bab 5. hasil penelitian 5.1. profil daerah penelitian 5.1

34
29 Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1.1. Posisi Geografis dan Administratif Desa Tlogolele Desa Tlogolele merupakan desa yang berada di ujung Barat Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Kecamatan Selo merupakan salah satu dari 18 Kecamatan / Kota di Kabupaten Boyolali, terletak antara 10º 22’ - 11º 50’ Bujur Timur dan 7º36’ - 7º 71’ Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 1.300 – 1.500 meter di atas permukaan laut. Gambar 5.1.1. Kabupaten Boyolali dan Kecamatan Selo Secara bentang lahan, Kecamatan Selo berada di daerah pelana diantara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Luas daerah Kecamatan Selo seluruhnya 5.697.724 Ha dibagi menjadi 10 Desa yaitu Desa , Desa Senden, Desa Tarubatang, Desa Selo, Desa Samiran, Desa Suroteleng , Desa Lencoh, Desa Jrakah, Desa Klakah dan Desa Trogolele. (http://polsekselo.com/polsek-selo-26- peta-wilayah-demografi.html).

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

29

Bab 5. HASIL PENELITIAN

5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN

5.1.1. Posisi Geografis dan Administratif Desa Tlogolele

Desa Tlogolele merupakan desa yang berada di ujung Barat Kecamatan

Selo, Kabupaten Boyolali. Kecamatan Selo merupakan salah satu dari 18

Kecamatan / Kota di Kabupaten Boyolali, terletak antara 10º 22’ - 11º 50’ Bujur

Timur dan 7º36’ - 7º 71’ Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 1.300 – 1.500

meter di atas permukaan laut.

Gambar 5.1.1. Kabupaten Boyolali dan Kecamatan Selo

Secara bentang lahan, Kecamatan Selo berada di daerah pelana diantara

Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Luas daerah Kecamatan Selo seluruhnya

5.697.724 Ha dibagi menjadi 10 Desa yaitu Desa , Desa Senden, Desa

Tarubatang, Desa Selo, Desa Samiran, Desa Suroteleng , Desa Lencoh, Desa

Jrakah, Desa Klakah dan Desa Trogolele. (http://polsekselo.com/polsek-selo-26-

peta-wilayah-demografi.html).

Page 2: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

30

Gambar 5.1.2. Kecamatan Selo, pelana G. Merbabu dan G. Merapi

Desa Tlogolele terletak di wilayah administrasi Kecamatan Selo,

Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada

koordinat 7°30'41"S 110°23'11"E dengan ketinggian 1200 meter di atas

permukaan laut, dengan batas-batas desa sebagai berikut:

- Utara : Desa Klakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali

- Selatan : Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang

- Barat : Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang

- Timur : Gunung Merapi

Sungai Kali Apu mengalir di sebelah Utara desa dan sungai Trising di sebelah

Selatan desa. Kedua sungai tersebut berhulu dari G. Merapi dan menjadi sarana

meluncurnya lahar hujan pasca erupsi.

Gambar 5.1.3. Desa Tlogolele di Kecamatan Selo

Luas wilayah desa Tlogolele adalah 585,40 hektar (5,854 km2) dengan

jumlah penduduk 2602 orang, kepadatan 444 jiwa/km2. Secara demografi terdiri

dari 711 KK, berarti rata-rata setiap KK terdiri dari 3.7 orang. (diolah dari

Page 3: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

31

Kecamatan Selo dalam angka, 2011). Sebagian besar penduduk bermata

pencaharian sebagai petani sayuran. Jenis sayuran yang dibudidayakan dan

menjadi andalan petani meliputi bawang daun, wortel, kubis, sawi, cabe, tomat,

buncis, mentimun. Jenis tanaman perkebunan utama yang diusahakan adalah

tembakau.

Secara administrasi terbagi menjadi empat dusun, delapan dukuh, lima

RW dan 19 RT. Ke delapan dukuh tersebut adalah: Tlogolele, Tlogomulyo,

Ngadirojo, Karang, Gumuk, Belang, Takeran dan Stabelan.

Gambar 5.1.4. Desa Tlogolele

Curah hujan di Desa Tlogolele cukup tinggi lebih dari 3000 mm per tahun

dengan tipe iklim B. Kelerengan bervariasi dari agak datar hingga berlereng

curam. Jenis tanah adalah Regosol kelabu (berpasir) dan Litosol (berbatu) dengan

bahan induk berupa aliran lahar hujan dari G. Merapi. Kombinasi jenis tanah,

kelerengan dan curah hujan menjadikan wilayah desa Tlogolele rentan terhadap

bahaya erosi maupun longsor, selain aliran lahar hujan pasca erupsi.

Page 4: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

32

5.1.2. Zona Agroekologi Tlogolele

Tabel 5.1.1. Zona Agro Ekologi (ZAE) Desa Tlogolele

DESA Fisiografi Iklim Tanah Simbol

ZAE

Kelerengan (%) dan Fisiografi Lahan Ketinggian

Tempat (m

dpl) dan

Rejim Suhu

Curah Hujan

Tahunan (mm)

dan Rejim

Kelembaban

Udara

Kondisi

Drainase

pH Tekstur Sistem

Pertanian Ideal

Sesuai Zona

Tlogolele

- 0-8%

- datar hingga agak datar

- 500-1000

- Sejuk

3240

Basah

baik 5,7 sandy

loam

IBZ1

Intensifikasi - 0-8%

- datar hingga agak datar

- >1000

- Dingin

3240

Basah

baik 5,7 sandy

loam

ICZ1

- 8-15%

- berombak dan lereng agak curam

- 500-1000

- Sejuk

3240

Basah

baik 5,7 sandy

loam

IIBZ1 Wanatani

(Agroforestry),

Budidaya

campuran - 8-15%

- berombak dan lereng agak curam

- >1000

- Dingin

3240

Basah

baik 5,7 sandy

loam

IICZ1

- 15-40%

- berbukit dan lereng curam

- 500-1000

- Sejuk

3240

Basah

baik 5,7 sandy

loam

IIIBZ1 Budidaya

Tanaman

Tahunan,

Perkebunan - 15-40%

- berbukit dan lereng curam

- >1000

- Dingin

3240

Basah

baik 5,7 sandy

loam

IIICZ1

- >40%

- bergunung dan lereng sangat curam

- 500-1000

- Sejuk

3240

Basah

baik 5,7 sandy

loam

IVBZ1 Kehutanan,

Hutan

Produktif,

Hutan Lindung - >40%

- bergunung dan lereng sangat curam

- >1000

- Dingin

3240

Basah

baik 5,700 sandy

loam

IVCZ1

Sumber : Simanjuntak dkk….

