bab 4 metode penelitianeprints.umm.ac.id/58698/4/bab iv.pdf39 bab 4 metode penelitian 4.1 jenis...
TRANSCRIPT
39
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian Post Test only with Control Group
Design, dilakukan pengamatan terhadap bentukan histopatologi ginjal tikus
putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar jantan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang sedangkan pembuatan sediaan
histopatologi di Laboratorium Kesima Patologi Anataomi. Penelitian
dilakukan pada bulan Desember 2019.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus)
Strain Wistar jantan.
4.3.2 Sampel
Penelitian ini menggunakan sampel tikus putih (Rattus norvegicus)
Strain Wistar jantan yang diambil dari populasi dan sesuai kriteria
inklusi.
4.3.3 Replikasi penelitian
Menurut Arifin dan Zahiruddin (2017) besar sampel ditentukan
dengan rumus Minimum and Maximum Sample Size for Three ANOVA
Designs, yaitu DF = N – k = kn – k = k (n – 1 ), dengan DF = Degrees
40
of Freedom (derajat kebebasan), N = total subjek, k = jumlah
kelompok, dan n = jumlah subjek per kelompok. Dengan mengatur
ulang rumus, n diberikan sebagai n = DF / k + 1.
Berdasarkan rentang DF yang dapat diterima, DF dalam formula
diganti dengan minimal (10) dan maksimal (20) untuk diperoleh jumlah
hewan minimal dan maksimal per grup :
Minimal n = 10 / k + 1
Maksimal n = 20 / k +1
Secara total, jumlah minimal dan maksimal yang dibutuhkan adalah :
Minimal N = minimal n X k
Maksimal N = maksimal n X k
Maka hasil besar sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Minimal n = 10 / 5 + 1
n = 2 + 1
n = 3 hewan
Maksimal n = 20 / 5 + 1
n = 4 + 1
n = 5 hewan
Jumlah minimal dan maksimal yang dibutuhkan adalah :
Minimal N = 3 X 5
N = 15 hewan
Maksimal N = 5 X 5
N = 25 hewan
41
Maka didapatkan hasil minimal jumlah sampel yaitu 15 hewan dan
maksimal 25 hewan.
Berdasarkan hasil perhitungan rumus diatas, jumlah sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 25 tikus yang dibagi menjadi 5
kelompok, sehingga tiap kelompok perlakuan terdiri atas 5 ekor tikus.
4.3.4 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel yang dilakukan peneliti meggunakan teknik
Random Sampling, yaitu pengambilan sampel dengan cara acak
sederhana.
4.3.5 Karakteristik sampel penelitian
4.3.5.1 Kriteria inklusi
1. Tikus putih (Rattus norvegicus)
2. Jenis kelamin jantan
3. Umur tikus 2-3 bulan
4. Berat tikus 150-200 gram
5. Tikus sehat: gerakan aktif, bulu tebal putih, dan mata jernih
4.3.5.2 Kriteria eksklusi
1. Tikus sakit sebelum penelitian yang ditandai dengan gerakan
tidak aktif, tidak mau makan dan minum, serta rambut kusam
dan rontok, serta feses lunak.
2. Tikus yang mati sebelum perlakuan
3. Tikus yang sebelumnya pernah diberi perlakuan untuk
eksperimen lain
42
4.3.5.3 Kriteria Drop Out
1. Tikus yang sakit selama perlakuan
2. Tikus yang mati selama perlakuan
4.3.6 Variabel penelitian
4.3.6.1 Variabel bebas
Variabel bebas dari penelitian ini ialah dosis ekstrak kurma
(Phoenix dactylifera) varietas ‘ajwa.
4.3.6.2 Variabel tergantung
Variabel tergantung dari penelitian ini adalah jumlah infiltrasi
sel radang ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar.
4.3.7 Definisi operasional
Tabel 4.1 Definisi operasional penelitian
N
o Variabel
Definisi
Operasional
Hasil Ukur /
Indikator Cara Ukur Alat Skala data
1. Ekstrak
buah
kurma
varietas
‘ajwa.
