bab 2 tinjauan teori (pemenuhan kebutuhan mobilisasi lansia)

35
BAB II TINJAUAN TEORI Penuaan pada setiap individu adalah normal. Proses penuaan tersebut diiringi dengan perubahan fisik dan psikologis. Salah satu gangguan yang terjadi pada lansia adalah gangguan mobilisasi. Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Sistem mobilisasi erat kaitannya dengan sistem muskuloskeletal karena tulang, sendi, dan otot merupakan unsur pembentuk sistem mobilisasi (Miller, 2004). 2.1 Perubahan Sistem Muskuloskeletal pada Lansia Mobilisasi adalah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi agar kebutuhan dasar lain dapat tercapai dengan maksimal. Sistem dalam tubuh manusia dapat mempengaruhi sistem lain. Contohnya, ketika seseorang harus mengalami bedrest atau imobilisasi maka akan terjadi perubahan pada sistem sirkulasi tubuhnya. Beberapa pembuluh darah dalam tubuh dapat tertekan dalam waktu lama sehingga akan mempengaruhi sistem integumen. Lansia mengalami perubahan pada anatomi dan fisiologis tubuhnya, yang menyebabkan penurunan pada fungsi sistem tubuh. Fungsi mobilisasi manusia dihubungkan pada tiga hal, yakni tulang, otot dan persendian, yang juga didukung oleh sistem syaraf.

Upload: dhian-luluh-rohmawati

Post on 31-Jul-2015

1.558 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

BAB II

TINJAUAN TEORI

Penuaan pada setiap individu adalah normal. Proses penuaan tersebut

diiringi dengan perubahan fisik dan psikologis. Salah satu gangguan yang terjadi

pada lansia adalah gangguan mobilisasi. Mobilitas adalah pergerakan yang

memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Sistem mobilisasi erat

kaitannya dengan sistem muskuloskeletal karena tulang, sendi, dan otot

merupakan unsur pembentuk sistem mobilisasi (Miller, 2004).

2.1 Perubahan Sistem Muskuloskeletal pada Lansia

Mobilisasi adalah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi agar

kebutuhan dasar lain dapat tercapai dengan maksimal. Sistem dalam tubuh

manusia dapat mempengaruhi sistem lain. Contohnya, ketika seseorang harus

mengalami bedrest atau imobilisasi maka akan terjadi perubahan pada sistem

sirkulasi tubuhnya. Beberapa pembuluh darah dalam tubuh dapat tertekan

dalam waktu lama sehingga akan mempengaruhi sistem integumen.

Lansia mengalami perubahan pada anatomi dan fisiologis tubuhnya,

yang menyebabkan penurunan pada fungsi sistem tubuh. Fungsi mobilisasi

manusia dihubungkan pada tiga hal, yakni tulang, otot dan persendian, yang

juga didukung oleh sistem syaraf. Penurunan atau perubahan pada aspek

tersebut akan mempengaruhi kemampuan mobilisasi pada lansia.

2.1.1 Tulang

Tulang dan otot saling bekerja sama dalam membuat suatu

gerakan. Tulang yang membuat manusia bergerak dengan gerakan yang

jelas dan terarah (memiliki kerangka). Selain itu, tulang juga memiliki

fungsi lain seperti tempat menyimpan kalsium, memproduksi sel darah

serta menyokong dan melindungi organ dalam tubuh (Miller, 2004).

Pertumbuhan tulang mencapai klimaks pada masa dewasa awal namun

tulang tetap melakukan remodeling. Hal yang mempengaruhi proses

pembentukan tulang kembali ini adalah berkurangnya absorpsi kalsium,

meningkatnya serum hormon paratiroid, ketidakseimbangan aktivitas

Page 2: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

4

osteoblas, tergantikannya sel sumsum oleh lemak dan sebagainya.

Beberapa sebab yang sering mempengaruhi remodeling tersebut pada

lansia meliputi hipertiroidisme, berkurangnya aktivitas, Chronic

Obstrutive Pulmonary Disease (COPD), kekurangan kalsium dan

vitamin D.

2.1.2 Otot

Perubahan terkait penuaan yang berefek pada otot meliputi tiga

hal, yakni berkurangnya serabut otot (jumlah dan ukuran), tergantinya

serabut otot dengan jaringan penghubung atau lemak, dan rusaknya

membran sel otot karena berkurangnya komponen cairan dan potassium

di dalamnya. Penuaan juga mengakibatkan berubahnya sistem syaraf,

yang akan mempengaruhi pergerakan otot yang dikontrol oleh syaraf

motorik.

2.1.3 Persendian

Beberapa perubahan pada persendian seiring penuaan adalah

berkurangnya viskositas cairan sinovial, degenerasi kolagen dan sel

elastin, pecahnya struktur jaringan penghubung, perubahan selular

kartilago, pembentukan jaringan scar dan kalsifikasi di persendian dan

jaringan penghubung. Perubahan tersebut dapat menyebabkan

ketidakseimbangan gerakan fleksi-ekstensi lansia dan erosi pada tulang.

Selain itu, konsumsi purin yang terlalu banyak juga akan menyebabkan

hasil metabolismenya, yakni asam urat menumpuk di persendian hingga

bengkak dan terasa nyeri. Asam urat ini seharusnya dikeluarkan

bersama urin dan feses namun ketika ginjal sudah mengalami

penurunan fungsi, maka penumpukan asam urat akan bertambah parah.

