bab 2 tinjauan pustaka · 2019. 1. 16. · daun babadotan 5-13 cm dan lebar 0,5-6 cm. kedua...

14
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ulat Api ( Setothosea asigna) Setothosea asigna diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filium : Arthopoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Limacodidae Genus : Setothosea Spesies : Setothosea asigna van Eecke Setothosea asigna (Lepidoptera: Limacodidae) merupakan salah satu jenis ulat api terpenting pada tanaman kelapa sawit di Indonesia (Lubis, 2008). Ulat api ini merupakan salah satu hama yang dapat menyebabkan kerusakan berat serta sangat merugikan di Indonesia (Sulistyo, 2012). Disebut ulat api karena punggungnya berbulu kasar kaku dan beracun. Racunnya keluar dari bulu kasar tersebut berupa cairan yang jika terkena tangan terasa gatal dan panas (Sulistyo, 2012). Setothosea asigna, ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di bagian punggungnya dan dilengkapi dengan duri-duri yang kokoh. Ulat instrar terakhir berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm, stadia ulat ini berlangsung 49-51 hari (Fauzi, dkk, 2012).

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 4

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Klasifikasi Ulat Api ( Setothosea asigna)

    Setothosea asigna diklasifikasikan sebagai berikut :

    Kingdom : Animalia

    Filium : Arthopoda

    Kelas : Insecta

    Ordo : Lepidoptera

    Famili : Limacodidae

    Genus : Setothosea

    Spesies : Setothosea asigna van Eecke

    Setothosea asigna (Lepidoptera: Limacodidae) merupakan salah satu jenis

    ulat api terpenting pada tanaman kelapa sawit di Indonesia (Lubis, 2008).

    Ulat api ini merupakan salah satu hama yang dapat menyebabkan kerusakan

    berat serta sangat merugikan di Indonesia (Sulistyo, 2012).

    Disebut ulat api karena punggungnya berbulu kasar kaku dan beracun.

    Racunnya keluar dari bulu kasar tersebut berupa cairan yang jika terkena

    tangan terasa gatal dan panas (Sulistyo, 2012).

    Setothosea asigna, ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak

    yang khas di bagian punggungnya dan dilengkapi dengan duri-duri yang

    kokoh. Ulat instrar terakhir berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm,

    stadia ulat ini berlangsung 49-51 hari (Fauzi, dkk, 2012).

  • 5

    Gambar 2.1 Ulat Api (Setothosea asigna)

    Sumber : Dokumentasi Pribadi

    2.2. Siklus Hidup Hama Ulat Api ( Setothosea asigna)

    Setothosea asigna mempunyai siklus hidup 106 - 138 hari (Hartley, 1979).

    Siklus hidup tergantung pada lokasi dan lingkungan.

    Tabel 2.2 Siklus hidup Setothosea asigna

    Stadia Lama

    (Hari)

    *Lama

    (Hari)

    Keterangan

    Telur 6 3-6 Jumlah telur 300-400 butir

    Larva 50 61-75

    Terdiri dari 9 instar,

    konsumsi daun 300-500

    cm2

    Pupa 40 35-45 Habitat di tanah

    Imago - 7-10 Jantan lebih kecil dari

    betina

    Total 96 106-136 Tergantung pada lokasi

    dan lingkungan

    Sumber : (Sulistyo, 2012)

    2.2.1 Telur

    Telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat berukuran tipis dan

    transparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar pada permukaan daun

    bagian bawah, biasanya pada pelepah daun ke-6 dan ke-17. Satu tumpukkan

    telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan

  • 6

    telur sebanyak 300-400 butir. Telur menetas 4-8 hari setelah diletakkan

    (Prawirosukarto, dkk, 2003).