Page 5: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

33

5.2. Gambaran Suhu, Curah Hujan serta Tanah Wilayah Penelitian

5.2.1. Suhu Udara Maksimum dan Minimum

Hasil olahan atas data suhu daerah penelitian rentang tahun 2004-2012

menunjukkan hal yang menarik yaitu trend peningkatan suhu maksimum dan

trend penurunan suhu minimum. Hal ini menunjukkan peningkatan amplitude

suhu seiring dengan waktu.

Sumber: diolah dari data BMG (2013)

Gambar 5.2.1. Perubahan suhu maksimum dan minimum daerah penelitian

5.2.2. Curah Hujan

Curah hujan tahunan selama rentang tahun 2006 hingga 2012

menunjukkan variasi yang cukup menyolok. Curah hujan tahunan pada tahun

2008 dan 2012 cukup rendah sedangakan pada tahun 2006 dan 2010-2011 sangat

tinggi.

Sumber: diolah dari data BMG (2013)

Gambar 5.2.2. Variasi curah hujan tahunan daerah penelitian

05

10152025303540

Jan

Sep

Me

i

Jan

Sep

Me

i

Jan

Sep

Me

i

Jan

Sep

Me

i

Jan

Sep

200420052006200720082009201020112012

Suh

u (

oC

)

Maks

Min

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

cura

h h

uja

n t

ahu

nan

(m

m)

Page 6: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

34

Apabila dilihat dari sebaran hujan bulanan terlihat pola yang menarik,

bahwa konsentrasi hujan pada rentang Nopember-Mei dan curah hujan bulanan

yang rendah bulan Juni-September.

Sumber: diolah dari data BMG (2013)

Gambar 5.2.3. Distribusi curah hujan bulanan daerah penelitian

Berdasarkan klasifikasi bulan basah, lembab dan kering menurut Mohr,

variasi curah hujan tahunan tidak menggeser pola sebaran musim secara

signifikan.

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des

2006 BB BB BB BB BB BK BK BK BK BK BB BB

2007 BB BB BB BB BL BK BL BK BK BK BB BB

2008 BB BB BB BB BK BK BK BK BK BB BB BB

2009 BB BB BB BL BB BK BK BK BK BB BB BB

2010 BB BB BB BB BB BL BK BB BB BB BL BB

2011 BB BB BB BB BB BK BL BK BK BB BB BB

2012 BB BB BB BB BB BK BK BK BK BL BB BB

BB: Bulan basah >100 mm/bulan

BL: Bulan lembab 60-100 mm/bulan BK: Bulan kering <60 mm/bulan

Gambar 5.2.4. Distribusi bulan basah, lembab dan kering di daerah penelitian

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

1100

1200

0 2 4 6 8 10 12

Cu

rah

hu

jan

(m

m)

Bulan

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Page 7: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

35

5.2.3. Hasil Analisis Tanah Desa Tlogolele

Berdasarkan hasil analisis tanah Tlogolele bertekstur Pasir berlempung

dengan kandungan bahan organik yang rendah. Hasil selengkapnya sebagai

berikut

Tabel 5,2,1. Hasil Analisis Tanah Tlogolele

Dusun N

Total

(%)

P

tersedia

(ppm P)

K

tersedia

(ppm K)

Bahan

organik

(%)

pH

H2O

Tekstur Tanah

%pasir %

debu

%liat Tekstur

Stabelan 0.092 5.37 14.35 1.90 5. 9 71.79 27.01 1.20 Pasir berlempung

Ngadirojo 0.099 9.37 7.09 1.18 5.9 84.66 11.24 4.10 Pasir berlempung

Karang 0.085 4.19 7.12 0.51 6.4 80.53 18.54 0.93 Pasir berlempung

Tlogolele 0.086 4.64 7.21 1.98 6.0 71.44 22.62 5.93 Pasir berlempung

5.2.4. Hasil Analisis Air Desa Tlogolele

Berdasarkan hasil analisis air Tlogolele, kualitas air memenuhi persyaratan air

minum maupun air irigasi. Hasil selengkapnya sebagai berikut:

Tabel 5,2.2. Hasil Analisis Air Minum dan air Kali Apu Tlogolele

Air Kali Apu Air Minum

Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai

pH 6.5 Chrom

(mg/L)

0.01 TSS (mg/L) 0.55

NO3 (mg/L) 2.5 Mn (mg/L) 0.02 TDS 130

TSS (mg/L) 91.30 Besi (mg/L) 0.18 Color 2

TDS (mg/L) 110 SO4 (mg/L) 7.2 Turbiditas (PtCo) 3

DHL (s/cm) 240 Cl (mg/L) 21.5 DHL 30

SO4 (mg/L) 0.006 NO2 (mg/L) 0.002 Coloform

(MPN/100ml)

0

P (mg/L) 0.87 NH3 (mg/L) 0.01

Fe (mg/L) 0.24 NO3 (mg/L) 2.7

Mn (mg/L) 0.1 S2-

(mg/L) 0.00

NH4 (mg/L) 0.38 Cu (mg/L) 0.01

Kesadahan

total(mg/L)