2.2 Gangguan Mobilisasi pada Lansia

Perubahan sistem muskuloskeletal yang telah dijelaskan di atas dapat

menimbulkan beberapa efek yang dapat mengganggu kebutuhan mobilisasi

lansia (Miller, 2004), yakni:

Berkurangnya kekuatan otot

Keterbatasan rentang gerak persendian

Page 3: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

5

Menurunnya sistem pendukung lain yang menambah resiko jatuh dan

fraktur pada lansia, seperti penurunan penglihatan dan sistem syaraf.

Selain perubahan-perubahan tersebut, terdapat beberapa gangguan mobilisasi

yang sering terjadi pada lansia secara umum yaitu osteoporosis, jatuh dan

fraktur, serta arthritis.

2.2.1 Osteoporosis

Osteoporosis adalah proses menurunnya massa tulang secara

berangsur-angsur yang dapat menjadi predisposisi terjadinya fraktur.

Intake harian kalsium kurang dari 1200-1500mg dalam sehari dan 400-

600 IU vitamin D dapat meningkatkan resiko osteoporosis, karena

kalsium dapat mengurangi bone loss, menambah kepadatan tulang dan

menurunkan resiko fraktur, sedangkan vitamin D berfungsi

meningkatkan absorpsi kalsium. Hal ini juga dapat diperparah dengan

tingginya asupan protein, kafein, sodium dan fosfor.

2.2.2 Jatuh dan Fraktur

Fraktur, terutama yang berhubungan dengan osteoporosis

dianggap sebagai penyebab utama morbiditas dan disabilitas pada usia

tua (Stanley & Beare, 1999/2006). Faktor resiko untuk fraktur antara

lain adalah penurunan fungsi penglihatan, kognitif, lingkungan tak

kondusif. Disamping faktor-faktor resiko tersebut, perubahan terkait

penuaan juga mempengaruhi tingginya angka kejadian fraktur pada

lansia.

Tabel 2.1 Faktor Resiko Osteoporosis, Jatuh dan Fraktur

Faktor Resiko Osteoporosis Faktor Resiko Jatuh dan Fraktur

Jenis kelamin perempuan

Lanjut usia

Kurang vitamin D dan kalsium

Tulang berukuran kecil

Kurus

Defisiensi estrogen

Jarang melakukan aktivitas berat

Osteoporosis

Perubahan pada fungsi sensori

dan sistem syaraf pusat

Dalam proses pengobatan

Kondisi medis

Depresi, demensia

Page 4: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

6

2.2.3 Artritis

Selain osteoporosis, resiko jatuh dan fraktur, lansia juga rentan

untuk mendapat masalah kesehatan pada persendiannya. Penyakit

persendian tersebut adalah artritis. Artritis dikenal dalam berbagai jenis,

diantaranya yang paling umum yaitu ostoartritis, rheumatoid arthritis

dan gout arthritis (asam urat). Pada osteoarthritis, faktor resikonya

antara lain adalah sebagai berikut:

Umur, seiring dengan semakin melemah dan menipisnya kartilago

pelindung pada sendi saat menua

Obesitas, akan menambah beban pada persendian

Faktor genetik, tidak mutlak namun resikonya lebih besar

dibandingkan dengan yang tidak memiliki keturunan keluarga yang

mengidap osteoarthritis

Terlalu banyak aktivitas, yang dapat menyebabkan benturan sendi

berulangkali (namun terlalu kurang aktivitas pun dapat

mengakibatkan otot sekitar sendi dan fleksibilitas sendi melemah).

Pada rheumatoid atritis, faktor resikonya antara lain:

Faktor genetik, tidak mutlak namun resikonya lebih besar

dibandingkan dengan yang tidak memiliki keturunan keluarga yang

mengidap osteoarthritis.

Infeksi, virus Epstein-Barr adalah salah satu virus yang dicurigai

akan menimbulkan Rheumatoid Arthritis, meskipun sampai sekarang

belum diketahui pasti apa penyebab infeksi yang mencetuskan

arthritis.

Page 5: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

7

Tabel 2.2 Perbedaan Ostoartritis, Rheumatoid Arthritis dan Gout Arthritis

Kategori Osteoarthritis (OA) Rhematoid arthritis (RA)Gout arthritis

(Asam urat)

Tipe artritis Penyakit sendi degeneratif Artritis inflamasi Arthritis inflamasi

Penyebab Degenerasi atau berkurangnya

kartilago yang berfungsi

sebagai bantalan sendi

Kelainan reaksi auto imun yang

menyebabkan sistem kekebalan tubuh

menyerang persendian hingga timbul

nyeri yang mengganggu pergerakan

Tingginya kadar purin dalam darah

sehingga terakumulasi pada persendian

dan menyebabkan nyeri

Gejala Nyeri sendi ketika digerakkan

(sendi bergesekan), kaku sendi

(karena bantalan sendi sudah

rusak)

