bab 2 tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39388/3/bab 2.pdf · perlekatan...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Normal
2.1.1 Bibir
Bibir berbeda dari struktur sekitarnya. Bibir atas dimulai dari lubang
hidung dan dasar ala nasi setiap sisi dan berakhir di lateral pada lipatan
nasolabial. Bibir atas dibagi menjadi subunit oleh phitral columns. Phitral
columns terbentuk oleh serat m. orbicularis oris kontralateral yang melalui garis
tengah. Lekukan ditengah antar philtral columns disebut phitral groove. Cupid’s
bow merupakan bagian persimpangan kulit dan vermilion diantara phitral
columns. Bibir bagian bawah dimulai dari lipatan nasolabial di lateral dan dibatasi
oleh lipatan labiomental. Bibir atas dan bawah menyatu di komisura, seperti
tampak pada gambar 2.1 (Matros & Pribaz, 2014).
(Matros & Pribaz, 2014)
Gambar 2.1
Anatomi bibir normal A Philtral columns B Cupid’s bow C Komisura D
White roll E Vermillion G Philtral groove
Bagian kulit dan vermilion dibatasi oleh bagian putih disebut white roll.
Warna dan lekukan white roll dibentuk oleh serat m. orbicularis oris, dimana
6
ketebalannya semakin berkurang ke arah komisura seperti vermillion. Vermillion
terdiri dari epitel stratified squamous di bagian luar dan transisi menjadi epitel
squamous di dalam mulut (Matros & Pribaz, 2014).
Otot daerah rahang atas yang bertanggung jawab atas elevasi bibir atas
meliputi m. zygomaticus mayor, m. zygomaticus minor, m. levator labii superioris
alaque nasi, m. levator labii superioris, dan m. levator anguli oris. Penarikan dan
depresi bibir bagian bawah oleh m. depressor anguli oris dan m. depressor labii.
Otot di daerah intermaksila meliputi m. orbicularis oris, m. buccinator, dan m.
risosius. M. orbicularis oris adalah otot bibir yang paling penting, berfungsi
sebagai sfingter dan untuk bicara (Matros & Pribaz, 2014).
Supplai darah ke bibir berasal dari arteri karotis eksterna yang diteruskan
ke arteri fasialis. Arteri fasialis bercabang menjadi arteri labialis superior dan
inferior (Matros & Pribaz, 2014).
Inervasi motorik otot bibir dipersarafi oleh cabang nervus fasialis (VII).
Cabang zygomaticus dan buccal berfungsi untuk elevasi, sedangkan nervus
mandibular marginal menginervasi otot depresor bibir. Inervasi sensorisnya
dipersyarafi oleh cabang infraorbital (V2) dan mental (V3) dari nervus trigeminal
(Matros & Pribaz, 2014).
2.1.2 Langit-Langit (Palatum)
Langit-langit (palatum) manusia terdiri dari bagian keras yaitu hard palate
dan bagian fibromuskular disebut soft palate. Bagian hard palate dibagi menjadi
hard palate primer dan hard palate sekunder. Bagian hard palate primer berada
di depan foramen incisivus, sedangkan hard palate sekunder berada dibelakang
7
memisahkan hidung dan faring, seperti tampak pada gambar 2.2 (Burg, et al.,
2016).
(Schuenke, et al., 2016)
Gambar 2.2
Anatomi palatum
Soft palate, atau disebut juga dengan velum merupakan bagian
fibromuscular yang menutup di belakang ke bagian hard palate dan tersusun atas
lima pasang otot yaitu m. palatoglossus, m. palatopharyngeus, m. levator veli
palatine, tendon tensor veli palatine, dan uvulae (Burg, et al., 2016).
2.2 Embriologi
Perkembangan wajah dimulai dari akhir minggu keempat, prominensia
fasialis terdiri dari mesenkim yang diturunkan dari saraf dan dibentuk oleh
sepasang pharyngeal arches muncul. Prominensia maksilaris dapat dibedakan di
lateral dengan stomodeum dan di caudal dengan prominensia mandibular.
