bab 2 tinjauan pustaka 2.1 dentin dentin secara alami

29
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dentin Dentin secara alami, terhidrasi, merupakan mineralisasi jaringan keras yang membentuk sebagian besar gigi. Dentin memiliki ribuan tubulus mikroskopis yang berdiameter antara 0.5 - 4.0 μm, dengan kepadatan tubulus dentin berkisar dari 10.000 - 96.000 tubulus per mm 2 (Mjor, 1996 cit. Kishen, 2006). Dentin dewasa (matur) terdiri dari 30% kolagen bahan organik, 60% anorganik dan 10% air. Bahan anorganik dentin sebagian besar terdiri dari kristal hidroksiapatit dan garam seperti karbonat, fosfat dan sulfat dan trace element seperti F, Cu, Zn, Fe. Persentase bahan organik sebagian besar terdiri dari 90% kolagen tipe I dan sisanya (10%) non kolagen protein seperti phospoproteins dan proteoglikan (Embery, 2001 cit. Fawzy dkk, 2012). Kolagen tipe I berbentuk sebuah jaringan fiber tiga dimensi yang membangun matriks dentin. Dibandingkan dengan tulang, matriks kolagen dentin lebih terjalin dengan berbagai persimpangan fibril (Habelizt dkk, 2002 cit. Fawzy, 2012). Kolagen pada bahan organik berfungsi memberikan daya tahan terhadap retak (crack), meningkatkan kemampuan untuk menyerap ketangguhan (toughness) dan memberikan kekuatan tarik (tensile strength). Bahan anorganik berfungsi untuk meningkatkan kekakuan (stiffness), modulus elastisitas dan kekuatan tekan (compressive strength).

Upload: doque

Post on 02-Jan-2017

253 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dentin

Dentin secara alami, terhidrasi, merupakan mineralisasi jaringan keras yang

membentuk sebagian besar gigi. Dentin memiliki ribuan tubulus mikroskopis yang

berdiameter antara 0.5 - 4.0 µm, dengan kepadatan tubulus dentin berkisar dari

10.000 - 96.000 tubulus per mm2 (Mjor, 1996 cit. Kishen, 2006). Dentin dewasa

(matur) terdiri dari 30% kolagen bahan organik, 60% anorganik dan 10% air. Bahan

anorganik dentin sebagian besar terdiri dari kristal hidroksiapatit dan garam seperti

karbonat, fosfat dan sulfat dan trace element seperti F, Cu, Zn, Fe.

Persentase bahan organik sebagian besar terdiri dari 90% kolagen tipe I dan

sisanya (10%) non kolagen protein seperti phospoproteins dan proteoglikan (Embery,

2001 cit. Fawzy dkk, 2012). Kolagen tipe I berbentuk sebuah jaringan fiber tiga

dimensi yang membangun matriks dentin. Dibandingkan dengan tulang, matriks

kolagen dentin lebih terjalin dengan berbagai persimpangan fibril (Habelizt dkk, 2002

cit. Fawzy, 2012). Kolagen pada bahan organik berfungsi memberikan daya tahan

terhadap retak (crack), meningkatkan kemampuan untuk menyerap ketangguhan

(toughness) dan memberikan kekuatan tarik (tensile strength). Bahan anorganik

berfungsi untuk meningkatkan kekakuan (stiffness), modulus elastisitas dan kekuatan

tekan (compressive strength).

Air pada dentin berfungsi memberikan sifat viskoelastisitas, meningkatkan

kemampuan untuk menyerap tegangan (stress) dan meningkatkan distribusi

tegangan/regangan (stress/strain) pada dentin. Air pada dentin terdiri dari dua tipe.

Tipe pertama adalah air terikat dengan kristal apatit bahan anorganik, kolagen dan

non kolagen matriks protein pada bahan organik. Tipe kedua adalah air tidak terikat

atau bebas yang mengisi tubulus dentinalis dan porositas lainnya di dalam matriks

dentin. Air bebas berkaitan dengan ion anorganik seperti kalsium dan fosfat, serta

sebagai alat transportasi di dalam matrik dentin. Hilangnya jaringan pulpa dan tipe air

bebas dari permukaan dentin, porositas, dan tubulus dentin dapat mempengaruhi

pengurangan sifat mekanik pada integritas gigi yang di endodonti (Kishen, 2006).

Gambar 2.1 Peranan Perbedaan Bahan Dentin terhadap Integritas Struktur Mekanis Dentin

(Kishen, 2006)

Peranan perbedaan bahan dentin terhadap integritas struktur mekanis dentin,

dapat dilihat pada gambar 2.1. Kolagen dan air, berkonstribusi terhadap integritas

mekanis struktur dentin. Dentin yang terhidrasi memiliki efek plastis dan respon

strain yang berbeda dalam arah paralel dan tegak lurus terhadap tubulus dentin.

Ketika terjadi dehidrasi pada dentin, sifat kekakuan dentin bulk meningkat serta

plastisitasnya menjadi rendah. Perubahan dentin dalam karakteristik mekanik dan

variasi respon biomekanik dapat menyebabkan gigi pasca endodonti menjadi fraktur

(Kishen dkk, 2006).

Gambar 2.2 Tubulus Dentin dengan Menunjukkan Peritubular dan Intertubular Dentin

(Marshall dkk, 1999 dalam buku Craig’s Restorative Dental Material)

Persentase berat dentin lebih tinggi daripada persentase volume, dengan

kepadatan dentin berkisar 2.05 - 2.30 g/cm-3 (Pashley, 2002). Sifat mekanis dentin

terkait dengan kepadatan partikel mineral, jumlah dentin intertubular, dan kepadatan

tubulus. Intertubular dentin adalah penghasil sekretori utama odontoblast yang

terletak diantara tubulus dentin yang terdiri dari bahan organik tipe I kolagen dan

anorganik kristal hidroksiapatit (gambar 2.2). Peritubular dentin terletak mengelilingi

tubulus dentin dengan hipermineralisasi namun kekurangan serabut kolagen (Avery

dan Chiego, 2006).