Kurma dibeli
dari toko
bursa sajadah
di malang dan
Pembuatan
ekstrak
dilakukan di
Laboratorium
Biomedik FK
UMM
Dosis I :
7,5mg/hari
selama 14 hari
Dosis II :
15mg/hari
selama 14 hari
Dosis III :
30mg/hari
selama 14 hari
Diberikan
peroral
mengguna
kan sonde
setiap hari
selama 14
hari
Timbang
an (Mili-
gram
Balance)
Kategorik
(Ordinal)
43
4.4 Alat dan Bahan Penelitian
4.4.1 Alat
4.4.1.1 Alat Pemeliharaan Tikus
a. Kandang pemeliharaan tikus
b. Botol minum tikus
c. Kawat kasa untuk penutup kandang
4.4.1.2 Alat untuk Membuat Ekstrak Buah Kurma (Phoenix dactylifera)
a. Sarung tangan (Handscoon)
b. Blender
2. Jumlah
infiltrasi
sel radang
ginjal
Menghitung
jumlah
infiltrasi sel
radang
limfosit, sel
plasma,
makrofag dan
eosinofil pada
intersisil
dengan
menggunakan
mikroskop
cahaya dengan
perbesaran
400x pada
ginjal dengan
5 lapang
pandang
Data disajikan
dalam bentuk
potongan
preparat dari
hasil
penelitian.
Jumlah
infiltrasi
sel radang
intersisil
pada tiap
lapang
pandang.
Mikros-
kop
cahaya
Numerik
(Ratio)
44
c. Beaker glass
d. Rotary evaporator
4.4.1.3 Alat untuk Induksi Kotrimoksazol
a. Sarung tangan (Handscoon)
b. Sonde oral 5 ml
c. Beaker glass
4.4.1.4 Alat untuk Membedah Tikus
a. Alat bedah minor set
b. Toples kaca
c. Kloroform
d. Papan bedah
e. Handscoen
f. Jarum pentul
4.4.1.5 Alat untuk pembuatan preparat histopatologi
a. Gelas piala
b. Gelas ukur
c. Object glass
d. Cover glass
e. Kotak lembab
f. Mikrotom
g. Mikropipet
h. Mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera
45
4.4.2 Bahan
4.4.2.1 Bahan untuk pemeliharaan tikus putih
a. Makanan tikus standar
b. Aquades
4.4.2.2 Bahan untuk membuat ekstrak buah kurma (Phoenix dactylifera)
a. Buah kurma varietas ‘ajwa
b. Metanol
4.4.2.3 Bahan untuk membuat bahan induksi kotrimoksazol
a. Kotrimoksazol
b. Aquades
4.4.2.4 Bahan untuk membedah tikus
Kloroform
4.4.2.5 Bahan untuk pembuatan preparat histopatologi
a. larutan Bouin
b. alkohol
c. silol
d. paraffin
e. NaCl fisiologis 0,9%
f. Hidrogen peroksida (H2O2)
g. Hydrophobic marker
h. 3,3- diaminobenzidine (DAB)
i. 0,01 M phosphate buffer saline (PBS) pH 7,4
j. Medium perekat entellan dan aquades
46
4.5 Dasar Penentuan Dosis
4.5.1 Dasar penentuan dosis kotrimoksazol
Dalam penelitian Mozaffari dan Rashidi (2007) pemberian
kotrimoksazol (15mg/100grBB sulfa methoxazole + 3mg/100grBB
trimethoprim) selama 10 hari menunjukkan hasil yang signifikan
menyebabkan akut intersisial nefritis. Sehingga dalam penelitian ini,
dosis kotrimoksazol yang digunakan sebagai bahan penginduksi adalah
sebesar 18mg/100grBB atau 36mg/200grBB /hari
4.5.2 Dasar penentuan dosis ekstrak kurma (Phoenix dactylifera)
Dalam penelitian sebelumnya telah menunjukkan dengan dosis
15mg/hari selama 14 hari mampu menurunkan kerusakan histopatologis
ginjal tikus yang diinduksi Aflatoxin B1. (Al-Ghasham et al., 2008) dan
dikuatkan dengan penelitian lainnya menggunakan hewan coba kelinci
dengan hasil penelitian yang signifikan mampu mempertahankan
bentukan sel organ salah satunya organ ginjal dengan rumus konversi
ditemukan dosis yang sama (Ragab et al., 2013)
Berdasarkan penelitian tersebut, penelitian ini akan menggunakan
dosis 1/2n, n, dan 2n yaitu: 7,5mg/ hari, 15mg/hari, dan 30mg/hari.