96 COD (mg/L) 4

Alkalinitas (mg/L) 47 Memenuhi persyaratan air minum

Page 8: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

36

5.3 Gambaran Umum Responden

Gambaran umum responden di Desa Tlogolele diperoleh berdasarkan survei yang

dilakukan terhadap 50 orang petani yang tersebar di 7 (tujuh) dusun seperti

ditampilkan pada gambar berikut:

Gambar 5.3 Jumlah Responden Berdasarkan Lokasi Dusun

Gambaran responden yang ditampilkan meliputi: umur, tingkat pendidikan dan

pengalaman berusahatani, pola tanam, pendapatan dan pengetahuan petani tentang

fenomena perubahan iklim

5.3.1 Umur

Sebagian besar responden berumur antara 41-50 tahun (36%), dengan rerata umur

50 tahun, umur terendah 28 tahun dan tertinggi 74 tahun. Sebaran responden

berdasarkan kategori umur ditampilkan pada gambar 5.3.1.

9

9

4

3

4

12

9

Takeran

Karang

Gumuk

Belang

Tlogolele

Stabelan

Ngadirejo

Page 9: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

37

Gambar 5.3.1. Persentase Responden Berdasarkan Kategori Umur

5.3.2 Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Berusahatani

Sebagian besar responden berpendidikan lulus SD (84%) dan sisanya (16%) lulus

SMP. Responden umumnya telah bertani dalam kurun waktu 10-20 tahun yaitu

sebanyak 52%, sedangkan responden yang telah bertani antara 21-30 tahun

sebanyak 38%, yang berpengalaman di atas 30 tahun sebanyak 6% dan sisanya

(4%) adalah petani yang berpengalaman bertani kurang dari 10 tahun.

Tabel 5.3.2 Pengalaman Berusahatani Responden

Pengalaman Berusahatani

(tahun)

Jumlah Responden

(orang)

Persentase

(%)

<10 2 4

10-20 26 52

21-30 19 38

>30 3 6

Total 50 100

Sumber : Data primer (diolah), 2013

5.3.3 Pola Tanam dan Pendapatan Usahatani

Selaras dengan lokasi, seluruh responden di desa Tlogolele merupakan petani

sayuran khas dataran tinggi, seperti cabe, tomat, kubis, sawi, wortel, brokoli.

Selain itu 80% responden memiliki ternak sapi. Secara umum, bila ketersediaan

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

20-30 31-40 41-50 51-60 61-70 >70

6%

18%

36%

18% 18%

4% Ju

mla

h R

esp

on

den

Kategori Umur

Page 10: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

38

air mencukupi, dalam satu tahun dapat ditanami tiga kali dengan pola tanam

sayur- sayur-tembakau. Jenis sayuran yang ditanam pada setiap musim beragam,

namun sayuran yang dominan diusahakan adalah cabe, tomat, kubis, brokoli yang

ditanam secara tumpang sari dengan tembakau. Gambaran jenis sayuran per

musim tanam dapat dicermati pada gambar berikut:

Gambar 5.3.3 Pola Tanam Responden

Rerata pendapatan responden dari hasil usahatani sayuran dalam satu

tahun adalah Rp 5,53 juta, dari usahatani tembakau Rp 5,50 juta dan dari usaha

penggemukan sapi Rp 1,54 juta.

5.3.4 Pengetahuan Petani tentang Fenomena Perubahan Iklim

Petani di Desa Tlogolele telah mengetahui adanya perubahan pada kondisi iklim

mikro di Desa Tlogolele yang berdampak pada penurunan kualitas dan kuantitas

panen, bahkan ada yang mengalami kegagalan panen sehingga menyebabkan

36 23

13 12

10 8

7 6

2 1 1 1 1

Cabai merah…

Brokoli

Labu siam

Cabai rawit

Kentang

Pola Tanam MH 1 - 2012

33 23

13 12

11 8

7 6

0 10 20 30 40

Tomat

Sawi

Cabai merah keriting

Lobak

Pola Tanam MK 1 - 2012

45 9 8 8 4 2 2 1 1 1 1

0 10 20 30 40 50

Tembakau

Kayu-kayuan

Pola Tanam MK 2 - 2012

Page 11: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

39

kerugian. Semua responden petani di desa Tlogolele mengetahui dan mempunyai

perhitungan cuaca/iklim yang bersumber dari kebiasaan lokal. Pada saat ini,

pengetahuan lokal tersebut masih dipraktekkan/dijalankan, oleh 36% responden

sisanya (64%) tidak menjalankan. Selain itu sebagian besar responden (98%)

mengetahui tentang fenomena perubahan iklim, meskipun tidak dapat

menjelaskan definisi perubahan iklim. Sumber informasi iklim berasal dari

petugas desa/penyuluh pertanian/petugas lapang (58%), pelatihan (18%), 2% dari

sekolah lapang dan sisanya (22%) tidak menjawab.

Pada umumnya responden di desa Tlogolele telah mengetahui adanya perubahan

pada beberapa komponen iklim yang biasa digunakan untuk mengukur perubahan

iklim.Beberapa indikator adanya perubahan iklim yang disampaikan oleh petani

disajikan pada Tabel 5.2.3

Tabel 5.3.4 Pengetahuan responden mengenai perubahan yang terjadi pada

komponen iklim di Desa Tlogolele

Informasi Perubahan Iklim Persentase (%)

Total (N) Ya Tidak

Pergeseran musim hujan dan

kemarau 94 6

50 orang

Curah hujan makin besar 94 6 50 orang

Peningkatan suhu udara 94 6 50 orang

Angin bertambah kencang 2 98 50 orang

Cuaca ekstrim 76 24 50 orang

Sumber: Data primer (diolah), 2013

Page 12: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

40

5.4. Rancangan GIS Untuk Pemetaan Risiko Bencana

Salah satu metode analisis risiko bencana adalah dengan melakukan

pemetaan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Pemetaan Risiko bencana

berbasis GIS ini dilakukan agar dapat menunjukkan tingkat ancaman dan

kerentanan pada suatu wilayah secara visual. Secara mendasar, pemahaman

tentang konsep bencana menjadi dasar yang kuat dalam melakukan pemetaan

risiko bencana ini.

