bab 2 tinjauan pustaka 2.1 2.1.1 cinema (bioskop)

19
3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Definisi Cinema (Bioskop) Menurut Jauhari, H. (1992) “cinema” yang berasal dari Bahasa Perancis “cinematographé” adalah tempat yang mempertontonkan media visual yang menceritakan suatu cerita dan menampakkan realita dengan bayaran tertentu (film). Di Indonesia, istilah cinema lebih dikenal dengan “bioskop” yang berasal dari Bahasa Belanda “bioscoop” yang juga berarti tempat untuk menonton pertunjukan film dengan menggunakan layar. Bioskop sendiri diambil dari Bahasa Yunani “bios” yang berarti “hidup” dan “kopeīn” yang berarti “melihat”. 2.1.2 Microcinema Menurut de Ville, D. (2014) teks akademik seputar subjek microcinema masih belum ada hingga saat ini. Namun, istilah “microcinema” sendiri diketahui muncul dari tahun 1991, setelah Rebecca Barten dan David Sherman membuka Total Mobile Home Microcinema di San Francisco. Istilah “microcinema” kemudian digunakan untuk menjelaskan tempat menonton film alternatif berskala kecil yang menayangkan jenis film yang tergolong sidestream (jarang ditemui pada bioksop konvensional). Berbeda dengan bioskop konvensional pada umumnya, fasilitas dan sarana dalam microcinema tidak terbatas hanya untuk pemutaran film tetapi juga terbuka untuk segala aktivitas sosial yang mendukung kegiatan menonton seperti makan, minum, tukar pikiran antar pengunjung, hingga sarana untuk kegiatan komunitas dan edukasi. Oleh karena skalanya yang kecil, maka sense of intimacy, ownership, dan community menjadi kunci utama dalam menciptakan fasilitas dalam sebuah microcinema. 2.1.3 Microcinema Sebagai Bioskop Alternatif di Jakarta Microcinema pertama di Jakarta adalah Kine Club yang didirikan oleh Dewan Kesenian Jakarta sejak tahun 1968, yang kemudian berubah nama menjadi Kineforum di tahun 2006. Microcinema ini muncul sebagai ruang pemutaran film alternatif yang juga bisa menjadi ruang pertemuan antara sineas dan penikmat film, serta menjadi ruang apresiasi karya film lokal yang

Upload: others

Post on 08-Feb-2022

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum

2.1.1 Definisi Cinema (Bioskop)

Menurut Jauhari, H. (1992) “cinema” yang berasal dari Bahasa

Perancis “cinematographé” adalah tempat yang mempertontonkan media

visual yang menceritakan suatu cerita dan menampakkan realita dengan

bayaran tertentu (film). Di Indonesia, istilah cinema lebih dikenal dengan

“bioskop” yang berasal dari Bahasa Belanda “bioscoop” yang juga berarti

tempat untuk menonton pertunjukan film dengan menggunakan layar. Bioskop

sendiri diambil dari Bahasa Yunani “bios” yang berarti “hidup” dan “kopeīn”

yang berarti “melihat”.

2.1.2 Microcinema

Menurut de Ville, D. (2014) teks akademik seputar subjek microcinema

masih belum ada hingga saat ini. Namun, istilah “microcinema” sendiri

diketahui muncul dari tahun 1991, setelah Rebecca Barten dan David Sherman

membuka Total Mobile Home Microcinema di San Francisco. Istilah

“microcinema” kemudian digunakan untuk menjelaskan tempat menonton film

alternatif berskala kecil yang menayangkan jenis film yang tergolong

sidestream (jarang ditemui pada bioksop konvensional).

Berbeda dengan bioskop konvensional pada umumnya, fasilitas dan

sarana dalam microcinema tidak terbatas hanya untuk pemutaran film tetapi

juga terbuka untuk segala aktivitas sosial yang mendukung kegiatan menonton

seperti makan, minum, tukar pikiran antar pengunjung, hingga sarana untuk

kegiatan komunitas dan edukasi. Oleh karena skalanya yang kecil, maka sense

of intimacy, ownership, dan community menjadi kunci utama dalam

menciptakan fasilitas dalam sebuah microcinema.

