bab 3 dan 4, gol

44
BAB 3 PERMASALAHAN Permasalahan pada kasus ini adalah : 1. Apakah penyebab kematian pada pasien ini? 2. Apakah diagnosis serta penatalaksanaan pasien ini sudah tepat? 3. Apakah kematian pada pasien ini bisa dicegah? 9

Upload: gol777

Post on 13-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

GOL

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 3 dan 4, GOL

BAB 3PERMASALAHAN

Permasalahan pada kasus ini adalah :

1. Apakah penyebab kematian pada pasien ini?

2. Apakah diagnosis serta penatalaksanaan pasien ini sudah tepat?

3. Apakah kematian pada pasien ini bisa dicegah?

9

Page 2: BAB 3 dan 4, GOL

BAB 4PEMBAHASAN

4.1 Penyebab Kematian pada Pasien

Kematian pada pasien ini adalah akibat dari syok hipovolemik yang

disebabkan perdarahan pascapersalinan akibat placenta akreta. Pasien

meninggal setelah pasca seksio sesarea dengan APB dengan placenta previa

totalis, Bekas SC, Syok Hypovolemik dengan HPP dengan placenta akreta, post

ligasi ateri uterina ascenden D/S, Ligasi arteri ovarika D/S, post cardiac arrest

post RJP 1x, Penurunan kesadaran, cardiac arrest, post pemasangan kondom

kateter.

Plasenta akreta menyebabkan 7% -10% dari kasus kematian ibu di dunia.

Plasenta perkreta adalah tipe yang jarang, jika tidak didiagnosis dini, dapat

menyebabkan morbiditas berat maternal. Seksio sesarea sebelumnya dan

operasi intrauterin merupakan faktor risiko yang paling umum untuk plasenta

akreta maupun perkreta. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa tingkat

operasi caesar telah meningkat di AS dari 5,5% pada tahun 1970 menjadi 32,8%

pada tahun 2010.2 Jika tingkat operasi caesar terus meningkat pada tingkat saat

ini, lebih dari 50% dari semua kelahiran di AS diperkirakan dilakukan dengan

operasi caesar pada tahun 2020. Hal ini bisa mengakibatkan lebih dari 6000

kasus plasenta previa, 4500 kasus plasenta akreta, dan 130 kematian ibu.

(Sivasankar, 2012)

4.1.1 Plasenta Akreta

Istilah plasenta adhehernt adalah implantasi abnormal plasenta ke

dinding rahim dan terbagi menjadi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta.

Plasenta akreta adalah plasenta dimana vili dari plasenta menginvasi langsung

ke miometrium; plasenta inkreta adalah plasenta dimana vili plasenta

menginvasi ke dalam miometrium; dan plasenta perkreta adalah plasenta

dimana vili plasenta menginvasi lebih dalam dari miometrium hingga ke serosa

bahkan sampai ke organ intraabdomen lainnya misalkan kandung kemih.

Sekitar 75% dari plasenta adherent adalah plasenta akreta, 18% inkreta, dan

7% adalah plasenta perkreta. Kedalaman dari invasi plasenta merupakan hal

10

Page 3: BAB 3 dan 4, GOL

yang penting secara klinis karena managemen intervensi bergantung padanya.

Plasenta akreta dapat dibagi lagi menjadi plasenta akreta total, plasenta akreta

parsial, dan plasenta akreta fokal berdasarkan jumlah jaringan plasenta yang

terlibat dalam invasi ke miometrium.

Patogenesis plasenta akreta tidak jelas; namun ada beberapa teori yang

diusulkan. Abnormal vaskularisasi yang dihasilkan dari proses jaringan parut

setelah operasi dengan sekunder hipoksia lokal yang mengarah ke rusaknya

desidualisasi dan invasi trofoblas yang berlebihan tampaknya menjadi hal yang

paling menonjol, atau setidaknya merupakan teori yang paling didukung

sampai saat ini, menjelaskan patogenesis plasenta akreta pada tahap ini. (Eliza,

2013)

4.1.1.1 INSIDEN DAN FAKTOR RISIKO

Insiden plasenta akreta telah meningkat dan tampaknya berbanding lurus

dengan tingkat kelahiran sesar yang meningkat. Peneliti telah melaporkan

kejadian plasenta akreta sebagai 1 dari 533 kehamilan untuk periode 1982-

2002 di Amerika. Hal ini meningkat dari laporan sebelumnya, yang berkisar 1

dari 4.027 kehamilan pada tahun 1970, meningkat menjadi 1 dalam 2.510

kehamilan pada tahun 1980.

Wanita yang paling berisiko mengalami plasenta akreta adalah mereka

yang telah mempunyai kerusakan miometrium yang disebabkan oleh operasi

sesar sebelumnya dengan baik plasenta previa anterior atau posterior yang

melintasi parut uterus. Para penulis dari sebuah studi menemukan bahwa

dengan adanya suatu plasenta previa, risiko plasenta akreta adalah 3%, 11%,

40%, 61%, dan 67% untuk pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima atau

lebih pada masing-masing riwayat operasi kelahiran sesar. (Sivasankar, 2012).

Faktor risiko tambahan yang dilaporkan untuk plasenta akreta meliputi usia

ibu dan multiparitas, bedah rahim lain sebelumnya, kuretase uterus

sebelumnya, ablasi endometrium, Asherman syndrome, leiomyoma, anomali

rahim, hipertensi dalam kehamilan, dan merokok. Meskipun ini dan faktor

risiko lain telah dijelaskan, kontribusi nyata akan frekuensi plasenta akreta

tetap belum diketahui. (AJOG, 2010)

11

Page 4: BAB 3 dan 4, GOL

Tabel 4.1 Frekuensi Placenta Akreta

4.1.1.2 DIAGNOSIS

1. ANAMNESIS DAN

PEMERIKSAAN KLINIS

Kebanyakan pasien dengan

plasenta akreta tidak menunjukkan gejala. Gejala yang berhubungan dengan

plasenta akreta mungkin termasuk perdarahan vaginal dan kram. Temuan ini

sebagian besar terlihat pada kasus dengan plasenta previa, yang merupakan

faktor risiko terkuat untuk plasenta akreta. Meskipun jarang, kasus dengan

nyeri akut abdomen dan hipotensi karena syok hipovolemik dari ruptur uteri

sekunder bisa karena plasenta perkreta. Skenario kritis ini dapat terjadi

setiap saat selama kehamilan dari trimester pertama hingga kehamilan aterm

dengan tidak adanya tanda-tanda persalinan.