Peta Risiko Bencana sendiri merupakan representasi suatu wilayah yang

memiliki tingkat risiko tertentu berdasarkan adanya parameter-parameter

ancaman, kerentanan dan kapasitas yang ada di wilayah tersebut. Peta risiko

bencana yang dikembangkan akan diaplikasikan ke dalam Sistem Informasi

Geografis (SIG) yang secara spasial dapat menggambarkan kondisi riil suatu

wilayah. Peta risiko bencana juga merupakan alat analisis risiko baik yang bersifat

spasial dan database yang harapannya akan dapat diintegrasikan dalam

perencanaan tataruang untuk mengoptimalkan pembangunan berkelanjutan dalam

perspektif pengurangan risiko bencana.

Dalam kontek risiko, bencana dapat memberi peluang terhadap

pembangunan atau dapat memundurkan pembangunan tersebut. Untuk itu

pentingnya pemetaan risiko bencana dilakukan agar dapat menjadi acuan bagi

daerah dalam perencanaan pembangunan tata ruang yang berperspektif

penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana.

Ada tiga tahap pembuatan peta risiko bencana ini yaitu pembuatan peta

dasar, analisa ancaman kerentanan dan penyajian peta. Pembuatan peta dasar

meliputi spasial data (peta administrasi dan peta infra struktur), sosio economic

(demografi dan data ekonomi), serta peta bencana masa lalu. Tahap analisa

ancaman kerentanan meliputi analisa populasi penduduk, potensi ekonomi yang

mungkin akan terganggu bila terjadi bencana serta tinjauan kapasitas

penunjang.Sedangkan tahap penyajian peta yang siap dipakai dan merupakan hasil

dari evaluasi peta-peta sebelumnya.

Dari analisis peta dasar dan ancaman kerentanan, pada tahap ini sudah

dihasilkan sebuah rancangan interface dan prototype Sistem Informasi Geografis

Page 13: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

41

Peta Risiko Bencana dengan tiga bagian utama yaitu (1) profil dan demografi

desa, (2) pemetaan risiko bencana dan (3) pembelajaran manajemen bencana.

Gambar 5.4.1 di bawah menunjukkan tampilan awal Sistem Informasi Geografis

yang menunjukkan peta Jawa Tengah.

Gambar 5.4.1 Tampilan awal GIS

Gambar 5.4.2 menunjukkan tampilan desa Tlogolele jika dilihat dari Satelit yang

dikembangkan oleh Google Maps.

Gambar 5.4.2 Peta Satelit untuk desa Tlogolele

Page 14: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

42

Gambar 5.4.3 Peta administratif desa Tlogolele.

Gambar 5.4.4 menunjukkan peta administratif desa tlogolele lengkap dengan peta

bencana yang meliputi Erupsi, puting beliung, kekeringan, tanah longsor dan

gempa. Bagian tersebut menunjukkan tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap

adanya bencana.

Gambar 5.4.4 Peta zonasi bahaya gunungapi

Aplikasi yang dikembangkan juga memberikan fasilitas pembelajaran tentang

seputar tektur geografis seputar Gunung Merapi, kejadian perubahan iklim dan

Page 15: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

43

juga pembelajaran untuk penanganan bencana seperti yang nampak pada gambar

5.4.5 dan gambar 5.4.6

Gambar 5.4.5 Pembelajaran Kondisi Gunung Merapi

Gambar 5.4.6 Pembelajaran Kondisi Gunung Merapi

Page 16: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

44

5.5 MODEL ADAPTASI BUDIDAYA PERTANIAN TERHADAP

PERUBAHAN IKLIM

5.5.1. Potensi dan Keragaan Hasil Pertanian

Paparan berikut diharapkan dapat menggambarkan potensi, trend hasil

produksi, pola budidaya pertanian dan hasil produksi pertanian.

Sebagai daerah penyangga Taman Nasional Gunung Merapi, penggunaan

lahan di Desa Tlogolele didominasi hutan Negara, diikuti tegal/kebun,

pekarangan, penggunaan lain serta sawah di dukuh Tlogomulyo. Hal ini sesuai

dengan zona agroekologi Desa Tlogolele yang sesuai untuk usaha tani

Gambar 5.5.1.1 Tata guna lahan Desa Tlogolele (diolah dari Kecamatan Selo

dalam Angka, 2011)

Keragaan produksi tanaman pangan penghasil karbohidrat

Tabel 5.5.1.1 Produksi Padi, Jagung dan Ubi kayu

Komoditas Unsur Produksi 2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Padi sawah luas panen (ha) 9 9 15 18 23 14 14

produktivitas kw/ha 48.89 48.89 43.33 43.33 43.34 43.34 30.2

produksi (ton) 44 44 65 78 100 61 45

Jagung luas panen (ha) 597

128

16 35

produktivitas kw/ha 41.46

45

45.63 45.55

produksi (ton) 2485

576

73 158

Ubi kayu luas panen (ha)

1

1 5

produktivitas kw/ha

160

150 150

produksi (ton)

16

15 80

Sumber: diolah dari Kecamatan Selo dalam Angka, 2004-2011)

Sawah 6% pekarangan

bangunan 21%

Tegal/kebun 24%

Hutan negara

32%

Lainnya 17%

Page 17: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

45

Pengurangan produksi padi sawah disubstitusi dengan peningkatan

penanaman jagung dan ubi kayu. Menurut responden hal tersebut dikarenakan

oleh berkurangnya air irigasi dan panjangnya musim kemarau.

