bab 2 tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/45988/3/bab 2.pdf · mandiri (self...

44
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kesehatan 2.1.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan Menurut Levey dan Loomba dalam Azwar (2010) pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Sedangkan menurut Depkes RI (2009) pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat. Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Kesehatan, pelayanan kesehatan secara umum terdiri dari dua bentuk pelayanan kesehatan yaitu: 1. Pelayanan kesehatan perseorangan (Medical service) Pelayanan kesehatan ini banyak diselenggarakan oleh perorangan secara mandiri (self care), dan keluarga (family care) atau kelompok anggota masyarakat yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Upaya pelayanan perseorangan tersebut dilaksanakan pada institusi pelayanan kesehatan yang disebut rumah sakit, klinik bersalin, praktik mandiri.

Upload: others

Post on 26-Sep-2019

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Kesehatan

2.1.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan

Menurut Levey dan Loomba dalam Azwar (2010) pelayanan kesehatan

adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam

suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan

menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,

kelompok dan ataupun masyarakat. Sedangkan menurut Depkes RI (2009)

pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara

bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta

memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat.

Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Kesehatan, pelayanan kesehatan secara

umum terdiri dari dua bentuk pelayanan kesehatan yaitu:

1. Pelayanan kesehatan perseorangan (Medical service)

Pelayanan kesehatan ini banyak diselenggarakan oleh perorangan secara

mandiri (self care), dan keluarga (family care) atau kelompok anggota masyarakat

yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan

perseorangan dan keluarga. Upaya pelayanan perseorangan tersebut dilaksanakan

pada institusi pelayanan kesehatan yang disebut rumah sakit, klinik bersalin, praktik

mandiri.

7

2. Pelayanan kesehatan masyarakat (Public health service)

Pelayanan kesehatan masyarakat diselenggarakan oleh kelompok dan

masyarakat yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang

mengacu pada tindakan promotif dan preventif. Upaya pelayanan masyarakat

tersebut dilaksanakan pada pusat-pusat kesehatan masyarakat tertentu seperti

puskesmas.

Kegiatan pelayanan kesehatan secara paripurna diatur dalam Pasal 52 ayat

(2) UU Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:

a. Pelayanan kesehatan promotif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian

kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang

bersifat promosi kesehatan.

b. Pelayanan kesehatan preventif, suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu

masalah kesehatan/penyakit.

c. Pelayanan kesehatan kuratif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan

pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan

penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, pengendalian

kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.

d. Pelayanan kesehatan rehabilitatif, kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan

untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat

berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan

masyarakat, semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.

Menurut Notoadmodjo (2010) bahwa pelayanan kesehatan adalah tempat

atau sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Dilihat dari

sifat upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan, umumnya dibedakan oleh :

8

a. Sarana pelayanan kesehatan primer (Primary care)

Primary care adalah sarana atau pelayanan kesehatan bagi kasus-kasus atau

penyakit-penyakit ringan. Sarana kesehatan primer ini adalah yang paling dekat

bagi masyarakat, artinya pelayanan kesehatan yang paling pertama menyentuh

masalah kesehatan di masyarakat. Misalnya : Puskesmas, Poliklinik, dokter praktik

swasta, dan sebagainya.

b. Sarana pelayanan kesehatan sekunder (Secondary care)

Secondary care adalah sarana atau pelayanan kesehatan rujukan bagi kasus-

kasus atau penyakit-penyakit dari pelayanan kesehatan primer, karena peralatan

atau keahliannya belum ada. Misalnya : Puskesmas dengan rawat inap, rumah sakit

kabupaten, rumah sakit tipe D dan tipe C, rumah sakit bersalin.

c. Sarana pelayanan kesehatan tingkat tiga (Tetiary care)

Tertiary care adalah pelayanan kesehatan rujukan bagi kasus-kasus yang

tidak dapat ditangani oleh sarana-sarana pelayanan kesehatan primer seperti

disebutkan di atas. Misalnya : Rumah sakit provinsi, rumah sakit tipe B atau tipe A.

2.1.2 Pihak-pihak yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan

Pihak-pihak yang berhubungan dengan setiap kegiatan pelayanan kesehatan

baik itu di rumah sakit, puskesmas, klinik, maupun praktek pribadi, antara lain:

1. Dokter

Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana

mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan

mengobati penyakit berdasarkan hukum dan pelayanan di bidang kesehatan. Pasal

1 ayat (11) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

menjelaskan defenisi dokter adalah suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan

9

suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang,

dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

2. Perawat

Peraturan Menteri Kesehatan No. HK. 02. 02 /MENKES /148 I /2010

tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat pasal 1 ayat 1 menjelaskan

defenisi perawat adalah seorang yang telah lulus pendidikan perawat, sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Pada proses hubungan antara perawat dengan

pasien, pasien mengutarakan masalahnya dalam rangka mendapatkan pertolongan

yang artinya pasien mempercayakan dirinya terhadap asuhan keperawatan yang

diberikan.

3. Bidan

Peraturan Menteri Kesehatan No. HK. 02. 02. /MENKES /149 /2010

tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 1 ayat 1 menjelaskan yang

dimaksud dengan bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan yang

telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bidan mempunyai

tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita

sebagai pasiennya tetapi termasuk komunitasnya. Pendidikan tersebut termasuk

antenatal, keluarga berencana dan asuhan anak.

4. Apoteker

Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang

Pekerjaan Kefarmasian, apoteker ialah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai

apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.

Pelayanan kegiatan kesehatan dapat diperoleh mulai dari tingkat puskesmas,

rumah sakit umum/swasta, klinik dan institusi pelayanan kesehatan lainnya

10

diharapkan kontribusinya agar lebih optimal dan maksimal. Masyarakat atau pasien

dalam hal ini menuntut pihak pelayanan kesehatan yang baik dari beberapa institusi

penyelenggara di atas agar kinerjanya dapat dirasakan oleh pasien dan keluarganya,

dilain pihak pemerintah belum dapat menerapkan aturan pelayanan kesehatan

secara tepat, sebagaimana yang diharapkan karena adanya keterbatasan-

keterbatasan. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibutuhkan tenaga

kesehatan yang baik, terampil dan fasilitas rumah sakit yang baik, tetapi tidak

semua institusi pelayanan medis tersebut memenuhi kriteria tersebut, sehingga

meningkatkan kerumitan sistem pelayanan kesehatan dewasa ini.

2.1.3 Syarat pokok pelayanan kesehatan

Azwar dalam Herlambang (2016) mengungkapkan sekalipun pelayanan

kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, namun dapat disebut

suatu pelayanan yang baik dan keduanya haruslah memiliki berbagai persyaratan

yang terdiri atas 5 macam yaitu :

a. Tersedia dan Berkesinambungan

Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan

kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat

berkesinambungan (continous). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam

masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.

b. Dapat diterima dan Wajar

Syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah yang dapat

diterima dengan wajar. Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan

dengan keyakinan dan kepercayaan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan

11

kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar bukanlah suatu pelayanan

kesehatan yang baik.

c. Mudah dicapai

Syarat pokok ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah

dicapai (accessible) oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksudkan

disini terutama dari sudut lokasi, dengan demikian untuk dapat mewujudkan

pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan

menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah

perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukanlah

pelayanan kesehatan yang baik.

d. Mudah dijangkau

Syarat pokok keempat pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah

dijangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan disini terutama

dari sudut biaya, untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat

diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan

ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan karena itu hanya

mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bukanlah pelayanan

kesehatan yang baik.

e. Bermutu

Syarat pokok kelima pelayanan kesehatan yang baik adalah yang bermutu

(quality). Pengertian mutu yang dimaksudkan disini adalah menunjuk pada tingkat

kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat

memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain tata cara

penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.

