bab 2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · jintan hitam siap pakai (sumber:...

17
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jintan Hitam (Nigella sativa) Jintan hitam atau yang dikenal dengan nama blackseed (Nigella sativa) merupakan tanaman asli Eropa Selatan dan banyak ditemukan di India, Bangladesh, Mesir, Sudan, Turki, Irak, Iran, dan Pakistan (Goreja 2003). Tanaman jintan hitam merupakan jenis tanaman rempah yang tergolong dalam famili Ranunculaceae dan merupakan tanaman herbal berbunga berupa tanaman semak semusim dengan ketinggian lebih kurang 30 cm. Budi daya perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji (Nergiz dan Ötles 1993; Adi 2008). 2.1.1 Klasifikasi Menurut Hutapea (1994), klasifikasi dari tanaman jintan hitam adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Ranunculales Famili : Ranunculaceae Genus : Nigella Spesies : Nigella sativa 2.1.2 Morfologi Menurut Hutapea (1994), jintan hitam merupakan tanaman dengan warna batang hijau kemerahan, tegak, lunak, beralur, berusuk dan berbulu kasar rapat atau jarang, dan disertai dengan adanya bulu-bulu yang berkelenjar. Tanaman ini berdaun tunggal dan lonjong dengan panjang 1.5-2 cm serta ujung pangkalnya meruncing, tepi berigi berwarna hijau, pertulangan menyirip dengan tiga tulang daun yang berbulu. Kelopak bunganya kecil berjumlah lima, berbentuk bulat telur, sampai agak tumpul, pangkal mengecil membentuk sudut yang pendek dan besar.

Upload: dinhnga

Post on 17-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jintan Hitam (Nigella sativa)

Jintan hitam atau yang dikenal dengan nama blackseed (Nigella sativa)

merupakan tanaman asli Eropa Selatan dan banyak ditemukan di India,

Bangladesh, Mesir, Sudan, Turki, Irak, Iran, dan Pakistan (Goreja 2003).

Tanaman jintan hitam merupakan jenis tanaman rempah yang tergolong dalam

famili Ranunculaceae dan merupakan tanaman herbal berbunga berupa tanaman

semak semusim dengan ketinggian lebih kurang 30 cm. Budi daya perbanyakan

tanaman dilakukan dengan biji (Nergiz dan Ötles 1993; Adi 2008).

2.1.1 Klasifikasi

Menurut Hutapea (1994), klasifikasi dari tanaman jintan hitam adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Ranunculales

Famili : Ranunculaceae

Genus : Nigella

Spesies : Nigella sativa

2.1.2 Morfologi

Menurut Hutapea (1994), jintan hitam merupakan tanaman dengan warna

batang hijau kemerahan, tegak, lunak, beralur, berusuk dan berbulu kasar rapat

atau jarang, dan disertai dengan adanya bulu-bulu yang berkelenjar. Tanaman ini

berdaun tunggal dan lonjong dengan panjang 1.5-2 cm serta ujung pangkalnya

meruncing, tepi berigi berwarna hijau, pertulangan menyirip dengan tiga tulang

daun yang berbulu. Kelopak bunganya kecil berjumlah lima, berbentuk bulat telur,

sampai agak tumpul, pangkal mengecil membentuk sudut yang pendek dan besar.

5

Mahkota berjumlah 8 berwarna putih kekuningan dengan benang sari yang

banyak dan berwarna kuning. Biji tanaman ini berbentuk bulat, kecil, jorong

bersusut 3 tidak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut dengan panjang 3 mm

seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tanaman dan biji jintan hitam (Nigella sativa)

(sumber: World Scientific 2009; Yulianti dan Junaedi 2006).

2.1.3 Khasiat

Jintan hitam umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai obat

tradisional untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia (Al-Saleh et

al. 2009). Biji jintan hitam berkhasiat sebagai obat cacing (Hutapea 1994).

Sedangkan menurut Hargono (1985), biji jintan hitam berguna sebagai pelancar

ASI, pencegah muntah, pencahar, pengkelat (pengikat ion logam) dan pengobatan

pasca persalinan. Studi klinis terbaru menunjukkan bahwa ekstrak jintan hitam

memiliki efek terapi seperti bronkhodilatator, imunomodulator, antibakteri,

hepatoprotektif (Demir et al. 2006), dan antidiabetes (Al-Hader et al. 1993 ; El-

Shabrawy dan Nada 1996). Bentuk komersial ekstrak minyak siap pakai yang

digunakan dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Ekstrak minyak jintan hitam siap pakai

(sumber: indonetwork.co.id).

