bab 2 tinjauan pustaka 2.1 dentin dentin secara alami
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dentin
Dentin secara alami, terhidrasi, merupakan mineralisasi jaringan keras yang
membentuk sebagian besar gigi. Dentin memiliki ribuan tubulus mikroskopis yang
berdiameter antara 0.5 - 4.0 µm, dengan kepadatan tubulus dentin berkisar dari
10.000 - 96.000 tubulus per mm2 (Mjor, 1996 cit. Kishen, 2006). Dentin dewasa
(matur) terdiri dari 30% kolagen bahan organik, 60% anorganik dan 10% air. Bahan
anorganik dentin sebagian besar terdiri dari kristal hidroksiapatit dan garam seperti
karbonat, fosfat dan sulfat dan trace element seperti F, Cu, Zn, Fe.
Persentase bahan organik sebagian besar terdiri dari 90% kolagen tipe I dan
sisanya (10%) non kolagen protein seperti phospoproteins dan proteoglikan (Embery,
2001 cit. Fawzy dkk, 2012). Kolagen tipe I berbentuk sebuah jaringan fiber tiga
dimensi yang membangun matriks dentin. Dibandingkan dengan tulang, matriks
kolagen dentin lebih terjalin dengan berbagai persimpangan fibril (Habelizt dkk, 2002
cit. Fawzy, 2012). Kolagen pada bahan organik berfungsi memberikan daya tahan
terhadap retak (crack), meningkatkan kemampuan untuk menyerap ketangguhan
(toughness) dan memberikan kekuatan tarik (tensile strength). Bahan anorganik
berfungsi untuk meningkatkan kekakuan (stiffness), modulus elastisitas dan kekuatan
tekan (compressive strength).
Air pada dentin berfungsi memberikan sifat viskoelastisitas, meningkatkan
kemampuan untuk menyerap tegangan (stress) dan meningkatkan distribusi
tegangan/regangan (stress/strain) pada dentin. Air pada dentin terdiri dari dua tipe.
Tipe pertama adalah air terikat dengan kristal apatit bahan anorganik, kolagen dan
non kolagen matriks protein pada bahan organik. Tipe kedua adalah air tidak terikat
atau bebas yang mengisi tubulus dentinalis dan porositas lainnya di dalam matriks
dentin. Air bebas berkaitan dengan ion anorganik seperti kalsium dan fosfat, serta
sebagai alat transportasi di dalam matrik dentin. Hilangnya jaringan pulpa dan tipe air
bebas dari permukaan dentin, porositas, dan tubulus dentin dapat mempengaruhi
pengurangan sifat mekanik pada integritas gigi yang di endodonti (Kishen, 2006).
Gambar 2.1 Peranan Perbedaan Bahan Dentin terhadap Integritas Struktur Mekanis Dentin
(Kishen, 2006)
Peranan perbedaan bahan dentin terhadap integritas struktur mekanis dentin,
dapat dilihat pada gambar 2.1. Kolagen dan air, berkonstribusi terhadap integritas
mekanis struktur dentin. Dentin yang terhidrasi memiliki efek plastis dan respon
strain yang berbeda dalam arah paralel dan tegak lurus terhadap tubulus dentin.
Ketika terjadi dehidrasi pada dentin, sifat kekakuan dentin bulk meningkat serta
plastisitasnya menjadi rendah. Perubahan dentin dalam karakteristik mekanik dan
variasi respon biomekanik dapat menyebabkan gigi pasca endodonti menjadi fraktur
(Kishen dkk, 2006).
Gambar 2.2 Tubulus Dentin dengan Menunjukkan Peritubular dan Intertubular Dentin
(Marshall dkk, 1999 dalam buku Craig’s Restorative Dental Material)
Persentase berat dentin lebih tinggi daripada persentase volume, dengan
kepadatan dentin berkisar 2.05 - 2.30 g/cm-3 (Pashley, 2002). Sifat mekanis dentin
terkait dengan kepadatan partikel mineral, jumlah dentin intertubular, dan kepadatan
tubulus. Intertubular dentin adalah penghasil sekretori utama odontoblast yang
terletak diantara tubulus dentin yang terdiri dari bahan organik tipe I kolagen dan
anorganik kristal hidroksiapatit (gambar 2.2). Peritubular dentin terletak mengelilingi
tubulus dentin dengan hipermineralisasi namun kekurangan serabut kolagen (Avery
dan Chiego, 2006).
Tabel 2.1 Sifat Mekanis Dentin (Pasley, 2002)
SIFAT MEKANIS DENTIN
Sifat Mekanis DENTIN Bulk Peritubular Intertubular
Compressive strength (MPa) Young’s modulus (Gpa) Shear strength (MPa) Tensile strength (MPa) Microhardness (kg/nm-2) Nanohardness (Gpa)
217-300 11-19.9 45-132 31-106 40-70
-
- 29.8-30
- - -
2.2-2.5
- 16-21.1
- - -
0.12-0.52
Sifat mekanis dentin tidak homogen sehingga memberi nilai yang bervariasi,
namun sebagian besar struktur gigi terdiri dari dentin, yang merupakan bagian
penting dari gigi (tabel 2.1). Dentin lebih lunak daripada email dengan
(knoophardeness 68 vs 343 kg/mm-2). Dentin juga lebih elatis dibandingkan email
(modulus elastisitas 11-20 vs 86 Gpa). Elastisitas dentin yang besar membuat dentin
lebih kuat daripada email. Modulus elastisitas berfungsi untuk menahan tekanan yang
dapat mematahkan dentin (stress breaking) atau sebagai shock absorbing dari email.