Komplikasi plasenta akreta banyak dan mencakup kerusakan pada

organ-organ lokal, perdarahan pasca operasi, emboli air ketuban, DIC,

transfusi darah, sindrom gangguan pernapasan akut, tromboemboli pasca

operasi, morbiditas karena infeksi, kegagalan multisistem organ, dan

kematian. Komplikasi genital, saluran kemih yang umum dan termasuk

cystotomy pada sekitar 15% kasus dan cidera ureter sekitar 2% kasus. Oleh

karena itu diagnosis prenatal yang akurat sangat penting untuk

meminimalkan risiko ini. (Eliza, 2013)

2. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Ultrasonografi

12

Page 5: BAB 3 dan 4, GOL

Ultrasonografi transvaginal dan transabdominal adalah teknik

diagnostik pelengkap dan harus digunakan sesuai kebutuhan. USG

transvaginal aman untuk pasien dengan plasenta previa dan

memungkinkan lebih lengkap dalam hal pemeriksaan segmen bawah

rahim.

Secara keseluruhan, ultrasonografi grayscale cukup untuk

mendiagnosis plasenta akreta, dengan sensitivitas 77-87%, spesifisitas 96-

98%, nilai prediksi positif 65-93%, dan nilai prediksi negatif 98%.

Penggunaan daya Doppler, warna Doppler, atau pencitraan tiga dimensi

tidak secara signifikan meningkatkan sensitivitas diagnostik dibandingkan

dengan yang dicapai oleh ultrasonografi grayscale saja.(ACOG, 2012)

Ultrasonografi pada plasenta akreta dapat kita lihat seperti berikut

ini:

First Trimester

1) Sebuah kantung kehamilan yang terletak di segmen bawah uterus

telah berkorelasi dengan peningkatan insiden plasenta akreta pada

trimester ketiga.

2) Beberapa ruang pembuluh darah yang tidak teratur pada placental

bed pada trimester pertama berkorelasi dengan plasenta akreta.

3) Implantasi GS pada parut bekas luka caesar merupakan temuan yang

penting. Temuan sonografi implantasi bekas luka caesar termasuk GS

tertanam ke bekas luka kelahiran sesar pada daerah dari OUI pada

dasar kandung kemih (Gambar 4.1). Jika tidak ditangani, implantasi

bekas luka caesar dapat menyebabkan kelainan utama pada plasenta

seperti plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Penanganan implantasi

pada bekas luka caesar termasuk injeksi langsung pada kantung

kehamilan dengan methotrexate di bawah bimbingan USG.(Eliza,

2013)

13

Page 6: BAB 3 dan 4, GOL

Gambar 4.1. GS tertanam di Bekas Operasi

Meskipun ada laporan kasus terisolasi dari plasenta akreta

didiagnosis pada trimester pertama atau pada saat abortus usia kehamilan

< 20 minggu, nilai prediktif trimester pertama USG untuk diagnosis ini

masih belum diketahui. USG pada trimester pertama tidak boleh

digunakan secara rutin untuk menegakkan atau mengecualikan diagnosis

plasenta akreta. Atau, karena asosiasi mereka dengan plasenta akreta,

wanita dengan plasenta previa atau "plasenta letak rendah " yang

melintas pada bekas luka uterus pada awal kehamilan harus menjalani

follow up pencitraan pada trimester ketiga dengan memperhatikan

adanya potensi karena plasenta akreta.

Second and Third Trimesters

1) Beberapa vascular lacunae dalam plasenta telah memiliki korelasi

dengan sensitivitas yang tinggi (80% -90%) dan tingkat positif palsu

rendah untuk plasenta akreta (Gambar 4.2). Placenta lacunae pada

trimester kedua tampaknya memiliki sensitivitas dan positive

predictive value sangat tinggi dibanding marker lain untuk plasenta

akreta.

Gambar 4.2. Vaskular Lacunae pada plasenta

2) Kehilangan zona hipoekhoik retroplasenta yang normal, juga disebut

sebagai hilangnya ruang yang jelas antara plasenta dan rahim, adalah

14

Page 7: BAB 3 dan 4, GOL

salah satu penanda (Gambar 4.3). Temuan sonografi ini telah

dilaporkan memiliki tingkat deteksi sekitar 93% dengan sensitivitas

52% dan spesifisitas 57%. Nilai rerata false positive, bagaimanapun,

telah berada di kisaran 21% atau lebih tinggi. Penanda ini tidak boleh

digunakan sendiri, karena hal ini sangat tergantung pada sudut

pengambilan saat USG dan dapat absen pada plasenta anterior yang

normal.

Gambar 4.3. Kehilangan zona hipoekhoik retroplasenta

3) Kelainan pada permukaan antara serosa uterus dengan kandung kemih

termasuk gangguan garis, penebalan garis, ketidakteraturan garis, dan

peningkatan vaskularisasi pada pencitraan warna Doppler (Gambar

4.4) . Kelainan permukaan antara uterus serosa-kandung kemih ini

meliputi, penebalan, ireguleritas, peningkatan vaskularisasi, seperti

varises dan bulging plasenta ke dalam dinding posterior kandung

kemih.

Gambar 4.4. Kelainan pada permukaan antara serosa uterus dengan kandung kemih

15

Page 8: BAB 3 dan 4, GOL

Temuan USG di bawah ini berhubungan erat dengan sensitifitas

dan spesifisitas yang tinggi untuk plasenta akreta.

Ekstension dari vili ke dalam miometrium, serosa, atau

kandung kemih mengarahkan ke plasenta akreta.

Ketebalan miometrium retroplasenta kurang dari 1 mm

merupakan temuan yang karakteristik.

Aliran darah turbulen melalui lacunae pada Doppler sonografi

terkait dengan plasenta akreta.

Multipel vascular lacunae dalam plasenta, atau Swiss cheese

appearance, adalah salah satu yang paling penting sonografi plasenta

akreta di trimester ketiga. Patogenesis temuan ini mungkin terkait dengan

perubahan jaringan plasenta akibat paparan jangka panjang dari pulsatile

blood flow. Ketika multipel, terutama 4 atau lebih lacunae, temuan ini

telah berkorelasi dengan tingkat deteksi 100% untuk plasenta akreta.

