bab 5. hasil penelitian 5.1. profil daerah penelitian 5.1
TRANSCRIPT
29
Bab 5. HASIL PENELITIAN
5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN
5.1.1. Posisi Geografis dan Administratif Desa Tlogolele
Desa Tlogolele merupakan desa yang berada di ujung Barat Kecamatan
Selo, Kabupaten Boyolali. Kecamatan Selo merupakan salah satu dari 18
Kecamatan / Kota di Kabupaten Boyolali, terletak antara 10º 22’ - 11º 50’ Bujur
Timur dan 7º36’ - 7º 71’ Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 1.300 – 1.500
meter di atas permukaan laut.
Gambar 5.1.1. Kabupaten Boyolali dan Kecamatan Selo
Secara bentang lahan, Kecamatan Selo berada di daerah pelana diantara
Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Luas daerah Kecamatan Selo seluruhnya
5.697.724 Ha dibagi menjadi 10 Desa yaitu Desa , Desa Senden, Desa
Tarubatang, Desa Selo, Desa Samiran, Desa Suroteleng , Desa Lencoh, Desa
Jrakah, Desa Klakah dan Desa Trogolele. (http://polsekselo.com/polsek-selo-26-
peta-wilayah-demografi.html).
30
Gambar 5.1.2. Kecamatan Selo, pelana G. Merbabu dan G. Merapi
Desa Tlogolele terletak di wilayah administrasi Kecamatan Selo,
Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada
koordinat 7°30'41"S 110°23'11"E dengan ketinggian 1200 meter di atas
permukaan laut, dengan batas-batas desa sebagai berikut:
- Utara : Desa Klakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali
- Selatan : Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang
- Barat : Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang
- Timur : Gunung Merapi
Sungai Kali Apu mengalir di sebelah Utara desa dan sungai Trising di sebelah
Selatan desa. Kedua sungai tersebut berhulu dari G. Merapi dan menjadi sarana
meluncurnya lahar hujan pasca erupsi.
Gambar 5.1.3. Desa Tlogolele di Kecamatan Selo
Luas wilayah desa Tlogolele adalah 585,40 hektar (5,854 km2) dengan
jumlah penduduk 2602 orang, kepadatan 444 jiwa/km2. Secara demografi terdiri
dari 711 KK, berarti rata-rata setiap KK terdiri dari 3.7 orang. (diolah dari
31
Kecamatan Selo dalam angka, 2011). Sebagian besar penduduk bermata
pencaharian sebagai petani sayuran. Jenis sayuran yang dibudidayakan dan
menjadi andalan petani meliputi bawang daun, wortel, kubis, sawi, cabe, tomat,
buncis, mentimun. Jenis tanaman perkebunan utama yang diusahakan adalah
tembakau.
Secara administrasi terbagi menjadi empat dusun, delapan dukuh, lima
RW dan 19 RT. Ke delapan dukuh tersebut adalah: Tlogolele, Tlogomulyo,
Ngadirojo, Karang, Gumuk, Belang, Takeran dan Stabelan.
Gambar 5.1.4. Desa Tlogolele
Curah hujan di Desa Tlogolele cukup tinggi lebih dari 3000 mm per tahun
dengan tipe iklim B. Kelerengan bervariasi dari agak datar hingga berlereng
curam. Jenis tanah adalah Regosol kelabu (berpasir) dan Litosol (berbatu) dengan
bahan induk berupa aliran lahar hujan dari G. Merapi. Kombinasi jenis tanah,
kelerengan dan curah hujan menjadikan wilayah desa Tlogolele rentan terhadap
bahaya erosi maupun longsor, selain aliran lahar hujan pasca erupsi.
32
5.1.2. Zona Agroekologi Tlogolele
Tabel 5.1.1. Zona Agro Ekologi (ZAE) Desa Tlogolele
DESA Fisiografi Iklim Tanah Simbol
ZAE
Kelerengan (%) dan Fisiografi Lahan Ketinggian
Tempat (m
dpl) dan
Rejim Suhu
Curah Hujan
Tahunan (mm)
dan Rejim
Kelembaban
Udara
Kondisi
Drainase
pH Tekstur Sistem
Pertanian Ideal
Sesuai Zona
Tlogolele
- 0-8%
- datar hingga agak datar
- 500-1000
- Sejuk
3240
Basah
baik 5,7 sandy
loam
IBZ1
Intensifikasi - 0-8%
- datar hingga agak datar
- >1000
- Dingin
3240
Basah
baik 5,7 sandy
loam
ICZ1
- 8-15%
- berombak dan lereng agak curam
- 500-1000
- Sejuk
3240
Basah
baik 5,7 sandy
loam
IIBZ1 Wanatani
(Agroforestry),
Budidaya
campuran - 8-15%
- berombak dan lereng agak curam
- >1000
- Dingin
3240
Basah
baik 5,7 sandy
loam
IICZ1
- 15-40%
- berbukit dan lereng curam
- 500-1000
- Sejuk
3240
Basah
baik 5,7 sandy
loam
IIIBZ1 Budidaya
Tanaman
Tahunan,
Perkebunan - 15-40%
- berbukit dan lereng curam
- >1000
- Dingin
3240
Basah
baik 5,7 sandy
loam
IIICZ1
- >40%
- bergunung dan lereng sangat curam
- 500-1000
- Sejuk
3240
Basah
baik 5,7 sandy
loam
IVBZ1 Kehutanan,
Hutan
Produktif,
Hutan Lindung - >40%
- bergunung dan lereng sangat curam
- >1000
- Dingin
3240
Basah
baik 5,700 sandy
loam
IVCZ1
Sumber : Simanjuntak dkk….