Melalui mikroskop elektron diketahui peritubular dentin memiliki nanohardeness
yang lebih besar daripada intertubular dentin (250 KHN vs 52 KHN) sehingga dentin
bagian dalam lebih elastis daripada dentin yang superfisial (17 vs 21 Gpa). Tahanan
geser dentin (shear strength) juga bervariasi berdasarkan lokasi, dentin bagian
superfisial memiliki nilai shear strength lebih besar dibanding dengan dentin yang
terletak lebih dalam sebesar 132 vs 45 MPa (King dkk, 1996 cit. Pashley, 2002)
sedangkan tahanan tarik (tensile stength) dentin berkisar 36-100 MPa (Lawren, 1996
cit. Pashley, 2002).
2.2 Proses Fraktur Pasca Endodonti
Penyebab fraktur pada gigi endodonti bersifat multifaktorial yang dapat
diklasifikasikan sebagai iatrogenik dan non-iatrogenik. Mekanisme ketahanan fraktur
pada gigi yang dirawat endodonti menurut Kishen (2006) dipengaruhi oleh (1)
pertimbangan biomaterial substrat dentin, (2) pertimbangan biomekanik gigi utuh dan
gigi yang direstorasi dengan menggunakan pasak inti. Faktor resiko yang
mempengaruhi kecendrungan predileksi fraktur pada gigi endodonti dapat disebabkan
oleh lima (5) faktor yaitu: (1) faktor kimia: efek bahan irigasi endodonti dan bahan
intramedikamen pada dentin, (2) faktor mikroba: efek interaksi bakteri terhadap
dentin, (3) faktor dentin: efek kehilangan struktur gigi, (4) faktor restoratif: efek
pasak dan inti restorasi akhir dan (5) faktor usia: efek perubahan usia pada dentin
(gambar 2.3).
Fraktur dilihat secara perspektif biomekanik adalah suatu proses yang sangat
kompleks yang melibatkan pembentukan dan pertumbuhan retak (crack) mikro dan
retak makro (gambar.2.4). Celah-celah mikroskopik dapat bertambah dari waktu ke
waktu yang akhirnya mengakibatkan fraktur pada stuktur gigi (Kishen, 2006).
Microcrack menyebabkan dilatasi dan peningkatan crack di daerah sekitar crack yang
terjadi pada titik tekanan maksimal (gambar 2.5). Crack blunting menyebabkan
tekanan pada ujung crack tidak terfokus. Perluasan crack terjadi akibat penajaman
ujung crack (resharpening) yang memusatkan energi regangan, merupakan faktor
penting mengawali terjadinya fraktur (Kruzic dkk, 2004).
Pola distribusi tegangan pada gigi yang telah direstorasi dengan menggunakan
pasak inti mahkota jelas berbeda dengan gigi yang masih utuh. Sistem pasak inti
mahkota merupakan satu unit tunggal yang dapat melengkung dan meregang selama
proses pengunyahan. Perbedaan pola regangan tersebut berbeda jika dibandingkan
dengan gigi normal, yang dapat menyebabkan kehilangan tulang periodontal.
Perbedaan utama antara gigi utuh dan gigi yang direstorasi dengan pasak inti adalah
(1) kejadian daerah konsentrasi tegangan dan (2) peningkatan tensile stress pada
struktur jaringan yang tersisa. Tekanan tarik yang cukup tinggi menghasilkan
deformasi mikroskopis plastis di ujung konsentrasi tekanan sehingga meningkatkan
fraktur (Kishen, 2006).
Gambar 2.4 Hubungan Pola Crack terhadap Mikrostruktur Dentin. (a): hubungan interaksi
initial crack dengan perambatan crack, (b) dan (c) gambaran crack yang terjadi pada peritubular [juga ditunjukkan oleh tanda panah putih pada gambar (a)] (Nalla dkk, 2003)
S
D
Ketika sebuah material diberi suatu beban (stress) akan mengalami regangan
(strain) tetapi bila beban dihilangkan material tersebut kembali ke bentuk semula
maka hal ini dikatakan elastis. Elastisitas ini berada di daerah elastis, sebelum titik
luluh (yield point). Selama material masih berada di daerah elastis, jika beban
dihilangkan maka material akan kembali ke bentuk semula (gambar 2.6). Selama
proses deformasi berlangsung, material menyerap energi sebagai akibat adanya gaya
yang bekerja. Sebesar apapun gaya yang bekerja pada material, material akan
mengalami perubahan bentuk dan dimensi.
Perubahan bentuk secara fisik pada benda dibagi menjadi dua, yaitu deformasi
plastis dan deformasi elastis. Awal pembebanan akan terjadi deformasi elastis sampai
pada kondisi tertentu, sehingga material akan mengalami deformasi plastis.
Penambahan beban pada bahan yang telah mengalami kekuatan tertinggi tidak dapat
dilakukan, karena pada kondisi ini bahan telah mengalami deformasi total. Jika beban
tetap diberikan maka regangan akan bertambah dimana material seakan menguat
yang disebut dengan penguatan regangan (strain hardening) yang selanjutnya benda
akan mengalami putus pada kekuatan patah.
2. 3 Sistem Monoblok dalam Perawatan Endodonti
Perkembangan endodonti saat ini telah melibatkan penggunaan bahan adesif
pada perawatan saluran akar. Teknik ini menciptakan suatu sistem monoblok di
dalam saluran akar yaitu suatu istilah yang secara harfiah berarti satu kesatuan.