    Gambar 2.2 Telur Ulat Api (Setothosea asigna)

    (Sumber Foto : Prawirosukarto, dkk, 2003)

    2.2.2 Larva

    Larva yang baru menetas, hidupnya secara berkelompok, memakan bagian

    permukaan bawah daun. Larva instar 2 - 3 memakan bagian helaian daun

    mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun. Selama perkembangannya

    larva mengalami pergantian instar sebanyak 7-8 kali atau 8-9 kali dan mampu

    menghabiskan helaian daun seluas 400 cm2 (Sulistyo, 2012).

    Larva berwarna hijau kekuningan dengan duri-duri yang kokoh di bagian

    punggung dan bercak bersambung sepanjang punggung, berwarna coklat

    sampai ungu keabu-abuan dan putih. Warna larva dapat berubah-ubah sesuai

    dengan instarnya, semakin tua umurnya akan menjadi semakin gelap. Larva

    instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm,

    sedangkan apabila sampai instar ke-8 ukurannya sedikit lebih kecil.

    Menjelang berpupa, ulat menjatuhkan diri ke tanah. Stadia larva ini

    berlangsung selama 49 - 50,3 hari (Sulistyo, 2012).

  • 7

    Gambar 2.3 Ulat Api (Setothosea asigna)

    Sumber : Dokumentasi Pribadi

    2.2.3 Pupa

    Pupa Setothosea asigna berada didalam kokon yang terbuat dari campuran air

    liur ulat dan tanah, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap, terdapat

    di bagian tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang

    kelapa sawit.

    Dengan demikian perkembangan dari telur sampai menjadi ngengat berkisar

    antara 92,7-98 hari, tetapi pada keadaan kurang menguntungkan dapat mencapai

    115 hari.

    Gambar 2.4 Pupa Ulat Api (Setothosea asigna)

    Sumber : Dokumentasi Pribadi

  • 8

    2.2.4 Imago

    Betina dan jantan masing-masing lebar rentangan sayapnya 51 mm dan 41 mm.

    Sayap depan berwarna coklat tua dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap,

    sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda. Telur berwarna kuning

    kehijauan, berbentuk oval, sangat tipis dan transparan (Sulistyo, 2010).

    Siklus hidup masing-masing ulat api bebeda. Setothosea asigna mempunyai

    siklus hidup 106-138 hari. Sedangkan Setora nitens memiliki siklus hidup yang

    lebih pendek dari Setothosea asigna yaitu 42 hari (Susanto, 2012).

    Gambar 2.5 Imago Ulat Api (Setothosea asigna)

    Sumber: Susanto, 2012

    2.3 Gejala Serangan dan Tingkat Kerugian

    2.3.1 Tingkat Serangan

    Serangan Setothosea asigna di lapangan umumnya mengakitbatkan daun

    kelapa sawit habis dengan sangat cepat dan berbentuk seperti melidi.

    Tanaman tidak dapat menghasilkan tandan selama 2-3 tahun jika serangan

    yang terjadi sangat berat. Umumnya gejala serangan dimulai dari daun

    bagian bawah hingga akhirnya helaian daun berlubang habis dan bagian yang

    tersisa hanya tulang daun saja. Ulat ini sangat rakus, mampu mengkonsumsi

    300-500 cm2 daun sawit selama instar (Sulistyo, 2012).

    2.3.2 Kriteria Serangan

    Pengendalian hama dilakukan untuk menurunkan populasi hama sampai pada

    tingkat ambang batas sehingga tidak merugikan secara ekonomi dan tidak

    melampaui batas kritis.

  • 9

    Kriteria serangan digunakan untuk mengetahui tingkat serangan dari hama

    dan juga untuk menentukan tindakan pengendalian yang harus dilakukan

    untuk menurunkan tingkat serangan.

    Kriteria tingkat serangan ulat api Setothosea asigna yaitu :

    Ringan : bila terdapat 10 ekor ulat api per pelepah

    (Sulistyo, 2012).