33
5.2. Gambaran Suhu, Curah Hujan serta Tanah Wilayah Penelitian
5.2.1. Suhu Udara Maksimum dan Minimum
Hasil olahan atas data suhu daerah penelitian rentang tahun 2004-2012
menunjukkan hal yang menarik yaitu trend peningkatan suhu maksimum dan
trend penurunan suhu minimum. Hal ini menunjukkan peningkatan amplitude
suhu seiring dengan waktu.
Sumber: diolah dari data BMG (2013)
Gambar 5.2.1. Perubahan suhu maksimum dan minimum daerah penelitian
5.2.2. Curah Hujan
Curah hujan tahunan selama rentang tahun 2006 hingga 2012
menunjukkan variasi yang cukup menyolok. Curah hujan tahunan pada tahun
2008 dan 2012 cukup rendah sedangakan pada tahun 2006 dan 2010-2011 sangat
tinggi.
Sumber: diolah dari data BMG (2013)
Gambar 5.2.2. Variasi curah hujan tahunan daerah penelitian
05
10152025303540
Jan
Sep
Me
i
Jan
Sep
Me
i
Jan
Sep
Me
i
Jan
Sep
Me
i
Jan
Sep
200420052006200720082009201020112012
Suh
u (
oC
)
Maks
Min
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
cura
h h
uja
n t
ahu
nan
(m
m)
34
Apabila dilihat dari sebaran hujan bulanan terlihat pola yang menarik,
bahwa konsentrasi hujan pada rentang Nopember-Mei dan curah hujan bulanan
yang rendah bulan Juni-September.
Sumber: diolah dari data BMG (2013)
Gambar 5.2.3. Distribusi curah hujan bulanan daerah penelitian
Berdasarkan klasifikasi bulan basah, lembab dan kering menurut Mohr,
variasi curah hujan tahunan tidak menggeser pola sebaran musim secara
signifikan.
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des
2006 BB BB BB BB BB BK BK BK BK BK BB BB
2007 BB BB BB BB BL BK BL BK BK BK BB BB
2008 BB BB BB BB BK BK BK BK BK BB BB BB
2009 BB BB BB BL BB BK BK BK BK BB BB BB
2010 BB BB BB BB BB BL BK BB BB BB BL BB
2011 BB BB BB BB BB BK BL BK BK BB BB BB
2012 BB BB BB BB BB BK BK BK BK BL BB BB
BB: Bulan basah >100 mm/bulan
BL: Bulan lembab 60-100 mm/bulan BK: Bulan kering <60 mm/bulan
Gambar 5.2.4. Distribusi bulan basah, lembab dan kering di daerah penelitian
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
1100
1200
0 2 4 6 8 10 12
Cu
rah
hu
jan
(m
m)
Bulan
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
35
5.2.3. Hasil Analisis Tanah Desa Tlogolele
Berdasarkan hasil analisis tanah Tlogolele bertekstur Pasir berlempung
dengan kandungan bahan organik yang rendah. Hasil selengkapnya sebagai
berikut
Tabel 5,2,1. Hasil Analisis Tanah Tlogolele
Dusun N
Total
(%)
P
tersedia
(ppm P)
K
tersedia
(ppm K)
Bahan
organik
(%)
pH
H2O
Tekstur Tanah
%pasir %
debu
%liat Tekstur
Stabelan 0.092 5.37 14.35 1.90 5. 9 71.79 27.01 1.20 Pasir berlempung
Ngadirojo 0.099 9.37 7.09 1.18 5.9 84.66 11.24 4.10 Pasir berlempung
Karang 0.085 4.19 7.12 0.51 6.4 80.53 18.54 0.93 Pasir berlempung
Tlogolele 0.086 4.64 7.21 1.98 6.0 71.44 22.62 5.93 Pasir berlempung
5.2.4. Hasil Analisis Air Desa Tlogolele
Berdasarkan hasil analisis air Tlogolele, kualitas air memenuhi persyaratan air
minum maupun air irigasi. Hasil selengkapnya sebagai berikut:
Tabel 5,2.2. Hasil Analisis Air Minum dan air Kali Apu Tlogolele
Air Kali Apu Air Minum
Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai
pH 6.5 Chrom
(mg/L)
0.01 TSS (mg/L) 0.55
NO3 (mg/L) 2.5 Mn (mg/L) 0.02 TDS 130
TSS (mg/L) 91.30 Besi (mg/L) 0.18 Color 2
TDS (mg/L) 110 SO4 (mg/L) 7.2 Turbiditas (PtCo) 3
DHL (s/cm) 240 Cl (mg/L) 21.5 DHL 30
SO4 (mg/L) 0.006 NO2 (mg/L) 0.002 Coloform
(MPN/100ml)
0
P (mg/L) 0.87 NH3 (mg/L) 0.01
Fe (mg/L) 0.24 NO3 (mg/L) 2.7
Mn (mg/L) 0.1 S2-
(mg/L) 0.00
NH4 (mg/L) 0.38 Cu (mg/L) 0.01
Kesadahan
total(mg/L)
96 COD (mg/L) 4
Alkalinitas (mg/L) 47 Memenuhi persyaratan air minum
36
5.3 Gambaran Umum Responden
Gambaran umum responden di Desa Tlogolele diperoleh berdasarkan survei yang
dilakukan terhadap 50 orang petani yang tersebar di 7 (tujuh) dusun seperti
ditampilkan pada gambar berikut:
Gambar 5.3 Jumlah Responden Berdasarkan Lokasi Dusun
Gambaran responden yang ditampilkan meliputi: umur, tingkat pendidikan dan
pengalaman berusahatani, pola tanam, pendapatan dan pengetahuan petani tentang
fenomena perubahan iklim
5.3.1 Umur
Sebagian besar responden berumur antara 41-50 tahun (36%), dengan rerata umur
50 tahun, umur terendah 28 tahun dan tertinggi 74 tahun. Sebaran responden
berdasarkan kategori umur ditampilkan pada gambar 5.3.1.