Tabel 2.1 Sifat Mekanis Dentin (Pasley, 2002)

SIFAT MEKANIS DENTIN

Sifat Mekanis DENTIN Bulk Peritubular Intertubular

Compressive strength (MPa) Young’s modulus (Gpa) Shear strength (MPa) Tensile strength (MPa) Microhardness (kg/nm-2) Nanohardness (Gpa)

217-300 11-19.9 45-132 31-106 40-70

-

- 29.8-30

- - -

2.2-2.5

- 16-21.1

- - -

0.12-0.52

Sifat mekanis dentin tidak homogen sehingga memberi nilai yang bervariasi,

namun sebagian besar struktur gigi terdiri dari dentin, yang merupakan bagian

penting dari gigi (tabel 2.1). Dentin lebih lunak daripada email dengan

(knoophardeness 68 vs 343 kg/mm-2). Dentin juga lebih elatis dibandingkan email

(modulus elastisitas 11-20 vs 86 Gpa). Elastisitas dentin yang besar membuat dentin

lebih kuat daripada email. Modulus elastisitas berfungsi untuk menahan tekanan yang

dapat mematahkan dentin (stress breaking) atau sebagai shock absorbing dari email.

Melalui mikroskop elektron diketahui peritubular dentin memiliki nanohardeness

yang lebih besar daripada intertubular dentin (250 KHN vs 52 KHN) sehingga dentin

bagian dalam lebih elastis daripada dentin yang superfisial (17 vs 21 Gpa). Tahanan

geser dentin (shear strength) juga bervariasi berdasarkan lokasi, dentin bagian

superfisial memiliki nilai shear strength lebih besar dibanding dengan dentin yang

terletak lebih dalam sebesar 132 vs 45 MPa (King dkk, 1996 cit. Pashley, 2002)

sedangkan tahanan tarik (tensile stength) dentin berkisar 36-100 MPa (Lawren, 1996

cit. Pashley, 2002).

2.2 Proses Fraktur Pasca Endodonti

Penyebab fraktur pada gigi endodonti bersifat multifaktorial yang dapat

diklasifikasikan sebagai iatrogenik dan non-iatrogenik. Mekanisme ketahanan fraktur

pada gigi yang dirawat endodonti menurut Kishen (2006) dipengaruhi oleh (1)

pertimbangan biomaterial substrat dentin, (2) pertimbangan biomekanik gigi utuh dan

gigi yang direstorasi dengan menggunakan pasak inti. Faktor resiko yang

mempengaruhi kecendrungan predileksi fraktur pada gigi endodonti dapat disebabkan

oleh lima (5) faktor yaitu: (1) faktor kimia: efek bahan irigasi endodonti dan bahan

intramedikamen pada dentin, (2) faktor mikroba: efek interaksi bakteri terhadap

dentin, (3) faktor dentin: efek kehilangan struktur gigi, (4) faktor restoratif: efek

pasak dan inti restorasi akhir dan (5) faktor usia: efek perubahan usia pada dentin

(gambar 2.3).

Fraktur dilihat secara perspektif biomekanik adalah suatu proses yang sangat

kompleks yang melibatkan pembentukan dan pertumbuhan retak (crack) mikro dan

retak makro (gambar.2.4). Celah-celah mikroskopik dapat bertambah dari waktu ke

waktu yang akhirnya mengakibatkan fraktur pada stuktur gigi (Kishen, 2006).

Microcrack menyebabkan dilatasi dan peningkatan crack di daerah sekitar crack yang

terjadi pada titik tekanan maksimal (gambar 2.5). Crack blunting menyebabkan

tekanan pada ujung crack tidak terfokus. Perluasan crack terjadi akibat penajaman

ujung crack (resharpening) yang memusatkan energi regangan, merupakan faktor

penting mengawali terjadinya fraktur (Kruzic dkk, 2004).

Pola distribusi tegangan pada gigi yang telah direstorasi dengan menggunakan

pasak inti mahkota jelas berbeda dengan gigi yang masih utuh. Sistem pasak inti

mahkota merupakan satu unit tunggal yang dapat melengkung dan meregang selama

proses pengunyahan. Perbedaan pola regangan tersebut berbeda jika dibandingkan

dengan gigi normal, yang dapat menyebabkan kehilangan tulang periodontal.

Perbedaan utama antara gigi utuh dan gigi yang direstorasi dengan pasak inti adalah

(1) kejadian daerah konsentrasi tegangan dan (2) peningkatan tensile stress pada

struktur jaringan yang tersisa. Tekanan tarik yang cukup tinggi menghasilkan

deformasi mikroskopis plastis di ujung konsentrasi tekanan sehingga meningkatkan

fraktur (Kishen, 2006).

Gambar 2.4 Hubungan Pola Crack terhadap Mikrostruktur Dentin. (a): hubungan interaksi

initial crack dengan perambatan crack, (b) dan (c) gambaran crack yang terjadi pada peritubular [juga ditunjukkan oleh tanda panah putih pada gambar (a)] (Nalla dkk, 2003)

S

D

Ketika sebuah material diberi suatu beban (stress) akan mengalami regangan

(strain) tetapi bila beban dihilangkan material tersebut kembali ke bentuk semula

maka hal ini dikatakan elastis. Elastisitas ini berada di daerah elastis, sebelum titik

luluh (yield point). Selama material masih berada di daerah elastis, jika beban

dihilangkan maka material akan kembali ke bentuk semula (gambar 2.6). Selama

proses deformasi berlangsung, material menyerap energi sebagai akibat adanya gaya

yang bekerja. Sebesar apapun gaya yang bekerja pada material, material akan

mengalami perubahan bentuk dan dimensi.