2.1.3 Microcinema Sebagai Bioskop Alternatif di Jakarta

Microcinema pertama di Jakarta adalah Kine Club yang didirikan oleh

Dewan Kesenian Jakarta sejak tahun 1968, yang kemudian berubah nama

menjadi Kineforum di tahun 2006. Microcinema ini muncul sebagai ruang

pemutaran film alternatif yang juga bisa menjadi ruang pertemuan antara sineas

dan penikmat film, serta menjadi ruang apresiasi karya film lokal yang

4

bertujuan untuk meningkatkan minat masyarakat untuk menonton film

produksi dalam negeri. Untuk mendukung tujuan ini, oleh karena itu

Kineforum memiliki program bulanan dengan beragam tema menarik yang

menampilkan film-film yang sesuai untuk tema tersebut.

Seiring dengan perkembangan produksi film Indonesia yang semakin

baik serta meningkatnya minat masyarakat akan hiburan menonton diluar

jaringan bioskop konvensional, mendorong munculnya berbagai ruang

pemutaran film alternatif dan melahirkan sebuah subkultur microcinema yang

menarik perhatian para penikmat film, khususnya di Jakarta.

2.1.4 Masyarakat Urban di Jakarta

Menurut Kusno, A. (2009) pembahasan mengenai masyarakat urban

Jakarta berkaitan erat dari posisi kota Jakarta sebagai ibukota negara. Sejak

jaman penjajahan Belanda, Jakarta sudah menjadi pusat pembangunan,

perdagakan dan ekonomi, serta kegiatan sosial budaya. Posisinya sebagai pusat

dari globalisasi dan arus informasi dan budaya inilah yang kemudian

mendorong masyarakat dari berbagai daerah untuk pindah dan menetap di

Jakarta, menjadikan diri mereka sebagai masyarakat urban atau masyarakat

perkotaan di Jakarta.

Menurut Soekanto, S. (2000) masyarakat didefinisikan sebagai

kelompok orang yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu

yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

Identitas bersama inilah yang membedakan suatu kelompok masyarakat dengan

kelompok masyarakat lainnya. Dalam konteks masyarakat urban, maka

identitas bersama yang dimiliki adalah sifat perkotaan yang melekat dengan

kehidupan individu di kelompok ini seperti yang dilansir dari Soekanto, S.

(1994) dan dilengkapi dari situs Marketeers.com:

• Heterogen, ada diversifikasi kultural.

• Perilaku berdasarkan rasionalitas, melalui pertimbangan mana yang

lebih menguntungkan dan memudahkan.

• Individualime, bisa mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung pada

orang lain dan kepentingan individu lebih diutamakan.

• Komunalis, senang berkumpul dengan komunitasnya atau orang lain

dengan interest sejenis.

5

• Konsumtif, sebagai pengaruh dari pusat kegiatan ekonomi.

• Terbuka dengan budaya baru, dimana mereka memiliki interest lebih

terhadap budaya maupun hal-hal baru secara modern dan

menerimanya secara modern (mau menerima perubahan).

• Value experience, dimana wawasan dan pengalaman baru menjadi

sebuah nilai yang diangkap penting untuk dimiliki guna menambah

personal value yang bisa membedakan individual identity

seseorang dengan orang lain.

2.1.5 Definisi Furnitur

Menurut Snardzewski, J. (2015) furnitur adalah benda seni terapan yang

diperuntukan untuk mengisi ruang interior. Furnitur bisa digunakan secara

individual maupun dalam sebuah set. Berikut adalah pembagian furnitur

berdasarkan fungsinya:

• For sitting and lounging, yaitu seperti stool, pouf, armchair, sofa,

chaise lounge, dan lain sebagainya.

• For working and eating meals, seperti meja makan, meja kerja, meja

preparasi makanan, maupun furnitur untuk meletakan aksesoris

seperti bunga dan lampu.

• For storage, seperti misalnya lemari kabinet, dressing table, rak buku,

dan lain sebagainya.

• For reclining, adalah furnitur yang nyaman digunakan untuk duduk

bersandar maupun tidur.

• Multifunctional furnitures, adalah furnitur dengan beragam fungsi

untuk memfasilitasi kebutuhan pengguna serta meminimalisisr

penggunaan space.

2.2 Tinjauan Khusus

2.2.1 Ruang Tunggu Bioskop

Ruang tunggu adalah fasilitas dalam bioskop yang diperlukan sebagai

tempat istirahat para pengunjung dan tempat menunggu giliran menonton film.

Sebagai ruang semi publik di area biskop, ruang tunggu juga berfungsi sebagai

zona sirkulasi karena berhubungan dengan area publik lainnya seperti snack

bar, tempat pembelian tiket, ruang pemutaran, dan fasilitas penunjang lainnya.