12

2.2 Konsep Dasar Puskesmas

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75

tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, dapat diuraikan sebagai berikut :

2.2.1 Pengertian Puskesmas

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP)

tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk

mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah

kerjanya.

1. Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)

Upaya Kesehatan Masyarakat merupakan kegiatan pelayanan

kesehatanyang ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta

mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran

keluarga, kelompok, dan masyarakat.

2. Upaya Kesehatan Peorangan (UKP)

Upaya Kesehatan Perorangan merupakan kegiatan pelayanan kesehatan

yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit,

pengurangan penderitaan akibat penyakit, dan memulihkan kesehatan

perseorangan.

Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Perorangan harus

dilaksanakan secara seimbang demi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

2.2.2 Visi Puskesmas

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah

13

tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan

Sehat merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai

melalui pembangunan kesehatan yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan

dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan

kesehatan yang bermutu secara adil dan memiliki derajat kesehatan setinggi-

tingginya.

Indikator Kecamatan Sehat mencakup 4 indikator utama, yaitu :

1. Lingkungan sehat.

2. Perilaku sehat.

3. Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu.

4. Derajat kesehatan penduduk kecamatan.

Rumusan visi untuk masing-masing puskesmas harus mengcu pada visi

pembangunan kesehatan puskesmas yaitu Terwujudnya Kecamatan Sehat, yang

harus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat serta wilayah kesehatan

masyarakat setempat (Depkes RI, 2004).

Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pasirian 2016, visi Puskesmas

Pasirian adalah Terwujudnya Masyarakat Pasirian Sehat dan Mandiri. Indikator

yang digunakan sama dengan indikator Kecamatan Sehat yang mencakup 4

indikator utama.

2.2.3 Misi Puskesmas

Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah

mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut

adalah:

14

1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.

Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan sektor lain yang

diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan, yakni

pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan,

setidak-tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.

2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di

wilayah kerjanya. Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan

masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang

kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian

untuk hidup sehat.

3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan

pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Puskesmas akan selalu berupaya

menye elenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan

memuaskan masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta

meningkatkan efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh

anggota masyarakat.

4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan

masyarakat berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu berupaya memelihara

dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta

memulihkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan

yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan

menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dilakukan puskesmas mencakup

pula aspek lingkungan dari yang bersangkutan.

15

Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pasirian 2016, misi Puskesmas

Pasirian adalah sebagai berikut :

1. Mendorong masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.

2. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan kemitraan masyarakat

dalam pembangunan berwawasan kesehatan.

3. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, merata

dan terjangkau oleh masyarakat.

2.2.4 Tujuan Puskesmas

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 75

tahun 2014 pasal 2 ayat 1, pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di

puskemas bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang :

1. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan

kemampuan hidup sehat.

2. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu.

3. Hidup dalam lingkungan sehat.

4. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat.

Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pasirian 2016, tujuan Puskesmas

Pasirian adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional

yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas, yang kemudian

dijelaskan dalam poin-poin berikut :

1. Menurunkan angka mortalitas.

2. Menurunkan angka morbiditas.

16

3. Meningkatkan status gizi masyarakat.

4. Meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai.

5. Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia.

2.2.5 Fungsi Puskesmas

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 75 tahun

2014 pasal 5, dalam melaksanakan tugasnya puskesmas memiliki fungsi sebagai

berikut :

a. menyelenggarakan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya

- melaksanakan perenanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan

masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;

- melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;

- melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan

masyarakat dalam bidang kesehatan;

- menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan

masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang

bekerjasama dengan sektor lain terkait;

- melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya

kesehatan berbasis masyarakat;

- melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas;

- memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;

- melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu,

dan cakupan pelayanan kesehatan;

- memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk

dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini serta respon penanggulangan

17

dukungan penyakit.

b. menyelenggarakan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya

- menyelanggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif,

berkesinambungan dan bermutu;

- menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan upaya

promotif dan preventif;

- menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu,

keluarga, kelompok, dan masyarakat;

- menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan keamanan

dan keselamatan pasien, petugas, dan pengunjung;

- menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan

kerjasama inter dan antar profesi;

- melaksanakan rekam medis;

- melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses

pelayanan kesehatan;

- melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan;

- mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan

kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya;

- melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem

rujukan.

Selain menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5,

berdasarkan pasal 8, puskesmas juga dapat berfungsi sebagai wahana pendidikan

tenaga kesehatan.

18

2.2.6 Upaya Puskesmas

Demi tercapainya visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh

puskesmas, terdapat upaya-upaya yang harus dilakukan. Upaya-upaya puskesmas

dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Upaya Kesehatan Wajib

Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan

berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya

ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan

wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah

Indonesia. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah:

a. Upaya promosi kesehatan;

b. upaya kesehatan lingkungan

c. upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana;

d. upaya perbaikan gizi;

e. upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular;

f. upaya pengobatan.

2. Upaya Kesehatan Pengembangan

Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan

berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang

disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan

dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, yaitu :

a. Upaya Kesehatan Sekolah;

b. upaya kesehatan olah raga;

c. upaya perawatan kesehatan masyarakat;

19

d. upaya kesehatan kerja;

e. upaya kesehatan gigi dan mulut;

f. upaya kesehatan jiwa;

g. upaya kesehatan mata;

h. upaya kesehatan usia lanjut;

i. upaya pembinaan pengobatan tradisional.

2.3 Gizi Buruk

2.3.1 Definisi Gizi Buruk

Gizi buruk merupakan faktor resiko terjadinya kesakitan dan kematian ibu

hamil serta balita. Hal ini merupakan masalah yang sering ditemukan pada negara-

negara berkembang dan membutuhkan perhatian khusus (Muller dan Krawinkel,

2005).

Gizi buruk merupakan suatu kondisi dimana seseorang dinyatakan

kekurangan zat gizi atau dengan ungkapan lain status gizinya di bawah standar rata-

rata. Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori (Pudjiaji,

2003). Anak didiagnosis gizi buruk jika indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)

<-3SD (Kemenkes, 2011).

Beberapa permasalahan gizi buruk pada bayi menurut Rusilanti, Dahila, dan

Yulianti (2015) adalah sebagai berikut :

1. Marasmus

Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang disebabkan karena anak

kekurangan energy atau karbohidrat. Marasmus ditandai dengan anak kurus, wajah

seperti orang tua, cengeng, rewel, lapisan lemak bawah kulit sangat sedikit, otot

menyusut dan lembek, tulang rusuk tampak jelas terlihat, tulang belakang terlihat

20

lebih menonjol dan kulit di pantat berkeriput, ubun-ubun besar cekung, tulang pipi

dan dagu menonjol, mata besar dan dalam, serta tekanan darah, detak jantung, dan

pernafasan berkurang.

2. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang disebabkan karena anak

kekurangan protein. Kwashiorkor ditandai dengan oedema terutama pada kaki

bagian bawah, moon face, rambut tipis berwarna cokelat kemerahan, kulit kering

bersisik dan hiperpigmentasi, crazy pavement dermatosis (bercak-bercak

putih/merah muda dengan tepi hitam dan ditemukan pada bagian tubuh yang sering

mendapat tekanan), hepatomegali.

3. Marasmic-kwashiorkor

Marasmic-kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang disebabkan karena

anak kekurangan energi dan juga protein. Tanda klinis dari marasmic-kwashiorkor

merupakan gabungan dari tanda klinis marasmus dan kwashiorkor.

2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk

a. Usia

Anak balita usia 1-5 tahun (usia prasekolah) merupakan usia dalam daur

kehidupan dimana pertumbuhan tidak sepesat pada masa bayi, tetapi aktivitasnya

banyak, masa yang menentukan dalam tumbuh kembangnya, yang akan menjadi

dasar terbentuknya manusia seutuhnya. Periode penting dalam tumbuh kembang

anak adalah masa balita. Hal ini dikarenakan pada masa balita pertumbuhan dasar

akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Balita yang

dalam masa pertumbuhan ini merupakan kelompok yang rentan terhadap adanya

perubahan dalam konsumsi makanan. Balita juga merupakan kelompok umur yang

21

rawan dengan gizi dan penyakit, kelompok yang paling rawan menderita akibat

gizi, kurang kalori protein (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat

kesejahteraan masyarakat karena anak usia dibawah lima tahun merupakan

kelompok yang rentan terhadap kesehatan dan gizi. Setiap negara secara bertahap

harus mampu mengurangi jumlah balita yang bergizi buruk atau kurang gizi

sehingga mencapai 15 % pada tahun 2015 (Saputra & Nurizka, 2013).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor kejadian gizi buruk, hal ini

dibuktikan dengan hasil penelitian Novitasari (2012) bahwa jenis kelamin

perempuan memiliki kesempatan mengalami gizi buruk lebih besar dibandingkan

laki-laki. Goode (2000) menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan paling banyak

mengalami gizi buruk karena di dalam kehidupan sehari-hari masih banyak

keluarga yang memberikan porsi lebih banyak kepada laki-laki daripada perempuan

dan mengutamakan pemberian makanan terlebih dahulu pada laki-laki setelah itu

baru perempuan.

c. BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah)

Menurut WHO, yang disebut BBLR adalah kelahiran bayi dengan berat badan

kurang dari 2500 gram, dan berdasarkan observasi epidemiologi bayi dengan berat

lahir rendah beresiko mengalami kematian 20 kali lipat dibanding dengan bayi yang

lahir dengan bobot lebih berat. Bayi yang lahir di bawah 2500 gram berkontribusi

terhadap hasil kesehatan yang buruk. Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah

kelahiran prematur, tetapi di negara berkembang BBLR disebabkan oleh

pembatasan pertumbuhan janin intrauterine yang kemungkinan dipengaruhi oleh

22

faktor gizi dan sosio-ekonomi ibu yang nantinya akan mempengaruhi pertumbuhan

anak, dimana ia akan terus tumbuh secara suboptimal setelah lahir. BBLR juga

dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas janin dan neonatal, pertumbuhan yang

buruk, gangguan perkembangan kognitif dan penyakit kronis yang akan terjadi saat

dewasa (Bhatia,2015).

Sebuah studi kasus kontrol dari India menemukan bahwa salah satu faktor

independen yang terkait dengan kekurangan gizi adalah berat bayi lahir rendah.

Anak yang mengalami malnutrisi memiliki status imun yang rendah sehingga akan

mudah rentan terhadap infeksi suatu penyakit (Olita’a dkk, 2014).

d. Pendidikan Ibu

Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara pendidikan ibu

dan kesehatan anak. Anak yang lahir dari perempuan berpendidikan kurang,

kebanyakan akan mengalami kekurangan gizi dengan manifestasi kurus, wasting,

serta stunting (Abuya, Ciare, dan Muage, 2012).

Glewwe (1999) dalam Abuya, Ciare, dan Muage (2012) mengemukakan tiga

hal mengenai pendidikan yang mempengaruhi kesehatan anak. Pertama, saat

pendidikan formal calon ibu mendapatkan pengetahuan kesehatan. Kedua,

keterampilan membaca dan berhitung yang diperoleh wanita di sekolah akan

meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali penyakit, kemampuan

membaca petunjuk medis, dan menerapkan pengobatan pada anak-anak mereka.

Ketiga, pengalaman wanita di sekolah membuat mereka lebih mudah untuk

menerima pengobatan modern. Penelitian lain membuktikan adanya hubungan

yang kuat antara pendidikan ibu, status sosial ekonomi dan status gizi anak. Hal ini

karena wanita yang berpendidikan cenderung memiliki pekerjaan dengan gaji yang

23

lebih tinggi, menikah dengan pria berpendidikan dengan gaji yang lebih tinggi, serta

tinggal di lingkungan yang lebih baik yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan

dan kelangsungan hidup sang anak.

e. Status Sosial Ekonomi

Supariasa dalam Rimelfi (2014) menyatakan bahwa faktor sosial ekonomi

meliputi pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya, dan pendapatan keluarga.

Faktor ini akan berinteraksi satu dengan yang lain sehingga akan mempengaruhi

masukan zat gizi dan ikut mempengaruhi pertumbuhan anak.

Rusiandy (2012) menyatakan bahwa sosial ekonomi diartikan sebagai suatu

keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam

posisi tertentu dalam struktur masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula

seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi si pembawa status misalnya,

pendapatan, dan pekerjaan.

Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak,

karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun

sekunder. Sedangkan anak-anak dalam keluarga yang mempunyai status ekonomi

rendah lebih mungkin untuk mengembangkan berbagai masalah kesehatan kronis.

Arisman menemukan bahwa sebagian besar populasi yang kurang gizi selama krisis

ekonomi disebabkan oleh ketidakamanan pangan skala rumah tangga terutama pada

masyarakat miskin, meski memang kesulitan dalam memenuhi kecukupan gizi

tersebut dapat muncul pada semua tingkat pendapatan (Indarti, 2016).

f. Air Susu Ibu (ASI)

ASI merupakan sumber kehidupan bagi sang bayi pada periode extro-gestate

atau pasca kelahiran. Tidak ada makanan sesempurna ASI bagi bayi hingga umur 6

24

bulan dari kelahiran (Sitepoe, 2013). Menurut WHO, ASI eksklusif adalah

pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air

jeruk, atau makanan tambahan lain sebelum mencapai usia enam bulan. ASI

memiliki banyak manfaat bagi sang bayi, diantaranya adalah ASI mempunyai

komposisi yang sesuai dengan kebutuhan bayi yang lahir, jumlah kalori yang

terdapat dalam ASI dapat memenuhi kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan, ASI

mengandung zat pelindung (antibodi) yang dapat melindungi bayi terhadap

penyakit, ASI eksklusif dapat menyebabkan perkembangan psikomotorik bayi

lebih cepat, dengan diberikannya ASI dapat memperkuat ikatan batin dan bayi,serta

masih banyak manfaat yang lainnya (Astutik, 2013).

g. Kelengkapan Imunisasi

Infeksi dan malnutrisi merupakan dua hal yang saling berpengaruh. Infeksi akan

menjadi predisposisi kekurangan gizi karena menyebabkan pengurangan asupan

nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, sementara malnutrisi akan

menyebabkan berkurangnya fungsi kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko dan/

atau memperparah kejadian infeksi.