Penanda ini juga memiliki tingkat positif palsu rendah, tetapi harus dicatat

bahwa plasenta akreta telah dilaporkan dengan tidak adanya multipel

vascular lacunae pada plasenta.(Eliza, 2013)

Tabel 4.2. USG Placenta akreta

Kriteria USG untuk plasenta akreta menurut RCOG Guideline

antara lain yakni:

Greyscale:

● Hilangnya zona sonolucent retroplasenta

● Zona sonolucent retroplasenta yang tidak teratur

16

Page 9: BAB 3 dan 4, GOL

● Penipisan atau gangguan dari hyperechoic serosa-bladder

interface

● Kehadiran massa exophytic fokal yang menyerang kandung

kemih

● abnormal placenta lacunae

Doppler:

● Difus atau fokal aliran lacunar

● danau vaskular dengan aliran turbulen (peak cystolic velocity >

15 cm /detik)

● Hipervaskularisasi serosa-bladder interface

● markedly dilated vessels over peripheral subplacental zon

3D Power Doppler:

● Banyak koheren pembuluh darah melibatkan seluruh pertemuan

antara serosa uterus dengan kandung kemih (basal viewl)

● Hipervaskularisasi (lateral view)

● Sirkulasi cotyledonal dan intervilli yang tak terpisahkan, chaotic

branching, detour vessels (lateral view).(RCOG, 2012)

b. Magnetic resonance imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging lebih mahal daripada ultrasonografi

dan membutuhkan baik pengalaman dan keahlian dalam evaluasi invasi

plasenta abnormal. Meskipun kebanyakan studi telah menyarankan akurasi

diagnostik yang sebanding MRI dan USG untuk plasenta akreta, MRI

17

Page 10: BAB 3 dan 4, GOL

dianggap sebagai modalitas tambahan dan menambahkan sedikit dengan

akurasi diagnostik ultrasonografi. Namun, ketika ada temuan USG ambigu

atau kecurigaan dari akreta plasenta posterior, dengan atau tanpa plasenta

previa, ultrasonografi mungkin tidak cukup. Sebuah studi prospektif seri

dari 300 kasus yang dipublikasikan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa

MRI mampu menguraikan anatomi invasi dan menghubungkannya dengan

sistem vaskular anastomosis daerah sekitar. Selain itu, penelitian ini

menunjukkan bahwa menggunakan MRI irisan aksial dapat

mengkonfirmasi invasi dari parametrium dan kemungkinan keterlibatan

ureter.

Kontroversi seputar penggunaan berbasis kontras gadolinium

meskipun menambah spesifisitas diagnosis plasenta akreta dengan MRI.

Penggunaan kontras gadolinium MRI memungkinkan untuk lebih jelas

melukiskan permukaan relatif luar plasenta terhadap miometrium dan

membedakan antara heterogen pembuluh darah dalam plasenta dari yang

disebabkan oleh pembuluh darah ibu. Ketidakpastian mengenai risiko efek

ke janin oleh gadolinium karena mampu melintasi plasenta dan mudah

memasuki sistem peredaran darah janin, The Contrast Media Safety

Committee of the European Society of Urogenital Radiology dari literatur

terakhir menentukan bahwa tidak ada pengaruh pada janin yang dilaporkan

setelah penggunaan media kontras gadolinium. Namun, American College

of Radiology guidance document for safe MRI practices

merekomendasikan bahwa gadolinium intravena harus dihindari selama

kehamilan dan harus digunakan hanya jika benar-benar penting.1

Peran MRI dalam mendiagnosis plasenta akreta masih

diperdebatkan. Dua studi banding terakhir telah menampilkan sonografi

dan MRI sebanding: dalam studi pertama 15 dari 32 wanita terdiagnosis

akreta (sensitivitas 93% dibandingkan 80% dan spesifisitas 71%

dibandingkan 65% untuk USG dibandingkan MRI); di studi kedua 12 dari

50 wanita akhirnya memiliki akreta dan MRI dan Doppler menunjukkan

tidak ada perbedaan dalam hal mendeteksi plasenta akreta (P = 0,74),

18

Page 11: BAB 3 dan 4, GOL

meskipun MRI lebih baik dalam mendeteksi kedalaman infiltrasi di kasus

plasenta akreta (P <0,001). Banyak penulis telah menganjurkan MRI bagi

perempuan yang pada temuan USGnya inconclusive.

Fitur MRI utama plasenta akreta meliputi:

● uterine bulging

● intensitas sinyal heterogen dalam plasenta

● dark intraplacental bands pada pencitraan T2.(RCOG, 2012)

Beberapa peneliti melaporkan bahwa tingkat sensitivitas MRI

80%-85% dengan spesifisitas 65%-100% dalam hal mendiagnosis plasenta

akreta.(Eliza, 2013)

c. Pemeriksaan laboratorium

Ada faktor risiko plasenta akreta yang dapat diperiksa dengan

skrining MSAFP seperti untuk cacat tabung saraf dan aneuploidies. Hung

dan temannya (1999) menganalisis lebih dari 9300 wanita diskrining untuk

Down syndrome pada 14 sampai 22 minggu. Mereka melaporkan 54 kali

lipat meningkat risiko untuk akreta pada wanita dengan plasenta previa.

Risiko untuk akreta meningka 8x lipat bila kadar MSAFP melebihi 2,5

MoM; itu meningkat 4x lipat ketika kadar free beta-hCG yang lebih besar

dari 2,5 MoM; dan itu meningkat tiga kali lipat saat usia ibu adalah 35

tahun atau lebih.(Cunningham, 2010)

d. Patologi Anatomi

Penegakan diagnosis plasenta akreta secara pasti dibuat

berdasarkan hasil dari patologi anatomi yang diperoleh setelah dilakukan

histerektomi. Diagnosis definitif tergantung pada visualisasi dari villi

chorialis yang menginvasi atau tertanam pada miometrium dengan tidak

adanya desidua di lapisan antara mereka.(Eliza, 2013)

4.1.1.3 MANAJEMEN

1. Manajemen antepartum

Karena perdarahan yang signifikan umum terjadi dan ada

kemungkinan dilakukan sesarean histerektomi akan diperlukan bila

plasenta akreta tegak didiagnosis, wanita dengan dicurigai plasenta

19

Page 12: BAB 3 dan 4, GOL

akreta harus dijadualkan untuk ditangani oleh RS dengan fasilitas bedah

yang lengkap dan memiliki bank darah yang dapat memfasilitasi

transfusi jumlah besar berbagai produk darah. Suplementasi dengan

besi oral dianjurkan untuk memaksimalkan simpanan zat besi dan daya

dukung oksigenasi.(AJOG, 2010)