6

Oleh karena itu, orientasi ruang harus jelas dan tersedia sarana duduk yang

cukup dan sebisa mungkin memicu interaksi sosial antar pengunjungnya.

Menurut Strong, J. (2010) peran ruang tunggu dalam bioskop sangat

penting karena bisa memberikan kontribusi positif terhadap tingkat

kenyamanan dan pengalaman pengunjung yang datang. Adapun beberapa hal

yang perlu diperhatikan dalam ruang tunggu bioskop adalah sebagai berikut:

• Menarik perhatian pengunjung untuk masuk lebih dalam dan

menonton film.

• Berfungsi sebagai sarana komersil yang dimana di dalamnya bisa

terdapat café, restoran, merchandise store, dan lain sebagainya.

• Memfasilitasi kegiatan lain seperti edukasi seputar film dan

sebagainya.

• Menggunakan sirkulasi open plan agar mudah diakses oleh

pengunjung dan tidak memberi rasa bingung dan terintimidasi

dengan sirkulasi yang terbuka.

• Sirkulasi dan flow harus dibuat untuk menghindari path crossing

(tabrakan), logjam, atau keramaian berlebih.

• Ruang harus mengakomodasi jumlah pengunjung dan menjaga mood

dan atmosphere ruang agar tetap warm dan welcoming namun tetap

dramatis.

2.2.2 Interaksi Sosial dalam Ruang Tunggu

Lingkungan fisik ruang tunggu bisa mempengaruhi interaksi sosial di

dalamnya. Pengaruh ini bisa disebabkan oleh aksesibilitas pengguna untuk

berinteraksi dan juga efek psikologis dari social intrepretation yang

ditimbulkan oleh ruang tersebut. Berikut adalah beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam membangun interaksi sosial yang kondusif dalam sebuah

ruang berdasarkan Brand, J. L. (2009):

• Ruangan yang terang dengan pencahayaan alami dan high ceiling bisa

menorong interaksi sosial, oleh karena itu jendela dalam ruang

akan lebih memicu interaksi sosial dan semakin besar semakin baik

dengan tone warna dalam ruang tetap diperhatikan agar menjaga

tingkat intimacy yang diinginkan.

• Furnitur dalam ruang bisa mendukung interaksi sosial jika tidak ada

penghalang diantara penggunanaya.

7

• Furnitur tidak boleh memberi cue to relative social status, atau semua

orang harus merasa sama dan setara dalam ruang tersebut, tidak ada

eksklusivitas dan sebagainya.

• Konfigurasi ruang yang memungkinkan face-to-face orientation antar

penggunanya akan lebih mendorong interaksi sosial.

2.2.3 Studi Material

Untuk mendapatkan tampilan yang diingkan dalam produk furnitur dan

aksesoris serta agar konstruksi dan struktur furnitur bisa kuat, diperlukan

pemilihan material yang tepat. Berikut adalah beberapa material yang umum

digunakan dalam perancangan furnitur dan aksesoris, menurut Iensufiie, T.

(2008):

a. Kayu

Merupakan material yang sering digunakan dalam produk furnitur

karena mudah didapat di pasaran, harga relatif murah, tersedia

dalam beragam ukuran, mudah diproses, memili serat yang indah,

serta tergolong kuat dan awet. Namun, kelemahan kayu pada jenis

tertentu juga perlu diperhatikan. Berikut perbandingan beberapa

materiak kayu solid dan olahan yang digunakan dalam perancangan

ini:

• Jati

Kayu jati memiliki warna cokelat keemasan dengan gubal

krem atau putih kecokelatan, serat halus dengan tekstur raba

licin.

Gambar 2.1 Kayu Jati

Jati memiliki kelas awetnya tingkat I sehingga tahan serangga,

jamur, cuaca dan suhu, dengan tingkat kuat I. Untuk tingkat

8

kesulitan pengerjaannya, tergolong mudah sampai sedang.

Pertimbangan penggunaan jati dalam perancangan adalah

biayanya yang tergolong mahal.

• Mahoni

Mahoni memiliki karakter warna kayu kemerahan dengan

gubal yang berwarna putih, serat lurus, tekstur halus, dan

porinya kecil.

Gambar 2.2 Kayu Mahoni

Tingkat pengerjaan mahoni tergolong mudah dan harganya

murah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan

kayu ini adalah tidak tahan rayap, mudah berjamur, dan tidak

tahan perubahan suhu dan cuaca.