6

Berbagai bentuk sediaan jintan hitam komersial lainnya yang dapat

ditemukan di pasaran antara lain ekstrak dalam bentuk bubuk atau ekstrak minyak

yang dikemas di dalam kapsul, dan dalam bentuk campuran dengan madu atau

minyak zaitun.

Jintan hitam memiliki banyak kegunaan menurut berbagai penelitian yang

telah dilakukan. Beberapa kegunaan jintan hitam antara lain untuk memperkuat

sistem kekebalan tubuh sehingga dapat digunakan untuk pengobatan kanker,

AIDS, dan penyakit lain yang berhubungan dengan penurunan tingkat kekebalan

tubuh (El-Kadi et al. 1986). Jintan hitam juga dimanfaatkan sebagai bahan

antibakterial, karena minyak atsiri jintan hitam efektif melawan bakteri seperti

Vibrio cholera, Eschericia coli, dan Shigella sp. Jintan hitam juga baik

dikonsumsi oleh orang yang sehat karena jintan hitam mengikat radikal bebas dan

menghilangkannya (Astawan 2009).

Selain itu, jintan hitam tidak menimbulkan alergi karena memiliki aktivitas

antihistamin. Kristal nigellone merupakan agen penghambat histamin yang

bekerja menghambat proteinkinase C yang dikenal sebagai zat yang memacu

pelepasan histamin. Kristal nigellone juga menurunkan pengambilan kalsium dari

sel yang peka, sehingga dapat menghambat pelepasan histamin (Chakravarty

1993).

Ekstrak jintan hitam berguna untuk mengurangi efek radang sendi.

Turunan dari fixed oil jintan hitam yaitu thymoquinone merupakan agen

antiperadangan. Cara kerjanya adalah dengan menghambat pembentukan

eicosanoid (El-Dakhakhny et al. 2000). Thymoquinone yang terkandung dalam

ekstrak jintan hitam dapat menghambat jalur siklo-oksigenase dan lipo-oksigenase

dari metabolisme arakhidonat. Lipo-oksigenase dapat mengkatalisis pembentukan

leukotrienes dari asam arakhidonat yang berfungsi sebagai mediator dari alergi

dan peradangan. Siklo-oksigenase adalah enzim pertama dalam metabolisme

siklo-oksigenase yang dihasilkan dari asam arakhidonat yang akhirnya

menghasilkan prostaglandin dan trombosit. Prostaglandin juga merupakan

mediator peradangan. Selain itu, thymoquinone juga dapat menghambat

peroksidasi non-enzimatis. Dengan demikian mendukung fakta bahwa ekstrak

jintan hitam dapat melawan reumatik dan peradangan (Houghton et al. 1995).

7

Thymoquinone juga menunjukkan aktivitas antioksidan di dalam sel

(Mansour et al. 2002; Demir et al. 2006). Selain itu, kombinasi dari bagian lipid

dan struktur hormon dalam jintan hitam meningkatkan aliran air susu ibu

(Agarwal et al. 1979; Adi 2008).

2.1.4 Kandungan Kimia

Kandungan kimia jintan hitam adalah minyak atsiri, minyak lemak,

saponin, polifenol, nigelin (zat pahit), nigellone, dan thymoquinone (Suryo 2010).

Sedangkan menurut Al-Jabre et al. (2003), kandungan biji jintan hitam antara lain:

thymoquine, thymohydroquinone, dithymoquinone, thymol, carvacrol, nigellicine,

nigellidine, nigellimine-N-oxide dan α-hedrin. Komposisi biji jintan hitam

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100g)

Air (moisture) 6.4 ± 0.15

Lemak 32.0 ± 0.54

Serat Kasar 6.6 ± 0.69

Protein 20.2 ± 0.82

Abu 4.0 ± 0.29

Karbohidrat 37.4 ± 0.87

Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Biji jintan hitam juga mengandung logam yang berjumlah sekitar 1510.8

mg/100g biji. Kandungan logam biji jintan hitam tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan logam dalam biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100g)

Kalsium 188.0 ± 1.50

Besi 57.5 ± 0.50

Natrium 85.3 ± 16.07

Kalium 1180.0 ± 10.00

Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Biji jintan hitam mengandung asam lemak tak jenuh dalam jumlah yang

cukup berarti. Secara lengkap komposisi asam lemak dan sterol biji jintan hitam

tersaji pada Tabel 3.