Sistem monoblok mampu meningkatkan kualitas seal pada bagian koronal dan apikal
sehingga memperkuat akar karena mampu mendistribusikan beban pengunyahan
secara homogen dan mengurangi tekanan pada fungsi pengunyahan. Bahan monoblok
harus memiliki kemampuan ikatan kuat dan saling menyatu satu sama lain, serta
substrat monoblok berfungsi sebagai reinforced (penguat). Bahan monoblok juga
harus memiliki modulus elastisitas yang mirip dengan dentin (Tay dan Pashley,
2007).
Monoblok saluran akar di klasifikasi sebagai monoblok primer hanya ada satu
permukaan (interface) antara bahan pengisi saluran akar dengan dinding dentin.
Monoblok sekunder terdapat dua permukaan, satu antara pasak fiber/bahan pengisi
saluran akar dengan semen/sealer saluran akar dan satu permukaan antara
semen/sealer saluran akar dengan dinding dentin. Monoblok tertier tercipta ketika
terdapat tiga permukaan dengan sebuah bondable coating pada permukaan fiber
post/bahan pengisi saluran akar, dapat dilihat pada gambar 2.7 (Tay dkk, 2007 dan
Varna, 2010).
Pasak fiber prefabricated merupakan pasak buatan pabrik yang memiliki
estetik lebih baik, dapat berikatan dengan dentin dan material inti serta mempunyai
modulus elastisitas yang hampir sama dengan dentin, dapat mengabsorbsi tekanan
sehingga melindungi akar dari fraktur dan lebih mudah dibongkar (repairable) jika
diperlukan retreatment saluran akar. Pasak ini terdiri dari serat penguat continuis
unindirectional (serat panjang dalam satu arah) dalam struktur cross linked polimer
matriks yang tinggi. Pasak fiberglass memiliki diameter 7-10 mm dengan serat yang
biasa digunakan carbon, glass, quartz, silikon. Semua pasak tersebut memiliki
keuntungan yang sama namun pasak fiber karbon memiliki estetik yang kurang baik.
Sebagian besar pasak fiber relatif radiolusen dan memiliki perbedaan gambaran
radiografi di banding dengan pasak metal (Schwratz, 2004). Modulus elastisitas pasak
fiber rendah (17.5 - 21.6 GPa), hampir mendekati modulus elastisitas dentin (14.0 -
18.6 GPa) sehingga dapat meningkatkan resistensi fraktur akar (Tay, 2007).
Ikatan pasak fiber-reinforced di dinding dentin saluran akar secara in vivo
dengan uji Scanning Elektron Mikroskopis (SEM) menunjukkan dengan jelas
pembentukan lapisan hibrid, tag resin dan sebuah ikatan adesif lateral (Pontius dkk,
2002). Ikatan adhesi memberi retensi lebih yang akan meningkatkan distribusi
tekanan sehingga meningkatkan ketahanan fraktur gigi (Torabi dkk, 2009).
Perlekatan ini meminimalkan efek wedging pasak di dalam saluran akar, memerlukan
lebih sedikit pengangkatan dentin, pasak lebih pendek dan lebih tipis sehingga
mampu menurunkan kecendrungan fraktur.
Kekuatan fisik pasak fiber-reinforced secara signifikan lebih lemah
dibandingkan dengan pasak metal. Pasak metal merupakan logam yang sangat kaku
sehingga akan mentransfer kekuatan lateral secara langsung ke dentin kurang kaku
sehingga lebih mudah terjadi fraktur akar. Kishen dkk, (2004) cit. Kumari (2011)
mengatakan bahwa inner dentin saluran akar kurang mineralisasi dan memiliki lebih
banyak kolagen. Inner dentin berperan penting untuk menjaga ketangguhan atau
ketahanan fraktur pada struktur gigi. Pembuangan dentin yang tidak semestinya akan
membahayakan ketangguhan struktur dentin, yang akan mempengaruhi gigi tersebut
sehingga terjadi fraktur.
2.4 Pengaruh Bahan Irigasi Terhadap Dentin
Namun penyebab fraktur gigi pada perawatan endodonti bukan karena
disebabkan oleh penggunaan pasak saja. Preparasi chemo-mechanical pada perawatan
endodonti memerlukan penggunaan antiseptik dan agen chelating untuk
menghilangkan mikroba, melarutkan jaringan organik, dan mengangkat smear layer,
hal ini tentu saja mempengaruhi struktur jaringan gigi yang tersisa. Telah dilaporkan
bahwa beberapa bahan kimia yang digunakan untuk irigasi endodonti mampu
menyebabkan perubahan pada komposisi kimia dari dentin.
Irigasi saluran akar merupakan bagian dari tahapan cleaning and shaping
pada perawatan endodonti karena membantu untuk menghilangkan bakteri dan debris
selama pembentukan sistem saluran akar agar dapat diobturasi (Grag, 2010).
Cleaning and shaping merupakan dua proses yang berbeda namun merupakan tahap
yang tidak dapat dipisahkan. Schider menggunakan istilah cleaning untuk
debridement saluran akar dan shaping merupakan tahapan untuk mempersiapkan
saluran akar sehingga dapat di obturasi. Debridemen saluran akar bertujuan untuk
menghilangkan jaringan vital dan jaringan nekrosis, bakteri dan produknya, dentinal
debris tercipta selama proses tersebut. Irigasi adalah bagian terpenting dari
debridemen yang bertujuan membantu mendorong debris keluar dari saluran akar.
Namun penggunaan irigasi saat ini lebih banyak ditekankan pada tujuan mekanik,
kurang memperhatikan tujuan biologis, seperti apakah bahan irigasi tersebut dapat
menguatkan struktur gigi (Kumari dkk, 2012).