• Sungkai

Karakteristik dari kayu sungkai adalah warnanya putih

kekuningan, seratnya lurus dan bergelombang dengan

permukaan kesat.

Gambar 2.3 Kayu Sungkai

Sungkai berada di kelas kuat II atau III sehingga tingkat

pengerjaannya mudah. Sungkai tergolong ekonomis, namun

mudah retak.

9

• Veneer

Veneer adalah produk kayu olahan yang terbuat dari lembaran

kayu tipis.

Gambar 2.4 Veneer

Veneer umunya digunakan untuk melapisi plywood atau MDF

untuk memberi tampilan serat kayu yang diinginkan.

• Plywood

Plywood adalah kayu olahan berupa papan yang dibuat dari

lapisan kayu yang ditempel dan di-press.

Gambar 2.5 Plywood

Plywood sering digunakan sebagai pengganti bahan kayu solid

karena penampangnya yang lebih besar dan harganya yang

murah. Tebal plywood beragam mulai dari 3 milimeter hingga

25 milimeter dengan lebar penampang 122 x 244 sentimeter.

b. Rotan

Adalah material berbentuk bulat memanjang dengan diameter

bervariasi dari 2 milimeter hingga 8 sentimeter.

10

Gambar 2.6 Rotan

Rotan memiliki beragam jenis warna, ukuran, kulit, dan tingkat

kelenturan yang berbeda-beda. Material ini mudah dibentuk,

dipilin, dan dianyam.

c. Bambu

Adalah material dari batang lurus berdiameter 2 sentimeter hingga

20 sentimeter dengan ketinggian mencapai 6 meter.

Gambar 2.7 Bambu

Bambu mudah dipotong serta dibentuk, fleksibel, relatif murah,

ramah lingkunga, dan kuat meskipun ringan. Namun, perlu

diperhatikan bambu bisa lapuk dan terkena hama dan jamur, serta

proses finishing cukup sulit karena permukaannya yang licin.

d. Logam

Adalah bahan yang sering digunakan karena sifatnya yang kuat dan

mudah dibentuk melalui bending, laser cut, maupun ditempa.

Material ini bisa bersifat struktural maupun dekoratif dan

penggunaannya bisa digunakan dengan tampilan raw finish (tanpa

di-finishing) atau diberi lapisan warna. Berikut adalah

perbandingan jenis besi yang bisa digunakan dalam perancangan

furnitur, menurut Booth, S. dan Drew Plunkett (2014):

11

• Aluminium

Aluminium adalah jenis logam yag paling ringan, dengat berat

satu pertiga dari baja ringan. Jenis logam ini sudah terlindung

korosi secara natural dengan tingkat corrotion resistance dari

sedang hingga sangat tinggi.

Gambar 2.8 Aluminium Hollow

Aluminium bisa dilaminasi dan pewarnaannya lebih efektif

dengan powder coat. Umumnya material ini bisa digunakan

untuk struktur lighting, komponen furnitur, dan kusen.

Aluminium termasuk material green design karena bisa didaur

ulang.

• Besi

Material besi adalah jenis logam utuh dengan tingkat corrotion

resistance yang sangat rendah. Namun demikian, material ini

kuat dan tahan tekanan sehingga umum digunakan untuk heavy

base furniture.

Gambar 2.9 Plat Besi

e. Plastik

Adalah material olahan yang bisa digunakan untuk furnitur.

Menurut Lawson, S. (2013) jenis plastik yang bisa digunakan

adalah jenis thermoplastics yang bisa melunak ketika dipanaskan

sehingga mudah dibentuk dan didaur ulang. Berikut adalah

12

beberapa contoh plastik yang bisa digunakan dalam perancangan

furnitur:

• Acrylic

Adalah material plastik yang digunakan sebagai pengganti

kaca karena tampilannya yang bening dengan UV resistance

tinggi, tetapi harganya relatif murah. Namun, acrylic memiliki

tingkat shock resistance yang rendah sehingga tidak bisa

menahan beban yang terlalu berat.

Gambar 2.10 Acrylic

Umumnya material ini digunakan untuk kursi, display kabinet,

tray dalam storage, jendela, atau partisi.

• Polycarbonate

Polycarbonate adalah bahan plastik dengan tampilan bening

yang kuat, memiliki shock resistance tinggi, UV resistance

sedang dan harganya yang sedang. Polycarbonate umumnya

digunakan untuk kursi atau chair shells.