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Proses adaptasi
Proses adaptasi hewan coba dalam kandang pada hari ke-1 sampai
hari ke-7 dengan tujuan agar tikus menyesuaikan diri terhadap
lingkungan yang baru. Selama adaptasi tikus diberikan pakan standar
47
BR-1 & aquades, kandang tikus diatur dengan pencahayaan sedang
sehingga tikus tidak mudah stress, serta tikus dilatih penggunaan sonde
sehingga ketika perlakuan tikus tidak kaget.
4.6.2 Pembagian kelompok dan perlakuan tikus
Setelah diadaptasikan selama 7 hari, 25 ekor tikus putih (Rattus
norvegicus) Strain Wistar jantan dibagi menjadi 5 kelompok dan tiap
kelompok terdiri dari 5 ekor tikus yang masing-masing kelompok
ditempatkan pada kandang yang terpisah. Kemudian dilakukan
perlakuan sebagai berikut:
a. Kontrol negatif : Diberi pakan standar BR-1 serta minum aquades.
b. Kontrol positif : Diberi pakan standar BR-1 serta minum aquades,
kemudian dinduksi kotrimoksazol 36mg/200grBB/hari selama 14
hari dengan sonde oral.
c. Perlakuan 1 : Diberi pakan standar BR-1 serta minum aquades,
kemudian diberikan ekstrak kurma (Phoenix dactylifera) ‘ajwa
sebanyak 7,5mg/hari tikus dengan sonde oral dan dinduksi
kotrimoksazol 36mg/200grBB/hari selama 14 hari dengan sonde.
d. Perlakuan 2 : Diberi pakan standar BR-1 serta minum aquades,
kemudian dan diberikan ekstrak kurma (Phoenix dactylifera)‘ajwa
sebanyak 15mg/hari dengan sonde oral dan dinduksi kotrimoksazol
36mg/200grBB/hari selama 14 hari dengan sonde.
e. Perlakuan 3 : Diberi pakan standar BR-1 serta minum aquades,
kemudian dan diberikan ekstrak kurma (Phoenix dactylifera) ‘ajwa
48
sebanyak 30mg/hari dengan sonde oral dan dinduksi kotrimoksazol
36mg/200grBB/hari selama 14 hari dengan sonde
Pada hari ke-22, semua tikus dimatikan dan dibedah untuk
pembuatan preparat histologi sel ginjalnya.
4.6.3 Pembuatan ekstrak buah kurma (Phoenix dactylifera)
Pembuatan ekstrak dilakukan di Materia Medika, Batu dengan cara
buah kurma (Phoenix dactylifera) varietas ‘ajwa yang sudah dibeli
dibersihkan dan dicuci dengan air, kemudian buah kurma dipisahkan
dari bijinya. Lalu daging buah kurma ditimbang dan dipotong 1-2 cm
agar mempermudah proses blender. Daging buah kurma dihaluskan
menggunakan blender tanpa campuran air. Selanjutnya dilakukan
maserasi atau perendaman menggunakan metanol 500 ml. Sehingga
diperoleh perbandingan antara berat daging buah kurma dengan
pelarutnya 1:7. Pada penelitian ini perendaman dilakukan selama 48
jam, yakni pada 24 jam pertama diaduk, selanjutnya 24 jam kemudian
didiamkan. Perendaman dan pengadukan secara bergantian berfungsi
untuk menarik senyawa aktif yang ada di dalam kurma. Proses
penyaringan diulangi sekurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah
pelarut yang sama untuk mendapatkan hasil metabolit sekunder dengan
maksimal. Filtrat diuapkan dan dipekatkan dengan rotary evaporator
dengan suhu ±60oC sampai diperoleh ekstrak kental selama ±1 jam/1
liter ekstrak.
49
4.6.4 Pemberian bahan penginduksi (kotrimoksazol)
Tikus putih (Rattus novergicus) Strain Wistar jantan diberikan obat
kotrimoksazol dengan dosis sebesar 36mg/200grBB/hari per oral, satu
kali sehari selama 14 hari.