Pada negara-negara berkembang, vaksinasi merupakan intervensi kesehatan

anak untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas, serta bertujuan untuk mencegah

kekurangan gizi di awal kehidupan. Anak yang mengalami malnutrisi masuk dalam

kelompok yang beresiko tinggi terkena penyakit menular serta mengalami

kematian, sehingga lebih ditekankan untuk mendapat vaksinasi jika dibandingkan

dengan anak yang memiliki gizi baik. Hal itu dikarenakan vaksin pada umumnya

bersifat imunogenik pada anak yang mengalami malnutrisi (Prendergast, 2015).

25

Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan

bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan

untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi dan

pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.

Imunisasi dasar lengkap pada bayi (usia 0-11 bulan) terdiri dari 1 dosis Hepatitis B,

1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-Hib, 4 dosis polio tetes, dan 1 dosis campak.

Berdasarkan InfoDatin 2016, cakupan imunisasi dasar lengkap berdasarkan

data rutin pada tahun 2010-2013 mencapai target Rencana Strategi (Renstra)

Kementerian Kesehatan. Namun pada tahun 2014 dan 2015 cakupan imunisasi

tidak mencapai target renstra yang diharapkan.

Desa/ Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) adalah gambaran suatu

desa/ kelurahan dimana minimal ≥80% dari jumlah bayi (0-11 bulan) yang ada di

desa/ kelurahan tersebut sudah mendapat imunisasi dasar lengkap. Capaian

sementara desa/ kelurahan UCI pada tahun 2015 adalah sebesar 82,2%, dimana

provinsi Jawa Timur masih mencapai 76,5%.

h. Penyakit Penyerta

1. Penyakit infeksi yang didapat (acquired)

Kekurangan gizi akan meningkatkan frekuensi, tingkat keparahan, serta

kefatalan dari banyak infeksi, termasuk tuberkulosis (TB). Begitu pula

sebaliknya, infeksi dapat memperparah terjadinya gizi buruk. Kekurangan gizi

merupakan penyebab tersering dari imunodefisiensi sekunder yang

mempengaruhi imunitas bawaan dan adaptif, hal ini disebut dengan sindrom

defisiensi imun bawaan gizi. Immunodefisiensi yang terkait dengan kekurangan

gizi berkontribusi terhadap hampir setengah kematian akibat infeksi umum

26

yang terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun (Bhargava, 2016). Berikut

beberapa penyakit penyerta yang dapat terjadi :

- Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis (MTB) yaitu bakteri bacillus yang tumbuh lambat

dan ditularkan melalui aerosol ke sistem pernafasan. Pada anak-anak, MTB

biasanya meginfeksi dengan cara kontak dengan orang yang memiliki penyakit

paru disertai batuk berdahak. Setelah infeksi awal, kemungkinan MTB akan

tinggal di dalam tubuh anak dan tidak dapat diberantas oleh sistem kekebalan

tubuh anak tersebut, sehingga akan mengakibatkan infeksi TB laten (LTBI),

atau dapat berlanjut ke salah satu dari beberapa fenotipe klinis. Pada orang

dewasa, TB akan menyebabkan penyakit pernafasan, sedangkan pada anak-

anak, TB dapat menyebabkan sindrom penyakit ekstrapulmoner seperti

limfadenopati, TB milier, atau meningitis. Pola penyakit pernafasan pada anak

berbeda dengan orang dewasa, pada anak-anak terkadang infeksi TB lamban

dan muncul gejala non-spesifik seperti penurunan berat badan dan demam

terus-menerus (Jones dan Berkley, 2014).

- HIV AIDS

AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh retrovirus, Human

Immunodeficiency Virus (HIV), yang menyerang dan merusak sistem

pertahanan alami tubuh terhadap penyakit dan infeksi. Nutrisi dan HIV

merupakan dua hal yang saling berpengaruh. HIV dapat merusak kekebalan

tubuh yang menyebabkan malnutrisi dan defisiensi imun lebih lanjut, serta

dapat berkontribusi terhadap perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS. Orang

27

yang menderita gizi buruk dan telah terinfeksi HIV akan lebih cepat mengalami

AIDS karena tubuhnya lemah untuk melawan infeksi, sedangkan orang yang

bergizi baik lebih mampu untuk melawan infeksi. Telah terbukti bahwa nutrisi

yang baik dapat meningkatkan energi, ketahanan tubuh terhadap infeksi dan

penyakit, sehingga membuat seseorang menjadi lebih kuat dan lebih produktif

(Duggal S, Chugh, dan Duggal A.K, 2012).

- Diare Persisten

Diare persisten sebagai berlanjutnya episode diare selama 14 hari atau lebih

yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah. Diare ini merupakan

penyebab penting dari kekurangan mikronutrien yang dapat mengganggu

perkembangan saraf, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta dapat

memperparah penyakit yang dialami sang anak (Moore, Lima, dan Soares,

2010).

Pada suatu penelitian ditemukan beberapa faktor resiko diare persisten,

diantaranya adalah kekurangan energi protein, defisiensi vitamin A, infeksi

saluran pernapasan bagian bawah dan penggunaan antibiotik sebelumnya.

Tidak ada organisme spesifik yang ditemukan terkait dengan diare persisten.

TB bukanlah faktor kontribusi yang signifikan dalam diare persisten secara

statistik. Dengan dukungan nutrisi yang tepat, pemberian suplementasi vitamin

A, cepat dalam mencari infeksi sekunder, serta pengobatannya sangat penting

dalam pengelolaan diare persisten (Umamaheswari dkk, 2010).

2. Penyakit infeksi maternal (kongenital)

Beberapa infeksi yang ditularkan ke janin dapat mengakibatkan morbiditas

neonatal atau kematian janin. Transmisi bisa terjadi hematogen dari ibu ke bayi

28

atau sebagai ascending infection melalui serviks uterus. Sistem kekebalan tubuh

janin bergantung pada antibodi maternal dari ibu yang didapat secara

transplasenta. Sehingga jika ibu mengalami infeksi yang terjadi di masa

perinatal, mungkin tidak akan menghasilkan perlindungan kekebalan yang

cukup untuk diberikan pada janin. Cytomegalovirus (CMV), virus rubella, virus

varicella-zoster, hepatitis B dan C, dan Virus Zika bisa menular pada janin

melalui darah. Selain itu, organisme penting yang terdapat pada ascending

infection adalah kelompok B streptococcus (GBS), herpes simplex virus

(HSV),dan Escherichia coli. Infeksi yang terjadi selama kehamilan dapat

mengakibatkan aborsi spontan, bayi lahir mati, lahir premature, serta berat

badan lahir rendah (Khan, Morris, dan Bhutta, 2017).

i. Pengetahuan Ibu

Pentingnya pengetahuan ibu tentang klasifikasi dan nilai gizi suatu makanan

diperlukan untuk merancang penyediaan makanan serta edukasi pada sang anak.

Pemberian serta kebiasaan makan sang bayi akan berpengaruh terhadap masa depan

yang relevan dengan kesehatan, perkembangan, dan pertumbuhan sang anak

(Oliveros dkk, 2014).

j. Asupan Makanan

Purwaningrum dan Wardani (2012) menyatakan bahwa asupan makanan

berhubungan dengan status gizi balita. Balita yang status gizinya normal, sebagian

besar mempunyai asupan makanan yang cukup.