Prominensia frontonasalis dibentuk oleh proliferasi mesenkim ventral ke vesikel
otak, merupakan batas atas stomodeum, seperti tampak pada gambar 2.3 (Sadler,
2012).
8
(Mairaj, et al, 2017)
Gambar 2.3
Embriologi perkembangan wajah usia 4 minggu
Pada kedua sisi prominensia frontonasalis, penebalan lokal dari permukaan
ektoderm, nasal placodes, berasal dari pengaruh induktif bagian ventral otak
depan (Sadler, 2012). Selama minggu kelima, nasal placodes membentuk lubang
hidung. Mereka membuat ridge jaringan yang mengelilingi masing-masing lubang
dan membentuk prominensia nasalis. Prominensia nasalis bagian luar disebut
dengan prominensia nasalis lateralis, sedangkan di bagian dalam disebut
prominensia nasalis medialis, seperti tampak pada gambar 2.4 (Sadler, 2012).
(Sadler, 2012)
Gambar 2.4
Embriologi wajah A Gambaran embrio 5 minggu B Gambaran embrio 6
minggu
Selama 2 minggu berikutnya, tampak pada gambar 2.5, prominensia
maksilaris membesar dan menyatu dengan prominensia nasalis medialis sehingga
menghilangkan celah diantaranya. Penyatuan ini tidak hanya terjadi di permukaan
9
tetapi juga di bagian yang lebih dalam dan membentuk segmen intermaksilaris.
Segmen intermaksilaris terdiri dari (1) komponen bibir yang membentuk filtrum
dan bibir atas, (2) komponen rahang atas yang menopang empat gigi incisor, (3)
komponen palatum, yang membentuk palatum triangular primer (Sadler, 2012).
(Saddler, 2012)
Gambar 2.5
Embriologi bibir A Gambaran embrio 7 minggu. Prominensia maksilaris sudah
menyatu dengan prominensia nasalis medialis B Gambaran embrio 10 minggu
Palatum sekunder (bagian palatum posterior sampai foramen incisivus)
terbentuk melalui penyatuan dua shelf-like outgrowths dari prominensia
maksilaris. Palatal shelves muncul pada minggu ke enam perkembangan dan
mengarah oblik ke bawah di kedua sisi lidah. Pada minggu ke tujuh, palatine
shelves naik untuk mencapai posisi horizontal diatas lidah dan menyatu
membentuk palatum sekunder, seperti tampak pada gambar 2.6 (Saddler, 2012).
(Smarius, et al., 2012)
Gambar 2.6
Embriologi langit-langit
10
2.3 Sumbing Orofacial
Sumbing orofacial merupakan kelainan kongenital yang sering terjadi.
Kelainan ini dapat menyebabkan penampilan wajah yang tidak normal dan
kesulitan saat berbicara (Sadler, 2012). Seperti tampak pada gambar 2.7,
klasifikasi utama sumbing orofacial yaitu sumbing langit-langit (SL) dan sumbing
bibir dengan atau tanpa sumbing langit-langit (SB/SBL) (Angulo-Castro, et al.,
2017).
(Brito, et al., 2012)
Gambar 2.7
Sumbing orofacial (a) Sumbing bibir unilateral (b) Sumbing bibir bilateral (c)
Sumbing Bibir dan Langit-Langit unilateral (d) Sumbing bibir dan langit-langit
bilateral (e) Sumbing langit-langit
Selain itu banyak masalah yang berhubungan dengan kesehatan yang timbul
akibat kelainan ini. Individu dengan bibir sumbing dapat mengalami gangguan
makan yang dapat mempengaruhi nutrisi dan kesulitan peningkatan berat badan
pada individu tersebut (Kaye, et al., 2017). Infeksi telinga, gangguan pendengaran
serta gangguan pada gigi juga sering menyertai (Reddy & Cronin, 2017).