    Kerugian yang ditimbulkan Setothosea asigna, yaitu menimbulkan

    penurunan produksi sampai 69% pada tahun pertama setelah serangan dan

    lebih kurang 27% pada tahun kedua setelah serangan. Hal ini menunjukkan

    betapa seriusnya dampak serangan ulat api yang tidak terkendali (Fauzi dkk,

    2012).

    Gambar 2.6 Gejala Serangan Ulat Api

    Sumber : Dokumentasi Pribadi

  • 10

    2.4 Babadotan (Ageratum conyzoides L.)

    2.4.1 Klasifikasi dan Morfologi

    Tumbuhan gulma babadotan (Ageratum conyzoides L.) memiliki klasifikasi

    sebagai berikut:

    Divisi : Spermatophyta

    Sub Divisi : Angiospermae

    Kelas : Dicotyledonae

    Ordo : Asterales

    Famili : Asteraceae

    Genus : Ageratum

    Spesies : Ageratum conyzoides L.

    Gambar 2.7 Babadotan (Ageratum conyzoides L.)

    Sumber : Dokumentasi Pribadi

    Babadotan (Ageratum conyzoides L.) merupakan tumbuhan berasal dari

    Amerika tropis dan banyak hidup di daerah tropis. Babadotan termasuk

    gulma berdaun lebar batang babadotan berbentuk bulat yang ditumbuhi

    rambut panjang dan memiliki cabang. Apabila bagian batang menyentuh

    tanah maka mengeluarkan akar dan baru tumbuh.

    Ageratum conyzoides L. memiliki nama umum babadotan, bandotan, jukut

    bau atau wedusan (goatweed). Babadotan (Ageratum conyzoides L.)

    memiliki kandungan bahan aktif terutama di bagian daun adalah alkaloid,

    saponin, flavanoid, polifenol, sulfur dan tannin. Bagian daun mempunyai

  • 11

    sifat bioaktivitas sebagai insektisida, antinematoda, antibakteri dan alelopati

    (Grainge dan Ahmed, 1988).

    Daun babadotan berbentuk bulat telur dengan daun sebuku dengan pangkal

    membulat dan bagian bagian tepi ujung runcing, tepi, bergerigi. Panjang

    daun babadotan 5-13 cm dan lebar 0,5-6 cm. Kedua permukaan daun

    ditumbuhi bulu atau rambut (trichome) (Dalimartha, 2002). Bunga

    babadotan berada di ketiak daun (aksiler), bonggol menyatu menjadi

    karangan dengan panjang 6-8 mm dengan tangkai berambut, kelopak berbulu,

    mahkota berbentuk lonceng dengan warna putih atau ungu. Bunga

    merupakan bunga majemuk yang berkumpul lebih dari 3 kuntum

    (Dalimartha, 2002). Buah babadotan berbentuk bulat panjang persegi lima

    dan berwarna hitam. Pada buah kering akan membentuk struktur sayap

    sehingga mudah diterbangkan angin. Biji babadotan berbentuk ramping dan

    kecil memiliki panjang 1,5-2 mm berwarna hitam. Bersifat fotoblastik positif

    dengan viabilitas mencapai 12 bulan dengan temperature optimum 20-25oC

    (Darmayanti, 2006).

    Babadotan (Ageratum conyzoides L.) merupakan gulma yang banyak tumbuh

    di Indonesia. Babadotan berasal dari Amerika tropik karena itulah pada

    daerah tropis mampu hidup dan berkembang menjadi banyak sekali.

    Persebaran babadotan dimulai dari Amerika Utara hingga ke-Amerika

    Tengah meskipun awalnya gulma ini berasal dari Amerika Tengah dan

    Karibia. Untuk di Indonesia menemukan gulma ini sangat mudah karena

    hampir setiap daerah ada dan gulma ini masih kurang termanfaatkan. Gulma

    ini mudah ditemukan di ladang, kebun, pekarangan tepi,jalan atau saluran air

    pada ketinggian 1-2.100 m dpl (Dalimartha, 2002).