8

Tabel 3 Komposisi asam lemak dan sterol biji jintan hitam

Asam lemak Jumlah (mg/100g)

Miristat (C14:0) 1.2 ± 0.04

Palmitat (C16:0) 11.4 ± 1.00

Stearat (C18:0) 2.9 ± 0.24

Oleat (C18:1) 21.9 ± 1.00

Linoleat (C18:2) 60.8 ± 2.67

Arakhidat (C20:0) Sedikit

Eicosadienoat 1.7 ± 0.11

Sterol Jumlah (mg/100g)

Campesterol 11.9 ± 0.99

Stigmasterol 18.6 ± 1.52

β-sitosterol 69.4 ± 2.78

Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Kandungan tokoferol dan polifenol dalam biji jintan hitam menunjukkan

adanya senyawa fenolik yang merupakan faktor utama yang berkhasiat sebagai

obat dan zat pembentuk rasa. Kandungan tokoferol dan polifenol dari minyak biji

jintan hitam tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan tokoferol dan polifenol minyak biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100g)

Total tokoferol 340 ± 8.66

Alfa-tokoferol 40 ± 10.00

Beta-tokoferol 50 ± 15.00

Gamma-tokoferol 250 ± 13.00

Total polifenol 1 744 ± 10.60

Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Biji jintan hitam dapat direkomendasikan sebagai makanan tambahan yang

cukup bergizi. Kandungan vitamin dari biji jintan hitam tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi vitamin biji jintan hitam

Vitamin (mg/100g)

B1 (Thiamin) 831 ± 11.36

B2 (Riboflavin) 63 ± 3.32

B6 (Pyridoxin) 789 ± 8.89

PP (Niasin) 6 311 ± 16.52

Asam Folat 42 ± 4.58

Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Jintan hitam mengandung 8 jenis dari 10 asam amino esensial dan 7 jenis

dari 10 asam amino non-esensial. Komposisi asam amino biji jintan hitam tersaji

pada Tabel 6.

9

Tabel 6 Komposisi asam amino biji jintan hitam

Asam amino (mg/100g) Asam amino (mg/100g)

Alanin 3.77 Serin 1.98

Valin 3.06 Asam aspartat 5.02

Glisin 4.17 Metionin 6.16

Isoleusin 4.03 Fenilalanin 7.93

Leusin 10.88 Asam glutamat 13.21

Prolin 5.34 Tirosin 6.08

Treonin 1.23 Lisin 7.62

Arginin 19.52

Sumber: Babayan et al. 1978

Jintan hitam sudah digunakan sejak jaman dahulu selain karena bijinya

memiliki aroma khas yang sering digunakan sebagai bumbu untuk penyedap

masakan (Nugroho 2006), berbagai khasiatnya juga telah dirasakan. Menurut

Goreja (2003), seorang ilmuwan terdahulu sekaligus dokter dari Persia yaitu Ibn

Sina menggunakan biji jintan hitam sebagai obat untuk mengatasi demam, sakit

gigi, sakit kepala, pilek, luka atau iritasi luar, obat antijamur dan obat cacing,

terutama pada anak. Penggunaan ramuan jintan hitam menyebar dengan cepat di

kalangan masyarakat Muslim dan telah menjadi kebutuhan pokok dalam

kehidupan sehari-hari sebagai rempah kaya nutrisi untuk menjaga kesehatan.

Menurut berbagai penelitian terdahulu, kandungan jintan hitam terbukti

mampu memperkuat dan menstabilkan sistem imunitas tubuh (Schleicher dan

Saleh 2000) dengan meningkatkan rasio antara sel-T helper dan sel-T supressor

sebesar 55% dengan rata-rata pencapaian aktivitas sel pembunuh alami sebesar

30% (Haq et al. 1999). Jintan hitam mampu menstimulasi sumsum tulang dan sel

imun, melindungi sel normal dari perusakan sel oleh virus, menghancurkan sel

tumor dan meningkatkan jumlah antibodi yang diproduksi oleh sel-B (Astawan

2009).