Pada usia bayi, makanan gizi seimbang sangat dibutuhkan karena akan

memengaruhi kualitas pada usia dewasa hingga usia lanjut. Gizi makanan yang

29

seimbang juga akan memengaruhi pertumbuhan sel otak, dimana pertumbuhan sel

otak terhenti pada usia 3 sampai 4 tahun (Rusilanti, Dahila, dan Yulianti, 2015).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75

Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi bangsa

Indonesia diuraikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat, dan Air

yang dianjurkan untuk orang Indonesia (perorang perhari)

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Vitamin yang dianjurkan untuk orang Indonesia

(perorang perhari)

Kelompok

Umur

(Bayi/Anak)

0-6

Bulan

7-11

Bulan

1-3

tahun

4-6

tahun

7-9

tahun

BB (kg) 6 9 13 19 27

TB (cm) 61 71 91 112 130

Energi (kkal) 550 725 1125 1600 1850

Protein (g) 12 18 26 35 49

Lemak (g)

Total 34 36 44 62 72

n-6 4,4 4,4 7,0 10,0 10,0

n-3 0,5 0,5 0,7 0,9 0,9

Karbohidrat (g) 58 82 155 220 254

Serat (g) 0 10 16 22 26

Air (mL) - 800 1200 1500 1900

Kelompok Umur

(Bayi/ Anak)

0-6

bulan

7-11

bulan

1-3

tahun

4-6

tahun

7-9

tahun

Vitamin A (mcg) 375 400 400 450 500

Vitamin D (mcg) 5 5 15 15 15

Vitamin E (mcg) 4 5 6 7 7

Vitamin K (mcg) 5 10 15 20 25

Vitamin B1 (mg) 0,3 0,4 0,6 0,8 0,9

Vitamin B2 (mg) 0,3 0,4 0,7 1,0 1,1

Vitamin B3 (mg) 2 4 6 9 10

Vitamin B5 (mg) 1,7 1,8 2,0 2,0 3,0

Vitamin B6 (mg) 0,1 0,3 0,5 0,6 1,0

Folat (mcg) 65 80 160 200 300

Vitamin B12 (mcg) 0,4 0,5 0,9 1,2 1,2

30

k. Budaya

Budaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi, contohnya

pada sebagian masyarakat tertentu di Indonesia, daging dianggap menimbulkan

cacingan pada anak sehingga dianggap lebih baik tidak memberikan daging kepada

anak (Hendarto dan Musa, 2002). Wardani (2015) dalam penelitiannya

memaparkan bahwa diantara sepuluh orang ibu yang diwawancarai mengenai

rutinitas ibu membawa balita ke Posyandu setiap bulan, menunjukkan hanya

terdapat empat ibu saja yang rutin membawa anak ke Posyandu. Rata rata alasan

ibu tidak membawa balitanya ke Posyandu karena rutinitas pekerjaan rumah yang

bagi mereka tidak dapat ditinggalkan, menganggap bahwa Posyandu itu hanya

menimbang saja, rasa malas untuk datang ke Posyandu, dan ada yang menganggap

bahwa imunisasi itu haram sehingga hal ini menjadikan paradigma negatif tentang

Posyandu.

l. Lingkungan fisik dan kimia

Faktor lingkungan kimia dapat berupa paparan polusi terhadap anak. Astuti,

Rahayu, dan Surasmi (2012) memaparkan dalam penelitiannya kemungkinan

pencemaran udara dalam rumah, misalnya asap rokok yang dihisap oleh

orangtuanya atau anggota keluarga yang lain, tetangga, dan bisa juga karena asap

pembakaran untuk memasak. Selain faktor tersebut, ventilasi yang kurang atau

tidak baik dan kepadatan hunian juga merupakan faktor risiko terjadinya ISPA

Kelompok Umur

(Bayi/ Anak)

0-6

bulan

7-11

Bulan

1-3

tahun

4-6

tahun

7-9

tahun

Biotin (mcg) 5 6 8 12 12

Kolin (mcg) 125 150 200 250 375

Vitamin C (mcg) 40 50 40 45 45

31

dapat merusak paru-paru. Jayani (2015) mengungkapkan bahwa ISPA merupakan

salah satu penyakit infeksi yang dapat menyebabkan imunitas anak turun sehingga

akan mempengaruhi status gizi anak tersebut.

Faktor lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi status gizi balita adalah

sanitasi lingkungan. Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan

terjadinya berbagai jenis penyakit, antara lain diare dan ISPA (Abeng, Ismail, dan

Huriyati, 2014). Penyakit lain yang juga dapat terjadi adalah tipus, hepatitis,

leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis, penyakit pernafasan kronis, dan

infeksi parasit usus (UNICEF,2012). Lebih lanjut, penyakit infeksi dalam tubuh

akan membawa pengaruh terhadap keadaan gizi anak. Sebagai reaksi pertama

adanya infeksi adalah menurunya nafsu makan anak dan anak cenderung menolak

makanan yang diberikan oleh pengasuhnya, hal itu menyebabkan asupan zat gizi ke

dalam tubuh anak berkurang dan pada akhirnya dapat menimbulkan gangguan gizi

(Abeng, Ismail, dan Huriyati, 2014).

2.3.3 Prevalensi Gizi Buruk

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2013, didapatkan data

prevalensi gizi buruk di Indonesia tahun 2007 sebesar 5,4%, tahun 2010 sebesar

4,9%, dan tahun 2013 sebesar 5,7%. Berdasarkan hasil Penilaian Status Gizi (PSG)

2016 didapatkan data prevalensi gizi buruk di Indonesia pada tahun 2016 sebesar

3,4% dan gizi kurang sebesar 14,4%. Sasaran MDG’s tahun 2015 untuk prevalensi

gizi kurang-buruk adalah 15,5%. Berdasarkan data tersebut, prevalensi gizi buruk

di Indonesia sudah turun jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi untuk

prevalensi gizi kurang-buruk masih melebihi sasaran MDG’s tahun 2015, sehingga

prevalensi gizi kurang-buruk secara nasional harus diturunkan sebesar 2,3%.

32

Diantara provinsi-provinsi Indonesia pada tahun 2016, posisi Jawa Timur jika

dilihat dari tingkat status gizi kurang-buruk termasuk ke dalam kelompok

menengah sebesar 17,3% atau 0,5% di bawah rata-rata nasional. Menurut data

Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang pada tahun 2016 angka gizi buruk di

Kabupaten Lumajang sebesar 0,62%, dengan Kecamatan Pasirian sebagai

penyumbang gizi buruk terbanyak yaitu 1,18%.

2.3.4 Patofisiologi Gizi Buruk

Gizi buruk merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan asupan protein

dan atau energi secara kronis. Gizi buruk diketahui dengan cara pengukuran

antropometri yaitu berat badan (BB), tinggi badan (TB), atau umur dibanding

dengan standar, dengan atau tanpa marasmus, kwarshiorkor, marasmus-

kwarshiorkor. Marasmus terjadi karena kekurangan asupan energi atau karbohidrat

dalam jangka waktu lama sehingga cadangan lemak tubuh akan digunakan untuk

memproduksi energi yang menyebabkan balita menjadi kurus (wasting).

Kwarshiorkor terjadi karena asupan protein tidak adekuat dalam jangka waktu yang

lama. Deplesi protein dalam tubuh dapat menyebabkan edema (Rusilanti, Dahila,

dan Yulianti, 2015).