Kedaan progresif yang dimulai dengan

rasa sakit dan kaku, bengkak pada

sendi, ada benjolan kecil muncul

dibawah kulit

Nyeri pada sendi, kaku sendi, bengkak

pada sendi, adanya benjolan kecil di

bawah kulit

Tujuan

perawatan

Mengurangi nyeri,

meningkatkan/mengembalikan

fungsi sendi

Mengurangi nyeri, meningkatkan fungsi

sendi, mengontrol RA

Mengurangi nyeri, mengatasi penyebab

dengan mengurangi tingkat asam urat

dalam darah agar tidak terjadi

penumpukan lebih lanjut

Obat medis

yang biasa

digunakan

Asetaminofen, NSAID (non

anti-inflammatory drug)

Metotrexat, sulfalazine, hidrokloroquin,

TNF antagonis, (terkadang) NSAID

NSAID untuk tingkat akut, allopurinol /

uricosuric untuk mengurangi asam urat

dalam darah

Page 6: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

Aging

↓ Remodeling<< Kalsium,

& Vit.d

Bone loss

↓ Viskositas cairan sinovial↓ fleksibilitas jaringan sendi

Pertumbuhan gugus

kartilago

Jarang beraktivitas

Kaku sendi

Imobilisasi

Stroke

Resiko Gangguan Mobilisasi

Resiko gangguan integritas kulit

8

2.3 Mekanisme Perubahan Patofisiologi pada Pemicu 1 Kasus 2

Kasus yang disajikan dalam makalah ini merupakan kasus seorang

lansia laki-laki berumur 72 tahun tinggal di panti wreda, sudah setahun

mengalami hemiparesis dextra karena stroke. Petugas panti selalu membantu

seluruh aktivitas klien, mulai dari mandi, buang air, dan makan. Hasil

pengkajian perawat didapatkan data kontraktur pada kaki kiri dan tangan kiri,

klien tidak dapat menggerakkan kaki kirinya sama sekali. Selama ini klien tidak

pernah mengikuti kegiatan senam di panti, sehari-hari hanya berbaring di kasur.

Gangguan mobilitas fisik yang dialami oleh lansia pada kasus disebabkan oleh

dua hal yaitu perubahan-perubahan akibat penuaan dan penyakit stroke yang

mengakibatkan klien mengalami hemiparesis dextra.

Skema 2.1 Mekanisme Perubahan Patofisiologi Lansia pada Kasus

Page 7: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

9

2.4 Pengkajian Holistik dan Komprehensif pada Lansia dengan Gangguan

Mobilisasi

2.4.1 Riwayat Kesehatan

Pengkajian keperawatan memfokuskan pada bagaimana

perubahan yang berhubungan dengan usia mempengaruhi status fungsional

lansia dan berikut adalah hal-hal yang perlu dikaji (Stanley & Beare,

1999/2006):

Aktivitas dan pola istirahat (dulu dan sekarang)

Diet klien (termasuk asupan kalsium dan vitamin D)

Penggunaan obat-obatan baik yang dijual bebas maupun resep dokter

(dulu dan sekarang)

Cidera pada masa lalu (misal: fraktur, nyeri sendi, dan sebagainya)

Pertanyaan spesifik tentang praktik keamanan klien

2.4.2 Pemeriksaan Umum

Sebelum memeriksa daerah tertentu, scan klien dari ujung kepala

ke ujung kaki, mencari penampilan umum dan tanda-tanda masalah

muskuloskeletal.

Tanda-tanda vital: tekanan darah, denyut nadi, pernapasan

Tanda-tanda sakit, nyeri, atau tidak nyaman. Tidak memaksakan

gerakan apabila tanda tersebut terjadi.

Tabel 2.3 Pemeriksaan Umum

Area/sistem Data subjektif Data objektif

Kesehatan

umum

Tanyakan tentang

Berat badan

Kehilangan berat badan

Demam

Mengukur

Tanda-tanda vital

Berat badan dan

tinggi badan

Sistem

integumen

Tanyakan tentang ruam dan

rambut rontok

Inspeksi ruam, lesi

Kelenjar Tanyakan tentang

pembengkakan kelenjar, mata

merah

Periksa kemerahan

mata

Palpasi kelenjar

Page 8: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

10

getah bening

Pernapasan

Kardiopulmonal

Tanyakan tentang sesak napas

Tanyakan tentang riwayat

masalah kardiopulmonal

Auskultasi paru-

paru

Auskultasi suara

jantung

Gastrointestinal Tanyakan tentang mual,

muntah, diare

Auskultasi bising

usus

Genitourinari/

reproduksi

Tanyakan tentang keluhan

nyeri

Kaji lesi

Neurologis Tanyakan tentang perubahan

sensasi, mati rasa, kesemutan

Test sensory

deficit, paralisis

Endokrin Tanyakan tentang riwayat

diabetes melitus, tiroid

2.4.3 Pengkajian Fisik Muskuloskeletal

Pengkajian fisik dari sistem muskuloskeletal memerlukan data

pada bentuk tubuh, gaya berjalan, fungsi otak dan struktur tulang,

kekuatan otot, pergerakan sendi, dan kemampuan untuk melaksanakan

ADL (Dillon, 2007).