2.2 Madu

Madu adalah pemanis tertua yang pertama kali dikenal dan digunakan oleh

manusia sebelum mengenal gula karena bisa langsung dikonsumsi tanpa diolah

(Suranto 2004). Sedangkan menurut Al-Qassemi dan Robinson (2003), madu

adalah salah satu makanan pemanis tertua yang paling populer, dan selama

berabad-abad selalu mempertahankan citra yang alami. Madu merupakan zat

10

kental manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai jenis tanaman yang

berbeda (Pohl dan Sergiel 2009).

Madu umumnya dikonsumsi dalam keadaan mentah, seperti kristal cair

atau disisir dan digunakan sebagai obat, dimakan sebagai makanan atau

dimasukkan sebagai bahan dalam resep berbagai makanan. Madu digunakan

sebagai suplemen makanan, pengobatan medis dan makanan alami, tanpa

menambahkan zat apapun. Madu juga dianggap sebagai indikator pencemaran

lingkungan yaitu dengan keberadaan logam dalam kadar tertentu yang tidak

seharusnya ditemukan pada madu (Bağci et al. 2007).

Secara umum madu berkhasiat untuk menghasilkan energi, meningkatkan

daya tahan tubuh, dan meningkatkan stamina. Selain itu, di dalam madu terdapat

zat asetilkolin yang dapat melancarkan metabolisme seperti memperlancar

peredaran darah dan menurunkan tekanan darah. Madu mengandung zat

antibakteri sehingga baik untuk mengobati luka bakar dan infeksi. Salah satu sifat

madu adalah preservatif atau bersifat mengawetkan. Madu murni memiliki

osmolaritas yang tinggi sehingga bakteri sulit untuk hidup, sehingga madu sering

digunakan sebagai bahan pengawet dan dapat disimpan baik selama ratusan tahun

(Suranto 2004).

Komposisi kimia dari lebah madu tergantung pada aktivitas biologi

tanaman yang dikumpulkan serta kondisi makro dan mikroklimat. Banyak

senyawa dalam madu yang berfungsi sebagai antioksidan. Salah satunya adalah

asam L-askorbat. Asam L-askorbat adalah antioksidan fase cair paling efektif

dalam plasma darah yang berfungsi sebagai antioksidan fisiologis penting untuk

perlindungan terhadap penyakit dan proses degeneratif yang disebabkan oleh stres

oksidatif (Kesić et al. 2009).

Fruktosa, glukosa, dan sukrosa adalah komponen utama madu, selain zat-

zat gula lainnya dalam konsentrasi yang lebih sedikit. Terdapat juga zat lain dalam

jumlah sedikit yaitu asam amino, resin, protein, garam, mineral, asam organik,

lakton, asam amino, mineral, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C,

vitamin K, niasin, asam pantotenat, asam folat, dan pigmen. Madu mengandung

banyak mineral seperti kalsium, besi, seng, kalium, fosfor, magnesium, selenium,

kromium mangaan, natrium, kalium, dan alumunium (Suranto 2004; Mohammed

11

dan Babiker 2009). Kandungan mineral magnesium dalam madu ternyata sama

dengan kandungan magnesium yang ada dalam serum darah manusia. Selain itu,

kandungan mineral besi dalam madu dapat meningkatkan kadar hemoglobin,

sedangkan enzim yang penting dalam madu adalah enzim diastase, invertase,

glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase (Suranto 2004). Madu biasanya

dikonsumsi dengan cara dicampur dengan minyak jintan hitam dan minyak zaitun.

Dalam sediaan komersial juga banyak dijumpai beberapa sediaan madu siap

konsumsi. Sediaan madu yang dapat dijumpai antara lain sediaan madu murni,

campuran madu dengan minyak zaitun atau campuran madu dengan ekstrak

minyak jintan hitam yang digunakan pada penelitian ini seperti yang ditunjukkan

pada Gambar 3.

Gambar 3 Campuran ekstrak minyak jintan hitam dengan madu komersial

(sumber: dutaherbal.indonetwok.co.id).

2.3 Mencit (Mus musculus)

Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium atau hewan percobaan.

Hewan ini paling kecil diantara jenisnya yang memiliki galur mencit yang

berwarna putih (Malole dan Pramono 1989). Mencit putih memiliki bulu pendek

halus berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang

daripada badan dan kepala. Taksonomi mencit menurut Besselen (2004):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodensia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

12

Gambar 4 Mencit (Mus musculus) (sumber: Rothbart 2004).