Tubuh akan beradaptasi untuk memperlambat dan mencegah progresivitas

dengan mengoptimalkan penggunaan cadangan energi. Hal ini dicapai dengan

mengurangi metabolisme basal, mengurangi sekresi faktor anabolik dan

meningkatkan hormon katabolik. Cadangan makanan diambil dari lemak bawah

kulit dan protein pada otot sehingga terjadi penyusutan massa otot dan lemak

subkutan. Hal inilah yang menyebabkan penderita gizi buruk kurus dan mempunyai

kulit tipis, kering, dan berkeriput (Hoffer, 2001).

33

Bagan Patofisiologi Gizi Buruk

(Anwar, 2013)

Gambar 2.1 Patofisiologi Gizi Buruk

Turgor atau elastisitas kulit pada penderita gizi buruk jelek karena sel

kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif terjadi karena kekurangan aktin

myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangan

protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali

terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi

marasmus

asupan kalori &

nutrisi

tidak adekuat

kebutuhan tubuh terus

meningkat

cadangan makanan

diambil

dari lemak bawah

kulit

kebutuhan nutrisi &

kalori

tidak terpenuhi

defisiensi nutrisi &

kalori

gangguan

pertumbuhan &

perkembangan

kurang makan, menderita penyakit,

kemiskinan, pendidikan rendah

gizi buruk kondisi sakit ansietas minim

informasi

jarang

pengetahuan

absorbsi

di usus ↓

diare ketidakseimbangan

volume cairan

penyusutan

jaringan

hilangnya

lemak subkutan

kulit tipis, kering, &

berkeriput

gangguan

intergritas kulit

sistem imun ↓

komplikasi

Kwashiorkor

asupan nutrisi

& protein

tidak adekuat

kebutuhan

nutrisi terus ↑

defisiensi

protein &

kalori

respon tubuh

kadar

albumin

serum ↓

tekanan

osmotik

darah ↓

oedema

ketidak-

seimbangan

volume

cairan

resiko

kematian

dalam waktu

lama

nutrisi

kurang dari

kebutuhan

tubuh

nutrisi

jaringan & sel

tubuh ↓

metabolisme ↓

energi tidak

adekuat

kelemahan

gangguan

pola aktivitas

kondisi

bedrest

defisit

perawatan

diri

resiko cidera

badan

kurus

gangguan

citra diri

nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh

34

penurunan pembentukan beta-lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan

LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit

ditransport ke jaringan-jaringan sehingga terjadi penumpukan lemak di hepar.

Tanda khas pada penderita kwarshiorkor adalah pitting edema. Pitting edema

adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema

disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskuler

menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intersisial. Plasma

masuk ke intersisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwarshiorkor tidak ada

kompensasi dari ginjal untuk reabsorbsi natrium yang berfungsi menjaga

keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwarshiorkor, selain defisiensi protein

juga defisiensi multinutrien (Ahmed, Rahman, dan Cravioto, 2009).

2.3.5 Kriteria Diagonosis

Diagnosis anak gizi buruk menurut buku Pedoman Pelayanan Anak Gizi

Buruk dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Gizi buruk tanpa komplikasi :

1. BB/TB <-3SD dan atau;

2. terlihat sangat kurus dan atau;

3. adanya edema dan atau;

4. LILA <11,5cm untuk anak usia 6-59 bulan dan atau;

5. nafsu makan baik dan atau;

6. tanpa komplikasi medis (Kemenkes, 2011).

b. Gizi buruk dengan komplikasi

Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah satu atau lebih

dari tanda komplikasi medis berikut :

35

1. Anoreksia;

2. anemia berat;

3. pneumonia berat;

4. dehidrasi berat;

5. demam sangat tinggi;

6. penurunan kesadaran (Kemenkes RI, 2011).

2.3.6 Terapi

Terapi pada balita gizi buruk memiliki alur pemeriksaan yang nantinya akan

menentukan perawatan yang diperlukan untuk masing-masing kasus. Berikut alur

pemeriksaan balita gizi buruk menurut Buku Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk:

A. Rawat Jalan

1. Pemeriksaan klinis

Dokter melakukan anamnesa untuk mencari riwayat penyakit, pemeriksaan

fisik dan mendiagnosa penyakit, serta menentukan ada atau tidak penyakit

penyerta, tanda klinis atau komplikasi.

2. Pemberian konseling

- Menyampaikan informasi kepada ibu/pengasuh tentang hasil penilaian

pertumbuhan anak

- Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab kurang gizi

- Memberi nasihat sesuai penyebab kurang gizi

- Memberikan anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi anak

dan cara menyiapkan makan formula, melaksanakan anjuran makan dan

memilih atau mengganti makanan

36

(Kementerian Kesehatan, 2011)

Gambar 2.2 Alur Pemeriksaan Balita Gizi Buruk

3. Pemberian paket obat dan makanan untuk pemulihan gizi

- Bila pada saat kunjungan ke puskesmas anak dalam keadaan sakit, maka

oleh tenaga kesehatan anak diperiksa dan diberikan obat:

a. Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak gizi buruk dengan dosis

sesuai umur pada saat pertama kali ditemukan.

b. Makanan untuk pemulihan gizi dapat berupa makanan local atau

pabrikan

- Makanan untuk pemulihan gizi adalah makanan padat energy

yang diperkaya dengan vitamin dan mineral.

- Makanan untuk pemulihan gizi diberikan kepada anak gizi buruk

selama masa pemulihan.

- Makanan untuk pemulihan gizi dapat berupa : F100, makanan

therapeutic/ gizi siap saji dan makanan lokal. Makanan lokal

37

dengan bentuk mulai dari makanan bentuk cair, lumat, lembik,

padat.

- Bahan dasar utama makanan untuk pemulihan gizi dalam

formula F100 dan makanan siap saji (theraupetic feeding) adalah

minyak, susu, tepung, gula, kacang-kacangan, dan sumber

hewani. Kandungan lemak sebagai sumber energi sebesar 30-

60% dari total kalori.

- Makanan total dengan kalori 200 kkal/kg BB per hari, yang

diperoleh dari lemak 30-60% dari total energi, protein 4-6g/kg

BB per hari.

- Apabila akan menggunakan makanan lokal tidak dilakukan

secara tunggal (makanan lokal saja) tetapi harus dikombinasikan

dengan makanan formula.

- Jumlah dan frekuensi :

1. Anak gizi buruk dengan tanda klinis diberikan secara

bertahap. Fase rehabilitasi awal 150 kkal/kg BB per hari,

yang diberikan 5-7 kali pemberian/ hari. Diberikan selama

satu minggu dalam bentuk makanan cair (Formula 100).

Fase rehabilitasi lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang

diberikan 5-7 kali pemberian per hari (Formula 100).

2. Anak gizi buruk tanpa tanda klinis langsung diberikan fase

rehabilitasi lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang

diberikan 5-7 kali pemberian/hari (Formula 100).

38

4. Rawat Inap

- Pelayanan medis, keperawatan dan konseling gizi sesuai dengan

penyakit penyerta/penyulit.

- Pemberian formula dan makanan sesuai dengan fase sebagai berikut:

1.) Fase Stabilisasi

Diberikan makanan formula 75 (F-75) dengan asupan gizi 80-100

kkal/kgBB/hari dan protein 1-1,5 g/kgBB/hari. ASI tetap diberikan pada

anak yang masih mendapatkan ASI.