Gambar 5.5.1.2 Hubungan antara curah hujan tahunan dengan produksi padi

Keragaan produksi tanaman sayuran

Jenis tanaman sayuran yang dibudidayakan adalah bawang daun, wortel,

kubis, sawi, cabe, tomat, buncis dan mentimun dengan andalan kubis, cabe dan

tomat. Tidak diketemukan indikasi perubahan jenis tanaman, yang ada hanyalah

perubahan luasan disesuaikan dengan musim tanam/.ketersediaan air. Pergeseran

dari pengurangan luasan wortel dan kubis (pembentukan umbi maupun krop)

menjadi peningkatan luasan sawi yang secara agroekologi umurnya lebih pendek.

Substitusi peningkatan luasan cabe yang dibarengi dengan pengurangan luas

tanaman tomat (semuanya ditumpangsarikan dengan tembakau)

Tabel 5.5.1.2 Produksi tanaman sayuran

Komoditas Unsur Produksi 2003 2006 2007 2009 2010

Bawang merah luas panen (ha) 4 3 6 2

produksi (kw)

295 285 650 240

Bawang daun luas panen (ha) 37 77 48 31 30

produksi (kw) 3784 7143 7143 2635 3750

Wortel luas panen (ha) 76 94 69 56

produksi (kw) 11949 7708

6555 5050

Kubis luas panen (ha) 17 125 59 50

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

2007 2008 2009 2010

cura

h h

uja

n t

ahu

nan

(m

m)

Tahun

curah hujan

produksi (kw)

Page 18: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

46

produksi (kw) 2439 15750

6972 7800

Sawi luas panen (ha) 32 29 49 24 80

produksi (kw) 4254 1684 3231 1584 8400

Cabe luas panen (ha) 1 3 19 7 9

produksi (kw) 73 152 905 686 530

Tomat luas panen (ha) 8 7 20 10 8

produksi (kw) 1254 470 1500 1400 940

Terung luas panen (ha)

2 2

produksi (kw)

130 250

Buncis luas panen (ha) 1 16 23 18 18

produksi (kw) 93 544 690 1044 1440

Mentimun luas panen (ha) 2 6 7 10

produksi (kw)

256 958 833 1350

Labu siam luas panen (ha)

3 2 2 3

produksi (kw)

1647 1551 3244 1550

Sumber: Diolah dari Kecamatan Selo dalam angka 2014-2011

Keragaan tanaman perkebunan

Hasil tanaman perkebunan utama dari Tlogolele adalah tembakau yang

ditanam saat MK2. Penanaman tembakau dilakukan dengan sistem tumpangsari

dengan sayuran semisal dengan kubis/sawi maupun dengan tomat.

Tabel 5.5.1.3 Produksi tanaman perkebunan

Komoditas Unsur Produksi 2003 2006 2007 2009 2010

tembakau luas panen (ha) 33 48 48 115 115

prod (kg) 27861 26400 27346 94875 94875

jahe luas panen (ha)

0.5

0.2

prod (kg)

4000

2500

khina luas panen (ha)

0.6 0.6

prod (kg)

672 720

kayu manis luas panen (ha)

0.6 1 1

prod (kg)

1400 1200 1300

Sumber: Diolah dari Kecamatan Selo dalam angka 2004-2011

Pola tanam yang paling banyak diusahakan oleh petani Tlogolele adalah

cabai merah keriting-kubis pada MH, tomat – brokoli pada MK2 dan hampir

semua responden menanam tembakau pada MK2. Penanaman dilaksanakan secara

tumpang sari maupun tumpang gilir. Sebagai bagian dari Kecamatan Selo sentra

Page 19: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

47

produksi sayuran dan tembakau, memiliki prinsip selama musim penghujan

menanam sayur dan pada saat kemarau mengusahakan tembakau.

Tanaman tembakau sangat peka terhadap kelebihan air baik pada daerah

perakaran maupun helaian daunnya. Kondisi kering saat memasuki masa produksi

maupun penanganan pasca panen menjadi faktor penentu keberhasilan panen.

MH MK1 MK2

Cabai merah keriting Tomat Tembakau

Kubis Brokoli Kubis

Tomat Sawi

Brokoli Kubis

Sawi Cabai merah keriting

Gambar 5.5.1.3 Pola tanam petani tembakau Tlogolele

Keragaan Produksi ternak

Hasil ternak utama adalah sapi baik potong maupun perah, ternak sedang

(kambing dan domba) serta unggas. Selain produksi utama (daging, susu maupun

telur) keberadaan ternak sangat berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan

tenaga dan pupuk kandang.

Tabel 5.5.1.4 Produksi Ternak

Ternak Unsur Produksi 2003 2006 2007 2009 2010

sapi potong pemilik (orang) 34 209 88 138 100

ternak (ekor) 48 280 137 193 402

sapi perah pemilik (orang)

518 232 102 402

ternak (ekor)

1194 1013 294 512

kuda pemilik (orang)

1 2 1

ternak (ekor)

1 2 1

kambing pemilik (orang)

15 18 20 124

ternak (ekor)

35 74 48 272

domba pemilik (orang)

18 13 10 98

ternak (ekor)

35 67 44 196

kelinci pemilik (orang)

15

ternak (ekor)

45

ayam buras pemilik (orang) 699 441 462 774 125

ternak (ekor) 1030 2252 2231 4262 375

itik pemilik (orang) 30 7

3

ternak (ekor) 273 43

32

telur ayam buras ternak (ekor) 98598 29874 83663

3867

Diolah dari Kecamatan Selo dalam angka 2004-2011

Page 20: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

48

5.5.2. Persepsi Masyarakat atas Fluktuasi Produksi

Paparan berikut diharapkan dapat menggambarkan faktor penyebab serta

terumuskannya akar permasalahan utama fluktuasi produksi pertanian masyarakat.