Larutan irigasi sebaiknya mempunyai spektrum antimikroba luas dan
memiliki efektifitas tinggi melawan bakteri anaerob dan mikroorganisme fakultatif
yang terdapat dalam biofilm, mampu melarutkan sisa jaringan pulpa yang nekrosis,
inaktivasi endotoksin, mencegah pembentukan smear layer selama instrumentasi atau
melarutkan smear layer yang ada (Zehnder, 2006 cit. Jaju dkk, 2011). Bahan irigasi
juga harus memiliki tingkat toksisitas yang rendah, pelumas yang baik, memiliki
ketegangan permukaan yang rendah sehingga mudah mengalir ke daerah yang tidak
terjangkau, tidak menimbulkan korosi pada instrumen, mampu menembus perifer
kanal dan tidak melemahkan struktur gigi (Zehnder, 2006 cit. Kumari, 2011).
Smear layer adalah kumpulan bahan organik, anorganik, sisa-sisa odontoblast,
bakteri dan sel darah yang terbentuk akibat instrumentasi saluran akar ketika prosedur
cleaning dan shaping saluran akar. Ketika lapisan smear layer diangkat dari dinding
saluran akar sebelum obturasi maka akan meningkatkan adaptasi dan adhesi
penutupan (sealing) antara bahan dengan dinding saluran akar sehingga mencegah
microleakage dan jalur komunikasi antara rongga mulut dengan struktur periapikal
(Zivkovic dkk, 2005).
Smear layer terdiri atas dua bagian, yaitu: (a) superfisial, lapisan tipis dan
melekat pada dinding dentin dan (b) underlying, yang melekat pada dentin di tubulus
dentinnya. Secara kimia, smear layer punya dua komponen yaitu organik dan
anorganik. Organik terdiri dari fiber-fiber kolagen dentin dan glycosaminoglycane
yang berasal dari matriks ekstraseluler. Bagian ini menyajikan dasar untuk komponen
lain yang didominasi oleh anorganik terkadang bakteri yang berasal dari saluran akar
yang terkontaminasi dengan instrumen yang tidak steril atau tumpatan sementara
yang tidak adekuat (Zivkovic dkk, 2005). Efektivitas bahan irigasi tergantung pada
mekanisme kerja bahan irigasi, kemampuan bahan irigasi berkontak dengan
mikroorganisme dan pengangkatan jaringan debris atau smear layer di saluran akar
(Jaju dkk, 2011).
2.5 Jenis bahan irigasi saluran akar.
Bahan irigasi dapat dikelompokkan menjadi kelompok bahan kimia dan bahan
alami. Kelompok bahan kimia terdiri dari bahan reduse (NaOCl), bahan oksidasi
(H202), bahan antibakteri (CHX, MTAD), bahan khelasi (EDTA, MTAD), asam
(asam maleat, asam sitrat), kombinasi (MTAD, Q-mix) dan bahan irigasi terbaru
(Larutan BDA, larutan ruddle, air ozon). Kelompok bahan alami contohnya propolis,
triphala, meswak, tree tea oil, morinda ctrifola, green tea polyphenols dan arctium
lappa (Kumari, 2012).
2.5.1 Sodium Hipoklorit
Sodium hipoklorit (NaOCl) telah digunakan sebagai bahan irigasi utama pada
perawatan saluran akar sejak tahun 1920. Bahan ini umum digunakan sebagai bahan
irigasi dengan rata-rata konsentrasi 0,5 - 5,25% (Kumari, 2012). Penggunaan larutan
irigasi NaOCl 1% mempunyai kemampuan unik karena mampu melarutkan jaringan
nekrotik tanpa menghancurkan jaringan vital pulpa. Menurunkan konsentrasinya
berarti menurunkan sifat toksisitas, efek antibakteri dan kemampuan melarutkan
jaringan. NaOCl juga efektif melarutkan pulpa yang tersisa dan kolagen yang
merupakan komponen organik utama dari dentin (Haapasalo dkk, 2010).
Aksi mekanis NaOCl menyebabkan alterasi biosintesis metabolisme sel dan
merusak phospholipid, membentuk kloramin yang menginterfere metabolisme sel,
aksi oksidasi dengan inaktivasi enzim bakteri secara irreversible dan degradasi lipid
dan asam lemak. Meskipun NaOCl bukan merupakan bahan khelasi, namun
signifikan menurunkan perbandingan kalsium/phospat (Ca/P). Setiap perubahan rasio
Ca/P dapat mengubah komponen asli organik dan anorganik, sehingga dapat
mengubah microhardness, permeabilitas dan kelarutan karakteristik dentin (Sayin
dkk, 2007). Perubahan ini juga mempengaruhi sifat fisik karena permukaan dentin
lebih berpori, menyebabkan kehilangan kekuatan mekanik sebesar 75%. Permukaan
dentin berpori terjadi setelah 40 detik terpapar NaOCl (Kishen, 2006). Slutzky-
Goldberg dkk, (2004) mengevaluasi efek microhardness dentin, larutan NaOCl 6%
lebih menurunkan microhardness daripada NaOCl 2,5%. Pengurangan bahan organik
setelah irigasi NaOCl dapat menyebabkan perubahan mekanik (O’driscoll dkk, 2000
cit. Slutzky-Goldberg, 2004).
Penelitian Oyarzun (2002) cit. Mohammadi (2008), efek NaOCl pada
kolagen dentin dan glikosaminoglikan di uji secara immunohistokimia menunjukkan
bahwa 5% NaOCl mempengaruhi perubahan kolagen dentin dan glikosaminoglikan
dan hidroksiapatit yang memegang peranan penting dalam stabilisasi bahan organik.
Marending dkk, (2007) cit. Mohammadi (2008) mengevaluasi efek NaOCl
menunjukkan bahwa NaOCl menyebabkan pengurangan modulus elastisitas dan
kekuatan lentur dentin akar gigi.