Tidak hanya kesehatan fisik, kesehatan psikologis juga mempengaruhi
individu dengan sumbing orofacial. Gangguan psikologis yang sering terjadi,
11
seperti kecemasan, depresi, tingkat kepercayaan diri yang rendah, merasa
dikucilkan, dan prestasi yang tidak maksimal di sekolah maupun di universitas.
Bullying juga ditemukan sebagai masalah yang banyak diterima individu dengan
sumbing langit-langit, sumbing bibir dangan atau tanpa sumbing langit-langit
(Reddy & Cronin, 2017).
Foramen incisivus merupakan batas bagian depan dan belakang. Pada
bagian depan terdapat sumbing bibir, sumbing rahang atas dan sumbing langit-
langit primer. Pada bagian belakang foramen incisivus terdapat sumbing langit-
langit sekunder dan sumbing uvulae (Sadler, 2012).
Sumbing orofacial (1/700 kelahiran) lebih sering terjadi pada laki-laki
(65%) daripada perempuan dan kejadiannya bervariasi. Kejadian sumbing langit-
langit lebih sering pada perempuan (55%) dibandingkan laki-laki (Hopper, 2014).
Hal ini mungkin karena pada perempuan, palatal shelves menyatu kira-kira 1
minggu lebih lama dari laki-laki (Sadler, 2012).
Sumbing unilateral lebih sering terjadi daripada sumbing bilateral dan
sumbing sisi kiri dua kali lebih sering terjadi dari pada sisi kanan (Allam, et al.,
2014). Benua Asia memiliki tingkat kejadian tertinggi (14/10000 kelahiran)
sedangkan benua Afrika memiliki kejadian terendah (4/10000) (Reddy & Cronin,
2017).
2.3.1 Sumbing Bibir
Sumbing bibir adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan adanya
celah pada bibir bagian atas (Angulo-Castro, et al., 2017). Hal ini terjadi akibat
kegagalan fusi atau penyatuan prominensia maksilaris dengan prominensia nasalis
medialis pada satu ataupun kedua sisi (Snell, 2012). Tingkat keparahan sumbing
12
bibir bervariasi, dari yang hampir tidak terlihat pada vermillion hingga meluas ke
hidung (Sadler, 2012).
Sumbing bibir incomplete unilateral ditandai dengan berbagai tingkat
pemisahan vertikal bibir, namun semuanya memiliki ambang hidung yang utuh.
Sedangkan sumbing bibir unilateral yang complete ditandai dengan terganggunya
bibir, lubang hidung, dan alveolus (langit-langit primer yang lengkap). Karena
tidak ada jembatan kulit yang menghubungkan dasar ala ke footplates kartilago
lateral hidung yang lebih rendah, tonjolan otot orbicularis oris yang tidak terikat
menghasilkan deformitas hidung yang lebih parah daripada sumbing bibir yang
incomplete (Hopper, 2014).
Aspek yang paling jelas dari sumbing bilateral complete adalah premaksila
yang menonjol, retruded area di bawah septum, dan tip nasal melebar sehingga
tidak terbentuk columella. Sedangkan pada sumbing bilateral incomplete, hidung
hampir normal, premaksila pada posisi normal, jembatan kulit di satu atau kedua
lantai hidung, dan sumbing biasanya hanya melibatkan bibir (Hopper, 2014).
2.3.2 Sumbing Langit-Langit
Sumbing langit-langit terjadi akibat kegagalan fusi dari palatine shelves.
Bisa terjadi karena kecilnya ukuran shelves, kegagalan shelves untuk naik, inhibisi
dari proses penyatuan itu sendiri, atau kegagalan lidah untuk turun dari shelves
karena micrognathia (Sadler, 2012). Bayi dengan sumbing langit-langit diperiksa
dengan seksama untuk mencari manifestasi dari Pierre Robin sequence
(micrognathia dan glossoptosis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas)
(Hopper, 2014).
13
Penyebab sumbing langit-langit dalam Pierre Robin sequence dianggap
sebagai penghalang mekanis dari proses langit-langit lateral yang berkembang
dari orietasi vertikal ke horizontal selama proses perkembangan langit-langit.