Menurut persepsi responden fluktuasi produksi terutama disebabkan oleh faktor

alam yaitu perubahan cuaca yang berkenaan dengan kekeringan, kurangnya air

irigasi, erupsi serta faktor pengelolaan terutama pengendalian OPT. Hal ini

mengindikasikan akar masalah kesiapan dan kesigapan petani atas gejala alam

yang diwujudkan melalui pengelolaan lahan. Ketersediaan sistem informasi baik

iklim maupun bencana dari daerah lereng gunung berapi aktif sangat membantu.

Juga penyiapan masyarakat baik melalui pembacaan tanda alam maupun kemasan

teknologi berperan penting dalam memadukan mitos dengan teknos.

Tabel 5.5.2.1 Persepsi responden atas Penyebab Fluktuasi Produksi

Penyebab Fluktuasi Produksi % Jawaban Responden

Perubahan iklim/cuaca 100

Kekeringan

100

Erupsi gunung Merapi 98

Adanya serangan HPT/OPT 90

Tidak adanya sistem irigasi 98

Kurangnya perhatian petani 98

Sumber: diolah dari data primer (2013)

Untuk mengatasi fluktuasi produksi, seluruh responden menerapkan

pengelolaan iklim mikro dengan pemakaian mulsa plastik. Sungguh menarik

mengamati hampir seluruh permukaan lereng gunung berselimutkan mulsa

plastik. Metode ini memiliki banyak keunggulan yaitu mengurangi evaporasi air

tanah, mengurangi fluktuasi suhu, menekan pertumbuhan gulma sehingga

mengurangi tenaga kerja untuk penyiangan. Dampak langsung dari penutupan

mulsa ini adalah sangat terbatasnya bidang resapan air, sehingga cukup banyak air

hujan yang tidak terinfiltrasi ke dalam tanah namun mengalir sebagai aliran

permukaan. Dengan tekstur tanah berpasir laju infiltrasi dapat ditingkatkan

sekaligus mengurangi aliran permukaan dengan penerapan teknik rorak.

Penyemprotan pestisida secara lebih intensif menjadi pilihan utama petani

dalam pengendalian OPT dan seturut dengan data belum separuh responden

menerapkan pengendalian OPT dengan PTT. Pemanfaatan materi lokal sebagai

Page 21: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

49

pestisida nabati sebagai bagian LEISA (Low External Input for Sustainable

Agriculture) dapat lebih ditingkatkan.

Mengurangi risiko fluktuasi produksi melalui penerapan sistem tumpang

sari dilaksanakan oleh 80% responden. Penerapan sistem tumpang sari juga

berkaitan dengan efisiensi pemanfaatan lahan dan keseimbangan neraca hara.

Tabel 5.5.2.2 Upaya responden mengatasi fluktuasi produksi

Mengatasi Fluktuasi % Responden

Pengendalian iklim mikro (pemakaian mulsa,

dll) 100

Penyemprotan pestisida secara lebih intensif 96

Pengendalian HPT dengan teknik PHT 48

Menerapkan sistem tanam tumpang

sari/tumpang gilir 80

Sumber: diolah dari data primer (2013)

5.5.3. Persepsi dan Adaptasi Budidaya atas Perubahan Iklim

Paparan berikut diharapkan dapat memberikan gambaran upaya adaptasi

yang dilakukan atas dasar pemahaman responden akan fenomena perubahan

iklim.

Pemahaman responden atas fenomena perubahan iklim mempengaruhi

persepsi akan dampak perubahan iklim terhadap kegiatan bercocok tanam yang

dirasakan petani pada kontinuitas ketersediaan air dan masalah OPT. Perilaku

hujan mempengaruhi simpanan air bumi di daerah hulu sebagai penyedia air bagi

masyarakat di sekitarnya. Perpaduan peningkatan penguapan air oleh peningkatan

suhu dan penyusutan ketersediaan air dirasakan oleh petani sebagai bencana

kekeringan. Perubahan iklim mikro di lahan pertanian juga ditengarai

mengakibatkan mempengaruhi jenis dan tingkat serangan OPT.

Tabel 5.5.3.1 Persepsi responden terhadap pengaruh perubahan iklim atas

kegiatan pertanian

Persepsi pengaruh perubahan iklim atas kegiatan pertanian % responden

Pertimbangan faktor cuaca dalam kegiatan

pertaniannya 70

Kondisi iklim saat ini mempengaruhi ketersediaan air

untuk pertanian 98

Page 22: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

50

Kondisi iklim saat ini mempengaruhi jenis dan tingkat

serangan OPT 96

Sumber data primer (diolah), 2013

Upaya adaptasi atas perubahan iklim tersebut diwujudkan dalam

perubahan pertimbangan bercocok tanam. Bercocok tanam merupakan perpaduan

antara karakter tanaman, tanah dan iklim dan faktor iklim di luar kontrol petani

secara langsung. Adaptasi dilakukan dalam hal penetapan jenis tanaman,

pengaturan waktu tanam, pengolahan lahan, dan pengelolaan pupuk.

Tabel 5.5.3.2 Adaptasi budidaya tanaman atas perubahan iklim yang dilakukan

petani

Kegiatan Adaptasi yang dilakukan petani

Jenis Tanaman Ada air menanam sayuran, tidak ada air menanam

tembakau

Waktu Tanam Penanaman tembakau menunggu saat hujan hampir

habis

Cara mengolah tanah

Pemberian mulsa plastik untuk mengurangi

evaporasi

Dicangkul, diberi pupuk kandang, diberi mulsa

Pemberian Pupuk

Memperbanyak penggunaan kjotoran ayam dan

kotoran sapi untuk pupuk

Setelah tanaman lebih dari 15 hari baru dipupuk

Sumber data primer (diolah), 2013

5.5.4. Pengelolaan Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal

Paparan berikut diharapkan dapat menyediakan sejumlah data pengelolaan

pertanian berbasis pengetahuan dan kearifan lokal.