NaOCl juga menimbulkan rasa yang tidak menyenangkan, toksisitas terhadap
jaringan, tidak mampu menghilangkan smear layer anorganik, sering menyebabkan
alergi. Penggunaan NaOCl yang menembus foramen apikal dapat menimbulkan mata
seperti terbakar, reaksi alergi, masuk ke sinus maksilaris, pembengkakan, rasa sakit
pada daerah apeks, kerusakan syaraf dan sumbatan jalan nafas (Hulsmann dkk, 2000).
Selain itu, sisa NaOCl juga dapat mengganggu polimerisasi ikatan resin karena
NaOCl menyebabkan oksidasi pada komponen matriks dentin, membentuk radikal
bebas ketika dilakukan aktivasi sinar dengan adesif resin, terbentuk terminasi rantai
yang prematur sehingga polimerisasi terjadi tidak sempurna (Mohammadi dkk,
2008).
2.5.2 Klorheksidin
Klorheksidin (CHX) diperkenalkan pada akhir tahun 1940 di penelitian
laboratorium Imperial Chemical Industries Ltd. (Macclesfield, England). CHX
sebagai antiseptik kuat yang digunakan untuk kontrol plak di dalam rongga mulut.
Klorheksidin memiliki efek substantivitas yaitu efek antimikrobial yang terus
menerus. Hal ini disebabkan oleh sifat kationik klorheksidin yang dapat berikatan
dengan dentin dan enamel gigi. Bahan ini berguna sebagai irigasi akhir tetapi tidak
dapat digunakan sebagai irigasi utama dalam standar perawatan endodonti karena
CHX tidak mampu melarutkan sisa jaringan nekrotik (Jaju dkk, 2011). Sisa jaringan
organik dapat membuat efek negatif terhadap kualitas seal pada saat pengisian
saluran akar sehingga diperlukan irigasi NaOCl selama instrumentasi (Haapasalo dkk,
2010).
CHX memiliki toksisitas yang minimal terhadap jaringan dan tidak
menyebabkan kerusakan jaringan dalam jangka panjang, tetapi masih menyebabkan
respon inflamasi jaringan jika melewati foramen apikal. CHX membentuk
parachloranaline (PCA) yang merupakan suatu amina aromatik. Penelitian
menujukkan efek toksik terjadi karena pembentukan methemoglobin yang terus
terpapar pada PCA yang menyebabkan sianosis dan pembentukan
methaemoglobinaemia. Pemaparan PCA pada manusia, menyebabkan gejala
peningkatan methemoglobin dan sulfahemoglobin yang mengarah ke sianosis yang
akan berkembang menjadi anemia dan anoksia jaringan. Irigasi aquades digunakan
untuk membersihkan NaOCl dari saluran akar sebelum irigasi CHX sehingga
mengurangi terbentuknya PCA. Irigasi yang dikombinasikan dengan EDTA untuk
membersihkan sisa NaOCl dari saluran akar dianjurkan karena kombinasi
penggunaan CHX dan EDTA.
2.5.3 Hidrogen peroksida
Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan larutan irigasi yang tidak stabil dan
mudah terurai oleh pemanasan. H2O2 adalah agent aktif yang efektif terhadap bakteri,
jamur, virus dan spora. Efek antibakteri H2O2 melibatkan radikal hidroksil yang
merupakan oksidan kuat sehingga dapat bereaksi dengan mudah dengan
makromolekul seperti lipid membran dan DNA yang mengakibatkan bakteri mati.
NaOCl digunakan setelah irigasi H202 untuk menghilangkan efek O2-nasen yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada
gigi (Kumari, 2012).
2.5.4 Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA) adalah salah satu larutan
chelating agen yang mampu mengangkat smear layer anorganik. Aksi EDTA
tergantung pada konsentrasi dan waktu kontak pada jaringan. Namun EDTA tidak
mempunyai anti mikroba maka perlu dikombinasikan dengan bahan irigasi lain untuk
mengurangi flora intra radikular. Telah dilaporkan bahwa jika EDTA dikombinasikan
dengan NaOCl lebih baik dalam menghilangkan smear layer (Kishen, 2006).
Meskipun demikian, penggunaan kombinasi keduanya dapat menyebabkan perubahan
pada struktur dentin. Penelitian Calt dan Serper (2002) bahan irigasi EDTA dalam
kurun waktu 1 menit mampu mengangkat smear layer dengan baik, namun
penggunaan EDTA dalam kurun waktu 10 menit dapat membuat erosi yang parah
pada peritubular dan intertubular dentin (Kishen, 2006). Berdasarkan hasil penelitian
eksperimen Sayin dkk, (2007) penggunaan EDTA baik sendiri atau sebelum NaOCl
mengakibatkan penurunan microhardness dentin secara signifikan. Penggunaan
EDTA lebih mempengaruhi microhardness dibandingkan dengan NaOCl bahkan
kombinasi keduanya semakin menurunkan microhardness dentin.
2.6 Kitosan dan Aplikasi Klinis
Kitosan merupakan derivat kitin dengan adanya N-deasitilasi yang merupakan
biopolimer alami, terutama sebagai penyusun kerangka Crustasea, dinding struktur
fungi serta hewan tingkat rendah. Kitosan pertama sekali ditemukan oleh Routget
(1859) yang mempunyai derajat kereaktifan tinggi, disebabkan adanya gugus amino
bebas sebagai gugus fungsional. Kitosan secara umum diperoleh dari hasil deasetilasi
kitin dalam larutan NaOH pekat. Kitin banyak dijumpai pada hewan antropoda, jamur
dan ragi, pada jamur kitin berasosiasi dengan polisakarida, sedangkan pada hewan
kitin berasosiasi dengan protein (Trimurni dkk, 2006).