2.4.3.1 Pengkajian Sikap, Gaya Berjalan, dan Fungsi Serebelum

Sikap

Dimulai dengan mengkaji postur dari depan, belakang, dan

samping. Mencari kesimetrisan bahu dan tulang belikat. Mencari

deformitas kelengkungan tulang belakang: deformitas struktural

atau deformitas fungsional. Kiposis: ketika berdiri, lengan santai

terlihat menjuntai. Berdiri di belakang pasien untuk memeriksa

lekukan, jika lekukan menghilang disebut kiposis fungsional,

jika lekukan tetap ada berarti kiposis struktural. Skeliosis: seperti

kiposis ditambah data ketika klien berdiri, lutut tidak simetris.

Lordosis: klien berdiri menempel dinding. Tangan pemeriksa

memasuki kurva lumbal, jika bebas bergerak berarti lordosis

Page 9: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

11

struktural. Klien telentang, jika klien bisa meratakan kurva

lumbal berarti lordosis fungsional.

Gaya berjalan

Kaji jarak antara kaki (normal: 2-4 inchi), panjang langkah.

Terdapat beberapa gaya berjalan, yaitu heel strike, foot flat,

midstance, push off.

Gambar 2.1 Gaya Berjalan a) heel strike, b) foot flat,

c) midstance, d) push off

Fungsi serebelum

Mengkaji fungsi serebelum termasuk keseimbangan, koordinasi,

dan ketepatan gerakan. Menguji keseimbangan menggunakan

test romberg. Klien berdiri dengan kaki rapat dan mata terbuka

akan dapat menjaga keseimbangan. Jika mata tertutup maka

akan goyang sedikit saja. Menguji koordinasi tangan dengan

meminta gerakan bolak balik supinasi-pronasi secara bersamaan,

dilanjutkan dengan oposisi jari telunjuk ke jari-jari lainnya.

Menguji koordinasi kaki dengan menggerakkan tumit satu ke

bawah tulang kering kaki yang berlawanan. Menguji ketepatan

gerakan dengan mata tertutup kemudian jari telunjuk menyentuh

hidung. Mata terbuka jari telunjuk menyentuh jari telunjuk

pemeriksa. Mengukur panjang kedua kaki, jika ada perbedaan

panjang mungkin ada perbedaan panggul atau deformitas flexi

pinggul. Perbedaan kurang dari 1 cm normal. Mengukur kedua

lingkar lengan dan paha. Jika ada perbedaan kemungkinan

terjadi atrofi atau hipertrofi. Perbedaan kurang dari 1cm normal.

Page 10: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

12

2.4.3.2 Mengukur Kekuatan Otot

Pengukuran kekuatan otot dapat dilakukan bersama

dengan ROM. Hasil pengukuran menggunakan skala kekuatan otot

sebagai berikut:

0 Otot tidak mampu bergerak

1 Otot ditekan masih ada kontraksi atau kekenyalan, ini

berarti otot masih belum atrofi atau belum layu

2 Dapat menggerakka otot atau bagian yang lemah sesuai

perintah tetapi jika ditahan sedikit saja sudah tidak

mampu bergerak

3 Dapat menggerakkan otot dengan tahanan minimal

4 Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan ringan

5 Dapat bergerak dan dapat melawan tahanan yang

setimpal

2.4.3.3 Mengukur Rentang Sendi

Rentang gerak sendi merupakan salah satu cara yang

digunakan untuk mempertahankan fungsi sistem muskuloskeletal.

ROM (Range of Motion) atau RPS (Rentang Pergerakan Sendi) ini

dilakukan setelah inspeksi dan palpasi masing-masing sendi dan

otot. Perawat menggunakan meteran dan goniometer untuk

mengkaji rentang sendi klien. Meteran digunakan untuk mengukur

panjang ekstremitas dan lingkar lengan.

Goniometer digunakan untuk mengukur besarnya sudut

ROM sendi. Cara penggunaannya adalah sebagai berikut : posisi

awal adalah posisi netral/anatomis, yaitu tubuh tegak, lengan lurus

disamping tubuh, lengan bawah dan tangan menghadap ke depan,

sendi yang diukur harus terbuka (bebas pakaian), berikan

penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan, berikan

gerakan pasif dua sampai tiga kali untuk menghilangkan gerakan

subsitusi dan ketegangan karena kurang gerak, letakkan tangkai

goniometer yang statik paralel dengan aksis longitudinal pada garis

tengah tubuh yang statik, letakkan tangkai goniometer yang

Page 11: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

13

bergerak paralel terhadap aksis longitudinal tubuh yang bergerak.

Pastikan aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi. Baca dan

catat hasil pemeriksaan LGS. Metode perekaman pengukuran LGS

menggunakan sistem rotasi 0-180°. Ukuran ini menunjukkan

seberapa besar sendi lansia dapat digerakkan. Hasil dari

pengukuran luas gerak sendi dapat digunakan untuk menentukan

tujuan dan rencana terapi dalam mengatasi gangguan mobilisasi.

Gambar 2.2 Penggunaan goniometer untuk mengukur luas gerak

sendi.

Luas gerakan yang terbatas dapat disebabkan karena

deformitas skeletal, patologi sendi, atau kontraktur otot dan tendon

sekitarnya. Sebelum melakukan rentang pergerakan sendi kaji juga

adanya nyeri sendi, periksa adanya kelebihan cairan dalam kapsul,

pembengkakan dan peningkatan suhu yang mencerminkan adanya

inflamasi aktif. Deformitas sendi dapat disebabkan oleh kontraktur

(pemendekan struktur sekitar sendi), dislokasi (lepasnya

permukaan sendi), subluksasi (lepasnya sebagian permukaan

sendi), disrupsi struktur sekitas sendi.