Perencanaan persalinan mungkin melibatkan ahli anestesi,

dokter kandungan, dokter bedah panggul seperti ahli onkologi

ginekologi, ahli bedah intensiv, neonatologist, bedah urologi, ahli

hematologi, dan ahli radiologi intervensi untuk mengoptimalkan

outcome pasien. Untuk meningkatkan keselamatan pasien, adalah

penting bahwa persalinan dilakukan oleh tim obstetri berpengalaman

yang termasuk ahli bedah kebidanan, dengan spesialis bedah lainnya,

seperti urolog, dokter bedah umum, dan ahli ginekologi-onkologi,

tersedia jika diperlukan. Karena risiko kehilangan darah yang besar,

perhatian harus diberikan untuk kadar hemoglobin ibu sebelum operasi,

jika mungkin. Banyak pasien dengan plasenta akreta membutuhkan

kelahiran prematur darurat karena perdarahan banyak yang tiba-tiba.

Timing of delivery pada kasus dugaan plasenta akreta harus

individual. Keputusan ini harus dibuat bersama-sama dengan pasien,

dokter kandungan, dan neonatologist. Konseling pasien harus

mencakup diskusi kebutuhan potensial untuk histerektomi, risiko

perdarahan yang besar, dan kemungkinan kematian ibu. Meskipun

persalinan telah direncanakan, rencana kemungkinan persalinan darurat

harus dikembangkan untuk masing-masing pasien, yang mungkin

termasuk managemen perdarahan maternal.

Timing of delivery harus individual, tergantung pada keadaan

dan preferensi pasien. Salah satu pilihan adalah dengan melakukan

terminasi setelah paru janin matang yang dibuktikan dengan

amniosentesis. Namun, hasil analisis keputusan baru-baru ini

menyarankan untuk mengkombinasikan outcome ibu dan bayi

dioptimalkan pada pasien stabil dengan terminasi pada 34 minggu

20

Page 13: BAB 3 dan 4, GOL

kehamilan tanpa amniosintesis. Keputusan untuk pemberian

kortikosteroid antenatal dan waktu pemberiannya harus individual.

(ACOG, 2012). Pada sebuah studi yang melibatkan 99 kasus plasenta

akreta yang didiagnosis sebelum persalinan, 4 dari 9 dengan persalinan

>36 minggu diperlukan terminasi emergensi karena perdarahan. Jika

tidak ada perdarahan antepartum atau komplikasi lainnya, direncanakan

terminasi saat akhir prematur dapat diterima untuk mengurangi

kemungkinan persalinan darurat yang terjadi dengan segala

komplikasinya.(AJOG, 2010)

2. Manajemen preoperatif

Persalinan harus dilakukan dalam ruangan operasi dengan

personil dan dukungan pelayanan yang diperlukan untuk mengelola

komplikasi potensial. Penilaian oleh anestesi harus dilakukan sedini

mungkin sebelum operasi. Kedua teknik anestesi baik umum dan

regional telah terbukti aman dalam situasi klinis ini. Antibiotik

profilaksis diberikan, dengan dosis ulangan 2-3 jam setelah operasi atau

kehilangan darah 1.500 mL yang diperkirakan. Preoperatif Cystoscopy

dengan penempatan stent ureter dapat membantu mencegah cedera

saluran kemih. Beberapa menyarankan bahwa kateter Foley three way

ditempatkan di kandung kemih melalui uretra untuk memungkinkan

irigasi, drainase, dan distensi kandung kemih, yang diperlukan, selama

diseksi. Sebelum operasi, bank darah harus dipersiapkan terhadap

potensi perdarahan masif. Rekomendasi saat ini untuk penggantian

darah dalam situasi trauma menunjukkan rasio 1:1 PRC : fresh frozen

plasma. PRC dan fresh frozen plasma harus tersedia dalam kamar

operasi. Tambahan faktor koagulasi darah dan unit darah lainnya harus

diberikan dengan cepat sesuai dengan kondisi tanda-tanda vital pasien

dan stabilitas hemodinamik pasien.(ACOG, 2012)

USG segera pra operasi untuk pemetaan lokasi plasenta dapat

membantu dalam menentukan pendekatan optimal ke dinding perut dan

incisi rahim untuk memberikan visualisasi yang memadai dan

21

Page 14: BAB 3 dan 4, GOL

menghindari mengganggu plasenta sebelum pengeluaran janin.(AJOG,

2010)

3. Manajemen operatif

Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk kasus

yang dicurigai plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi sesarea

prematur dengan plasenta ditinggalkan in situ karena pengeluaran

plasenta dikaitkan dengan morbiditas akibat perdarahan yang

signifikan. Namun, pendekatan ini tidak dapat dianggap sebagai

pengobatan lini pertama untuk wanita yang memiliki keinginan yang

kuat untuk kesuburan di masa depan. Oleh karena itu, manajemen

operasi plasenta akreta dapat individual tergantung kasusnya masing

masing.

Pasien ditempatkan di meja operasi dengan posisi modifikasi

dorsal litotomi dengan kemiringan lateral yang kiri untuk

memungkinkan penilaian langsung dari perdarahan vagina,

menyediakan akses untuk penempatan paket vagina, dan

memungkinkan tambahan ruang untuk asisten bedah. Karena prosedur

ini diantisipasi akan berkepanjangan, padding dan posisi untuk

mencegah kompresi saraf dan pencegahan dan pengobatan hipotermia

adalah penting. Meminimalkan kehilangan darah sangat penting.

Pilihan sayatan harus dibuat berdasarkan habitus tubuh pasien dan

sejarah operasi pasien. Penggunaan sayatan vertikal linea mediana

mungkin dilakukan karena memberikan daerah cukup jika histerektomi

diperlukan. Insisi uterus klasik, sering transfundal, mungkin diperlukan

untuk menghindari plasenta dan memungkinkan pengeluaran bayi.

Ultrasound pemetaan lokasi plasenta, baik sebelum operasi atau

intraoperatif, mungkin dapat membantu. Karena positive predictive

value ultrasonografi untuk plasenta akreta berkisar dari 65% hingga

93%, adalah wajar untuk menunggu pelepasan plasenta spontan untuk

mengkonfirmasi plasenta akreta secara klinis.