Bukan karena secondary fusion akibat kematian sel (Hopper, 2014). Tingkat
keparahan sumbing langit-langit juga bervariasi dari sumbing langit-langit
sekunder hingga hanya uvulae saja (Sadler, 2012).
2.3.3 Sumbing Bibir dan Langit-Langit
Sumbing bibir dan langit-langit merupakan kombinasi sumbing dari
anterior sampai posterior foramen incisivus (Sadler, 2012). Sumbing bibir dan
langit-langit dapat menyebabkan kesulitan makan, gangguan bicara, dan
kemungkinan gangguan pertumbuhan wajah. Perlekatan abnormal otot-otot langit-
langit lunak di celah langit-langit mengubah ketegangan drainase faring dari kanal
eustachius, meningkatkan kejadian infeksi telinga (Hopper, 2014).
2.4 Faktor Risiko
Sumbing orofacial bersifat multifaktorial. Faktor genetik dan faktor
lingkungan seperti paparan ibu terhadap produk tembakau, alkohol, nutrisi yang
kurang, infeksi virus, obat-obatan, dan teratogen pada masa awal kehamilan
mempengaruhi pembentukan sumbing (Gomez & Puerto, 2017). Kelainan
sumbing orofacial yang berhubungan dengan malformasi atau sindrom tertentu
dikenal dengan kelainan sindromik. Bila kelainan ini tidak berhubungan dengan
malformasi atau sindrom tertentu disebut kelainan nonsindromik (Mai, et al.,
2014). Sekitar 70% kasus merupakan kelainan nonsindromik (Reddy & Cronin,
2017).
14
Berbagai polimorfisme genetik telah dipelajari dalam studi asosiasi
berbasis populasi dan studi gen kandidat. Hasil telah menyarankan peran gen yang
bertanggung jawab (Allam, et al., 2014):
a. Faktor pertumbuhan
Transforming growth factor (TGF-α) adalah faktor pertumbuhan yang
dikodekan oleh gen TGFA yang berfungsi sebagai ligan untuk reseptor
faktor pertumbuhan epidermal, yang terlibat dalam proliferasi sel,
diferensiasi, dan perkembangan. Studi asosiasi pertama gen yang terkait
dengan sumbing orofacial menemukan adanya hubungan dengan TGFA.
Namun, TGFA bukan merupakan determinan yang diperlukan atau cukup
sebagai risiko sumbing orofacial, melainkan sebagai pengubah (Ahmed, et
al, 2017).
Protein dalam keluarga transforming growth factor beta (TGF-β)
mengikat berbagai reseptor TGF-β yang mengarah ke rekrutmen dan
aktivasi keluarga faktor transkripsi SMAD. TGF-β terlibat dalam proses
termasuk apoptosis, modulasi fungsi sel kekebalan tubuh, dan
penyembuhan luka. Gangguan TGF-β telah terlibat dalam kanker, sindrom
Loeys-Dietz dan kondisi lainnya. Penelitian terhadap tikus telah
menunjukkan gen TGFβ3 dikaitkan dengan sumbing orofacial, dan studi
asosiasi selanjutnya telah mengidentifikasi hasil ini pada manusia (Ahmed,
et al, 2017).
b. Faktor transkripsi
Sumbing nonsindromik dikaitkan dengan beberapa gen yang dapat
menyebabkan sumbing seperti IRF6 dan MSX1 (Sadler, 2012).
15
- Interferon regulatory factor 6 (IRF6) adalah protein faktor
transkripsi yang terlibat dalam perkembangan awal, terutama
jaringan di kepala dan wajah. Mutasi gen IRF6 pada 1q32
menyebabkan sindrom Van der Woude, kelainan bawaan Mendelian
yang menginduksi sumbing orofacial dan menyumbang sekitar 2%
dari semua kasus sumbing orofacial (Ferrero, et al, 2010; Ahmed, et
al, 2017). Variasi pada IRF6 telah ditemukan sangat terkait dengan
sumbing orofacial dan dapat mencakup hingga 12% dari kontribusi
genetik terhadap sumbing orofacial (Ahmed, et al, 2017).