Perubahan bentuk secara fisik pada benda dibagi menjadi dua, yaitu deformasi

plastis dan deformasi elastis. Awal pembebanan akan terjadi deformasi elastis sampai

pada kondisi tertentu, sehingga material akan mengalami deformasi plastis.

Penambahan beban pada bahan yang telah mengalami kekuatan tertinggi tidak dapat

dilakukan, karena pada kondisi ini bahan telah mengalami deformasi total. Jika beban

tetap diberikan maka regangan akan bertambah dimana material seakan menguat

yang disebut dengan penguatan regangan (strain hardening) yang selanjutnya benda

akan mengalami putus pada kekuatan patah.

2. 3 Sistem Monoblok dalam Perawatan Endodonti

Perkembangan endodonti saat ini telah melibatkan penggunaan bahan adesif

pada perawatan saluran akar. Teknik ini menciptakan suatu sistem monoblok di

dalam saluran akar yaitu suatu istilah yang secara harfiah berarti satu kesatuan.

Sistem monoblok mampu meningkatkan kualitas seal pada bagian koronal dan apikal

sehingga memperkuat akar karena mampu mendistribusikan beban pengunyahan

secara homogen dan mengurangi tekanan pada fungsi pengunyahan. Bahan monoblok

harus memiliki kemampuan ikatan kuat dan saling menyatu satu sama lain, serta

substrat monoblok berfungsi sebagai reinforced (penguat). Bahan monoblok juga

harus memiliki modulus elastisitas yang mirip dengan dentin (Tay dan Pashley,

2007).

Monoblok saluran akar di klasifikasi sebagai monoblok primer hanya ada satu

permukaan (interface) antara bahan pengisi saluran akar dengan dinding dentin.

Monoblok sekunder terdapat dua permukaan, satu antara pasak fiber/bahan pengisi

saluran akar dengan semen/sealer saluran akar dan satu permukaan antara

semen/sealer saluran akar dengan dinding dentin. Monoblok tertier tercipta ketika

terdapat tiga permukaan dengan sebuah bondable coating pada permukaan fiber

post/bahan pengisi saluran akar, dapat dilihat pada gambar 2.7 (Tay dkk, 2007 dan

Varna, 2010).

Pasak fiber prefabricated merupakan pasak buatan pabrik yang memiliki

estetik lebih baik, dapat berikatan dengan dentin dan material inti serta mempunyai

modulus elastisitas yang hampir sama dengan dentin, dapat mengabsorbsi tekanan

sehingga melindungi akar dari fraktur dan lebih mudah dibongkar (repairable) jika

diperlukan retreatment saluran akar. Pasak ini terdiri dari serat penguat continuis

unindirectional (serat panjang dalam satu arah) dalam struktur cross linked polimer

matriks yang tinggi. Pasak fiberglass memiliki diameter 7-10 mm dengan serat yang

biasa digunakan carbon, glass, quartz, silikon. Semua pasak tersebut memiliki

keuntungan yang sama namun pasak fiber karbon memiliki estetik yang kurang baik.

Sebagian besar pasak fiber relatif radiolusen dan memiliki perbedaan gambaran

radiografi di banding dengan pasak metal (Schwratz, 2004). Modulus elastisitas pasak

fiber rendah (17.5 - 21.6 GPa), hampir mendekati modulus elastisitas dentin (14.0 -

18.6 GPa) sehingga dapat meningkatkan resistensi fraktur akar (Tay, 2007).

Ikatan pasak fiber-reinforced di dinding dentin saluran akar secara in vivo

dengan uji Scanning Elektron Mikroskopis (SEM) menunjukkan dengan jelas

pembentukan lapisan hibrid, tag resin dan sebuah ikatan adesif lateral (Pontius dkk,

2002). Ikatan adhesi memberi retensi lebih yang akan meningkatkan distribusi

tekanan sehingga meningkatkan ketahanan fraktur gigi (Torabi dkk, 2009).

Perlekatan ini meminimalkan efek wedging pasak di dalam saluran akar, memerlukan

lebih sedikit pengangkatan dentin, pasak lebih pendek dan lebih tipis sehingga

mampu menurunkan kecendrungan fraktur.

Kekuatan fisik pasak fiber-reinforced secara signifikan lebih lemah

dibandingkan dengan pasak metal. Pasak metal merupakan logam yang sangat kaku

sehingga akan mentransfer kekuatan lateral secara langsung ke dentin kurang kaku

sehingga lebih mudah terjadi fraktur akar. Kishen dkk, (2004) cit. Kumari (2011)

mengatakan bahwa inner dentin saluran akar kurang mineralisasi dan memiliki lebih

banyak kolagen. Inner dentin berperan penting untuk menjaga ketangguhan atau

ketahanan fraktur pada struktur gigi. Pembuangan dentin yang tidak semestinya akan

membahayakan ketangguhan struktur dentin, yang akan mempengaruhi gigi tersebut

sehingga terjadi fraktur.

2.4 Pengaruh Bahan Irigasi Terhadap Dentin

Namun penyebab fraktur gigi pada perawatan endodonti bukan karena

disebabkan oleh penggunaan pasak saja. Preparasi chemo-mechanical pada perawatan

endodonti memerlukan penggunaan antiseptik dan agen chelating untuk

menghilangkan mikroba, melarutkan jaringan organik, dan mengangkat smear layer,

hal ini tentu saja mempengaruhi struktur jaringan gigi yang tersisa. Telah dilaporkan

bahwa beberapa bahan kimia yang digunakan untuk irigasi endodonti mampu

menyebabkan perubahan pada komposisi kimia dari dentin.

Irigasi saluran akar merupakan bagian dari tahapan cleaning and shaping

pada perawatan endodonti karena membantu untuk menghilangkan bakteri dan debris

selama pembentukan sistem saluran akar agar dapat diobturasi (Grag, 2010).