22

Page 15: BAB 3 dan 4, GOL

Pada umumnya, tindakan manual plasenta harus dihindari. Jika

histerektomi diperlukan, pendekatan standar yakni untuk meninggalkan

plasenta in situ, dengan cepat menggunakan "whip stitch" untuk

menutup incisi histerotomi, dan lanjutkan dengan histerektomi.

Sedangkan histerektomi dilakukan dengan cara biasa, diseksi flap

kandung kemih dapat dilakukan relatif lambat, setelah kontrol jaringan

pembuluh arteri uterus tercapai, dalam kasus akreta anterior, tergantung

pada temuan intraoperatif. Kadang-kadang, histerektomi subtotal dapat

dipertimbangkan, namun perdarahan terus-menerus dari leher rahim

mungkin menghalangi managemen ini dan membuat histerektomi total

tetap diperlukan.

Ada laporan dari pendekatan alternatif untuk pengelolaan plasenta

akreta yang meliputi pengikatan tali pusat pada fetal surface,

mengambil tali pusatnya, dan meninggalkan plasenta in situ, dengan

reseksi parsial plasenta untuk meminimalkan ukurannya. Namun, hal

ini harus dipertimbangkan hanya bila pasien memiliki keinginan yang

kuat untuk kesuburan masa depan serta stabilitas hemodinamik yang

baik, status koagulasi normal, dan bersedia menerima risiko akibat

managemen ini. Pasien harus diberi konseling bahwa hasilnya ini tidak

dapat diprediksi dan bahwa ada peningkatan risiko komplikasi yang

signifikan termasuk histerektomi. Kasus yang dilaporkan dari

kehamilan yang sukses berikutnya pada pasien yang diobati dengan

pendekatan ini jarang terjadi. Pendekatan ini harus ditinggalkan dan

histerektomi dilakukan jika perdarahan yang berlebihan. Dari 26 pasien

yang diobati dengan pendekatan ini, 21 (80,7%) berhasil terhindar dari

histerektomi, sedangkan 5 (19,3%) pada akhirnya dilakukan

histerektomi. Namun, sebagian besar dari 21 pasien yang terhindar dari

histerektomi tidak memerlukan pengobatan tambahan, termasuk ligasi

arteri hipogastrik, embolisasi arteri, methotrexate, transfusi produk

darah, antibiotik, atau kuretase. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu,

23

Page 16: BAB 3 dan 4, GOL

histerektomi tetap managemen pilihan untuk pasien dengan plasenta

akreta.(ACOG, 2012)

Pada kasus dimana perdarahan masih terus berlangsung saat

operasi, prosedur yang dapat kita lakukan yakni:

Pelvic artery ligation and ambolization

Pelvic pressure packing

Aortic compresion and clamping.(AJOG, 2010)

4. Manajemen postoperatif

Pasien yang menjalani histerektomi untuk plasenta akreta

beresiko untuk mengalami komplikasi pasca operasi yang berhubungan

dengan intraoperatif seperti hipotensi, koagulopati persisten dan

anemia, dan operasi berkepanjangan. Disfungsi ginjal, jantung, dan

organ lainnya sering terjadi dan harus dipikirkan. Sindrom Sheehan

(baik transien dan permanen) telah dilaporkan terjadi akibat perdarahan

postpartum yang massif, dan hiponatremia mungkin merupakan tanda

awal. Jika volume besar kristaloid dan produk darah diberikan saat

intraoperatif, pasien juga berisiko untuk terjadi edema paru, cidera paru

akut terkait transfusi, dan / atau sindrom gangguan pernapasan akut.

Perhatian khusus harus diberikan untuk sering mengevaluasi

tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut jantung dan laju pernapasan).

Output urin harus diukur melalui kateter urin. Pemantauan vena

sentral ,dan penilaian perifer oksigenasi dengan pulse oksimetri dapat

membantu dalam beberapa kasus. Koreksi koagulopati dan anemia

berat dengan produk darah harus dilakukan. Pasien harus dievaluasi

secara klinis untuk potensi kehilangan darah dari luka sayatan perut dan

vagina, dan kemungkinan pendarahan intraabdominal berulang atau

retroperitoneal. Fungsi ginjal harus dievaluasi dan kelainan serum

elektrolit harus dikoreksi. Jika ada hematuria persisten atau anuria,

kemungkinan cedera saluran kemih yang tidak diketahui harus

dipertimbangkan. Mobilisasi awal, dan kompresi intermiten untuk

24

Page 17: BAB 3 dan 4, GOL

mereka yang membutuhkan bedrest, dapat mengurangi risiko

komplikasi tromboemboli. (AJOG, 2010)

4.2 Apakah diagnosis serta penatalaksanaan pasien ini sudah tepat?

4.2.1 Perdarahan post partum

4.2.1.1 Definisi

Hilangnya darah 500 ml atau lebih dari organ-organ reproduksi setelah

selesainya kala tiga persalinan (ekspulsi atau ekstraksi plasenta dan ketuban).

Normalnya, perdarahan dari tempat plasenta terutama dikontrol oleh kontraksi

dan retraksi anyaman serat-serat otot serta agregasi trombosit dan thrombus

fibrin di dalam pembuluh darah desidua (Maughan, 2006).

Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat

dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok,

ataupun merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus

menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi

banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok

(Koto, 2011).

Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi

lahir yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu

melahirkan akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml

tanpa menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demikian secara

konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat

dikategorikan sebagai perdarahan pasca persalinan dan perdarahan yang secara

kasat mata mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius

(Maughan,2006).

4.2.1.2 Klasifikasi

Perdarahan postpartum dapat terbagi dua menurut kejadiannya yaitu :

- Perdarahan postpartum primer (dini) adalah perdarahan yang

berlebihan selama 24 jam pertama.

- Perdarahan postpartum sekunder (lanjut) adalah perdarahan yang

berlebihan setelah 24 jam pertama sampai minggu ke-6 setelah

kelahiran (Maughan, 2006).

25

Page 18: BAB 3 dan 4, GOL

4.2.1.3 Gejala Klinik Perdarahan Postpartum

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10%

dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak

pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan

pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah

tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah

rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Lubis,

2011).