Gambar 2.11 Polycarbonate

f. Tekstil

Adalah material yang umunya digunakan sebagai upholstery dalam

perancangan furnitur. Bahan tekstil bisa berasal dari alam dan juga

13

buatan. Bahan tekstil natural bisa dihasilkan dari tanaman dan juga

hewan. Untuk bahan sintetis, jenisnya bisa lebih beragam karena

kekuatan, stain resistance, dan elastisitasnya bisa disesuaikan

dengan kebutuhan. Berikut adalah beberapa perbandingan tekstil

yang bisa digunakan dalam perancangan, menurut Booth, S. dan

Drew Plunkett (2014):

• Cotton

Cotton adalah tekstil dari bahan natural kapas yang memiliki

tekstur rembut, efek sentuh dingin, mudah dibersihkan, serta

kuat dan durable.

Gambar 2.12 Cotton

Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan material ini

adalah sifatnya yang tidak elastis, mudah lembab, dan mudah

berkerut.

• Linen

Linen adalah tekstil yang bertekstur lembut dan halus, dengan

efek raba yang warm. Material ini kuat, durable, namun mudah

berkerut.

Gambar 2.13 Linen

14

• Polyester

Adalah jenis tekstil sintetis yang memilki efek warm, kuat,

tahan kerut, tahan air, tidak mudah kotor, dan perawatannya

mudah. Meski demikian material ini bersifat tidak elastis.

Gambar 2.14 Polyester

2.2.4 Studi Finishing

Menurut Iensufiie, T. (2008) finishing adalah proses pelapisan suatu

material dengan bahan yang memiliki fungsi dekoratif dan protektif (coating).

Pemilihan finishing menjadi penting untuk memberi efek dan tampilan yang

diinginkan dari suatu produk dengan tetap menjaga material yang dilapisi dari

goresan, suhu dan udara, dan lain sebagainya. Berikut adalah perbandingan

finishing yang bisa digunakan dalam proses perancangan:

a. Duco

Duco adalah cat pelapis yang menutup permukaan kayu yang

diaplikasikan dengan kuas atau disemprot.

Gambar 2.15 Finishing Duco

Duco banyak dipilih karena pilihan warna yang banyak dan bisa

digunakan untuk segala jenis kayu, serta bisa untuk outdoor

furniture. Kekurangan dari finishing ini adalah pengerjaannya yang

cukup lama, daya tahannya bergantung pada tebal lapisan, dan

harganya yang cukup mahal.

15

b. Powder coat

Finishing ini menggunakan bubuk pigmen yang dipanaskan dengan

oven bersuhu sangat tinggi. Umumnya powder coat hanya

digunakan untuk bahan logam.

Gambar 2.16 Powder Coat

Finishing ini menghasilkan warna yang stabil dan lapisan yang

terbentuk tebal. Kelebihan dari powder coat adalah sifatnya yang

hemat dan efisien, serta ramah lingkungan karena tidak berbau dan

beracun. Kekurangannya adalah, penggunaannya terbatas pada

logam, perukaan benda harus steril dari karet, dan diperlukan oven

khusus untuk pewarnaan.

c. Melamine

Melamine adalah finishing berbahan 2 komponen yang sangat

umum di pasaran karena murah dan sifatnya yang cepat kering,

film tebal, menutup pori, dan tingkat kilapnya bagus.

Gambar 2.17 Hasil Melamine

Kekurangan dari finishing ini yaitu bisa menguning, mengeluarkan

gas yang pedas dan perih di mata, serta aplikasinya cukup rumit

karena memiliki 2 komponen, dan tidak bisa untuk eksterior.

d. Polyurethane

Adalah jenis finishing dua komponen yang diaplikasikan dengan

spraying gun. Polyurethane memiliki tingkat gloss yang sangat

16

tinggi karena film yang terbentuk tebal dan menutup pori. Selain

itu, polyurethane juga tahan gores, tahan kimia, dan bisa digunakan

untuk produk eksterior.

Gambar 2.18 Hasil Polyurethane

Kekurangan dari finishing ini adalah aplikasinya susah, keringnya

lama, dibutuhkan dust free room, butuh keahlian khusus dan

harganya yang mahal.