Kitosan hanya dapat larut dalam pelarut asam seperti asam formiat, asam
laktat, asam sitrat dan asam hidrokolat. Kitosan tidak dapat larut dalam air, alkali dan
asam mineral encer kecuali dibawah kondisi tertentu, yaitu dengan adanya sejumlah
pelarut asam. Adanya gugus-gugus amino dan hidroksil yang terikat menyebabkan
kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyumbang sifat polielektrolit
kation sehingga dapat berperan sebagai amino penanti (Trimurni dkk, 2006).
Disamping itu, kitosan dapat berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti
protein sehingga kitosan relatif banyak digunakan dalam bidang kesehatan karena
mempunyai sifat istimewa yaitu biokompatibilitas, biodegradabilitas, bioadhesi, tidak
bersifat toksik dan bioaktif, tidak menyebabkan reaksi imunologi, dan tidak
menyebabkan kanker (Sugita, 2009). Kitosan memiliki spektrum luas dengan
aktivitas tinggi membunuh bakteri gram-positif dan gram-negatif karena mampu
mengubah permeabilitas sel bakteri yang mengakibatkan kematian sel (Kishen dkk,
2008 cit. Ibarra dkk, 2013). Kitosan juga menunjukkan toksisitas yang lebih rendah
terhadap sel mamalia (Kong dkk, 2010). Berikut adalah struktur bangun kitin dan
kitosan yang menunjukkan bahwa kandungan utama kitin dan kitosan adalah polimer
polisakarida dan gugus amino dan reaksi deasetilisasi (gambar 2.8).
Gambar. 2.8 Struktur Kimia Kitin dan Kitosan (Harry, 1997)
Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terbagi menjadi tiga, yaitu
kitosan bermolekul rendah, bermolekul sedang, dan bermolekul tinggi. Kitosan
bermolekul rendah yaitu kitosan dengan berat molekul di bawah 400.000 Mv.
Kitosan bermolekul sedang yaitu kitosan dengan berat molekul antara 400.000-
800.000 Mv yang berasal dari hewan laut dengan cangkang atau kulit yang lunak,
misalnya udang, cumi-cumi, dan rajungan. Kitosan bermolekul tinggi yaitu kitosan
dengan berat molekul antara 800.000 - 1.100.000 Mv yang berasal dari hewan laut
berkulit keras seperti kepiting, kerang dan blangkas (Sugita dkk, 2009).
2.6.1 Kitosan Blangkas (Tachypleus gigas)
Dalam bidang kedokteran gigi telah dikembangkan kitosan untuk berbagai
tujuan. Trimurni dkk, (2006) pertama kali yang meneliti kitosan molekul tinggi yang
diperoleh dari blangkas terdiri atas β-(1,4)-D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin
yang mempunyai derajat deasetilasi 84.20% dengan berat molekul 893.000 Mv. dapat
memacu dentinogenesis jika dipakai sebagai bahan pulpa kaping. Pada penelitian
tersebut kitosan blangkas bermolekul tinggi mampu menunjukkan kemampuan
membentuk jaringan keras osteotypic irregular karena mampu membentuk koagulum
yang padat sehingga terbentuk sub base membran yang memudahkan perlekatan sel
pulpa seperti odontoblast yang akan mengadakan migrasi dan proliferasi. Dengan
berkontaknya kitosan dengan jaringan pulpa pada kondisi lingkungan yang asam,
terbentuk D-glukosamin yang akan memudahkan migrasi dan proliferasi sel-sel
progenitor sehingga proses dentinogenesis terjadi.
Penelitian Pimenta dkk, 2012 melalui scanning electron microscopy (SEM)
menunjukkan 0,2% kitosan, 15% EDTA and 10% asam sitrat mampu mengangkat
smear layer pada 1/3 saluran akar. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan signifikan antara ketiga larutan tersebut dalam mengurangi
microhardness dentin. Air distalasi yang digunakan sebagai kontrol tidak
menunjukkan perubahan microhardness dentin. Namun kitosan 0,2% mampu
membuka tubulus dentin tanpa perubahan intertubular dentin dibandingkan dengan
uji kelompok lain (15% EDTA dan 10% asam sitrat).
Silva dkk, (2012) meneliti larutan kitosan sebagai bahan chelator pada
tindakan irigasi saluran akar dilihat dari kemampuan kitosan dalam mengangkat
smear layer dan pengaruh terhadap struktur dentin setelah 3 menit dan 5 menit
setelah digunakan untuk irigasi. Silva melakukan penelitian terhadap 12 kaninus yang
dipreparasi dengan teknik crown-down dan diirigasi dengan 1% sodium hipoklorit,
spesimen dibagi berdasarkan waktu dan konsentrasi larutan. Kelompok 1 (K1):
kitosan 0,1% selama 3 menit, kelompok 2 (K2): kitosan 0,2% selama 3 menit,
kelompok 3 (K3): kitosan 0,37% selama 3 menit, kelompok 4 (K4): kitosan 0,1%
selama 5 menit, kelompok 5 (K5): kitosan 0,2% selama 5 menit, kelompok 6 (K6):
kitosan 0,37% selama 5 menit. Hasil K1 menunjukkan pengangkatan smear layer, K2
menunjukkan terbuka tubulus dentin dengan erosi ringan pada peritubular dentin,
kebersihan pada K3 hampir sama dengan K2 namun efek erosi dentin lebih besar.