9
9
4
3
4
12
9
Takeran
Karang
Gumuk
Belang
Tlogolele
Stabelan
Ngadirejo
37
Gambar 5.3.1. Persentase Responden Berdasarkan Kategori Umur
5.3.2 Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Berusahatani
Sebagian besar responden berpendidikan lulus SD (84%) dan sisanya (16%) lulus
SMP. Responden umumnya telah bertani dalam kurun waktu 10-20 tahun yaitu
sebanyak 52%, sedangkan responden yang telah bertani antara 21-30 tahun
sebanyak 38%, yang berpengalaman di atas 30 tahun sebanyak 6% dan sisanya
(4%) adalah petani yang berpengalaman bertani kurang dari 10 tahun.
Tabel 5.3.2 Pengalaman Berusahatani Responden
Pengalaman Berusahatani
(tahun)
Jumlah Responden
(orang)
Persentase
(%)
<10 2 4
10-20 26 52
21-30 19 38
>30 3 6
Total 50 100
Sumber : Data primer (diolah), 2013
5.3.3 Pola Tanam dan Pendapatan Usahatani
Selaras dengan lokasi, seluruh responden di desa Tlogolele merupakan petani
sayuran khas dataran tinggi, seperti cabe, tomat, kubis, sawi, wortel, brokoli.
Selain itu 80% responden memiliki ternak sapi. Secara umum, bila ketersediaan
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
20-30 31-40 41-50 51-60 61-70 >70
6%
18%
36%
18% 18%
4% Ju
mla
h R
esp
on
den
Kategori Umur
38
air mencukupi, dalam satu tahun dapat ditanami tiga kali dengan pola tanam
sayur- sayur-tembakau. Jenis sayuran yang ditanam pada setiap musim beragam,
namun sayuran yang dominan diusahakan adalah cabe, tomat, kubis, brokoli yang
ditanam secara tumpang sari dengan tembakau. Gambaran jenis sayuran per
musim tanam dapat dicermati pada gambar berikut:
Gambar 5.3.3 Pola Tanam Responden
Rerata pendapatan responden dari hasil usahatani sayuran dalam satu
tahun adalah Rp 5,53 juta, dari usahatani tembakau Rp 5,50 juta dan dari usaha
penggemukan sapi Rp 1,54 juta.
5.3.4 Pengetahuan Petani tentang Fenomena Perubahan Iklim
Petani di Desa Tlogolele telah mengetahui adanya perubahan pada kondisi iklim
mikro di Desa Tlogolele yang berdampak pada penurunan kualitas dan kuantitas
panen, bahkan ada yang mengalami kegagalan panen sehingga menyebabkan
36 23
13 12
10 8
7 6
2 1 1 1 1
Cabai merah…
Brokoli
Labu siam
Cabai rawit
Kentang
Pola Tanam MH 1 - 2012
33 23
13 12
11 8
7 6
0 10 20 30 40
Tomat
Sawi
Cabai merah keriting
Lobak
Pola Tanam MK 1 - 2012
45 9 8 8 4 2 2 1 1 1 1
0 10 20 30 40 50
Tembakau
Kayu-kayuan
Pola Tanam MK 2 - 2012
39
kerugian. Semua responden petani di desa Tlogolele mengetahui dan mempunyai
perhitungan cuaca/iklim yang bersumber dari kebiasaan lokal. Pada saat ini,
pengetahuan lokal tersebut masih dipraktekkan/dijalankan, oleh 36% responden
sisanya (64%) tidak menjalankan. Selain itu sebagian besar responden (98%)
mengetahui tentang fenomena perubahan iklim, meskipun tidak dapat
menjelaskan definisi perubahan iklim. Sumber informasi iklim berasal dari
petugas desa/penyuluh pertanian/petugas lapang (58%), pelatihan (18%), 2% dari
sekolah lapang dan sisanya (22%) tidak menjawab.
Pada umumnya responden di desa Tlogolele telah mengetahui adanya perubahan
pada beberapa komponen iklim yang biasa digunakan untuk mengukur perubahan
iklim.Beberapa indikator adanya perubahan iklim yang disampaikan oleh petani
disajikan pada Tabel 5.2.3
Tabel 5.3.4 Pengetahuan responden mengenai perubahan yang terjadi pada
komponen iklim di Desa Tlogolele
Informasi Perubahan Iklim Persentase (%)
Total (N) Ya Tidak
Pergeseran musim hujan dan
kemarau 94 6
50 orang
Curah hujan makin besar 94 6 50 orang
Peningkatan suhu udara 94 6 50 orang
Angin bertambah kencang 2 98 50 orang
Cuaca ekstrim 76 24 50 orang
Sumber: Data primer (diolah), 2013
40
5.4. Rancangan GIS Untuk Pemetaan Risiko Bencana
Salah satu metode analisis risiko bencana adalah dengan melakukan
pemetaan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Pemetaan Risiko bencana
berbasis GIS ini dilakukan agar dapat menunjukkan tingkat ancaman dan
kerentanan pada suatu wilayah secara visual. Secara mendasar, pemahaman
tentang konsep bencana menjadi dasar yang kuat dalam melakukan pemetaan
risiko bencana ini.