Pranata mangsa

Salah satu pengetahuan dan kearifan lokal yang dikenal oleh petani

Tlogolele adalah pranata mangsa. Beberapa responden hanya memilah mangsa

rendheng (hujan) dan ketiga (kemarau), beberapa memilah lebih detail menjadi

mangsa labuh (awal penghujan), rendheng (penghujan), mareng (awal kemarau)

dan ketiga (kemarau). Relevansi pengetahuan lokal tersebut semakin berkurang,

36% responden menyatakan sistem ini sudah tidak dapat diterapkan. Diperlukan

Page 23: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

51

sistem informasi iklim yang memiliki korelasi erat dengan kegiatan bercocok

tanam pada kondisi cuaca yang tidak menentu.

Tabel 5.5.4.1 Persepsi responden atas pranata mangsa

Pengetahuan lokal pranata mangsa % responden

Mengetahui 100

Tidak dipraktekkan

36

Masih dipraktekkan

64

Sumber data primer (diolah), 2013

Pranatamangsa merupakan kekayaan kearifan lokal, membaca dan

memaknai tanda-tanda alam dan menjadikannya sebagai

ketentuan/tuntunan/pedoman aktivitas yang bergantung pada kondisi alam seperti

kegiatan bertani secara alami. Ketentuan tersebut bersifat lokal/regional dan

temporal karena sangat dipengaruhi oleh kosmografi dan klimatologi setempat.

Pranata mangsa dalam versi Kasunanan yang berlaku untuk wilayah di antara

Gunung Merapi dan Gunung Lawu dapat dilihat pada prisma pranata mangsa

berikut.

Gambar 5.5.4.1 Prisma pranata mangsa

Hampir setiap daerah memiliki semacam pranatamangsa ini, Bali yang

kental dengan budaya dan pertanian memiliki Kerta Masa, etnik Jerman mengenal

Bauernkalendar atau “penanggalan untuk petani”, Jepang juga menganut tanda-

tanda alam untuk aktivitasnya.

Bercocok tanam dan konservasi tanah

Dari hasil pengamatan lapang, petani di Desa Tlogolele menerapkan

berbagai tindakan konserasi diantaranya rumput penguat teras, pemakaian mulsa,

Page 24: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

52

penataan arah guludan, tumpangsari. Juga adanya bangunan konservasi tanah dan

air semisal teras, saluran pembuangan air (SPA), rorak.

Beberapa pengetahuan dan kearifan lokal berkenaan dengan konservasi

tanah semisal bertanam secara nyabuk gunung (memotong lereng atau searah

kontur) tidak terlalu kelihatan. Hanya penterasan searah kontur yang dijumpai.

Gejala klasik yang dijumpai pada lahan pertanian tembakau, petani enggan

menanam searah dengan kontur dengan alasan tanaman tembakau memerlukan

drainase yang tuntas, kompromi didapat dengan penanaman sedikit menyerong

terhadap lereng.

Keberadaan rorak sebagai trap pemerangkap tanah dan air yang tererosi

dimodifikasi dengan dialasi plastik sekalian difungsikan sebagai mini embung

penyimpan air hujan. Dengan model ini rendahnya kemampuan tanah berpasir

dalam menyimpan air sedikit diperbaiki.

Gambar 5.5.4.2 Komponen Konservasi Tanah: Teras, rumput penguat teras,

mulsa, rorak. SPA, arah guludan, tumpangsari

5.5.5. Model Adaptasi Pertanian Adaptif yang Siap Diaplikasikan dalam

Budidaya Pertanian

Tlogolele di daerah lereng G. Merapi diperhadapkan dengan kejadian

erosi, erupsi maupun perubahan iklim global. Untuk membuat kegiatan budidaya

adaptif terhadap kondisi tersebut perlu dimasukkan komponen konservasi lahan

dan pengendali aliran lahar. Komponen tersebut meliputi SPA dan rorak; mulsa

Page 25: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

53

dan arah guludan; teras dan rumput penguat lereng; dam Kali Apu infrastruktur

aliran lahar.

Komponen SPA dan rorak mengendalikan aliran limpasan air hujan dan

erosi yang potensial terjadi pada daerah berlereng dengan curah hujan yang tinggi.

Dengan SPA dan rorak sebanyak mungkin tanah dan air ditahan di lahan

pertanian.

Dam Kali Apu adalah bagian dari infrastruktur pengendalian lahar hujan

Gunung Merapi, dengan fungsi sebagai penahan sedimen maupun pengarah aliran.

Dam untuk mengantisipasi bahaya banjir lahar akibat jutaan meter kunik material

letusan di daerah puncak yang turun gunung bersama air hujan. Sebagian aliran

lahar hujan dari Merapi melewati Kali Apu sebelah Utara desa Tlogolele, kali

Trising batas Slatan desa Tlogolele, mengarah ke Barat Daya. Mengantisipasi

aliran lahar tersebut dibangun dam Kali Apu sebanyak 5 buah dengan kapasitas

hadang 650 000 meter3. Pembangunan dam disini sebagai konsekuensi logis

upaya meminimalkan dampak bahaya banjir lahar hujan.

Jenis usaha tani utama berupa tanaman sayuran-tembakau yang

diintegrasikan dengan ternak membentuk sistem yang saling menopang dan

berdampak pada pemeliharaan produktivitas tanah. Sementara Herawati (2011)

melaksanakan analisis peluang substitusi integrasi ternak domba dan sayuran pada

petani tembakau di daerah Temanggung untuk perbaikan lahan dan pendapatan

petani, masyarakat Tlogolele telah menerapkan konsep integrasi sayuran-

tembakau-ternak.

Sebagai desa teratas yang langsung berbatasan dengan Taman Nasional

Gunung Merapi, segala aktivitas volkanik gunung banyak mempengaruhi pola

bercocok tanam. Pemahaman masyarakat atas perilaku gunung berapi,

kemampuan memadukan nilai lokal dengan kekinian menjadi sangat penting.