Pelebaran diameter tubulus terjadi pada K4, sedangkan pada K5 dan K6 terjadi
perubahan erosi parah terhadap permukaan dentin. Berdasarkan penelitian Silva,
kitosan 0,2% selama 3 menit dapat dipakai sebagai bahan irigasi saluran akar karena
efisien mengangkat smear layer, dan hanya menyebabkan dengan sedikit erosi di
dentin (gambar 2.9).
Palma-Dibb dkk, (2012) meneliti efek kitosan pada konsentrasi dan larutan
yang berbeda terhadap permukaan dentin setelah diberi perlakuan selama 10 detik.
Palma-Dibb membagi sampel menjadi sembilan kelompok, yaitu kelompok kontrol
(35% phosphoric acid gel – pH= 1,5); K2: asam asetat (pH=3); K3: asam hidroklorik
(pH=1,5); K4: 0,2% larutan kitosan dalam asam asetat; K5: 0,3% larutan kitosan
dalam asam asetat; K6: 0,4% larutan kitosan dalam asam asetat; K7: 0,2% larutan
kitosan dalam asam hidroklorik; K8: 0,3% larutan kitosan dalam asam hidroklorik;
K9: 0,4% larutan kitosan dalam asam hidroklorik. Hasilnya menunjukkan larutan
kitosan dalam asam asetat tidak memberikan efek demineralisasi yang baik dan hanya
mengangkat smear layer saja, sedangkan 0,4% kitosan dalam asam hidroklorik
memberi hasil yang lebih baik yaitu menghasilkan permukaan dentin tanpa smear
layer dan terdapat collagen network.
Penelitian Hayani dan Trimurni (2013) menyatakan bahwa larutan irigasi
kitosan blangkas 0,1% dan 0,2% menghasilkan ekstrusi debris lebih sedikit bila
dibandingkan dengan larutan irigasi NaOCl 2,5% dan kombinasi EDTA 17% dengan
NaOCl 2,5% (unpublished). Penelitian Ayu dan Trimurni (2013) juga mengatakan
bahwa larutan irigasi kitosan blangkas 0,2% dapat mengangkat smear layer pada 1/3
apikal (unpublished).
Kitosan, meskipun tidak sepenuhnya diketahui mekanisme aksinya, diyakini
bahwa reaksi adsorpsi, pertukaran ion dan reaksi khelasi kitosan berpengaruh
terhadap pembentukan komplek antara substansi dan ion logam. Walaupun reaksi
interaksi kitosan ini tergantung pada ion yang terlibat, struktur kimia kitosan, dan pH
larutan kitosan. Saat ini, ada dua versi yang mencoba untuk menjelaskan proses
khelasi kitosan. Pertama, dikenal sebagai model jembatan, didasarkan pada teori
bahwa dua atau lebih gugus amino rantai kitosan akan mengikat untuk ion logam
yang sama (Blair dan Ho, 1981 cit. Silva dkk, 2012) Pendapat kedua menyatakan
hanya satu gugus amino struktur zat yang terlibat (Dormad, 1987 cit. Silva dkk,
2012).
2.7 Finite Element Methode
Finite Element Alnalysis (FEA) atau Finite Element Model (FEM) adalah
sebuah disiplin ilmu yang merupakan gabungan dari matematika, fisika, teknik, dan
ilmu komputer. Metode ini berguna menganalisa struktur, suhu dan cairan (Roensh,
2007 cit. Subrata 2007). FEM pertama-tama dikembangkan oleh R. Courant, diikuti
oleh Turner M.J., Clough R.W., Martin H.C dan Topp, L.J, tahun 1956 dengan
tulisannya berpusat pada kekakuan dan defleksi dari suatu struktur yang kompleks
(Subrata 2007). FEM telah diaplikasi pada penelitian biomekanik untuk beberapa
dekade ini, khusus di penelitian kedokteran gigi. Penggunaan FEM tidak hanya
mengurangi biaya namun juga memperoleh informasi lebih seperti distribusi tekanan
internal dibandingkan pada penelitian eksperimen. Selain itu, FEM lebih mudah
membandingkan respon biomekanik dengan penambahan berbagai parameters (Lin,
2009).
Uji mekanis dekstruktif seperti uji fraktur penting untuk analisis biomekanik
gigi dan bahan restorasi gigi, karena meningkatkan pemahaman tentang perilaku gigi
di situasi beban yang tinggi. Namun, uji ini memiliki kapasitas terbatas untuk
memperjelas hubungan tegangan dan regangan (stress-strain relationships) pada
restorasi gigi yang kompleks. Penggunaan uji non destruktif, seperti analisis FEM
lebih cocok untuk memahami karakteristik kegagalan prosedur restoratif (Adıgüzel
dkk, 2011). Sebuah model finite elemen analisis tiga dimensi yang dibuat dapat
mewakili perawatan gigi endodonti dengan struktur pendukungnya. Model tersebut
dapat berisi simulasi ligamen periodontal (PDL) dan struktur tulang alveolar. Saluran
akar dapat diasumsikan telah dibentuk untuk insersi pasak fiber yang telah tersedia
(gambar 2.10).
Gambar 2.10 Sebuah Model Finite Elemen Analisis Tiga Dimensi Perawatan Gigi Endodonti
Insisivus Sentralis Atas dengan Jaringan Pendukungnya (Adıgüzel dkk, 2011)
Menurut Geng dkk, (2001) dan Henry (1977) cit. Yamamoto (2011), analisa
FEM berguna untuk mempelajari distribusi tekanan yang berkaitan dengan pasak
intraradikular. Metode ini mengevaluasi sifat mekanik dan membantu meneliti
material baru untuk mengurangi risiko kegagalan dan fraktur pada bahan restoratif
material dan struktur gigi. Cohen dkk, (1999) cit. Yamamoto (2011) membandingkan
retensi dan pola tekanan fotoelastik vertikal dan miring dari dua pasak sistem
prefabrikasi sedangkan Lewgoy dkk, (2003) menggunakan FEM untuk
membandingkan pasak prefabricated stainless steel atau pasak titanium fleksi dan
sistem fleksi flange.