Peta Risiko Bencana sendiri merupakan representasi suatu wilayah yang
memiliki tingkat risiko tertentu berdasarkan adanya parameter-parameter
ancaman, kerentanan dan kapasitas yang ada di wilayah tersebut. Peta risiko
bencana yang dikembangkan akan diaplikasikan ke dalam Sistem Informasi
Geografis (SIG) yang secara spasial dapat menggambarkan kondisi riil suatu
wilayah. Peta risiko bencana juga merupakan alat analisis risiko baik yang bersifat
spasial dan database yang harapannya akan dapat diintegrasikan dalam
perencanaan tataruang untuk mengoptimalkan pembangunan berkelanjutan dalam
perspektif pengurangan risiko bencana.
Dalam kontek risiko, bencana dapat memberi peluang terhadap
pembangunan atau dapat memundurkan pembangunan tersebut. Untuk itu
pentingnya pemetaan risiko bencana dilakukan agar dapat menjadi acuan bagi
daerah dalam perencanaan pembangunan tata ruang yang berperspektif
penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana.
Ada tiga tahap pembuatan peta risiko bencana ini yaitu pembuatan peta
dasar, analisa ancaman kerentanan dan penyajian peta. Pembuatan peta dasar
meliputi spasial data (peta administrasi dan peta infra struktur), sosio economic
(demografi dan data ekonomi), serta peta bencana masa lalu. Tahap analisa
ancaman kerentanan meliputi analisa populasi penduduk, potensi ekonomi yang
mungkin akan terganggu bila terjadi bencana serta tinjauan kapasitas
penunjang.Sedangkan tahap penyajian peta yang siap dipakai dan merupakan hasil
dari evaluasi peta-peta sebelumnya.
Dari analisis peta dasar dan ancaman kerentanan, pada tahap ini sudah
dihasilkan sebuah rancangan interface dan prototype Sistem Informasi Geografis
41
Peta Risiko Bencana dengan tiga bagian utama yaitu (1) profil dan demografi
desa, (2) pemetaan risiko bencana dan (3) pembelajaran manajemen bencana.
Gambar 5.4.1 di bawah menunjukkan tampilan awal Sistem Informasi Geografis
yang menunjukkan peta Jawa Tengah.
Gambar 5.4.1 Tampilan awal GIS
Gambar 5.4.2 menunjukkan tampilan desa Tlogolele jika dilihat dari Satelit yang
dikembangkan oleh Google Maps.
Gambar 5.4.2 Peta Satelit untuk desa Tlogolele
42
Gambar 5.4.3 Peta administratif desa Tlogolele.
Gambar 5.4.4 menunjukkan peta administratif desa tlogolele lengkap dengan peta
bencana yang meliputi Erupsi, puting beliung, kekeringan, tanah longsor dan
gempa. Bagian tersebut menunjukkan tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap
adanya bencana.
Gambar 5.4.4 Peta zonasi bahaya gunungapi
Aplikasi yang dikembangkan juga memberikan fasilitas pembelajaran tentang
seputar tektur geografis seputar Gunung Merapi, kejadian perubahan iklim dan
43
juga pembelajaran untuk penanganan bencana seperti yang nampak pada gambar
5.4.5 dan gambar 5.4.6
Gambar 5.4.5 Pembelajaran Kondisi Gunung Merapi
Gambar 5.4.6 Pembelajaran Kondisi Gunung Merapi
44
5.5 MODEL ADAPTASI BUDIDAYA PERTANIAN TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM
5.5.1. Potensi dan Keragaan Hasil Pertanian
Paparan berikut diharapkan dapat menggambarkan potensi, trend hasil
produksi, pola budidaya pertanian dan hasil produksi pertanian.
Sebagai daerah penyangga Taman Nasional Gunung Merapi, penggunaan
lahan di Desa Tlogolele didominasi hutan Negara, diikuti tegal/kebun,
pekarangan, penggunaan lain serta sawah di dukuh Tlogomulyo. Hal ini sesuai
dengan zona agroekologi Desa Tlogolele yang sesuai untuk usaha tani
Gambar 5.5.1.1 Tata guna lahan Desa Tlogolele (diolah dari Kecamatan Selo
dalam Angka, 2011)
Keragaan produksi tanaman pangan penghasil karbohidrat
Tabel 5.5.1.1 Produksi Padi, Jagung dan Ubi kayu
Komoditas Unsur Produksi 2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Padi sawah luas panen (ha) 9 9 15 18 23 14 14
produktivitas kw/ha 48.89 48.89 43.33 43.33 43.34 43.34 30.2
produksi (ton) 44 44 65 78 100 61 45
Jagung luas panen (ha) 597
128
16 35
produktivitas kw/ha 41.46
45
45.63 45.55
produksi (ton) 2485
576
73 158
Ubi kayu luas panen (ha)
1
1 5
produktivitas kw/ha
160
150 150
produksi (ton)
16
15 80
Sumber: diolah dari Kecamatan Selo dalam Angka, 2004-2011)
Sawah 6% pekarangan
bangunan 21%
Tegal/kebun 24%
Hutan negara
32%
Lainnya 17%
45
Pengurangan produksi padi sawah disubstitusi dengan peningkatan
penanaman jagung dan ubi kayu. Menurut responden hal tersebut dikarenakan
oleh berkurangnya air irigasi dan panjangnya musim kemarau.
Gambar 5.5.1.2 Hubungan antara curah hujan tahunan dengan produksi padi
Keragaan produksi tanaman sayuran
Jenis tanaman sayuran yang dibudidayakan adalah bawang daun, wortel,
kubis, sawi, cabe, tomat, buncis dan mentimun dengan andalan kubis, cabe dan
tomat. Tidak diketemukan indikasi perubahan jenis tanaman, yang ada hanyalah
perubahan luasan disesuaikan dengan musim tanam/.ketersediaan air. Pergeseran
dari pengurangan luasan wortel dan kubis (pembentukan umbi maupun krop)
menjadi peningkatan luasan sawi yang secara agroekologi umurnya lebih pendek.