2.4.3.4 Mengukur Panjang Badan

Pada saat mengukur tinggi badan atau panjang badan

seorang lansia, perlu diingat bahwa lansia dapat mengalami

pengurangan tinggi badan atau panjang badan seiring dengan

pertambahan usia. Pengurangan tersebut dapat disebabkan oleh

beberapa hal, antara lain : komponen cairan tubuh berkurang

sehingga diskus invertebralis relatif kurang mengandung air

sehingga menjadi lebih pipih; semakin tua semakin kifosis;

Page 12: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

14

osteoporosis yang sering terjadi pada wanita lanjut usia akan

mudah mengakibatkan fraktur vertebra sehingga tinggi badan

berkurang; penurunan tinggi badan tersebut akan mempengaruhi

hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh ( IMT). Oleh karena itu

dianjurkan menggunakan  ukuran tinggi lutut (Knee Height) :

TB Pria      : 59,01 + ( 2,08 x TL )

TB Wanita : 75,00 + ( 1,91 x TL ) – ( 0,17 x U )

Keterangan :

TB: Tinggi Badan (cm), TL: Tinggi Lutut (cm), U: Umur (tahun)

Pengukuran orang sehat (dapat duduk)

Seorang perawat harus menjelaskan tujuan dan prosedur

tindakan pada klien sebelum melakukan pengukuran. Anjurkan

klien untuk duduk di kursi. Posisikan klien duduk yang

sempurna (badan tegak, tangan bebas ke bawah dan wajah

menghadap ke depan). Posisikan lutut kaki membentuk sudut

90o. Telapak kaki kiri yang diukur juga membentuk sudut 90o.

Pasang alat pengukur tepat pada telapak kaki bagian tumit dan

lutut. Lihat berapa panjang lututnya dan catat angka hasil

pengukuran.

Gambar 2.3 Pengukuran panjang lutut pada lansia yang sehat.

Pengukuran orang sakit (berbaring): hemiparesis dan kontraktur

Setiap akan melakukan tindakan keperawatan, seorang perawat

harus menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada lansia. Hal

ini dilakukan agar lansia bisa berkoordinasi dengan baik saat

pengukuran. Pasien tidur terlentang pada tempat tidur (usahakan

posisi tempat tidur rata). Tempatkan alat penyangga diantara

Page 13: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

15

lipatan paha dan betis kaki kiri membentuk sudut siku 90°. Beri

bantuan dengan bantal pada bagian pantat pasien jika alat

penyangga terlalu tinggi. Telapak kaki kiri pasien membentuk

sudut 90°. Pasang alat pengukur tepat pada telapak kaki kiri

pada bagian tumit dan lutut. Baca angka (panjang lutut) pada

alat secara seksama dan cacat angka hasil pengukur.

Gambar 2.4 Pengukuran panjang lutut pada lansia yang sakit

(hemiparesis dan kontraktur).

2.5 Intervensi Keperawatan dalam Pengelolaan Pemenuhan Kebutuhan

Mobilisasi Lansia

Asuhan keperawatan yang diberikan pada lansia dengan gangguan

mobilisasi bertujuan untuk mempertahankan kemampuan dan fungsi, serta

mencegah komplikasi lebih lanjut pada klien. Upaya perawat mempertahankan

kemampuan dan fungsi sistem muskuloskeletal pada lansia dilakukan dengan

intervensi latihan fisik. Karena keluhan nyeri sendi banyak dialami oleh lansia,

maka penanganan nyeri perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri saat latihan

fisik dilakukan. Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah kompres dengan

tujuan meredakan nyeri dan mengurangi kekakuan sendi. Pencegahan

komplikasi lebih lanjut pada lansia yang mengalami gangguan mobilisasi

dilakukan dengan memenuhi nutrisi yang adekuat untuk mempertahankan

struktur dan integritas tulang. Pencegahan komplikasi juga dilakukan dengan

meningkatkan keamanan melalui penggunaan alat bantu jalan dan pengaturan

posisi.

2.5.1 Kompres

Gangguan mobilisasi pada kasus yang disajikan dimana lansia

mengalami hemipharesis dextra dan kontraktur pada kaki kiri dan tangan

kirinya, maka akan lebih dibahas mengenai kompres panas untuk

Page 14: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

16

mengurangi nyeri pada kontraktur klien. Efek fisiologis pada kompres

panas adalah terjadi vasodilatasi pembuluh darah, meningkatkan

permeabilitas kapiler, meningkatkan metabolisme selular, merelaksasi

otot, meredakan nyeri dengan merelaksasi otot, mengurangi kekakuan

sendi dengan menurunkan viskositas cairan synovial. Pada kontraktur, efek

panas dari kompres panas akan mengurangi kontraktur dan meningkatkan

rentang pergerakan sendi dengan lebih memungkinkan terjadinya sintesis

otot dan jaringan penyambung.