2.) Fase Transisi

Pada fase transisi ada perubahan pemberian makanan dari F-75

menjadi F-100. Diberikan makanan formula 100 (F-100) dengan asupan

gizi 100-150 kkal/kgBB/hari dan protein 2-3 g/kgBB/hari.

3.) Fase Rehabilitasi

Diberikan makanan seperti pada fase transisi yaitu F-100, dengan

penambahan makanan untuk anak dengan BB < 7 kg diberikan makanan

bayi dan untuk anak dengan BB > 7 kg diberikan makanan anak. Asupan

gizi 150-220 kkal/kgBB/hari dan protein 4-6 g/kgBB/hari.

4.) Fase Tindak Lanjut (dilakukan di rumah)

Setelah anak pulang dari PPG, anak tetap dikontrol oleh Puskesmas

pengirim secara berkala melalui kegiatan Posyandu atau kunjungan ke

Puskesmas. Lengkapi imunisasi yang belum diterima, berikan imunisasi

campak sebelum pulang. Anak tetap melakukan kontrol (rawat jalan)

pada bulan I satu kali/ minggu, bulan II satu kali/ 2 minggu, selanjutnya

sebulan sekali sampai dengan bulan ke-6. Tumbuh kembang anak

39

dipantau oleh tenaga kesehatan Puskesmas pengirim sampai anak

berusia 5 tahun.

2.4 Gizi Seimbang

Berdasarkan Kemenkes RI (2014), gizi seimbang merupakan susunan

pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai

dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip gizi seimbang yang terdiri

dari 4 pilar, yaitu keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih dan

mempertahankan berat badan normal untuk mencegah masalah gizi. Gizi seimbang

mengandung komponen-komponen yang lebih kurang sama, yaitu: cukup secara

kuantitas, cukup secara kualitas, mengandung berbagai zat gizi (energi, protein,

vitamin dan mineral) yang diperlukan tubuh untuk tumbuh (pada anak-anak), untuk

menjaga kesehatan dan untuk melakukan aktivitas dan fungsi kehidupan sehari-hari

(bagi semua kelompok umur dan fisiologis), serta menyimpan zat gizi untuk

mencukupi kebutuhan tubuh saat konsumsi makanan tidak mengandung zat gizi

yang dibutuhkan. Berikut merupakan gizi seimbang yang diperlukan berdasarkan

usia (0-5tahun):

1. Gizi Seimbang untuk Bayi 0-6 bulan

Gizi seimbang untuk bayi 0-6 bulan cukup hanya dari ASI. ASI merupakan

makanan yang terbaik untuk bayi oleh karena dapat memenuhi semua zat gizi yang

dibutuhkan bayi sampai usia 6 bulan, sesuai dengan perkembangan sistem

pencernaannya, murah dan bersih. Oleh karena itu setiap bayi harus memperoleh

ASI Eksklusif yang berarti sampai usia 6 bulan hanya diberi ASI saja.

2. Gizi Seimbang untuk Anak 6-24 bulan

Pada anak usia 6-24 bulan, kebutuhan terhadap berbagai zat gizi semakin

40

meningkat dan tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja. Pada usia ini anak

berada pada periode pertumbuhan dan perkembangan cepat, mulai terpapar

terhadap infeksi dan secara fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi

harus terpenuhi dengan memperhitungkan aktivitas bayi/anak dan keadaan infeksi.

Agar mencapai gizi seimbang maka perlu ditambah dengan Makanan Pendamping

ASI atau MP-ASI, sementara ASI tetap diberikan sampai bayi berusia 2 tahun. Pada

usia 6 bulan, bayi mulai diperkenalkan kepada makanan lain, mula-mula dalam

bentuk lumat, makanan lembik dan selanjutnya beralih ke makanan keluarga saat

bayi berusia 1 tahun.

Secara bertahap, variasi makanan untuk bayi usia 6-24 bulan semakin

ditingkatkan, bayi mulai diberikan sayuran dan buah-buahan, lauk pauk sumber

protein hewani dan nabati, serta makanan pokok sebagai sumber kalori. Demikian

pula jumlahnya ditambahkan secara bertahap dalam jumlah yang tidak berlebihan

dan dalam proporsi yang juga seimbang.

3. Gizi Seimbang untuk Anak usia 2-5 tahun

Kebutuhan zat gizi anak pada usia 2-5 tahun meningkat karena masih berada

pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Demikian juga anak sudah

mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai termasuk makanan jajanan.

Oleh karena itu jumlah dan variasi makanan harus mendapatkan perhatian secara

khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama dalam “memenangkan” pilihan anak

agar memilih makanan yang bergizi seimbang. Disamping itu anak pada usia ini

sering keluar rumah sehingga mudah terkena penyakit infeksi dan kecacingan,

sehingga perilaku hidup bersih perlu dibiasakan untuk mencegahnya.

41

2.5 Aplikasi Model Epidemiologi pada Analisis Faktor Resiko Prevalensi Gizi

Buruk

2.5.1 Model segitiga epidemiologi

Model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen

penyakit yaitu manusia (Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Environment).

Menurut Hockennberry dan Wilson, 2009 penyakit dapat terjadi karena adanya

ketidakseimbangan antara faktor agent, host, dan environment. Dalam model ini

faktor agent adalah yang bertanggung jawab terhadap penyebab penyakit meliputi

infectious agent yaitu organisme penyebab penyakit, physical agent dan chemical

agent. Faktor penjamu (Host) adalah individu atau populasi yang berisiko terpajan

penyakit meliputi faktor genetik atau gaya hidup. Faktor lingkungan (Enviroment)

adalah tempat dimana host hidup termasuk cuaca dan faktor-faktor yang

berhubungan dengan rumah, tetangga dan sekolah.

Gambar di bawah memperlihatkan segitiga dalam status keseimbangan

(ekuilibrium) yang normal. Keseimbangan bukan menandakan kesehatan yang

optimum, tetapi pola biasa yang sederhana dari kondisi sehat dan sakit dalam

populasi. Berbagai perubahan yang terjadi pada salah satu sisi (agent, host, dan

environment) akan menghasilkan ketidakseimbangan.

(Hockenberry and Wilson, 2009)

Gambar 2.3 The Epidemiologic triangle

Host

Agent Environment

42

Berikut adalah penjabaran hubungan 3 komponen yang terdapat dalam

model segitiga epidemiologi dengan faktor risiko terjadinya gizi buruk :

1. Faktor penyebab (agent) adalah penyebab dari penyakit infeksi yang

terjadi pada balita yaitu berupa virus,bakteri, dan jamur.

2. Faktor Manusia (host) adalah manusia atau pasien. Faktor risiko dalam

hal ini meliputi: berat badan lahir dan penyakit kongenital.

3. Faktor Lingkungan (environment) adalah yang dapat menjadi faktor

risiko terjadinya gizi buruk yang meliputi sosial ekonomi keluarga,

pengetahuan ibu mengenai gizi seimbang, tingkat pendidikan ibu yang

akan mempengaruhi pemberian ASI, asupan makanan, serta pemberian

imunisasi.

2.5.2 Model Web of Causation

Pencetus teori web of causation adalah Mac Mahon, Pugh, dan Ipsen (1960).

