertingkat dari yang terlalu positif sampai yang terlalu negatif (Burgoon, 1989 hal. 4). Sama seperti asumsi sebelumnya, asumsi ini seharusnya berlaku universal. Burgoon menyarankan bahwa evaluasi dapat bersifat naluriah (merasa takut jika terancam), diajarkan secara kultural, atau bersifat khas bagi individu. Dia lanjut menunjukkan bahwa ada bukti yang cukup kuat tentang bagaimana perilaku nonverbal dievaluasi (mis. Penilaian baik-buruk) secara berbeda lintas budaya. Meskipun ada riset kecil mengenai hal ini, sangat jelas bahwa ada variasi budaya tentang perilaku nonverbal tertentu yang dinilai. Sebagai pengingat, contohnya, hubungan antara kontak dan kedekatan yang didiskusikan lebih awal pada bab ini. Orang pada budaya kontak-tinggi menilai dekat dan mengevaluasi hal tersebut positif dan pada saat yang sama , mereka menilai jauh sebagai hal negatif.Asumsi terakhir adalah perilaku nonverbal memiliki pengakuan yang dikenal secara sosial Burgoon,1989 hal 5). Tidak ada alasan mempertanyakan validitas lintas budaya dari asumsi ini. Burgoon menyarankan bahwa dalam membandingkan budaya individualistis, akan ada ruang yang lebih luas untuk keberagaman dari makna dan ambiguitas dalam budaya kolektif (hal 5). Mungkin saja hal ini benar, konteks yang ada untuk makna yang relatif disepakati akan pesan ambigu dalam budaya kolektif.Lima proposisi yang diturunkan dari asumsi yang diuraikan di atas. Proposisi pertama dalam teori pelanggaran harapan nonverbal adalah pelanggaran harapan muncul dan mengganggu, mengalihkan perhatian dari komunikator dan / atau karakter hubungan dan perilaku (hal 5). Burgoon berpendapat bahwa karakteristik komunikator (mis kelompok keanggotaan) dan makna tersirat dari perilaku nonverbal adalah lebih penting ketika harapan kita dilanggar dibandingkan ketika tidak dilanggar. Sebagai pengingat, meskipun, kita tidak sepenuhnya sadar bahwa kita telah menjadi terpancing dan perhatian kita telah teralihkan. Proses yang disarankan dalam proposisi harus valid lintas budaya, namun lintas budaya berbeda dalam muatan tertentu yang diharapkan. Burgoon menunjukkan contoh, bahwa komunikasi nonverbal adalah penting dalam memutuskan makna budaya kolektif, konteks-tinggi. Sebagai gambaran, Doi (1973) menyatakan bahwa bagi bangsa Jepang komunikasi verbal adalah sesuatu yang mengiringi komunikasi nonverbal dan bukan sebaliknya (hal181). Pelanggaran harapan nonverbal oleh karenanya seharusnya memiliki makna yang lebih besar pada budaya kolektif-konteks tinggi dibanding budaya individualistis konteks rendah.Valensi penghargaan komunikator (mengontrol) pemaknaan ambigu atau beragam makna dari perilaku nonverbal (Burgoon, 1989 hal 6) merupakan proposisi kedua dalam teori. Valensi penghargaan berkenaan dengan lebih besar mana ganjaran atau biaya yang dihubungkan dengan lawan komunikasi kita. Jika ganjaran lebih besar berarti ada valensi positif dan jika biaya lebih besar berarti ada valensi negatif. Burgoon membedakan antara perilaku nonverbal yang secara makna sosial yang relatif disepakati dalam sebuah budaya. (menghindari tatapan; catatan; contoh ini desepakati hanya dalam sub budaya terpilih di Amerika Serikat) dan perilaku-perilaku nonverbal yang secara terbuka dimaknai dalam suatu budaya (contoh ruang personal). Ketika komunikator yang dapat memberi ganjaran melanggar pengharapan kita terkait perilaku nonverbal yang terbuka atas beragam penafsiran, pelanggaran mereka akan dimaknai positif, sebaliknya pelanggaran negatif akan muncul pada pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang tidak mampu memberi ganjaran.Proposisi ketiga adalah ganjaran valensi komunikator (mengontrol) penilaian dari perilaku nonverbal . (Burgoon 1988 hal 7). Burgoon menunjukkan bahwa perilaku nonverbal yang memiliki makna yang secara relatif sama akan dihargai secara berbeda. Cara mereka dinilai bagaimanapun juga dipengaruhi oleh sejauh mana sang pelanggar dapat memberi ganjaran. Burgoon berpendapat proses kognitif dari evaluasi seharusnya digunakan oleh orang pada semua budaya, namun kadar penilaan dari perilaku nonverbal tertentu akan bervariasi lintas budaya (mis perbedaan evaluasi dari dekat dan jauh dalam budaya konteks tinggi dan rendah)Proposisi