- Gen MSX1 merupakan bagian dari gen homeobox, kode untuk
protein yang terlibat dalam regulasi transkripsi selama
embryogenesis serta pembentukan pola anggota badan,
perkembangan kraniofasial (khususnya odontogenesis), dan
penghambatan pertumbuhan tumor. Gen ini telah terlibat dalam
pengembangan sumbing pada beberapa penelitian dan mungkin
mencakup 1-2% dari semua kasus sumbing orofacial yang terisolasi
(Ahmed, et al, 2017).
c. Metabolisme nutrisi
Asupan folat untuk ibu hamil telah lama dikaitkan dengan risiko
sumbing orofacial pada anak-anak, hal ini disebabkan oleh mutasi enzim 5,
10-methyltetrahydrofolate (MTHFR), yang mengkatalisis sintesis 5-
methyltetrahydrofolate yang berperan dalam etiologi kasus sumbing
orofacial nonsindromik. Namun, hasil dari beberapa studi asosiasi yang
16
mengevaluasi peran mutase MTFHR saling bertentangan (Ahmed, et al,
2017)
Asam retinoat berperan penting selama perkembangan. Fungsinya,
dimediasi oleh reseptor asam retinoat alpha (RAR-α), meliputi regulasi
perkembangan, diferensiasi, apoptosis, granulopoeisis, serta transkripsi gen
yang terlibat dalam ritme sirkaridian. Penelitian pada tikus menunjukkan
peran dalam pengembangan wajah. Mutasi gen RARA telah dikaitkan
dengan perkembangan sumbing orofacial (Ahmed, et al, 2017).
Peran faktor lingkungan dalam etiologi sumbing orofacial telah dipelajari
secara luas. Bibir atas dan langit-langit dikembangkan 7 dan 9 minggu setelah
pembuahan. Oleh karena itu, faktor risiko harus ada sebelum wakunya untuk
mempengaruhi risiko sumbing orofacial.
a. Keturunan
Keluarga yang memiliki satu anak atau orang tua yang memiliki
sumbing bibir dan langit-langit, risiko anak pada kehamilan berikutnya
meiliki sumbing bibir dan langit-langit adalah 4%. Apabila dua anak
sebelumnya memiliki sumbing bibir dan langit-langit, risikonya meningkat
menjadi 9%, dan jika satu orang tua dan satu anak terkena dampak
sebelumnya, risiko untuk anak-anak dari kehamilan berikutnya adalah 17%.
Untuk keluarga dengan anak yang memiliki sumbing langit-langit, risiko
sumbing langit-langit untuk kehamilan berikutnya adalah 2%, 6% bila satu
orang tua memiliki sumbing langit-langit, dan 15% jika satu orang tua dan
satu anak sebelumnya memiliki sumbing langit-langit (Hopper, 2014).
b. Penggunaan obat-obatan pada ibu
17
Penggunaan obat pada ibu hanya memberikan pengaruh kecil untuk
sumbing orofacial. Namun penelitian telah menunjukkan bahwa
penggunaan antagonis folat maternal (asam valproat dan karbamazepin),
penghambat reduktase dihydrofolate (trimetoprim, triameterene, dan
sulfasalazine), benzodiazepin, nsaid, retinoid, dan kortikosteroid dikaitkan
dengan peningkatan sumbing orofacial (Hernandez, et al, 2012; Ahmed,
2017).
Paparan obat antikonvulsan yaitu fenitoin selama 5-6 minggu masa
kehamilan dapat menyebabkan sumbing orofacial. Fenitoin dapat
menghambat channel kalium, natrium dan kalsium intrauterine. Hal
tersebut akan memperlambat jantung embrio yang menyebabkan hipoksia
berkepanjangan pada embrio sehingga meningkatkan risiko terbentuknya
sumbing orofacial (Webster WS, et al, 2006; Richard, et al. 2007).
c. Penyakit ibu
Ibu dengan diabetes mellitus memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
memiliki anak dengan sumbing orofacial (Ahmed, et al, 2017).
d. Nutrisi
Peran asupan nutrisi ibu dalam perkembangan malformasi bawaan pada
anak telah dipelajari dengan tujuan untuk menjelaskan etiologi cacat lahir
spesifik dan menginformasikan strategi pencegahan yang efektif. Bukti
menunjukkan bahwa asupan nutrisi ibu mempengaruhi risiko melahirkan
anak dengan sumbing orofacial.