Konsepnya adalah setiap kondisi kesehatan tidak hanya tergantung pada sebuah

faktor penyebab, melainkan tergantung pada sejumlah faktor dalam rangkaian

proses sebab akibat. Semua faktor dapat membentuk “web of causation” dimana

setiap penyebab saling terkait satu sama lain. Web of causation mencoba untuk

mengidentifikasi semua kemungkinan yang dapat mempengaruhi kondisi

kesahatan, baik sehat maupun sakit (Anderson, 2010).

Faktor-faktor yang membentuk web of causation gizi buruk adalah

pendidikan ibu, status sosial ekonomi, pengetahuan ibu, kelengkapan imunisasi,

penyakit penyerta yang akan diperparah oleh infeksi, BBLR, asupan makanan, serta

ASI (Novitasari, 2012).

43

(Novitasari,2012)

Gambar 2.4 Web of causation faktor resiko kejadian gizi buruk balita

2.5.3 Metode Wheel of Causation

Model ini digambarkan dengan lingkaran yang di dalamnya terdapat

lingkaran lebih kecil. Lingkaran yang besar sebagai faktor eksternal dan lingkaran

yang kecil sebagai faktor internalnya.

(Raj Bhopal, 2016)

Gambar 2.5 Wheel of causation

Faktor internalnya (host) menyatakan bahwa suatu penyakit disebabkan

oleh adanya interaksi antara genetik dengan lingkungannya. Faktor internal juga

berkaitan dengan kepribadian individu dimana kepribadian tertentu akan

meningkatkan resiko penyakit tertentu. Faktor eksternal pada model ini adalah

lingkungan yang juga dibedakan menjadi lingkungan biologi (agent berupa virus,

44

jamur, bakteri), fisik (kebersihan lingkungan, ventilasi tempat tinggal) dan sosial

(budaya, ekonomi, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan). Model ini biasanya

digunakan untuk menggambarkan penyakit yang penyebabnya tidak spesifik,

seperti penyakit jantung, stroke, hipertensi, kanker. Dimana menekankan faktor

lingkungan sebagai penyebab terjadinya penyakit (Rajab, 2009).

2.5.4 Model Hendrik L. Blum

Menurut teori Hendrik L. Blum (1974) dalam Proverawati 2012, status

kesehatan dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling

berinteraksi satu sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah lingkungan,

perilaku (gaya hidup), keturunan dan pelayanan kesehatan.

Makna panah berdasarkan model Hendrik L Blum yang menuju kepada

status kesehatan memiliki ukuran yang berbeda, dimana perilaku memiliki ukuran

panah paling besar. Hal ini disebabkan karena perilaku memiliki peranan yang

paling besar, karena dapat di intervensi dengan mudah kemudian yang kedua adalah

lingkungan dan yang ketiga adalah pelayanan kesehatan. Genetik atau keturunan

tidak dapat di intervensi oleh sebab itu memiliki panah dengan ukuran paling kecil

(Effendy, 2016).

(Hendrik L Blum, 1974)

Gambar 2.6 Faktor yang mempengaruhi status kesehatan

LINGKUNGAN PELAYANAN

KESEHATAN

KETURUNAN

PERILAKU

STATUS

KESEHATAN

45

Gambar 2.6 memperlihatkan sehat tidaknya seseorang tergantung 4 faktor

yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Faktor tersebut

berpengaruh langsung pada kesehatan dan juga berpengaruh satu sama lain. Status

kesehatan akan tercapai optimal jika empat faktor tersebut kondisinya juga optimal.

Bila salah satu faktor terganggu, status kesehatan tergeser kearah di bawah optimal.

a. Faktor genetik atau keturunan

Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia

yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti

diabetes melitus dan asma bronchial. Keturunan adalah faktor risiko yanng tidak

mungkin kita hindari. (Effendy, 2016).

b. Faktor pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat

kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan

dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan

dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan

kesehatan. Ketersediaan fasilitas kesehatan dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat

dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan

kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang

memerlukan. (Effendy, 2016).

Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat

membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya

untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan.

Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan

masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga

46

mesti ditingkatkan. Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan

masyarakat sangat besar peranannya, sebab di puskesmas akan ditangani

masyarakat yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer. (Effendy, 2016).

c. Faktor perilaku

Perilaku merupakan faktor pertama yang mempengaruhi derajat kesehatan

masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu,

keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Di

samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan,

pendidikan sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku yang melekat pada dirinya.

(Effendy, 2016)

Perilaku, baik individu maupun masyarakat dalam menjaga kesehatan

memegang peranan sangat penting untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2015. Hal

ini dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan dari dalam

diri sendiri maupun masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Individu dan

masyarakat yang berprilaku hidup bersih dan sehat akan menghasilkan budaya

menjaga lingkungan yang bersih dan sehat. Pembuatan peraturan tentang

berperilaku sehat juga harus dibarengi dengan pembinaan untuk menumbuhkan

kesadaran pada individu dan masyarakat. Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan

keluarga, sekolah dan masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role model

harus diajak turut serta dalam menyukseskan program-program kesehatan. Faktor

perilaku, seperti pada penjelasan sebelumnya, mempunyai pengaruh yang sangat

besar terhadap tercapainya derajat kesehatan. Perilaku dapat mempengaruhi

lingkungan, pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan yang telah disiapkan

maupun terhadap kemungkinan masalah genetik yang timbul (Chandra, 2009).

47

d. Faktor Lingkungan

Lingkungan memiliki pengaruh cukup besar. Lingkungan sangat bervariasi,

umumnya digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan

aspek fisik, biologi dan sosial. Lingkungan fisik yaitu bersifat abiotik atau benda

mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-

lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang

waktu dan masa serta memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit

pada masyarakat. Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi

sumber berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan

masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola dengan

baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab. Lingkungan biologis

yaitu bersifat biologis atau benda hidup misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, virus,

bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agen

penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes intermediate. Hubungan

manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat dinamis dan pada keadaan tertentu

saat terjadi ketidakseimbangan di antara hubungan tersebut, manusia akan menjadi

sakit. Lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti

kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Berupa kultur, adat istiadat,

kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar, gaya hidup, pekerjaan, kehidupan

kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik. Manusia dipengaruhi oleh

lingkungan sosial melalui berbagai media seperti radio, TV, pers, seni, literatur,

cerita, lagu, dan sebagainya. Bila manusia tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan

lingkungan sosial, akan terjadi konflik kejiwaan dan menimbulkan gejala

psikosomatik seperti stres, insomnia, depresi, dan lain-lain. Upaya menjaga

48

lingkungan menjadi tanggungjawab semua pihak untuk itulah perlu kesadaran

semua pihak (Chandra, 2009).

2.5.5 Teori Lawrence Green

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat

kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,

yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour

causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor :

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan

sebagainya.

3. Faktor-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Model ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Keterangan :

B = Behavior F = Fungsi

PF = Predisposing Factors

EF = Enabling Factors

RF = Reinforcing Factors

B=F (PF, EF, RF)

49

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan

ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang

atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap,

dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan

memperkuat terbentuknya perilaku.

Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat

disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi

bagi anaknya (predisposing factors). Atau barangkali juga karena rumahnya jauh

dari posyandu atau puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya (enabling

factors). Sebab lain, mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat

lainnya di sekitarnya tidak pernah mengimunisasikan anaknya (reinforcing factors)

(Notoatmodjo, 2007).