Yamamoto dkk, (2011) meneliti ketahanan fraktur dan pola distribusi fraktur
pasak ulir titanium murni (yang dikembangkan oleh universitas kedokteran gigi
Brazil) dibandingkan dengan pasak metal buatan pabrik. Bahan dan metode
penelitian adalah menguji ketahanan fraktur pasak/inti/akar dengan uji kekuatan
tekan sampai fraktur dengan Universal Testing Machine, EMIC. Analisis fraktur
dengan mikroskop sedangkan analisis stress dengan FEM yang digunakan untuk
evaluasi pasak. Kelompok 1 (K1): pasak eksperimen, Kelompok 2 (K2): pasak
eksperimen yang dimodifikasi, Kelompok 3 (K3): pasak fleksi, kelompok 4 (K4):
pasak para post. Hasil rata-rata ketahanan fraktur dan standar deviasi adalah K1
(45.63±8.77); K2 (49.98±7.08); K3 (43.84±5.52); K4 (47.61±7.23). Distribusi stress
homogen terjadi sepanjang intraradikular pada K1, sedangkan konsentrasi stress
tinggi pada kelompok lain. Konsentrasi stress pada pasak mempengaruhi konsentrasi
stress pada akar gigi. Kesimpulan penelitian tersebut adalah pasak eksperimen
(original dan modifikasi) menunjukkan ketahanan fraktur (uji eksperimen) yang
hampir sama dan analisis stress (uji FEM) yang terbaik jika dibandingkan pada
pasak komersil.
FEM merupakan suatu proses yang tidak memakan waktu dibandingkan
dengan penelitian eksperimen sehingga bisa meminimalkan persyaratan pengujian di
laboratorium. Untuk beberapa aplikasi, analisis FEM dapat memberikan solusi cepat,
misalnya untuk pengujian beberapa parameter, yang lebih mudah dikerjakan daripada
di laboratorium eksperimen. Namun kompleksitas bentuk, sifat, struktur gigi, dan
pemodelan yang komprehensif juga menjadi sangat kompleks dan memakan waktu.
Analisis FEM harus di kombinasi dengan metode eksperimen, bukan sebagai
pengganti karena FEM dapat memberikan informasi yang sangat sulit atau informasi
yang tidak diperoleh dari pengamatan eksperimen (Soares dkk, 2012).
Tahapan dalam pengerjaan metode FEM adalah (1) preliminary decision
adalah sebuah fase dimana seoarang analis mengembangkan suatu bentuk mesh finite
element yang membagi-bagi subyek secara geometri ke dalam sub-domain untuk
analisis matematika dengan menerapkan sifat-sifat bahan penelitian serta kondisi-
kondisinya (Gambar 2.11.a) (2) processing adalah fase dimana program
menghasilkan matriks persamaan dari model dan menentukan besaran-besaran
primernya (3) solve the model adalah fase suatu proses sedang berlangsung. (4) post
processing: berisikan laporan hasil dan pemeriksaan validitas hasil dari solusi
(Subrata, 2007).
Plot kontur tekanan, regangan, displacement atau hasil analisis lainnya dapat
dimengerti dengan mudah melalui "pretty picture". Warna pelangi yang disediakan
oleh plot kontur memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi distribusi beban,
daerah stres yang tinggi, deformasi yang berlebihan dan hampir apa pun yang ingin
diketahui tentang struktur suatu material. Warna merah merupakan titik maksimum
sedangkan warna biru merupakan titik minimum (gambar 2.11.B).
Keterbatasan FEM juga perlu diketahui, paket software dan hardware yang
dibutuhkan, meskipun diperdagangkan dengan harga murah, ternyata masih
merupakan investasi yang cukup besar. Metode ini dapat mengurangi banyaknya uji
produk yang harus dilakukan, tetapi tidak dapat menggantikannya sama sekali. FEM
adalah alat yang sangat dibutuhan namun sangat memerlukan seorang analis yang
ahli dalam ilmu fisika, teknik, matematika, dan komputer terutama dalam metode
finite element itu sendiri (Subrata, 2007)
2.8 Landasan Teori Gambar 2.12 Landasan Teori Pengaruh Irigasi NaOCl 2,5%, EDTA 17% dan Kitosan 0,2%
terhadap Ketahanan dan Distribusi Fraktur Saluran Akar Pasca Endodonti
KETAHANAN DAN DISTRIBUSI FRAKTUR SALURAN AKAR PASCA ENDODONTI
PERAWATAN SALURAN AKAR diirigasi dengan
BAHAN IRIGASI
NaOCl 2,5% EDTA 17% KITOSAN 0,2 %
• Anti mikroba • Mampu melarutkan
jaringan organik • Kurang melarutkan
smear layer • Toksik terhadap
jaringan • Menurunkan micro
hardeness dentin
• Tidak anti mikroba • Mampu melarutkan
jaringan anorganik • Mampu mengangkat
smear layer • Sedikit toksik pada
jaringan • Mempengaruhi
microhardeness dentin • Perlu kombinasi dengan
larutan irigasi lain
• Memiliki spektrum anti mikroba
• Dapat dikembangkan menjadi biomaterial alami
• Biokompatibel • Biodegradable • Mudah didapat • Memiliki efek
chelator • Mampu mengangkat
smear layer