keempat dari Burgoon dinyatakan sebagai berikut :Evaluasi pokok dari suatu pelanggaran adalah suatu fungsi ukuran dan arah dari kesenjangan antara evaluasi dari perilaku yang diharapkan dan evaluasi dari perilaku sebenarnya seperti (a) perilaku yang ditetapkan yang lebih bervalensi positif dibanding perilaku yang diharapkan akan menciptakan pelanggaran positif dan (b) perilaku yang ditetapkan yang lebih bervalensi negatif dari perilaku yang diharapkan akan menciptakan pelanggaran negatif. (hal 7).Proposisi ini menyarankan agar kita membandingkan perilaku nonverbal yang individu gunakan dengan pengharapan kita. Jika perilaku nonverbal yang sesungguhnya ditunjukkan lebih positif dibanding perilaku yang diharapkan, hal ini kan mengarah pada pelanggaran positif. Ketika perilaku sesungguhnya ditunjukkan lebih negatif dibanding perilaku yang diharapkan, maka terjadi pelanggaran negatif. Proposisi terakhir dalam teori Burgoon adalah pelanggaran positif menciptakan hasil komunikasi yang menguntungkan, sementara pelanggaran negatif menciptakan hasil negatif. (hal 7). Burgoon berpendapat bahwa pelanggaran positif dari pengharapan dapat berujung pada peningkatan dalam kredibilitas, daya tarik, persuasi, dan pemahaman. (hal 7).Sebagai kesimpulan asumsi dan proposisi dalam teori Burgoon, nampaknya valid secara lintas budaya. Pada saat yang sama, bagaimanapun juga, ada beberapa budaya perilaku nonverbal yang berhubungan dengan pengharapan, pemaknaan, dan evaluasi dari perilaku nonverbal tertentu. Jarak yang kita harapkan orang lain tempati ketika kita berbicara sebagai contoh, beragam antara budaya kontak dan non kontak. Orang pada budaya kontak mengharapkan orang lain berdiri dengan jarak satu inci saja, sementara orang dengan budaya non kontak mengharapkan orang lain berdiri setidaknya sejauh jangkauan lengan. Karena kita tidak sepenuhnya sadar bahwa proses pelanggaran harapan itu diuraikan dalam asumsi dan proposisi yang terjadi, perbedaan kultural pada pengharapan, pemaknaan dan evaluasi menciptakan kesalahpahaman ketika orang dari budaya berbeda berkomunikasi. Pada bagian selanjutnya, kita akan fokus pada apa yang terjadi pada saat pengharapan kita berkaitan dengan perilaku nonverbal dilanggar ketika berkomunikasi dengan orang asing/asing. Pelanggaran Nonverbal dalam Komunikasi dengan Orang asing/AsingTeori pelanggaran harapan nonverbal memiliki implikasi yang jelas akan komunikasi kita dengan orang asing. Kita cenderung untuk menghindari orang asing dibandingkan menghindari orang yang akrab dengan kita (asumsi 1) karena ketidakpastian dan kecemasan muncul ketika kita berkomunikasi dengan orang asing (kita mendiskusikan pendekatan-penghindaran secara lengkap pada bab10). Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku pendekatan-penghindaran kita dengan orang asing, sebagai contoh, adalah perbedaan budaya atau etnik dalam cara orang mengindikasikan bahwa mereka tidak ingin didekati. Kita dapat mengirim sinyal yang memberi petunjuk kita tidak ingin didekati, namun orang asing / baru tidak menyadari sinyal-sinyal / tanda-tanda ini.Kecuali kita tertarik pada orang yang tidak sama dengan kita untuk beberapa alasan. Orang asing secara umum memiliki nilai keuntungan yang lebih rendah dibanding dengan orang akrab dengan kita (asumsi 2). Biaya interaksi dengan orang asing secara umum ditunjukkan bahwa lebih besar dibandingkan semua keuntungan hubungan berinteraksi dengan mereka (Knapp, dikutip dalam Crockett & Freidman,1980). Hal ini menguatkan keinginan kita untuk menghindari orang asing dibanding mencoba melakukan interaksi dengan mereka.Harapan kita akan perilaku nonverbal yang sesuai juga mungkin akan berbeda dengan harapan orang asing tersebut (asumsi 3). Kita dapat mengetahui ketika orang asing melanggar pengharapan kita, namun mungkin mereka tidak menyadari bahwa mereka telah melanggar pengharapan kita kecuali kita memberitahu mereka. Pada keadaan yang sama, orang asing mungkin mengetahui ketika kita melanggar harapan mereka, namun kita tidak kecuali kita menerima beberapa tanda dari mereka. Hal ini penting untuk mengetahui bahwa kita tidak selalu mengenali secara sadar bahwa harapan kita telah dilanggar. Jika pelanggarannya bukan hal yang