4.6.5 Proses anastesi dan pembedahan hewan coba
a. Proses Anastesi :
Proses anastesi dilakukan satu persatu terhadap hewan coba yaitu
dengan memasukan hewan coba ke dalam toples kaca yang berisi
kapas yang sudah dicampur dengan kloroform. Anastesi dilakukan
secara inhalasi pada hewan coba dengan dosis eter ± 0,67ml/hewan
coba selama ± 60 detik yang dihitung dengan menggunakan
stopwatch (Alexandru, 2011).
b. Proses Pembedahan
Setelah hewan coba teranastesi dengan baik (keadaan pingsan),
hewan coba diletakkan pada meja lilin dan keempat kaki hewan coba
difiksasi terhadap meja lilin dengan menggunakan jarum pentul.
Dengan menggunakan gunting bedah, dilakukan pembedahan pada
abdomen untuk diambil organ ginjalnya (Alexandru, 2011).
4.6.6 Membuat sediaan histopatologi ginjal
a. Segera setelah hewan mati mengambil organ ginjal yang akan
digunakan untuk preparat histologis
b. Kemudian dicuci dengan 0,9% NaCl fisiologis
50
c. Lalu dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin (dengan komposisi
asam pikrat jenuh : formalin pro-analisis : asam asetat glacial =
15:5:1) selama 24 jam.
d. Setelah terfiksasi dilakukan perendaman dengan menggunakan
alkohol 70% selama 24 jam,
e. Dilanjutkan dengan alkohol 80% selama 2 jam
f. Selanjutnya direndam dalam alkohol 90% selama 20 menit
g. Tahapan selanjutnya adalah memindahkan ginjal pada xylol 1 dan 2
masing – masing 20 menit.
h. Xylol 3 dapat dilakukan pada suhu 60 – 63˚C selama 20 menit.
i. Selanjutnya ginjal dicelupkan dalam parafin cair pada wadah.
j. Setelah itu, parafin akan memadat dan ginjal berada dalam blok
parafin.
k. Jaringan dalam blok parafin disayat secara serial menggunakan
mikrotom rotary dengan ketebalan 5 μm dan dilekatkan pada gelas
obyek yang telah dilapisi dengan alkohol 70% atau 0,2% Neofren®
dalam toluene
l. Kemudian disimpan dalam inkubator 400C selama 24 jam.
(Peckam, 2014)
4.6.7 Prosedur pulasan HE:
1) Dilakukan deparafinisasi dalam : larutan xylol I selama 5 menit,
larutan xylol II selama 5 menit, etanol absolut selama 1 jam
51
2) Hydrasi dalam : alkohol 96% selama 2 menit, alkohol 70% selama 2
menit, air selama 10 menit
3) Pulasan inti : dengan Hematoksilin selama 15 menit, dibilas dengan
air mengalir, diwarnai dengan eosin selama maksimal 1 menit,
4) Dehidrasi : alkohol 70% selama 2 menit, alkohol 96% selama 2
menit, alkohol absolut 2 menit,
5) Penjernihan: xylol I selama 2 menit, xylol II selama 2 menit,
6) Mounting dengan entelan dan tutup dengan deck glass, cegah jangan
sampai ada gelembung udara.
(Peckam, 2014)
4.6.8 Pengamatan hasil
Pengamatan sediaan histopatologi ginjal dengan perbesaran 400x
pada mikroskop opticlab, perbesaran bertingkat 10x kemudian 40x pada
lensa obyektif dan 10x perbesaran lensa okuler. Sasaran yang diamati
adalah jumlah infiltrasi sel radang interstisial pada 5 lapang pandang
(Sugihartini & Fajri, 2016). Setelah dilakukan pengamatan dengan
opticlab, dilakukan pengambilan gambar histopatologi dan dikonsulkan
kepada ahli patologi anatomi.