Cleaning and shaping merupakan dua proses yang berbeda namun merupakan tahap

yang tidak dapat dipisahkan. Schider menggunakan istilah cleaning untuk

debridement saluran akar dan shaping merupakan tahapan untuk mempersiapkan

saluran akar sehingga dapat di obturasi. Debridemen saluran akar bertujuan untuk

menghilangkan jaringan vital dan jaringan nekrosis, bakteri dan produknya, dentinal

debris tercipta selama proses tersebut. Irigasi adalah bagian terpenting dari

debridemen yang bertujuan membantu mendorong debris keluar dari saluran akar.

Namun penggunaan irigasi saat ini lebih banyak ditekankan pada tujuan mekanik,

kurang memperhatikan tujuan biologis, seperti apakah bahan irigasi tersebut dapat

menguatkan struktur gigi (Kumari dkk, 2012).

Larutan irigasi sebaiknya mempunyai spektrum antimikroba luas dan

memiliki efektifitas tinggi melawan bakteri anaerob dan mikroorganisme fakultatif

yang terdapat dalam biofilm, mampu melarutkan sisa jaringan pulpa yang nekrosis,

inaktivasi endotoksin, mencegah pembentukan smear layer selama instrumentasi atau

melarutkan smear layer yang ada (Zehnder, 2006 cit. Jaju dkk, 2011). Bahan irigasi

juga harus memiliki tingkat toksisitas yang rendah, pelumas yang baik, memiliki

ketegangan permukaan yang rendah sehingga mudah mengalir ke daerah yang tidak

terjangkau, tidak menimbulkan korosi pada instrumen, mampu menembus perifer

kanal dan tidak melemahkan struktur gigi (Zehnder, 2006 cit. Kumari, 2011).

Smear layer adalah kumpulan bahan organik, anorganik, sisa-sisa odontoblast,

bakteri dan sel darah yang terbentuk akibat instrumentasi saluran akar ketika prosedur

cleaning dan shaping saluran akar. Ketika lapisan smear layer diangkat dari dinding

saluran akar sebelum obturasi maka akan meningkatkan adaptasi dan adhesi

penutupan (sealing) antara bahan dengan dinding saluran akar sehingga mencegah

microleakage dan jalur komunikasi antara rongga mulut dengan struktur periapikal

(Zivkovic dkk, 2005).

Smear layer terdiri atas dua bagian, yaitu: (a) superfisial, lapisan tipis dan

melekat pada dinding dentin dan (b) underlying, yang melekat pada dentin di tubulus

dentinnya. Secara kimia, smear layer punya dua komponen yaitu organik dan

anorganik. Organik terdiri dari fiber-fiber kolagen dentin dan glycosaminoglycane

yang berasal dari matriks ekstraseluler. Bagian ini menyajikan dasar untuk komponen

lain yang didominasi oleh anorganik terkadang bakteri yang berasal dari saluran akar

yang terkontaminasi dengan instrumen yang tidak steril atau tumpatan sementara

yang tidak adekuat (Zivkovic dkk, 2005). Efektivitas bahan irigasi tergantung pada

mekanisme kerja bahan irigasi, kemampuan bahan irigasi berkontak dengan

mikroorganisme dan pengangkatan jaringan debris atau smear layer di saluran akar

(Jaju dkk, 2011).

2.5 Jenis bahan irigasi saluran akar.

Bahan irigasi dapat dikelompokkan menjadi kelompok bahan kimia dan bahan

alami. Kelompok bahan kimia terdiri dari bahan reduse (NaOCl), bahan oksidasi

(H202), bahan antibakteri (CHX, MTAD), bahan khelasi (EDTA, MTAD), asam

(asam maleat, asam sitrat), kombinasi (MTAD, Q-mix) dan bahan irigasi terbaru

(Larutan BDA, larutan ruddle, air ozon). Kelompok bahan alami contohnya propolis,

triphala, meswak, tree tea oil, morinda ctrifola, green tea polyphenols dan arctium

lappa (Kumari, 2012).

2.5.1 Sodium Hipoklorit

Sodium hipoklorit (NaOCl) telah digunakan sebagai bahan irigasi utama pada

perawatan saluran akar sejak tahun 1920. Bahan ini umum digunakan sebagai bahan

irigasi dengan rata-rata konsentrasi 0,5 - 5,25% (Kumari, 2012). Penggunaan larutan

irigasi NaOCl 1% mempunyai kemampuan unik karena mampu melarutkan jaringan

nekrotik tanpa menghancurkan jaringan vital pulpa. Menurunkan konsentrasinya

berarti menurunkan sifat toksisitas, efek antibakteri dan kemampuan melarutkan

jaringan. NaOCl juga efektif melarutkan pulpa yang tersisa dan kolagen yang

merupakan komponen organik utama dari dentin (Haapasalo dkk, 2010).

Aksi mekanis NaOCl menyebabkan alterasi biosintesis metabolisme sel dan

merusak phospholipid, membentuk kloramin yang menginterfere metabolisme sel,

aksi oksidasi dengan inaktivasi enzim bakteri secara irreversible dan degradasi lipid

dan asam lemak. Meskipun NaOCl bukan merupakan bahan khelasi, namun

signifikan menurunkan perbandingan kalsium/phospat (Ca/P). Setiap perubahan rasio

Ca/P dapat mengubah komponen asli organik dan anorganik, sehingga dapat

mengubah microhardness, permeabilitas dan kelarutan karakteristik dentin (Sayin

dkk, 2007). Perubahan ini juga mempengaruhi sifat fisik karena permukaan dentin

lebih berpori, menyebabkan kehilangan kekuatan mekanik sebesar 75%. Permukaan

dentin berpori terjadi setelah 40 detik terpapar NaOCl (Kishen, 2006). Slutzky-

Goldberg dkk, (2004) mengevaluasi efek microhardness dentin, larutan NaOCl 6%

lebih menurunkan microhardness daripada NaOCl 2,5%. Pengurangan bahan organik

setelah irigasi NaOCl dapat menyebabkan perubahan mekanik (O’driscoll dkk, 2000

cit. Slutzky-Goldberg, 2004).