Sampai saat ini, mencit sering digunakan sebagai hewan model untuk

penelitian dasar pada obat, toksikologi, medikasi, kultur jaringan dan organ,

mikologi, uji sensitifitas kulit, imunologi, ophtalmologi, onkologi, dan biologi

reproduksi (Hafez 1970). Selain itu, mencit merupakan salah satu hewan pengerat

yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran

banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, serta sifat-sifat produksi dan reproduksinya

menyerupai hewan mamalia (Nafiu 1996), dapat berkembang biak dengan cepat,

pemeliharaan yang relatif mudah walaupun dalam jumlah banyak, ekonomis dan

efisiensi dalam hal tempat dan biaya (Malole dan Pramono 1989). Oleh karena itu,

mencit banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian medis, biomedis, dan

obat-obatan herbal karena memiliki arti penting pada penelitian berbasis genetik.

Tabel 7 Data biologis mencit normal

Data Biologis Waktu/Jumlah

Berat dewasa

a. Jantan 20-40 g

b. Betina 18-35 g

Konsumsi air 6.7 ml/dewasa/hari

Konsumsi pakan

Total leukosit

5 g/dewasa/hari

5-12 × 103/mm

3

a. Neutrofil

b. Limfosit

7-37%

63-75%

c. Monosit 0-3%

d. Eosinofil 0-4%

e. Basofil 0-1.5%

Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988

2.4 Darah

Darah merupakan jaringan khusus yang bersirkulasi, terdiri dari sel-sel

yang terendam dalam plasma darah (Dellmann dan Brown 1989). Beberapa fungsi

darah di dalam sirkulasi diantaranya: (1) membawa gas-gas dan oksigen (O2) dari

paru-paru ke dalam jaringan dan membawa (CO2) dari jaringan ke paru-paru. (2)

13

membawa produk-produk metabolit atau nutrien oleh saluran pencernaan menuju

ke jaringan tubuh. (3) membawa produk-produk metabolit dari jaringan perifer ke

tempat-tempat ekskresi. (4) membawa enzim dan hormon ke dalam jaringan target

spesifik. (5) mengatur pH dan komposisi elektrolit cairan interstitial dalam tubuh.

(6) mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan saat perlukaan dengan

proses pembekuan darah. (7) mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan

terhadap penyakit (Frandson 1992).

Volume sel darah umumnya 6-8% dari berat badan, jumlahnya lebih

sedikit dibandingkan dengan volume plasma. Volume darah hewan dipengaruhi

oleh umur, keadaan kesehatan dan gizi makanan, ukuran tubuh, waktu menyusui

atau laktasi, derajat aktivitas dan faktor lingkungan. Menurut Jain (2003), jika

tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis, maka gambaran darah juga akan

mengalami perubahan. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan karena faktor

internal seperti pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, kesehatan, siklus stres,

proses produksi darah, kebuntingan, dan suhu tubuh. Perubahan eksternal antara

lain infeksi kuman penyakit, fraktura, dan perubahan lingkungan.

Komponen darah terdiri dari 60% bagian cair (plasma darah) dan 40%

bagian padat (butir darah). Bila darah disentrifuse terdiri dari tiga lapisan yaitu,

54% plasma darah pada lapisan pertama terdiri dari 91% air, 7% protein darah,

dan 2% nutrisi, hormon serta elektrolit, lapisan kedua adalah buffy coat dengan

persentase 1% yang terdiri dari leukosit dan trombosit, serta 45% eritrosit pada

lapisan ketiga (Guyton dan Hall 2005).

Gambar 5 Buffy coat (sumber: Hall et al. 2009).

Platelet-poor plasma

Buffy coat

(platelet and white blood cells

Red blood cells

Buffy coat

(platelet and white blood cells)

Red blood cells

14

2.4.1 Sumsum Tulang

Sumsum tulang merupakan tempat dihasilkannya sel darah. Pada sumsum

tulang terdapat sel yang disebut stem cell hemopoietic pluripotent (SHSC) yang

akan berdiferensiasi menjadi sel induk khusus. Selanjutnya sel ini akan

berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel darah tertentu (Ganong 2005). Proses

berlangsungnya pembentukan darah disebut hemopoiesis (Manoharan dan

Sethuraman 2003). Pada saat janin, hemopoiesis terjadi di kantung kuning telur,

hati, limpa dan sumsum tulang (pada semua tulang). Sedangkan pada saat dewasa,

hemopoiesis terjadi di tulang vertebrata, tulang iga, sternum, tulang tengkorak,

tulang sacrum dan pelvis, serta ujung proksimal femur (Fawcett 2002).