18
- Secara khusus, kekurangan vitamin B9, yang lebih dikenal dengan
folat (atau bentuk sintesisnya, asam folat), telah lama dikaitkan
dengan risiko malformasi kongenital (Ahmed, et al, 2017).
- Asupan vitamin dari ibu selain folat, seperti vitamin B lainnya
(misalnya riboflavin), zat besi, seng, dan asam amino kolin,
metionin, dan sistein, dikaitkan dengan penurunan risiko memiliki
anak dengan sumbing orofacial (Carmichael, et al, 2012; Ahmed,
et al, 2017).
e. Eksposur dari teratogen
Sebagian besar studi epidemiologi sumbing orofacial mendukung
peran faktor lingkungan dalam etiologi sumbing. Faktor risiko yang paling
umum dilaporkan adalah paparan ibu terhadap produk tembakau, alkohol,
beberapa infeksi virus, pestisida, dan teratogen di tempat kerja atau
dirumah pada awal kehamilan (Ahmed, et al, 2017). Merokok lebih dari 25
batang rokok per hari dikaitkan dengan jumlah sumbing bibir dan langit-
langit bilateral yang lebih tinggi dan bahkan Pierre Robin sequence
(Kawalec, et al., 2015).
Alkohol dapat memberikan pengaruh tergantung waktu paparan dan
jumlah yang dikosumsi. Penelitian menunjukkan bahwa risiko sumbing
orofacial meningkat dengan konsumsi alkohol rata-rata lima atau lebih
minuman selama trimester pertama. Semakin besar konsentrasi alkohol
dalam darah, semakin lama waktu yang diperlukan untuk metabolisme
alkohol, sehingga janin terpapar lagi. Hal ini mempengaruhi tahapan
19
penting perkembangan embrio untuk sumbing orofacial yang relatif singkat
(DeRoo, et al., 2008).
f. Usia ibu
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara usia ibu dengan kejadian sumbing orofacial. Hasil penelitian masih
diperdebatkan, akan tetapi penelitian terakhir dilakukan Berg (2015)
menunjukkan peningkatan usia ibu akan meningkatkan risiko memiliki bayi
dengan sumbing orofacial. Penelitian lain dilakukan Widayanti (2017)
selain usia ibu yang meningkat, usia ibu yang lebih muda juga didapatkan
peningkatan risiko.
2.5 Klasifikasi Sumbing Orofacial
Sumbing bibir dan langit-langit biasanya dibagi menjadi unilateral atau
bilateral, kemudian terbagi menjadi complete, incomplete, atau mikroform
(Hopper, 2014).
Kriens memperkenalkan sebuah klasifikasi menggunakan akronim
“LAHSHAL” menjelaskan anatomi bilateral dari bibir kanan (L), alveolus kanan
(A), hard palate kanan (H), dan soft palate (S), hard palate kiri (H), alveolus kiri
(A), dan bibir kiri (L). Kode LAHSHAL mengindikasi sumbing complete dengan
a huruf capital dan sumbing incomplete dengan a huruf kecil seperti terlihat pada
gambar 2.8. Sistem klasifikasi ini yang sekarang dipakai American Cleft Palate
and Craniofacial Association (Burg, et al., 2016).