Substitusi peningkatan luasan cabe yang dibarengi dengan pengurangan luas
tanaman tomat (semuanya ditumpangsarikan dengan tembakau)
Tabel 5.5.1.2 Produksi tanaman sayuran
Komoditas Unsur Produksi 2003 2006 2007 2009 2010
Bawang merah luas panen (ha) 4 3 6 2
produksi (kw)
295 285 650 240
Bawang daun luas panen (ha) 37 77 48 31 30
produksi (kw) 3784 7143 7143 2635 3750
Wortel luas panen (ha) 76 94 69 56
produksi (kw) 11949 7708
6555 5050
Kubis luas panen (ha) 17 125 59 50
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
2007 2008 2009 2010
cura
h h
uja
n t
ahu
nan
(m
m)
Tahun
curah hujan
produksi (kw)
46
produksi (kw) 2439 15750
6972 7800
Sawi luas panen (ha) 32 29 49 24 80
produksi (kw) 4254 1684 3231 1584 8400
Cabe luas panen (ha) 1 3 19 7 9
produksi (kw) 73 152 905 686 530
Tomat luas panen (ha) 8 7 20 10 8
produksi (kw) 1254 470 1500 1400 940
Terung luas panen (ha)
2 2
produksi (kw)
130 250
Buncis luas panen (ha) 1 16 23 18 18
produksi (kw) 93 544 690 1044 1440
Mentimun luas panen (ha) 2 6 7 10
produksi (kw)
256 958 833 1350
Labu siam luas panen (ha)
3 2 2 3
produksi (kw)
1647 1551 3244 1550
Sumber: Diolah dari Kecamatan Selo dalam angka 2014-2011
Keragaan tanaman perkebunan
Hasil tanaman perkebunan utama dari Tlogolele adalah tembakau yang
ditanam saat MK2. Penanaman tembakau dilakukan dengan sistem tumpangsari
dengan sayuran semisal dengan kubis/sawi maupun dengan tomat.
Tabel 5.5.1.3 Produksi tanaman perkebunan
Komoditas Unsur Produksi 2003 2006 2007 2009 2010
tembakau luas panen (ha) 33 48 48 115 115
prod (kg) 27861 26400 27346 94875 94875
jahe luas panen (ha)
0.5
0.2
prod (kg)
4000
2500
khina luas panen (ha)
0.6 0.6
prod (kg)
672 720
kayu manis luas panen (ha)
0.6 1 1
prod (kg)
1400 1200 1300
Sumber: Diolah dari Kecamatan Selo dalam angka 2004-2011
Pola tanam yang paling banyak diusahakan oleh petani Tlogolele adalah
cabai merah keriting-kubis pada MH, tomat – brokoli pada MK2 dan hampir
semua responden menanam tembakau pada MK2. Penanaman dilaksanakan secara
tumpang sari maupun tumpang gilir. Sebagai bagian dari Kecamatan Selo sentra
47
produksi sayuran dan tembakau, memiliki prinsip selama musim penghujan
menanam sayur dan pada saat kemarau mengusahakan tembakau.
Tanaman tembakau sangat peka terhadap kelebihan air baik pada daerah
perakaran maupun helaian daunnya. Kondisi kering saat memasuki masa produksi
maupun penanganan pasca panen menjadi faktor penentu keberhasilan panen.
MH MK1 MK2
Cabai merah keriting Tomat Tembakau
Kubis Brokoli Kubis
Tomat Sawi
Brokoli Kubis
Sawi Cabai merah keriting
Gambar 5.5.1.3 Pola tanam petani tembakau Tlogolele
Keragaan Produksi ternak
Hasil ternak utama adalah sapi baik potong maupun perah, ternak sedang
(kambing dan domba) serta unggas. Selain produksi utama (daging, susu maupun
telur) keberadaan ternak sangat berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan
tenaga dan pupuk kandang.
Tabel 5.5.1.4 Produksi Ternak
Ternak Unsur Produksi 2003 2006 2007 2009 2010
sapi potong pemilik (orang) 34 209 88 138 100
ternak (ekor) 48 280 137 193 402
sapi perah pemilik (orang)
518 232 102 402
ternak (ekor)
1194 1013 294 512
kuda pemilik (orang)
1 2 1
ternak (ekor)
1 2 1
kambing pemilik (orang)
15 18 20 124
ternak (ekor)
35 74 48 272
domba pemilik (orang)
18 13 10 98
ternak (ekor)
35 67 44 196
kelinci pemilik (orang)
15
ternak (ekor)
45
ayam buras pemilik (orang) 699 441 462 774 125
ternak (ekor) 1030 2252 2231 4262 375
itik pemilik (orang) 30 7
3
ternak (ekor) 273 43
32
telur ayam buras ternak (ekor) 98598 29874 83663
3867
Diolah dari Kecamatan Selo dalam angka 2004-2011
48
5.5.2. Persepsi Masyarakat atas Fluktuasi Produksi
Paparan berikut diharapkan dapat menggambarkan faktor penyebab serta
terumuskannya akar permasalahan utama fluktuasi produksi pertanian masyarakat.
Menurut persepsi responden fluktuasi produksi terutama disebabkan oleh faktor
alam yaitu perubahan cuaca yang berkenaan dengan kekeringan, kurangnya air
irigasi, erupsi serta faktor pengelolaan terutama pengendalian OPT. Hal ini
mengindikasikan akar masalah kesiapan dan kesigapan petani atas gejala alam
yang diwujudkan melalui pengelolaan lahan. Ketersediaan sistem informasi baik
iklim maupun bencana dari daerah lereng gunung berapi aktif sangat membantu.