Sel darah diproduksi dengan tahap perkembangan yang berbeda-beda

secara morfologi maupun fungsinya. Pembentukan sel darah tergantung adanya

SHSC dalam sumsum. Sel induk ini berjumlah kurang dari 0.2% dari populasi

total sel berinti dalam sumsum. Kebanyakan dari mereka dalam keadaan tidak

aktif dan hanya membelah setelah interval tertentu atau terhadap permintaan luar

biasa akan sel darah baru. Sel induk yang beredar dapat mengalami pembelahan

atau pembaharuan diri untuk mempertahankan jumlah sel pluripoten atau

mengalami pembelahan diferensiasi yang menghasilkan sel progenitor. Sel

progenitor tidak atau sedikit sekali memiliki kemampuan memperbarui diri dan

harus berkembang menjadi satu jenis sel darah. Sel induk dan sel progenitor jalur

spesifik yang berasal darinya secara morfologis dan sitokimia tidak dapat

dibedakan. Dalam perkembangannya, turunan sel progenitor berbagai jalur sel

berlanjut melalui sederet tahap intermediet yang secara morfologis dapat

dibedakan berdasarkan ukuran, konfigurasi inti, dan ada atau tidaknya granul

spesifik dalam sitoplasma (Weiss dan Wardrobe 2010).

2.4.2 Hemopoiesis

Menurut Fawcett (2002), potensi perkembangan masing-masing sel

pembentuk koloni dapat lebih jelas dengan identifikasi mikroskopik sel darah

dewasa. Jika semua jalur sel darah tercakup, maka sel asal adalah sebuah sel induk

hemopoietik pluripoten (PHSC). Jika granulosit dan monosit yang diperoleh,

progenitor bipotennya disebut unit pembentuk koloni monosit (CFU-GM). Jika

hanya granulosit yang ditemukan, koloni tersebut berasal dari unit pembentuk

15

koloni granulosit (CFU-G), dan jika hanya monosit yang ada, sel asalnya adalah

unit pembentuk koloni monosit (CFU-M). Sel progenitor unipoten yang hanya

menghasilkan satu dari jenis sel lain yaitu yaitu eritrosit (CFU-E), eosinofil (CFU-

Eo), megakariosit (CFU-Meg), dan seterusnya seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Skema proses hemopoiesis (sumber: Morrel 2011).

2.4.3 Sel Darah Putih (Leukosit)

Sel darah putih (leukosit) berasal dari bahasa Yunani, yaitu leukos yang

berarti putih dan cytes yang berarti sel. Menurut Guyton dan Hall (2005), sel

darah putih (leukosit) merupakan unit yang aktif dari sistem pertahan tubuh.

Fungsi utama dari leukosit adalah merusak bahan-bahan infeksius dan toksik

melalui proses fagositosis (dilakukan oleh makrofag dan neutrofil) serta

membentuk antibodi. Leukosit memiliki lebih dari satu jenis sel yang bersirkulasi

dengan fungsi yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan dan dapat keluar

dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melaksanakan fungsinya (Dellmann

dan Brown 1989).

Sel darah putih dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit

disimpan di dalam sumsum tulang sampai mereka diperlukan di dalam sirkulasi

dan sebagian lagi dibentuk di jaringan limfe (Guyton dan Hall 2005). Menurut

16

Jain (1993), leukopenia atau penurunan jumlah leukosit di dalam sirkulasi,

umumnya disebabkan karena neutropenia atau limfopenia. Leukositosis

merupakan keadaan bila jumlah leukosit meningkat, yaitu melebihi 10.000/µl.

Leukositosis merupakan suatu reaksi terhadap adanya cidera. Leukositosis ini

disebabkan produksi sumsum tulang yang meningkat, sehingga jumlahnya dalam

darah cukup untuk menyelenggarakan emigrasi pada waktu ada jaringan cidera

atau radang (Guyton dan Hall 2005). Leukosit terbagi atas dua golongan besar

berdasarkan ada tidaknya granula.