2.5.2 Latihan Fisik: Range of Motion

Latihan fisik bertujuan untuk pemeliharaan kekuatan dan

ketahanan sistem muskuloskeletal. Latihan fisik pada lansia diberikan

sesuai dengan kemampuan dan kondisi kesehatannya. Prinsip pemberian

latihan fisik lansia yaitu kondisi lansia sehat, latihan dimulai dari yang

sederhana (seperti: ROM), latihan dapat secara aktif atau pasif, dan latihan

dilakukan secara bertahap untuk mencapai target denyut jantung.

Lansia pada kasus yang disajikan mengalami hemiparesis dextra

dan kontraktur pada kaki dan tangan kirinya. Latihan fisik dimulai dari

yang sederhana yaitu latihan rentang gerak atau ROM. Latihan RPS

(Rentang Pergerakan Sendi) adalah latihan-latihan yang diberikan untuk

mempertahankan fungsi sendi dan meningkatkan fungsi sendi yang

berkurang karena proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan (Ellis,

Nowlis, dan Bentz, 1996 dalam Novieastari, 2006). Tujuan dari latihan

RPS meliputi:

mempertahankan fungsi mobilisasi sendi

memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot yang

berkurang karena proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan

mencegah komplikasi dari immobilisasi seperti atropi otot dan

kontraktur

mempersiapkan latihan lebih lanjut.

RPS tidak boleh dilakukan pada lansia yang memiliki gangguan

pada sistem kardiovaskuler dan pernapasan, lansia yang mengalami

Page 15: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

17

pembengkakan dan peradangan sendi, serta lansia yang mengalami cidera

pada sistem muskuloskeletal di sekitar sendi. RPS yang dilakukan

disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan kemampuan lansia. Berdasarkan

tingkat kemampuannya, jenis latihan RPS dibagi menjadi tiga, yaitu:

1) RPS aktif: klien melakukan latihan secara mandiri dengan atau tanpa

supervise dari perawat. Klien juga dilibatkan secara aktif dalam

perencanaan program latihan. Latihan aktif ini membantu

mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta

meningkatkan penampilan kognitif.

2) RPS aktif asistif: latihan dilakukan oleh klien sesuai dengan

kemampuannya dan sisanya dibantu perawat.

3) RPS pasif: latihan diberikan oleh perawat atau anggota tim kesehatan

lain dimana klien menggerakkan rentang sendi oleh rentang geraknya

orang lain. Latihan ini hanya membantu mempertahankan fleksibilitas

Untuk mempertahankan rentang gerak, sendi-sendi haris dilatih dua

sampai tiga kali pengulangan per hari (Stanley & Beare, 1999/2006).

2.5.3 Penggunaan Alat Bantu Jalan: Walker dan Tongkat

Ambulasi atau gerakan untuk berjalan merupakan suatu fungsi

yang perlu untuk dibantu, khususnya bagi klien yang berada pada kondisi

sakit atau di tempat tidur yang mengalami immobilisasi. Tujuan dari

mengajarkan klien menggunakan alat bantu jalan mekanik adalah: 1)

meningkatkan kekuatan otot, pergerakan sendi, dan kemampuan

mobilisasi; 2) menurunkan resiko kemampuan immobilisasi; 3)

menurunkan ketergantungan klien terhadap orang lain; 4) meningkatkan

rasa percaya diri klien. Berikut ini adalah beberapa alat bantu jalan:

2.5.3.1 Walkers (alat bantu jalan)

Alat ini memiliki dasar yang lebar sehingga lebih memberi

keseimbangan dan keamanan. Terdiri dari tangkai besi dengan

pegangan tangan, 4 kaki yang kuat dan satu tempat/ permukaan

terbuka. Alat bantu ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami

masalah keseimbangan.

Page 16: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

18

Ukuran walker : siku harus difleksikan pada sudut 15º-30º

pada saat berdiri pada walker dengan tangan berpegang pada

pegangan tangan walker. Ambulasi klien dengan alat bantu jalan

(Walker): bantu klien berdiri di tengah-tengah walker dan pegang

hand grips (pegangan pada batang yang lebih atas), lakukan

langkah ke depan dalam walker, gerakan walker 6-8 inchi (± 15

cm) dan lakukan langkah ke depan dengan tungkai yang lain

2.5.3.2 Tongkat (canes)

Tongkat merupakan alat ringan, membantu pergerakan

dengan mudah, terbuat dari kayu atau besi. Tongkat dapat menjaga

keseimbangan badan, diberikan bagi klien dengan hemiparesi dan

digunakan untuk menurunkan ketegangan karena kumpulan beban

yang berat. Tongkat tidak direkomendasikan untuk klien dengan

kelemahan kaki bilateral. Terdapat 3 tipe tongkat yang umum

digunakan, yaitu:

1) Tongkat standar, memberi dukungan minimal dan digunakan

oleh klien yang membutuhkan sedikit bantuan untuk berjalan.

2) Tongkat bertangkai, terdapat gagang untuk dipegang sehingga

memudahkan untuk memberikan stabilitas lebih besar dari

tongkat standar, khususnya berguna untuk klien dengan

kelemahan tangan.

3) Tongkat segi empat, mempunyai 3 atau 4 kaki yang memberikan

dukungan keseimbangan lebih besar. Alat ini berguna bagi klien

dengan parsial unilateral atau paralisis penih pada kaki.