utama, mungkin kita memaknai negatif perilaku orang asing tanpa berpikir secara sadar tentang hal tersebut dan kita mungkin tidak sepenuhnya sadar harapan kita telah dilanggar. Ketika hal ini terjadi, kesalahpahaman ini adalah hal wajar. Sangat mungkin bahwa kita sepenuhnya mengetahui pelanggaran besar terhadap harapan kita. Ketika kita sepenuhnya tahu pelanggaran ini kita kemudian mencoba memahami mereka. Jika kita waspada akan komunikasi kita, kemungkinan komunikasi efektif akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran besar terhadap harapan nonverbal kita mungkin tidak sesukar pelanggaran kecil harapan nonverbal kita ketika berkomunikasi dengan orang asing. Ada varibialitas budaya dalam bagaimana jelasnya harapan yang ada. Karena aturan yang kurang jelas pada budaya individualistis dibanding budaya kolektif (seperti yang ditunjukkan pada bab 3), orang asing dari budaya kolektif mungkin memperoleh kesulitan untuk mengetahui apa saja harapan yang ada pada budaya individualistis. Lebih jauh, orang asing dari budaya kolektif akan menekankan konteks lebih dari yang dapat diterima ketika memaknai perilaku orang-orang dalam budaya individualistis..Burgoon(1989) berpendapat bahwa kita terpancing dan kita menyesuaikan pada karakteristik dari orang yang berkomunikasi dengan kita ketika harapan kita dilanggar (proposisi 1). Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpastian dan kecemasan kita meningkat ketika harapan kita dilanggar. Kita mungkin sebaliknya sangat sadar hal ini terjadi. Sebagaimana ditunjukkan dalam bab 5, ketidakpastian dan kecemasan yang tinggi (khususnya jika mereka di bawah batas maksimum kita) menyebabkan komunikasi yang tidak efektif. Menyesuaikan pada karakteristik dari orang yang berkomunikasi dengan kita juga menyebabkan masalah ketika kita berkomunikasi dengan orang asing. Karakteristik yang paling utama yang kita fokuskan adalah kelompok keanggotaan orang asing (mis budaya atau etnis mereka). Memokuskan pada kelompok keanggotaan orang asing, pada gilirannya meningkatkan kemungkinan kita untuk melakukan anggapan akhir yang salah.Valensi penghargaan orang lain mempengaruhi bagaimana kita memaknai pelanggaran dia terhadap harapan kita. Karena orang asing umumnya memiliki valensi penghargaan yang negatif, kita akan cenderung memaknai negatif pelanggaran harapan nonverbal mereka. Sebagai gambaran, misalkan kasus seseorang dari Amerika Serikat (budaya kontak moderat) berkomunikasi dengan orang asing yang berasal dari budaya kontak tinggi. Orang asing dari budaya kontak tinggi mungkin akan berdiri lebih dekat dibandingkan harapan orang dari Amerika Serikat. Karena orang asing memiliki valensi penghargaan yang negatif, hal ini akan dimaknai negatif dan orang asing akan digambarkan sebagai orang yang pemaksa. Jika orang dari Amerika Serikat berinteraksi dengan pimpinannya, reaksinya akan berbeda. Pimpinan akan memiliki valensi penghargaan yang positif dan berdiri lebih dekat dari yang diharapkan umumnya dimaknai yakni pimpinan menunjukkan bahwa dia menyukai bawahannya.Jika perilaku nonverbal yang berhubungan dengan orang lain memiliki valensi yang lebih positif dibandingkan perilaku yang diharapkan, maka terjadi pelanggaran positif terhadap harapan; Jika perilaku nonverbal yang berhubungan dengan orang lain memiliki valensi yang lebih negatif dibandingkan perilaku yang diharapkan, maka terjadi pelanggaran negatif terhadap harapan (proposisi 4). Harapan kita berkaitan dengan perilaku nonverbal orang asing dipengaruhi oleh stereotipe kita. Jika kita melihat kelompok orang asing sebagai pemaksa, contohnya, dan orang asing yang kita berinteraksi dengannya menunjukkan perilaku yang kita maknai sebagai sopan, maka kita akan melihat ini sebagai pelanggaran positif terhadap harapan kita. Sayangnya pelanggaran positif semacam ini biasanya mengarahkan kita untuk melihat orang asing tertentu yang melakukan interaksi dengan kita sebagai suatu bentuk pengecualian dari aturan, dibanding kita mengubah stereotipe kita terhadap kelompok. Jika stereotipe kita pada kelompok orang asing adalah mereka sopan dan orang asing pemaksa, sebaliknya, terjadi pelanggaran negatif atas harapan kita. Pelanggaran negatif seperti ini meningkatkan kemungkinan kita akan membuat anggapan akhir yang salah. (mis. mereka semua seperti itu). Pelanggaran positif atas harapan kita menciptakan hasil komunikasi yang positif, sementara pelanggaran negatif menciptakan hasil yang negatif (proposisi 5). Saat kita tidak memiliki data untuk mendukung spekulasi kita, kita percaya bahwa pelanggaran negatif terhadap harapan cenderung terjadi lebih banyak dibandingkan pelanggaran positif ketika kita berkomunikasi dengan orang asing. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi kita dengan orang asing cenderung memiliki lebih banyak hasil komunikasi yang negatif dibandingkan komunikasi kita dengan orang yang kita kenal. Akibat dari evaluasi negatif antara lain, ketidakmampuan untuk menyinkronkan perilaku kita dengan orang asing dan komunikasi yang tidak efektif.Seperti yang ditunjukkan dalam bagian ini pada pengenalan emosi, kesamaan budaya orang asing dan kita, serta pengenalan yang kita miliki akan budayanya, dan pengenalan dia akan budaya kita akan meminimkan hasil yang negatif. Semakin mirip budaya kita semakin kenal kita akan budaya masing-masing, semakin besar kesempatan kita akan bisa memaknai isyarat nonverbal masing-masing.Sebelum menyimpulkan, kita ingin mendiskusikan sejenak apa yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kemungkinan hasil positif ketika harapan nonverbal kita dilanggar. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, kita kurang waspada akan perilaku nonverbal kita dibanding perilaku verbal kita. Kita jarang berhenti dan memikirkan tentang apa yang terjadi ketika harapan perilaku nanverbal kita dilanggar. Dibandingkan kita memaknai pelanggaran dari kerangka acuan kita. Untuk meningkatkan kemungkinan dari hasil positif (misal komunikasi positif) kita harus menjadi sadar akan komunikasi kita. Dengan kata lain kita harus berhenti dan memikirkan tentang apa perilaku orang asing yang melanggar harapan kita memang ia sengaja (kita perlu mengurangi penjelasan tentang ketidakpastian). Namun kita tidak dapat melakukan ini jika tingkat kecemasan kita tinggi. Ketika kita menjadi sadar kita harus secara kognitif mengelola reaksi emosi kita pada perilaku (mis kecemasan). Mengelola reaksi emosi kita secara kognitif dan memahami apa makna dari perilaku bagi orang asing adalah penting untuk mewujudkan komunikasi yang efektif. Kita akan mendiskusikan komunikasi efektif lebih detail pada bab. 12.RANGKUMANPengenalan akan enam emosi utama (kemarahan, kemuakan, ketakutan, kebahagiaan,kesedihan, dan keheranan/keterkejutan) pada ekspresi muka tampaknya bersifat universal. Sebagai tambahan akan kesefahaman pada ekspresi wajah, ada kesepahaman pada intentitas relatif akan emosi lintas budaya. Namun ada pula perbedaan lintas budaya pada aturan baku tentang ekspresi emosi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa individualistis-kolektif dan jarak kekuasaan dapat digunakan untuk menjelaskan beragam perbedaan ini.Sebagai tambahan pada ekspresi emosi, budaya berbeda pada penekanan yang mereka tempatkan akan kebutuhan kontak diantara anggota. Budaya kontak tinggi menekankan jarak interpersonal yang dekat, perilaku sentuhan yang banyak, dan keterlibatan indera dalam komunikasi. Budaya kontak rendah, sebaliknya menekankan jarak interpersonal yang jauh, menghindari menyentuh orang lain dan minim keterlibatan indera antara komunikator.Salah satu fungsi utama yang perilaku nonverbal miliki adalah menyinkronkan komunikasi. Karena orang belajar perilaku nonverbal yang berbeda lintas budaya, seringkali sulit bagi kita untuk menyinkronkan perilaku kita ketika kita berkomunikasi dengan orang asing. Sinkronisasi yang kurang mengganggu komunikasi.Ketika orang asing melanggar harapan nonverbal kita, kita cenderung untuk memaknai pelanggaran itu secara negatif. Pemaknaan negatif ini mengurangi efektifitas komunikasi kita dengan orang asing. Agar bisa berkomunikasi secara efektif dengan orang asing, kita harus belajar secara akurat memaknai perilaku nonverbal mereka dan pelanggaran mereka terhadap harapan kita. Hal ini mengharuskan kita untuk secara sadar mengelola kecemasan dan mencoba untuk mengurangi penjelasan ketidakpastian kita berkaitan dengan perilaku orang asing.