4.6.9 Penanganan hewan coba setelah pembedahan
Hewan coba yang telah dibedah, pastikan bahwa hewan coba tidak
mengalami recovery. Sebelum mengubur hewan coba, dipastikan
bahwa denyut nadi sudah berhenti. Jika hewan coba mengalami
recovery maka harus dilakukan prosedur euthanasia, salah satunya
52
dengan prosedur Cervical Dislocation, yaitu dengan cara memisahkan
tengkorak dan vertebrae. Teknik ini dilakukan dengan memberikan
tekanan ke bagian posterior dasar tulang tengkorak dan vertebrae. Bila
vertebrae terpisah dari otak, reflek kedip menghilang dengan segera,
rangsangan rasa sakit menghilang sehingga hewan tidak merasakan
sakit. Bangkai tikus percobaan dikubur di tanah dengan kedalaman
minimal 50 cm dan luas lubang 0, 25 m². Setiap lubang hanya
digunakan untuk mengubur 10 tikus secara bersama, hal ini untuk
mencegah bangkai tikus digali oleh hewan lain seperti kucing. Lubang
ditutup kembali dengan tanah lalu lubang dipadatkan agar tidak tercium
bau dari bangkai tikus tersebut ( University of Texas at Austin, 2018)
53
4.7 Kerangka Operasional Penelitian
Tikus putih jantan 25 ekor
Adaptasi hewan coba selama 7 hari
Kelompok
Kontrol Negatif
Kelompok
Kontrol Positif
Kelompok
Perlakuan II
Kelompok
Perlakuan III
Kelompok
Perlakuan I
Dekapitasi tikus dengan metode inhalasi 0,67 ml kloroform di hari ke-22
Pembuatan Sediaan Histopatologi Ginjal
Pengamatan Hasil
Pengamatan sediaan histopatologi ginjal dengan perbesaran
400x pada mikroskop, menghitung jumlah infiltrasi sel radang
interstisial pada 5 lapang pandang
Analisis Data
Analisis data menggunakan Shapiro-wilk, Levene, One Way
ANOVA dan Post hoc
pembedahan hewan coba dan diisolasi organ ginjalnya
Induksi
kotrimoksazol
36mg/200gr
BB /hari
selama 14 hari
(p.o)
Pemberian
ekstrak kurma
7,5mg/200
grBB/ hari
(p.o)
kemudian dinduksi
kotrimoksazol
36mg/200grB
B /hari
selama 14
hari (p.o)
Pemberian
ekstrak kurma
30mg/200
grBB/ hari
(p.o)
kemudian
dinduksi
kotrimoksazol
36mg/200grBB /hari
selama 14
hari (p.o)
Pemberian
ekstrak kurma
15mg/200
grBB/ hari
(p.o)
kemudian
dinduksi
kotrimoksazol
36mg/200grBB /hari
selama 14
hari (p.o)
Tanpa
perlakuan
54
4.8 Analisis Data
Data-data dalam penelitian ini dianalisis dengan uji normalitas dan
homogenitas terlebih dahulu. Tahapan uji sebagai berikut :
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data normal atau
tidak dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Sebaran data dikatakan
normal apabila sig > 0,05. Apabila sebaran data tidak normal, maka
dilakukan transformasi data terlebih dahulu. Apabila hasil transformasi
data normal, dilanjutkan dengan uji One Way Anova dan. Apabila sebaran
data tetap tidak normal, maka menggunakan uji Kruskal-Wallis dan uji
Post-Hoc Mann-Whitney.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui varian atau kehomogenan
data yang diperoleh dengan menggunakan uji Levene Test. Data dikatakan
homogen apabila sig > 0,05. Sebaliknya jika sig < 0,05 maka ragam tidak
homogen.
c. Uji One Way Anova
Apabila sebaran data normal, maka dilanjutkan dengan uji One Way
Anova untuk membuktikan adanya perbedaan bermakna antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan. Apabila dihasilkan perbedaan yang
signifikan (p < 0,05) maka dilanjutkan dengan Uji Post-Hoc.
55
d. Uji Post-Hoc
Uji Post-Hoc dilakukan untuk mengetahui kelompok mana yang
memiliki perbedaan yang signifikan. Dari hasil homogenitas, apabila
ragam homogen maka digunakan Uji Post-hoc Benferoni. Sebaliknya,
apabila ragam tidak homogen menggunakan Uji Games-Howell.
Proses perhitungan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak
komputer program SPSS 24 for windows.