Cara membantu klien dalam ambulasi menggunakan

tongkat: mulai dengan menempatkan tongkat pada sisi yang lemah,

tempatkan tongkat ke depan 15-25 cm, jaga beban BB pada kedua

tungkai, gerakkan sisi yang lebih maju, majukan tungkai melewati

tongkat dengan kuat, gerakkan tungkai yang lemah ke depan rata

dengan tungkai yang kuat, ulangi langkah-langkah.

Page 17: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

19

2.5.3.3 Tongkat penopang (kruk)

Terbuat dari kayu atau besi sepanjang ujung mencapai

aksila. Kruk digunakan untuk memindahkan berat dari satu atau

kedua kaki. Terdapat 3 tipe kruk, yaitu: kruk aksila, kruk lofstrand/

karade, kruk platform. Kruk aksila kebanyakan digunakan oleh

klien semua golongan umur, kruk lofstrand mempunyai suatu

pegangan tangan dan lingkaran besi yang melingkari lengan bawah.

Kedua lingkaran besi dan pegangan tangan diatur sesuai dengan

ketinggian klien. Kruk tipe ini sangat berguna untuk klien yang

mengalami ketidakmampuan permanen seperti para plegia.

Lingkaran besi menstabilkan dan membantu mengarahkan kruk.

Kruk platform digunakan oleh klien yang tidak dapat menahan

berat di pergelangan tangannya.

Ukuran kruk mencakup 3 hal, tinggi klien, jarak antara

bantalan kruk dengan aksila dan sudut fleksi siku. Gunakan 1 dari 2

metode berikut : 1) berdiri, posisi kruk dengan ujung kruk sekitar

14-15 cm dan 14-15 cm di depan kaki klien, bantalan kruk 4-5 cm

di bawah aksila; 2) supine, bantalan kruk berada pada 3-4 cm di

bawah aksila dengan ujung kruk diposisikan 18 cm di samping luar

tumit.

Bantu klien yang menggunakan kruk dengan memilih/

menggunakan langkah yang tepat : a) teknik 4 langkah : mulai

dengan posisi tripod dimana kruk ditempatkan 15 cm di depan atau

18 cm disamping masing-masing telapak kaki, gerakan maju kruk

kanan 14-15 cm, gerakan maju kaki kiri sejajar dengan kruk kiri,

gerakan maju kruk 14-15 cm, gerakan kaki kanan maju sejajar

dengan kruk kanan, ulangi langkah-langkah. b) teknik 3 langkah:

mulai dengan posisi tripod, majukan kedua kruk dan kaki yang

cedera, gerakan kaki ke depan dengan kuat. c) teknik 2 langkah :

mulai dengan posisi tripod, gerakkan kruk kiri dan kaki kanan ke

depan, gerakkan kruk kanan dan kaki kiri ke depan, ulangi langkah-

langkah. d) teknik langkah mengayun : gerakkan kedua kruk ke

Page 18: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

20

depan, angkat dan ayunkan tungkai ke kruk, biarkan kruk menahan

berat badan, ulangi langkah-langkah. d) teknik langkah mengayun

berlebih: gerakkan kedua kruk ke depan, angkat dan ayunkan kedua

tungkai melalui dan melebihi kedua kruk.

2.5.4 Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Lansia dengan Gangguan Mobilisasi

Asupan nutrisi sepanjang hidup seseorang mempengaruhi

maturitas massa tulang pada lansia. Untuk mempertahankan struktur dan

integritas tulang diperlukan asupan kalsium dan vitamin D yang adekuat.

Penurunan kemampuan absorbsi pada saluran gastrointestinal pada lansia

mengakibatkan lansia mengalami kekurangan kalsium. Oleh karena itu,

diperlukan diet tinggi kalsium dan vitamin D pada lansia.

2.5.4.1 Diet Tinggi Kalsium

Peran utama kalsium bagi tubuh adalah untuk membentuk

dan memelihara tulang. Rekomendasi asupan kalsium bagi lansia

adalah antara 1200-1500mg/hari (Miller, 2004). Sebanyak 99%

kalsium dalam tubuh digunakan sebagai komponen struktur tulang

dan gigi. Jika kadar kalsium dalam plasma kurang dari kebutuhan,

maka tubuh akan mengambil kalsium dari tulang yang disebut

dengan resorpsi. Oleh karena itu, asupan kalsium yang adekuat

dibutuhkan agar kalsium dalam plasma terpenuhi sehingga proses

resorpsi dapat dikurangi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium

pada usus halus adalah hormone paratiroid, diet glukosa dan

laktosa, serta motilitas normal usus. Sedangkan faktor-faktor yang

menghambat penyerapan kalsium pada usus adalah kandungan

phytic acid pada serat dari kulit gandum, kandungan diet phosphor,

polyphenol pada teh, kekurangan vitamin D, dan diare. Di sisi lain,

karena terjadinya penurunan absorpsi kalsium pada saluran

gastrointestinal, maka dibutuhkan asupan vitamin D yang adekuat

karena vitamin D berperan dalam meningkatkan penyerapan atau

absorbsi kalsium pada usus.