Penelitian Oyarzun (2002) cit. Mohammadi (2008), efek NaOCl pada

kolagen dentin dan glikosaminoglikan di uji secara immunohistokimia menunjukkan

bahwa 5% NaOCl mempengaruhi perubahan kolagen dentin dan glikosaminoglikan

dan hidroksiapatit yang memegang peranan penting dalam stabilisasi bahan organik.

Marending dkk, (2007) cit. Mohammadi (2008) mengevaluasi efek NaOCl

menunjukkan bahwa NaOCl menyebabkan pengurangan modulus elastisitas dan

kekuatan lentur dentin akar gigi.

NaOCl juga menimbulkan rasa yang tidak menyenangkan, toksisitas terhadap

jaringan, tidak mampu menghilangkan smear layer anorganik, sering menyebabkan

alergi. Penggunaan NaOCl yang menembus foramen apikal dapat menimbulkan mata

seperti terbakar, reaksi alergi, masuk ke sinus maksilaris, pembengkakan, rasa sakit

pada daerah apeks, kerusakan syaraf dan sumbatan jalan nafas (Hulsmann dkk, 2000).

Selain itu, sisa NaOCl juga dapat mengganggu polimerisasi ikatan resin karena

NaOCl menyebabkan oksidasi pada komponen matriks dentin, membentuk radikal

bebas ketika dilakukan aktivasi sinar dengan adesif resin, terbentuk terminasi rantai

yang prematur sehingga polimerisasi terjadi tidak sempurna (Mohammadi dkk,

2008).

2.5.2 Klorheksidin

Klorheksidin (CHX) diperkenalkan pada akhir tahun 1940 di penelitian

laboratorium Imperial Chemical Industries Ltd. (Macclesfield, England). CHX

sebagai antiseptik kuat yang digunakan untuk kontrol plak di dalam rongga mulut.

Klorheksidin memiliki efek substantivitas yaitu efek antimikrobial yang terus

menerus. Hal ini disebabkan oleh sifat kationik klorheksidin yang dapat berikatan

dengan dentin dan enamel gigi. Bahan ini berguna sebagai irigasi akhir tetapi tidak

dapat digunakan sebagai irigasi utama dalam standar perawatan endodonti karena

CHX tidak mampu melarutkan sisa jaringan nekrotik (Jaju dkk, 2011). Sisa jaringan

organik dapat membuat efek negatif terhadap kualitas seal pada saat pengisian

saluran akar sehingga diperlukan irigasi NaOCl selama instrumentasi (Haapasalo dkk,

2010).

CHX memiliki toksisitas yang minimal terhadap jaringan dan tidak

menyebabkan kerusakan jaringan dalam jangka panjang, tetapi masih menyebabkan

respon inflamasi jaringan jika melewati foramen apikal. CHX membentuk

parachloranaline (PCA) yang merupakan suatu amina aromatik. Penelitian

menujukkan efek toksik terjadi karena pembentukan methemoglobin yang terus

terpapar pada PCA yang menyebabkan sianosis dan pembentukan

methaemoglobinaemia. Pemaparan PCA pada manusia, menyebabkan gejala

peningkatan methemoglobin dan sulfahemoglobin yang mengarah ke sianosis yang

akan berkembang menjadi anemia dan anoksia jaringan. Irigasi aquades digunakan

untuk membersihkan NaOCl dari saluran akar sebelum irigasi CHX sehingga

mengurangi terbentuknya PCA. Irigasi yang dikombinasikan dengan EDTA untuk

membersihkan sisa NaOCl dari saluran akar dianjurkan karena kombinasi

penggunaan CHX dan EDTA.

2.5.3 Hidrogen peroksida

Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan larutan irigasi yang tidak stabil dan

mudah terurai oleh pemanasan. H2O2 adalah agent aktif yang efektif terhadap bakteri,

jamur, virus dan spora. Efek antibakteri H2O2 melibatkan radikal hidroksil yang

merupakan oksidan kuat sehingga dapat bereaksi dengan mudah dengan

makromolekul seperti lipid membran dan DNA yang mengakibatkan bakteri mati.

NaOCl digunakan setelah irigasi H202 untuk menghilangkan efek O2-nasen yang

dapat menyebabkan peningkatan tekanan yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada

gigi (Kumari, 2012).

2.5.4 Ethylene Diamine Tetraacetic Acid

Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA) adalah salah satu larutan

chelating agen yang mampu mengangkat smear layer anorganik. Aksi EDTA

tergantung pada konsentrasi dan waktu kontak pada jaringan. Namun EDTA tidak

mempunyai anti mikroba maka perlu dikombinasikan dengan bahan irigasi lain untuk

mengurangi flora intra radikular. Telah dilaporkan bahwa jika EDTA dikombinasikan

dengan NaOCl lebih baik dalam menghilangkan smear layer (Kishen, 2006).

Meskipun demikian, penggunaan kombinasi keduanya dapat menyebabkan perubahan

pada struktur dentin. Penelitian Calt dan Serper (2002) bahan irigasi EDTA dalam

kurun waktu 1 menit mampu mengangkat smear layer dengan baik, namun

penggunaan EDTA dalam kurun waktu 10 menit dapat membuat erosi yang parah

pada peritubular dan intertubular dentin (Kishen, 2006). Berdasarkan hasil penelitian

eksperimen Sayin dkk, (2007) penggunaan EDTA baik sendiri atau sebelum NaOCl

mengakibatkan penurunan microhardness dentin secara signifikan. Penggunaan

EDTA lebih mempengaruhi microhardness dibandingkan dengan NaOCl bahkan

kombinasi keduanya semakin menurunkan microhardness dentin.