Integrasi sistem informasi iklim, sistem informasi bencana dan nilai pengetahuan-

kearifan lokal terbangunlah Model Budidaya Pertanian Desa Berbasis

Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Desa Tlogolele: Upaya Adaptasi terhadap

Perubahan Iklim dan Tanggap Bencana Gunung Berapi.

Page 26: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

54

Gambar 5.5.5 Model Budidaya Pertanian Desa Berbasis Pengetahuan dan

Kearifan Lokal di Desa Tlogolele: Upaya Adaptasi terhadap Perubahan

Iklim dan Tanggap Bencana Gunung Berapi

SPA dan

Rorak Mulsa; arah

guludan

Penguatan teras

dengan pakan

ternak

Dam

pengendali

aliran lahar

Ternak

Pupuk

Kandang

Limbah

sayuran

Pola tanam

sayuran-

tembakau

Produktivitas Lahan

Pengetahuan dan Kearifan Lokal

S

i

s

t

e

m

I

n

f

o

r

m

a

s

i

K

l

i

m

a

t

o

l

o

g

i

S

is

te

m

I

n

f

o

r

m

a

si

B

e

n

c

a

n

a

Pertanian Adaptif terhadap Bencana

dan Perubahan Iklim

Page 27: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

55

5.5.6. Rancangan Rakitan Teknologi yang Bisa Beradaptasi

Berdasarkan analisis temuan lapang dan persepsi masyarakat, beberapa rancangan

rakitan teknologi yang potensial dapat beradaptasi meliputi:

1. Penguatan pemahaman pengendalian OPT melalui PTT. Pemanfaatan materi

lokal sebagai pestisida nabati sebagai bagian LEISA (Low External Input for

Sustainable Agriculture) dapat lebih ditingkatkan. Menarik untuk dikaji lebih

lanjut pemanfaatan ekstrak batang dan daun tua tembakau sebagai pestisida

nabati seperti yang dilaksanakan oleh petani di Lombok.

2. Penguatan integrasi ternak dibarengi dengan pengelolaan kompos

3. Pemanfaatan materi setempat hijauan lokal sebagai kompos serta penggunaan

mikroorganisme lokal (MOL)

4. Penguatan pemahaman budidaya tembakau di daerah belereng kompromi

antara keuntungan dan kesadaran peningkatan erosi serta pengelolaannya

5. Menjajagi peluang integrasi tembakau-kopi sebagai sarana pelestarian lahan

lereng Merapi dengan mengadopsi pola Tlahap yang telah dirintis di Tlahap

lereng Sindoro-Sumbing. Sebagai pertimbangan tanaman kopi Arabika telah

dikenal masyarakat Tlogolele dan banyak diusahakan oleh desa tetangga

semisal Desa Klakah, Jrakah, Lencoh, Suroteleng, Selo, Tarubatang dan

Senden

Page 28: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

56

5.6. Luaran Publikasi

No Waktu Judul Keterangan

Seminar

1 16 April

2013

Kajian Budidaya Pertanian

Berbasis Pengetahuan dan

Kearifan Lokal di Daerah

Lereng Gunung Berapi

Konser Karya Ilmiah FP UKSW, 16 April

2013

2 17 April

2013

Ngrowot dalam Perspektif

Kemandirian Pangan dan

Energi Berbasis Pertanian

(Sumbangan dari

Pengetahuan dan Kearifan

Lokal)

Seminar Nasional: Akselerasi Pembangunan

Pertanian Berkelanjutan Menuju

Kemandirian Pangan dan Energi. Surakarta

17 April 2013

Publikasi Melalui Weblog

1 Posted on

Maret 21,

2013

Antara Gareng dan

Garengpung

(Belajar dari Pengetahuan

dan Kearifan Lokal)

http://suprihati.wordpress.com/2013/03/21/a

ntara-gareng-dan-garengpung-belajar-dari-

pengetahuan-dan-kearifan-lokal/

2 Posted on

Mei 6,

2013

Gula Aren Kearifan Lokal

Masyarakat Gunung

http://suprihati.wordpress.com/2013/05/06/

gula-aren-kearifan-lokal-masyarakat-

gunung/

Ket: Pemenang Blog Give Away di

http://www.eviindrawanto.com/2013/05/pen

gumuman-hasil-ga-pertama-jurnal-evi-

indrawanto/

3 Posted on

Juni 6,

2013

Gunungan Gendul http://suprihati.wordpress.com/2013/06/06/

gunungan-gendul/

4 Posted on

September

15, 2013

Seri Tlogolele: Mbrebes mili

menjadi mbayu mili

http://suprihati.wordpress.com/2013/09/15/s

eri-tlogolele-mbrebes-mili-menjadi-mbayu-

mili/

5 Posted on

September

20, 2013

Seri Tlogolele: Dam Kali

Apu, simbol persahabatan

manusia dengan Gunung

Merapi

http://suprihati.wordpress.com/2013/09/20/

dam-kali-apu-simbol-persahabatan-dengan-

gunung-merapi/

Page 29: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

57

5.7. Foto kegiatan

Pemakalah pada Konser Karya Ilmiah FP UKSW dan Seminar Nasional di UNS

Sosialisasi bersama Tim dan Asisten Peneliti

Page 30: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

58

Dam Kali Apu, penahan dan pengendali aliran lahar

Pipanisasi di Tlogolele Aksesbilitas Desa Tlogolele

Pertanian Desa Tlogolele Tanah berpasir

Page 31: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

59

Penggunaan bahan organik

Peta Risiko Bencana Desa Tlogolele

Page 32: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

60

Wawancara dengan penduduk Tlogolele

Merapi dari Dk Stabelan, Desa Tlogolele

Page 33: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

61

Kegiatan FGD

Page 34: Bab 5. HASIL PENELITIAN 5.1. PROFIL DAERAH PENELITIAN 5.1

62

Menjelang penanaman MH 2013