Juga penyiapan masyarakat baik melalui pembacaan tanda alam maupun kemasan
teknologi berperan penting dalam memadukan mitos dengan teknos.
Tabel 5.5.2.1 Persepsi responden atas Penyebab Fluktuasi Produksi
Penyebab Fluktuasi Produksi % Jawaban Responden
Perubahan iklim/cuaca 100
Kekeringan
100
Erupsi gunung Merapi 98
Adanya serangan HPT/OPT 90
Tidak adanya sistem irigasi 98
Kurangnya perhatian petani 98
Sumber: diolah dari data primer (2013)
Untuk mengatasi fluktuasi produksi, seluruh responden menerapkan
pengelolaan iklim mikro dengan pemakaian mulsa plastik. Sungguh menarik
mengamati hampir seluruh permukaan lereng gunung berselimutkan mulsa
plastik. Metode ini memiliki banyak keunggulan yaitu mengurangi evaporasi air
tanah, mengurangi fluktuasi suhu, menekan pertumbuhan gulma sehingga
mengurangi tenaga kerja untuk penyiangan. Dampak langsung dari penutupan
mulsa ini adalah sangat terbatasnya bidang resapan air, sehingga cukup banyak air
hujan yang tidak terinfiltrasi ke dalam tanah namun mengalir sebagai aliran
permukaan. Dengan tekstur tanah berpasir laju infiltrasi dapat ditingkatkan
sekaligus mengurangi aliran permukaan dengan penerapan teknik rorak.
Penyemprotan pestisida secara lebih intensif menjadi pilihan utama petani
dalam pengendalian OPT dan seturut dengan data belum separuh responden
menerapkan pengendalian OPT dengan PTT. Pemanfaatan materi lokal sebagai
49
pestisida nabati sebagai bagian LEISA (Low External Input for Sustainable
Agriculture) dapat lebih ditingkatkan.
Mengurangi risiko fluktuasi produksi melalui penerapan sistem tumpang
sari dilaksanakan oleh 80% responden. Penerapan sistem tumpang sari juga
berkaitan dengan efisiensi pemanfaatan lahan dan keseimbangan neraca hara.
Tabel 5.5.2.2 Upaya responden mengatasi fluktuasi produksi
Mengatasi Fluktuasi % Responden
Pengendalian iklim mikro (pemakaian mulsa,
dll) 100
Penyemprotan pestisida secara lebih intensif 96
Pengendalian HPT dengan teknik PHT 48
Menerapkan sistem tanam tumpang
sari/tumpang gilir 80
Sumber: diolah dari data primer (2013)
5.5.3. Persepsi dan Adaptasi Budidaya atas Perubahan Iklim
Paparan berikut diharapkan dapat memberikan gambaran upaya adaptasi
yang dilakukan atas dasar pemahaman responden akan fenomena perubahan
iklim.
Pemahaman responden atas fenomena perubahan iklim mempengaruhi
persepsi akan dampak perubahan iklim terhadap kegiatan bercocok tanam yang
dirasakan petani pada kontinuitas ketersediaan air dan masalah OPT. Perilaku
hujan mempengaruhi simpanan air bumi di daerah hulu sebagai penyedia air bagi
masyarakat di sekitarnya. Perpaduan peningkatan penguapan air oleh peningkatan
suhu dan penyusutan ketersediaan air dirasakan oleh petani sebagai bencana
kekeringan. Perubahan iklim mikro di lahan pertanian juga ditengarai
mengakibatkan mempengaruhi jenis dan tingkat serangan OPT.
Tabel 5.5.3.1 Persepsi responden terhadap pengaruh perubahan iklim atas
kegiatan pertanian
Persepsi pengaruh perubahan iklim atas kegiatan pertanian % responden
Pertimbangan faktor cuaca dalam kegiatan
pertaniannya 70
Kondisi iklim saat ini mempengaruhi ketersediaan air
untuk pertanian 98
50
Kondisi iklim saat ini mempengaruhi jenis dan tingkat
serangan OPT 96
Sumber data primer (diolah), 2013
Upaya adaptasi atas perubahan iklim tersebut diwujudkan dalam
perubahan pertimbangan bercocok tanam. Bercocok tanam merupakan perpaduan
antara karakter tanaman, tanah dan iklim dan faktor iklim di luar kontrol petani
secara langsung. Adaptasi dilakukan dalam hal penetapan jenis tanaman,
pengaturan waktu tanam, pengolahan lahan, dan pengelolaan pupuk.
Tabel 5.5.3.2 Adaptasi budidaya tanaman atas perubahan iklim yang dilakukan
petani
Kegiatan Adaptasi yang dilakukan petani
Jenis Tanaman Ada air menanam sayuran, tidak ada air menanam
tembakau
Waktu Tanam Penanaman tembakau menunggu saat hujan hampir
habis
Cara mengolah tanah
Pemberian mulsa plastik untuk mengurangi
evaporasi
Dicangkul, diberi pupuk kandang, diberi mulsa
Pemberian Pupuk
Memperbanyak penggunaan kjotoran ayam dan
kotoran sapi untuk pupuk
Setelah tanaman lebih dari 15 hari baru dipupuk
Sumber data primer (diolah), 2013
5.5.4. Pengelolaan Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal
Paparan berikut diharapkan dapat menyediakan sejumlah data pengelolaan
pertanian berbasis pengetahuan dan kearifan lokal.