2.6 Kitosan dan Aplikasi Klinis

Kitosan merupakan derivat kitin dengan adanya N-deasitilasi yang merupakan

biopolimer alami, terutama sebagai penyusun kerangka Crustasea, dinding struktur

fungi serta hewan tingkat rendah. Kitosan pertama sekali ditemukan oleh Routget

(1859) yang mempunyai derajat kereaktifan tinggi, disebabkan adanya gugus amino

bebas sebagai gugus fungsional. Kitosan secara umum diperoleh dari hasil deasetilasi

kitin dalam larutan NaOH pekat. Kitin banyak dijumpai pada hewan antropoda, jamur

dan ragi, pada jamur kitin berasosiasi dengan polisakarida, sedangkan pada hewan

kitin berasosiasi dengan protein (Trimurni dkk, 2006).

Kitosan hanya dapat larut dalam pelarut asam seperti asam formiat, asam

laktat, asam sitrat dan asam hidrokolat. Kitosan tidak dapat larut dalam air, alkali dan

asam mineral encer kecuali dibawah kondisi tertentu, yaitu dengan adanya sejumlah

pelarut asam. Adanya gugus-gugus amino dan hidroksil yang terikat menyebabkan

kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyumbang sifat polielektrolit

kation sehingga dapat berperan sebagai amino penanti (Trimurni dkk, 2006).

Disamping itu, kitosan dapat berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti

protein sehingga kitosan relatif banyak digunakan dalam bidang kesehatan karena

mempunyai sifat istimewa yaitu biokompatibilitas, biodegradabilitas, bioadhesi, tidak

bersifat toksik dan bioaktif, tidak menyebabkan reaksi imunologi, dan tidak

menyebabkan kanker (Sugita, 2009). Kitosan memiliki spektrum luas dengan

aktivitas tinggi membunuh bakteri gram-positif dan gram-negatif karena mampu

mengubah permeabilitas sel bakteri yang mengakibatkan kematian sel (Kishen dkk,

2008 cit. Ibarra dkk, 2013). Kitosan juga menunjukkan toksisitas yang lebih rendah

terhadap sel mamalia (Kong dkk, 2010). Berikut adalah struktur bangun kitin dan

kitosan yang menunjukkan bahwa kandungan utama kitin dan kitosan adalah polimer

polisakarida dan gugus amino dan reaksi deasetilisasi (gambar 2.8).

Gambar. 2.8 Struktur Kimia Kitin dan Kitosan (Harry, 1997)

Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terbagi menjadi tiga, yaitu

kitosan bermolekul rendah, bermolekul sedang, dan bermolekul tinggi. Kitosan

bermolekul rendah yaitu kitosan dengan berat molekul di bawah 400.000 Mv.

Kitosan bermolekul sedang yaitu kitosan dengan berat molekul antara 400.000-

800.000 Mv yang berasal dari hewan laut dengan cangkang atau kulit yang lunak,

misalnya udang, cumi-cumi, dan rajungan. Kitosan bermolekul tinggi yaitu kitosan

dengan berat molekul antara 800.000 - 1.100.000 Mv yang berasal dari hewan laut

berkulit keras seperti kepiting, kerang dan blangkas (Sugita dkk, 2009).

2.6.1 Kitosan Blangkas (Tachypleus gigas)

Dalam bidang kedokteran gigi telah dikembangkan kitosan untuk berbagai

tujuan. Trimurni dkk, (2006) pertama kali yang meneliti kitosan molekul tinggi yang

diperoleh dari blangkas terdiri atas β-(1,4)-D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin

yang mempunyai derajat deasetilasi 84.20% dengan berat molekul 893.000 Mv. dapat

memacu dentinogenesis jika dipakai sebagai bahan pulpa kaping. Pada penelitian

tersebut kitosan blangkas bermolekul tinggi mampu menunjukkan kemampuan

membentuk jaringan keras osteotypic irregular karena mampu membentuk koagulum

yang padat sehingga terbentuk sub base membran yang memudahkan perlekatan sel

pulpa seperti odontoblast yang akan mengadakan migrasi dan proliferasi. Dengan

berkontaknya kitosan dengan jaringan pulpa pada kondisi lingkungan yang asam,

terbentuk D-glukosamin yang akan memudahkan migrasi dan proliferasi sel-sel

progenitor sehingga proses dentinogenesis terjadi.

Penelitian Pimenta dkk, 2012 melalui scanning electron microscopy (SEM)

menunjukkan 0,2% kitosan, 15% EDTA and 10% asam sitrat mampu mengangkat

smear layer pada 1/3 saluran akar. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan signifikan antara ketiga larutan tersebut dalam mengurangi

microhardness dentin. Air distalasi yang digunakan sebagai kontrol tidak

menunjukkan perubahan microhardness dentin. Namun kitosan 0,2% mampu

membuka tubulus dentin tanpa perubahan intertubular dentin dibandingkan dengan

uji kelompok lain (15% EDTA dan 10% asam sitrat).

Silva dkk, (2012) meneliti larutan kitosan sebagai bahan chelator pada

tindakan irigasi saluran akar dilihat dari kemampuan kitosan dalam mengangkat

smear layer dan pengaruh terhadap struktur dentin setelah 3 menit dan 5 menit

setelah digunakan untuk irigasi. Silva melakukan penelitian terhadap 12 kaninus yang

dipreparasi dengan teknik crown-down dan diirigasi dengan 1% sodium hipoklorit,

spesimen dibagi berdasarkan waktu dan konsentrasi larutan. Kelompok 1 (K1):

kitosan 0,1% selama 3 menit, kelompok 2 (K2): kitosan 0,2% selama 3 menit,

kelompok 3 (K3): kitosan 0,37% selama 3 menit, kelompok 4 (K4): kitosan 0,1%

selama 5 menit, kelompok 5 (K5): kitosan 0,2% selama 5 menit, kelompok 6 (K6):

kitosan 0,37% selama 5 menit. Hasil K1 menunjukkan pengangkatan smear layer, K2

menunjukkan terbuka tubulus dentin dengan erosi ringan pada peritubular dentin,

kebersihan pada K3 hampir sama dengan K2 namun efek erosi dentin lebih besar.