4.2.1.4 Diagnosis

Karena pengertian dari Perdarahan postpartum itu kehilangan darah lebih

dari 500 mL, maka di perlukan pengukuran jumlah darah yang hilang ketika

persalinan. Tetapi hal ini tidaklah akurat dikarenakan beberapa hal sebagai

berikut:

- Tidak semua darah yang hilang terkumpul: Beberapa mL darah

ada di lantai atau alas tempat tidur, Beberapa mL darah masih

berada didalam uterus tetapi diluar pembuluh darah

- Cairan lain yang mungkin secara tidak sengaja terhitung: Urin,

Cairan amnion, Cairan pembersih lainnya.

Biasanya estimasi yang dibuat itu lebih kecil volumnya dibandingkan kehilangan

darah yang sebenarnya, jadi penatalaksanaan akibat kehilangan darah yang

terjadi pada kasus perdarahan postpartum ini lebih sedikit dibandingkan pada

saat operasi bedah (Morgan Hamilton, 2009).

Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta

belum lahir biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah

plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui

dengan palpasi uterus ; fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi

uterus tidak baik. Sisa plasenta yang tertinggal dalam kavum uteri dapat

diketahui dengan memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap atau tidak

kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput ketuban,

atau plasenta suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri dapat juga

berguna untuk mengetahui apakah ada robekan rahim. Laserasi (robekan)

serviks dan vagina dapat diketahui dengan inspekulo. Diagnosis pendarahan

pasca persalinan juga memerlukan pemeriksaan laboratorium antara lain

26

Page 19: BAB 3 dan 4, GOL

pemeriksaan Hb, COT (Clot Observation Test), kadar fibrinogen, dan lain-lain

(Perinesaei, 2008).

4.2.1.5 Penyebab

Kejadian perdarahan postpartum ini di sebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

- Atonia uteri: diperkirakan 90%

- Robekan jalan lahir: diperkirakan 7%

- Retensio plasenta, inversion uterus, dan gangguan pembekuan

darah: diperkirakan 3%

Pada pasien ini terjadi perdarahan post partum akibat plasenta akreta. Plasenta

yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh

adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta

bila plasenta sampai menembus desidua basalis dan Nitabuch layer, disebut

sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan

disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium.

(Karkata, 2009). Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi

perdarahan, tapi bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan

ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas

dari dinding uterus disebabkan :

- Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta

adhesiva)

- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis

menembus desidua sampai miometrium (plasenta akreta)

- Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis

menembus sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta). (lubis,

2011)

Faktor predisposisi dari plasenta akreta, yaitu:

- Plasenta previa.

- Seksio sesarea.

- Kuretase.

- Multigravida lebih dari 6 anak. (Cunningham, 2010)

Pada pemeriksaan intrauterin, sewaktu melakukan eksplorasi manual

mengangkat plasenta yang tertahan, bidang pembelahannya tidak dapat

diidentifikasi di antara plasenta yang melekat dan dinding uterus. Pada kasus

27

Page 20: BAB 3 dan 4, GOL

plasenta akreta parsial, bidang pembelahan dapat ditelusuri, tetapi tidak dapat

diikuti seluruhnya sepanjang permukaan maternal plasenta ketebalan perlekatan

mengelilinginya. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi perdarahan yang banyak,

ruptur uteri, inversio uteri, dan infeksi uterus jika plasenta tertinggal atau in situ.

4.2.1.6 Penatalaksanaan

Penanganan yang penting adalah pemberian cairan dan darah secara

intravena untuk memperbaiki hipovolimik yang diakibatkan kehilangan banyak

darah. Histerektomi abdominal merupakan pengobatan yang tepat bagi

kebanyakan pasien segera setelah diagnosis ditegakkan. Karena pelepasan

plasenta normal tidak mungkin, berbagai upaya untuk mengeluarkan plasenta

yang lengket secara manual atau dengan kuretase dapat menyebabkan

katastropik atau rupture traumatik otot uterus yang tipis.

Jika tidak terjadi perdarahan dan pasien berkeinginan keras untuk

memiliki anak lagi maka plasenta dapat ditinggalkan in situ dengan menerima

resiko infeksi uterus dan pelvis. Tingkat mortalitas pasien yang diobati tanpa

histerektomi hampir empat kali lebih tinggi dari pasien dengan histerektomi

segera (Taber, 1994).

Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya dikarenakan

ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara

inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai speculum untuk

mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan

pulsatif sesuai dengan denyut nadi. (Karkata, 2009).

4.2.1.7 Pencegahan

Pencegahan atau antisipasi dari perdarahan postpartum dapat dilakukan

secara berikut:

- Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan

mengatasi setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga

pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam

keadaan optimal

- Mengenal faktor predisposisi perdarahan postpartum seperti

multiparitas, anak besar, hamil kembar, hidramnion, bekas seksio,

28

Page 21: BAB 3 dan 4, GOL

riwayat perdarahan postpartum sebelumnya dan kehamilan resiko

tinggi lainnya yang bisa muncul saat persalinan.

- Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan

pertus lama.

- Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi

perdarahan postpartum dan mengadakan rujukan sebagaimana

mestinya (Karkata, 2009).

4.2.2 Syok Hipovolemik

Pasien tiba di UGD RSU dr. Saiful Anwar Malang dengan keadaan umum

lemah disertai penurunan kesadaran dengan GCS 111 dengan hipotensi, nadi

tidak teraba dan ekstremitas dingin yang menunjukkan suatu keadaan

hipovolemia yang berat.

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan

hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk

mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Syok

hipovolemik terjadi akibat terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah

dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini terjadi akibat perdarahan yang

masif atau kehilangan plasma darah.(Wijaya, 2006)

4.2.2.1 Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik merupakan

respon fisiologi yang normal dalam mempertahankan perfusi terhadap otak dan

jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efekstif. Disini

akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang

kolaps, pelepasan hormon stres serta ekspansi besar guna pengisian volume

pembuluh darah dengan menggunakan cairan intersisial, intraseluler dan

menurunkan produksi urin. (Wijaya, 2006)

Berikut ini adalah tabel gejala klinis dan klasifikasi dari hipovolemia :

29

Page 22: BAB 3 dan 4, GOL

Tabel 4.3 Klasifikasi syok hemoragik

Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan

darah menurun drastis dan tak stabil walau posisi berbaring, pasien menderita

takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke susunan saraf pusat

dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran

adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat

terjadi bertahap atau malah sangat cepat. Oleh karena itu untuk menghindari

untuk mencegah kerusakan akibat syok maka diperlukan resusitasi yang agresif

dan cepat. (Wijaya, 2006)

4.2.2.2 Komplikasi

Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-

rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Curah jantung yang rendah di

bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ :

A. Mikrosirkulasi

Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha

untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup

bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya

traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di

jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu

menyimpan cadangan energi. Hal ini menyebabkan kedua organ tersebut sangat

bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila

terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi

jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial preassure/MAP)

jatuh hingga ≤ 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel

di semua organ akan terganggu.