Pranata mangsa
Salah satu pengetahuan dan kearifan lokal yang dikenal oleh petani
Tlogolele adalah pranata mangsa. Beberapa responden hanya memilah mangsa
rendheng (hujan) dan ketiga (kemarau), beberapa memilah lebih detail menjadi
mangsa labuh (awal penghujan), rendheng (penghujan), mareng (awal kemarau)
dan ketiga (kemarau). Relevansi pengetahuan lokal tersebut semakin berkurang,
36% responden menyatakan sistem ini sudah tidak dapat diterapkan. Diperlukan
51
sistem informasi iklim yang memiliki korelasi erat dengan kegiatan bercocok
tanam pada kondisi cuaca yang tidak menentu.
Tabel 5.5.4.1 Persepsi responden atas pranata mangsa
Pengetahuan lokal pranata mangsa % responden
Mengetahui 100
Tidak dipraktekkan
36
Masih dipraktekkan
64
Sumber data primer (diolah), 2013
Pranatamangsa merupakan kekayaan kearifan lokal, membaca dan
memaknai tanda-tanda alam dan menjadikannya sebagai
ketentuan/tuntunan/pedoman aktivitas yang bergantung pada kondisi alam seperti
kegiatan bertani secara alami. Ketentuan tersebut bersifat lokal/regional dan
temporal karena sangat dipengaruhi oleh kosmografi dan klimatologi setempat.
Pranata mangsa dalam versi Kasunanan yang berlaku untuk wilayah di antara
Gunung Merapi dan Gunung Lawu dapat dilihat pada prisma pranata mangsa
berikut.
Gambar 5.5.4.1 Prisma pranata mangsa
Hampir setiap daerah memiliki semacam pranatamangsa ini, Bali yang
kental dengan budaya dan pertanian memiliki Kerta Masa, etnik Jerman mengenal
Bauernkalendar atau “penanggalan untuk petani”, Jepang juga menganut tanda-
tanda alam untuk aktivitasnya.
Bercocok tanam dan konservasi tanah
Dari hasil pengamatan lapang, petani di Desa Tlogolele menerapkan
berbagai tindakan konserasi diantaranya rumput penguat teras, pemakaian mulsa,
52
penataan arah guludan, tumpangsari. Juga adanya bangunan konservasi tanah dan
air semisal teras, saluran pembuangan air (SPA), rorak.
Beberapa pengetahuan dan kearifan lokal berkenaan dengan konservasi
tanah semisal bertanam secara nyabuk gunung (memotong lereng atau searah
kontur) tidak terlalu kelihatan. Hanya penterasan searah kontur yang dijumpai.
Gejala klasik yang dijumpai pada lahan pertanian tembakau, petani enggan
menanam searah dengan kontur dengan alasan tanaman tembakau memerlukan
drainase yang tuntas, kompromi didapat dengan penanaman sedikit menyerong
terhadap lereng.
Keberadaan rorak sebagai trap pemerangkap tanah dan air yang tererosi
dimodifikasi dengan dialasi plastik sekalian difungsikan sebagai mini embung
penyimpan air hujan. Dengan model ini rendahnya kemampuan tanah berpasir
dalam menyimpan air sedikit diperbaiki.
Gambar 5.5.4.2 Komponen Konservasi Tanah: Teras, rumput penguat teras,
mulsa, rorak. SPA, arah guludan, tumpangsari
5.5.5. Model Adaptasi Pertanian Adaptif yang Siap Diaplikasikan dalam
Budidaya Pertanian
Tlogolele di daerah lereng G. Merapi diperhadapkan dengan kejadian
erosi, erupsi maupun perubahan iklim global. Untuk membuat kegiatan budidaya
adaptif terhadap kondisi tersebut perlu dimasukkan komponen konservasi lahan
dan pengendali aliran lahar. Komponen tersebut meliputi SPA dan rorak; mulsa
53
dan arah guludan; teras dan rumput penguat lereng; dam Kali Apu infrastruktur
aliran lahar.
Komponen SPA dan rorak mengendalikan aliran limpasan air hujan dan
erosi yang potensial terjadi pada daerah berlereng dengan curah hujan yang tinggi.
Dengan SPA dan rorak sebanyak mungkin tanah dan air ditahan di lahan
pertanian.
Dam Kali Apu adalah bagian dari infrastruktur pengendalian lahar hujan
Gunung Merapi, dengan fungsi sebagai penahan sedimen maupun pengarah aliran.
Dam untuk mengantisipasi bahaya banjir lahar akibat jutaan meter kunik material
letusan di daerah puncak yang turun gunung bersama air hujan. Sebagian aliran
lahar hujan dari Merapi melewati Kali Apu sebelah Utara desa Tlogolele, kali
Trising batas Slatan desa Tlogolele, mengarah ke Barat Daya. Mengantisipasi
aliran lahar tersebut dibangun dam Kali Apu sebanyak 5 buah dengan kapasitas
hadang 650 000 meter3. Pembangunan dam disini sebagai konsekuensi logis
upaya meminimalkan dampak bahaya banjir lahar hujan.
Jenis usaha tani utama berupa tanaman sayuran-tembakau yang
diintegrasikan dengan ternak membentuk sistem yang saling menopang dan
berdampak pada pemeliharaan produktivitas tanah. Sementara Herawati (2011)
melaksanakan analisis peluang substitusi integrasi ternak domba dan sayuran pada
petani tembakau di daerah Temanggung untuk perbaikan lahan dan pendapatan
petani, masyarakat Tlogolele telah menerapkan konsep integrasi sayuran-
tembakau-ternak.
Sebagai desa teratas yang langsung berbatasan dengan Taman Nasional
Gunung Merapi, segala aktivitas volkanik gunung banyak mempengaruhi pola
bercocok tanam. Pemahaman masyarakat atas perilaku gunung berapi,
kemampuan memadukan nilai lokal dengan kekinian menjadi sangat penting.