Leukosit Agranulosit

2.4.3.1 Limfosit

Limfosit termasuk dalam leukosit agranular karena di dalam

sitoplasmanya tidak terdapat granula. Berdasarkan ukurannya, limfosit dibedakan

menjadi dua kelompok yaitu limfosit besar (large lymphocyte) dan limfosit kecil

(small lymphocyte). Pada fetus, limfosit dibentuk di sumsum tulang dan

dipengaruhi oleh beberapa fungsi baik oleh kelenjar timus untuk limfosit-T

maupun bursa equivalen oleh limfosit-B dan kemudian akan berdiferensiasi,

sehingga dapat menghasilkan antibodi pada anak-anak (Ganong 2005). Pada akhir

masa fetal dan post natal, kebanyakan limfosit diproduksi di limpa, limfonodus

dan usus yang berhubungan dengan jaringan limfoid. Limfopoiesis pada organ

sekunder bergantung pada stimulasi antigenik.

Limfosit sebagian besar disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid

kecuali pada sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah. Limfosit

tersebar dalam limfonodus namun dapat juga dijumpai dalam jaringan limfoid

khusus, seperti limpa, daerah submukosa dari traktus gastrointestinal, dan sumsum

tulang. Masa hidup limfosit berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-

tahun, hal ini dikarenakan ketergantungan tubuh akan sel-sel tersebut (Guyton dan

Hall 2005). Secara umum limfosit berupa sel bulat kecil berdiameter 7-12 µm,

dengan nukleus berlekuk yang terpulas gelap dan sedikit sitoplasma biru terang

(Fawcett 2002).

17

Gambar 7 Limfosit (sumber: Sobotta 1993).

Menurut Tizard (1987) fungsi utama limfosit adalah memproduksi

antibodi atau sebagian sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang dibawa

oleh makrofag, menghasilkan berbagai limfokin, salah satunya adalah migration

inhibitor factor (MIF) yang mencegah perpindahan makrofag. Menurut Dellmann

dan Brown (1989) zat lain yang juga dihasilkan dari limfosit yang terstimulasi

adalah faktor kemotaktik untuk makrofag, lymphocyte transforming factor dan

faktor penyebab peradangan. Jumlah limfosit dalam darah dipengaruhi oleh

jumlah produksi, resirkulasi dan proses penghancuran limfosit. Setelah limfosit

hancur atau dihancurkan, kemudian akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke

hati (Jain 1993; Tizard 1987).

2.4.3.2 Monosit

Monosit adalah leukosit terbesar berdiameter 15-20 µm. Sitoplasmanya

lebih banyak daripada sitoplasma sel limfosit. Nukleus seperti ginjal atau mirip

tapal kuda. Monosit darah tidak pernah mencapai dewasa penuh sampai

bermigrasi ke dalam jaringan menjadi makrofag tetap pada sinusoid hati, sumsum

tulang, alveoli paru-paru dan jaringan limfoid (Dellmann dan Brown 1989).

Gambar 8 Monosit (sumber: Sobotta 1993).

Monosit berperan sebagai prekursor untuk makrofag dimana sel ini akan

mencerna dan membaca antigen. Monosit juga berfungsi melindungi tubuh

18

terhadap organisme penyerang terutama dengan fagositosis (Guyton dan Hall

2005). Aktivitas fagositosis dari monosit tergantung dari bahan yang difagosit

(Tizard 1987).

Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam. Begitu masuk

ke dalam jaringan sel-sel ini membengkak dengan ukuran yang sangat besar untuk

membentuk makrofag jaringan, dan dalam bentuk ini sel-sel tersebut dapat

bertahan hidup berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kecuali bila mereka

dimusnahkan karena melakukan fungsi fagositik (Guyton dan Hall 2005).

Leukosit Granulosit

2.4.3.3 Neutrofil

Neutrofil merupakan sel leukosit dengan mobilitas tinggi sehingga

menjadi sel pertama yang sampai ke jaringan penghasil substansi kimia yang

bersifat kemotaksis. Substansi kimia tersebut mampu merangsang neutrofil keluar

dari pembuluh darah melalui proses diapedesis atau gerakan amuboid (Ganong

2005). Menurut Dellmann dan Brown (1989) sel neutrofil dewasa berukuran 10-

12 µm. Inti bergelambir 2-5, sitoplasma bergranul eosinofilik dan basofilik.