30

Page 23: BAB 3 dan 4, GOL

B. Neuroendokrin

Hipovolemia, hipotensi, dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor

dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respon autonom

tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain

C. Kardiovaskuler

Tiga variabel yaitu pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)

ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volum

sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil

kali volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan

penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume

sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun

memiliki keterbatasan keterbatasan mekanisme kompensasi untuk

mempertahankan curah jantung.

D. Ginjal

Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi,

frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.

Secara fisiologis, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam

dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen

meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan

aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi

urin.

Tekanan arterial rata-rata pada pasien ini telah berada pada <60 mmHg

sejak selama proses rujukan yang menyebabkan suatu keadaan hipoperfusi

yang lama pada organ-organ vital. Komplikasi yang telah terjadi terlihat pada

kurang baiknya respon terhadap resusitasi yang telah dilakukan pada pasien.

Fungsi ginjal tetap pada kondisi yang buruk sehingga mengharuskan

dilakukannya hemodialisa sebanyak dua kali pada pasien ini. Selain itu,

pemberian furosemid pada pasien ini juga tidak berespon dengan baik. Fungsi

ginjal yang buruk ditambah komplikasi lain dari penyakit primer menjadikan

buruknya prognosis pada pasien. (Wijaya, 2006)

31

Page 24: BAB 3 dan 4, GOL

4.3 Apakah kematian pada pasien ini bisa dicegah?

Syok hipovolemik merupakan salah satu jenis syok yang disebabkan oleh

hilangnya darah, plasma, atau cairan interstitiel dalam jumlahyang

besar.Hilangnya darah dan plasma menyebabkan hipovolemia secara langsung.

Hilangnya cairan interstitiel menyebabkan hipovolemia secara tidak langsung

dengan memicu terjadinya difusi plasma dari intravaskuler ke ruang

ekstravaskuler. Syok hipovolemik mulai berkembang ketika volume intravaskuler

berkurang sekitar 15 %. (Wijaya, 2006)

Patofisiologi Secara umum, mekanisme syok memiliki tiga tahapan

sebagai berikut :

1.Tahap nonprogresif

Merupakan tahap di mana terjadi mekanisme refleks kompensasi

dan perfusi ke organ-organ vital dipertahankan. Pada fase ini,terjadi

berbagai jenis mekanisme neurohumoral yang membantu

mempertahankan curah jantung dan tekananan darah. Termasuk refleks

baroreseptor, pelepasan katekolamin, aktivasi jaras renin-angiotensisn,

pelepasan hormon antidiuretik, dan stimulasi simpatik secara umum. Efek

yang ditimbulkan berupa takikardi, vasokonstriki pembuluh darah perifer,

dan retensi cairan pada ginjal. Vasokonstriksi pembuluh darah kutaneus

mengakibatkan kulit menjadi dingin dan pucat pada syok. Pembuluh

darah koroner dan serebral kurang sensitif terhadap refleks simpatis

sehingga diameternya, aliran darahnya, dan penghantaran oksigenke

organ yang dialiri pembuluh darah tersebut cenderung normal.

2.Tahap progresif

Ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan memburuknya kondisi imbalans

sirkulasi dan metabolik, termasuk asidosis. Apabila penyebab syok tidak

tertangani dengan baik, dapat terjadi penyebaran hipoksia jaringan. Pada

kondisi di mana terjadi defisit oksigen yang persisten, respirasi aerob

interseluler berganti dengan respirasi anaerob yang menghasilkan asam

laktat berlebih. Asidosis laktat yang menurunkan pH jaringan dan mengurangi

respon vasomotor menyebabkan terjadinya dilatasi arteriol-arteriol, dan darah

mulai memenuhi mikrosirkulasi. Hal tersebut tidak hanya memperburuk

curah jantung, tetapi juga menempatkan sel-sel endothelial rentan akan

32

Page 25: BAB 3 dan 4, GOL

resiko terjadinya trauma anoksia dengan DIC. Dengan terjadinya

penyebaran hipoksia, organ-organ vital mulai mengalami kegagalan.

Secara klinis, pasien akan mengalami penurunan kesadaran disertai

penurunan produksi urin.

3.Tahap ireversibel

Merupakan tahap syok akhir. Kerusakan fungsi sel yang meluas

ditunjukkan oleh pengerutan sel lisosom, yang akan memperberat status

syok. Fungsi kontraksi miokardium sebagian memburuk karena adanya

sintesis nitrit oksida. Pada tahap ini, terjadi kegagalan fungsi ginjal akibat

nekrosis tubular akut. Komplikasi syok yang memiliki mortalitas tinggi

adalah kerusakan paru-paru dengan terjadinya sindrom kegagalan

pernapasan akut. Hipovolemia diawali oleh mekanisme kompensasi

tubuh. Denyut jantung dan resistensi vaskuler meningkat sebagai akibat

dari dilepaskannya katekolamin darikelenjar adrenal. Curah jantung dan

tekanan perfusi jaringan meningkat. Sehinggaterjadi penurunan tekanan

hidrostatik kapiler, cairan interstitiel berpindah kedalam kompartemen

pembuluh darah. Hati dan limpa menambah volume darah dengan

melepaskan sel-sel darah merah dan plasma.Sistem kardiovaskuler berespon

dengan cara melakukan redistribusi darah ke otak, jantung, dan ginjal dan

perfusi berkurang pada kulit, otot, dan saluran gastrointestinal. Di ginjal,

renin menstimulasi dirilisnya aldosteron dan retensi natrium (dan

menahan air), di mana hormon antidiuretik (ADH atau vasopressin) dari

kelenjar ptiuitari posterior meningkatkan retensi air

Sistem hematologi mengaktivasi kaskade koagulasi dan

mengkontraksikan pembuluh darah yang terluka dengan pelepasan

tromboksan A2 yang lokal. Selain itu, trombosit teraktivasi dan

membentuk sebuah bekuan yang imatur di sumber perdarahan.