Integrasi sistem informasi iklim, sistem informasi bencana dan nilai pengetahuan-
kearifan lokal terbangunlah Model Budidaya Pertanian Desa Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Desa Tlogolele: Upaya Adaptasi terhadap
Perubahan Iklim dan Tanggap Bencana Gunung Berapi.
54
Gambar 5.5.5 Model Budidaya Pertanian Desa Berbasis Pengetahuan dan
Kearifan Lokal di Desa Tlogolele: Upaya Adaptasi terhadap Perubahan
Iklim dan Tanggap Bencana Gunung Berapi
SPA dan
Rorak Mulsa; arah
guludan
Penguatan teras
dengan pakan
ternak
Dam
pengendali
aliran lahar
Ternak
Pupuk
Kandang
Limbah
sayuran
Pola tanam
sayuran-
tembakau
Produktivitas Lahan
Pengetahuan dan Kearifan Lokal
S
i
s
t
e
m
I
n
f
o
r
m
a
s
i
K
l
i
m
a
t
o
l
o
g
i
S
is
te
m
I
n
f
o
r
m
a
si
B
e
n
c
a
n
a
Pertanian Adaptif terhadap Bencana
dan Perubahan Iklim
55
5.5.6. Rancangan Rakitan Teknologi yang Bisa Beradaptasi
Berdasarkan analisis temuan lapang dan persepsi masyarakat, beberapa rancangan
rakitan teknologi yang potensial dapat beradaptasi meliputi:
1. Penguatan pemahaman pengendalian OPT melalui PTT. Pemanfaatan materi
lokal sebagai pestisida nabati sebagai bagian LEISA (Low External Input for
Sustainable Agriculture) dapat lebih ditingkatkan. Menarik untuk dikaji lebih
lanjut pemanfaatan ekstrak batang dan daun tua tembakau sebagai pestisida
nabati seperti yang dilaksanakan oleh petani di Lombok.
2. Penguatan integrasi ternak dibarengi dengan pengelolaan kompos
3. Pemanfaatan materi setempat hijauan lokal sebagai kompos serta penggunaan
mikroorganisme lokal (MOL)
4. Penguatan pemahaman budidaya tembakau di daerah belereng kompromi
antara keuntungan dan kesadaran peningkatan erosi serta pengelolaannya
5. Menjajagi peluang integrasi tembakau-kopi sebagai sarana pelestarian lahan
lereng Merapi dengan mengadopsi pola Tlahap yang telah dirintis di Tlahap
lereng Sindoro-Sumbing. Sebagai pertimbangan tanaman kopi Arabika telah
dikenal masyarakat Tlogolele dan banyak diusahakan oleh desa tetangga
semisal Desa Klakah, Jrakah, Lencoh, Suroteleng, Selo, Tarubatang dan
Senden
56
5.6. Luaran Publikasi
No Waktu Judul Keterangan
Seminar
1 16 April
2013
Kajian Budidaya Pertanian
Berbasis Pengetahuan dan
Kearifan Lokal di Daerah
Lereng Gunung Berapi
Konser Karya Ilmiah FP UKSW, 16 April
2013
2 17 April
2013
Ngrowot dalam Perspektif
Kemandirian Pangan dan
Energi Berbasis Pertanian
(Sumbangan dari
Pengetahuan dan Kearifan
Lokal)
Seminar Nasional: Akselerasi Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan Menuju
Kemandirian Pangan dan Energi. Surakarta
17 April 2013
Publikasi Melalui Weblog
1 Posted on
Maret 21,
2013
Antara Gareng dan
Garengpung
(Belajar dari Pengetahuan
dan Kearifan Lokal)
http://suprihati.wordpress.com/2013/03/21/a
ntara-gareng-dan-garengpung-belajar-dari-
pengetahuan-dan-kearifan-lokal/
2 Posted on
Mei 6,
2013
Gula Aren Kearifan Lokal
Masyarakat Gunung
http://suprihati.wordpress.com/2013/05/06/
gula-aren-kearifan-lokal-masyarakat-
gunung/
Ket: Pemenang Blog Give Away di
http://www.eviindrawanto.com/2013/05/pen
gumuman-hasil-ga-pertama-jurnal-evi-
indrawanto/
3 Posted on
Juni 6,
2013
Gunungan Gendul http://suprihati.wordpress.com/2013/06/06/
gunungan-gendul/
4 Posted on
September
15, 2013
Seri Tlogolele: Mbrebes mili
menjadi mbayu mili
http://suprihati.wordpress.com/2013/09/15/s
eri-tlogolele-mbrebes-mili-menjadi-mbayu-
mili/
5 Posted on
September
20, 2013
Seri Tlogolele: Dam Kali
Apu, simbol persahabatan
manusia dengan Gunung
Merapi
http://suprihati.wordpress.com/2013/09/20/
dam-kali-apu-simbol-persahabatan-dengan-
gunung-merapi/
57
5.7. Foto kegiatan
Pemakalah pada Konser Karya Ilmiah FP UKSW dan Seminar Nasional di UNS
Sosialisasi bersama Tim dan Asisten Peneliti
58
Dam Kali Apu, penahan dan pengendali aliran lahar
Pipanisasi di Tlogolele Aksesbilitas Desa Tlogolele
Pertanian Desa Tlogolele Tanah berpasir
59
Penggunaan bahan organik
Peta Risiko Bencana Desa Tlogolele
60
Wawancara dengan penduduk Tlogolele
Merapi dari Dk Stabelan, Desa Tlogolele
61
Kegiatan FGD
62
Menjelang penanaman MH 2013