2.2.5 Studi Warna

Menurut Groenholm, M. (2010) ada sebelas warna yang memiliki efek

psikologis yang universal bagi semua orang, yang bisa berelasi dengan

tubuh fisik, pikiran, perasaan, bahkan menyeimbangkan ketiganya.

Berikut adalah warna-warna tersebut.

Tabel 2.1 Perbandingan Efek Warna

Warna Efek positif Efek negatif

Merah

Strength, warmth,

stimulate energy,

excitement

Aggression, strain,

stimulate heart rate,

demanding

Biru

Intellegence,

communication,

trust, effeciency,

serenity, calm, logic

Coldness, aloof, lack

of emotion,

unfriendly

Kuning

Optimism,

confidence,

friendliness,

creativity

Irrationality, fear,

depression, anxiety

Hijau Harmony,

refreshment,

Boredom,

stagnation,

17

universal love, rest,

peace, reassurance

blandness

Nila

Spiritual, awareness,

containtment, luxury,

quality

Introversion,

suppression,

inferiority

Jingga

Physical comfort,

warmth, security,

fun, passion

Frustration,

immaturity

Merah muda Nurture, feminity,

love, sexuality

Emotional

claustrophobia,

physical weakness

Abu-abu Phsycological

nuetrality

Lack of confidence,

depression, lack of

energy, hibernation

2.2.6 Studi Bentuk

Bentuk bisa mempengaruhi suasana ruang dan perasaan penggunanya.

Berikut adalah efek dan ekspresi yang bisa dihasilkan dari bentuk,

menurut Rigdone, K. (2009):

Tabel 2.2 Perbandingan Efek Bentuk

Efek fisik dan psikologis dari garis

Garis vertikal

Awake, alert, defy

grafity, kaku, stabil,

kuat

Garis horizontal

Restful, yield to

gravity, create quiet,

calmness

Garis diagonal

Appear undecided,

busy, dynamic,

restless, dramatic

Kekuatan ekspresif dari garis

Assertive mood

Garis lurus, solid,

tajam, tebal, garis

vertikal

Delicate mood

Garis lengkung, tipis,

atau garis sambung

Casual mood

Garis zigzag, tajam,

tipis

2.2.7 Studi Konstruksi

Konstruksi atau sambungan furnitur berfungsi sebagai penyambung

antar komponen dalam sebuah furnitur. Berikut adalah beberapa

18

karakteristik jenis sambungan menurut Booth, S. dan Plunkett, D

(2014):

Tabel 2.3 Perbandingan Karakteristik Sambungan

Jenis sambungan Karakteristik

Biscuit

• Untuk konstruksi kabinet, edge joint,

menghubungkan plywood dan board

lain

• Pengerjaan lambat

• Biaya sedang

Butt

• Sambungan permanen

• Pengerjaan lambat

• Biaya sedang – mahal

• Tidak kuat

Dowell

• Untuk menguatkan sambungan kayu

• Pengerjaan cepat

• Biaya sedang – mahal

Mortise tenon

• Paling kuat

• Bisa dicopot

• Pengerjaan lambat

• Biaya sedang – mahal

2.2.8 Studi Ergonomi

Ergonomi yang digunakan dalam perancangan ini dibatasi pada furnitur

lounge atau ruang tunggu serta area makan, yang meliputi sofa, armchair

shelving, dan meja makan. Berikut adalah data ergonomi furnitur di atas

menurut Panero, J. dan Martin Zelnik. (1979):

a. Sofa dan armchair

Ukuran sofa dan armchair yang ergonomis adalah dengan panjang

kursi untuk satu orang (D) sebesar 70 sentimeter, lebar (15-B) 60

sentimeter, dengan tinggi dudukan (C) 40 sampai 45 sentimeter.

19

Gambar 2.19 Ergonomi Sofa

b. Meja makan

Ukuran meja makan yang ergonomis adalah dengan jarak dari

dudukan ke meja (D) 20 sentimeter dan ukuran pemakaian bersama

(C) 22 sentimeter dengan lebar (D) 76 sentimeter.

Gambar 2.20 Ergonomi Meja Makan

c. Shelving

Ukuran yang ergonomis dan masih bisa dijangkau untuk shelving

adalah dengan ketinggian rak teratas (E) 172 sentimeter. Lebar bisa

disesuaikan dengan kebutuhan atau umumnya 40 sampai 50

sentimeter. Untuk jarak mata yang nyaman untuk melihat display

(2) adalah 150 – 170 sentimeter.

Gambar 2.21 Ergonomi Shelving

20