20
(Al-Hadad & Rahman, 2014)
Gambar 2.8
Klasifikasi Otto Kriens
2.6 Diagnosis
Sumbing orofacial ditemukan pada pemeriksaan bayi baru lahir. Dapat
juga didiagnosis dengan visualisasi sonografi, pada usia 13-14 minggu oleh USG
transabdomen dan agak lebih awal dengan transvaginal. Dilihat dari bagian
bawah wajah menunjukkan interupsi atau diskontinuitas pada bibir dan/atau
langit-langit mulut. Sudut pandang secara oblique menunjukkan apakah anomali
tersebut unilateral atau bilateral. Evaluasi langit-langit sekunder atau hard palate
sangat sulit karena bayangan dari stuktur di sekitarnya dan adanya lidah (Gomez
& Puerto, 2017).
MRI tiga dimensi digunakan untuk melihat kelainan pada langit-langit,
namun lebih sensitif pada usia gestasi lanjut (Gomez & Puerto, 2017).
Peningkatan sumbing yang terdeteksi sebelum lahir memungkinkan persiapan
awal keluarga dan pengenalan rencana pengobatan (Hopper, 2014).
2.7 Tatalaksana
21
Individu yang lahir dengan sumbing bibir dan atau tanpa sumbing langit-
langit memerlukan perawatan terkoordinasi dari beberapa spesialisasi, yaitu
spesialis anak, dokter gigi, perawat, ahli gizi, ahli genetika, dokter THT, ahli
bedah mulut, ortodontis, dokter bedah, dokter bedah plastik, psikolog, dan speech
therapy. Perhatian tim dalam beberapa bulan pertama kehidupan akan
meningkatkan keberhasilan operasi primer dengan menyiapkan pasien dan
keluarga secara medis, fisik, dan psikologis (Hopper, 2014). Inti dari setiap
rencana perawatan adalah operasi. Metode pengobatan modern
mempertimbangkan fungsi dan estetika, dan upaya untuk menjaga jumlah dan
dampak bekas luka yang terkait dengan intervensi bedah (Sinko, et al., 2017).
Tabel 2.1 Modalitas tatalaksana berdasarkan usia
Usia Prosedur
Setelah 16 minggu kehamilan Diagnosis sumbing bibir didapatkan
dengan gambaran ultrasound (langit-
langit lebih sulit terlihat)
Prenatal - Diskusi dengan dokter bedah
craniofacial
- Konsultasi dengan geneticist
Neonatal Jika anak memiliki sumbing langit-
langit, putting dan botol khusus
dibutuhkan untuk menunjang makanan
setelah lahir
12 minggu Perbaikan sumbing bibir dengan
mematuhi “rule of ten”yang telah
terbukti sebagai penentu kapan bayi
yang sehat dapat dioperasi (yaitu usia
10 minggu, berat badan 10 lb dan
hemoglobin 10 g/dl).
6-12 bulan Perbaikan sumbing langit-langit satu
tahap dengan intravelar veloplasty
5 tahun Rhinoplasty sekunder
(de Ladeira & Alonso, 2012; Talesh & Motamedi, 2013)
22
Pada tabel 2.1 tidak ada perawatan prenatal untuk sumbing orofasial.
Manajemen obstetrik tidak boleh diubah, namun rujukan ke tim manajemen yang
komprehensif dianjurkan. Puting khusus untuk membantu menyusui harus
tersedia di lokasi kelahiran yang direncanakan. Perawatan pascakelahiran
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti masalah makan dan jalan
nafas. Perbaikan bibir primer seringkali dilakukan pada usia 3 bulan, dengan
perbaikan langit-langit pada 6 bulan. Operasi tambahan, serta terapi bicara dan
ortodontik, sering dibutuhkan (Gomez & Puerto, 2017).
2.8 Prognosis
Prognosis sumbing orofasial tergantung pada luas (keterlibatan sumbing
langit-langit) dan hubungannya dengan anomali lainnya. Sumbing oforasial
mempengaruhi pengucapan, pendengaran, penampilan, dan psikologi jangka
panjang yang berdampak buruk untuk integrasi kesehatan dan social. Biasanya,
individu dengan sumbing orofasial membutuhkan perawatan multidisiplin sejak
lahir sampai dewasa (Gomez & Puerto, 2017).