Pembuluh darah yang rusak mengekspos kolagen, yang secara signifikan

menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi bekuan darah tersebut.

Dibutuhkan kurang lebih 24 jam untuk menyelesaikan fibrinasi bekuan

darah dan bentuk yang matang. Bagaimanapun, mekanisme kompensasi

ini terbatas. Apabila cairan dan darah berkurang dalam jumlah yang besar

33

Page 26: BAB 3 dan 4, GOL

atau berlangsung terus-menerus, mekanisme kompensasi pun gagal,

menyebabkan penurunan perfusi jaringan.

Terjadi gangguan dalam penghantaran nutrisi ke dalam sel dan

terjadi kegagalan metabolisme sel. Pada syok, konsumsi oksigen dalam

jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung

oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan.

Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa

melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat.

Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat,

asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam

klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik

yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta

perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian

cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.

(Wijaya, 2006)

Pada kasus ini pasien telah mengalami syok yang ireversibel akibat

perdarahan sewaktu dalam perjalanan dari tempat rujukan. Kondisi pasien ini

mengakibatkan pasien jatuh dalam kondisi yang berat dengan komplikasi berupa

gagal ginjal akut dan edema paru. Abnormalitas perfusi yang berkepanjangan

tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian sel sehingga terjadi

kegagalan multi organ yang bersifat irreversibel dan berakibat terjadinya

kematian pada pasien ini.

Selain itu, perlu juga dilakukan pengkajian ulang terhadap proses selama

tindakan dan rujukan pasien menuju rumah sakit, apakah telah dilakukan

penatalaksanaan yang tepat selama dalam perjalanan sehingga pasien tidak tiba

di tempat rujukan dengan keadaan yang lemahah serta hemodinamik yang tidak

stabil.

34

Page 27: BAB 3 dan 4, GOL

BAB 5KESIMPULAN DAN SARAN

Pasien merupakan pasien plasenta previa dengan plasenta akreta yang

mengalami perdarahan akibat plasenta akreta sehingga menyebabkan syok

hipovolemik. Penyebab kematian pada pasien ini adalah Syok Hipovolemik

Didapatkan tidak adekuatnya pilihan tindakan perdarahan

pascapersalinan, sehingga pasien mengalami perdarahan yang tidak teratasi

Seandainya pasien tidak jatuh dalam kondisi yang buruk dan pasien

mendapatkan penanganan yang adekuat, maka kematian pada pasien ini

sekiranya dapat dicegah.

5.1 Kesimpulan

Penegakan diagnosis dan penanganan pasien ini sudah benar. Penyebab

kematian pada pasien ini adalah Syok hipovolemik yang terjadi akibat

perdarahan pascapersalinan karena plasenta akreta sebelumnya, sehingga

perdarahan yang terjadi tidak dapat berhenti berakibat pasien mengalami cardiac

arrest.

5.2 Saran

Dibutuhkan peningkatan kewaspadaan serta penanganan yang adekuat

saat pasien akan dirujuk, terutama dari tempat yang cukup jauh. Petugas

paramedis yang merujuk hendaknya memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk

melakukan resusitasi saat merujuk pasien, sehingga dapat mengenali serta

mengatasi secara dini syok hipovolemik yang terjadi akibat perdarahan pada

pasien ini.

Diperlukan penanganan multi disipliner pada pasien syok hipovolemik

sehingga penanganan perdarahan pascapersalinan akut pada pasien seperti ini

cepat teratasi dan tidak berlanjut syok hipovolemik dan cardiac arrest yang

menyebabkan kematian.

Selain itu perlu juga dilakukan pengkajian ulang terhadap proses selama

rujukan pasien menuju rumah sakit, agar pasien tidak tiba di tempat rujukan

dengan keadaan yang lemah serta hemodinamik yang tidak stabil.

35

Page 28: BAB 3 dan 4, GOL

DAFTAR PUSTAKA

Committee opinion, Placenta Accreta, The American College of Obstetricans and

Gynecologists, July 2012.

Cunningham, F.G. et al., 2010. Williams Obstetrics. 23rd ed. The McGraw-Hill.

Eliza and Alfred, Prenatal Diagnosis of Placenta Accreta, The American Institute

of Ultrasound in Medicine, 2013, USA.

Green – top Guideline No 27, Placenta praevia, placenta praevia accreta and

vasa praevia: diagnosis and management, Royal College of Obstetricans

and Gynaecologists,January 2011.

Karkata, M.K. 2009. Perdarahan Paska Persalinan. Dalam : Ilmu kebidanan. Edisi ke – 4 cetakan I. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Koto, Latifahanum. 2011. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Bidan Tentang Penanganan Perdarahan Pasca Persalinan Di Wilayah puskesmas pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura tahun 2010. Universitas Sumatera Utara. Diakses 18 mei 2012.

Lubis, I. K. Pengaruh paritas terhadap perdarahan postpartum primer di RSUP DR Pringadi Medan Tahun2007-2010. Medan: FK USU; 2011

Maughan KL, Heim SW, Galazka SS. Preventing Postpartum Hemorrhage: Managing the Third Stage of Labor. Am Fam Physician 2006;73:1025-8.

Morgan Hamilton, 2009. Panduan Praktik Obstetri dan Ginekologi. BUku Kedokteran EGC, Jakarta

Parisaei, Maryam., Shailendra, Archana., Dutta, Ruma., Broadbent, J A Mark. 2008. Obstetrics and gynaecology. Edisi 2. Elsevier

Publication Committee, Society for Maternal-Fetal Medicine, Placenta Accreta,

American Journal of Obstetrics and Gynaecology, 2010,Washington DC.

Rochjati, P., 2005. Sistem Rujukan Dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi. Bunga Rampai Obstetri Dan Ginekologi Sosial. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono.

Taber, B. 1994. Kapita Selekta kedaruratan obstetrik dan ginekologi. Jakarta : EGC

36

Page 29: BAB 3 dan 4, GOL

Wijaya, I.P., 2006. Syok Hipovolemik. In A.W. Sudoyo, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Penerbit FKUI. pp.197-202

WHO. World Health Statistics 2014. Geneva, World Health Organization; 2014.

37