Page 19: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

21

Pemenuhan kebutuhan kalsium dapat diperoleh dari

berbagai makanan atau minuman. Sumber makanan atau minuman

yang mengandung kalsium antara lain adalah susu, kedelai atau

dalam bentuk olahannya seperti tahu, keju, brokoli, ikan sarden dan

ikan salmon. Asupan nutrisi tersebut dapat meningkatkan

penyerapan kalsium dalam usus dan mengurangi proses resorpsi

kalsium dari tulang. Suplemen kalsium saat ini banyak tersedia

dalam berbagai bentuk yaitu kalsium karbonat, kalsium sitrat,

kalsium fosfat, kalsium glukonat, dan kalsium laktat. Suplemen

kalsium karbonat merupakan bentuk kalsium yang sering

digunakan. Jika dalam sehari mengonsumsi suplemen sebanyak

1000mg kalsium, makasuplemen perlu dibagi menjadi dua kali

konsumsi dengan masing-masing dosis 500mg. Pembagian tersebut

penting terutama bagi seseorang yang memiliki produksi asam

lambung berlebih agar konsumsi suplemen lebih aman.

2.5.4.2 Diet Tinggi Vitamin D

Gambar 2.5 Metabolisme Vitamin D. (Zamora, 2006).

Kebutuhan Vitamin D adalah 5g/hari (200IU/hari) untuk

usia dibawah 51 tahun dan kebutuhannya meningkat menjadi

10g/hari (400IU/hari) untuk usia antara 51-70 tahun serta

kebutuhan semakin meningkat menjadi 15g/hari (600IU/hari)

Page 20: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

22

pada usia lebih dari 70 tahun. Kebutuhan vitamin D dapat diperoleh

dari sinar matahari. Sinar ultraviolet dari matahari merubah

kolesterol di kulit menjadi previtamin D. Pada makanan, vitamin D

dapat diperoleh dari ikan sarden dan salmon. Vitamin D yang

diperoleh dari makanan dapat dalam bentuk vitamin D aktif dan

previtamin D. Previtamin D untuk selanjutnya diubah menjadi

bentuk aktif oleh enzim pada hati dan ginjal. Vitamin D juga dapat

diperoleh dari suplemen.

2.5.4.3 Diet Rendah Purin

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selain

perubahan pada tulang, terjadi juga perubahan pada sendi. Masalah

yang sering muncul pada lansia adalah atritis gout atau yang

dikenal dengan asam urat. Penumpukan asam urat pada sendi

mengakibatkan nyeri pada sendi. Asam urat merupakan hasil

metabolisme purin. Purin merupakan protein yang termasuk

golongan nukleo protein. Kelebihan asam urat dalam darah

mengakibatkan penimbunan asam urat pada sendi-sendi kaki atau

tangan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan perawat untuk

mencegah hal tersebut adalah dengan memberikan diet rendah

purin pada klien.

Diet rendah purin berarti asupan makanan yang diberikan

pada klien adalah makanan-makanan yang mengandung sedikit

atau tidak mengandung purin. Makanan-makanan yang

mengandung tinggi purin antara lain hati, ginjal, jantung, limpa,

paru-paru, otak, sarden, ekstrak daging dan ragi. Makanan yang

mengandung purin sedang antara lain adalah daging, ikan, kerang,

kacang-kacangan, kacang buncis, bunga kol, bayam, asparagus dan

jamur. Asupan makanan-makanan tersebut perlu dibatasi untuk

mempertahankan kadar asam urat dalam darah normal. Jika kadar

asam urat dalam darah normal, maka penumpukan asam urat pada

sendi dapat dikurangi sehingga radang sendi akibat penumpukan

Page 21: BAB 2 TINJAUAN TEORI (Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia)

23

asam urat dapat dihindari. Diet rendah purin juga bertujuan untuk

memaksimalkan pengeluaran kelebihan asam urat melalui urin.

Asam urat lebih mudah larut dalam urin yang alkalis (Hartono,

2004). Pada diet ini, konsumsi lemak dikurangi karena lemak dapat

menimbulkan asidosis (pembentukan keton) yang membuat urin

menjadi lebih asam yang dapat menyulitkan ekskresi asam urat.

Asupan cairan yang adekuat diperlukan untuk membantu

pengeluaran kelebihan asam urat.

2.5.5 Pengaturan Posisi

Jenis posisi tidur :

Fowler adalah posisi tidur klien dimana kepala dan badan dinaikkan 45-

60. Kombinasi fowler adalah semi fowler (30-45) dan posisi high fowler

tinggi (45-90). Posisi ini digunakan untuk klien yang mengalami masalah

pernafasan.

Dorsal recumbent adalah posisi tidur telentang dengan kepala dan bahu

sedikit ditinggikan dengan bantal.

Prone adalah posisi tidur dimana klien berbaring dengan posisi

telungkup dan kepala menghadap ke samping (Potter & Perry, 1997).

Jika posisi ini dilakukan secara teratur, posisi ini dapat mencegah

kontraktur fleksi pada bokong dan lutut.

Lateral adalah posisi dimana klien berbaring pada satu sisi dari tubuh.

Posisi ini baik digunakan untuk klien yang membutuhkan istirahat atau

tidur ynag baik. Posisi lateral juga dapat menghilangkan tekanan pada

sakrum dan tumit

Sims adalah posisi antara sims dan prone.