Pelebaran diameter tubulus terjadi pada K4, sedangkan pada K5 dan K6 terjadi

perubahan erosi parah terhadap permukaan dentin. Berdasarkan penelitian Silva,

kitosan 0,2% selama 3 menit dapat dipakai sebagai bahan irigasi saluran akar karena

efisien mengangkat smear layer, dan hanya menyebabkan dengan sedikit erosi di

dentin (gambar 2.9).

Palma-Dibb dkk, (2012) meneliti efek kitosan pada konsentrasi dan larutan

yang berbeda terhadap permukaan dentin setelah diberi perlakuan selama 10 detik.

Palma-Dibb membagi sampel menjadi sembilan kelompok, yaitu kelompok kontrol

(35% phosphoric acid gel – pH= 1,5); K2: asam asetat (pH=3); K3: asam hidroklorik

(pH=1,5); K4: 0,2% larutan kitosan dalam asam asetat; K5: 0,3% larutan kitosan

dalam asam asetat; K6: 0,4% larutan kitosan dalam asam asetat; K7: 0,2% larutan

kitosan dalam asam hidroklorik; K8: 0,3% larutan kitosan dalam asam hidroklorik;

K9: 0,4% larutan kitosan dalam asam hidroklorik. Hasilnya menunjukkan larutan

kitosan dalam asam asetat tidak memberikan efek demineralisasi yang baik dan hanya

mengangkat smear layer saja, sedangkan 0,4% kitosan dalam asam hidroklorik

memberi hasil yang lebih baik yaitu menghasilkan permukaan dentin tanpa smear

layer dan terdapat collagen network.

Penelitian Hayani dan Trimurni (2013) menyatakan bahwa larutan irigasi

kitosan blangkas 0,1% dan 0,2% menghasilkan ekstrusi debris lebih sedikit bila

dibandingkan dengan larutan irigasi NaOCl 2,5% dan kombinasi EDTA 17% dengan

NaOCl 2,5% (unpublished). Penelitian Ayu dan Trimurni (2013) juga mengatakan

bahwa larutan irigasi kitosan blangkas 0,2% dapat mengangkat smear layer pada 1/3

apikal (unpublished).

Kitosan, meskipun tidak sepenuhnya diketahui mekanisme aksinya, diyakini

bahwa reaksi adsorpsi, pertukaran ion dan reaksi khelasi kitosan berpengaruh

terhadap pembentukan komplek antara substansi dan ion logam. Walaupun reaksi

interaksi kitosan ini tergantung pada ion yang terlibat, struktur kimia kitosan, dan pH

larutan kitosan. Saat ini, ada dua versi yang mencoba untuk menjelaskan proses

khelasi kitosan. Pertama, dikenal sebagai model jembatan, didasarkan pada teori

bahwa dua atau lebih gugus amino rantai kitosan akan mengikat untuk ion logam

yang sama (Blair dan Ho, 1981 cit. Silva dkk, 2012) Pendapat kedua menyatakan

hanya satu gugus amino struktur zat yang terlibat (Dormad, 1987 cit. Silva dkk,

2012).

2.7 Finite Element Methode

Finite Element Alnalysis (FEA) atau Finite Element Model (FEM) adalah

sebuah disiplin ilmu yang merupakan gabungan dari matematika, fisika, teknik, dan

ilmu komputer. Metode ini berguna menganalisa struktur, suhu dan cairan (Roensh,

2007 cit. Subrata 2007). FEM pertama-tama dikembangkan oleh R. Courant, diikuti

oleh Turner M.J., Clough R.W., Martin H.C dan Topp, L.J, tahun 1956 dengan

tulisannya berpusat pada kekakuan dan defleksi dari suatu struktur yang kompleks

(Subrata 2007). FEM telah diaplikasi pada penelitian biomekanik untuk beberapa

dekade ini, khusus di penelitian kedokteran gigi. Penggunaan FEM tidak hanya

mengurangi biaya namun juga memperoleh informasi lebih seperti distribusi tekanan

internal dibandingkan pada penelitian eksperimen. Selain itu, FEM lebih mudah

membandingkan respon biomekanik dengan penambahan berbagai parameters (Lin,

2009).

Uji mekanis dekstruktif seperti uji fraktur penting untuk analisis biomekanik

gigi dan bahan restorasi gigi, karena meningkatkan pemahaman tentang perilaku gigi

di situasi beban yang tinggi. Namun, uji ini memiliki kapasitas terbatas untuk

memperjelas hubungan tegangan dan regangan (stress-strain relationships) pada

restorasi gigi yang kompleks. Penggunaan uji non destruktif, seperti analisis FEM

lebih cocok untuk memahami karakteristik kegagalan prosedur restoratif (Adıgüzel

dkk, 2011). Sebuah model finite elemen analisis tiga dimensi yang dibuat dapat

mewakili perawatan gigi endodonti dengan struktur pendukungnya. Model tersebut

dapat berisi simulasi ligamen periodontal (PDL) dan struktur tulang alveolar. Saluran

akar dapat diasumsikan telah dibentuk untuk insersi pasak fiber yang telah tersedia

(gambar 2.10).