2.9 Hubungan Usia Ibu Saat Melahirkan dan Kejadian Sumbing Orofacial
Kehamilan dengan usia ibu yang terlalu muda dan terlalu tua dikaitkan
dengan peningkatan risiko cacat pada kelahiran. Faktor yang mempengaruhi yaitu
kurangnya asupan nutrisi dan perhatian terhadap kehamilan sehingga perawatan
ante natal tidak adekuat. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan sehingga
meninggkatkan kejadian sumbing orofacial (Widayanti, et al., 2017).
Defisisensi nutrisi lebih rentan terjadi pada ibu melahirkan usia muda. Ibu
hamil pada usia muda memiliki kebutuhan nutrisi lebih banyak karena
perkembangan fisik yang belum sempurna membutuhkan nutrisi untuk tumbuh
23
kembang. Ibu hamil usia muda berkompetisi dengan janin untuk mendapatkan
nutrisi karena janin juga sangat membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya (O'Connor, et al., 2016).
Asam folat berperan dalam sintesa DNA dan pertumuhan sel. Bila terjadi
defisiensi dapat menghambat pembelahan sel, pertumbuhan dan perbaikan
jaringan (Chitayat, et al., 2016).
Kehamilan ibu dengan usia yang lebih tua telah dikaitkan dengan hasil
kelahiran yang buruk dan masalah kesehatan pada anak (kanker, diabetes, dan
ganggungan perkembangan). Mekanisme biologis yang mendasari sebagian besar
hubungan ini tidak diketahui (Markunas, et al., 2016).
Penelitian secara meta-analysis yang dilakukan oleh Herkrath (2012)
menemukan bahwa dibandingkan dengan ibu usia 20-29 tahun, ibu usia 35-39
tahun memiliki kemungkinan melahirkan bayi dengan sumbing langit-langit 20%
lebih tinggi, sedangkan ibu dengan usia 40 tahun atau lebih memiliki
kemungkinan 28% lebih tinggi. Ibu berusia 40 tahun atau lebih memiliki risiko
1.56 kali lebih besar melahirkan bayi dengan sumbing bibir dan atau tanpa
sumbing langit-langit daripada ibu dengan usia 20-29 tahun. Peneliti
menggunakan literatur tersebut untuk menentukan batas usia yang diteliti.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Berg (2015) menemukan bahwa faktor
risiko terjadinya sumbing bibir semakin meningkat saat usia kedua orang tua
semakin tua. Wanita memiliki kemampuan untuk melakukan terminasi pada
kehamilan bila embrio memiliki suatu malformasi. Kemampuan ini akan
menurun sesuai usia (Berg, et al., 2015).
24
Ibu yang berusia lebih dari 35 tahun berkaitan dengan adanya proses
penuaan sehingga uterus menjadi kurang selektif terhadap embrio yang
mengalami malformasi. Selain itu, fakta bahwa plasenta pada wanita yang lebih
tua lebih permeabel terhadap agen teratogenik (Herkrath, et al., 2012).
Paparan teratogenik berpotensi mengganggu perkembangan fungsional
dan struktural normal dari embrio atau janin (Chambers & Scialli, 2014).
Beberapa agen teratogenik yang berhubungan dengan sumbing orofacial yaitu
rokok, alkohol, obat-obatan antikonvulsan (Allam, et al., 2014; Gomez & Puerto,
2017).
Asap rokok dan asap kendaraan bermotor menghasilkan karbon
monoksida, dimana karbon monoksida mencegah ikatan oksigen dan pelepasan
oksigen dari oxyhemoglobin sehingga oksidasi sitokrom terhambat dan supply
oksigen menurun. Selain itu obat antikonvulsan, fenitoin dapat menghambat
channel kalium, natrium dan kalsium intrauterine. Hal itu menyebakan hipoksia
jaringan sehingga tidak terjadi transport elektron dan produksi Adenosine-5'-
triphosphate (ATP) yang menyebabkan kegagalan penyatuan pada bibir dan atau
palatum (Ebadifar, et al., 2016).