Setelah 6-10 jam di dalam darah, memasuki jaringan dan tahan 1-2 hari. Waktu

paruh rata-rata sel neutrofil di dalam sirkulasi adalah 6 jam. Untuk dapat

mempertahankan kadar normal di dalam peredaran darah diperlukan pembentukan

lebih dari 100 milyar sel neutrofil per hari.

Gambar 9 Neutrofil (sumber: Sobotta 1993).

Secara klinis apabila jumlah neutrofil muda meningkat dalam sirkulasi

disebut left shift. Kondisi ini ditemukan pada saat infeksi akut. Sedangkan apabila

jumlah neutrofil abnormal dengan hipersegmentasi disebut right shift yang

ditemukan pada infeksi kronis atau stres (Dellmann dan Brown 1989). Menurut

19

Tizard (1987), fungsi utama neutrofil adalah penghancur bahan asing melalui

proses fagositosis yaitu menghancurkan benda asing dengan segera. Oleh karena

itu, neutrofil disebut sebagai lini pertahanan pertama. Bersama dengan makrofag,

neutrofil dalam sirkulasi darah meningkat cepat saat terjadi infeksi yang akut.

2.4.3.4 Eosinofil

Eosinofil termasuk leukosit granulosit yang berukuran hampir sama dengan

neutrofil. Jumlah eosinofil dalam aliran darah berkisar 2-8% dari total jumlah

leukosit. Sel ini berkembang dalam sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam

aliran darah (Tizard 1987). Diameter eosinofil 10-15 µm dengan granula berwarna

merah di dalam sitoplasmanya sehingga dapat dikenal dengan nama asidofil.

Jangka waktu hidup sel ini 3-5 hari.

Gambar 10 Eosinofil (sumber: Sobotta 1993).

Eosinofil memiliki waktu paruh yang singkat di dalam sirkulasi. Eosinofil

melepaskan protein, sitokinin dan kemokin yang mengakibatkan reaksi

peradangan tetapi mampu membunuh organisme yang menyusup ke dalam tubuh.

Jumlah eosinofil yang beredar dalam sirkulasi darah akan meningkat pada

penyakit alergi (Ganong 2005). Eosinofil berperan sebagai sel fagosit tetapi bukan

terhadap bakteri atau runtuhan-runtuhan sel, melainkan terhadap komponen asing

yang telah bereaksi dengan antibodi pada penderita infeksi parasit (Guyton dan

Hall 2005). Eosinofil ditarik ke lokasi terjadinya reaksi antigen-antibodi kemudian

memakan kompleks antigen-antibodi tersebut (Swenson 1984). Sedangkan

menurut (Tizard 1987), enzim yang ada dalam eosinofil efektif menghancurkan

larva cacing dan mampu menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast

dan basofil oleh karena itu sel ini juga berfungsi mengendalikan atau mengurangi

reaksi hipersensitivitas.

20

2.4.3.5 Basofil

Basofil merupakan sel myeloid yang jumlahnya paling sedikit di dalam

darah. Jumlah basofil berkisar 0-1.5% dari total leukosit. Basofil berdiameter 10-

12 µm dengan inti bergelambir dua atau tidak teratur. Butirnya berukuran 0.5-1.5

µm berwarna biru tua sampai ungu sering menutupi inti yang berwarna agak

cerah. Butir-butir tersebut mengandung heparin, histamin, asam hialuron,

kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotaktik (Dellmann dan Brown

1989). Antikoagulan heparin yang ada dalam basofil akan dilepaskan di daerah

peradangan untuk mencegah timbulnya pembekuan serta stasis darah dan limpa

(Frandson 1992).

Gambar 11 Basofil (sumber: Sobotta 1993).

Pembentukan basofil terjadi dalam sumsum tulang bersamaan dengan

pembentukan neutrofil. Basofil berperan sebagai mediator untuk aktivitas

pendarahan dan alergi, memiliki reseptor imunoglobulin E (IgE) dan

imunoglobulin G (IgG) yang menyebabkan degranulasi dan membangkitkan

reaksi hipersensitif dengan sekresi yang bersifat vasoaktif (Dellmann dan Brown

1989). Adanya rangsangan alergen yang bereaksi dengan IgE maka basofil akan

melepaskan berbagai mediator dan mengakibatkan reaksi anafilaktik. Masa hidup

basofil beberapa hari sedangkan sel mast bisa berminggu-minggu sampai

berbulan-bulan (Jain 1993).