    2.4.2 Kandungan Kimia

    Babadotan memiliki senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai insektisida dan

    nematisida. Kandungan senyawa bioaktif di antaranya saponin, flavonoid,

    polifenol, dan minyak atsiri yang mampu mencegah hama mendekati

  • 12

    tumbuhan (penolak) dan penghambat pertumbuhan larva menjadi pupa.

    Ageratum conyzoides mengandung senyawa kimia dari golongan precocene

    1, precocene 2, senyawa saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri

    (Kinasih, 2013).

    Daun babadotan mengandung dua senyawa aktif precocene I dan precocene

    II, selain itu mengandung saponin, flavanoid dan polifenol dan minyak atsiri.

    Senyawa precocene I dan precocene II dikenal sebagai senyawa anti hormon

    juvenil, yaitu hormon yang diperlukan oleh serangga selama metamorfosis

    dan reproduksi. Diduga senyawa precocene mengalami reaksi kimia dalam

    tubuh serangga sehingga menjadi reaktif dan menyebabkan terjadinya

    kerusakan protein sel dan kematian sel. Sel-sel yang mengalami kematian

    terutama adalah sel-sel kelenjar corpora allata yang menghasilkan hormon

    juvenil (Ditjenbun, 1994).

    Berikut ini merupakan bahan aktif kimia yang ditemukan didalam ekstrak

    babadotan.

    a. Alkaloid

    Alkaloid merupakan senyawa yang di dalam tumbuhan menjadi

    garam berbagai senyawa organik. Alkaloid dapat melindungi

    tumbuhan dari serangan parasit atau pemangsa tumbuhan. Di dalam

    alkaloid terdapat senyawa toksik yang mampu membunuh serangga

    dan fungi.

    b. Kumarin

    Kumarin merupakan senyawa yang dapat mempengaruh proses

    metabolisme pada hewan. Kumarin menghasilkan efek toksik

    terhadap mikroorganisme sehingga mampu membunuh serangga

    (Darmayanti, 2006).

  • 13

    c. Tanin

    Tanin dapat bereaksi dengan protein dan menimbulkan masalah pada

    aktivitas enzim sehingga semakin tinggi tanin dapat membantu

    mengusir hewan (Darmayanti, 2006).

    d. Saponin

    Saponin yang termasuk senyawa glikosida memiliki sifat khas apabila

    diaduk/kocok menghasilkan busa. Saponin dapat merusak saraf hama

    dan mengakibatkan nafsu makan berkurang dan akhirnya hama mati

    (Darmayanti, 2006).

    e. Minyak Atsiri

    Minyak atsiri merupakan bahan terpenoid yang mudah menguap dan

    menghasilkan bau sesuai tanamanya aslinya. Senyawa ini mampu

    menghambat tumbuhan lain dan membunuh hama dengan toksik yang

    tinggi (Darmayanti, 2006).

    f. Flavonoid

    Flavonoid termasuk golongan fenol terbesar yang memiliki sifat

    khusus berupa bau yang tajam. Flavonoid sebagai bahan antimikroba,

    antivirus dan pembunuh serangga dengan mengganggu/menghambat

    pernapasan.

    2.5 Ekstraksi

    Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

    sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa

    aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam

    golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan

    diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah

    pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat.

  • 14

    Pembagian metode ekstraksi yaitu :

    a) Maserasi

    Maserasi adalah proses pengekstrakan dengan cara mengekstraksi bahan

    nabati yaitu direndam menggunakan pelarut bukan air (pelarut non polar)

    atau setengah air, misalnya etanol encer, selama periode waktu.

    Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara

    merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada

    temperatur kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk ke dalam sel

    dari tanaman melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya

    perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel.

    b) Proses Maserasi

    1. Sebanyak 100 gram serbuk babadotan (Ageratum conyzoides. L) yang

    telah di timbang dimasukkan ke dalam botol.