Gambar 2.10 Sebuah Model Finite Elemen Analisis Tiga Dimensi Perawatan Gigi Endodonti

Insisivus Sentralis Atas dengan Jaringan Pendukungnya (Adıgüzel dkk, 2011)

Menurut Geng dkk, (2001) dan Henry (1977) cit. Yamamoto (2011), analisa

FEM berguna untuk mempelajari distribusi tekanan yang berkaitan dengan pasak

intraradikular. Metode ini mengevaluasi sifat mekanik dan membantu meneliti

material baru untuk mengurangi risiko kegagalan dan fraktur pada bahan restoratif

material dan struktur gigi. Cohen dkk, (1999) cit. Yamamoto (2011) membandingkan

retensi dan pola tekanan fotoelastik vertikal dan miring dari dua pasak sistem

prefabrikasi sedangkan Lewgoy dkk, (2003) menggunakan FEM untuk

membandingkan pasak prefabricated stainless steel atau pasak titanium fleksi dan

sistem fleksi flange.

Yamamoto dkk, (2011) meneliti ketahanan fraktur dan pola distribusi fraktur

pasak ulir titanium murni (yang dikembangkan oleh universitas kedokteran gigi

Brazil) dibandingkan dengan pasak metal buatan pabrik. Bahan dan metode

penelitian adalah menguji ketahanan fraktur pasak/inti/akar dengan uji kekuatan

tekan sampai fraktur dengan Universal Testing Machine, EMIC. Analisis fraktur

dengan mikroskop sedangkan analisis stress dengan FEM yang digunakan untuk

evaluasi pasak. Kelompok 1 (K1): pasak eksperimen, Kelompok 2 (K2): pasak

eksperimen yang dimodifikasi, Kelompok 3 (K3): pasak fleksi, kelompok 4 (K4):

pasak para post. Hasil rata-rata ketahanan fraktur dan standar deviasi adalah K1

(45.63±8.77); K2 (49.98±7.08); K3 (43.84±5.52); K4 (47.61±7.23). Distribusi stress

homogen terjadi sepanjang intraradikular pada K1, sedangkan konsentrasi stress

tinggi pada kelompok lain. Konsentrasi stress pada pasak mempengaruhi konsentrasi

stress pada akar gigi. Kesimpulan penelitian tersebut adalah pasak eksperimen

(original dan modifikasi) menunjukkan ketahanan fraktur (uji eksperimen) yang

hampir sama dan analisis stress (uji FEM) yang terbaik jika dibandingkan pada

pasak komersil.

FEM merupakan suatu proses yang tidak memakan waktu dibandingkan

dengan penelitian eksperimen sehingga bisa meminimalkan persyaratan pengujian di

laboratorium. Untuk beberapa aplikasi, analisis FEM dapat memberikan solusi cepat,

misalnya untuk pengujian beberapa parameter, yang lebih mudah dikerjakan daripada

di laboratorium eksperimen. Namun kompleksitas bentuk, sifat, struktur gigi, dan

pemodelan yang komprehensif juga menjadi sangat kompleks dan memakan waktu.

Analisis FEM harus di kombinasi dengan metode eksperimen, bukan sebagai

pengganti karena FEM dapat memberikan informasi yang sangat sulit atau informasi

yang tidak diperoleh dari pengamatan eksperimen (Soares dkk, 2012).

Tahapan dalam pengerjaan metode FEM adalah (1) preliminary decision

adalah sebuah fase dimana seoarang analis mengembangkan suatu bentuk mesh finite

element yang membagi-bagi subyek secara geometri ke dalam sub-domain untuk

analisis matematika dengan menerapkan sifat-sifat bahan penelitian serta kondisi-

kondisinya (Gambar 2.11.a) (2) processing adalah fase dimana program

menghasilkan matriks persamaan dari model dan menentukan besaran-besaran

primernya (3) solve the model adalah fase suatu proses sedang berlangsung. (4) post

processing: berisikan laporan hasil dan pemeriksaan validitas hasil dari solusi

(Subrata, 2007).

Plot kontur tekanan, regangan, displacement atau hasil analisis lainnya dapat

dimengerti dengan mudah melalui "pretty picture". Warna pelangi yang disediakan

oleh plot kontur memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi distribusi beban,

daerah stres yang tinggi, deformasi yang berlebihan dan hampir apa pun yang ingin

diketahui tentang struktur suatu material. Warna merah merupakan titik maksimum

sedangkan warna biru merupakan titik minimum (gambar 2.11.B).

Keterbatasan FEM juga perlu diketahui, paket software dan hardware yang

dibutuhkan, meskipun diperdagangkan dengan harga murah, ternyata masih

merupakan investasi yang cukup besar. Metode ini dapat mengurangi banyaknya uji

produk yang harus dilakukan, tetapi tidak dapat menggantikannya sama sekali. FEM

adalah alat yang sangat dibutuhan namun sangat memerlukan seorang analis yang

ahli dalam ilmu fisika, teknik, matematika, dan komputer terutama dalam metode

finite element itu sendiri (Subrata, 2007)

2.8 Landasan Teori Gambar 2.12 Landasan Teori Pengaruh Irigasi NaOCl 2,5%, EDTA 17% dan Kitosan 0,2%

terhadap Ketahanan dan Distribusi Fraktur Saluran Akar Pasca Endodonti

KETAHANAN DAN DISTRIBUSI FRAKTUR SALURAN AKAR PASCA ENDODONTI

PERAWATAN SALURAN AKAR diirigasi dengan

BAHAN IRIGASI

NaOCl 2,5% EDTA 17% KITOSAN 0,2 %

• Anti mikroba • Mampu melarutkan

jaringan organik • Kurang melarutkan

smear layer • Toksik terhadap

jaringan • Menurunkan micro

hardeness dentin

• Tidak anti mikroba • Mampu melarutkan

jaringan anorganik • Mampu mengangkat

smear layer • Sedikit toksik pada

jaringan • Mempengaruhi

microhardeness dentin • Perlu kombinasi dengan

larutan irigasi lain

• Memiliki spektrum anti mikroba

• Dapat dikembangkan menjadi biomaterial alami

• Biokompatibel • Biodegradable • Mudah didapat • Memiliki efek

chelator • Mampu mengangkat

smear layer