    2. Setelah itu serbuk babadotan (Ageratum conyzoides. L) direndam

    menggunakan etanol 96% sebanyak 1000 ml.

    3. Kemudian botol dibungkus menggunakan alumunium foil secara

    merata. Sekali maserasi menggunakan 2 botol. Kemudian di aduk dan

    dibiarkan selama 3 hari.

    4. Maserasi tersebut disaring menggunakan kertas saring whatman untuk

    mendapat filtrat. Residu yang di peroleh dilakukan kembali sampai 3

    kali maserasi.

    5. Setelah mendapatan hasil keseluruhan filtrat dari hasil maserasi

    dilakukan pemekatan dengan menggunakan Rotary Evaporator untuk

    memisahkan pelarut pada filtrat sehingga didapatkan crude ectract.

    2.6 Rotary Evaporator

    Tahapan proses rotary evaporator adalah sebagai beikut :

    1. Sampel dimasukkan ke dalam labu rotary

    2. Di rangkai labu destilasi

    3. Alat rotary evaporator di hidupkan dan pompa vakum

  • 15

    4. Dibiarkan hingga pelarut tidak menetes lagi pada labu destilasi.

    Gambar 2.8 Alat Rotary Evaporator

    Sumber : Dokumentasi Pribadi

    5. Di uapkan ekstrak (residu) hasil rotary untuk menghilangkan sisa pelarut

    dengan penangas air.

    Gambar 2.9 Alat Penangas Air

    Sumber : Dokumentasi Pribadi

  • 16

    2.7 Analisa Senyawa Alkaloid Menggunakan Spektrofotometer FTIR

    Gambar 2.10 Alat IR Prestige-21

    Sumber : Dokumentasi Pribadi

    Spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red) pada dasarnya adalah

    sama dengan spektrofotometer IR dispersi, yang membedakannya adalah

    pengembangan pada sistem optiknya sebelum berkas sinar inframerah

    melewati sampel. Spektrofotometer IR dispersi menggunakan prisma

    (grating) sebagai pengisolasi radiasi, sedangkan spektrofotometer FTIR

    menggunakan interferometer yang dikontrol secara otomatis dengan

    komputer. Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik,

    maka terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau

    ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada

    struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi

    tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi

    (Suseno dan Firdausi, 2008). Spektrofotometer FTIR dapat digunakan untuk

    analisis kualitatif dan kuantitatif (Hayati, 2007).

    Spektroskopi inframerah adalah suatu metode analisis yang didasarkan pada

    penyerapan sinar inframerah. Fungsi utama dari spektroskopi inframerah

    adalah untuk mengenal struktur molekul (gugus fungsional). Spektroskopi

    inframerah adalah grafik dari persentasi transmitansi dengan panjang

    gelombang atau penurunan frekuensi. Tiap lekukan yang disebut gelombang

  • 17

    atau puncak menunjukkan adsorbsi dari radiasi inframerah oleh cuplikan pada

    frekuensi tersebut (Fessenden dan Fessenden, 1999).

    Menurut (Hasibuan dan Nainggolan, 2007) Penafsiran spektrum inframerah

    mempunyai pita lebar dengan kekuatan sedang pada daerah 3400 cm-1 yang

    menunjukkan adanya gugus OH, ini diperkuat dengan munculnya pita lemah

    pada daerah 1070 cm-1 yang berasal dari ikatan C-O. Pita tajam dan kuat

    pada daerah 1670 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O dan pita kuat pada

    daerah 2975 cm-1 adanya ikatan C-H alifatis yang diperkuat dengan

    munculnya pita berkekuatan sedang pada daerah 1450 cm-1 yang diberikan

    oleh ikatan C-H dari CH2 (metilen) dan pita lemah pada daerah 1380 cm-1

    oleh ikatan C-H dari CH3 (metil).